• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Pakaian merupakan salah satu bagian utama dari busana. Dalam bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Pakaian merupakan salah satu bagian utama dari busana. Dalam bahasa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pakaian merupakan salah satu bagian utama dari busana. Dalam bahasa Inggris, pakaian disebut garment (Echols dan Shadily. 2003: 263). Lebih spesifik lagi disebutkan bahwa pakaian adalah benda yang digunakan sebagai penutup tubuh bagian luar yang berfungsi melindungi tubuh dari panas dan dingin (Aswoto. 1994: 1). Pakaian juga berfungsi sebagai penghias tubuh. Bahkan, sejumlah pakaian berfungsi sebagai penanda status sosial seseorang. Dalam hal ini, kualitas dan jenis pakaian yang dikenakan seseorang dapat menunjukkan kedudukan pemakainya dalam masyarakat.

Kotler (1993) mengklasifikasikan pakaian sebagai barang konsumtif, yaitu barang yang digunakan untuk kepentingan seseorang atau suatu golongan. Berdasarkan cara konsumen memperoleh dan menggunakannya, pakaian termasuk barang belanja (shopping product) karena termasuk barang yang dibeli konsumen dengan proses membandingkan kualitas, harga, merk, dan lainnya sebelum membeli.

Berdasarkan pernyataan di atas, setiap orang membutuhkan pakaian untuk melindungi tubuhnya dari cuaca panas dan dingin. Pakaian juga berfungsi sebagai penanda status sosial bagi si pemakainya. Oleh karena itu, kualitas, harga, dan merk pakaian menjadi bahan pertimbangan para konsumen untuk membeli suatu pakaian.

(2)

Bagi produsen, pakaian merupakan salah satu produk yang memberi peluang bisnis yang menjanjikan. Industri “pakaian jadi” di Indonesia berkembang sejak awal tahun 70-an. Perkembangannya terus meningkat semenjak industri tekstil bekerja sama dengan industri pakaian industri pakaian jadi. Industri tekstil memasok kebutuhan industri pakaian sehingga terjalin rangkaian struktur kerjasama dari hulu ke hilir. Rangkaian industri tersebut dimulai dari pembuatan industri serat dan benang (fiber), industri pemintalan, industri penenunan dan perajutan, industri percetakan dan pengecapan, serta industri pakaian jadi (Bank Indonesia. 2007: 1).

Badan Pusat Statistik mencatat bahwa industri tekstil dan pakaian jadi (garment) didominasi oleh industri rumah tangga yang beranggotakan satu sampai empat orang. Industri rumah tangga bersama dengan perusahaan kecil bertugas memproduksi pakaian jadi. Sementara perusahaan skala besar bertugas untuk memasok bahan baku dan mengelola pasar pakaian jadi (Bank Indonesia. 2007: 2).

Industri pakaian jadi memerlukan distribusi agar barang produksinya sampai kepada konsumen. Dalam hal ini, distribusi didefinisikan sebagai penyaluran (pembagian dan pengiriman) barang kepada beberapa orang atau ke beberapa tempat (Departemen Pendidikan Nasional. 1989: 270). Secara ekonomi, distribusi diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar serta mempermudah penyampaian produk dan jasa dari produsen ke konsumen sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (Budiarto. 1993: 101).

(3)

Termasuk di dalamnya ialah distribusi fisik, yaitu pendistribusian barang dalam hal pengangkutan barang, transportasi, dan logistik.

Pada umumnya, setiap perusahaan, termasuk perusahaan pakaian, mendistribusikan produknya secara langsung dan tidak langsung. Distribusi secara langsung terjadi apabila produsen menjual pakaian ke konsumen tanpa perantara. Sementara distribusi tidak langsung dilakukan apabila produsen menggunakan perantara seperti agen atau pengecer untuk mendistribusikan barangnya ke konsumen (Budiarto.1993: 102). Agen dan pengecer dapat membeli barang dari produsen, kemudian menjualnya kembali kepada konsumen akhir.

Data statistik menunjukkan bahwa 27% pakaian Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara sisanya didistribusikan ke dalam negeri. Meski merek pakaian Indonesia masih kalah dengan merek impor, tetapi kualitas pakaian Indonesia mampu bersaing dengan pakaian luar negeri. Sayangnya, untuk memenuhi kebutuhan industri pakaian, sampai saat ini Indonesia masih mengimpor bahan baku untuk pakaian jadi. Bahkan, Indonesia ditengarai merupakan negara pengimpor kapas terbesar di dunia (Bank Indonesia. 2007: 11).

Jauh sebelum masa sekarang, di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, sebenarnya telah ada “industri” pakaian pada masa Mataram Kuno abad X M. Kegiatan tersebut tertuang dalam sejumlah prasasti pada masa itu. Aktivitas yang dimaksud terdiri atas: pabsar (pemelihara ulat sutra), makapas atau kapas (pedagang kapas), macadar (penenun kain cadar), mañawring (pembuat kain

(4)

tipis), maṅubar (penghasil bahan pencelup warna merah), maṅlakha (pembuat warna merah), mañambul (pembuat warna hitam)1.

Dalam prasati juga dikenal istilah mabasana atau abasana yang berarti penjual pakaian, meskipun di masa Mataram Kuno tidak diketahui dengan pasti apakah abasana adalah produsen atau pedagang perantara (broker). Kata tersebut sering ditemukan dalam sejumlah prasasti Mataram Kuno. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa penjual pakaian yang disebut sebagai mabasana atau abasana termasuk di dalam kelompok pedagang yang barang dagangannya dipikul (pinikul dagaṅanya). Salah satu kutipan dalam prasasti yang menyebut mabasana ialah Prasasti Linggasuntan (929 M), seperti terlihat dalam kutipan berikut:

“...yāpwan pinikul dagaṅanya kadyaṅgāniŋ mabasana masayaŋ makacapuri. maṅuñjal. makapas. wuṅkuḍu. wsi tambaga gaṅsa timaḥ wuyaḥ paḍat lṅa bras gula pamaja bsar kasumba saprakāra niŋ dwal pinikul kalima bantal iŋ satu hân ataḥ pikul pikullananya iŋ sasīma. ikanaŋ samaŋkana tan knāna de saŋ maṅilala drabya haji saparānanya sadeśanya yāpwan lwiḥ saŋke rikā knāna sakalwiḥnya sodhara haji tan adhikāna”

(Brandes. 1913:70; Nakada.1990: 24 dalam Nastiti. 2003: 44).

Terjemahan:

...jika dipikul barang dagangannya seperti (penjual) pakaian, barang-barang tembaga, kotak sirih2 pedagang kapas, penjual mengkudu, (barang dari) besi, tembaga, (dan) perunggu, (barang dari) timah, garam, padat, minyak, beras, gula, buah maja, sutra3,

1

Terdapat berbagai macam sumber yang menerangkan produksi pakaian pada masa Jawa Kuno. Skripsi seperti Ani Triastanti (2007) dan Henny Puji Rahayu (2006) secara tidak langsung menyebutkan adanya aktivitas yang berhubungan dengan pembuatan pakaian.

2

Stutterheim (1925:276) mengartikan kacapuri sebagai kotak sirih. Zoetmulder, 1982: 801 mengartikannya sebagai bagian dari bangunan atau pagar kelling dari bambu atau batu. Nastiti juga berpendapat sama seperti Zoetmulder. Penulis lebih condong mengartikan kacapuri sebagai pengrajin pagar keliling dari bambu atau batu.

3

(Zoetmulder, 1982, hal. 237) mengartikan bsar sebagai serat, benang, sutera, atau daun besaran yang diikenal sebagi makanan ulat sutera.

(5)

kesumba, (dan) segala macam jenis barang yang (dijual) dengan dipikul (batasnya) lima bantal4 dalam satu tuhān. Hanya pedagang pikulan di dalam sīma yang demikian yang tidak kena oleh maṅilala drabya haji yang berlainan detiap desa. Jika melebihi dari apa yang ditetapkan (maka) selebihnya (untuk) sodhara haji tanpa kecuali.

(Terjemahan oleh Nastiti. 2003: 44).

Kutipan prasasti di atas menyebutkan bahwa penjual pakaian menjual dagangannya dengan cara dipikul. Kelompok penjual dengan pikulan dikenai pembatasan usaha, maksimal lima bantal setiap satu kelompoknya. Jika dalam satu kelompok membawa lebih dari 5 bantal, maka kelebihannya akan dikenai pajak.

Perlu digarisbawahi bahwa pakaian pada masa Mataram Kuno tidak seperti model pakaian pada masa sekarang. Tidak seperti pakaian pada masa sekarang yang dijahit, pakaian pada masa Mataram Kuno dikenakan tanpa dijahit. Pada umunya, pakaian masyarakat dan bangsawan berupa sehelai atau beberapa kain yang dikenakan dengan cara dibelit ke anggota tubuh yang diinginkan. Penggambaran mengenai pakaian pada masa Mataram Kuno akan dijelaskan lebih detail pada bab tiga (lihat sub bab 3.1).

1.2 Rumusan Masalah

Sumber prasasti dapat menunjukkan bahwa masyarakat Mataram Kuno menggunakan berbagai jenis pakaian. Pakaian dibuat melalui suatu proses yang melibatkan berbagai aktivitas yaitu membuat benang, mencelup dengan warna,

4

Bantal adalah ukuran yang belum diketahui berat dan isinya. Christie (1982:186) memperkiran satu bantal sama dengan seperlima pikul atau setara dengan 20 kati. Dengan perhitungan satu pikul sama dengan 100 kati (Nastiti. 2003: 45).

(6)

dan menenun. Setelah pakaian dibuat, pakaian tersebut dapat dikonsumsi oleh pribadi ataupun dijual kepada konsumen. Agar pakaian sampai kepada konsumen memerlukan suatu proses yang dalam sistem ekonomi disebut distribusi. Proses distribusi pakaian tersebut memerlukan proses, sarana, dan prasarana. Distribusi yang merupakan salah satu dari bagian kegiatan ekonomi, menggambarkan tentang situasi sosial ekonomi pada masa Jawa Kuno. Oleh karena itu, hal ini menarik untuk diteliti. Adapun rumusan masalah yang menjadi pertanyaan penelitian adalah:

1. Bagaimana proses distribusi pakaian pada masa Mataram Kuno abad X M ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi berbagai aktivitas sehingga dapat menggambarkan bagaimana pakaian sampai ke tangan pemakainya, mulai dari proses prduksi sampai distribusi pakaian. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui faktor pakaian didistribusikan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan tentang pendistribusian pakaian pada masa Jawa Kuno abad X M.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Distribusi pakaian yang dimaksud dalam penelitian ini ialah penyaluran dan/atau persebaran pakaian dari tempat produksi ke pemakainya. Penelitian ini tidak hanya terfokus pada pengertian distribusi yang terkait dengan perdagangan

(7)

saja, melainkan juga pada bentuk-bentuk distribusi lain yang lebih luas maknanya yaitu sebagai anugerah, upeti, dan hadiah.

Prasasti yang dijadikan objek penelitian ialah prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Rake Hino Pu Śīṇḍok Śrîśānawikrama Dharmmotuṅgadewa pada abad X M. Alasan pemilihan masa Pu Sindok dikarenakan jumlah prasasti yang dikeluarkan Pu Sindok terbanyak setelah Balitung, yaitu sekitar 26 prasasti5. Dari prasasti yang ada, dipilih sejumlah prasasti yang dijadikan objek penelitian. Penentuannya adalah dengan mencari prasasti abad X M yang memuat keterangan mengenai pakaian secara lengkap (terdapat unsur perdagangan dan/atau pasêk-pasêk pakaian). Konteks pasêk-pasêk masih jelas. Prasasti Pu Sindok yang akan digunakan sebagai data penelitian ini adalah Prasasti Sarangan, Prasasti Gulunggulung, Prasasti Linggasuntan, Prasasti Turryā, Prasasti Jêru-jêru, Prasasti Añjukladang, Prasasti Alasantan, Prasasti Cunggrang II, dan Prasasti Waharu II. Pemilihan prasasti tersebut berdasarkan kelengkapan isi prasasti yang menyebutkan tentang istilah yang terkait dengan pakaian dan jenis-jenis pakaian. Berikut daftar prasasti yang diteliti:

Tabel 1 Daftar Prasasti Sindok yang Diteliti No Prasasti Tahun Saka/

Masehi

Lokasi

Temuan Sumber Acuan

1 Prasasti

Sarangan 851 S/929 M Mojokerto

OJO XXXVII; Christie: 341; Wuryantoro.2012:

5

Jumlah prasasti Pu Sindok tersbeut berdasarkan berbagai macam sumber sebab para ahli menyebutkan berbeda-beda. Christie (1999) menyebutkan 26 prasasti. N.J. Krom menyebutkan 18 prasasti. Wuryantoro menyebutkan 20 prasasti. Poesponegoro (2010) menyebutkan 20 prasasti. Setrawawti menyebutkan 18 prasasti

(8)

241-253 2 Prasasti Waharu II 851 S/ 929 M Jenggala, Surabaya

OJO XLII; Christie: 137; Wuryantoro.2011: 270-279 3 Prasasti Gulunggulung 851 S/929 M Singosari, Malang Christie:337; Wuryantoro.2012:254-268 4 Prasasti Linggasuntan 851 S/929 M Lajawati, Malang Christie: 341; Wuryantoro.2012:270-284

5 Prasasti Turryān 851 S/929 M Turen, Malang Christie: 340; Wuryantoro.2011: 275-287 6 Prasasti Cunggrang II 851 S/ 929 M Gunung Kawi, Singosari Christie: 344; Wuryantoro.2011: 293-300 7 Prasasti Jêru-jêru 852 S/930 M Banyubiru, Singgosari

OJO XLIII; Christie: 347; Wuryantoro.2012: 285-298

8 Prasasti

Añjukladang 859 S/ 937 M

Berbek, Kediri

OJO XLVI; Christie: 356; Wuryantoro.2012:303-10 9 Prasasti Alasantan 861 S/ 939 M Bejijong, Trowulan Christie: 358; Wibowo: 37- 43

Sumber Wibowo. 1979; Christie. 1999; Wuryantoro. 2011; Wuryantoro. 2012. 1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian tentang pakaian pada masa Jawa Kuno yang dilakukan oleh Edhie Wurjantoro (1986), dengan judul “Wḍihan pada Masa Jawa Kuno”, menjelaskan jenis-jenis wḍihan. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa wḍihan yang dikenakan dapat menunjukkan status sosial seseorang.

Penelitian mengenai pakaian menjadi semakin menarik, ketika terdapat penelitian yang menerangkan pengertian pakaian pada masa Jawa Kuno, siapa

(9)

yang menggunakan pakaian, serta fungsi dan peranan pakaian. Penelitian tentang pakaian oleh Aswoto (1994) yakni “Peran Pakaian pada Masa Jawa Kuno”. berdasarkan judulnya, Aswoto menerangkan fungsi dan peranan pakaian bagi masyarakat pada masa Jawa Kuno yaitu sebagai penutup tubuh, pasêk-pasêk dan sajian, serta simbol kedudukan sosial.

Buku berjudul “Sīma dan Bangunan Keagamaan Di Jawa Abad IX-X TU” karya Riboet Dharmosoetopo (2003) menyebut keberadaan pakaian. Lebih lanjut Dharmosoteopo menjelaskan tentang perdagangan di dalam desa-desa yang ditetapkan sebagai sīma. Di dalam kelompok pedagang, penjual pakaian merupakan salah satu komoditas perdagangan. Selain itu, pakaian juga menjadi komponen pasêk-pasêk dalam upacara penetapan sīma.

Jauharoh T. Kurnia (2004) dalam Skripsinya yang berjudul “Fungsi dan Peranan Kerajinan dalam Kehidupan Masyarakat Masa Balitung” menyinggung keberadaan pembuatan pakaian pada masa Mataram Kuno. Disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Balitung terdapat pembuatan kain dari kapas. Meskipun prosesnya tidak diterangkan secara rinci, tetapi proses yang dimaksud dapat diinterpretasikan dari penyebutan berbagai aktivitas yang dapat menggambarkan pembuatan kain, yaitu terkait dengan manênun (menenun), maṅlakha (pembuat warna merah), dan mangambul (mewarnai dengan warna hitam).

Indikasi bukti-bukti pendistribusian pakaian sebenarnya telah disebutkan oleh Nastiti (2004) dalam publikasinya yang berjudul “Pasar pada Masa Jawa Kuno”. Nastiti menyebutkan bahwa kain disebut dalam berita Cina sebagai salah satu jenis komoditas Cina yang diekspor dan diimpor oleh Cina. Dalam prasasti

(10)

memang tidak disebutkan pakaian sebagai komoditi ekspor secara eksplisit. Akan tetapi, menurut Nastiti, beberapa jenis wḍihan dan kain yang disebut dalam prasasti mungkin diimpor, misalnya kain bwat lor dan kain bwat waitan, serta wḍihan bwat kling putih. Keterangan yang lebih lengkap mengenai komoditi ekspor-impor diperoleh dari berita-berita Cina. Jenis kain yang diekspor dari Cina ke Jawa yaitu sutra dan katun (Wheatley 1959 dalam Nastiti: 49-50). Adapun komoditi yang diimpor Cina dari Jawa, baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk diekspor kembali ialah sutra , nila, dan lilin (Wheatley 1959 dalam Nastiti 2003: 50). Dalam publikasi yang sama, Nastiti juga meneyebutkan hasil pertanian yang dapat dikaitkan dengan produksi pakaian, yaitu kapas, katun, sutra, benang, dan bahan pewarna yang langsung dijual tanpa diolah terlebih dahulu (Nastiti 2003: 78).

Ani Triastanti (2007) dalam skripsinya “ Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno” menjelaskan bahwa pada sekitar abad IX-X M, Jawa telah memiliki hubungan dagang dengan Cina (Pinardi dan Mambo. 1993:179). Salah satu komoditi perdagangan yang disebut ialah kain sutra dan kain katun. Lebih lanjut Triastanti menjelaskan bahwa kerajaan Mataram Kuno menggunakan sistem perdagangan yaitu resiprokal dan perdagangan sistem pasar. Namun kemungkinan juga menggunakan perdagangan redistribusi (Triastanti.2007: 73).

Ninik Setrawati (2009) dalam penelitiannya berjudul ”Perdagangan pada masa Pu Sindok” berdasarkan data prasasti memuat tentang berbagai komoditas yang diperdagangkan pada masa Pu Sindok, salah satunya adalah pakaian. Penjual dan pembelinya, alat transportasi dan alat pembayaran, pajak perdagangan, serta

(11)

pejabat yang berkaitan dengan pajak. Pendistribusian pada masa Pu Sindok disinggung dalam penelitian tersebut sebagai bagian dari kegiatan ekonomi. Distribusi berhubungan dengan produksi dan distribusi. Namun tidak dijelaskan secara detail mengenai proses pendistirbusian barang, khususnya pendistribusian pakaian.

Indra Citra Noerhadi (2012) juga meneliti topik serupa dengan Wurjantoro (1986). Noerhadi tidak menggunakan prasassti sebagai data, tetapi relief. Noerhadi meneliti pakaian yang ada dalam relief Karmawibhangga di Candi Borobudur. Penelitian tersebut menghasilkan klasifikasi pakaian berdasarkan status sosial pemakainya.

Untuk memahami mengenai distribusi, khususnya secara ekonomi, diperlukan rujukan mengenai pendistribusian barang. Budiarto (1993) dalam karyanya berjudul Dasar Pemasaran meneranggkan tentang pendistribusian sebuah produk. Distribusi mencakup proses, saluran distribusi, dan sistem distribusi. Budiarto juga menjelaskan tentang pedagagang perantara yang terdiri dari pedagang besar dan pedagang eceran.

Kotler (1993) dalam karyanya berjudul Manajemen Pemasaran menjelaskan tentang kebutuhan dan keinginan manusia yang mempengaruhi permintaan untuk membeli sebuah barang. Permintaan menciptakan daya beli konsumen. faktor tersbut berperan dalam pemasaran. Salah satu dari kegiatan pemasaran tersbut adalah distribusi fisik yakni penyaluran barang kepada konsumen.

(12)

Penelitian tentang pakaian pada masa Jawa Kuno sampai sekarang pada umumnya berkisar pada penjelasan tentang wḍihan (pakaian) dan kain secara umum. Hasil penelitiannya terbatas pada jenis-jenis kain pada masa Jawa Kuno, dikaitkan dengan fungsinya. Penjelasan mengenai aktivitas pembuatan kain pada masa Jawa Kuno belum menjadi fokus kajian. Sementara perdagangan dan pendistribusian pakaian dibahas secara singkat. Adapun penelitian terperinci mengenai metode pendistribusian pakaian pada Masa Mataram Kuno belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka. Penelitian ini menggunakan prasasti sebagai sumber data utama. Data lain yang digunakan sebagai data pendukung ialah berita asing. Tujuannya untuk melihat adanya impor dan ekspor barang. Kemudian, digunakan pula data pendukung lainnya berupa penelitian etnografi untuk mengidentifikasi masalah yang ada.

Pengolahan data prasasti menggunakan pendekatan struktural kritik intern. Kritik intern terdiri atas transliterasi (alih aksara) dan transkripsi (terjemahan) sehingga menghasilkan analitis identitas melalui isi prasasti. Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan melakukan transkripsi saja. Kemudian barulah dilakukan analisis konten yang menyangkut aspek ekonomi dan sosial (Dwiyanto. 1992: 7).

(13)

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan ialah data utama dan data pendukung. Kedua data tersebut diakses melalui sumber sekunder yaitu melalui prasasti yang telah dialihaksarakan oleh peneliti sebelumnya.

a. Data Utama

Prasasti yang diteliti ialah prasasti-prasasti Mataram Kuno abad X M yang dikeluarkan oleh Śrī Mahārāja Rake Hino Pu Śīṇḍok Śrîśānawikrama Dharmmotuṅgadewa. Pemilihan prasasti dilakukan secara purposive sampling, yakni hanya menggunakan sampel terpilih dari seluruh populasi. Pemilihan tersebut berdasarkan kriteria tertentu yaitu prasaasti memuat unsur perdagngan, profesi pengrajin yang berkaitan dengan pakaian, anugerah, dan pasêk-pasêk.

b. Data pendukung

Data Pendukung yang digunakan adalah penelitian etnografi mengenai pembuatan pakaian secara tradisional. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana alur produksi tenun. Rujukan yang digunakan adalah penelitian mengenai produksi tenun di Tuban dan tenun di Lombok. Keduanya diperoleh dari sumber sekunder.

Dicari pula sumber historis lainnya yang sezaman dengan masa Pu Sindok yaitu berita asing, khususnya berita Cina. Kriteria yang dicari adalah berita yang memuat tentang pakaian pada abad X M atau sebelumnya.Cina diperoleh dari sumber sekunder. Penelitian-penelitian sebelumya yang telah membahas mengenai pakaian juga dapat dijadikan rujukan.

(14)

1.6.2 Metode Pengolahan data

Data yang telah dikumpulkan, kemudian diolah sehingga memudahkan peneliti dalam menganalisis. Sebelum menganalisis data prasasti, peneliti melakukan kritik ekstern dan kritik intern. Namun penelitian lebih difokuskan untuk kritik intern berupa penerjemahan prasasti. Tujuannya agar dapat menjelaskan isi prasasti sehingga peneliti mampu menganalisis aspek ekonomi dan sosial budaya pada masa itu. Sementara untuk data selain prasasti tetap menggunakan kritik sumber untuk melihat konteks dan isinya. Hal ini sangat diperlukan dalam penelitian agar tidak ada kerancuan dan meminimalisir kesalahan.

Dari 26 prasasti Sindok, terdapat 9 prasasti yang memuat unsur perdagangan, pengrajin, dan pasêk-pasêk yang berkaitan dengan pakaian. Tujuh di antaranya memuat tentang pasêk-pasêk pakaian, sementara sisanya memuat tentang anugerah dan unsur perdagangan yang berkaitan dengan pakaian.

1.6.3 Meode Analisis Data

Dari sejumlah prasasti Pu Sindok, dicari kata-kata yang berhubungan dengan pakaian masyarakat. Kata-kata tersebut diharapkan dapat menyebutkan tentang aktivitas yang berhubungan dengan pakaian dan jenis pakaian yang ada pada masa Pu Sindok. Kemudian dicari arti dari kata-kata yang ditemukan. Pencarian arti dan makna mengacu pada konteks kalimat prasasti. Agar dapat mengidentifikasi istilah dalam prasasti,diperlukan data etnografi sebagai penunjang. Data etnografi berperan untuk mendeskripsikan secara detail mengenai aktivitas yang berkaitan dengan pakaian.

(15)

1.6.4 Metode Interpretasi Data

Tahap selanjutnya ialah tahap interpretasi. Setelah istilah yang berkaitan dideskripsikan, tahap berikutnya adalah mengklasifikasikan istilah dalam tiga jenis yaitu termasuk dalam bahan baku, profesi yang berkaitan dengan proses pesoduksi atau pendistribusian pakaian, serta barang jadi berupa pakaian itu sendiri.

Selanjutnya peneliti menjelaskan seperti apa proses distribusi pakaian yang berlangsung mulai dari produksi pakaian hingga pendistribusiannya. Keterangan lain yang dijelaskan adalah mencari bagaimana pakaian tersbeut didistribusikan (saluran distribusi). Dari saluran distribusi tersbut dapat dilihat faktor yang melatarbelakangi pendistrbusian pakaian.

1.6.5 Kesimpulan

Terakhir adalah kesimpulan dari hasil penelitian. Jawaban atas permasalahan yang diteliti dikemukakan dalam bab terakhir.

Gambar

Tabel 1 Daftar Prasasti Sindok yang Diteliti  No  Prasasti  Tahun Saka/

Referensi

Dokumen terkait

Maksud dari penelitian ini adalah untuk melakukan kajian terhadap rencana pembangunan jalan (missing link) di Kabupaten Lombok Timur dalam rangka mendukung

Kejadian hiperemesis gravidarum lebih sering dialami oleh primigravida daripada multigravida, hal ini berhubungan dengan tingkat stres dan usia ibu saat mengalami

Dari penutupan lahan diatas, didapatkan pada RTH mempunyai nilai suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun (RTB) hal ini dikarenakan RTH

Sapi bali yang dipelihara di TPA hidup dilepas di timbunan sampah, sehingga sapi tersebut memakan sampah- sampah yang ada di TPA yang kemungkinan besar tercemar

Khususnya bagi guru bidang studi matematika bahwa pembelajaran Synectics realistik berbantuan schoology merupakan salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan

Yusuf menjelaskan : ‚bertahun-tahun iyang lalu saya berfatwa sebagaimana yang difatwakan oleh para ulama, yaitu seorang istri apabila ia masuk Islam, maka wajib dipisah

IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB), salah satu kesepakatan yang dicapai oleh

Sebagai pegangan kasar untuk menentukan diameter pipa pada berbagai debit dan panjang pipa dapat digunakan Tabel 4 yang didasarkan pada kecepatan aliran dalam pipa lebih kecil