• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP ETNOSENTRIS PADA ETNIS TIONGHOA TOTOK

(ASLI) dan PERANAKAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh : Elvin Wijaya

NIM : 029114003

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

MOTTO

Biarlah satu halaman hidupmu

terbuka setiap hari ...

Renungkanlah

Rahasia yang ada di dalamnya...

Rasakanlah

apa yang dikatakannya ...

Simpanlah

Dalam lubuk hatimu ...

Maka kau temukan impian emas yang

Menunggumu dalam tidur

Setiap pagi,

Tatkala engkau terjaga,

Ada seorang teman baru,

Yang rahasia,

(5)

Kupersembahkan karya ini kepada :

Sang Buddha, Guru Agung Nan

Mulia dengan Dhamma

ajaran-Nya

Papa dan Mama tercinta

My Brother “Titi” Fridmen

My Dear Victor

All my friends

(6)
(7)

ABSTRAK

Elvin Wijaya (2007). Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok (asli) dan Etnis Tionghoa Peranakan. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, Jurusan Psikologi, Program Studi Psikologi, Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah etnis Tionghoa Totok (asli) memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi dibandingkan etnis Tionghoa Peranakan.

Subjek dalam penelitian ini berjumlah 120 orang. Terdiri dari 48 etnis Tionghoa Totok (asli) dan 72 etnis Tionghoa Peranakan, yang berstatus mahasiswa. Data diperoleh dengan menggunakan skala sikap etnosentris. Koefisien reliabilitas sebesar 0.9153. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan uji-t. Dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis dilakukan dengan cara membandingkan nilai t hitung dengan t tabel.

(8)

ABSTRACT

Wijaya, E (2007). Ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. Yogyakarta : Departement of Psychology, Faculty of Psychology, Sanata Dharma University.

The proposed of this research was to compare ethnocentric attitude of original chinese ethnic and of mixed ethnic origins. This research was a comparison research. The hypothesis in this research was ethnocentric attitude of original chinese ethnic higher than of mixed ethnic origins.

The subjects in this research are 120 persons. Consist of 48 original chinese ethnic and 72 mixed ethnic origins, were status college students. The data was collected using ethnocentric attitude scale. Reliability coefficient was 0.9153. The research data was measured using t-test and to determinated whether hypothesis can be accepted or unaccepted, it was done by comparing the value of t-count with t-table.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada para Buddha dan Bodhisatva, yang

telah melimpahkan berkah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang disusun

untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini takkan terwujud tanpa bantuan,

bimbingan, dukungan dan dorongan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi

penulis. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang-orang berikut ini :

1. Sang Buddha, yang telah melimpahkan berkat dan anugerah-Nya, yang telah

membimbing dan memberikan kekuatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Papa “Lie” yang pendiam tapi selalu mensupport segala keputusan yang

penulis ambil disetiap langkah dalam kehidupan ini sehingga mengajarkan

penulis untuk mandiri. Mama “Sim” bidadari dalam keluarga, yang selalu

mendoakan, mendengarkan segala keluh kesah penulis dan memberi spirit

moral kepada penulis. Thanks to my parents... elvin beruntung dilahirkan

sama papa dan mama dalam keluarga sederhana ini.

3. Bapak P.Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi yang

telah membimbing dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk

melaksanakan penulisan ini.

4. Ibu Sylvia CMYM, S.Psi., M.Si. selaku Kaprodi Fakultas Psikologi yang telah

membantu dan membimbing penulis secara akademik baik didalam kelas

(10)

5. Bapak Dr. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak

memberikan pengarahan, masukan, kritik dan saran yang telah membuat

penulis siap secara mental dan matang selama pengerjaan skripsi ini.

6. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi., Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi. dan Ibu

A.Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih

telah menjadi dosen pembimbing yang senantiasa membantu penulis

mengenai masalah akademik.

7. Bapak Agung Santoso, S.Psi. yang banyak memberikan masukan, saran, kritik

serta pelajaran kehidupan baik akademik maupun kehidupan nyata. Makasih

ya pak...

8. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Psikologi yang telah mendidik penulis selama studi

di Fakultas Psikologi ini. Terima kasih buat Bapak dan Ibu atas bimbingan

dan arahannya selama ini.

9. Mba’ nanik, Mas Gandung, Mas Mudji, Mas Doni dan Pak Gie’ yang dengan

sabar membantu dan memberi kemudahan bagi penulis selama proses studi

penulis di fakultas Psikologi ini.

10. Pak Bimo dan Pak Siang (INTI), terima kasih atas masukan dan diskusi

mengenai perkembangan masyarakat Tionghoa di Indonesia saat ini.

11. Titi “Fridmen” my brother.... bro.. thanks ya selama ini walaupun loe gak

banyak omong tapi cc tau seberapa besar rasa sayang dan perhatian loe ma cc..

Jangan jadikan kekurangan loe sebagai suatu kelemahan dalam menghadapi

hidup ini oc.. I Love U Bro... you are the best brother for me...

12. All my big family....makasi atas doa, dukungan dan perhatian semua keluarga

(11)

13. Victor, special person in my life. Walaupun kita gak bersama saat ini, rasa

sayang, dukungan dan perbedaan yang kita jalani dalam hubungan ini

menjadikan elvin kaya akan “rasa”. Doa dan kepercayaanmu memberi

kekuatan kepada elvin.

14. My best plend in Padang “ Bule” Vesy, Ai, cc Vera, Edward, “Kawek” Ricky,

Hok An, Beatrix (Vio). Plend, ternyata jarak yang jauh gak membuat

perhatian, kepedulian dan rasa pertemanan yang kita jalin dari dulu luntur.

Makasi supportnya ya...

15. Teman-teman terbaik yang hadir dalam hidupku, Nanoet, Mas Adi, Cinghe,

Laora.. dinamika akademik banyak juga mendewasakan pribadi kita

masing-masing. Kenal dan dekat dengan kalian memberikan banyak warna dalam

hidup elvin.

16. Tumi “Ratna”, Jenk Icha, Jenk Yosi kedekatan yang singkat memberikan

makna yang dalam pada persahabatan ini...

17. Teman-teman di P2TKP Pak Priyo, Pak Toni, Bu Tiwi, Iput, Tita, Otikwati,

Desta, Abe, Mas Kobo dan Obeth. Makasi ya supportnya dan kerjasamanya

selama ini.

18. Teman-Teman Angkatan 2002 Mitha, Lia, Sutri, Anna, Meme, Ajeng, Ucix,

Tanti, Nopex, Bona, Aan, Doddy, Ira, dan yang lain yang tidak bisa penulis

tuliskan satu demi satu. Makasi atas pertemanan selama ini, elvin jadi belajar

banyak karakter.

19. Teman-teman tempat berbagi segala rasa, Kak Shinta, Nitong dan Erika.

Makasi ya selama elvin di jogja, kalian merupakan saudara bagi elvin.

20. Teman-teman mahasiswa Universitas Kristen Duta Wacana, makasi ya atas

(12)

21. Dan tak lupa saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas

kerelaan dan waktu yang pembaca luangkan untuk membaca karya tulis ini.

Penulis menyadari pula adanya ketidak sempurnaan dalam karya tulis ini

karena kesempurnaan hanya dimiliki Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan adanya kritikan dan saran dari pembaca yang bisa menjadi masukan

bagi penulis untuk mengembangkan kemampuan penulis menjadi lebih baik. Kritik

dan saran dapat dikirimkan ke elvin_imoet@yahoo.com. Besar harapan penulis agar

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

Pernyataan Keaslian Karya ... v

Abstrak ... vi

Abstract ... vii

Kata Pengantar ... viii

Daftar Isi ... xii

Daftar Tabel ... xv

Daftar Lampiran ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. LANDASAN TEORI A. Sikap Etnosentris 1. Pengertian ... 6

(14)

3. Aspek – aspek sikap etnosentris ... 12

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap etnosentris ... 13

B. Etnis Tionghoa 1. Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia ... 16

2. Kebudayaan Etnis Tionghoa ... 22

3. Pengelompokan etnis Tionghoa ... 26

a. Etnis Tionghoa Totok ... 27

b. Etnis Tionghoa Peranakan ... 29

C. Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok dan Peranakan ... 31

D. Hipotesis ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 38

C. Defenisi Operasional ... 39

1. Variabel Bebas ... 39

2. Variabel Tergantung ... 40

D. Subjek Penelitian ... 41

E. Prosedur Penelitian ... 42

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 42

1. Skala Sikap Etnosentris ... 42

2. Pemberian Skor Skala ... 45

G. Estimasi Validitas, Seleksi Item dan Reliabilitas ... 45

1. Estimasi validitas ... 45

(15)

3. Estimasi Reliabilitas ... 49

H. Metode Analisis Data ... 50

BAB IV. HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian ... 51

B. Hasil Penelitian ... 51

1. Uji asumsi ... 51

a. Uji Normalitas ... 52

b. Uji Homogenitas ... 52

2. Deskripsi data penelitian ... 53

3. Uji Hipotesis ... 55

C. Pembahasan ... 57

BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 63

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 : Profil etnis Tionghoa Totok (asli) dan Peranakan ... 30

Tabel 2.2 : Aspek-aspek Pembeda ... 36

Tabel 3.1 : Distribusi item skala sikap etnosentris sebelum ujicoba .... 44

Tabel 3.2 : Skor jawaban skala ... 45

Tabel 3.3 : Distribusi item skala sikap etnosentris setelah ujicoba ... 48

Tabel 3.4 : Distribusi item skala penelitian sikap etnosentris ... 49

Tabel 4.1 : Ringkasan One Sample Kolmogorov-Sminorv Test ... 52

Tabel 4.2 : Ringkasan Test of Homogenity of Variances ... 53

Tabel 4.3 : Ringkasan Tabel Data Penelitian ... 54

Tabel 4.4 : Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ... 55

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN UJICOBA

Tabulasi Data Hasil Ujicoba ... 68

Uji Daya Beda Item dan Estimasi Reliabilitas ... 82

LAMPIRAN PENELITIAN Skala Penelitian ... 86

Tabulasi Data Penelitian ... 87

Uji Normalitas ... 105

Uji Homogenitas ... 108

Uji Perbedaan / Uji t ... 109

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk. Masing-masing

masyarakatnya terdiri dari etnis-etnis yang berasal dari berbagai macam latar

belakang sosial dan budaya yang khas dan berbeda satu sama lain.

Setiap etnis membawa kebiasaan-kebiasaan tersendiri yang merupakan hasil

dari proses belajar masing-masing individu dalam kelompok etnisnya. Dalam proses

belajar tersebut individu menanamkan kepribadian, segala perasaan, hasrat, nafsu

serta emosi yang diperlukan sepanjang hidup. Masing-masing etnis juga melakukan

inkulturasi, yaitu proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikap

dengan adat istiadat, sistem norma dan peraturan-peraturan yang hidup dalam

kebudayaannya (Koentjaraningrat, 1980). Proses ini membentuk identitas etnis dalam

diri individu, sehingga memotivasi seseorang untuk belajar tentang sikap etnik yang

meliputi sikap terhadap kelompok sendiri ataupun terhadap kelompok lain.

Sikap etnik yang tertanam dalam diri masing-masing individu terhadap

etnisnya membuat individu tersebut memiliki persepsi tersendiri terhadap etnis lain.

Hasil interpretasi suatu etnis terhadap etnis lain bermacam-macam. Adakalanya

persepsi yang mereka hasilkan berbeda dengan persepsi yang sebenarnya pada etnis

tersebut, sehingga pada akhirnya setiap etnis menganggap etnisnya lebih baik dari

etnis yang lain, hal tersebut diistilahkan dengan etnosentrisme.

Etnosentrisme merupakan perasaan bahwa kelompok etnis mereka lebih baik

ketimbang kelompok etnis lain (Matsumoto, 1996). Pengertian ini diperjelas oleh

(19)

unsur-unsur kebudayaan lain dengan menggunakan norma-norma yang ada pada

kebudayaan sendiri.

Salah satu etnis di Indonesia yang memiliki kecenderungan untuk memiliki

sikap etnosentris yang tinggi adalah etnis Tionghoa. Hal ini terlihat dari hasil

penelitian yang dilakukan oleh Helmi (1990) yang menunjukkan bahwa etnis

Tionghoa memiliki sikap etnosentris. Dilihat dari generasinya, etnis Tionghoa

generasi tua memiliki sikap etnosentris yang lebih tinggi ketimbang generasi muda

etnis Tionghoa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Suryanto dan Tairas (1999)

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara keturunan etnis Tionghoa

dan etnis Jawa dalam sosialisasi, identitas, etnosentrisme dan agresi rasialnya. Secara

umum sosialisasi, identitas, etnosentrisme dan agresi rasial pada etnis Tionghoa lebih

tinggi dibandingkan dengan etnis Jawa.

Etnis Tionghoa merupakan etnis yang baru diakui keberadaannya di Indonesia,

selain jumlahnya yang minoritas, etnis Tionghoa dikenal dengan etnis yang memiliki

perjalanan sejarah yang kurang baik dimata orang Indonesia. Ada yang berpendapat

bahwa masalah-masalah ini terjadi karena orang Tionghoa masih mempertahankan

kebudayaan asing, tidak memiliki identitas Indonesia. Ada yang berpendapat lagi

bahwa orang Tionghoa tidak sepenuhnya berbaur dengan masyarakat pribumi. Ada

lagi yang memiliki persepsi bahwa etnis Tionghoa merupakan sebuah kelompok etnis

yang menduduki tangga ekonomi yang lebih tinggi dan terpisah dari pribumi.

Implikasinya, konsep masyarakat majemuk yang menekankan pada pentingnya

kesukubangsaan, akan selalu menempatkan orang Tionghoa sebagai orang asing,

walaupun orang Tionghoa tersebut berstatus WNI. Secara tidak langsung masyarakat

pribumi mengatakan bahwa etnis Tionghoa yang non pribumi harus membaur menjadi

(20)

Di satu sisi, kecenderungan untuk mempertahankan identitas etnisnya terdapat pada

sebagian warga etnis Tionghoa, sedangkan di sisi lain, mereka telah merasa menjadi

bagian dari masyarakat Indonesia.

Berdasarkan perjalanan masyarakat Tionghoa di Indonesia, etnis Tionghoa di

Indonesia bukan merupakan minoritas yang homogen. Identifikasi terhadap

masyarakat etnis Tionghoa dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu etnis

Tionghoa asli (atau juga disebut sebagai etnis Tionghoa Totok) dan etnis Tionghoa

Peranakan (Tan, 1979; Skinner, 1979).

Etnis Tionghoa Totok (asli) berorientasi pada budaya Tionghoa dan

betul-betul menganggap dirinya bukan orang Indonesia, menggunakan bahasa Tionghoa,

bersekolah dengan bahasa pengantar bahasa Tionghoa dan mempunyai hubungan

kekerabatan dengan orang-orang Tionghoa di luar Indonesia. Etnis Tionghoa Totok

(asli) ini sebagian besar menjadi warga negara Indonesia melalui naturalisasi karena

lahir di Indonesia.

Etnis Tionghoa Peranakan adalah mereka yang lahir dari perkawinan

campuran antara orang Tionghoa dan Indonesia. Etnis Tionghoa Peranakan memiliki

tingkat akulturasi dan identifikasi diri yang bermacam-macam terhadap budaya

Indonesia. Mereka dapat berbahasa Indonesia atau berbahasa daerah di tempat mereka

dilahirkan (Tan, 1979). Minoritas yang heterogen ini oleh pemerintah Indonesia

maupun oleh masyarakat pribumi sering dianggap sebagai minoritas yang homogen,

sehingga terkesan antara etnis Tionghoa Totok (asli) dengan etnis Tionghoa

Peranakan tidak memiliki perbedaan.

Perasaan minoritas yang ada pada masyarakat etnis Tionghoa membuat

mereka mengidentifikasikan dirinya dalam suatu kelompok. Kelompok tersebut

(21)

disebut sebagai out-groupnya, dimana individu-individu anggota kelompok tersebut dianggap sebagai lawan dari in-groupnya (Boner dalam Helmi, 1990). Sikap ini disebabkan karena dengan berbaur dengan etnis atau suku lain membuat mereka

merasa tidak nyaman, ada perasaan dikucilkan atau didiskriminasikan oleh etnis atau

suku lain yang mayoritas. Hal ini secara tidak langsung memunculkan sikap

etnosentrisme pada etnis Tionghoa.

Sebagian etnis Tionghoa merasa diri mereka merupakan kelompok yang

eksklusif atau istimewa dibandingkan dengan etnis lain sehingga etnis Tionghoa

cenderung untuk tidak membaur dengan masyarakat setempat yang berbeda etnis

dengan mereka. Salah satu contoh adanya perasaan eksklusif yang terlihat pada etnis

Tionghoa adalah keinginan etnis Tionghoa untuk mencari pasangan hidup yang

sesama etnis.

Sikap etnosentris dapat dilihat pada etnis Tionghoa melalui

fenomena-fenomena yang telah dipaparkan penulis sebelumnya dan penelitian yang telah

dilakukan oleh berbagai peneliti. Pada penelitian ini, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitan dengan lebih khusus melihat etnis Tionghoa yang heterogen, yang terdiri

atas etnis Tionghoa yang Totok (asli) dan etnis Tionghoa Peranakan. Peneliti ingin

mengetahui perbedaan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan etnis

Tionghoa Peranakan.

B. Rumusan Masalah

Melihat fenomena yang telah diungkap diatas maka peneliti ingin membatasi

permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu apakah ada perbedaan

(22)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan permasalahan tersebut maka penelitian ini memiliki

tujuan untuk membandingkan sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok (asli) dan

etnis Tionghoa Peranakan.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Untuk menambah kasanah pengetahuan di bidang Psikologi sosial

khususnya Psikologi budaya tentang sikap etnosentris dan dinamikanya dalam

kontak sosial antar budaya.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran pada masyarakat etnis

Tionghoa untuk mengetahui seberapa besar sikap etnosentris yang dimiliki etnis

Tionghoa dan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi

masyarakat etnis Tionghoa yang ada di Indonesia dalam pengembangan dan

peningkatan proses asimilasi dengan masyarakat Indonesia lainnya dalam

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Sikap Etnosentris 1. Etnosentrisme

a. Pengertian

Tuhan menciptakan manusia sebagai mahkluk sosial. Kedudukan

manusia sebagai mahkluk sosial mendorongnya untuk membentuk kelompok

sosial. Kelompok sosial ini dilandasi oleh kesamaan kepentingan dan tujuan.

Oleh karena itu, setiap anggota kelompok dengan sadar akan menjalin

hubungan timbal balik dengan sesama anggota untuk mempererat hubungan

dalam kelompok. Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka terdapat

pola-pola perilaku dan aturan permainan yang mengatur hubungan antar

anggota dalam kelompok, misalnya nilai-nilai dan norma-norma sosial. Hal

ini merupakan faktor pengikat yang mempererat hubungan timbal balik

tersebut (Helmi, 1990).

Norma dan nilai yang terkandung dalam suatu kelompok memiliki

fungsi untuk memberikan arah dan pedoman terhadap perilaku anggota

dalam kelompok. Oleh sebab itu, agar setiap anggota dapat diterima dengan

baik dalam hubungan timbal balik tersebut, maka para anggota harus mampu

untuk mengidentifikasikan nilai dan norma kelompok. Proses identifikasi ini

akan menimbulkan perasaan in-group dan orang yang berada di luar kelompok disebut out-group (Helmi,1990).

(24)

sedangkan out-group merupakan individu yang bukan bagian dari suatu kelompok sosial tertentu. Perasaan in-group disertai dengan perasaan persaudaraan yang memandang anggota kelompok sendiri sebagai “orang

kita” atau “keluarga sendiri”. Sebaliknya, orang-orang diluar kelompok

dipandang sebagai “orang asing” atau “orang lain”. Perasaan yang ada pada

kelompok in-group terhadap kelompok out-group cenderung lebih dingin, bahkan kadang-kadang disertai dengan rasa permusuhan (Ahmadi, 1991).

Dalam suatu kelompok biasanya terdapat kecenderungan untuk

menganggap segala yang termasuk didalam kelompoknya sebagai yang

utama, baik, riil, logis dan sebagainya. Sedangkan segala yang berbeda dan

tidak termasuk didalam kelompok sendiri dipandang kurang baik, tidak baik

dan tidak susila. Dalam in-group dimana individu termasuk didalamnya, terdapat kecenderungan untuk sering mengadakan identifikasi atau

penyesuaian diri dengan kelompok. Adanya unsur mendukung, mengikuti

norma yang ada dalam kelompoknya disebut sebagai in-group. Dalam out-group, individu berada diluar suatu kelompok. Ia merasa bahwa ia tidak tergolong didalamnya (Ahmadi, 1991).

Sikap in-group pada umumnya mempunyai faktor simpati dan solidaritas yang tinggi, serta selalu mempunyai perasaan dekat dengan

anggota kelompoknya. Sedangkan sikap terhadap out-group selalu ditandai dengan suatu antagonisme atau antipati. Perasaan in-group atau in-group feeling yang kuat yang dimiliki individu dalam suatu kelompok dan memandang nilai-nilai budaya maupun segala sesuatu yang ada dalam

dirinya lebih baik dari individu ataupun kelompok lain disebut sebagai

(25)

pernyataan Soekanto (1982) bahwa etnosentrisme merupakan sikap melihat

dan melakukan interpretasi terhadap orang lain berdasarkan nilai-nilai

budaya sendiri. Sumner (dalam Berry, 1999) menyatakan bahwa

etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan kuat yang diterapkan suatu

kelompok dengan membuat patokan kelompok sendiri sebagai patokan

satu-satunya ketika memandang kelompok lain, dengan akibat menempatkan

kelompok sendiri pada kedudukan teratas dan mendudukkan kelompok lain

pada kedudukan lebih rendah.

Myers (1999) menjelaskan bahwa etnosentrisme adalah keyakinan

suatu kelompok terhadap superioritas etnis dan budayanya sendiri sehingga

menganggap rendah kelompok lain diluar kelompoknya. Dayakisni dan

Yuniardi (2004) menggambarkan etnosentrisme sebagai suatu sikap dalam

melihat dan melakukan interpretasi terhadap seseorang ataupun kelompok

lain berdasarkan nilai-nilai yang ada pada budayanya sendiri. Memperjelas

pengertian ini, Barger (2004) menyatakan bahwa etnosentrisme merupakan

kecenderungan berpikir bahwa kelompoknya sendiri lebih superior dari

kelompok lain atau menilai kelompok lain inferior dari kelompoknya

sendiri. Poerwanti (2001) mendefinisikan etnosentrisme sebagai pandangan

bahwa kelompok sendiri merupakan pusat segalanya dan kelompok lain

akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompoknya

sendiri.

Dengan pengertian etnosentrisme yang dipaparkan penulis diatas,

gambaran adanya sikap etnosentris dapat dilihat antara lain pada

orang-orang Yahudi, yang menganggap dirinya sebagai orang-orang terpilih; orang-orang

(26)

kurang beradab dan orang Tionghoa yang menganggap negaranya sebagai

kerajaan yang paling besar.

Etnosentrisme menjadikan kebudayaan sendiri sebagai patokan

dalam mengukur baik buruk, tinggi rendah, serta benar atau tidaknya

kebudayaan lain berdasarkan standar kebudayaannya sendiri. Hal ini

terwujud dengan adanya kesetiakawanan yang kuat antar anggota terhadap

kebudayaannya sendiri, tidak adanya kritikan terhadap kelompok etnis atau

bangsa sendiri, disertai prasangka negatif terhadap kelompok etnis atau

bangsa lain (Poerwanti, 2001). Kecenderungan untuk menjadi etnosentris

akan mengakibatkan seseorang menilai kelompok lain menurut kategori dan

nilai budayanya sendiri.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme adalah

suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari suatu kelompok sosial berdasarkan

etnis tertentu, yang memiliki in-groupfeeling yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan, nilai, keyakinan, pandangan,

sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya sebagai segala sesuatu yang

terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok sosial lain. Secara

sederhana, konsep etnosentrisme dapat dikatakan sebagai konsep hubungan

sosial antar anggota dalam kelompok dengan anggota luar kelompok yang

mana hubungan itu biasanya lebih banyak dilakukan oleh anggota dalam

kelompok daripada anggota luar kelompok, sehingga orang yang memiliki

sikap etnosentris yang tinggi akan banyak berhubungan dengan sesama

anggota dalam kelompoknya dibandingkan dengan orang di luar

kelompoknya. Hal ini disebabkan etnosentrisme mengandung dua dimensi

(27)

b. Sikap Etnosentris dalam Kelompok Etnis

Matsumoto (1996) mengungkapkan bahwa setiap pribadi dari individu

cenderung memiliki sikap etnosentris. Individu yang cenderung memiliki

sikap etnosentris beresiko untuk menilai orang lain dari sudut pandang

kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentris muncul dalam diri individu

disebabkan oleh kurangnya pengalaman, pengetahuan ataupun komunikasi

mengenai etnis lain diluar etnisnya (Poerwanti, 2001). Pengetahuan dan

pengalaman yang dimaksud dapat berupa jatidiri etnis, norma kultural,

bahasa yang beranekaragam pada masing-masing etnis serta pergaulan

dengan individu lain diluar etnisnya. Hal ini menyebabkan komunikasi dan

pergaulan antar individu antara satu etnis dengan etnis lainnya menjadi

terbatas.

Brown (1986) menambahkan bahwa sikap etnosentris memiliki 2

dimensi, yaitu dimensi positif dan dimensi negatif. Dimensi positif dari

sikap etnosentris mengandung makna pemberian identitas diri yang dapat

meningkatkan kebanggaan diri terhadap kelompoknya, sedangkan dimensi

negatif mengandung makna menganggap rendah terhadap kelompok di luar

kelompoknya.

Norma kultural diartikan sebagai wujud dari sikap dan perilaku yang

ditanamkan kepada setiap individu sejak awal perkembangan individu yang

diinternalisasikan melalui proses belajar dari keluarga maupun lingkungan

kelompok etnis (Berry, 1999). Norma kultural mengandung hal-hal yang

berbau kebudayaan serta adat istiadat yang ada dalam kelompok etnis atau

(28)

Norma kultural memiliki peranan yang penting dalam menentukan

apa yang dipelajari seseorang. Nilai-nilai kultural atau budaya yang

ditanamkan oleh budaya pada masing-masing individu dapat berubah secara

mencolok bila mendapat tekanan dan pengaruh dari lingkungan (Helmi,

1990). Budaya yang terinternalisasi pada masing-masing individu memiliki

derajat internalisasi yang berbeda-beda pada setiap individu anggota

kelompok budaya tersebut (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Individu yang

mendapatkan pengetahuan mengenai norma kultural yang besar dari

keluarga maupun lingkungan kelompok etnisnya menjadikan individu

tersebut memiliki kecenderungan untuk bersikap etnosentris. Norma kultural

berdampak pada sikap etnosentris, secara positif norma kultural dapat

menjadikan individu melestarikan budaya dan adat istiadat yang terdapat

pada etnisnya sebaliknya menjadi negatif bila individu mengganggap adat

istiadat dan budaya etnis lain lebih rendah dari etnisnya.

Jatidiri etnis merupakan keseluruhan seseorang yang mencakup

pribadi (misal nama) dan sosial (misal keluarga). Jatidiri etnis dapat

dikatakan sebagai bagian konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan

tentang keanggotannya dalam suatu kelompok sosial, bersama dengan nilai

dan signifikansi emosional yang dilekatkan pada keanggotaan itu. Jatidiri

etnis seseorang berasal dari kelompok etnis dimana ia menjadi anggotanya.

Dalam hal ini, individu merasa mereka menjadi milik kelompok dan bekerja

untuk mengutamakan kelompok dan keanggotaan mereka (Berry, 1999).

Jati diri etnis yang terdapat pada diri individu dapat terlihat dari

ciri-ciri fisik yang ada dalam diri individu, misalnya etnis Tionghoa memiliki

(29)

cenderung berasal dari Afrika. Jati diri etnis merupakan bentuk representasi

diri individu dari kelompok etnisnya. Jatidiri etnis secara sederhana dapat

digambarkan sebagai budaya dari etnisnya yang melekat secara langsung

pada diri individu. Hal ini secara positif berdampak pada sikap etnosentris,

yaitu individu menjadi istimewa dan bangga menjadi anggota dalam

kelompok etnisnya. Berdampak negatif disaat individu merasa bahwa jatidiri

etnisnya lebih baik dari jatidiri etnis yang lain.

Seringkali kesamaan jatidiri pada etnis membuat anggota dalam

kelompok etnis berkumpul, bergaul dan berinteraksi hanya dengan sesama

anggota dalam kelompok etnisnya. Identifikasi yang besar terhadap etnisnya

menjadikan individu dalam kelompok etnis memiliki in-group feeling yang kuat. Rasa kebersamaan dalam kelompok yang berlebihan memunculkan

dimensi yang negatif dari sikap etnosentris. Individu jadi berkelompok dan

bergaul hanya dengan anggota dalam kelompok etnisnya. Keengganan untuk

menjadikan orang lain diluar etnisnya sebagai teman menjadi besar. Rasa

bangga yang besar terhadap kelompok etnis sendiri menjadikan

terbentuknya stereotipe dari kelompok diluar etnis terhadap kelompok etnis

tersebut.

Stereotipe merupakan kepercayaan bahwa semua anggota suatu

kelompok memiliki ciri-ciri tertentu atau menunjukkan perilaku tertentu

(Muzammil, 2006). Menurut Mulyana (2000), stereotipe adalah kategorisasi

atas suatu kelompok secara serampangan dengan mengabaikan

perbedaan-perbedaan individual.

Stereotipe seringkali didasari oleh fakta dan fiksi mengenai orang

(30)

sederhana, kaku dan tidak akurat. Ketidakakuratan ini terjadi akibat adanya

overgeneralisasi dari pengalaman pribadi atau informasi yang masuk

sehingga individu cenderung untuk bergaul dengan anggota dalam kelompok

etnisnya (Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Saat teman kita dari Batak

berbicara dengan suara lantang dan keras, maka selanjutnya kita

menggeneralisasi bahwa semua orang Batak memiliki watak yang keras dan

suara yang lantang.

Bahasa merupakan salah satu jembatan untuk berpartisipasi dalam

lembaga sosial dan ekonomi masyarakat. Persoalan yang paling penting

yang berkaitan dengan bahasa dalam masyarakat majemuk adalah

pelestarian bahasa. Pelestarian bahasa dalam kelompok etnis adakalanya

dipengaruhi oleh keinginan anggota kelompok untuk melestarikan bahasa

mereka dalam masyarakat dominan dengan menggunakan bahasa itu sendiri

dan mengajarkannya kepada keturunannya (Berry,1999).

Bahasa yang pertama dipelajari seseorang adalah bahasa ibu, yang

seterusnya akan memberikan sumbangan bagi pembentukan diri dan

pengembangan kepribadian individu. Bahasa merupakan salah satu unsur

warisan budaya yang khas. Hal ini membuat masyarakat sadar untuk

mempertahankan dan melestarikan bahasa sebagai sesuatu yang berdiri

sendiri dan membedakan mereka dari individu yang lain (Yulia, 1997).

Salah satu contoh yang dapat dilihat adalah budaya Tionghoa, mereka tetap

melestarikan bahasa dan budayanya. Etnis Tionghoa menggunakan bahasa

Tionghoa dalam berkomunikasi dengan sesama etnis mereka.

Berkomunikasi dengan bahasa Tionghoa membuat etnis Tionghoa merasa

(31)

dipertahankan oleh etnis Tionghoa. Bahasa merupakan cerminan dari

terpeliharanya suatu budaya.

Bahasa merupakan salah satu aspek dari sikap etnosentris yang

mengandung dimensi negatif. Hal ini dikarenakan etnis tersebut

menggunakan bahasa yang berasal dari budayanya dan tidak menggunakan

bahasa dominan dimana etnis tersebut berada. Bentuk pelestarian bahasa

akan menyebabkan komunikasi dan kontak sosial terhadap kelompok lain

menjadi tidak harmonis. Misalnya, setiap etnis yang ada di Indonesia

berkomunikasi dengan bahasa yang terdapat pada etnis mereka

masing-masing, setiap etnis merasa bahasa yang terdapat pada etnisnya lebih baik

daripada etnis lain dan merendahkan bahasa dari etnis lain. Hal ini

menimbulkan sikap etnosentris pada kelompok etnis.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap etnosentris

mengandung dua dimensi yaitu, dimensi negatif dan dimensi positif.

Aspek-aspek yang terdapat pada sikap etnosentris seperi norma kultural, jatidiri

etnis, pergaulan dan bahasa masing-masing memiliki dimensi positif dan

dimensi negatif.

c. Pembentukan Sikap Etnosentris

Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap etnosentris

adalah:

(1) Lingkungan keluarga

Menurut Helmi (1990), sikap etnosentris terbentuk melalui

interaksi nilai-nilai yang ada dalam diri individu dan pengaruh

lingkungan melalui proses belajar. Hal lain yang juga berkaitan dengan

(32)

in-group yang kuat sejak tahap-tahap awal perkembangan manusia. Media yang sangat berpengaruh atas proses sosialisasi adalah lembaga

keluarga (Helmi, 1990).

Sejak masih kanak-kanak, individu secara alamiah mampu

untuk membedakan dirinya berdasarkan keanggotaan kelompok, yakni

menjadi bagian dari sebuah keluarga. Sumner (dalam Brewer dan

Miller, 1996) mengistilahkan hal tersebut dengan in-group dan out-group, yakni pengelompokan sosial yang dilakukan individu apakah menjadi bagian atau bukan merupakan bagian dari suatu kelompok

sosial.

Tajfel (dalam Brewer dan Miller, 1996) menyatakan, perasaan

in-group sudah nampak sejak usia anak-anak. Pada usia 6 atau 7 tahun, misalnya anak-anak sudah memperlihatkan kecintaan yang kuat pada

bangsanya, meskipun mereka belum mengerti apa arti bangsa itu

sendiri. Orang tua merupakan dasar dari perkembangan etnosentrisme.

(2) Lingkungan masyarakat atau tempat tinggal

Setiap manusia lahir membawa potensi perilaku dan berada

dalam suatu kondisi sosial. Kondisi sosial masing-masing individu

berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini termasuk dalam hal

nilai-nilai yang mengatur perilaku mana yang boleh dipelajari dan

tidak boleh dipelajari. Hal ini mengartikan bahwa manusia diajar oleh

lingkungan sosialnya untuk dapat membuat respon tertentu dan tidak

merespon yang lain. Oleh Segall (dalam Dayakisni dan Yuniardi,

(33)

Child (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) berpendapat

bahwa sosialisasi sebagai proses dalam diri individu, dimana individu

tersebut dilahirkan dengan potensi perilaku yang luas, yang mengarah

pada pengembangan perilaku nyata yang dibatasi lebih sempit pada

suatu kebiasaan dan dapat diterima oleh individu dengan standar

nilai-nilai yang ada pada kelompoknya.

Proses sosialisasi biasanya melibatkan reinforcement

didalamnya. Adanya reward sosial dan punishment sosial, membuat individu belajar perilaku mana yang boleh dilakukan dan dilarang

untuk dilakukan. Individu akan diberi penghargaan jika perilakunya

diterima oleh lingkungan sosialnya dan hukuman terhadap perilaku

yang tidak diinginkan atau dilarang oleh lingkungan sosialnya

(Dayakisni dan Yuniardi, 2004). Dengan demikian, lingkungan sosial

dapat memperkuat atau memperlemah terbentuknya sikap etnosentris

melalui adanya reward sosial dan punishment sosial yang dibentuk sesuai dengan aturan dan standar nilai yang ada pada masing-masing

kelompok sosial.

(3) Lingkungan sekolah atau pendidikan

Sistem pendidikan tidak hanya sebagai institusi untuk

meningkatkan kemampuan dalam berpikir dan pengetahuan. Tetapi

juga merupakan institusi yang mensosialisasikan individu,

mengajarinya dan memperkuat nilai-nilai budaya yang penting.

Pada sistem pendidikan penanaman nilai-nilai budaya dan

(34)

(1) materi yang yang diajarkan sekolah merefleksikan pilihan-pilihan

yang secara apriori melalui anggapan yang dihargai oleh suatu budaya

atau masyarakat tentang apa yang diyakini penting untuk dipelajari. (2)

Setting lingkungan dimana pendidikan itu berjalan perlu untuk dipertimbangkan. Tanpa memperhatikan setting lingkungan, sarana yang memungkinkan pendidikan terjadi akan memperkuat tipe

nilai-nilai budaya tertentu pada sipenerima pendidikan itu. Organisasi,

perencanaan dan pelaksanaan dari rencana pelajaran merupakan bagian

yang penting dari faktor sosialisasi (Dayakisni dan Yuniardi, 2004).

Di sekolah, sebagian besar hidup individu dihabiskan tidak

dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang awalnya terbentuk

pada hubungan dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam

situasi bergaul, bekerjasama dan sekolah (Matsumoto, 2004). Sekolah

melembagakan nilai-nilai budaya dan merupakan kontributor

perkembangan intelektual serta perkembangan sosial dan emosi

individu. Dengan demikian, perkembangan sikap etnosentris pada

individu dapat berbeda-beda tergantung dari internalisasi nilai-nilai

budaya yang diajarkan dalam sistem pendidikan pada individu.

B. Etnis Tionghoa

1. Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia

Orang Cina yang pertama kali datang di Indonesia adalah seorang pendeta

agama Buddha bernama Fa Hien. Ia singgah di Pulau Jawa pada tahun 413. Daerah

yang pertama kali didatangi adalah Palembang. Pada masa itu Palembang merupakan

(35)

Orang Cina yang merantau saat itu kemudian menetap secara tersebar di

daerah-daerah yang merupakan tempat penting dalam perdagangan di Indonesia.

Objek perdagangan pada masa itu adalah beras, lada dan gula (Hidayat, 1977).

Belanda dan bangsa-bangsa Barat lainnya seperti Inggris dan Portugis masuk

ke Indonesia dan melakukan penjajahan politik dan ekonomi. Pemerintah Hindia

Belanda berusaha meningkatkan perdagangan antar pulau dan mulailah terjadi

perdagangan besar-besaran antar pulau di seluruh Indonesia oleh VOC. Berhubung

orang Cina umumnya merantau sebagai pedagang maka kesempatan ini digunakan

oleh orang Cina untuk migrasi secara besar-besaran ke indonesia.

Pada abad ke-19 dengan berkembangnya perdagangan antar pulau, kedatangan

para migran asal Cina ini makin besar, bahkan bila semula yang datang hanya

laki-laki sehingga menyebabkan sering terjadinya perkawinan dengan penduduk Pribumi,

maka sekarang mereka datang berbondong-bondong membawa anak isteri dan

membentuk perkampungan sendiri yang umumnya terdiri dari penduduk dari ras Cina

(pe'Cina'n).

Kedatangan rombongan orang Cina ini lebih-lebih terjadi dengan pembukaan

perkebunan-perkebunan yang luas di Sumatera oleh pemerintah Hindia Belanda.

Banyak orang Cina yang terdiri dari kaum buruh, hijrah ke Indonesia dan bermukim

di sepanjang pantai Timur Sumatera, pulau Bangka dan Belitung. Pengelompokan

penduduk ras tertentu secara demikian menghasilkan kelompok-kelompok ras Cina

yang hidup secara eksklusif dan menyuburkan tradisi budaya pre mordial Cina. Ini

menghalangi proses asimilasi selanjutnya.

Situasi eksklusivisme Cina/Tionghoa bukan hanya terjadi secara alamiah,

sebab pemerintah Cina demi alasan ekonomi ikut mendorong pelestarian budaya Cina

(36)

ekonomi. Situasi ini bertambah parah lagi karena pemerintah kolonial ikut pula

melestarikan budaya eksklusif ini dengan politik adu-dombanya. Pemerintah kolonial

menginginkan agar orang Cina tidak terlalu dekat dengan orang Pribumi sehingga

orang Cina tidak menjadi pesaing bagi pemerintah kolonial tetapi dapat dijadikan

pelaku dagang yang menguntungkan Belanda .

Potensi dagang orang Cina mengkhawatirkan pemerintahan kolonial Belanda

yang berada di Indonesia. Bila orang-orang Cina yang sangat berbakat dagang itu

bersatu dengan orang-orang Pribumi maka kedudukan pemerintah kolonial pasti

terancam. Itulah sebabnya oleh Belanda orang-orang Cina diadu dan dijadikan perisai

dalam menghadapi orang-orang Pribumi khususnya dalam hal perdagangan.

Tuduhan eksklusivisme orang Cina menebal dengan adanya kerinduan

sebagian besar orang Cina untuk mencari uang sebanyak-banyaknya di tanah seberang

dan mengirimkan kepada keluarga mereka di Cina.

Memasuki abad ke-XX dimana-mana timbul kesadaran nasionalisme, baik di

Cina maupun Indonesia. Situasi ini dihadapi oleh pemerintah Belanda dengan

mempertajam politik adu-dombanya, lebih-lebih jumlah orang Cina di Indonesia pada

awal abad itu sudah mencapai lebih dari satu juta jiwa. Orang Cina memang

merupakan dilema bagi orang Belanda. Disatu pihak mereka merupakan pesaing

dagang, di pihak lain mereka diperlukan sebagai perantara bahkan perisai untuk

menghadapi orang Pribumi (Koentjaraningrat, 2002).

Banyak orang Cina dijadikan sebagai penarik pajak dari orang Pribumi dan

banyak diantaranya menggunakan tugas itu untuk keuntungan diri sendiri pula. Itulah

sebabnya kemudian orang Cina dianggap warga negara kelas-2 oleh Belanda, dan

(37)

lainnya. Ini untuk menghadapi orang Pribumi yang dianggap sebagai warga negara

kelas-3 (Herlianto, 2001).

Sekalipun demikian banyak orang Cina yang memang pada dasarnya adalah

pedagang bebas tidak mau begitu saja direndahkan sekedar menjadi pedagang

perantara. Banyak diantaranya kemudian menjadi penyelundup dan berdagang

langsung dengan penduduk Pribumi.

Makin besarnya jumlah orang Cina, membuat kesadaran nasionalisme pada

orang-orang Cina meningkat, hal ini dapat dilihat dengan didirikannya

sekolah-sekolah Cina di Indonesia. Perkembangan tersebut membuat orang Cina lebih senang

menyebut diri mereka sebagai 'Tionghoa' untuk mengaitkan diri dengan tanah leluhur

'Tiongkok.

Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah eksklusif yang

dinamakan Holandse Chinese School dengan status subsidi pada tahun 1908 yang dibedakan dengan Holandse Indische School untuk orang-orang Pribumi. Sekolah Cina/Tionghoa memiliki kurikulum yang disamakan dengan sekolah-sekolah Belanda

dan dengan bahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1917 pemerintah Belanda

menyamakan hukum orang Cina dengan Belanda dan meninggikan status orang Cina

daripada Pribumi. Sejak itu orang Cina mendapat tiga kursi wakil dalam Volksraad

(DPR) (Herlianto, 2001).

Kedekatan orang Cina dengan Belanda juga dipicu oleh banyaknya

orang-orang Cina yang kemudian masuk agama Kristen dan Katolik yang sama dengan

agama orang-orang Belanda. Pada tahun 1920 orang-orang Cina yang berpendidikan

Belanda mendirikan organisasi Chung Hua Hui yang mendapat perwakilan di

Volksraad pada tahun 1939. Pada tahun 1940 banyak orang Cina belajar ke negeri

(38)

Belanda. Pada tahun 1932 juga berdiri Partai Tionghoa Indonesia dan diberi kursi di

Volksraad tahun 1939 yang bertujuan agar orang-orang Cina perantauan menjadi

warga negara Indonesia dan melepaskan diri dari kewarga-negaraan negeri Cina

(Herlianto, 2001).

Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan orang Indonesia pribumi

memang dilandasi sikap antipati kepada kolonialis Belanda tetapi juga kepada

orang-orang Tionghoa yang hidupnya secara ekonomis lebih maju dari mereka. Dalam

kenyataannya memang orang-orang Indonesia Pribumi sangat tertinggal dari mereka

baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun politik. Ini disebabkan karena

politik ekonomi pemerintah kolonial yang berat sebelah (Herlianto, 2001).

Pada waktu penjajahan Jepang di tahun 1941-1945, kemelut ekonomi

menjadikan ekonomi rakyat Pribumi makin terpuruk dan menjadikan orang-orang

Cina memonopoli ekonomi dan menjadi tukang kredit. Di masa itu ada banyak orang

Cina yang memihak rakyat pribumi dan melawan Belanda, tetapi banyak juga yang

membela Belanda dimana selama ini mereka telah mendapat keuntungan dari

Belanda. Disisi lain, banyak yang berusaha menyelamatkan diri dan hanya mencari

keuntungan di pemerintahan manapun yang ada pada masa tersebut (Herlianto, 2001).

Setelah kemerdekaan RI di tahun 1945 dan Belanda meninggalkan RI di tahun

1950, kekosongan ekonomi yang ditinggalkan oleh monopoli Belanda dengan segera

diisi oleh para pedagang Cina. Dengan demikian di awal kemerdekaan RI, sebagian

perusahaan dan usaha dagang dikuasi orang-orang Cina baik di kota maupun di

desa-desa (Herlianto, 2001).

Sementara itu, pemerintah Cina meniupkan politik Nasionalisme Tiongkok,

sehingga pemerintah Tiongkok mulai memperhatikan Hoa-Kio (Tionghoa

(39)

kewarganegaraan RRC dengan menganut prinsip ius sanguinis, yaitu semua anak yang lahir dari ayah atau ibu etnis Tionghoa adalah warga negara Cina tanpa

memandang tempat kelahirannya. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip ius soli, dimana semua anak yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia tanpa

memandang kewarganegaraan orang tuanya (Herlianto, 2001).

Di Indonesia, peristiwa anti etnis Tionghoa terlihat dengan adanya peristiwa

G30S PKI. Pemerintah Indonesia curiga bahwa orang Tionghoa ikut terlibat pada

peristiwa ini. Akibatnya, pemerintah orde baru segera mengambil tindakan dengan

menutup konsulat dan kedutaan RRC (Soekisman, 1975).

Di tahun 1967, orang-orang etnis Tionghoa dianjurkan untuk mengganti

namanya dengan nama Indonesia untuk memperkecil perbedaan antara WNI

keturunan Cina dengan WNI asli. Sekalipun demikian, memang tidak mudah bagi

orang-orang Cina yang secara tradisi budaya memiliki perasaan eksklusif dan

superioritas untuk bisa menempatkan diri dalam konteks kemerdekaan. Apalagi ketika

di jaman Belanda warganegara Indonesia memiliki tingkatan yang sama dengan

orang-orang Belanda dan dibuat lebih tinggi statusnya dari orang-orang Pribumi.

Keunggulan dalam perdagangan dan pendidikan waktu itu menyebabkan program

ganti nama seakan-akan mudah layaknya berganti baju dengan badan yang sama

(Soekisman, 1975).

Untuk mengikis sikap eksklusivisme itu, pemerintah melarang penggunaan

simbol-simbol Cina, baik berupa surat kabar maupun penggunaan bahasa Cina di

muka umum. Pada tahun itu pula dikeluarkan peraturan untuk tidak menggunakan

nama 'Tionghoa' karena konotasi keterkaitannya dengan 'Tiongkok' negeri leluhur ras

ini. Untuk meredam konflik lebih besar pemerintah Orde Baru memandang

(40)

Pribumi, dan menganjurkan agar WNI keturunan Cina dapat membuka usaha bersama

orang Pribumi (Soekisman, 1975).

2. Kebudayaan etnis Tionghoa

(a) Sikap Mental Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa memiliki sikap mental yang berlandaskan pada ajaran

Kong Fu Tse ; yang menekankan pada sikap hubungan keluarga, negara dan

bangsa berdasarkan kesadaran akan kedudukan orang Tionghoa yang lebih

superior, lebih tinggi dan lebih maju (Hidayat, 1977). Pandangan ini

menyebabkan orang Tionghoa tidak mudah melepaskan diri dari adat istiadat

dan kebiasaan sosialnya.

Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak untuk pertama kalinya,

hal ini akan memudahkan anak untuk menerima nilai-nilai yang diajarkan

oleh orang tuanya. Terlebih lagi ajaran Kong Fu Tse menyangkut kedudukan

setiap anggota keluarga sehingga memungkinkan social control yang kuat dalam menginternalisasi nilai-nilai kepada anak (Haryono, 1993). Salah satu

sifat khas orang Tionghoa adalah tetap mempertahankan pola pemikiran,

perbuatan dan pola kehidupan tradisi leluhurnya (Hidayat, 1977). Oleh

karena itu, ajaran Kong Fu Tse mengenai keluarga tertanam begitu kuat

dimanapun orang itu berada.

Pada tingkat kelompok, kuatnya nilai-nilai kekeluargaan yang tertanam

pada orang Tionghoa akan menjadikan ia memiliki identifikasi yang kuat

(41)

Etnis Tionghoa sebagai bangsa yang pernah mengalami peradaban

yang tinggi akan mengukur dan membandingkan bangsa lain berdasarkan

nilai-nilai pada kebudayaannya sendiri. Sifat orang Tionghoa yang rajin,

ulet, tekun dan pandai berdagang merupakan modal utama bagi

kelangsungan hidup mereka. Identitas seperti ini menjadikan etnis Tionghoa

memiliki sikap in-group feeling yang kuat, yang merasa memiliki kelebihan dibandingkan yang lain. Hal ini tentu akan menyebabkan terbentuknya

etnosentrisme yang kuat (Haryono, 1994).

(b) Sistem Kekeluargaan

Etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan patrilineal, dimana

dalam keluarga inti yang memegang kekuasaan dan peran penting adalah

ayah dan anak laki-laki (Hidayat, 1977). Anak laki-laki dalam kelompok

etnis Tionghoa akan menerima warisan yang paling banyak, sedangkan anak

perempuan tidak mendapat harta warisan. Namun, dengan adanya perubahan

orientasi kebudayaan akibat modrenitas, membuat etnis Tionghoa

melakukan orientasi kebudayaan barat dan orientasi kebudayaan pada daerah

setempat. Hal ini menjadikan etnis Tionghoa menganut sistem kekeluargaan

bilateral, yang mana terdapat persamaan hak antara laki-laki dan perempuan

(Tan, 1979).

(c) Religi

Pada umumnya etnis Tionghoa di Indonesia dianggap menganut agama

Buddha. Di negara Cina, memang sebagian besar masyarakatnya menganut

(42)

yang beraneka ragam. Ada yang menganut agama Buddha, Khatolik,

Kristen, Islam, Tao ataupun Kong Fu Tse (Suryadinata, 1984).

Sebagia besar etnis Tionghoa masih percaya terhadap pemujaan

terhadap para leluhurnya. Anggota keluarga yang memelihara abu leluhur,

melakukan upacara pemujaan terhadap leluhur ditempat abu leluhur. Tempat

itu berupa meja panjang yang tinggi dan dibawahnya ada pula sebuah meja

lain yang pendek. Meja-meja tersebut biasanya diletakkan didepan ruangan

rumah dan pada umumnya bewarma merah tua yang dihiasai dengan ukiran

yang beraneka ragam. Diatas meja tersebut, ada satu atau lebih tempat untuk

menancapkan dupa, yang oleh orang Tionghoa disebut hio lau. Dibagian kanan dan kiri hio lau terdapat sepasang pelita yang dinyalakan tiap-tiap tanggal satu dan lima perhitungan Cina dengan membakar beberapa batang

dupa (Hidayat, 1977).

(d) Hari Raya Etnis Tionghoa

Upacara-upacara besar yang diperingati oleh etnis Tionghoa adalah :

(1) Sincia, yaitu tahun baru Imlek pada tiap-tiap tanggal satu Imlek.

(2) Ceng Beng, yaitu upacara membersihkan kuburan dan sembahyang

terhadap nenek moyang pada tiap tanggal tiga bulan tiga tahun Imlek.

(3) Cit Gwee, yaitu sembahyang Cio-Ko suatu sembahyang untuk para

arwah yang tidak disembahyangkan oleh sanak keluarga yang masih

hidup di dunia. Sembahyang ini dilakukan pada tiap-tiap tanggal lima

belas bulan tujuh tahun Imlek.

(4) Peh Cun, suatu perayaan untuk memperingati tokoh Kut Goan,

(43)

hidupnya dengan membuang diri kedalam sungai Nilo di provinsi

Hunan, karena putus asa melihat negaranya dihancurkan oleh saudara

Ciu. Upacara ini dilakukan setiap tanggal lima bulan lima tahun Imlek.

(5) Ting Ciu, suatu perayaan pada tanggal lima belas bulan delapan tahun

Imlek, yaitu pada musim gugur di negara Cina.

(6) Tang Ce, perayaan pada tanggal pertengahan bulan sebelas tahun

Imlek.

(e) Bahasa

Orang Tionghoa yang berada di Indonesia bukan berasal dari satu

kelompok daerah di Cina, melainkan berasal dari beberapa suku yang

berasal dari 2 provinsi yang ada di Cina yaitu Fukien dan Kwantung yang

sangat terpencar-pencar daerahnya (Koentjaraningrat, 2002).

Setiap imigran Tionghoa yang datang ke Indonesia masing-masing

membawa kebudayaan dari suku bangsanya sendiri-sendiri. Suku bangsa

yang ada memiliki bahasanya masing-masing. Ada 4 bahasa Cina yang ada

di Indonesia yaitu bahasa Mandarin, Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton.

Setiap bahasa memiliki perbedaan sehingga pembicara dari bahasa yang satu

tidak dapat mengerti bahasa dari pembicara yang lain (Koentjaraningrat,

2002).

Etnis Tionghoa di Indonesia saat ini sebagian besar tidak mampu

secara aktif menggunakan bahasa Tionghoa. Kebanyakan dari etnis

(44)

(f) Mata pencaharian

Sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia bermata pencaharian

sebagai pedagang. Selain berdagang, orang-orang etnis Tionghoa juga

membuka perusahaan ataupun toko sebagai lahan usaha. Namun, dalam

perkembangannya tidak sedikit juga dari etnis Tionghoa yang bekerja

sebagai orang kantoran, guru, dokter, petani, buruh serta pekerjaan

professional lainnya (Suryadinata, 1984).

(g) Perkampungan atau tempat tinggal

Sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia tinggal di kota, biasanya

perkampungan atau tempat tinggal orang Tionghoa merupakan deretan

rumah yang berhadap-hadapan dan terletak di daerah pusat pertokoan

(Koentjaraningrat, 2002). Biasanya orang Tionghoa hidup terpisah dari

penduduk asli (Indonesia). Walaupun tinggal diantara penduduk asli, etnis

Tionghoa tinggal didaerah-daerah tempat budaya “penduduk asli” tidak

berkembang. Keinginan etnis Tionghoa sangat besar untuk berada dengan

sesama kelompok etnisnya (Suryadinata, 1984). Secara nyata dapat dilihat

bahwa etnis Tionghoa di seluruh dunia memiliki perkampungan Cina yang

dinamakan”Pecinan”. Perkampungan ini merupakan bentuk pelestarian

budaya Tionghoa oleh para etnis Tionghoa.

3. Pengelompokan etnis Tionghoa

EtnisTionghoa yang ada di Indonesia sebenarnya tidak merupakan satu

kelompok yang berasal dari suatu daerah di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa

(45)

terpencar daerah-daerahnya. Mereka berasal dari suku yang berbeda-beda ada yang

berasal dari suku bangsa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton (Koentjaraningrat,

2002).

Keberagaman suku bangsa etnis Tionghoa ini membuat bahasa Tionghoa

sendiri yang ada di Indonesia menjadi beraneka ragam. Ada empat bahasa Tionghoa

di Indonesia, yaitu bahasa Hokkien, Teo-Chiu, Hakka dan Kanton yang demikian

besar perbedaannya, sehingga pembicara dari bahasa yang satu tak dapat mengerti

pembicara yang lain (Koentjaraningrat, 2002).

Pengelompokan terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia dapat dibedakan

menjadi dua kelompok besar yaitu etnis Tionghoa asli (atau biasa juga disebut sebagai

etnis Tionghoa Totok) dan etnis Tionghoa peranakan (Tan, 1979 ; Skinner 1979).

Berdasarkan kriteria orientasi budaya dan identifikasi sosialnya, kedua kelompok ini

merupakan satu garis kontinum.

a. Etnis Tionghoa totok

Kaum Tionghoa totok atau asli merupakan pendatang baru yang tiba di

Indonesia. Mereka datang ke Indonesia menjelang akhir abad 19 dan awal abad

ke-20. Hal ini terjadi sewaktu berlangsungnya pergolakan politik di negara Cina dan

juga bersamaan dengan menaiknya permintaan akan tenaga manusia di negara-negara

jajahan di Asia Tenggara (Suryadinata, 1984).

Mayoritas etnis Tionghoa totok bermata pencaharian di bidang perdagangan

dan perusahaan yang mempunyai pola pemukiman terpisah dari penduduk asli

(disebut sebagai daerah Pecinan). Keyakinan agama mereka berasal dari Cina Selatan,

(46)

moyang, beragama Buddha, Kung Fu-Tse dan Tao. Sistem perkawinan yang dianut

adalah monogami (Hidayat, 1977).

Berbeda dengan keadaan sesudah perang etnis Tionghoa totok generasi ini

banyak lahir di Indonesia. Awalnya etnis Tionghoa totok bersekolah di tempat yang

berbahasa pengantar Cina, namun sejak tahun 1966 mereka hanya memperoleh

pendidikan Indonesia karena semua sekolah Cina harus ditutup. Oleh karena itu

orang-orang etnis Tionghoa asli hanya dapat berbicara bahasa Cina di rumah, dan

memakai bahasa campuran Indonesia dan Cina di luar rumah (Suryadinata, 1984).

Orang-orang etnis Tionghoa totok masih banyak bermukim di daerah

Kalimantan Barat, Sumatera Timur (Bagan Siapiapi) dan Kepulauan Riau. Kini di

daerah tersebut perkampungan-perkampungan Tionghoa masih banyak yang

wujudnya kurang lebih sama dengan desa-desa di provinsi Cina selatan. Walaupun

banyak diantara etnis Tionghoa di Kalimantan Barat dan Sumatera Timur itu mungkin

sudah banyak juga yang lahir di Indonesia, tetapi mereka masih akan disebut orang

Tionghoa totok oleh orang Indonesia asli (Koentjaraningrat, 2002).

Dari segi sosial ekonomi etnis Tionghoa totok dikenal lebih hemat dan rajin,

hal ini terlihat dari pekerjaan yang mereka lakukan. Mereka cenderung untuk bekerja

sendiri. Mengenai pekerjaan, etnis Tionghoa totok lebih sukses dalam usaha

perdagangan dan industri (Hidayat, 1977).

Sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis Tionghoa totok adalah sistem

patrilineal, yaitu sistem dimana yang memegang peranan penting dan kekuasaan

dalam keluarga inti adalah ayah dan anak laki-laki (Hidayat, 1977). Anak laki-laki

dalam keluarga etnis Tionghoa akan menerima harta warisan yang paling banyak,

(47)

b. Tionghoa Peranakan

Etnis tionghoa peranakan adalah mereka yang lahir dari perkawinan campuran

antara orang tionghoa dan Indonesia (Koentjaraningrat, 2002). Orang tionghoa yang

datang ke Indonesia sebagian besar adalah laki-laki. Mereka lalu menikah dengan

wanita setempat (Suryadinata, 1984).

Dilihat dari sejarahnya, etnis Tionghoa peranakan kebanyakan berasal dari

imigran suku Hokkien Cina (Morse dalam Suryadinata, 1984). Penggunaan bahasa

Cina mereka sudah tidak aktif lagi. Umumnya, mereka menggunakan bahasa

Melayu-Cina sebagai bahasa percakapan, yaitu bahasa dengan struktur Melayu, tetapi

memakai istilah-istilah suku Hokkien-Cina dan Belanda. Mata pencaharian etnik

Tionghoa peranakan pada umumnya juga berdagang, sama halnya dengan etnis

Tionghoa totok, walaupun mulai pada abad ke-20, banyak juga etnis Tionghoa

peranakan yang bekerja di kantor, tetapi masih banyak juga yang masih berkecimpung

dibidang perdagangan (Suryadinata, 1984).

Keyakinan agama etnik Tionghoa peranakan ini bermacam-macam, namun

kebanyakan menganut pemujaan kepada nenek moyang (semacam agama rakyat

Cina) yang telah bercampur dengan adat pribumi (Indonesia). Hanya sejumlah kecil

saja etnik Tionghoa peranakan yang menganut agama Islam, Kristen dan Katholik

(Suryadinata, 1984).

Etnis Tionghoa peranakan banyak bermukim di daerah pulau Jawa yaitu

daerah Jawa Timur dan Tengah. Rata-rata dari etnis Tionghoa peranakan ini sudah

lupa akan bahasa asalnya. Mereka mengalami penurunan dalam penyesuaian

kebudayaan dan bahkan dalam ciri-ciri fisiknya sudah menyerupai orang Indonesia

(48)

hidup berkelompok dengan sesamanya, etnis Tionghoa peranakan hidup

berdampingan dengan masyarakat dimana mereka bermukim (Suryadinata, 1984).

Sistem kekerabatan yang dianut oleh etnis Tionghoa peranakan adalah sistem

bilateral, yaitu sistem yang menganggap anak laki-laki memiliki kedudukan yang

sama dengan anak perempuan (Hidayat, 1977).

Mengenai pekerjaan, kebanyakan etnis Tionghoa peranakan terserap dalam

kerja kantor, tetapi ada juga yang masih berkecimpung di bidang kegiatan dagang dan

perusahaan (Suryadinata, 1984).

Tabel 2.1

Profil etnis Tionghoa Totok dan Peranakan

Etnis Tionghoa Totok Etnis Tionghoa Peranakan

• Memiliki garis keturunan ayah dan ibu (kedua orangtua) beretnis

Tionghoa

• Masih aktif menggunakan bahasa Tionghoa (Hokkien, Mandarin,

Teo-chiu, Khek)

• Orientasi besar pada budaya Tionghoa (adat istiadat, keyakinan

dan hari raya)

• Lingkungan tempat tinggal terpisah dengan penduduk asli

(berada dalam lingkungan yang

sebagian besar etnis Tionghoa =

daerah Pecinan)

• Dalam sistem kekerabatan masih berpegang pada sistem patrilineal

yaitu anak laki-laki dianggap lebih

• Memiliki ayah atau ibu (salah satu dari orangtua) beretnis

Tionghoa

• Sudah tidak aktif

menggunakan bahasa

Tionghoa (menggunakan

bahasa Indonesia atau bahasa

daerah setempat)

• Cenderung berorientasi pada kebudayaan Indonesia

• Lingkungan tempat tinggal berbaur dengan penduduk asli.

• Sistem kekerabatan bersifat bilateral, dimana anak laki-laki

(49)

tinggi dari wanita

• Sebagian bermata pencaharian sebagai pedagang.

kedudukan yang sama

• Banyak yang bermata

pencaharian di kantor,

berdagang dan perusahaan.

Sumber : diambil dari Suryadinata, L. 1984. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta : Grafiti Pers

C. Sikap Etnosentris pada Etnis Tionghoa Totok (asli) dan Peranakan

Sikap etnosentris diartikan sebagai suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari

suatu kelompok sosial berdasarkan etnis tertentu, yang memiliki in-group feeling

yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan, nilai,

keyakinan, pandangan, sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya sebagai segala

sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok sosial lain.

Etnis Tionghoa di Indonesia bukan merupakan kelompok etnis yang homogen.

Identifikasi terhadap etnis Tionghoa terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu etnis

Tionghoa totok (asli) dan etnis Tionghoa peranakan. Sekilas, sulit untuk membedakan

etnis Tionghoa totok (asli) dengan etnis Tionghoa peranakan, walaupun ketika

diamati maka perbedaan itu terletak pada lafal dan ucapan-ucapannya dalam

kehidupan sosial budaya, corak pendidikan serta adat istiadatnya (Hidayat, 1977).

Secara fisik, etnis Tionghoa totok memiliki karakteristik mata sipit dan kulit bewarna

kuning. Etnis Tionghoa peranakan memiliki karakteristik perpaduan antara etnis

Tionghoa totok (asli) dan Indonesia asli, seperti mata sipit dan kulit berwarna sawo

matang. Menurut Sahrah (2005) perbedaan dari segi non-fisik etnis Tionghoa Totok

(asli) dan peranakan pada perbedaan agama, adat istiadat, bahasa dan pemakaian

nama.

Adanya perbedaan fisik dan non fisik itulah yang membuat etnis Tionghoa

(50)

yang dipelajari dalam lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat tempat mereka

bermukim. Etnis Tionghoa totok (asli) memiliki orientasi budaya lebih banyak pada

Tionghoa totok. Di lingkungan keluarga (orangtua) yang berasal dari etnis Tionghoa

tentunya akan mensosialisasikan dan menginternalisasikan adat kebiasaan budaya

Tionghoa kepada setiap individu etnis Tionghoa. Selain itu, etnis Tionghoa totok

(asli) cenderung hidup berkelompok yang terpisah dari lingkungan masyarakat

Indonesia asli (pecinan), sehingga banyak berinteraksi dengan sesama etnis Tionghoa,

menggunakan bahasa Tionghoa dan menjalankan kebiasaan adat istiadat mereka.

Itulah sebabnya orientasi terhadap etnis Tionghoa lebih besar.

Pada etnis Tionghoa peranakan cenderung kurang berorientasi pada budaya

Tionghoa. Hal ini terjadi karena kedua orang tuanya berasal dari percampuran etnis

Tionghoa totok (asli) dan Indonesia asli, sehingga ada percampuran dua budaya.

Orang tua mereka hidup berbaur dengan lingkungan masyarakat setempat

menyebabkan orientasi budaya cenderung kearah kebudayaan Indonesia. Hal ini

membuat orientasi budaya etnis Tionghoa peranakan terhadap budaya Tionghoa

kurang kuat. Sikap etnosentris yang kuat terlihat pada etnis Tionghoa totok (asli)

dimana lingkungan sosial (keluarga, tempat tinggal dan sekolah) mempengaruhi

terbentuknya sikap etnosentris.

Etnis Tionghoa memiliki unsur-unsur sikap etnosentris. Sikap etnosentris etnis

Tionghoa tercermin pada norma kultural, jatidiri etnis, bahasa dan pergaulan, yang

ditunjukkan dalam diri individu setiap etnis Tionghoa.

Adanya heterogenitas pada etnis Tionghoa yaitu etnis Tionghoa totok (asli)

dan etnis Tionghoa peranakan memungkinkan sikap etnosentris yang terdapat pada

keduanya menjadi berbeda. Etnis Tionghoa totok yang memiliki orientasi budaya

(51)

besar. Diasumsikan berdasarkan aspek-aspek sikap etnosentris, norma atau nilai dari

budaya Tionghoa pada etnis Tionghoa totok (asli) lebih dalam terinternalisasi pada

diri etnis Tionghoa totok (asli). Hal ini juga dipengaruhi oleh lingkungan disekitar

etnis (lingkungan keluarga, tempat tinggal dan sekolah). Ini membuat etnis Tionghoa

totok (asli) dalam berperilaku hanya berorientasi pada budaya Tionghoa dan tidak

memperdulikan norma atau nilai yang ada pada kelompok lainnya. Pada etnis

Tionghoa Totok (asli) ditanamkan norma bahwa individu yang ada pada etnis

Tionghoa disarankan untuk memilih pasangan hidup yang sama dengan sesama

etnisnya. Jika etnis Tionghoa Totok (asli) memilih pasangan hidup yang diluar etnis

Tionghoa maka individu tersebut memiliki kecenderungan mendapatkan punishment

sosial dari lingkungan masyarakat etnis Tionghoa. Hal ini menjadikan individu

tersebut merasa dikucilkan dari lingkungan

Pada jatidiri etnis, etnis Tionghoa memiliki keterikatan secara emosional yang

besar terhadap etnis Tionghoa, hal ini terlihat pada identifikasi yang besar terhadap

segala sesuatu yang berhubungan dengan etnis Tionghoa. Eksklusivitas yang terlihat

pada etnis Tionghoa lainnya adalah kehidupan bermasyarakatnya. Rata-rata, kota-kota

di Indonesia memiliki kampung Cina yang dikenal dengan nama Pecinan. Pecinan ini

dihuni oleh sebagian besar orang Tionghoa yang masih melestarikan budaya

Tiionghoa. Hal ini tampak pada bangunan rumah yang berciri khas budaya Tionghoa,

warna-warna khas Tionghoa yaitu merah mendominasi warna rumah tersebut.

Etnis Tionghoa totok (asli) akan menggnuakan bahasa Tionghoa secara aktif

dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan keluarga, individu akan disosialisasikan

dan diinternalisasikan bahasa Tionghoa yang merupakan bahasa ibunya. Hal ini akan

menimbulkan sikap etnosentris. Saat individu etnis Tionghoa bertemu dengan sesama

(52)

Rasa kedekatan secara emosional ini membuat etnis Tionghoa merasa bahwa bahasa

Tionghoa dapat menjadikan mereka merasa bersaudara satu sama lainnya walaupun

secara asal dan marga (nama keluarga) mereka berbeda.

Dalam hal pergaulan sehari-hari, keinginan etnis Tionghoa totok (asli) untuk

cenderung bergaul dengan orang-orang sesama etnis Tionghoa lebih besar. Hal ini

dikarenakan dengan bergaul sesama etnis Tionghoa, mereka merasa memiliki

kesamaan secara karakteristik dan berpikir. Etnis Tionghoa Totok (asli) sebagian

besar bermata pencaharian sebagai pedagang. Kesamaan profesi diantara etnis

Tionghoa Totok ini menjadikan etnis Tionghoa Totok (asli) sering berkumpul

bersama untuk membahas bagaimana perkembangan usaha mereka. Seringnya etnis

Tionghoa Totok (asli) ini berkumpul dengan sesamanya memberikan kesan bahwa

mereka hanya bergaul dengan sesama etnisnya saja. Hal ini menjadikan etnis

Tionghoa terkesan eksklusif, sehingga sikap etnosentris pada etnis Tionghoa Totok

(asli) tampak lebih kuat.

Pada etnis Tionghoa Peranakan yang memiliki orientasi yang kurang terhadap

budaya Tionghoa menjadikan etnis Tionghoa peranakan memiliki sikap etnosentris

yang cenderung lebih rendah dibandingkan etnis Tionghoa Totok (asli). Etnis

Tionghoa peranakan diasumsikan norma kultural dan jati diri etnis sebagai etnis

Tionghoa mengalami kepudaran, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan adat

istiadat, budaya serta kelekatan emosi sebagai etnis Tionghoa menjadi berkurang. Hal

ini dikarenakan pada etnis Tionghoa peranakan orientasi budaya tidak terfokus pada

budaya Tionghoa tetapi telah mengalami asimilasi dengan budaya Indonesia. Etnis

Tionghoa peranakan merasa diri mereka sebagai bagian dari bangsa Indonesia,

sehingga hal-hal yang berbau budaya Tionghoa tidak menjadi keharusan bagi etnis

(53)

Tionghoa peranakan memiliki sikap etnosentris yang lebih rendah dari etnis Tionghoa

totok (asli).

Pada aspek bahasa, etnis Tionghoa peranakan mengalami penurunan dalam

pelestarian bahasa Tionghoa untuk berkomunikasi, cenderung menggunakan bahasa

Indonesia atau bahasa daerah setempat. Hal ini dikarenakan etnis Tionghoa peranakan

telah melakukan asimilasi dengan etnis-etnis lain yang ada di Indonesia.

Dalam pergaulan sehari-hari, etnis Tionghoa peranakan cenderung berbaur

dengan masyarakat setempat. Lingkungan sekolah merupakan salah satu faktor yang

mempengaruhi terbentuknya sikap etnosentris. Proses sosialisasi banyak dihabiskan

dengan teman sebaya dalam situasi bergaul, bekerjasama dan sekolah. Etnis Tionghoa

peranakan cenderung bersekolah di sekolah yang terdiri dari berbagai macam budaya

atau etnis. Hal ini membuat etnis Tionghoa peranakan mampu berbaur dengan etnis

lain yang mana secara fisik, etnis Tionghoa peranakan tidak jauh berbeda dengan

etnis Indonesia lainnya.

Berkaitan dengan fenomena yang telah dijelaskan sebelumnya, peneliti tertarik

untuk menjadikan generasi muda Tionghoa dalam hal ini diwakilkan oleh mahasiswa

sebagai subjek penelitian. Hal ini disebabkan karena pen

Gambar

Tabel 2.1 Profil etnis Tionghoa Totok dan Peranakan
Tabel 2.2 Aspek-aspek Pembeda
Tabel 3.1 Distribusi Item Skala Sikap Etnosentris Sebelum Uji Coba
Tabel 3.3
+5

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah