• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. menuntut dipakainya strategi-strategi pemasaran di dalam politik. Saat ini diperlukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. menuntut dipakainya strategi-strategi pemasaran di dalam politik. Saat ini diperlukan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pemasaran politik adalah sebuah cabang ilmu yang baru saja tumbuh. Zaman menuntut dipakainya strategi-strategi pemasaran di dalam politik. Saat ini diperlukan pendekatan-pendekatan baru dalam kehidupan politik, termasuk di Indonesia sebagai negara yang berniat menerapkan demokrasi yang adil dan beradab. Tidak ubahnya aktivitas sosial lain, dunia politik telah menjadi lebih terbuka dan transparan.

Sebagaimana halnya dalam dunia bisnis, dunia politik juga penuh dengan persaingan, bahkan dunia ini lebih kental dengan persaingan, dan untuk setiap bidang yang membutuhkan persaingan, disanalah dibutuhkan ilmu pemasaran. Persaingan dalam dunia politik terjadi untuk memperebutkan hati konstituen dan membuat mereka memilih kandidat (partai politik atau kontestan individu) masing-masing selama pemilihan umum. Persaingan ini menuntut masing-masing produsen untuk memikirkan cara dan metode yang efektif untuk mampu berkomunikasi dan meyakinkan konstituen bahwa kandidat dan partai politik merekalah yang layak dipilih.

Keberhasilan upaya untuk mempengaruhi konsumen sangat ditentukan oleh persepsi konsumen terhadap selebriti yang menjadi icon sesuatu produk. Dengan dipersepsikannya seorang celebrity endorser secara positif oleh masyarakat, diharapkan positif pula citra yang terbentuk di benak konsumen. Namun demikian,

(2)

tidak menutup kemungkinan munculnya citra dalam pikiran konsumen yang tidak relevan dengan persepsinya terhadap celebrity endorser. Dengan kata lain, tidak selamanya seorang celebrity endorser dalam iklan dapat membangun citra yang baik dalam benak konsumen, seperti yang diinginkan pengiklan.

Demikian juga halnya dalam hal politik, setelah reformasi di negara kita, demokratisasi yang bergaung luas, ditunjang dengan disahkannya UU No.22 Tahun 2007 oleh DPR-RI tentang penyelenggaraan pemilihan umum, yang memperbolehkan pemilihan langsung dalam Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Presiden dan

Pemilihan Legislatif yang diperkuat dengan Fatwa Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak yakni revisi atas UU No.10 tahun 2008 tentang penetapan calon legislatif terpilih, menyebabkan terciptanya persaingan diantara para kandidat, sehingga membuka peluang terciptanya pengiklanan untuk mempromosikan dirinya masing-masing, sebagaimana telah lama terjadi di Amerika Serikat.

Partai-partai politik di Indonesia benar-benar mengeluarkan banyak dana pada masa kampanye politik awal 2009 lalu. Parpol mengalokasikan dana sekitar Rp 1,06 triliun untuk meningkatkan citra dengan beriklan di media-media.

Tabel I.1 Belanja Iklan Terbesar di Televisi Bidang Kwartal IV

2008 Kwartal I 2009

Kosmetik Rp. 920 Milyar Rp. 1,160 Triliun

Partai Politik Rp. 289 Milyar Rp. 1,065 Trilliun Telekomunikasi Rp. 954 Milyar Rp. 1,004 Triliun Sumber: Kompas, Edisi 27 April 2009 (Data diolah)

(3)

Salah satu strategi pengiklanan yang di ambil dari dunia pemasaran dan di praktekkan pada dunia politik adalah pemilihan Susilo Bambang Yudhoyono yang juga merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat sebagai celebrity endorser untuk memenangkan Partai Demokarat Pada Pemilihan Calon Legislatif tahun 2009. Dalam hal ini, Susilo Bambang Yudhoyono dijadikan bintang iklan, untuk mengajak masyarakat menentukan pilihannya pada Partai Demokrat dalam pemilihan Calon Legislatif 2009 baik untuk DPRD maupun DPR-RI.

Keberadaan selebriti atau orang-orang terkenal memberi dampak dalam berbagai segi kehidupan manusia, dari waktu ke waktu. Popularitas seorang tokoh publik memang tak dapat dipungkiri menjadi suatu fenomena tersendiri karena

menjadi salah satu fokus publisitas di berbagai media cetak dan media elektronik, dan bahkan kehidupan pribadinya sangat ditunggu para insan pers sebagai tajuk utama berita. Saat ini dalam berbagai iklan khususnya untuk produk baru, penggunaan selebriti sebagai salah satu strategi pemasaran, sangat efektif untuk membentuk stopping power bagi audience. Kehadiran selebriti dimaksudkan untuk

mengkomunikasikan suatu merk produk dan membentuk identitas serta menentukan citra produk yang diiklankan. Pemakaian selebriti sebagai daya tarik iklan, dinilai dapat mempengaruhi preferensi konsumen karena selebriti dapat menjadi reference group yang mempengaruhi prilaku konsumen. Bagi produk baru, penggunaan endorser atau pembicara merupakan upaya pengiklan untuk meraih publisitas dan perhatian produk tersebut. Meskipun mereka adalah aktor, selebriti, eksekutif, atau

(4)

kepribadian yang diciptakan, endorser terbaik adalah mereka yang bisa membangun brand image yang kuat.

Fenomena munculnya para selebriti dalam politik telah terjadi semenjak dua kali Pemilihan Umum yang lalu, dan semakin terasa pada Pemilu Legislatif April 2009 yang lalu. Para selebriti tersebut diharapkan akan menaikkan perolehan suara partai secara nasional, karena utamanya para selebriti ini bertarung untuk

memperebutkan kursi anggota DPR RI. Tentu penetapan Calon Legislatif yang berlatar belakang selebriti ini telah didahului proses pemilihan yang dilakukan internal partai terutama menyangkut kredibilitas Caleg tersebut.

Kredibilitas merupakan kriteria dasar seorang selebriti dijadikan endorser. Seseorang yang dipercaya dan dipersepsi memiliki pemahaman yang baik terhadap partai akan mudah mempengaruhi pemilih. Dengan kata lain, kredibilitas adalah kata kunci efektivitas endorser. Kredibilitas berarti adanya tendensi kuat dalam

mempercayai seseorang. Ketika seorang endorser dipersepsikan sebagai kredibel, sikap audiens atau pemilih akan berubah lewat sebuah proses psikologis yang dinamakan internalisasi. Proses ini terjadi ketika penerima pesan menerima posisi endorser sebagai isu yang sama dengan dirinya.

Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono sebagai celebrity endorser tentu berbeda posisinya dengan selebriti lain yang juga ikut mendukung sesuatu partai politik. Jika selebriti lain bertugas memenangkan dirinya sendiri sebagai Calon Legislatif DPR-RI, sedangkan Dr. H Susilo Bambang Yudhoyono dicitrakan untuk mendorong perolehan suara Partai Demokrat untuk memperebutkan kursi DPR-RI, DPRD

(5)

Provinsi, dan DPRD kabupaten/Kota, bahkan untuk beberapa Provinsi tertentu Calon Anggota DPD yang non-partai dan kebetulan bernomor urut 31 (Nomor urut Partai Demokrat pada Pemilu Legislatif 2009 lalu) juga memperoleh dukungan suara yang sangat signifikan, yang mungkin sekali terpengaruh oleh keberhasilan endorsement Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono terhadap Partai Demokrat yang bernomor urut 31 (tiga puluh satu). Pemilihan endorser berdasarkan kredibilitas yang dimilikinya di tengah-tengah masyarakat menjadi sangat penting, karena pencitraan yang dibawa oleh pribadi tersebut nantinya akan menjadi citra partai. Semakin baik citra endorser-nya ditengah masyarakat, semakin baik pula persepsi masyarakat akan partai tersebut, demikian sebaliknya, kekurangan-kekurangan pada figur endorser suatu partai akan dipersepsikan masyarakat sebagai kekurangan yang ada pada partai politik tersebut.

Sudah sejak orde lama, di negara kita dipakai figur tokoh terkenal untuk membesarkan atau mendorong popularitas suatu partai politik. Hal ini dimulai sejak orde lama ketika Bung Karno dicitrakan sebagai penggagas, pendiri dan pelindung Partai Nasional Indonesia (PNI) dan PNI berhasil memenangkan Pemilu pertama di negara kita pada tahun 1955 untuk memilih anggota DPR dan anggota konstituante, dengan perolehan suara 22,3 %. Semenjak itu pula, loyalitas pemilih merupakan hal yang diusahakan oleh partai politik di negara kita dari generasi ke generasi, dalam istilah Politik hal ini disebutkan pemilih tradisional. PDI-P yang dianggap secara ideologi merupakan metamorfosis PNI dengan Bung Karno sebagai bapak ideologi dan figur utamanya dan sampai hari inipun foto-foto Bung Karno tetap dipajang oleh

(6)

pendukung PDI-P jika akan menghadapi Pemilu, baik Pemilu Legislatif maupun Pemilukada.

Demikian juga Gus Dur untuk PKB dan Pak Harto yang merupakan pendiri figur utama Partai Golkar selama 32 tahun, sehingga orang-orang yang bersimpati kepada perjuangan Bung Karno cenderung setia kepada PDI-P, Gus Dur untuk PKB dan Pengagum Pak Harto cenderung untuk memilih Golkar, dan para pengagum tersebut cenderung mereferensikan pilihan ini kepada orang-orang terdekat maupun keturunannya.

Tidak seperti Endorser dalam bisnis yang dibayar mahal untuk periode waktu tertentu sesuai perjanjian kontrak, endorser pada politik tidak terikat waktu, dan cenderung abadi, dimana ketokohan sang tokoh tetap melekat pada partai walaupun yang bersangkutan telah tiada. Tentu loyalitas pendukung tersebut dapat diakibatkan kredibilitas yang dimiliki sang tokoh, terkait kharisma, gaya berbicara, kejujuran dan kesetiaan pada ideologi yang diusung yang tetap dikenang massa pendukungnya.

I.2 Perumusan Masalah

1. Sejauhmana pengaruh kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono Sebagai Celebrity Endorser, yang terdiri dari: daya tarik (attractiveness), kesukaan (likeability), kepercayaan (trustworthiness), dan keahlian (expertise) terhadap keputusan pemilih Partai Demokrat di Kota Medan?

2. Sejauhmana pengaruh kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono Sebagai Celebrity Endorser, yang terdiri dari: daya tarik (attractiveness), kesukaan

(7)

(likeability), kepercayaan (trustworthiness), dan keahlian (expertise) terhadap loyalitas pemilih Partai Demokrat di Kota Medan?

I.3 Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Penerapan Celebrity Endorser

yang terdiri dari; daya tarik (attractiveness), kesukaan (likeability), kepercayaan (trustworthiness), dan keahlian (expertise) terhadap keputusan pemilih Partai Demokrat di Kota Medan.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Penerapan Celebrity Endorser yang terdiri dari; daya tarik (attractiveness), kesukaan (likeability), kepercayaan (trustworthiness), dan keahlian (expertise) terhadap Loyalitas pemilih Partai Demokrat di Kota Medan.

I.4 Manfaat Penelitian

1. Hasil Penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi atau masukan bagi partai politik maupun para politisi untuk mengetahui pengaruh pengiklanan, dalam hal ini penggunaan Celebrity Endorser terhadap keputusan dan loyalitas pemilih guna meningkatkan pemilih mereka pada pemilihan-pemilihan selanjutnya.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi tambahan bagi pihak akademisi untuk pembahasan mengenai marketing politik, khususnya penerapan celebrity endorser dalam kaitannya terhadap keputusan dan loyalitas pemilih.

(8)

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman peneliti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan teori perilaku konsumen, dalam hal ini pemilih dan penerapannya di lapangan.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya pada permasalahan atau subjek yang sama demi pengembangan baik secara umum maupun khusus terhadap ilmu pengetahuan yang dijadikan dasar penelitian.

1.5 Kerangka Berpikir

Periklanan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal, karena daya jangkaunya yang luas. Iklan yang disenangi konsumen terlihat menciptakan sikap merek yang positif dan keinginan untuk membeli yang lebih dari pada produk dengan iklan yang tidak mereka sukai.

Penggunaan narasumber sebagai figur penarik perhatian dalam iklan merupakan salah satu cara kreatif untuk menyampaikan pesan (Kotler dan Keller, 2006). Pesan yang disampaikan oleh nara sumber yang menarik akan lebih mudah dan menarik perhatian konsumen. Shimp (2003) membagi endorser ke dalam dua tipe, yaitu celebrity endorser dan typical-person endorser. Penggunaan selebriti di dalam mendukung iklan memiliki empat alasan utama, yaitu: Pemasar rela membayar tinggi selebriti yang banyak disukai oleh masyarakat. Selebriti digunakan untuk menarik perhatian khalayak dan meningkatkan awareness produk. Pemasar mengharapkan persepsi konsumen terhadap produk tersebut akan berubah.

(9)

Penggunaan selebriti menimbulkan kesan bahwa konsumen selektif dalam memilih dan meningkatkan status dengan memiliki apa yang digunakan oleh selebriti. Sedangkan pemasar memilih typical-person endorser untuk mendukung iklan, dengan alasan: Typical-person endorser biasanya digunakan sebagai bentuk promosi testimonial untuk meraih kepercayaan konsumen. Typical-person endorser dapat lebih diakrabi oleh konsumen karena mereka merasa memiliki kesamaan konsep diri yang aktual, nilai-nilai yang dianut, kepribadian, gaya hidup, karakter demografis, dan sebagainya.

Selebriti diasumsikan lebih kredibel daripada non selebriti. Tampilan fisik dan karakter non fisik selebriti membuat sebuah iklan lebih menarik dan disukai oleh konsumen. Performa, citra, dan kepopuleran selebriti dapat lebih menarik perhatian target audience untuk menyaksikan iklan yang dapat mempengaruhi persepsi mereka untuk membuat keputusan dalam melakukan pembelian. Sedangkan, dengan

menampilkan pendukung non selebriti atau ”orang biasa” dapat membuat konsumen merasa lebih dekat dan merasa akrab, akan menghasilkan keterlibatan pesan yang cukup tinggi, dan akhirnya akan mempengaruhi persepsi konsumen, sehingga tercipta persepsi yang positif terhadap produk yang diiklankan.

Tugas utama para endorser ini adalah untuk menciptakan asosiasi yang baik antara endorser dengan produk yang diiklankan sehingga timbul sikap positif dalam diri konsumen, sehingga iklan dapat menciptakan citra yang baik pula di mata konsumen. Iklan merupakan elemen yang penting dan saling berpengaruh dalam

(10)

menanamkan brand image kepada konsumen, seiring dengan ciri fisik dan kualitas produk yang mengikuti suatu brand tertentu.

McCracken (1989) menemukan bahwa celebrity endorser dan produk itu sendiri memainkan peranan penting terhadap interpretasi akhir produk yang di

iklankan. McCracken (1989) menemukan bagaimana teori transfer untuk menjelaskan bagaimana karakteristik dari selebriti ditransfer ke dalam produk, artinya bahwa persepsi karakteristik dari selebriti akan ditransfer kedalam merk, dalam hal ini adalah kandidat atau partai politik.

Tubbs dan Moss (2000) memetakan karakteristik celebrity endorser kedalam 4 aspek yakni: Daya tarik, Kesukaan, Kepercayaan dan Keahlian.

Keempat faktor diatas diduga mempengaruhi keputusan memilih konsumen, hal ini disebabkan ketertarikan pemilih kepada sesuatu partai disebabkan ketertarikan akan figur-figur orang di partai tersebut, dalam hal ini ketertarikan terhadap endorser dari partai tersebut. Hal ini sesuai denga teori transfer yang dikemukakan oleh

McCracken (1989), bahwa persepsi konsumen tentang endorser akan ditransfer menjadi persepsi konsumen akan produk, dalam hal ini partai yang di endorse-nya. Oleh sebab itu, jika seorang tokoh yang dicitrakan menjadi icon partai tersebut dianggap menarik, disukai, dapat dipercaya dan dianggap mempunyai keahlian, maka partai yang di endorsernya pun dianggap pula menarik, disuka, dipercaya dan

dianggap diisi oleh orang-orang ahli oleh masyarakat, demikian juga sebaliknya, jika seorang endorsernya dianggap kurang menarik, tidak disuka, tidak dipercaya dan tidak memiliki keahlian, maka partai tersebut juga dianggap kurang menarik, tidak

(11)

disukai, tidak dapat dipercaya dan tidak diisi orang-orang ahli oleh masyarakat pemilih. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh McCracken (1989) bahwa penggunaan endorser tidak selalu membawa dampak positif kepada citra produk atau perusahaan yang di endorse-rnya.

Firmanzah (2008) menyatakan bahwa produk politik atau kandidat individu adalah produk tidak nyata (intangible) yang sangat kompleks, tidak mungkin dianalisis secara keseluruhan. Sebagai konsekuensinya, kebanyakan pemilih menggunakan penilaian terhadap keseluruhan konsep dan pesan yang diterima. Penilaian ini diantaranya berdasarkan iklan yang ditampilkan oleh suatu partai politik, kemasan serta endorser dalam iklan tersebut, menjadi penilaian keseluruhan akan partai tersebut dan menjadi dasar keputusan memilih akan partai tersebut.

Keputusan Memilih Pada Pemilu

Firmanzah (2008) menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilihan umum dapat dianalogikan sebagai perilaku pembelian dalam dunia bisnis dan komersial, hanya dalam dunia bisnis dan komersial, keputusan pembelian yang salah akan berdampak langsung terhadap subjek dengan kehilangan utilitas barang atau jasa yang dibelinya. Sedangkan pemilihan yang salah dalam pemilu tidak berdampak langsung bagi si pengambil keputusan, karena keputusan individu tidak berarti apa-apa kecuali dalam jumlah besar.

Ketidakhadiran insentif ekonomi ketika pemilih menentukan pilihan politik membuat banyak kalangan berpendapat bahwa secara individual, memilih lebih merupakan keputusan konsumsi ketimbang keputusan investasi (Aidt, 2000). Insentif

(12)

ekonomi dilihat sebagai keuntungan secara ekonomis ketika pemilih memberikan dukungan kepada salah satu kontestan politik. Dalam perspektif individual, keputusan memilih akan dilihat sebagai perilaku konsumsi dan pembelanjaan yang dengan cepat hilang dan habis, bukan aktivitas yang akan didapat hasilnya dalam jangka panjang. Selain itu perilaku memilih selama pemilu juga memiliki biaya ekonomis berupa sedikit waktu dan usaha, seperti yang diungkapkan oleh Niemi (1976) dan Aldrich (1993). Menurut mereka, usaha untuk memberikan dukungan berupa pencontrengan dalam bilik-bilik suara nyaris tanpa biaya secara ekonomis. Dengan tidak terdapatnya biaya ekonomis itu, tak heran apabila pemilih dapat menjatuhkan pilihannya kepada siapapun. Pemilih berada dalam posisi indifferent secara ekonomis. Artinya memilih satu kandidat tidak menjadi lebih mahal atau murah dibandingkan dengan memilih kandidat lain secara ekonomis pada saat “membeli”, kendati harus diingat bahwa sesungguhnya pilihan salah yang dilakukan oleh banyak orang akan berakibat pada kebijakan politik dan selanjutnya pada perekonomian masyarakat secara umum, termasuk perekonomian si individu. Hal ini juga yang mengarahkan pada pemahaman bahwa memilih selama pemilu lebih didorong oleh alasan-alasan non-ekonomis seperti ideologi dan budaya.

Lipset (1972) mendefenisikan perilaku memilih sebagai suatu aktivitas untuk memberikan dukungan kepada suatu partai yang pada prinsipnya mewakili

kepentingan kelas-kelas politik yang berbeda, seperti kelas bawah, menengah dan atas. Selain itu terdapat pula faktor-faktor lain yang menentukan dukungan seseorang

(13)

terhadap parpol atau kandidat tertentu, misalnya status sosial ekonomi, agama, etnis, keturunan, jenis kelamin, umur dan asal tempat tinggal.

Bone dan Ranney (1983) berpendapat yang sama dengan menambahkan bahwa terdapat faktor-faktor sosial, agama, dan pengaruh keluarga yang ikut menentukan sikap memilih seseorang pada pemilu.

Kavanagh (1983) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilu dapat dilihat dari lima jenis pendekatan, yakni struktural, sosiologis, ekologis, psikologi sosial dan pilihan rasional yang semuanya merupakan kegiatan yang otonom, bukan partisipasi yang dimobilisasi. Dalam

pendekatan struktural, misalnya, perilaku seorang individu dalam menentukan pilihan politiknya dipengaruhi oleh struktur sosial (kelas, agama, bahasa, desa-kota, dan lain-lain), sistem kepartaian, sistem pemilu, serta program-program atau isu-isu yang ditonjolkan oleh partai dalam berkampanye, seperti melalui iklan politik di televisi. Hampir mirip dengan pendekatan struktural, pendekatan sosiologis menjelaskan bahwa pilihan seorang warga negara dalam sebuah pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh latar belakang demografi (asal domisili, suku) dan status sosial ekonomi (seperti pekerjaan, pendidikan, pendapatan) daripada hal lain.

Selain itu menurut Niemi (1976) yang mengobservasi bahwa faktor perilaku keluarga, khususnya orangtua, juga banyak mempengaruhi perilaku memilih anak kelak ketika mereka dewasa. Karena itulah kerap ditemukan loyalitas yang turun-temurun yang sulit diganggu gugat dari sebuah keluarga terhadap partai politik atau figur tertentu yang bertarung dalam pemilu.

(14)

Loyalitas Pemilih

Tujuan utama dalam mengembangkan hubungan relasional dengan masyarakat adalah menciptakan loyalitas konstituen terhadap partai politik atau kandidat individu, karena masing-masing kandidat berharap bahwa partai politik mereka terus memenangkan pemilu dimasa-masa mendatang. Hal ini tidak akan tercapai tanpa loyalitas pemilih. Konstituen yang loyal akan mengurangi

ketidakpastian yang terjadi di tengah-tengah para pemilih dalam memilih partai politik tertentu.

Firmanzah (2008) loyalitas pemilih dapat diukur melalui 2 dimensi: 1. Keterlibatan, ikatan dan dukungan terhadap suatu partai politik tertentu. Bentuk

dukungan ini dapat dilihat melalui diberikannya suara dalam pemilihan umum, adanya keinginan dan motivasi untuk terus melanjutkan dukungan di kemudian hari. Termasuk juga partisipasi aktif dalam acara-acara partai politik seperti tabligh akbar, rapat kerja partai, musyawarah nasional, dsb.

2. Komitmen dan tindakan nyata konstituen untuk mencoba menarik orang-orang di luar partainya agar memberikan dukungan dan memilih partai tersebut.

Ketokohan seorang publik figur tentu dapat menjadi penggerak timbulnya loyalitas akan suatu partai politik, sebagaimana ketokohan Bung Karno dan garis keturunannya, yakni Megawati Sukarnoputri dan Guruh Sukarnoputra di PDI-P, Nama besar Pak Harto pada Partai Golkar, Abdurrahman Wahid di PKB, dimana kekaguman sebagian masyarakat terhadap tokoh-tokoh diatas menjembatani mereka

(15)

untuk menjadi pemilih loyal pada partai-partai yang didirikan atau dibesarkan oleh tokoh-tokoh dimaksud.

Loyalitas tentu menjadi suatu hal yang diharapkan dalam dunia bisnis, tetapi sangat dinginkan juga dalam dunia politik. Loyalitas pemilih berarti kesetiaan dari pemilih untuk tetap mendukung suatu partai tertentu dikemudian hari, mendukung calon-calonnya pada Pilkada, dan tetap setia mengikuti perkembangan partai tersebut dikemudian hari Firmanzah (2008). Loyalitas kepada partai bisa jadi merupakan wujud loyalitas pemilih kepada tokoh-tokoh partai tersebut (Nieni, 1976), dalam hal ini kesetiaan dan loyalitas pendukung Partai Demokrat dapat merupakan gambaran loyalitas untuk selalu mendukung Susilo Bambang Yudhoyono.

Kredibiltas Celebrity Endorser:         1.Daya tarik

        2. Kesukaan  Keputusan 

Memilih       3. Kepercayaan 

        4. Keahlian

Gambar I.1 Kerangka Berpikir Hipotesis Pertama Kredibilitas Celebrity Endorser:

1. Daya Tarik 

      2. Kesukaan  Loyalitas 

Pemilih        3. Kepercayaan

      4.. Keahlian 

(16)

I.6 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan kerangka pemikiran di atas, maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Celebrity Endorser Partai Demokrat, yang terdiri dari: Daya tarik, Kepercayaan, Kesukaan dan Keahlian mempunyai pengaruh terhadap keputusan memilih Partai Demokrat Kota Medan. 2. Kredibilitas Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Celebrity Endorser Partai

Demokrat yang terdiri dari: Daya tarik, Kepercayaan, Kesukaan dan Keahlian mempunyai pengaruh terhadap loyalitas pemilih Partai Demokrat Kota Medan.

Gambar

Gambar I.2 Kerangka Berpikir Hipotesis Kedua

Referensi

Dokumen terkait

Para mahasiswa merasa bangga dengan latar belakang etnik yang dimilikinya, hal-hal yang mencirikan mereka sebagai orang yang berasal dari etnik tertentu tetap mereka pegang

Penelitian yang ditulis oleh Jakhin (2013) yakni Pemasaran Politik Pada Pemilukada menjelaskan tentang strategi pemasaran politik kandidat, sedangkan penulisan

Hal-hal yang telah dijelaskan di atas dan cara pengelompokkan yang berbeda ini melatarbelakangi penulis untuk melakukan penelitian menggunakan metode K-Means

Hasil penelitian terbatas pada mengumpulkan jenis tumbuhan berkayu yang hidup di lahan gambut di Kawasan hutan Taman Nasional Sebangau SPTN Wilayah I Resort Habaring

Aturan assosiatif antara suatu kombinasi item akan diperoleh dari parameter curah hujan, kelembaban, suhu udara, kepadatan penduduk, fasilitas kesehatan, usia dan

Terdapat tiga isu utama yang akan dikerjakan dalam lima tahun ke depan oleh Jurusan Ilmu Komputer, yaitu (1) peningkatan pengetahua, soft skill dan

Prognosis trauma mata dapat sembuh dengan baik setelah trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang karena munculnya sindrom erosi berulang. Namun trauma tembus

Menindaklanjuti surat Saudara Nomor 2366/-079.4 Tanggal 8 September 2014 Perihal Permohonan Data, dengan ini saya sampaikan Data Keberhasilan Kinetja Dinas Perumahan dan Gedung