• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalankan kepentingannya yang beranekaragam baik pemerintah maupun warga negaranya diatur oleh norma obyektif yang mengikat. Keanekaragaman kepentingan tersebut tidak mustahil dapat menimbulkan konflik atau bentrok kepentingan, konflik tersebut dapat terjadi apabila dalam melaksanakan atau mengejar kepentingannya, seorang merugikan yang lainnya. Dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat, konflik itu tidak dapat dihindarkan.1

Gangguan kepentingan atau konflik haruslah dicegah, karena akan mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Manusia akan selalu membuat tatanan masyarakat yang seimbang, agar tercipta suasana tertib, damai dan aman yang merupakan jaminan kelangsungan hidupnya, oleh karena itu keseimbangan tatanan masyarakat yang mengganggu haruslah dipulihkan ke keadaan semula

(Restitutio in integrum).2

Perkembangan globalisasi dan industrialisasi yang mengarah pada peningkatan produksi barang dan jasa berpotensi besar untuk menimbulkan permasalahan sosial dalam masyarakat dikarenakan efek kerugian dari kegiatan perekonomian tersebut. Dinamika masyarakat yang berkecenderungan melahirkan kompleksitas berupa sengketa-sengketa berdimensi publik dengan korban massal tidak lagi dapat diselesaikan di tingkat sosial ataupun oleh internal masyarakat sendiri. Kondisi demikian memerlukan peran negara sebagai pemegang

1 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Ctk.Pertama, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm.3. 2 Ibid., hlm. 4.

(2)

kedaulatan melalui birokrasi pemerintah, mengingat fungsi negara sebagai pelindung masyarakat. Guna menanggapi realitas dalam masyarakat tersebut maka negara membutuhkan strategi yang dapat ditegakannya dalam sistem hukum ataupun hukum positif yang berlaku.

Penyelesaian dapat dilakukan dengan penerapan strategi hukum yang responsif-progresif, konsep strategi yang mengarah pada kemantapan hukum dalam menyikapi realitas sosial yang menepatkan hukum sebagai panglima. Strategi ini harus menjadi salah satu pilar pembangunan hukum Indonesia, menurut Abdul Hakim G. Nusantara3 yang mengemukakan bahwa strategi pembangunan hukum adalah segala usaha yang dilakukan oleh kelompok-kelompok sosial dalam suatu masyarakat, yang berkenaan dengan bagaimana hukum itu dibentuk, dikonseptualisasikan, diterapkan, dan dilembagakan dalam proses politik, proses pembentukan visi dan kepentingan antara kelompok sosial dalam proses konseptualisasi hukum.

Sebenarnya strategi pembangunan hukum belum maksimal, sebab hukum masih berpihak pada yang kuat dengan memarginalkan rakyat kecil, hukum yang dibentuk belum menampakkan cita-cita keadilan sosial. Akibatnya banyak terjadi perbuatan melawan hukum yang tidak dijangkau oleh proses penegakan hukum misalnya : pencemaran lingkungan yang menimbulkan korban; kesewenang-wenangan produsen yang mengancam hak-hak konsumen; kebijakan birokrasi pemerintah yang sepihak dan kemudian meninggalkan kerugian pada rakyat seperti buruh, pedagang kaki lima, sopir kendaraan umum ataupun masyarakat luas lainnya yang tidak terjamin secara langsung oleh peraturan-peraturan yang ada.

3 Abdul Hakim, G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia dalam Bab Mencari Strategi Pembangunan

(3)

Desakan-desakan tersebut yang kemudian menginspirasikan para pencari keadilan untuk membuka adanya tindakan hukum yang efektif dan progresif. Para pencari keadilan mempergunakan alternatif baru dalam memperjuangkan hak dan kepentingannya melalui gugatan perwakilan kelompok ke lembaga peradilan (Pengadilan Negeri), yang merupakan tindakan hukum yang tidak hanya mendasarkan pada kepentingan seseorang namun juga kepentingan masyarakat yang lebih besar jumlahnya.

Gugatan perwakilan kelompok (class action) merupakan gugatan yang mewakili kepentingan suatu kelompok masyarakat yang diajukan oleh wakil (lembaga atau kelompok orang) mengatasnamakan kelompok atau masyarakat dalam upaya memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka yang dirugikan. Dikarenakan jumlah kelompok masyarakat yang berkepentingan ini terlalu besar, maka tidak efisien manakala kelompok masyarakat tersebut mengajukan gugatan secara individual ke pengadilan.

Gugatan perwakilan kelompok merupakan serpihan solusi dalam mencari keadilan, sebab dalam penerapannya banyak perkara gugatan diajukan ke pengadilan yang masih diliputi dilema sehingga sering kandas di tengah perjalanan. Alasan yang mendasari terhambatnya gugatan perwakilan kelompok tergantung dari faktor-faktor antara lain dasar hukum bagi pelaksanaan gugatan perwakilan kelompok. Gugatan perwakilan kelompok ibarat dua sisi logam mata uang, salah satu sisinya mengungkap gugatan perwakilan kelompok mencerminkan pelaksanaan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 5 ayat 2 Undang-undang No. 4 Tahun 2004). Sisi yang satunya menggambarkan bahwa prosedur gugatan perwakilan kelompok belum diatur secara khusus dalam peraturan perundang-undangan atau belum diintegrasikan ke

(4)

dalam hukum formal (sistem hukum acara perdata Indonesia), sehingga dalam penerapannya mengalami kesulitan.

Gugatan perwakilan kelompok merupakan alat untuk mencapai beberapa tujuan kebijakan publik yang penting berkenaan dengan kepentingan kelompok. Gugatan perwakilan kelompok dipergunakan oleh kelompok masyarakat yang memang berhak mengajukan gugatan tersebut tanpa memandang latar belakang posisi tawar dihadapan tergugat, yang mana masyarakat tersebut benar-benar memiliki idealisme untuk memperjuangkan kerugian yang dideritanya agar mendapat pemulihan (hak) sebagai bentuk ketidakadilan yang kebetulan menimpa kepadanya atas perbuatan yang dapat dilakukan siapa saja termasuk oleh kekuasaan (negara), perusahaan beraset miliaran rupiah ataupun lembaga yang menjalankan usahanya dengan monopoli dan tidak mau bertanggung jawab atas tindakan yang melanggar.

Perkembangan dari gugatan perwakilan kelompok antara lain ditetapkannya peraturan perundang-perundangan yang salah satu pasalnya mengatur tentang gugatan perwakilan kelompok misalnya Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta memungkinkan peraturan perundang-undangan lainnya yang sudah ada namun belum diterapkan secara maksimal. Mahkamah Agung sebagai lembaga negara pemegang kekuasaan yudikatif dalam peraturannya menetapkan tentang gugatan perwakilan kelompok yaitu dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang berlaku sejak tanggal 26 April 2002.

(5)

Selama ini prosedur beracara gugatan perwakilan kelompok masih mendasarkan pada Herzien Indonesia Reglement (HIR) yang sudah diperbaharui dalam Staatsblad 1941 No.44 dan Rechtsregelement Buitengewesten (RBg) atau Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Staatsblad 1927 No.227, dengan pengajuan seperti halnya gugatan perdata biasa sehingga untuk penerapan gugatan perwakilan kelompok masih dianggap konvensional.

Penerapan gugatan perwakilan kelompok dalam praktek peradilan di Indonesia atau penggunaan prosedur yang mengarah pada prosedur gugatan perwakilan kelompok sudah ada sejak tahun 19874 di Jakarta atas perkara iklan rokok yang diajukan oleh pengacara R.O Tambunan mewakili anak remajanya dan seluruh remaja Indonesia melawan PT. Bentoel Remaja, kemudian di tahun 1988 perkara demam berdarah yang diajukan oleh Mochtar Pakpahan mewakili dirinya dan masyarakat DKI melawan Gubernur DKI Jakarta. Sementara itu menjelang tahun 2000 muncul beberapa perkara yang mendasarkan pada prosedur gugatan perwakilan kelompok. Sampai pada proses pemeriksaan pokok perkara seperti, misalnya kasus gugatan banjir di Jakarta, diajukan oleh kelompok masyarakat kaum miskin kota Jakarta melawan Gubernur DKI Jakarta, Gugatan lembaga swadaya konsumen melawan Pertamina, gugatan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesian Center for Environrnental Law (ICEL), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta-Bandung-Yogyakarta, LBH APIK, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Pusat, APHI serta WALHI, maupun gugatan lainnya yang pernah diajukan ke pengadilan di berbagai wilayah Republik Indonesia hingga sekarang.

4 Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi, Ctk.Pertama, Rajawali Press, Jakarta,

(6)

Dalam prakteknya, muncul permasalahan yaitu : pertama, belum ada ketentuan yang mengatur acara dalam memeriksa dan mengadili gugatan perwakilan kelompok sehingga kepastian, ketertiban dan kelancaran dalam memeriksa dan mengadili gugatan perwakilan kelompok sering mengalami kendala. Meskipun sudah adanya PERMA No.1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok tetapi belum berupa Undang-undang yang setara degan HIR atau Rbg.

Kedua, sebelum berlakunya PERMA tersebut, hakim dalam memeriksa,

mengadili dan memutus gugatan perwakilan kelompok berpedoman pada aturan dalam HIR dan Rbg di samping mempertimbangkan peraturan perundang--undangan lainnya. Setelah diberlakukannya PERMA tersebut setiap gugatan perwakilan kelompok yang diajukan selanjutnya diproses dan diarahkan menurut PERMA tanpa mengurangi dasar-dasar HIR/Rbg maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Meskipun lembaga gugatan perwakilan kelompok (class

action) sudah diakui dalam peraturan perundang-undangan tetapi masih

mengalami kesulitan dalam beracaranya, artinya terdapat faktor-faktor penghambat yang muncul dari kesenjangan antara ketentuan peraturan dan syarat beracaranya. Hal tersebut dikarenakan proses penerapan gugatan perwakilan kelompok memerlukan waktu yang lebih lama untuk diterapkan di Pengadilan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi gugatan perwakilan kelompok sebelum dan setelah Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta

(7)

Pusat ?

2. Faktor- faktor apakah yang menjadi kendala dalam implementasi gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, adalah:

1. Untuk mengetahui implementasi gugatan perwakilan kelompok sebelum dan setelah Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002.

2. Untuk mengetahui faktor- faktor yang menjadi kendala dalam implementasi gugatan perwakilan kelompok di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

D. Tinjauan Pustaka

Gugatan merupakan tuntutan hak yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting”. Orang yang melakukan gugatan memerlukan atau berkepentingan akan perlindungan hukum, maka jalan yang ditempuh dengan mengajukan tuntutan hak kepada pengadilan. Gugatan yang diajukan harus memiliki kepentingan hukum yang cukup, sebab kepentingan hukum merupakan syarat utama dapat diterimanya gugatan. Pengadilan akan menilai point d’interest dan

point d’action. Dalam hal ini setiap gugatan tidak berarti akan dikabulkan oleh

pengadilan, sebab gugatan tersebut mempunyai persyaratan dan gugatan tersebut harus dibuktikan kebenarannya di pengadilan.5

5 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Ctk Keenam, Liberty, Yogyakarta, 2003,

(8)

Persyaratan mengenai isi gugatan tertuang dalam Pasal 8 No.3 Reglement

op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), yang mengharuskan gugatan pada

pokoknya memuat: identitas dari para pihak, dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan tuntutan (middelen van den

eis) atau fundamentum petendi; tuntutan (onderwerp van den eis met een duidelijke en bapaalde conclusie) atau petitum.6

Berkaitan dengan identitas para pihak, dikemukakan bahwa pada asasnya setiap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau membelanya, berwenang untuk bertindak selaku pihak baik penggugat maupun tergugat (legitima persona standi in judicio). Kemampuan untuk bertindak atau cakap hukum (handelingsbekwaamheid) sebagai pihak itu merupakan unsur penting daripada kewenangan hukum (rechtsbevoegheid) atau kewenangan untuk menjadi pendukung hak.

Siapa yang dianggap tidak mampu untuk bertindak (personae miserabiles) dianggap tidak mampu pula untuk bertindak selaku pihak dimuka pengadilan.7 Setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk bertindak atau cakap hukum dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan, baik secara perorangan maupun gugatan yang dilakukan perwakilan kelompok yang berkepentingan dalam pengajuan gugatan terhadap kasus yang diderita oleh masyarakat/ orang banyak.

Gugatan perwakilan kelompok, yaitu gugatan yang mewakili kepentingan publik atau kelompok tertentu dalam masyarakat.8 Gugatan kelompok ini pada umumnya diajukan oleh kalangan masyarakat maupun organisasi non pemerintah (lembaga swadaya masyarakat) yang bertindak mewakili kepentingan publik atau

6

Ibid., hlm. 40-41

7 Ibid., hlm. 53 8 Ibid.

(9)

kelompok masyarakat tertentu dalam upaya memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka yang dirugikan.

Berkaitan dengan gugatan perwakilan kelompok, dinegara-negara yang menganut sistem hukum civil law maupun common law terdapat beberapa jenis prosedur pengajuan gugatan yang melibatkan sejumlah besar orang secara perwakilan, yaitu:

1. Class Action

Istilah class action berasal dari bahasa Inggris, yaitu gabungan dari kata class dan action. Pengertian class adalah sekumpulan orang, benda, kualitas dan kegiatan yang mempunyai kesamaan sifat atau ciri. Sedangkan pengertian action dalam dunia hukum adalah tuntutan yang diajukan ke pengadilan. Dengan demikian, class action menggambarkan suatu pengertian dimana sekelompok besar orang berkepentingan dalam suatu perkara, satu atau lebih dapat menuntut atau dituntut untuk mewakili kelompok besar orang tersebut tanpa harus menyebutkan satu-persatu anggota kelompok yang diwakili.9

Class action lahir dalam sistem hukum common law, sehingga secara

teori maupun praktek keberadaan class action lebih dikenal oleh negara-negara yang menganut sistem hukum common law daripada di negara-negara-negara-negara yang menganut sistem civil law, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, India, dan negara-negara lainnya. Class action pertama kali dikenal di Inggris pada awal abad ke-18, penerapan prosedur class action hanya di tingkat the Court Chancery, baru kemudian pada tahun 1873 dengan

(10)

diundangkannya the Supreme Court of Judicature Act, class action memasuki masa modern dan diberlakukan di Supreme Court Inggris. Prosedur tersebut diterapkan di pengadilan sabagai cara untuk menangani sejumlah penggugat yang mempunyai kesamaan perkara yang harus diputuskan oleh pengadilan. Berdasar konsep dan praktek yang dilaksanakan di Inggris tersebut selanjutnya

class action berkembang di negara-negara yang menganut sistem hukum common law.10

2. Actio Popularis

Menurut Gokkel, actio popularis adalah gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang, tanpa ada pembatasan, dengan pengaturan oleh negara. Menurut Kotenhagen-Edzes, dalam actio popularis setiap orang dapat menggugat atas nama kepentingan umum dengan menggunakan pasal 1401 Niew BW (pasal 1365 BW). Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa actio popularis adalah suatu gugatan yang dapat diajukan oleh setiap orang terhadap suatu perbuatan melawan hukum, dengan mengatasnamakan kepentingan umum, berdasarkan peeraturan perundang-undangan yang mengatur adanya prosedur tersebut.11

Dalam Black’s Law Dictionary, public interest atau kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat luas atau warga negara secara umum yang berkaitan dengan negara atau pemerintah. Namun pengertian yang lebih mudah mengenai kepentingan umum adalah kepentingan yang harus didahulukan dari kepentingan pribadi atau individu atau kepentingan lainnya,

10 E. Sundari, Pengajuan Gugatan Secara Gugatan perwakilan (Suatu Studi Perbandingan dan

Penerapannya di Indonesia, UAJY, Yogyakarta, 2002, hlm.7

11 Emerson Yuntho, Gugatan perwakilan: Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi

(11)

yang meliputi kepentingan bangsa dan negara, pelayanan umum bagi masyarakat luas dan atau pembangunan di berbagai bidang.

Penyelenggaraan kepentingan umum merupakan tugas dari pemerintah, sehingga gugatan secara actio popularis pada umumnya ditujukan kepada pemerintah. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pelayanan umum juga dilaksanakan oleh pihak swasta, sehingga gugatan actio popularis dapat diajukan pula kepada swasta yang ikut menyelenggarakan kepentingan umum tersebut.12 Jadi, actio popularis merupakan gugatan yang melibatkan kepentingan sejumlah besar orang secara perwakilan oleh seorang atau lebih, namun dalam actio popularis yang berhak mengajukan gugatan adalah setiap orang atas dasar sebagai anggota masyarakat tanpa mensyaratkan sebagai orang yang menderita kerugian secara langsung. Sehingga kepentingan yang dituntut dalam actio popularis adalah kepentingan umum yang dianggap kepentingan setiap anggota masyarakat.13

3. Citizen Law Suit

Prinsip citizen law suit dalam sistem hukum common law, misalnya dalam gugatan terhadap pelanggaran pencemaran lingkungan yang diajukan oleh warga negara, terlepas warga negara tersebut mengalami secara langsung atau tidak langsung dari pencemaran tersebut. Hal ini dikarenakan masalah perlindungan lingkungan merupakan kepentingan umum atau kepentingan masyarakat luas, maka setiap warga negara berhak menuntutnya.14

4. Groep Acties

12 E. Sundari, Op.Cit., hlm.15 13

Emerson Yuntho, Loc.Cit., hlm.7

14 Mas Ahmad Santosa, Konsep dan Penerapan Gugatan Perwakilan (Gugatan perwakilan),

(12)

Groep acties yang mempunyai pengertian sebagai suatu hak yang

diberikan oleh suatu badan hukum untuk mengajukan gugatan mewakili orang banyak. Groep acties merupakan perkembangan baru dalam hukum dan merupakan masalah berkaitan dengan pemberian hak gugat (standing) bagi suatu badan hukum yang mewakili kepentingan orang banyak. Badan hukum tersebut tidak perlu mewakili bagian dari kelompok tersebut yang diwakilinya atau tidak harus tinggal dalam satu daerah dengan masyarakat yang diwakili.15 Dalam prinsip groep acties, badan hukum dapat mewakili kepentingan orang banyak apabila dalam anggaran dasarnya mencantumkan kepentingan yang serupa dengan yang diperjuangkannya di pengadilan, yaitu memperjuangkan kepentingan orang banyak yang diwakilinya namun tidak boleh menuntut ganti rugi berupa uang.16

5. Legal Standing

Legal standing dapat diartikan sebagai kualitas atau hak menggugat

atau berperkara ke pengadilan dengan mengatasnamakan kepentingan kelompok masyarakat tertentu. Gugatan legal standing pada dasarnya dapat diajukan baik oleh citizen standing (hak gugat warga) maupun NGO (non

government organization). Konsep Legal Standing memberikan hak gugat

kepada organisasi nonpemerintah (non government organization) dengan syarat organisasi nonpemerintah tersebut harus berbentuk badan hukum dan di dalam anggaran dasarnya mencantumkan kegiatan yang sama dengan yang diperjuangkan di pengadilan.17

Definisi secara bebas dari legal standing adalah suatu tata cara pengajuan gugatan secara perdata yang dilakukan oleh satu atau lebih lembaga

15

E. Sundari, Op.Cit., hlm.18

16 Emerson Yuntho, Loc.Cit, hlm.7 17 Bambang Sutiyoso, Op.Cit., hlm156

(13)

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat atas suatu tindakan atau perbuatan atau keputusan orang perorangan atau lembaga atau pemerintah yang telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.18 Dalam hukum di Indonesia tidak ditemukan definisi secara jelas dan rinci mengenai pengertian legal standing.

Beberapa perundang-undangan memberikan istilah legal standing secara berbeda-beda. Legal standing dalam Undang-undang Lingkungan Hidup diistilahkan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan. Dalam Undang-undnag Perlindungan Konsumen dikenal sebagai gugatan atas pelanggaran pelaku usaha yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Sedangkan dalam Undang-undnag Kehutanan, Legal Standing diistilahkan sebagai gugatan perwakilan oleh organisasi bidang kehutanan.19

Tidak semua NGO (non government organization) dapat mengajukan

legal standing. Untuk bidang Lingkungan Hidup, dalam Undang-undang No.

23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa hanya organisasi Lingkungan Hidup atau NGO (non government organization) Lingkungan Hidup yang memenuhi beberapa persyaratan dalam mengajukan gugatan legal standing, yaitu:20

a. Berbentuk badan hukum atau yayasan;

b. Dalam anggaran dasar organisasi lingkungan hidup yang bersangkutan menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup;

c. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

18

Emerson Yuntho, Op.Cit., hlm.8

19 Ibid. 20 Ibid.

(14)

Jadi, tidak setiap organisasi lingkungan hidup dapat mengatasnamakan lingkungan hidup, melainkan harus memenuhi persyaratan tertentu. Dengan persyaratan tersebut, maka secara selektif keberadaan organisasi lingkungan hidup diakui memiliki ius standi untuk mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup ke pengadilan, baik ke peradilan umum ataupun peradilan tata usaha negara, tergantung pada kompetensi peradilan yang bersangkutan.21

Pada lingkup Perlindungan Konsumen, dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 menyebutkan gugatan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan. Badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.22

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (juridical normative). Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder saja, yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.23

1. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini mengenai praktek gugatan perwakilan kelompok sebelum dan setelah adanya PERMA No.1 tahun 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan faktor- faktor yang menjadi kendala dalam implementasi PERMA No.1 tahun 2002 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

21

Ibid.

22 Ibid.

(15)

2. Bahan Hukum

Bahan hukum diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, terdiri dari: 1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata

2) Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen. 4) Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

5) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

6) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok, dan

7) Peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan fokus penelitian. b. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, yaitu : putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pus dalam perkara gugatan perwakilan kelompok kenaikan harga LPG, Putusan No.83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst dalam perkara gugatan perwakilan kelompok banjir di Jakarta, hasil-hasil penelitian, buku, jurnal hukum, dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan fokus penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa Indonesia, dan lainnya. Bahan hukum tersier juga dapat berasal di luar bidang hukum, misalnya dari bidang politik, sosial

(16)

dan lain sebagainya, yang dapat dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

Penelitian ini dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library

Research), penelitian kepustakaan merupakan suatu alat pengumpulan data

yang dilakukan melalui data tertulis (data sekunder) dengan mempergunakan content analysis. Penelitian kepustkaan dilakukan dengan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian

b. Studi Dokumentasi

Studi dokumentasi dilakukan dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa putusan pengadilan, risalah sidang, dan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dalam studi dokumentasi, penulis memilih 2 (dua) putusan pengadilan yang berkaitan dengan fokus penelitian, yaitu: putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pus dalam perkara gugatan perwakilan kelompok kenaikan harga elpiji dan Putusan No.83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst dalam perkara gugatan perwakilan kelompok banjir di Jakarta.

4. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni pendekatan hukum yang dilakukan dengan menganalisis putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pus dan Putusan No.83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst dari sudut pandang menurut peraturan perundang-undangan, khususnya Peraturan

(17)

Mahkamah Agung No.1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.

5. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara diskriptif kualitatif yakni dengan mengambil data yang representatif kemudian dianalisis secara kualitatif untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. Data sekunder yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi dokumentasi akan disusun secara sistematis. Data yang disusun secara sistematis tersebut dianalisis untuk dapat memahami fokus penelitian secara mendalam, hasil analisis tersebut kemudian disusun secara sistematis, yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang implementasi gugatan perwakilan kelompok sebelum dan setelah PERMA No.1 Tahun 2002 (Studi Kasus Putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari empat bab yang mempergunakan sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab I. Pendahuluan. Bab I terdiri dari Latar Belakang Masalah; Rumusan Masalah; Tujuan Penelitian; Tinjauan Pustaka; Definisi Operasional; Metode Penelitian; dan Sistematika Penulisan.

Bab II. Tinjauan Umum Tentang Gugatan Perwakilan Kelompok (Class

Action), yang berisi Perkembangan Gugatan Perwakilan Kelompok di Beberapa

(18)

Indonesia, Pengertian Gugatan Perwakilan Kelompok dan Gugatan perwakilan dalam Peradilan Perdata di Indonesia.

Bab III. Penyajian dan Analisis Data. Bab III merupakan bagian penyajian data dan pembahasan, yang berisi: Deskripsi Perkara Putusan Gugatan Perwakilan Kelompok Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.550/Pdt.G/2000/PN.Jkt.Pus dan Putusan No.83/Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst, pertimbangan Hakim dalam memutus perkara dan analisis.

Bab IV. Penutup. BAB IV merupakan bab terakhir sebagai penutup, yang memuat dua hal yaitu: kesimpulan dari hasil pembahasan bab sebelumnya dan saran yang diperlukan dalam permasalahan ini.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan bagan diatas, Muslim kampung Jawa terdiri dari masyarakat pribumi muslim dan urban pendatang yang terintegrasi dalam suatu ikatan primordial, yaitu etnis,

Fungsi Pengelola Closed Out AFE akan melakukan evaluasi/pemeriksaan Realisasi Biaya Proyek/AFE terhadap Closed Out AFE Report yang diterima dari KKKS dan telah

(m.1343H) yang merupakan guru Sheikh Yasin al-Fadani sendiri), Maka saya mengumpulkan sebanyak empat puluh Hadith dari empat puluh kitab dengan sanad-sanadku dalam

1. Riwayat timbulnya ketulian dan progresifitasnya. Riwayat pekerjaan, jenis pekerjaan dan lamanya bekerja. Riwayat penggunaan proteksi pendengaran. Meneliti bising di tempat

arsip vital dengan cara atau metode yang baik dan tepat. Untuk memahami dan mengetahui lebih lanjut tentang

bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2A21, dan dalam

Informasi lebih lengkap mengenai perbedaan atau selisih antar gerakan disajikan pada Tabel III yang menunjukkan dengan detail prosentase selisih antar gerakan yang