KAJIAN PENGETAHUAN DAN SIKAP PETANI DALAM MENGENDALIKAN HAMA PENGGEREK BUAH KAKAO (PBK)
DI KECAMATAN BIRU-BIRU KABUPATEN DELI SERDANG Oleh: Yuliana Kansrini*)
Abstrak
Hama Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan hama utama tanaman kakao. Serangan hama PBK kakao dapat menurunkan produksi hingga 80%. Pengendalian hama terpadu (PHT) atau Integrated Pest Management (IPM) merupakan salah satu sistem pengelolaan usaha pertanian yang sesuai dengan Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Dalam beberapa hal, batasan tentang IPM relatif beragam akan tetapi pada konsepnya suatu strategi pengendalian hama berbasis ekologi sehingga keberhasilannya sangat ditentukan oleh peningkatan pengetahuan petani, penggunaan cultivar yang secara genetis tahan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, Selanjutnya Konsep PHT merupakan suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian hama dan penyakit tumbuhan yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.
Lokasi penelitian dilakukan di Desa Candirejo Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengetahuan, sikap petani dalam mengendalikan hama PBK. Penelitian menggunakan metode diskriptif dimana data yang diperoleh diolah dengan cara tabulasi dan skoring. Hasil Penelitian menunjukkan Sikap petani rata-rata bersikap Positif/setuju dalam pengendalian hama PBK dengan nilai rata-rata skor 83,33 %.
Kata Kunci: PHT Kakao, Hama PBK, Pengetahuan, Sikap
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Tanaman kakao merupakan inang berbagai spesies serangga, salah satu diantaranya adalah hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella Snell. Hama
Penggerek Buah Kakao (PBK) merupakan hama utama kakao saat ini di Indonesia. Serangan hama PBK menyebabkan hancurnya budidaya tanaman kakao di Indonesia. PBK merupakan hama kakao yang sangat berbahaya dan sekarang menimbulkan permasalahan Internasional terutama upaya pencegahan meluasnya areal serangan dan teknologi pengelolaannya. Penggerek buah kakao mempunyai potensi merusak cukup besar dan hingga sekarang masih sulit untuk dikendalikan. Kerusakan akibat serangan PBK dapat menurunkan produksi hingga 80% biji kakao kering (Wardoyo, dkk) dalam (Suharyanto, dkk).
Penggerek buah kakao merupakan hama yang paling penting karena sulit dideteksi keberadaannya dan sulit dikendalikan, karena selama stadium larva berada dalam buah kakao. Mengingat semakin luasnya penyebaran hama PBK dan besarnya kerugian yang ditimbulkannya, maka perlu segera diupayakan metode penanggulangan yang efektif dan efisien. Strategi pengelolaan PBK di Indonesia berpedoman pada Konsep PHT. Teknik pengelolaan PBK yang digunakan didasarkan pada keadaan serangan PBK, yaitu daerah bebas serangan, daerah serangan terbatas dan daerah serangan luas, serta melihat kondisi pertumbuhan dan umur tanaman kakao (Sulistyowati, 1997).
Pengetahuan terhadap persepsi petani dan Pelaksanaan SL-PHT Kakao dalam mengendalkian PBK yang diterapkan saat ini perlu diidentifikasi untuk meyakinkan bahwa paket pengendalian PBK dengan Konsep PHT dapat diterima oleh petani. Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespon sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun negatif. Selanjutnya sejalan dengan pendapat Nuraini dan Sudarta (1991) sikap adalah kecendrungan untuk menerima (sikap positip) atau menolak (sikap negatip) terhadap suatu inovasi yang dianjurkan.
B. Tujuan Pengkajian
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan sikap petani dalam mengendalikan hama PBK pada tanaman Kakao dengan menggunakan konsep PHT.
C. Kegunaan
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi penyuluh/petani dalam pengendalian hama PBK di lapangan.
METODE PELAKSANAAN
Penelitian dilakukan pada bulan Nopember-Desember 2009 di Desa Candirejo Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang, dengan pertimbangan bahwa desa tersebut merupakan sentra produksi kakao dan semua kelompoktaninya sudah mengikuti SL-PHT kakao. Adapun penentuan sampel menggunakan teknik random sampling, dengan jumlah 30 orang responden. Pengumpulan data primer menggunakan kuisioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait, buku, hasil penelitian, Programa, Monografi desa. Data yang dikumpulkan meliputi karakteristik petani, pengetahuan, sikap dan perilaku petani dalam penerapan Konsep PHT untuk mengendalikan hama PBK di lapangan. Analisis data dengan menggunakan statistik sederhana, skoring dan interpretasi kualitatif terhadap jawaban yang dikemukakan oleh petani responden. Untuk mengetahui tingkat perilaku petani dalam pengendalian hama PBK diukur dalam skor yang meliputi (1) kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (2) panen sering; (3) sanitasi (4) penyarungan buah, (5) Penggunaan Musuh Alami/Agen hayati (Semut Hitam, Jamur Beuveria bassiana), (6) penggunaan insektisida. Adapun nilai skor yang digunakan adalah: (1) hampir tidak pernah; (2) kadang-kadang; dan (3) sering. Skor yang diperoleh dari masing-masing item pertanyaan dijumlahkan sehingga diperoleh skor total Tingkat Pengetahuan Petani dalam pengendalian PBK dikategorikan menjadi tiga kelas, yaitu rendah (10-16,7), sedang (16,8-23,5), dan tinggi (23,6-30). Pengkategorian menggunakan rumus interval (Dajan, 1996):
K J I
Dimana :
I = Interval kelas
J = Jarak antara skor maksimum dan skor minimum K = Banyaknya kelas yang digunakan
Tabel 1. Deskripsi Pengendalian Hama PBK dan Skala Penilaiannya di Kecamatan Biru-biru Tahun 2008
Pilihan jabawan responden No Strategi pengendalian
Tinggi Sedang Rendah
1 Kultur teknis, meliputi pangkasan
pemeliharaan, pangkasan
produksi, pemupukan dan pohon pelindung
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
2 Panen sering, dilakukan
terhadap buah masak, masak fisiologis, dan buah terserang PBK. Interval panen 5-7 hari.
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
3 Sanitasi, pembenaman kulit buah
dan plasenta dengan kedalaman sekitar 20 cm.
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
4 Penyarungan buah dilakukan
pada umur 3 bulan yang
diperkirakan panjang 8-10 cm, menggunakan kantong p;lastik,kertas, koran Sering Kadang-kadang Tidak pernah
5. Penggunaan Musuh Alami dan
Agen Hayati (Semut Hitam,
jamur Beuveria bassiana)
Sering
Kadang-kadang
Tidak pernah
6. Penyemprotan insektisida
dilakukan terutama jika serangan PBK dengan criteria berat sudah mencapai 30%, pada buah kakao berumur 3 bulan atau panjang sekitar 8-10 cm. Sering Kadang-kadang Tidak pernah Total skala 23,6 -30 16,8 -23,5 10-16,7 Defenisi Operasional
Defenisi operasional yang digunakan pada kajian ini yaitu:
1. Pengendalian hama PBK adalah pengendalian hama Penggerek buah Kakao yang dilakukan petani di daerah pengkajian dengan konsep PHT yang terdiri dari (a)kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (b) panen sering; (c) sanitasi (d) penyarungan buah, (e) Penggunaan Musuh Alami/Agen hayati (Semut Hitam, Jamur Beuveria bassiana), (f) penggunaan insektisida.
2. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui petani responden tentang cara mengendalikan hama Penggerek Buah kakao yang terdiri dari (a) kultur teknis: pemangkasan, pemupukan, pohon penaung; (b) panen sering; (c) sanitasi (d) penyarungan buah, (e) Penggunaan Musuh Alami/Agen hayati
(Semut Hitam, Jamur Beuveria bassiana), (f) penggunaan insektisida. Pengetahuan dalam hal ini dikatagorikan atas Tinggi, Sedang dan Rendah.
3. Sikap merupakan tanggapan atau reaksi responden terhadap pengendalian hama Penggerek Buah Kakao dengan konsep PHT yang dikatagorikan positif/setuju dan negative.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Petani Responden
Tingkat pendidikan petani responden di Kecamatan Biru Biru Kabupaten Deli Serdang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan Petani Responden di Kecamatan Biru-biru Kabupaten Deli Serdang
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Petani
(orang) Persetase (%) 1. SD 12 40,0 2 SMP 8 26.6 3. SLTA 8 26,7 4. Perguruan Tinggi 2 6,7 Jumlah 30 100
Sumber : Analisis Data Primer Tahun 2008
Tingkat pendidikan formal merupakan penentu dalam kualitas sumberdaya manusia. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal petani akan semakin rasional cara berfikirnya dan daya nalarnya. Pendidikan merupakan sarana belajar untuk meningkatkan pengetahuan yang selanjutnya akan menanamkan pengertian sikap dan mempengaruhi kemampuan petani dalam mengadopsi suatu teknologi. Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator untuk mengukur keikutsertaan petani dalam kegiatan yang dilaksanakan di kelompok. Hal ini disebabkan secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah untuk mengajaknya berpartisipasi dalam suatu kegiatan.
Umur petani berpengaruh kepada kemampuan belajar petani. Semakin tinggi umur petani maka kemampuan belajar semakin rendah. Rata-rata umur petani responden adalah 50 tahun dengan kisaran 31- 70 tahun, hal ini menunjukkan bahwa umur petani di lokasi penelitian sangat beragam. Sehingga dalam menerapkan Konsep PHT dalam mengendalikan hama PBK di lahan usahataninya cukup beragam. Menurut pendapat Mardikanto (1993), umur akan
berpengaruh kepada tingkat kematangan sesorang (baik kematangan fisik maupun emocional). Selain dari pada itu Umur juga berpengaruh terhadap kapasitas belajar seseorang. Kapasitas belajar seseorang umumnya berkembang cepat sampai usia 20 tahun dan dan semakin berkurang hingga puncaknya sampai dengan umur berkisar 50 tahun (Dahama dan Bhatnagar 1990 dalam Mardikanto 1993). Agar lebih jelasnya umur petani responden disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Umur Petani Responden di Kecamatan Biru-biru Tahun 2008
No. Klasifikasi Umur (th) Jumlah (orang) Persentase (%)
1. 30 – 40 13 43,3
2 41 – 50 4 13,3
3. 51 – 60 6 20,0
4. 61 -70 7 23,4
Jumlah 30 100
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2008
Luas lahan kakao yang diusahakan oleh petani responden berkisar 0,08-5,5 hektar dengan luas rata-rata 0,7 hektar yang ditanami dengan kakao dan pohon pelindung kelapa, Gelericidea, Karet, Durian, Pisang. Luas lahan tanaman kakao petani responden disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Luas Lahan Tanaman Kakao Petani Responden di
Kecamatan Biru-Biru Tahun 2008
No. Luas Lahan
(ha) Jumlah Petani Responden (orang) Persentase (%) 1. 0,1 – 1,0 18 60,0 2 1,1 – 2,0 4 13,3 3. 2,1 – 3,0 6 20,0 4. 3,1 – 4,0 1 3,3 5. > 5 1 3,3 Jumlah 30 100,0
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2008
Pengembangan tanaman kakao pada umumnya menghadapi laju peningkatan biaya produksi yang jauh lebih cepat dari pada laju kenaikan harga produksi, resiko serangan hama, penyakit dan musim yang terkadang tidak mendukung produksi. Akibatnya petani harus menyesuaikan penggunaan faktor input pada tingkat yang optimum untuk memperoleh keuntungan maksimum. Resiko kegagalan panen akan lebih besar apabila pola usaha yang diterapkan adalah monokultur,
yaitu pola usaha yang hanya mengandalkan hasil kakao dari unit yang diusahakan. Diversifikasi usahatani merupakan salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan petani karena dapat mengurangi resiko kegagalan. Sejalan dengan Pendapat Lionberger (1960) dalam Mardikanto 1993 menyatakan bahwa selain umur,keberanian mengambil resiko, tingkat partisipasi, luas lahan juga mempengaruhi kecepatan adopsi terhadap inovasi dimana semakin luas lahan usahataninya biasanya semakin cepat mengadopsi karena memilki kemampuan ekonomi yang lebih baik.
B. Pengetahuan Petani
Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap, dan pada gilirannya melahirkan perbuatan atau tindakan. Dengan adanya wawasan petani yag baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan perilaku. Tingkat pengetahuan petani dalam pengendalian PBK tergolong dalam kategori sedang (86,67%), dan tinggi (13,33%). Pengetahuan petani responden dalam mengendalikan PBK dengan pendekatan Konsep-PHT disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil Pengkajian Pengetahuan Petani dalam Mengendalikan PBK dengan Konsep PHT di Kecamatan Biru-Biru Tahun 2008
No. Katagori Rata-rata skor Jumlah Petani (orang) Persentase (%) 1. Rendah 2. Sedang 21,3 26 86,67 3. Tinggi 27,5 4 13,33 Jumlah 30 100,00
Sumber: Analisis Data Primer Tahun 2008
Rendahnya pengetahuan petani dalam pengendalian hama PBK tentunya akan berdampak terhadap tingkat serangan dan perilaku petani dalam mengendalikan hama tersebut. Hal ini berhubungan dengan tingkat pendidikan petani responden yang berpendidikan rata-rata Sekolah Dasar (SD) 40%. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarta (2002) dalam Suharyanto (2007) pengetahuan petani sangat
membantu dan menunjang kemampuannya untuk
tingkat pengetahuan petani maka kemampuannya dalam mengadopsi teknologi di bidang pertanian juga tinggi ataupun sebaliknya. Selain itu tingkat pendidikan juga Dengan demikian langkah awal yang harus dilakukan dalam hal pengendalian hama PBK adalah sosialisasi memberikan pemahaman kepada petani tentang bioekologi dan gejala kerusakan yang ditimbulkan oleh hama PBK beserta dampak kerugian apabila tanaman kakao sampai terserang berat. Pendekatan SL- PHT merupakan metode pembelajaran yang menggunakan priinsip AKOSA (Alami, Kemukakan, Olah, Simpulkan dan Aplikasikan). Metode merupakan metode yang sangat sesuai bagi orang dewasa yang mempunyai sifat tidak mau digurui. Dimana para petani diajak untuk mengalami apa yang terjadi pada dilahan kakaonya, mengamati, menganalisis sampai mencari jawaban metode pengendalian yang akan dilakukan.
Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian melahirkan sikap diikuti perbuatan atau tindakan. Dengan adanya pengetahuan yang baik tentang suatu hal, akan mendorong terjadinya perubahan perilaku sebagaimana yang dikatakan oleh Ancok (1997), bahwa adanya pengetahuan tentang manfaat suatu hal akan menyebabkan seseorang bersikap positif terhadap hal tersebut. Niat untuk ikut serta dalam suatu kegiatan, sangat tergantung pada apakah seseorang mempunyai sikap positif terhadap kegiatan itu. Adanya niat yang sungguh-sungguh untuk melakukan suatu kegiatan akhirnya dapat menentukan apakah kegiatan itu betul-betul dilakukan. Dengan demikian petani yang mempunyai wawasan positif terhadap pendekatan SL-PHT maka dapat mendorong untuk menerapkannya dalam mengendalikan PBK pada usahataninya.
C. Sikap Petani Terhadap Hama PBK
Sikap petani terhadap inovasi teknologi sangat tergantung dari pengetahuan dan pengalaman lapangan mereka. Sikap petani responden dalam melakukan pengendalian hama PBK masing-masing bersikap Positif/Setuju (83,33%), Negatif (16,67%), agar lebih jelas hasil pengkajian terhadap sikap disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil pengkajian Sikap Petani dalam Mengendalikan PBK di Kecamatan Biru-Biru Kabupaten Deli Serdang
No. Katagori Rata-rata skor Jumlah
Petani
Persentase (%)
1. Negatif 25,6 5 16,67
3. Positiv 22,2 25 83,3
Jumlah 30 100
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer
Data pada Tabel 8, menunjukkan bahwa petani tidak ragu-ragu terhadap penerapan pendekatan Konsep PHT dalam mengendalian hama PBK. Untuk itu diseminasi ataupun penyuluhan pertanian yang disertai praktek lapang mutlak untuk dilakukan guna untuk lebih menyakinkan bahwa metode pengenalian PBK sesungguhnya dapat mengurangi tingkat serangan PBK walaupun tidak sampai menghilangkan hasil sama sekali, karena seperti diketahui hama PBK sangat mudah sekali untuk menyebar dari satu daerah ke daerah lain.
Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan pendorong yang ada pada individu untuk bereaksi terhadap lingkungan. Sikap tidak selamanya tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain. Individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapi. Diantaranya berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media masa, institusi atau lembaga pendidikan dan lembaga agama serta faktor emosi di dalam diri individu (Azwar, 2000). Sikap yang diperoleh lewat pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya. Sikap petani dapat dilihat dari kekosmopolitan responden yang dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan yang dilakukan serta pemanfaatan media massa yang digunakan untuk memperoleh informasi. Selanjutnya Soekartawi (1988) menyatakan perilaku penerapan inovasi dipengaruhi oleh beberapa faktor dari dalam diri petani maupun faktor dari luar lingkungan. Faktor dari dalam diri meliputi umur, pendidikan, status sosial, pola hubungan sikap terhadap pembaharuan, keberanian
mengambil resiko, aspirasi dan dogmatis (sistem kepercayaan tertutup). Termasuk faktor lingkungan antara lain, kekosmopolitan, jarak ke sumber informasi, frekuensi mengikuti penyuluhan, keadaan prasarana dan sarana, proses memperoleh sarana produksi. Hal ini sejalan dengan pendapat Gultom (1989), menyatakan bahwa perubahan sikap atau perilaku seseorang sebagai akibat penerimaan informasi melalaui komunikasi penyuluhan (proses pembelajaran) seperti SL-PHT bagi seseorang mempunyai waktu yang berbeda-beda cepat, sedang dan lambat atau bahkan yang tidak mau berubah. Banyak faktor yang mempengaruhi seperti kejiwaan, pendidikan, umur.
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN
1. Tingkat pengetahuan petani dalam pengendalian hama PBK termasuk dalam katagori sedang (86,67%). Hal ini tentunya berkaitan dengan tingkat pendidikan petani responden yang umumnya berpendidikan Sekolah Dasar 2. Sikap petani terhadap penerapan konsep PHT rata-rata
bersikap positif/setuju dengan nilai rata-rata skor 83,33%. 3. Terdapat korelasi antara tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku petani dalam pengendalian hama PBK dimana semakin tinggi pengetahuan petani cendrung akan bersikap positiv dan cendrung akan berperilaku baik dalam menerapkan Konsep PHT untuk mengendalikan Penggerek Buah Kakao (PBK).
B. SARAN
Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap petani dalam penerapan metode Konsep PHT di lapangan perlu pembinaan dari Pemandu Lapang/penyuluh secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Anonimus, 2001. Petunjuk Pelaksanaan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) Kakao. Bagian Proyek PHT-PR/IPM-SECP Sumatera Utara Medan.
Azwar, Saifuddin, 2000. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Edisi ke 2, Cetakan ke IV. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Dajan, A. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. Penerbit
LP3ES. Jakarta.
Gultom, H.L.T. 1990. Dasar-dasar Penyuluhan Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Mardikanto T, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. UNS Press Surakarta
Nuraini, Ni Ketut dan Sudarta, Wayan, 1991. Perilaku Petani Terhadap Pemakaian Insektisida dalam Pengendalian Hama Tanaman Padi di Desa Kayu Putih, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Universitas Udayana Denpasar.
Sudarto, W. 2002. Pengetahuan dan Sikap Petani terhadap Hama Terpadu. Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian dan Agribisnis, SOCA. Volume 2 No.1. Januari 2002. Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Denpasar.
Suharyanto, Suprapto dan Rubiyo. 2004. Analisis Pendapatan dan Distribusi Pendapatan Tanaman Perkebunan Berbasis Kelapa di Kabupaten Tabanan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Soekartawi, 1988. Konsep Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-press). Jakarta.
Sulistyowati, E. Prospek Pemanfaatan Tanaman Tahan Dalam Pengelolaan hama Penggerek buah Kakao. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia,Jember.
Wardoyo, 1990. The Cocoa Pod Borer a Major Hidransce to Cocoa Development. Indonesian Agricultural Research Development Journal,Jakarta