• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Analisis. Tabel IV.1. Koefisien keragaman C v dan nilai rata-rata bulanan LPM dan radiasi matahari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hasil dan Analisis. Tabel IV.1. Koefisien keragaman C v dan nilai rata-rata bulanan LPM dan radiasi matahari"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

48

Bab IV Hasil dan Analisis

IV.1 Analisis Variabilitas

Data harian Lama Penyinaran Matahari (LPM) dan radiasi matahari dari 14 stasiun BMKG terlebih dahulu diolah menjadi data bulanan. Data untuk masing-masing stasiun tersebut dapat disajikan dalam bentuk grafik seperti terlihat pada Lampiran A, yaitu A.1 sampai dengan A.14 sebelah kiri untuk data LPM bulanan dan A.1 sampai dengan A.14 sebelah kanan untuk data radiasi matahari bulanan. Untuk keperluan analisis variabilitas, kemudian dihitung koefisien keragaman Cv dan nilai rata-rata bulanannya A. Hasil perhitungan koefisien keragaman Cv untuk data bulanan LPM dan radiasi matahari dari 14 stasiun BKMG tersebut disajikan dalam Tabel IV.1.

Tabel IV.1. Koefisien keragaman Cv

No.

dan nilai rata-rata bulanan LPM dan radiasi matahari

Kota - Nama Stasiun Periode Data LPM Radiasi matahari Cv A (jam) (%) Cv A (MJ.m (%) -2.hari-1) 1. Medan - Staklim Sampali 1999 - 2003 23 5,80 38 7,93 2. Padang - Staklim Sicincin 1991 - 1999 34 5,61 44 11,82 3. Palembang - Staklim Kenten 1994 - 2001 17 6,21 22 8,61 4. Bengkulu - Staklim P. Baai 1994 - 2003 13 7,22 10 13,78 5. Bogor - Staklim Darmaga 1993 - 2003 23 6,72 32 10,32 6. Bandung - Stageof Cemara 1994 - 2003 24 7,16 29 12,01 7. Semarang - Staklim Siliwangi 1994 - 2003 31 6,57 32 13,21 8. Malang - Staklim Karangploso 1994 - 2003 19 7,22 12 12,81 9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 1995 - 2003 32 5,03 42 10,75 10. Pontianak - Staklim Siantan 1992 - 2002 25 5,40 11 17,73 11. Manado - Staklim Kayuwatu 1992 - 2002 20 6,40 31 12,35 12. Makassar - Staklim Panakkukang 1991 - 1998 22 7,26 80 11,21 13. Mataram - Stamet Selaparang 2001 - 2004 34 6,18 51 9,15 14. Kupang - Staklim Lasiana 1994 - 2002 16 8,26 49 12,36

Wilayah Indonesia yang terletak di daerah ekuatorial menerima radiasi matahari tergolong tinggi. Rata-rata bulanan radiasi matahari berkisar antara 7,93 – 17,73 MJ.m-2.hari-1. Radiasi matahari terendah terjadi di Medan dan tertinggi di Pontianak. Sebagai kota yang terletak di garis khatulistiwa, Pontianak menerima sinar matahari lebih banyak daripada lokasi lain yang jauh dari garis khatulistiwa.

(2)

49

Meski menerima intensitas radiasi yang tinggi, namun waktu penyinaran matahari di Pontianak tergolong singkat, yaitu hanya 5 jam 1 menit 48 detik dalam sehari (basis 12 jam). Tingginya intensitas radiasi matahari tersebut menyebabkan terjadinya pemanasan permukaan bumi. Akibatnya konvektivititas di ekuator menjadi kuat sehingga terjadi peningkatan pembentukan awan. Apabila kondisi langit lebih sering berawan (cloudysky) atau bahkan hujan daripada langit cerah

(clearsky), maka awan-awan tersebut akan menghalangi radiasi matahari.

Akibatnya radiasi matahari yang sampai di permukaan bumi akan berkurang. Berkurangnya radiasi matahari tersebut menyebabkan semakin pendeknya kertas pias yang terbakar pada alat pengukur durasi penyinaran matahari (Campbell Stokes). Semakin pendek kertas pias yang terbakar, menunjukkan semakin singkatnya waktu penyinaran matahari di lokasi tersebut.

Variabilitas radiasi matahari di Indonesia umumnya tergolong sedang, yaitu berkisar 10 – 51%, kecuali Makassar yang memiliki variabilitas sangat tinggi hingga mencapai 80%. Variabilitas radiasi matahari yang rendah menunjukkan keragaman radiasinya rendah, sebaliknya variabilitas yang tinggi menunjukkan keragaman radiasi yang tinggi. Waktu penyinaran matahari di Indonesia yang ditunjukkan dengan LPM (Lama Penyinaran Matahari) berkisar antara 5 jam 1 menit 48 detik sampai 8 jam 15 menit 36 detik (basis 12 jam). LPM paling singkat terjadi di Banjarbaru dan LPM terlama terjadi di Kupang. Seperti halnya Pontianak, Banjarbaru yang juga terletak di pulau Kalimantan memiliki waktu penyinaran matahari yang tergolong singkat. Sebaliknya Kupang memiliki waktu penyinaran paling panjang diantara kota-kota yang ditinjau. Hal ini berkaitan dengan kondisi langit cerah yang terjadi di Kupang dan kebanyakan wilayah Indonesia bagian timur lainnya, sehingga sinar matahari tidak terhalang dan lebih banyak yang sampai ke permukaan bumi. Kota-kota lain di wilayah timur Indonesia seperti Manado, Makassar dan Mataram juga menerima radiasi matahari cukup tinggi masing-masing 12,35, 11,21 dan 9,15 MJ.m-2.hari-1

Variabilitas LPM di Indonesia selama kurun waktu 1991-2004 umumnya rendah, yaitu antara 16 – 34%. Rendahnya variabilitas LPM tersebut berkaitan dengan

(3)

50

periode pengamatan yang ditinjau, yaitu bulanan. Untuk periode pengamatan yang lebih pendek (misal harian atau jam-an) tentu LPM akan memiliki variabilitas yang lebih tinggi.

IV.2 Analisis Korelasi

Seperti telah diuraikan dalam Bab II, bahwa nilai konstanta matahari tidak konstan, tetapi berubah terhadap waktu meski perubahannya kecil. Perubahan tersebut diduga berhubungan dengan aktivitas matahari dan sinar kosmik. Oleh karena itu, ketiga parameter tersebut (konstanta matahari, aktivitas matahari yang ditunjukkan dengan bilangan sunspot dan sinar kosmik) memiliki hubungan atau korelasi antara satu parameter dengan parameter lainnya. Mengingat radiasi matahari berkaitan erat dengan konstanta matahari (solar constant), maka analisis korelasi dilakukan antara konstanta matahari dengan bilangan sunspot dan sinar kosmik. Analisis korelasi tersebut dilakukan dengan menghitung koefisien korelasinya dan hasilnya dirangkum dalam Tabel IV.2.

Tabel IV.2 Koefisien korelasi antara konstanta matahari dengan sinar kosmik dan bilangan sunspot

Uraian Korelasi - r

Bulanan Tahunan Konstanta Matahari - Bilangan Sunspot 0,89 0,96 Konstanta Matahari - Sinar Kosmik -0,65 -0,69 Bilangan Sunspot - Sinar Kosmik -0,73 -0,77

Pada Tabel IV.2 diatas terlihat bahwa koefisien korelasi tersebut cukup signifikan baik data bulanan maupun tahunan. Tingginya koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa kedua parameter (sinar kosmik dan bilangan sunspot) mempunyai hubungan erat dengan konstanta matahari. Ada dua tipe korelasi (derajat hubungan) antara konstanta matahari dengan kedua parameter tersebut, yaitu korelasi positif dan negatif.

Secara fisis, korelasi positif (r > 0) ditandai dengan bertambahnya nilai suatu parameter yang diikuti bertambahnya nilai parameter lain yang terkait. Dalam penelitian ini, tampak bahwa meningkatnya aktivitas matahari yang ditunjukkan

(4)

51

oleh bilangan sunspot diikuti dengan kenaikan nilai konstanta matahari. Koefisien korelasi antara konstanta matahari dan bilangan sunspot sangat tinggi dengan tipe positif, yaitu 0,89 (bulanan) dan 0,96 (tahunan). Tingginya koefisien korelasi tersebut menunjukkan bahwa keduanya mempunyai hubungan yang kuat (sangat erat). Dengan demikian, apabila aktivitas matahari meningkat (ditunjukkan dengan bertambahnya bilangan sunspot), maka akan berpengaruh pada konstanta matahari yang nilainya juga akan meningkat. Sebaliknya korelasi negatif (r < 0) ditunjukkan dengan bertambahnya nilai suatu parameter yang diikuti berkurangnya nilai parameter lain yang terkait. Dalam penelitian ini, tampak bahwa meningkatnya sinar kosmik diikuti dengan menurunnya nilai konstanta matahari. Koefisien korelasi antara konstanta matahari dan sinar kosmik cukup tinggi, yaitu – 0,65 (bulanan) dan – 0,69 (tahunan). Sedangkan koefisien korelasi antara bilangan sunspot dan sinar kosmik adalah – 0,73 (bulanan) dan – 0,77 (tahunan). Kedua korelasi tersebut bertipe negatif (r < 0). Jadi saat jumlah sinar kosmik bertambah, justru aktivitas matahari sedang menurun yang ditunjukkan dengan berkurangnya bilangan sunspot. Demikian pula halnya dengan konstanta matahari yang nilainya berkurang.

Pengaruh aktivitas matahari terhadap variasi konstanta matahari dikemukakan oleh Lean (1991) dan Wilson (1997). Lean (1991) melakukan simulasi variabilitas irradiansi matahari selama 113 tahun (1880-1993) dan menemukan adanya variasi konstanta matahari sebesar 0,5%. Sedangkan Wilson (1997) menemukan adanya variasi sebesar 0,1% berdasarkan pengamatan satelit selama satu siklus matahari, yaitu pada siklus ke 21 (1976-1986). Penentuan nilai absolut konstanta matahari dan variasinya terhadap waktu sangat diperlukan dalam penelitian iklim (Sinambela, 1998). Sementara itu, Svensmark (1997) menemukan adanya korelasi antara liputan awan dan temperatur global dengan sinar kosmik. Adanya pengaruh sinar kosmik terhadap liputan awan, tentunya akan berpengaruh pula pada konstanta matahari. Untuk melihat sejauhmana tingkat korelasi antara konstanta matahari dengan bilangan sunspot dan sinar kosmik serta mengetahui pengaruh aktivitas matahari dan sinar kosmik pada konstanta matahari, maka dilakukan analisis pengaruh kedua parameter tersebut pada konstanta matahari. Analisis ini

(5)

52

perlu dilakukan mengingat nilai konstanta matahari yang bervariasi (tidak tetap) serta adanya keterkaitan variasi nilai tersebut dengan kedua parameter.

IV.2.1 Analisis Pengaruh Aktivitas Matahari pada Konstanta Matahari Untuk keperluan analisa pengaruh aktivitas matahari pada konstanta matahari, digunakan data rata-rata harian bilangan sunspot dan konstanta matahari pada periode Januari 1979 – September 2003 yang diolah menjadi rata-rata bulanan dan tahunan. Kemudian diperoleh Gambar IV.1 dan IV.2 yang menunjukkan pengaruh aktivitas matahari pada konstanta matahari.

Gambar IV.1 Rata-rata bulanan konstanta matahari dan bilangan sunspot periode tahun 1979 – 2003.

Dari grafik pada Gambar IV.1 tampak bahwa kecenderungan pola variasi rata-rata bulanan konstanta matahari hampir serupa dengan pola bilangan sunspot. Siklus variasi rata bulanan konstanta matahari tampak mengikuti siklus variasi rata-rata bulanan bilangan sunspot. Saat aktivitas matahari maksimum (ditunjukkan dengan tingginya bilangan sunspot), konstanta matahari pun meningkat. Demikian pula sebaliknya. Berdasarkan fenomena ini, terlihat bahwa aktivitas matahari berpengaruh terhadap besaran konstanta matahari.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 1365.4 1365.6 1365.8 1366.0 1366.2 1366.4 1366.6 1366.8 1367.0 B ila ng a n Suns p o t K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Tahun

Rata-rata bulanan Konstanta mataharidan Bilangan Sunspot Tahun 1979 - 2003 (Filtering)

Koefisien korelasi = 0.89

Konst. Matahari Bilangan Sunspot

(6)

53

Kecenderungan variasi konstanta matahari yang mengikuti pola variasi aktivitas matahari seperti ditunjukkan pada Gambar IV.1 (rata-rata bulanan) dan Gambar IV.2 (rata-rata tahunan) tersebut menunjukkan adanya pengaruh aktivitas matahari pada konstanta matahari baik jangka pendek (bulanan) maupun jangka panjang (tahunan). Menurut Lean (1991) dalam skala waktu jangka pendek, konstanta matahari akan berkurang ketika sunspot banyak. Sebaliknya akan bertambah ketika ada fakulae cemerlang pada piringan matahari. Sunspot dan fakulae akan melimpah pada piringan matahari jika aktivitas matahari mencapai maksimum dan menghilang saat aktivitas matahari minimum.

Gambar IV.2 Rata-rata tahunan konstanta matahari dan bilangan sunspot periode tahun 1979 – 2003.

Gambar IV.2 diatas menunjukkan bahwa pola nilai rata-rata tahunan konstanta matahari menyerupai pola rata-rata tahunan bilangan sunspot dengan korelasi sangat kuat (r = 0,96). Gambar diatas memperlihatkan siklus matahari ke-21 (1976-1986) dan ke-22 (1987-1997). Pada siklus matahari ke-21, nilai rata-rata tahunan konstanta matahari mencapai maksimum pada tahun 1979 sebesar 1366,56 W.m-2 (lihat Tabel IV.3). Hal ini terjadi bersamaan dengan waktu puncak aktivitas matahari siklus ke-21 yang mencapai maksimum dengan rata-rata

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 1365.4 1365.6 1365.8 1366.0 1366.2 1366.4 1366.6 1366.8 1367.0 B ila ng a n Suns p o t K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Tahun

Rata-rata tahunan Konstanta mataharidan Bilangan Sunspot

Tahun 1979 - 2003 Koefisien korelasi = 0.96

Konst. Matahari Bilangan Sunspot

(7)

54

tahunan bilangan sunspot sebesar 155,3. Mulai tahun 1980, nilai konstanta matahari berkurang secara perlahan mengikuti berkurangnya aktivitas matahari. Nilai konstanta matahari mencapai minimum pada saat matahari tenang tahun 1985-1986 dengan nilai rata-rata 1365,54 W.m-2. Nilai terendah terjadi tahun 1986 sebesar 1365,54 W.m-2 bersamaan dengan aktivitas matahari minimum. Pada awal siklus matahari ke-22 (1987-1997), nilai konstanta matahari mulai bertambah seiring bertambahnya aktivitas matahari. Nilai konstanta matahari mencapai maksimum pada tahun 1989 sebesar 1365,39 W/m2

Tabel IV.3 Rata-rata tahunan konstanta matahari dan bilangan sunspot

bersamaan dengan aktivitas matahari yang mencapai maksimum dengan rata-rata tahunan bilangan sunspot

sebesar 157,8.

Tahun Bilangan Sunspot (R) Konstanta Matahari (SC) (W/m²) 1979 155,3 1366,56 1980 154,7 1366,54 1981 140,5 1366,40 1982 116,3 1366,31 1983 66,6 1366,16 1984 45,9 1365,73 1985 17,9 1365,55 1986 13,4 1365,54 1987 29,2 1365,65 1988 100,0 1365,96 1989 157,8 1366,39 1990 142,3 1366,35 1991 145,8 1366,27 1992 94,5 1366,07 1993 54,7 1365,78 1994 29,9 1365,61 1995 17,5 1365,52 1996 8,6 1365,43 1997 21,5 1365,58 1998 64,2 1365,89 1999 93,1 1366,08 2000 119,5 1366,29 2001 110,9 1366,24 2002 104,1 1366,31 2003 64,8 1365,95

Rata-rata tahunan konstanta matahari 1366,01 Standar deviasi konstanta matahari 0,37

(8)

55

Nilai konstanta matahari tetap tinggi selama tahun 1989-1992 dengan variasi kecil dari tahun ke tahun berkisar antara 0,04 – 0,32 W.m-2. Kejadian ini diduga berkaitan dengan aktivitas matahari maksimum siklus matahari ke-22. Pada tahun-tahun tersebut terjadi 2 puncak aktivitas matahari, yaitu tahun-tahun 1989 (157,8) dan 1991 (145,8). Selanjutnya tahun 1993 hingga 1996, nilai konstanta matahari menurun mengikuti menurunnya aktivitas matahari yang mencapai minimum pada tahun 1996. Saat siklus matahari ke-23 dimulai tahun 1998, nilai konstanta matahari bertambah mengikuti peningkatan aktivitas matahari dan mencapai puncaknya pada tahun 2000. Nilai konstanta matahari tahunan berkisar 1365,43 – 1366,60 W.m-2 atau bervariasi 0,09% terhadap nilai rata-ratanya (1366,01 W.m-2

Gambar IV.3 Korelasi data rata-rata tahunan bilangan sunspot dan konstanta matahari periode tahun1979 – 2003.

Dengan menggunakan trendline (salah satu tool pada Microsoft Excel) diperoleh persamaan, SC = 0,006 R + 1365,44 dengan R

). Untuk mengetahui tingkat pengaruh aktivitas matahari pada konstanta matahari, maka dilakukan analisis korelasi yang dilakukan dengan menggunakan regresi linear. Hasil analisis korelasi antara rata-rata tahunan konstanta matahari (SC) dan bilangan sunspot (R) dalam periode 1979- 2003 disajikan dalam Gambar IV.3.

2

= 0,93 dan deviasi standar 0,37 W.m-2. Dari persamaan tersebut, maka secara empiris terlihat bahwa konstanta matahari bertambah dengan bertambahnya bilangan sunspot.

y = 0.01x + 1,365.44 R² = 0.93 1365.0 1365.5 1366.0 1366.5 1367.0 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Bilangan Sunspot

Korelasi data rata-rata tahunan Bilangan Sunspot dan Konstanta matahariperiode tahun 1979-2003

(9)

56

Selain kecenderungannya yang mengikuti pola aktivitas matahari, tampak pula bahwa variasi konstanta matahari memperlihatkan suatu variasi siklus 11 tahun yang mengikuti siklus bilangan sunspot 11 tahun.

IV.2.2 Analisis Pengaruh Sinar Kosmik pada Konstanta Matahari

Untuk keperluan analisis pengaruh sinar kosmik pada konstanta matahari, digunakan data rata-rata harian sinar kosmik Huancayo, Peru (12oLS, 75o

Gambar IV.4 Rata-rata bulanan konstanta matahari dan sinar kosmik periode tahun 1979 – 2003.

BB) dan konstanta matahari pada periode Januari 1979 – September 2003 yang diolah menjadi rata-rata bulanan dan tahunan. Huancayo dipilih dengan pertimbangan memiliki lintang terendah diantara beberapa lokasi lain yang umumnya terletak pada lintang menengah sampai lintang tinggi. Kemudian diperoleh Gambar IV.4 dan IV.5 yang menunjukkan pengaruh sinar kosmik pada konstanta matahari.

Dari grafik pada Gambar IV.4 tampak bahwa kecenderungan pola variasi rata-rata bulanan konstanta matahari hampir serupa dengan pola sinar kosmik, namun dalam arah yang berlawanan. Siklus variasi rata-rata bulanan konstanta matahari tampak mengikuti siklus variasi rata-rata bulanan sinar kosmik dalam arah yang berlawanan. Saat sinar kosmik meningkat, konstanta matahari justru menurun.

1580 1600 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 1365.4 1365.6 1365.8 1366.0 1366.2 1366.4 1366.6 1366.8 1367.0 Sina r K o sm ik K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Tahun

Rata-rata bulanan Konstanta mataharidan Sinar Kosmik Tahun 1979 - 2003

Koefisien korelasi = - 0.65

Konst. Matahari Sinar Kosmik

(10)

57

Penjelasan fisisnya adalah sebagai berikut, partikel-partikel sinar kosmik yang memiliki energi tinggi (10 GeV) memasuki atmosfer bumi dengan kecepatan mendekati 3 x 108 m.s-1. Dengan kecepatan dan energi yang dimiliki partikel sinar kosmik tersebut, sangat memungkinkan untuk terjadinya tumbukan dengan molekul-molekul atmosferik (terutama oksigen dan nitrogen) ketika sinar kosmik memasuki atmosfer bumi. Partikel-partikel sinar kosmik tersebut akan bergerak dengan lintasan mengikuti medan magnet bumi, sehingga terjadi efek pembelokan ke arah kutub. Intensitas tumbukan kuat terjadi di daerah kutub dengan densitas yang lebih tinggi. Tumbukan partikel sinar kosmik dengan kecepatan dan energi yang tinggi tersebut mampu memecah komposisi molekul-molekul yang berada di atmosfer, sehingga terbentuk ion-ion sekunder. Ion-ion sekunder yang dihasilkan oleh partikel-partikel sinar kosmik tersebut akan bertindak sebagai inti-inti kondensasi dan dengan sifatnya yang higroskopis akan meningkatkan laju pembentukan awan tinggi (pada ketinggian 12 - 15 km). Dapat dikatakan bahwa partikel sinar kosmik berhubungan dengan laju pembentukan awan tinggi yang bervariasi terhadap lintang dan bujur. Meningkatnya laju pembentukan awan tentu berpengaruh terhadap menurunnya intensitas radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara sinar kosmik dan konstanta matahari merupakan hubungan yang bersifat “inversi

(berkebalikan)” karena tipe korelasinya negatif (r < 0), yaitu 0,65 (bulanan) dan -0,69 (tahunan). Fenomena “saling berlawanan” ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Svensmark (1997) yang menemukan adanya korelasi antara liputan awan dan temperatur global dengan sinar kosmik. Ion-ion sekunder yang dihasilkan oleh sinar-sinar kosmik berfungsi sebagai inti-inti kondensasi dan dengan sifatnya yang higroskopis akan meningkatkan laju pembentukan awan. Meningkatnya laju pembentukan awan tersebut berpengaruh pada menurunnya jumlah radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi.

Kecenderungan variasi konstanta matahari yang mengikuti pola variasi sinar kosmik dalam arah berlawanan seperti ditunjukkan pada Gambar IV.4 (rata-rata bulanan) dan Gambar IV.5 (rata-rata tahunan) tersebut menunjukkan adanya

Berdasarkan fenomena ini, terlihat bahwa sinar kosmik berpengaruh terhadap besaran konstanta matahari.

(11)

58

pengaruh sinar kosmik pada konstanta matahari baik jangka pendek (bulanan) maupun jangka panjang (tahunan).

Gambar IV.5 Rata-rata tahunan konstanta matahari dan sinar kosmik periode tahun 1979 – 2003.

Untuk mengetahui tingkat pengaruh sinar kosmik pada konstanta matahari, maka dilakukan analisis korelasi yang dilakukan dengan menggunakan regresi linear. Hasil analisis korelasi antara rata-rata tahunan konstanta matahari (SC) dan sinar kosmik (K) dalam periode 1979 - 2003 disajikan dalam Gambar IV.6.

Gambar IV.6 Korelasi data rata-rata tahunan konstanta matahari dan sinar kosmik periode tahun1979 – 2003. 1560 1580 1600 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 1365.4 1365.6 1365.8 1366.0 1366.2 1366.4 1366.6 1366.8 1367.0 Sina r K o sm ik K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Tahun

Rata-rata tahunan Konstanta mataharidan Sinar Kosmik

Tahun 1979 - 2003 Koefisien korelasi = - 0.69 Konst. Matahari Sinar Kosmik y = -0.007x + 1379. R² = 0.474 1365.0 1365.5 1366.0 1366.5 1367.0 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 K o ns ta nt a m a ta ha ri (W/ m ²) Sinar Kosmik

Korelasi data rata-rata tahunan Sinar Kosmikdan Konstanta matahari periode tahun 1979-2003

(12)

59

Dengan menggunakan trendline (salah satu tool pada Microsoft Excel) diperoleh persamaan, SC = 0,007 K + 1379,04 dengan R2 = 0,47 dan deviasi standar 0,37 W/m2

IV.2.3 Analisis Pengaruh Aktivitas Matahari pada Sinar Kosmik

. Dari persamaan tersebut, maka secara empiris terlihat bahwa konstanta matahari berkurang dengan bertambahnya sinar kosmik.

Untuk keperluan analisis pengaruh aktivitas matahari pada sinar kosmik, digunakan data rata-rata harian sinar kosmik dan bilangan sunspot pada periode Januari 1979 – September 2003 yang diolah menjadi rata-rata bulanan dan tahunan. Kemudian diperoleh Gambar IV.7 dan IV.8 yang menunjukkan pengaruh aktivitas matahari pada sinar kosmik.

Gambar IV.7 Rata-rata bulanan bilangan sunspot dan sinar kosmik periode tahun 1979 – 2003.

Dari grafik pada Gambar IV.7 tampak bahwa kecenderungan pola variasi rata-rata bulanan sinar kosmik saling berlawanan dengan pola bilangan sunspot. Siklus variasi rata-rata bulanan sinar kosmik tampak mengikuti siklus variasi rata-rata bulanan bilangan sunspot, namun dengan arah yang berlawanan. Saat aktivitas matahari maksimum (ditunjukkan dengan tingginya bilangan sunspot), sinar kosmik justru mengalami penurunan. Fenomena “saling berlawanan” ini sesuai

1580 1600 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Sina r K o sm ik B ila ng a n Suns p o t Tahun

Rata-rata bulanan Bilangan Sunspotdan Sinar Kosmik Tahun 1979 - 2003

Koefisien korelasi = - 0.73

Bilangan Sunspot Sinar Kosmik

(13)

60

dengan apa yang dikemukakan Svensmark (1997) yang menemukan adanya korelasi antara liputan awan dan temperatur global dengan sinar kosmik. Secara fisis hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut, partikel-partikel sinar kosmik ketika memasuki atmosfer atas bumi (Earth’s upper atmosphere) mengalami modulasi yang disebabkan oleh 2 hal, yaitu angin matahari dan medan magnet bumi. Angin matahari berpengaruh terhadap terjadinya perlambatan yang dialami partikel sinar kosmik. Menurut Yamada (1998) besarnya angin matahari tidak konstan, tetapi bervariasi terhadap perubahan aktivitas matahari selama siklus 11 tahunannya. Dengan demikian modulasi yang dialami partikel sinar kosmik berkorelasi dengan aktivitas matahari. Ketika aktivitas matahari meningkat, maka terjadi efek perlambatan pada partikel sinar kosmik, sehingga menurunkan jumlah partikel yang mencapai permukaan bumi. Selain itu, medan magnet bumi juga akan membelokkan lintasan partikel sinar kosmik ketika memasuki atmosfer bumi. Partikel-partikel sinar kosmik tersebut akan bergerak dengan lintasan mengikuti medan magnet bumi, sehingga terjadi efek pembelokan ke arah kutub. Dengan demikian intensitas sinar kosmik di ekuator lebih kecil dibanding intensitas di daerah kutub akibat efek pembelokan yang lebih besar di ekuator. Hal tersebut dapat dimengerti mengingat adanya suatu kenyataan bahwa, setiap partikel bermuatan tidak akan bergerak memotong lintasan suatu medan magnet tetapi cenderung mengikuti lintasan medan magnet yang dilaluinya. Fenomena inilah yang mampu menjelaskan terjadinya “aurora” di kutub, mengingat lengkungan lintasan medan magnet bumi berakhir di kutub sehingga “aurora” tersebut terjadi di kutub bukan di ekuator. Sebaliknya ketika aktivitas matahari menurun, maka terjadi efek perlambatan yang minimum pula sehingga partikel sinar kosmik yang memasuki atmosfer bumi akan bertambah banyak. Meningkatnya jumlah partikel sinar kosmik tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya jumlah tumbukan antara partikel sinar kosmik dengan molekul-molekul yang berada di atmosfer. Tumbukan-tumbukan tersebut mampu memecah komposisi molekul-molekul yang berada di atmosfer, sehingga terbentuk ion-ion sekunder. Ion-ion sekunder yang dihasilkan oleh partikel sinar kosmik tersebut akan bertindak sebagai inti-inti kondensasi dan selanjutnya dengan sifatnya yang higroskopis akan meningkatkan laju pembentukan awan tinggi (pada ketinggian 12 – 15 km). Meningkatnya laju

(14)

61

pembentukan awan tersebut terjadi pada saat aktivitas matahari sedang mengalami penurunan hingga kondisi minimum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara aktivitas matahari dan sinar kosmik merupakan hubungan yang bersifat “inversi atau berkebalikan” karena tipe korelasinya negatif (r < 0), yaitu -0,73 (bulanan) dan -0,77 (tahunan). Berdasarkan fenomena ini, terlihat bahwa aktivitas matahari berpengaruh terhadap sinar kosmik yang mempunyai dampak terhadap laju pembentukan awan.

Fenomena pola yang

Gambar IV.8 Rata-rata tahunan bilangan sunspot dan sinar kosmik periode tahun1979 – 2003

“saling berlawanan” antara aktivitas matahari dengan sinar kosmik seperti ditunjukkan pada Gambar IV.7 (rata-rata bulanan) dan Gambar IV.8 (rata-rata tahunan) tersebut menunjukkan adanya pengaruh aktivitas matahari pada sinar kosmik baik jangka pendek (bulanan) maupun jangka panjang (tahunan).

Untuk mengetahui tingkat pengaruh aktivitas matahari pada sinar kosmik, maka dilakukan analisis korelasi yang dilakukan dengan menggunakan regresi linear. Hasil analisis korelasi antara rata-rata tahunan sinar kosmik (K) dan bilangan

sunspot (R) dalam periode 1979 - 2003 disajikan dalam Gambar IV.9.

1560 1580 1600 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Sina r K o sm ik B ila ng a n Suns p o t Tahun

Rata-rata tahunan Bilangan Sunspot dan Sinar Kosmik Tahun 1979 - 2003

(15)

62

Gambar IV.9 Korelasi data rata-rata tahunan bilangan sunspot dan sinar kosmik periode tahun1979 – 2003.

Dengan menggunakan trendline (salah satu tool pada Microsoft Excel) diperoleh persamaan, R = -0,478 K + 1737 dengan R2

IV.3 Hasil Pemodelan Radiasi Matahari dengan ANFIS

= 0,59 dan deviasi standar 32. Dari persamaan tersebut, maka secara empiris terlihat bahwa sinar kosmik berkurang dengan bertambahnya bilangan sunspot.

Pemodelan dengan menggunakan model ANFIS dapat membantu dalam hal memprediksi kejadian-kejadian di masa yang akan datang berdasarkan pengenalan atau pembelajaran terhadap perilaku kejadian-kejadian atau data di masa lampau (data historis). Dengan demikian ANFIS akan melakukan penyetelan aturan dengan menggunakan algoritma pembelajaran terhadap sekumpulan data.

Pengenalan pola suatu model data menjadi hal penting dalam prediksi cuaca, karena prediksi dilakukan berdasarkan pengenalan data historis. ANFIS sebagai salah satu model prediksi mampu melakukan pengenalan tersebut. Semakin panjang data historis yang digunakan, maka semakin baik pula pengenalan polanya. Data dengan pola pengulangan secara periodik (misalnya data aktivitas matahari/bilangan sunspot, fluks sinar kosmik, konstanta matahari, curah hujan

y = -0.478x + 1737. R² = 0.587 1620 1640 1660 1680 1700 1720 1740 1760 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 Sina r K o sm ik Bilangan Sunspot

Korelasi data rata-rata tahunan Bilangan Sunspotdan Sinar Kosmik

(16)

63

atau data lainnya), umumnya dapat dikenali polanya oleh ANFIS dengan cara pembelajaran.

Dalam penelitian ini prediksi radiasi matahari bulanan dilakukan dengan menggunakan model ANFIS. Sebelum sampai pada langkah prediksi, terlebih dahulu dilakukan langkah pengenalan terhadap data historis. Hasil pengenalan terhadap data historis radiasi matahari oleh ANFIS disajikan dalam Lampiran B.1.a sampai dengan B.14.a yang merupakan proses pembelajaran untuk 14 lokasi yang ditinjau. Nilai rata-rata RMSE hasil pembelajaran, panjang dan periode data yang digunakan untuk 14 lokasi yang ditinjau dirangkum dalam Tabel IV. 4.

Tabel IV.4 Hubungan RMSE hasil pembelajaran dan panjang data pembelajaran

No. Kota - Nama Stasiun

Nilai rata-rata RMSE pembelajaran Panjang data pembelajaran (tahun) Periode data pembelajaran

1. Medan - Staklim Sampali 5,32 4 1999 - 2002

2. Pd. Pariaman -Staklim Sicincin 2,09 8 1991 - 1998

3. Palembang - Staklim Kenten 1,08 5 1995 - 1999

4. Pulau Baai - Staklim Pulau Baai 0,88 9 1994 - 2002

5. Bogor - Staklim Darmaga 0,63 10 1993 - 2002

6. Bandung - Stageof Cemara 0,33 9 1994 - 2002

7. Semarang - Staklim Siliwangi 1,12 9 1994 - 2002 8. Karangploso - Staklim Karangploso 1,60 9 1994 - 2002 9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 1,84 8 1995 - 2002 10. Pontianak - Staklim Siantan 0,28 10 1992 - 2001

11. Manado - Staklim Kayuwatu 1,46 6 1994 - 1999

12. Makassar - Staklim Panakkukang 2,26 4 1994 - 1997 13. Mataram - Stamet Selaparang 4,66 3 2001 - 2003

14. Kupang - Staklim Lasiana 0,96 7 1994 - 2000

Secara umum, model ANFIS mampu mengenali pola data historis dari ke-empatbelas lokasi yang ditinjau. Namun ada beberapa lokasi (Sampali-Medan dan Selaparang-Mataram) yang kurang baik pengenalannya karena pendeknya data historis yang digunakan (hanya 4 dan 3 tahun). Untuk lokasi yang memiliki data historis cukup panjang (Siantan-Pontianak, Bandung, Darmaga-Bogor dan Pulau Baai-Bengkulu), pengenalan pola dapat dilakukan dengan baik oleh model ANFIS. Lokasi-lokasi tersebut memiliki data historis radiasi matahari bulanan cukup panjang (9 sampai 10 tahun).

(17)

64

Selanjutnya pada Lampiran B.1.b sampai dengan B.14.b memberikan gambaran hasil cek data untuk masing-masing lokasi tersebut. Nilai rata-rata RMSE hasil cek data untuk masing-masing lokasi tersebut, dirangkum dalam Tabel IV. 5.

Tabel IV.5 Nilai rata-rata RMSE hasil cek data radiasi matahari

No. Kota - Nama Stasiun Nilai RMSE

Hasil Cek Data 1. Medan - Staklim Sampali 2,77 2. Pd. Pariaman -Staklim Sicincin 4,77 3. Palembang - Staklim Kenten 5,05 4. Pulau Baai - Staklim Pulau Baai 1,60 5. Bogor - Staklim Darmaga 1,95 6. Bandung - Stageof Cemara 0,93 7. Semarang - Staklim Siliwangi 2,10 8. Karangploso - Staklim Karangploso 1,90 9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 2,73 10. Pontianak - Staklim Siantan 2,01 11. Manado - Staklim Kayuwatu 1,95 12. Makassar - Staklim Panakkukang 10,97 13. Mataram - Stamet Selaparang 3,71 14. Kupang - Staklim Lasiana 2,42

Nilai rata-rata RSME menunjukkan bahwa hasil cek data masih berada dalam kisaran yang dapat diterima. RSME tersebut menunjukkan besarnya penyimpangan, bukan arah penyimpangan yang bisa bernilai positif atau negatif. Selama hasil prediksi masih mengikuti trend data validasi, maka nilai RSME cenderung membaik (kecil).

IV.4 Hasil Prediksi Radiasi Matahari di Wilayah Indonesia

Hasil prediksi radiasi matahari bulanan untuk 14 lokasi di Indonesia disajikan dalam Lampiran B.1.c dan d sampai dengan B.14.c dan d. Lampiran B.1.c sampai dengan B.14.c adalah data pembelajaran untuk masing-masing lokasi (grafik atas) dan error/kesalahannya (grafik bawah). Sedangkan Lampiran B.1.d sampai dengan B.14.d adalah hasil prediksi untuk masing-masing lokasi (grafik atas) dan error/kesalahannya (grafik bawah). Nilai rata-rata RMSE hasil prediksi dengan ANFIS dan kesalahan hasil prediksi dirangkum dalam Tabel IV.6.

(18)

65

Tabel IV.6 Nilai rata-rata RMSE hasil prediksi dengan ANFIS di 14 lokasi

No. Kota - Nama Stasiun

Nilai rata-rata RMSE

hasil prediksi ANFIS

1. Medan - Staklim Sampali 5,32

2. Pd. Pariaman -Staklim Sicincin 2,09

3. Palembang - Staklim Kenten 1,08

4. Pulau Baai - Staklim Pulau Baai 0,88

5. Bogor - Staklim Darmaga 0,63

6. Bandung - Stageof Cemara 0,33

7. Semarang - Staklim Siliwangi 1,12 8. Karangploso - Staklim Karangploso 1,60 9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 1,84 10. Pontianak - Staklim Siantan 0,28

11. Manado - Staklim Kayuwatu 1,46

12. Makassar - Staklim Panakkukang 2,26 13. Mataram - Stamet Selaparang 4,66

14. Kupang - Staklim Lasiana 0,96

Berdasarkan tabel diatas, RMSE Sampali-Medan (5,32) merupakan yang terbesar diantara ke-empatbelas lokasi yang ditinjau. Hal tersebut menunjukkan adanya penyimpangan yang cukup besar antara hasil pembelajaran ANFIS dengan data pengukuran di lapangan. Penyimpangan tersebut berkaitan dengan tingkat pengenalan pola model ANFIS terhadap data dari stasiun Sampali-Medan. Semakin panjang data yang akan dikenali (data pembelajaran), maka semakin baik pula ANFIS mengenali polanya. Sementara itu, beberapa lokasi lain (Siantan-Pontianak, Cemara-Bandung, Darmaga-Bogor, Pulau Baai-Bengkulu dan Lasiana-Kupang) memiliki nilai rata-rata RMSE yang kecil (< 1) dan beberapa lainnya (Kenten-Palembang, Siliwangi-Semarang, Kayuwatu-Manado, Karangploso-Malang, Banjarbaru, Sicincin-Padang Pariaman, Panakkukang-Makassar dan Selaparang-Mataram) memiliki nilai rata-rata RMSE antara 1,08 sampai 4,66.

Panjang waktu hasil prediksi dengan model ANFIS berbeda untuk masing-masing lokasi, bergantung pada karakteristik dan panjang data pembelajaran yang digunakan. Tabel IV.7 berikut merangkum panjang waktu hasil prediksi (dalam bulan) dan kesalahan hasil prediksi dengan model ANFIS untuk masing-masing lokasi tersebut.

(19)

66

Tabel IV.7 Panjang waktu hasil prediksi dengan model ANFIS untuk 14 lokasi

No. Kota - Nama Stasiun

Panjang waktu hasil prediksi ANFIS (bulan) Kesalahan hasil prediksi ANFIS (%)

1. Medan - Staklim Sampali 9 6,1

2. Pd. Pariaman -Staklim Sicincin 6 1,0

3. Palembang - Staklim Kenten 7 1,8

4. Pulau Baai - Staklim Pulau Baai 9 1,8

5. Bogor - Staklim Darmaga 7 1,8

6. Bandung - Stageof Cemara 6 1,0

7. Semarang - Staklim Siliwangi 4 3,9

8. Karangploso - Staklim Karangploso 6 5,4

9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 4 7,8

10. Pontianak - Staklim Siantan 6 0,9

11. Manado - Staklim Kayuwatu 9 3,0

12. Makassar - Staklim Panakkukang 7 4,2

13. Mataram - Stamet Selaparang 8 6,5

14. Kupang - Staklim Lasiana 3 4,7

Hasil prediksi dengan model ANFIS tersebut tentunya mengandung ketidakpastian yang tercermin dari persentase kesalahannya (error). Beberapa lokasi seperti Sampali-Medan, Pulau Baai-Bengkulu dan Kayuwatu-Manado memiliki hasil prediksi relatif panjang (9 bulan) dengan tingkat kesalahan prediksi yang berbeda. Berarti bahwa panjang waktu hasil prediksi tersebut merupakan hasil prediksi yang optimal dengan tingkat kesalahan yang masih dapat diterima (dalam hal ini diambil tingkat kesalahan < 10%). Dengan tingkat kesalahan prediksi yang kecil tersebut, hasil prediksi ANFIS tersebut layak digunakan. Panjang waktu hasil prediksi ANFIS tersebut sebenarnya bisa lebih panjang lagi, namun hasilnya sangat fluktuatif dan memiliki tingkat kesalahan yang lebih besar, sehingga tidak layak digunakan.

Panjang waktu hasil prediksi radiasi matahari bulanan untuk 14 lokasi tersebut dapat disajikan dalam grafik, seperti dapat dilihat pada Gambar IV.10

(20)

67

Gambar IV.10 Panjang waktu hasil prediksi radiasi matahari dengan ANFIS.

Dalam menentukan panjang waktu hasil prediksi radiasi matahari dengan model ANFIS, sebaiknya selalu mempertimbangkan kesalahan prediksi. Kesalahan prediksi berkaitan dengan kemampuan ANFIS dalam mengenali trend atau pola deret waktu data radiasi matahari saat algoritma pembelajaran dilakukan. Semakin baik ANFIS mengenali pola data radiasi matahari, maka semakin baik pula hasil prediksinya yang ditunjukkan dengan kecilnya kesalahan prediksi. Panjang waktu hasil prediksi seperti digambarkan oleh Gambar IV.10 diatas menunjukkan pula tingkat pengenalan ANFIS terhadap pola data radiasi untuk masing-masing lokasi. Semakin teratur pola dan fluktuasi data radiasi matahari yang dikenali, maka semakin baik ANFIS mengenalinya dan semakin baik pula hasil prediksinya.

Selain itu, semakin jauh prediksinya (waktu prediksi semakin panjang), maka kesalahan prediksi akan semakin besar. Oleh karena itu, pertimbangan kesalahan prediksi menjadi hal penting dalam menentukan panjang waktu hasil prediksi.

M ed a n P a da ng P a lemb a n g B eng kul u B ogor B a ndung S ema ra n g M al an g B an jar b ar u P on ti an ak M a na do M ak as sar M at ar am K upa ng 0 5 10 15 20 25 30 1 2 34 5 6 7 8 9 R ad ias i m at ah ar i b u lan an ( M J. m 2.h a ri -1) Medan Padang Palembang Bengkulu Bogor Bandung Semarang Malang Banjarbaru Pontianak Manado Makassar Mataram Kupang

(21)

68

Hasil prediksi radiasi matahari bulanan dengan ANFIS tersebut selanjutnya akan digunakan sebagai data input untuk sebuah sistem photovoltaic (PV) untuk pemompaan air (solar water pumping - SWP) pada sub Bab IV.5.

Untuk mengetahui tingkat kesesuaian hasil prediksi dengan kondisi nyata, maka dilakukan validasi hasil prediksi dengan data lapangan (hasil pengukuran di masing-masing stasiun BMKG) dan data satelit (hasil pengukuran satelit). Data lapangan diperoleh dari hasil pengukuran masing-masing stasiun BMKG pada tahun terakhir dari periode data yang digunakan. Sedangkan data satelit diperoleh dari hasil observasi satelit pada situs NASA Surface Meteorology and Solar

Energy (SSE). Hasil validasi menggunakan data lapangan disajikan dalam

Lampiran B.1.e sampai dengan B.14.e. Sedangkan hasil validasi menggunakan data satelit disajikan dalam Lampiran B.1.f sampai dengan B.14.f. Kesalahan

(error) hasil validasi menggunakan data lapangan dan data satelit dirangkum

dalam Tabel IV.8.

Tabel IV.8 Kesalahan (error) hasil validasi data prediksi ANFIS terhadap data lapangan dan data satelit

No. Kota - Nama Stasiun

Kesalahan (error) hasil validasi menggunakan data lapangan (%) Kesalahan (error) hasil validasi menggunakan data satelit (%)

1. Medan - Staklim Sampali 1,7 0,5

2. Pd. Pariaman -Staklim Sicincin 0,8 1,1

3. Palembang - Staklim Kenten 1,3 0,7

4. Pulau Baai - Staklim Pulau Baai 2,5 1,1

5. Bogor - Staklim Darmaga 3,3 2,1

6. Bandung - Stageof Cemara 6,1 5,7

7. Semarang - Staklim Siliwangi 1,4 1,7

8. Karangploso - Staklim Karangploso 3,2 0,7

9. Banjarbaru - Staklim Banjarbaru 3,1 2,5

10. Pontianak - Staklim Siantan 0,2 0,6

11. Manado - Staklim Kayuwatu 2,0 1,0

12. Makassar - Staklim Panakkukang 3,0 0,5

13. Mataram - Stamet Selaparang 0,7 0,3

14. Kupang - Staklim Lasiana 1,1 0,7

Secara umum, data hasil prediksi ANFIS menunjukkan adanya kesesuaian/ kecocokan baik dengan data lapangan maupun data satelit. Kesesuaian tersebut

(22)

69

ditunjukkan dengan rendahnya tingkat kesalahan untuk masing-masing validasi. Kesalahan maksimum terjadi di Bandung dengan 6,1% untuk validasi terhadap data lapangan dan 5,7% untuk validasi terhadap data satelit. Untuk lokasi-lokasi lain diperoleh kesalahan yang lebih kecil (< 5%). Dengan demikian, hasil prediksi ANFIS layak digunakan.

IV.5 Aplikasi Hasil Pemodelan Radiasi Matahari

Untuk tujuan aplikasi hasil pemodelan radiasi matahari dengan ANFIS, maka output ANFIS digunakan untuk merancang sebuah sistem photovoltaic (PV) untuk pemompaan air (solar water pumping - SWP). Perancangan SWP tersebut dilakukan dengan menentukan ukuran suatu sistem PV untuk memenuhi kebutuhan beban tertentu dengan menggunakan metoda Lost of Energy

Probability (LOEP). Tujuan utama metoda LOEP adalah mencari radiasi disain

Id yang merupakan nilai radiasi yang diperlukan sistem PLTS untuk memenuhi kebutuhan beban dengan keandalan yang diinginkan. Nilai radiasi disain Id tersebut dihitung dengan menggunakan nilai radiasi pada bulan dimana radiasi matahari paling kecil Iwm (worst month radiation) dan jumlah hari berturut-turut dalam setahun dimana radiasi matahari sangat kecil (C).

Hasil perancangan SWP untuk ke-empatbelas lokasi yang ditinjau disajikan dalam Lampiran C. Lampiran C.1.a sampai dengan C.14.a adalah data input yang digunakan untuk perancangan SWP tersebut, yaitu berupa data ketersediaan energi bulanan (kWh.m-2.hari-1) untuk masing-masing lokasi hasil prediksi ANFIS. Berdasarkan data input tersebut, perangkat lunak akan menghitung daya puncak (Wp), luas modul PV (m2

Seperti telah dijelaskan pada sub Bab III.2.7 bahwa untuk kebutuhan pemompaan air, sistem PV yang digunakan cukup dengan keandalan 10%. Suatu sistem PV ), jumlah modul PV (buah) dan kapasitas baterai (kWh) yang diperlukan untuk memenuhi sistem SWP. Perhitungan dilakukan untuk masing-masing tingkat keandalan, yaitu LOEP 0,1%, LOEP 1% dan LOEP 10%. Hasil perhitungan dengan 3 tingkat keandalan sistem untuk masing-masing lokasi yang ditinjau disajikan dalam Lampiran C.1.b sampai dengan C.14.b.

(23)

70

dengan keandalan 10 % (LOEP = 10 %), berarti bahwa sistem PV tersebut dapat memenuhi kebutuhan beban dengan kemungkinan gagal 36,5 hari dalam setahun (10 % jumlah hari dalam 1 tahun).

Berbeda halnya jika sistem PV digunakan untuk kebutuhan pemancar radio dimana diperlukan tingkat keandalan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, maka keandalan 0,1 % (LOEP 0,1 %) harus dipilih agar kebutuhan sistem dapat terpenuhi. Dengan LOEP 0,1 % tersebut, maka tingkat kegagalan sistem dalam memenuhi kebutuhan beban pemancar radio relatif lebih rendah dibandingkan kebutuhan untuk pemompaan air. Tingkat kegagalannya hanya 0,365 hari dalam setahun. Oleh karena itu, Tabel IV. 9 berikut merangkum hasil perancangan SWP di 14 lokasi yang ditinjau dengan tingkat keandalan 10 % (LOEP 10 %).

Tabel IV.9 Hasil perancangan SWP untuk LOEP 10% di 14 lokasi yang ditinjau

No. Nama

Lokasi Lintang Bujur

Daya Puncak (Wp) Luas Modul PV (m2 Jumlah Modul PV(buah) ) Kapasitas Baterai (kWh) 1. Medan 3° 37' U 98° 47' T 38452 370 700 84 2. Padang 0° 32' S 100° 18' T 23875 230 435 84 3. Palembang 3° 19' S 104° 53' T 41443 398 754 84 4. Bengkulu 3° 45' S 102° 53' T 19204 184 350 84 5. Bogor 6° 30' S 106° 45' T 29820 286 543 84 6. Bandung 6° 55' S 107° 36' T 20553 197 374 84 7. Semarang 6° 59' S 110° 23' T 22344 215 407 84 8. Malang 7° 45' S 112° 35' T 22441 215 409 84 9. Banjarbaru 3° 27' S 114° 45' T 182896 1761 3326 84 10. Pontianak 0° 36' S 109° 11' T 12752 123 232 84 11. Manado 1° 30' U 124° 54' T 60385 580 1098 84 12. Makassar 5° 10' S 119° 28' T 15817 153 288 84 13. Mataram 8° 33' S 116° 06' T 68526 659 1246 84 14. Kupang 10° 08' S 123° 40' T 28506 275 519 84

Tabel diatas menunjukkan hasil perancangan untuk sistem SWP dengan spesifikasi seperti tercantum dalam sub Bab III.2.7 Mengingat parameter desain yang digunakan sama (kecuali ketersediaan energi di masing-masing lokasi), maka diperoleh hasil bahwa kapasitas baterai yang diperlukan untuk semua lokasi adalah sama, yaitu 84 kWh.

Kemudian tampak bahwa terdapat beberapa lokasi dengan jumlah dan luas modul PV kecil (hemat), seperti Pontianak (232 buah modul PV seluas 123 m2),

(24)

71

Makassar (288 buah modul PV seluas 153 m2) dan Pulau Baai (350 buah modul PV seluas 184 m2). Namun terdapat pula lokasi yang memerlukan lebih banyak modul PV (boros), seperti Banjarbaru (3326 buah modul PV seluas 1761 m2) dan Mataram (1246 buah modul PV seluas 659 m2

Gambar IV.11 Jumlah dan luas modul PV yang diperlukan sistem SWP untuk masing-masing lokasi diurutkan berdasarkan kebutuhan modul PV terkecil hingga terbesar.

). Jumlah modul PV tersebut mengindikasikan tinggi atau rendahnya tingkat ketersediaan energi matahari di lokasi tersebut. Lokasi dengan jumlah dan luas modul PV yang kecil, menunjukkan bahwa ketersediaan energi matahari di lokasi tersebut cukup tinggi. Dengan tingginya ketersediaan energi matahari, maka jumlah dan luas modul PV yang diperlukan untuk menggerakkan pompa air relatif lebih kecil dibanding lokasi lain dengan tingkat ketersediaan energi matahari yang rendah. Apabila diurutkan berdasarkan kebutuhan modul PV dari jumlah/luas modul terkecil hingga terbesar, maka akan diperoleh Gambar IV.11.

IV.6 Analisis Potensi Energi Matahari

Seperti telah diketahui, bahwa radiasi global terdiri dari 2 komponen yaitu radiasi baur (diffuse radiation) dan langsung (direct radiation). Dengan mengevaluasi

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 Pontianak Makassar Bengkulu Bandung Semarang Malang Padang Kupang Bogor Medan Palembang Manado Mataram Banjarbaru

Jumlah Modul PV (buah) / Luas Modul PV (m2)

(25)

72

kedua komponen tersebut, maka dapat dilakukan evaluasi terhadap potensi energi matahari dan melihat kecocokan aplikasi SWP di masing-masing lokasi. Salah satu keluaran dari perangkat lunak yang digunakan untuk perancangan SWP adalah hasil perhitungan komponen radiasi baur (diffuse radiation) dan langsung. Evaluasi terhadap komponen radiasi baur dan langsung di masing-masing lokasi tersebut, disajikan dalam Gambar IV.12.

Gambar IV.12 Evaluasi komponen radiasi baur (diffuse radiation) dan langsung

(direct radiation) di 14 lokasi yang ditinjau.

Seperti telah diuraikan dalam Bab II, bahwa untuk aplikasi elektrik (termasuk SWP) sebaiknya dipilih lokasi yang memiliki komponen radiasi langsung (direct

radiation) yang lebih tinggi daripada komponen radiasi baur (diffuse radiation).

Sedangkan untuk aplikasi termal dapat dipilih lokasi yang memiliki komponen radiasi baur lebih dominan daripada komponen radiasi langsung. Dari Gambar IV.12 diatas, terdapat 4 lokasi yang memiliki komponen radiasi langsung (

bar-chart warna merah) yang lebih tinggi daripada komponen radiasi baur (bar-chart

warna kuning), yaitu Makassar, Pontianak, Padang dan Bengkulu. Hal tersebut mengingat letak ke-empat lokasi tersebut secara geografis dekat dengan garis khatulistiwa sehingga relatif lebih banyak menerima komponen radiasi matahari yang jatuh tegak lurus terhadap permukaan bumi (radiasi langsung) dibanding lokasi lain yang jauh dari garis khatulistiwa. Tingginya komponen radiasi langsung tersebut berkaitan pula dengan kondisi langit yang relatif lebih cerah

0 3 6 9 12 15 18 21 R ad ias i m at ah ar i (M J. m -2.h a ri -1)

(26)

73

(clearsky) di ke-empat lokasi pada selang waktu pengukuran, sehingga

meningkatkan jumlah radiasi langsung yang mencapai permukaan bumi. Perbandingan antara persentase radiasi langsung dan baur terhadap radiasi global untuk ke-empat lokasi tersebut masing-masing adalah Makassar (63:37)%, Pontianak (61:39)%, Padang (52:48)% dan Bengkulu (51:49)%. Sedangkan pada 10 lokasi lain, komponen radiasi baur lebih dominan daripada radiasi langsung karena kondisi langit yang relatif berawan (cloudysky) pada selang waktu pengukuran, sehingga radiasi matahari yang terukur di permukaan bumi lebih didominasi oleh komponen radiasi baur. Dengan demikian Makassar, Pontianak, Padang dan Bengkulu merupakan lokasi-lokasi yang potensial dan cocok untuk aplikasi SWP maupun aplikasi elektrik lainnya (solar cell dan solar concentrator). Sedangkan 10 lokasi lain merupakan lokasi-lokasi yang potensial dan cocok untuk aplikasi termal (solar collector, solar water heater, space heating and cooling).

Hasil perancangan menunjukkan bahwa Pontianak, Makassar dan Bengkulu merupakan 3 lokasi yang memerlukan jumlah dan luas modul PV relatif sedikit dibanding lokasi-lokasi lain yang ditinjau (Gambar IV.11). Jumlah dan luas modul PV untuk 3 lokasi tersebut masing-masing adalah 232 modul PV seluas 123 m2 (Pontianak), 288 modul PV seluas 153 m2 (Makassar) dan 350 modul PV seluas 184 m2 (Bengkulu) seperti tercantum pada Tabel IV.9. Mengingat kapasitas modul PV yang digunakan dalam perancangan adalah sama (55 Wp), maka parameter yang berpengaruh dalam penentuan jumlah dan luas modul PV yang diperlukan adalah ketersediaan energi matahari di masing-masing lokasi. Untuk lokasi dengan jumlah dan luas modul PV lebih rendah, artinya lokasi tersebut memiliki potensi dan ketersediaan energi matahari yang lebih besar. Demikian pula sebaliknya, bila suatu lokasi memerlukan jumlah dan luas modul PV yang lebih tinggi, artinya potensi dan ketersediaan energi matahari di lokasi tersebut relatif rendah.

Dengan demikian, jumlah dan luas modul PV yang relatif sedikit dari ketiga lokasi tersebut mengindikasikan bahwa ketiga lokasi tersebut memiliki potensi ketersediaan enegi matahari terbesar (relatif terhadap 11 lokasi lain).

Gambar

Tabel IV.1. Koefisien keragaman C v
Gambar IV.1 Rata-rata bulanan konstanta matahari dan bilangan sunspot periode  tahun 1979 – 2003
Gambar IV.2 Rata-rata tahunan konstanta matahari dan bilangan sunspot periode   tahun 1979 – 2003
Tabel IV.3 Rata-rata tahunan konstanta matahari dan bilangan sunspot
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat kelayakan pemberian air berdasarkan nilai Ea diperoleh dari tingkat pola pemberian air irigasi pada sawah konvensional fase vegetatif kritis pada jarak 170 m, sedang

Pendapat tersebut sejalan dengan Jimly Asshiddiqie yang pada intinya menyatakan bahwa konstitusi menjadi desain utama dan pokok dari sistem aturan yang berlaku sebagai

Biogas reaktor tipe fixed dome ditawarkan oleh SNV melalui IDBP yang menjalin kerjasama bilateral dengan pemerintah belanda (BIRU-Hivos).. Bioreaktor skala rumah tangga yang

Muka air tanah termasuk dalam parameter kemampuan lahan yang masuk dalam faktor merugikan sehingga dalam skor terdapat tanda (-) dengan satuan (m), apabila nilai

Hasil penelitian ini diharapkan sistem informasi pengurusan formulir akademik untuk pengajuan izin belajar dan tinggal bagi mahasiswa asing di Indonesia studi kasus

Hal tersebut dikarenakan model pembelajaran sinektik lebih menekankan terhadap pengembang- an kreativitas siswa, dan pembelajaran tari yang diberikan kepada siswa yakni meng-

Hasil analisistotal bakteri Vibro dan kepadatan koloni bakteri baik pada sedimen tanah maupun media air untuk kedua perlakuan berada kisaran yang belum

Pengolahan limbah cair di CV Tahu APU (Al Azhar Peduli Ummat) Jatinom, Klaten sebelum penambahan aliran proses pengolahan nilai dari parameter pencemaran masih