MAKNA SIMBOLIK TRADISI “NYADRAN” PADA RITUAL SELAMETAN DI DESA
BALONGGEBANG KECAMATAN GONDANG KABUPATEN NGANJUK
Skripsi
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I.Kom)
Oleh :
Dwi Astutik NIM. B06211052
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI JURUSAN KOMUNIKASI
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA PENULISAN SKRIPSI
Bismillahirrahmanirrahim,
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Dwi Astutik
NIM : B06211052
Prodi : Ilmu Komunikasi
Alamat : Dsn/Ds. Nglinggo, RT/RW. 002/001, Kecamatan Gondang,
Kabupaten Nganjuk.
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa:
1) Skripsi ini tidak pernah dikumpulkan kepada lembaga pendidikan tinggi
manapun untuk mendapatkan gelar akademik apapun.
2) Skripsi ini adalah benar-benar hasil karya saya secara mandiri dan bukan
merupakan hasil plagiasi atas karya orang lain.
3) Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini sebagai
hasil plagiasi, saya akan bersedia menanggung segala konsekuensi hukum
yang terjadi.
Surabaya, 08 Juli 2015
Yang Menyatakan,
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Nama : Dwi Astutik
NIM : B06211052
Program Studi : Ilmu Komunikasi
Judul : Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual
Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang
Kabupaten Nganjuk.
Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing untuk diujikan.
Surabaya, 08 Juli 2015 Dosen Pembimbing,
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Skripsi oleh Dwi Astutik ini telah dipertahankan di depan Tim Penguji Skripsi
Surabaya, 12 Agustus 2015 Mengesahkan
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Dakwah dan Komunikasi
Dekan,
Dr. Hj. Rr. Suhartini, M.Si NIP. 195801131982032001
Penguji I
Dr. Agoes Moh. Moefad, SH, M.Si. NIP. 197008252005011004
Penguji II,
Advan Naviz Zubaidi, S.ST, M.Si. NIP. 198311182009011006
Penguji III,
Drs. H.M. Hamdun Sulhan, M.Si NIP. 195403121982031002
Penguji IV,
ABSTRAK
Dwi Astutik, B06211052. Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Skripsi Program Studi llmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel Surabaya.
Kata Kunci : Makna Simbolik, Tradisi, Kebudayaan
Dalam penelitian ini, peneliti mengangkat tiga fokus penelitian, yaitu : 1). Bagaimana proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran di Desa Balonggebang, 2). Bagaimana makna tradisi nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat Desa Balonggebang.
Untuk menjawab fokus penelitian di atas, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Kemudian data yang sudah diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data model fenomenologi.
Adapun hasil penelitian dari pengumpulan data di lapangan ditemukan bahwa 1). Komunikasi simbolik yang terjadi pada masyarakat desa Balonggebang dalam tradisi nyadran ditunjukkan melalui proses belangsungnya upacara nyadran. 2). Dalam tradisi Nyadran terdapat pemakaian simbol komunikasi verbal dan nonverbal. Simbol komunikasi verbal berupa ungkapan dan do’a. Sedangkan simbol komunikasi nonverbal berupa tindakan, makanan, sesajian dan isyarat lainnya. 3). Makna tradisi Nyadran bagi masyarakat desa Balonggebang adalah jembatan antara hubungan dengan sesama, para leluhur, dan Yang Mahakuasa. Tradisi Nyadran dimaknai sebagai sedekah bumi, sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil bumi. 4). Tradisi Nyadran dikomunikasikan kepada masayarakat melalui : a). Komunikasi Verbal : Dalam kehidupan masyarakat desa Balonggebang tradisi nyadran telah disakralkan sejak jaman nenek moyang. Adanya faktor dorongan dari semua pihak, (masyarakat dan pemerintah) untuk senantiasa melaksanakan tradisi ini agar tradisi nyadran nantinya tidak akan hilang oleh arus perkembangan jaman. b). Komunikasi Non Verbal : Tradisi nyadran diwariskan pada generasi muda melalui bentuk perayaan yang meriah. c). Mitos Masyarakat : Dipercaya jika tidak melakukan tradisi Nyadran akan ada bahaya di desa Balonggebang.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA PENULISAN SKRIPSI ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
ABSTRAK ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR BAGAN ... xiv
BAB I : PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Fokus Penelitian ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Manfaat Penelitian ... 7
F. Kajian Penelitian Terdahulu ... 8
G. Definisi Konsep ... 12
1. Makna Simbolik ... 13
2. Proses Simbolik... 13
3. Tradisi Nyadran ... 15
4. Ritual Selametan ... 16
H. Kerangka Pikir Penelitian ... 17
I. Metode Penelitian ... 20
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 20
2. Subyek, Objek dan Lokasi Penelitian ... 21
3. Jenis dan Sumber Data ... 23
4. Tahap-Tahap Penelitian ... 25
5. Teknik Pengumpulan Data ... 30
6. Teknik Analisa Data ... 32
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 33
J. Sistematika Penelitian ... 35
K. Jadwal Penelitian ... 36
BAB II : KAJIAN TEORITIS TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Kajian Pustaka ... 37
1. Tradisi Nyadran dan Mitos Masyarakat ... 37
2. Ritual Selametan sebagai Bentuk Kebudayaan Masyarakat ... 43
4. Simbolik dan Pemahaman Pesan Komunikasi Ritual ... 49
5. Komunikasi Melibatkan Penerimaan dan Penciptaan Pesan serta Mengubahnya Menjadi Informasi yang dapat Digunakan ... 52
B. Kajian Teori ... 55
1. Teori Interaksionisme Simbolik ... 55
BAB III : PENYAJIAN DATA TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Profil Informan ... 64
B. Profil Lokasi Penelitian ... 70
C. Deskripsi Data Penelitian ... 78
1. Data Tentang Proses Komunikasi Simbolik dalam Tradisi Nyadran di Desa Balonggebang ... 78
a. Nyadran di Makam ... 78
b. Nyadran di Pundhen Desa ... 80
c. Do’a (Tahlil dan Shalawat) di Area Pundhen ... 81
d. Makan Bersama ... 82
e. Pertunjukkan Langen Tayub ... 84
f. Pertunjukkan Pengajian Akbar ... 86
g. Pertunjukkan Pasar Nyadran (Bazar) ... 88
h. Nama Nyadran ... 90
i. Simbol Makanan atau Perlengkapan Nyadran ... 91
2. Data Tentang Makna Tradisi Nyadran Dikomunikasikan Kepada Masyarakat Desa Balonggebang ... 95
a. Cerita Masyarakat ... 95
b. Mitos Masyarakat ... 96
c. Tradisi Diwariskan pada Generasi Muda ... 97
BAB IV : ANALISIS DATA TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN A. Temuan Penelitian ... 99
1. Temuan Tentang Proses Komunikasi Simbolik dalam Tradisi Nyadran di Desa Balonggebang ... 99
a. Simbolisasi Tradisi Lokal dan Nilai KeIslaman ... 99
b. Makna Simbolik Tradisi Nyadran ... 101
2. Temuan Tentang Makna Tradisi Nyadran Dikomunikasikan Kepada Masyarakat Desa Balonggebang ... 103
a. Komunikasi Verbal ... 103
b. Komunikasi Non Verbal ... 104
c. Mitos Masyarakat ... 105
3. Temuan Tentang Tradisi Nyadran dalam Perspektif Islam ... 105
BAB V : PENUTUP
A. Simpulan ... 113 B. Rekomendasi ... 115
DAFTAR PUSTAKA PEDOMAN OBSERVASI PEDOMAN WAWANCARA BIODATA PENULIS
BAB I PENDAHULUAN
A. Konteks Penelitian
Indonesia merupakan negara yang multikultur dengan berbagai
macam bahasa, budaya, kepercayaan dan tradisi yang dimiliki masyarakat
Indonesia. Hal inilah yang menjadikan Indonesia memiliki kekayaan yang
tak terhitung nilainya. Sehingga sudah seharusnya masyarakat mampu
melestarikan tradisi dan budaya agar sebagai manusia Indonesia memiliki
identitas diri.
Seiring berkembangnya jaman, sebagian besar masyarakat Indonesia
mulai meninggalkan tradisi dan budaya leluhurnya. Tidak sedikit tradisi
atau adat istiadat yang sudah diwariskan oleh leluhur bisa memudar atau
bahkan musnah. Sebaliknya, tak banyak diantara masyarakat Indonesia yang
masih melestarikan tradisi nenek moyang. Sehingga terdapat juga tradisi
yang semakin eksis walaupun perkembangan jaman semakin modern.
Manusia hidup tidak dapat lepas dari komunikasi, begitu juga
dengan budaya dan komunikasi yang tidak dapat dipisahkan, karena budaya
adalah hal penting agar sebagai manusia memiliki identitas diri. Budaya
2
menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan.1 Karena kebudayaan
merupakan ekspresi dan ungkapan kehadiran manusia.
Fenomena komunikasi dan budaya dapat dilihat pada masyarakat
Jawa yang sering menggunakan berbagai macam simbol dalam kehidupan
sehari-hari. Penggunaan bahasa, kesenian, interaksi, maupun
upacara-upacara selalu ada penggunaan simbol-simbol untuk mengungkapkan rasa
budayanya, seperti melakukan ritual-ritual tertentu untuk menyampaikan
pesan pada masyarakat dan generasi-generasi berikutnya.
Suatu komunitas sering melakukan upacara-upacara berlainan
sepanjang hidup, mulai dari upacara kelahiran, sunatan, ulang tahun,
pernikahan, hingga upacara kematian. Dalam acara-acara itu orang
mengucapkan kata-kata atau menampilkan perilaku-perilaku simbolik.
Mereka yang berpartisipasi dalam bentuk komunikasi ritual tersebut
menegaskan kembali komitmen mereka kepada tradisi keluarga, komunitas,
suku, bangsa, negara, ideologi, atau agama mereka.2
Tidaklah mudah bagi masyarakat untuk dapat menjaga dan
mempertahankan tradisi dan budaya warisan leluhur. Banyak masyarakat
yang menganggap tradisi leluhur merupakan tradisi kuno. Anggapan inilah
yang menjadi faktor penyebab tradisi dan budaya suatu daerah yang mulai
sirna dan cenderung dilupakan. Namun masih ada tradisi dalam suatu daerah
yang masih dilestarikan oleh masyarakat Jawa yakni ritual Selametan.
1
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.19
2
3
Upacara ritual Selametan pada masyarakat Jawa merupakan ritual
yang dilakukan masyarakat Jawa atau kelompok kejawen sebagai bentuk
penghormatan terhadap para leluhur dan roh nenek moyang mereka yang
diyakini dapat mendatangkan berkah dan bahaya. Upacara ritual bagi orang
Jawa merupakan sesuatu yang sakral dan mempunyai nilai mistis sehingga
kegiatan ritual wajib dilakukan. Apabila kegiatan upacara ritual tidak
dilakukan ada kepercayaan akan terjadi bencana terhadap keluarga mereka.
Salah satu bentuk Selametan yang masih eksis di masyarakat Jawa adalah
tradisi Nyadran/Nyadranan yang secara tradisional hingga kini masih
dilaksanakan secara turun temurun, terutama di Desa Balonggebang,
Kecamatan Gondang, Kabupaten Nganjuk.
Tradisi Nyadran juga dikenal dengan istilah bersih desa atau sedekah
bumi atau manganan. Pada umumnya terjadi pada saat penggarapan tanah
pertanian dan masa panen padi, karena moyoritas masyarakat desa
Balonggebang bekerja sebagai petani. Pelaksanaan tradisi Nyadran tidak
terikat pada penanggalan tertentu, namun uniknya tradisi ini cenderung
meningkat dari tahun ke tahun dan diiringi dengan berbagai bentuk perayaan
yang semakin meriah dengan harapan dapat merekatkan hubungan
masyarakat.
Tradisi Nyadran adalah kegiatan ritual, sedangkan ritual sendiri
berkaitan dengan identitas kepercayaan masyarakat. Dalam ritual
terkandung makna utama yaitu kemampuan masyarakat dalam memahami
4
dan pemaknaan simbol-simbol tertentu menjadi sangat penting dan
bervariasi. Di dalam simbol tersebut dimasukkan unsur-unsur keyakinan
yang membuat semakin tingginya nilai sakralitas sebuah simbol.
Kegiatan ritual sebagai pengabdian kepada kelompok, para
pesertanya dari berbagai komitmen emosional menjadi perekat bagi
kepaduan mereka. Sampai kapanpun ritual tampaknya akan tetap menjadi
kebutuhan manusia, dan bentuknyapun juga berubah-ubah, demi memenuhi
jati dirinya sebagai individu, sebagai anggota, komunitas sosial dan
sebagian salah satu unsur dari alam semesta.
Kegiatan Nyadran bersifat simbolis, sehingga dalam upacara
tersebut terdapat simbol-simbol yang mempunyai makna tersendiri.
Partisipasi masyarakat dalam upacara Nyadranan menggambarkan adanya
komunikasi sosial dan budaya, sebab semua anggota masyarakat dalam
lingkaran bertetangga tersebut dalam suasana yang sama dan juga
menikmati makanan yang hampir sama sehingga inilah suatu wujud dari
pemahaman masyarakat Jawa mengenai hidup slamet dan rukun dalam
menerapkan nilai-nilai budaya.
Lambang atau simbol adalah suatu yang digunakan untuk
menunjukkan sesuatu yang lainnya. Hanya saja tidak seperti komunikasi
biasanya, karena tidak hanya menyampaikan suatu pesan seseorang kepada
orang lain, simbol-simbol disini berhubungan antara orang-orang yang
5
mendalam.3 Oleh karena itu, upaya untuk mengkaji dan memahami makna
simbolik dalam sebuah tradisi perlu dilakukan.
Pemakaian simbol ketika berinteraksi dengan seseorang dapat
memberikan makna berupa ide, gagasan maupun pendapat seseorang ketika
melakukan komunikasi. Makna simbolik tradisi Nyadran memberikan arti
khusus pada masyarakat desa Balonggebang, sehingga tradisi tersebut masih
berfungsi sebagai bagian dari sistem nilai masyarakat dan sistem sosial yang
mempererat komunikasi masyarakat.
Akan tetapi perkembangan jaman modern saat ini pemahaman orang
terhadap makna dan nilai tradisi Nyadranan mulai kabur, terutama para
generasi muda. Banyak dari mereka menganggap Nyadranan hanya sekedar
kegiatan rutin setiap tahun sebagai hiburan semata tanpa memahami dengan
benar makna dari Nyadranan itu sendiri. Sangat perlu pengetahuan terhadap
pewarisan budaya dan tradisi dari generasi ke generasi. Suatu kenyataan
bahwa budaya dan tradisi diperoleh melalui proses belajar dari masyarakat
dan lingkungannya.
Berdasarkan uraian di atas, yang kemudian menjadi asumsi dasar
peneliti untuk mengadakan sebuah penelitian mengenai tradisi Nyadran.
Berangkat dari sebuah pemahaman pentingnya mengetahui potret tradisi
Nyadran dan pemaknaan terhadap simbol budaya dalam tradisi Nyadran,
penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih jauh tentang makna tradisi
Nyadran serta melakukan penelitian dengan judul skripsi : "Makna
3
6
Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk ".
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian konteks penelitian di atas, maka peneliti
menentukan rumusan masalah yakni : Bagaimana makna simbolik tradisi
“nyadran” pada ritual selametan di Desa Balonggebang Kecamatan
Gondang Kabupaten Nganjuk?
C. Fokus Penelitian
Berdasarkan uraian konteks penelitian di atas, maka peneliti
menentukan fokus penelitian yakni :
1. Bagaimana proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran di Desa
Balonggebang?
2. Bagaimana makna tradisi nyadran dikomunikasikan kepada masyarakat
Desa Balonggebang?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian yang telah dipaparkan maka yang
menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk menjelaskan proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran
di Desa Balonggebang.
2. Untuk menjelaskan dan memahami makna simbolik tradisi nyadran
7
E. Manfaat Penelitian
Berdasarkan atas fokus penelitian dan tujuan penelitian, maka
penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini sebagai sumbangsih ilmu komunikasi mengenai
studi komunikasi dan budaya. Betapa pentingnya komunikasi sebagai
alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang ada.
2. Secara Praktis
a. Masyarakat
Sebagai bahan masukan bagi masyarakat Balonggebang untuk
meningkatkan pengetahuan dalam memahami makna simbolik
tradisi nyadran.
b. Penulis
Sebagai salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan studi pada jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas
Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Surabaya.
c. Akademis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi
mahasiswa mengenai penelitian-penelitian yang berkaitan dengan
budaya dan tradisi nyadran di suatu daerah. Pentingnya memahami
nilai-nilai dan makna simbolik yang terdapat dalam suatu
8
F. Kajian Penelitian Terdahulu
Sebagai rujukan dari penelusuran hasil penelitian yang terkait
dengan tema yang diteliti, peneliti mencoba mencari referensi hasil
penelitian yang diteliti atau dikaji oleh peneliti terdahulu. Dari hasil
pencarian peneliti ditemukan hasil penelitian terdahulu dengan judul :
Penelitian sebelumnya yang berjudul “Komunikasi Ritual Prosesi
“Nyadran” Desa Widang Tuban”, dengan menggunakan metode kualitatif
deskriptif yang ditulis oleh Martina Ulfa pada tahun 2014 Program Studi
Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Sunan Ampel
Surabaya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui simbol-simbol
komunikasi ritual Nyadran di Desa Widang dan untuk mengetahui
masyarakat Widang memaknai ritual Nyadran.
Hasil penelitian ditemukan bahwa (1) simbol-simbol komunikasi
yang terdapat dalam tradisi nyadran yang merupakan suatu simbol
komunikasi nonverbal yang berupa peralatan, sajian makanan atau
hidangan. (2) makna yang terkandung dalam tradisi nyadran yakni salah
satu simbol yang paling dominan bagi masyarakat desa Widang khususnya
para petani untuk menunjukan rasa cinta kasih sayang dan sebagai
penghargaan manusia atas bumi yang telah memberi kehidupan bagi
manusia, dan untuk menjalin silaturrahim antar warga masyarakat.
Selain penelitian Skripsi diatas terdapat juga penelitian Skripsi dari
Umul Mukaromah pada tahun 2013 Jurusan Ilmu Komunikasi IAIN Sunan
9
judul “Makna Simbol Komunikasi dalam Ritual Bari’an di Desa
Kedungringin Kertosono Nganjuk”. Fokus penelitian ini adalah apa saja
simbol yang komunikasi yang digunakan dalam ritual bari’an. Dan apa
makna ritual bari’an sebagai simbol komunikasi bagi warga desa
Kedungringin Kertosono Nganjuk? Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui simbol dan makna ritual bari’an yang digunakan oleh warga
desa Kedungringin Kertosono Nganjuk.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa rituan Bari’an sebagai
simbol komunikasi warga desa Kedungringin Kertosono Nganjuk. Dan juga
dapat dijadikan sarana komunikasi yang harmonis dan dapat dijadikan
sebagai alat pemersatu dan damai bagi orang yang melakukannya. Karena
dalam komunikasi yang dibangun dapat menciptakan pemaknaan sama
ketika rituan bari’an dilakukan sebagai adat istiadat setempat. Selain itu
dengan melakukan ritual ini dapat diyakini sebagai do’a keselametan serta
kedamaian bagi yang menjalankan.
Pada Jurnal Riza Ayu Purnamasari Prahastiwi Utari Mahasiswa
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta menggunakan metode Deskriptif
Kualitatif dengan judul “Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet Dalam Kirab 1
Suro Keraton Kasunanan Surakarta (Studi Persepsi Masyarakat Surakarta
Terhadap Miskomunikasi di Balik Fenomena Kebo Bule Kyai Slamet dalam
10
Dalam penelitian jurnal tersebut ditemukan hasil penelitian bahwa
(1) Keraton berhutang budi terhadap kehidupan agraris. Simbol yang tepat
untuk mengingatkan pada kejayaan agraris adalah kerbau, hewan kaya
manfaat dan berjasa dalam pertanian (2) Kebo bule diinterpretasikan sebagai
jelmaan seorang pria tua bernama Kyai Slamet. Dia menjadi sosok kerbau
putih yang memiliki kekuatan magis, dan menjadi hewan peliharaan raja
hingga saat ini (3) Simbol-simbol harapan yang dilontarkan keraton dalam
wujud bunga, sesaji, pusaka, Kebo Bule Kyai Slamet dibelokkan maknanya,
dan diinterpretasikan dalam satu kalimat “semua dapat mendatangkan
berkah”.
Persamaannya terletak pada metode penelitian dan subjek penelitian
yakni sama-sama meneliti tradisi yang ada di suatu masyarakat di wilayah
tertentu. Sedangkan perbedaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian
ini yaitu terletak pada obyek dan tempat penelitian, pada jurnal Riza Ayu
Purnamasari Prahastiwi Utari meneliti tentang persepsi masyarakat terhadap
suatu tradisi dan budaya, lalu pada skripsi Martina Ulfa meneliti tentang
komunikasi ritual budaya dan tradisi masyarakat, dan yang terakhir Skripsi
dari Umul Mukaromah meneliti tentang makna simbol komunikasi ritual di
masyarakat.
Pada penelitian kali ini peneliti ingin meneliti bagaimana proses
komunikasi simbolik pada tradisi nyadran dan bagaimana makna tradisi
11
Tabel 1.1
Kajian Hasil Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Martina
Ulfa Umul Mukaromah
Riza Ayu Purnamasari
Prahastiwi Utari
Jenis Karya
Skripsi Skripsi Jurnal
Tahun
Penelitian 2014 2013 2014
Metode
Penelitian Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif Kualitatif Deskriptif
Tujuan Penelitian (1) untuk mengetahui simbol-simbol komunikasi ritual
Nyadran di Desa
Widang. (2) untuk mengetahui masyarakat Widang memaknai ritual Nyadran. untuk mengetahui
simbol dan makna
ritual bari’an yang
digunakan oleh warga
desa Kedungringin
Kertosono Nganjuk.
Untuk mengetahui
perbedaan persepsi
masyarakat keraton di
Surakarta sebagai
komunikator, serta
Masyarakat awam dan ahli
sebagai komunikan pada
fenomena Kebo Bule Kyai
Slamet di Kirab Malam 1
Suro Keraton Kasunanan
Surakarta sehingga menyebabkan misskomunikasi. Hasil Temuan (1) simbol komunikasi nonverbal yang berupa peralatan, sajian makanan
(2) makna yang
terkandung bagi masyarakat desa Widang khususnya para petani untuk menunjukan rasa
rituan Bari’an sebagai
simbol komunikasi
warga desa
Kedungringin
Kertosono Nganjuk.
Dan juga dapat
dijadikan sarana
komunikasi yang
harmonis dan dapat
dijadikan sebagai alat
pemersatu dan damai
bagi orang yang
(1) Simbol yang tepat untuk
mengingatkan pada
kejayaan agraris adalah
kerbau, hewan kaya
manfaat dan berjasa
dalam pertanian.
(2) Kebo bule
diinterpretasikan sebagai
jelmaan seorang pria tua
bernama Kyai Slamet.
Dia menjadi sosok
12 cinta kasih sayang dan sebagai penghargaan manusia atas
bumi yang telah
memberi kehidupan bagi manusia, dan untuk menjalin silaturrahim antar warga masyarakat. melakukannya. Karena dalam komunikasi yang dibangun dapat menciptakan pemaknaan sama
ketika rituan bari’an
dilakukan sebagai
adat istiadat setempat.
Selain itu dengan
melakukan ritual ini
dapat diyakini sebagai
do’a keselametan
serta kedamaian bagi
yang menjalankan.
memiliki kekuatan
magis, dan menjadi
hewan peliharaan raja
hingga saat ini.
(3) Simbol-simbol harapan
yang dilontarkan keraton
dalam wujud bunga,
sesaji, pusaka, Kebo
Bule Kyai Slamet
dibelokkan maknanya,
dan diinterpretasikan
dalam satu kalimat
“semua dapat
mendatangkan berkah”.
Perbedaan
Perbedaan dari
penelitian terdahulu
dengan penelitian ini
yaitu terletak pada
obyek dan tempat
penealitian.
Perbedaan dari
penelitian terdahulu
dengan penelitian ini
yaitu terletak pada
obyek dan tempat
penelitian.
Perbedaan dari penelitian
terdahulu dengan penelitian
ini yaitu terletak pada obyek
dan tempat penelitian.
Persamaan
Persamaannya
terletak pada metode
penelitian dan subjek
penelitian yakni
sama-sama meneliti
tradisi yang ada di
suatu masyarakat di
wilayah tertentu.
Persamaannya terletak
pada metode penelitian
dan subjek penelitian
yakni sama-sama
meneliti tradisi yang
ada di suatu
masyarakat di wilayah
tertentu.
Persamaannya terletak pada
metode penelitian dan
subjek penelitian yakni
sama-sama meneliti tradisi
yang ada di suatu
masyarakat di wilayah
tertentu.
G. Definisi Konsep
Definisi konsep sangat membantu di dalam menemukan fakta dan
13
pengertian terhadap konsep yang digunakan untuk menghindarkan arti yang
meragukan atau ganda dalam penelitian ini.
1. Makna Simbolik
Makna hubungan antara suatu objek dengan lambangnya.
Makna pada dasarnya terbentuk berdasarkan hubungan antara lambang
komunikasi (simbol), akal budi manusia penggunanya (obyek).4 Simbol
adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang
dipelajari bagi manusia.5
Pemaknaan simbol dalam penelitian ini diartikan sebagai bentuk
interpretasi masyarakat terhadap nilai dalam pelaksanaan tradisi
nyadran. Simbol adalah bentuk-bentuk ritual adat yang dilakukan
sebagai petunjuk atau ciri khas dalam tradisi. Jadi makna simbolik
dalam penelitian ini adalah nilai-nilai atau pesan yang terkandung pada
proses komunikasi simbolik dalam tradisi nyadran.
2. Proses Simbolik
Proses merupakan gejala menciptakan dan saling menukar
informasi yang berjalan terus-menerus dan tidak ada henti-hentinya.6
Proses dalam konteks komunikasi berarti komunikasi bersifat
berkesinambungan dan tidak memiliki akhir. Komunikasi juga dinamis,
kompleks dan senantiasa berubah. Melalui pandangan mengenai
4
Dani Vardiansyah, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.
70-71 5
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Rosda Karya, 2004) hlm. 77
6
14
komunikasi ini, menekankan bahwa menciptakan suatu makna adalah
sesuatu yang dinamis. Oleh karena itu, komunikasi tidak memiliki awal
dan akhir yang jelas.7
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk
menunjuk sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang.
Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal, dan
objek yang maknanya disepakati bersama.8
Proses simbolik merupakan kebebasan untuk menciptakan
simbol dengan nilai-nilai tertentu dan menciptakan
simbol-simbol bagi simbol-simbol-simbol-simbol lainnya.9 Dalam hal ini proses simbolik
ditinjau dari ilmu komunikasi adalah kegiatan yang berlangsung secara
dinamis atau tidak statis dan tidak berakhir pada suatu titik, tetapi terus
berkelanjutan oleh karena itu komunikasi disebut sebagai sebuah
proses. Komunikasi sebagai simbolik ialah simbol dinyatakan dalam
bentuk lisan maupun melalui isyarat – isyarat tertentu,
simbol yang membawa pernyataan dan diberi arti oleh penerima.
Jadi proses simbolik dalam penelitian ini adalah proses
komunikasi simbolik yang berlangsung selama proses tradisi nyadran
berlangsung. Bagaimana masyarakat desa Balonggebang ketika
7
Richard West dan Lynn H. Turner, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis dan Aplikasi Edisi 3, Buku 1, Penerjemah : Maria Natalia Damayanti Maer, (Jakarta : Salemba Humanika, 2009), hlm. 6
8
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosda Karya:
2010), hlm. 92 9
15
berinteraksi dalam tradisi nyadran menggunakan simbol-simbol melalui
lisan maupun isyarat tertentu.
3. Tradisi Nyadran
Dalam Kamus Bahasa Indonesia tradisi adalah adat kebiasaan
turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam
masyarakat.10 Jadi tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara
terus menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan secara
turun-temurun.
Nyadran merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati,
dan memperingati roh leluhur. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap
yaitu tahap selametan dan tahap ziarah. Pada tahap selametan biasanya
orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan
kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang
melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.11
Makna lainnya nyadran adalah sadran berasal dari kata sudra
sehingga nyadran berarti menyudra menjadi sudra atau berkumpul
dengan orang-orang awam. Ini mencerminkan nilai-nilai bahwa pada
hakekatnya manusia adalah sama.12 Karena lidah orang Jawa maka kata
sadra kemudian berubah menjadi kata nyadran yang memiliki arti
ziarah kubur, tradisi nyadran merupakan sebuah ritual yang berupa
10
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 1208.
11
Karkono Kamajaya Partokusumo, Kebudayaan Jawa, dan Perpaduannya dengan Islam, (Yogyakarta: IKAPI Cabang Yogyakarta, 1995), hlm. 246-247.
12
16
penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan do’a
selametan.13
Jadi tradisi Nyadran dalam penelitian ini kebiasaan yang
dilakukan secara terus menerus oleh masyarakat dan akan diwariskan
secara turun-temurun. Kegiatan yang dilakukan masyarakat dalam
perayaan bersih desa dan menziarahi makam atau tempat yang dianggap
sebagai cikal bakal suatu desa, biasanya masyarakat menamakan tempat
tersebut dengan sebutan pundhen yaitu makam cikal bakal desa
setempat.
4. Ritual Selametan
Upacara di dalam antropologi sering di satu artikan dengan kata
ritus atau ritual. Sebab hal kedua tersebut mengandung pengertian yang
berhubungan dengan rangkaian tindakan manusia yang beragama. Di
dalam ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa upacara merupakan
suatu tindakan yang menandai suatu kesucian.14
Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau
ceremony adalah sistem aktifitas atau rangkaian tindakan yang ditata
oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi
dalam masyarakat yang bersangkutan.15
13
Anonim.http://Nurmalita Sari.Blogspot.com/2012/12/Makna-dan-Objek-Tradisi-Jawa-html. Diakses 3 Maret 2015 jam 16.00 WIB
14
Hasan Shadily, Ensiklopedi ( Jakarta: Ikhtisar Vanhove, 1984), hlm. 3718
17
Selametan dalam masyarakat Jawa mempunyai arti tentang
suatu keadaan yang didambakan yaitu keadaan slamet yang oleh orang
Jawa didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa” − tidak ada apa-apa,
atau lebih tepatnya “ tak ada sesuatu yang akan menimpa (seseorang).16
Jadi ritual selametan dalam penelitian ini adalah Nyadran
sebagai sarana dan simbol (penolak bala) bagi masyarakat untuk
mencari keselametan dan sebagai sarana ucapan syukur kepada Tuhan
terhadap penghasilan masyarakat. Selametan berkaitan dengan bersih
desa, penggarapan tanah pertanian dan setelah panen. Ritual selametan
dilaksanakan berdasarkan aturan yang sudah diatur dan ditentukan oleh
agama maupun adat dari suatu kelompok masyarakat tertentu.
H. Kerangka Pikir Penelitian
1. Teori Interaksionisme Simbolik
Kerangka pikir penelitian akan memberi panduan pada peneliti
dalam melakukan penelitiannya. Serta memperketat data-data yang
diperoleh nantinya. Dalam penelitian ini yang berjudul Makna Simbolik Tradisi “Nyadran” Pada Ritual Selametan Di Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk, peneliti memaparkan secara skematik teoritis dengan alur pemikiran sebagai
berikut :
16
18
Bagan 1.1
Kerangka Pikir Penelitian Makna Simbolik Tradisi Nyadran
Tradisi Nyadran
Tingkat Pendididikan, Latar Budaya, Latar Agama
Mitos dan Masyarakat
Makna Simbolik Tradisi Nyadran
Teori Interaksionisme Simbolik Proses Komunikasi Simbolik Simbol Komunikasi
Masyarakat Balonggebang
Interaksi Sosial
Bagan diatas merupakan gambaran kerangka pikir penelitian yang
akan peneliti gunakan sebagai acuan penelitian. Sedikit penjelasan
mengenai bagan diatas sebagai berikut, makna disini dapat ditinjau dari
adanya nilai kultural dan mitos yang ada di sekitar masyarakat, nilai tersebut
dapat dilihat dari segi religiusitas yakni pandangan masyarakat terhadap
nilai suatu budaya dan tradisi yang ada dari tingkat pemahaman keagamaan,
pengalaman maupun dari tingkat pendidikan masyarakat.
Dari tingkat pemahaman tersebut, selanjutnya terjadi interaksi dalam
masyarakat sebagai perwujudan tentang pemahaman masyarakat mengenai
nilai kultural yang ada, sehingga diperoleh makna dari masyarakat mengenai
budaya dan tradisi. Proses tersebut saling terkait satu sama lain dan terjadi
proses komunikasi simbolik yang terbentuk pada masyarakat, maka akan
19
ada dalam masyarakat. Proses inilah yang menguhubungkan individu satu
dengan yang lain sehingga terbentuk interaksi sosial yang membantu
masyarakat mengkomunikasikan makna budaya.
Dalam penelitian kali ini peneliti akan menggunakan teori
Interaksionisme Simbolik. Teori yang dipakai oleh peneliti mengacu pada
teori Interaksionisme Simbolik Blumer yang mengawali pemikirannya
mengenai interaksi simbolik melalui tiga dasar pemikiran penting sebagai
berikut:17
a. Manusia berperilaku terhadap hal-hal berdasarkan makna yang
dimiliki hal-hal tersebut baginya.
b. Makna hal-hal itu berasal dari interaksi sosial yang pernah
dilakukan dengan orang lain.
c. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi
sosial berlangsung.
Peneliti memilih teori Interaksionisme Simbolik ini karena dalam
penelitian ini bertujuan untuk memperoleh makna simbolik tradisi nyadran
pada masyarakat desa Balonggebang. Makna diperoleh melaui interaksi
sosial yang terjadi dalam kelompok-kelompok sosial yang ada di
masyarakat yang kemudian diinterpretasikan berdasarkan pengalaman yang
dimiliki.
17
Margaret M. Paloma, Sosiologi Komtemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
20
I. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a. Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
fenomenologi yang bermaksud memahami suatu peristiwa dan
kaitan-kaitannya terhadap orang yang berada dalam situasi-situasi
tertentu. 18
Pendekatan ini digunakan peneliti untuk melakukan
penelitian mengenai tradisi, karena untuk mengetahui bagaimana
masyarakat bisa mempertahankan tradisi ini dari masa ke masa yang
semakin eksis meskipun perkembangan jaman semakin modern.
Pendekatan ini menitik beratkan pada observasi dan suasana
alamiah. Peneliti bertindak sebagai pengamat. Hanya membuat kategori
informan yang akan dipilih dengan telaah dokumen yang akan
mempermudah peneliti mendapatkan informasi hasil data secara
utuh, mengamati gejalanya dan mencatatnya dalam buku observasi.
Sehingga data yang diperoleh dapat dianalisis dan dibuat kesimpulan
yang nantinya penelitian ini dapat memberi manfaat kepada beberapa
pihak.
b. Jenis Penelitian
Menurut Botgar dan Tailor, penelitian kualitatif adalah
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
18
21
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.19
Sehingga dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis
penelitian kualitatif, peneliti mendeskripsikan wawancara mendalam
terhadap subyek penelitian. Hasil wawancara berupa kata-kata
tertulis maupun lisan dari subyek penelitian, selanjutnya peneliti
memberi makna secara kritis pada realitas yang dikontruksi subyek
penelitian.
2. Subyek, Objek dan Lokasi Penelitian a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ditentukan dengan teknik purposive
sampling. Teknik purposive sampling adalah teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu.20
Pertimbangan ini dalam menentukan siapa informan yang
hendak diwawancarai agar tetap fokus dalam penelitian dan sesuai
dengan tujuan penelitian. Karena peneliti hanya memilih
orang-orang tertentu yang dianggap berdasarkan penelitian. Hal ini terjadi
karena adanya penilaian pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki oleh subyek itu sendiri. Informan adalah orang yang
benar-benar tahu dan terlibat dalam penelitian tersebut. Informan dalam
19
Suwandi Basrowi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hlm.1. 20
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta,
22
penelitian tradisi nyadran ditentukan oleh peneliti berdasarkan
[image:30.595.137.515.218.569.2]pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh informan.
Tabel 1.2
Daftar Informan Penelitian
No Nama Berusia Keterangan
1. Jamari 82 tahun Alasan peneliti menjadikan nama-nama
yang tertera disamping adalah informan desa setempat dan informan tersebut asli warga Desa Balonggebang, Gondang, Nganjuk. Peneliti juga menganggap bahwa informan tersebut merupakan masyarakat yang aktif melaksanakan tradisi Nyadran dan sebagian memiliki pengetahuan berkaitan dengan tradisi Nyadran, baik berdasarkan pengalaman ataupun wawasan yang dimiliki oleh informan tersebut.
2. Sukadi 60 tahun
3. M. Muslim 40 tahun
4. Juma’in 50 tahun
5. Sulaiman 64 tahun
6. Manirin 70 tahun
b. Obyek Penelitian
Obyek dalam penelitian ini adalah makna simbolik tradisi
nyadran, bagaimana proses komunikasi simbolik tradisi nyadran
dan bagaimana makna simbolik tradisi nyadran dikomunikasikan
kepada masyarakat Desa Balonggebang.
c. Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini adalah di desa Balonggebang
Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk. Peneliti memilih lokasi
tersebut karena tradisi nyadran di desa Balonggebang yang
semakin eksis seiring dengan perkembangan jaman tetap
dilestarikan terus menerus hingga sekarang bahkan cenderung
semakin mendapatkan perhatian dari berbagai pihak sehingga
23
Penelitian ini dilakukan di Desa Balonggebang dengan
pertimbangan bahwa masyarakat Desa Balonggebang masih
melaksanakan tradisi “Nyadran” walaupun masyarakat telah
memeluk agama Islam, Kristen tapi kepercayaan mereka adanya
roh nenek moyang sebagai pelindung tetap berdampingan dengan
keyakinan agama.
3. Jenis dan Sumber Data a. Jenis data
Dalam suatu penelitian diperlukan jenis data yang dapat
digolongkan menjadi dua yakni:
1) Jenis Data Primer, yaitu diperoleh melalui sumber dimana
biasanya dilakukan dalam dua cara yakni:
(a) Observasi
Penulis mengadakan pengamatan langsung terhadap
objek penelitian.
(b) Indepth Interview (WawancaraMendalam)
Penulis melakukan wawancara mendalam secara
langsung dengan pihak yang dianggap dapat memberikan
(informan) dan berkompeten sesuai dengan permasalahan
dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan inti
24
2) Jenis Data Sekunder
Data sekunder, yaitu data yang diperoleh melalui studi
pustaka dengan membaca literatur, buku-buku bacaan dan
tulisan ilmiah yang berkaitan dan relevan dengan objek
penelitian yang akan diteliti.
b. Sumber data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata
dan tindakan dari informan, selebihnya adalah data tambahan
seperti hasil wawancara dan lain-lain.21
1) Data Primer
Data primer adalah adalah sumber data yang berasal
dari sumber data langsung dalam penelitian untuk tujuan
tertentu. Dalam penelitian ini yang termasuk sebagai sumber
data primer adalah dari hasil wawancara dengan masyarakat
setempat.22
Peneliti melakukan proses wawancara dalam upaya
menggali data atau informasi yang berkaitan dengan penelitian,
peneliti hanya menggunakan alat bantu draf pertanyaan, buku
tulis, bolpoint, untuk mencatat informasi yang disampaikan
oleh informan yakni warga desa setempat.
21
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosda Karya, 2002) hlm. 122.
25
2) Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang bukan diusahakan
sendiri pengumpulannya oleh peneliti.23 Data ini berupa studi
kepustakaan.
Disini peneliti mencari data penelitian bersumber dari
bahan bacaan yaitu dengan cara mempelajari melalui Internet
dan buku-buku referensi tentang penelitian ini. Selain itu data
sekunder ini berbentuk data yang sudah tersedia misalnya
sejarah berdirinya desa Balonggebang, demografi, sosial
ekonomi masyarakat dan berbagai literatur yang mendukung.
Data sekunder ini untuk memperkuat data dan informasi
penelitian yang telah ada.
4. Tahap-Tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, ada 4 tahapan yang dilakukan oleh peneliti
sebelum melakukan pengambilan data yaitu dengan prosedur :24
a. Tahapan Pra Lapangan
Pada tahap ini peneliti melakukan berbagai persiapan, baik
yang berkaitan dengan konsep penelitian maupun persiapan
perlengkapan yang dibutuhkan di lapangan. Diantaranya adalah
menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian,
23
Ibid, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 86 24
26
mengurus perizinan. Adapun langkah-langkah yang dilakukan
adalah:
1) Menyusun Rancangan Penelitian
Pada tahap ini peneliti membuat usulan judul penelitian
yang berbentuk dalam proposal penelitian yang sebelumnya
telah didiskusikan dengan dosen pembimbing, untuk kemudian
diseminarkan dengan beberapa dosen pendamping dan
penguji. Proposal penelitian ini terdiri dari latar belakang,
fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
hasil penelitian terdahulu, definisi konsep, kerangka pikir,
metode penelitian.
2) Memilih Lapangan Penelitian
Dalam hal ini peneliti mengambil lokasi penelitian di
Desa Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk.
3) Mengurus Perizinan
Pertama-tama yang perlu diketahui oleh peneliti ialah
siapa saja yang berwewenang memberikan izin bagi
pelaksanaan penelitian. Tentu saja peneliti jangan
mengabaikan izin meninggalkan tugas yang pertama-tama
perlu dimintakan dari atasan peneliti sendiri, dan lain-lain.25
Pada tahap ini, peneliti mengajukan permohonan kepada
Kepala Program Studi Ilmu Komunikasi dan diberikan kepada
25
27
kepala desa bersamaan dengan dilampirkan proposal
penelitian, selama proses penelitian dan penggarapan laporan
penelitian berlangsung.
4) Menjajaki dan Menilai Lapangan
Penjajakan dan penilaian lapangan akan terlaksana
dengan baik apabila peneliti sudah membaca terlebih dahulu
dari kepustakaan atau mengetahui melalui orang dalam tentang
situasi dan kondisi daerah tempat penelitian dilakukan.
Sebaiknya sebelum menjajaki lapangan, peneliti sudah
mempunyai gambaran umum tentang geografi, demografi,
sejarah, tokoh-tokoh, adat, istiadat, konteks kebudayaan,
kebiasaan-kebiasaan, agama, pendidikan, mata pencaharian,
dan sebagainya. Hal tersebut akan membantu penjajakan
lapangan.26
Dalam hal ini peneliti penjajakan lapangan membantu
peneliti untuk mengenal segala unsure lingkungan sosiall, fisik
dan keadaan alam. Dengan begini membantu peneliti untuk
mempersiapkan diri, mental maupun fisik serta
mempersiapkan perlengkapan yang diperlukan untuk
penelitian.
26
28
5) Memilih dan Memanfaatkan Informan
Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar
penelitian. Jadi ia harus mempunyai banyak pengalaman
tentang latar penelitian.27
Disini peneliti memilih dan memanfaatkan informan
berdasarkan latar belakang sosial dan budaya, pendidikan,
agama dan memiliki pengetahuan mengenai latar penelitian
dan mempunyai pandangan tertentu tentang peristiwa yang
terjadi, yakni mengenai tradisi nyadran di desa Balonggebang.
6) Menyiapkan Perlengkapan Penelitian
Peneliti hendaknya menyiapkan tidak hanya
perlengkapan fisik, tetapi segala macam perlengkapan
penelitian yang diperlukan.28
Pada tahap ini yang dilakukan oleh peneliti agar proses
penelitian berjalan lancar terutama pada saat wawancara yaitu
menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan seperti: Blocknote,
Tape Recorder, dan sebagainya. Agar hasil wawancara tercatat
dengan baik sehingga karyanya dapat didokumentasikan.
b. Tahapan Lapangan
Pada tahap ini peneliti lebih fokus pada pencarian dan
pengumpulan data dilapangan, serta mengamati segala bentuk
27
Ibid, hlm. 132 28
29
aktivitas yang ada dilokasi penelitian. Sambil menulis catatan
lapangan seperti tahap berikut ini :29
Dalam tahap ini pekerjaan lapangan dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
1) Memahami Latar Penelitian dan Persiapan Diri
Untuk memasuki pekerjaan lapangan, peneliti perlu
memahami latar penelitian terlebih dahulu. Di samping itu, ia
perlu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun secara
mental.30 Adapun yang dilakukan oleh peneliti disini yaitu
mempersiapkan diri untuk melakukan penelitian terutama
dalam hal wawancara harus mempersiapkan pedoman
wawancara terlebih dahulu agar peneliti mempunyai gambaran
kalimat pertanyaan apa saja yang akan peneliti ajukan.
Melakukan wawancara langsung dan observasi ke lokasi
penelitian yakni di desa Balonggebang Kecamatan Gondang
Kabupaten Nganjuk, dengan informan yang telah ditentukan.
2) Memasuki Lapangan
Yakni mempererat hubungan dan mempelajari bahasa
yang digunakan oleh orang-orang yang berada pada latar
29
Hidayat, Dedy N, 1999. “Paradigmadan Perkembangan Penelitian Komunikasi”, “Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, Vol.III/April 1999, Jakarta: IKSI dan Remaja Rosdakarya. Hal. 73
30
30
penelitian.31 Disini peneliti melakukan pendekatan dengan
warga sekitar dalam hal ini bertujuan agar saat peneliti mencari
informasi tidak ada dinding pemisah antara peneliti dan
informan yang menyebabkan sulitnya peneliti mendapatkan
informasi.
3) Laporan Penelitian
Yakni dari hasil yang diperoleh penulis selama
melakukan penelitian akan didokumentasikan dalam bentuk
skripsi dengan menyusunnya secara sistematis dan ilmiah
sesuai prosedur yang telah ditentukan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data yang dilakukan di lapangan
harus menggunakan teknik maupun metode yang tepat dan releven
dengan kondisi yang ada di lapangan. Penelitian ini dilakukan mulai
tanggal 01 April 2015 sampai 30 April 2015 dengan teknik
pengumpulan data berikut :
a. Teknik Observasi
Observasi atau pengamatan terlibat menurut Becker et al.
adalah pengamatan yang dilakukan sambil sedikit banyak berperan
serta dalam kehidupan orang yang diteliti. Pengamat terlibat
mengikuti orang-orang yang diteliti dalam kehidupan sehari-hari
31
31
mereka, melihat apa yang mereka lakukan, kapan, dengan siapa dan
dalam keadaan apa, menanyai mereka mengenai tidakan mereka.32
Disini peneliti melakukan pengamatan terhadap realita yang
terjadi di masyarakat. Peneliti melakukan pengamatan langsung
pada objek penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas
mengenai fakta dan kondisi di lapangan, selanjutnya membuat
catatan-catatan hasil pengamatan tersebut.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh data
yang diinginkan dengan cara memberikan pertanyaan langsung
dalam hal ini kepada informan. Di dalam wawancara itu, para
narasumber sudah mengetahui kalau mereka sedang diwawancarai
dan mengetahui apa maksud dari wawancara tersebut.33
Wawancara ini merupakan wawancara tatap muka antara
peneliti dengan informan Peneliti melakukan serangkaian tanya
jawab secara mendalam kepada masyarakat yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan tradisi nyadran. Peneliti mengajukan pertayaan
terkait dengan fokus penelitian dengan menggunakan bahasa
pertayaan yang mudah dipahami oleh informan berdasarkan latar
belakang tingkat pengetahuan informan.
32
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigama Baru Ilmu Komunikasi
dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006) hlm.163 33
32
c. Dokumentasi
Dokumentasi dari asal katanya dokumen yang artinya
barang-barang tertulis. Dokumen adalah rekaman peristiwa yang
lebih dekat dengan percakapan, menyangkut persoalan pribadi dan
memerlukan interpretasi yang berhubungan sangat dekat dengan
konteks rekaman peristiwa tersebut.34
Dokumentasi digunakan peneliti ketika mengumpulkan
data, data-data dari dokumentasi berupa segala macam bentuk
informasi yang berhubungan dengan penelitian yang dimaksud
dalam bentuk tertulis atau rekaman suara. Mengenai hal-hal yang
berupa catatan kegiatan dan rekaman suara. Dan foto-foto berbagai
kegiatan yang dilakukan. Dokumentasi ini untuk membantu peneliti
membuktikan kebenaran penelitian telah yang dilakukan.
6. Teknik Analisa Data
Miles and Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus pada tiap tahap penelitian hingga tuntas, dan
datanya sampai jenuh. Aktivitas dalam analisis data yaitu data
reduction, data display, dan conclusion drawing/verification.35
Pada tahap pertama, temuan data dari hasil wawancara, observasi
dan studi pustaka di kelompokkan. Setelah itu peneliti menyusun
34
Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta:PT.RajaGrafindoPersada, 2001),
hal. 97. 35
33
catatan mengenai segala aspek yang berkaitan dengan proses penelitian
termasuk tema dan data penelitian.
Selanjutnya peneliti menyusun rancangan konsep-konsep dari data
yang dikumpulkan. Tahapan berikutnya adalah penyajian data. Pada
tahap ini, peneliti mengorganisasikan data dengan menghubungkan data
yang satu dengan yang lain hingga seluruh data yang dianalisis
merupakan satu kesatuan. Data yang telah tersaji merupakan
kelompok-kelompok data yang dikaitkan dengan kerangka teori yang digunakan.
Fase terakhir adalah penarikan dan pengujian kesimpulan. Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan prinsip induktif dengan
mempertimbangkan pola data yang ada. Peneliti melakukan interpretasi
terhadap data yang telah direduksi dan disajikan dengan mengeksplorasi
teori yang relevan untuk selanjutnya menarik kesimpulan atas temuan
penelitian. Kesimpulan dapat dikonfirmasi dan dipertajam untuk sampai
pada kesimpulan final atas fenomena yang diteliti.
7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Adapun teknik yang digunakan peneliti dalam pemeriksahan
keabsahan data pada penelitin ini adalah sebagai berikut: 36
a. Meningkatkan Ketekunan
Meningkatkan ketekunan berarti melakukan pengamatan
secara lebih cermat dan berkesinambungan. Dengan cara tersebut
36
34
maka kepastian data dan urutan peristiwa akan dapat direkam
secara pasti dan sistematis.
Disini peneliti melakukan pengamatan selama proses upacara
nyadran berlangsung sesuai dengan urutan-urutan kegiatan yang
ada dalam tradisi nyadran dengan mendokumentasikan kegiatan
tersebut.
b. Triangulasi sumber
Teknik pemeriksahan keabsahan data yang memanfaakan
sesuatu yang lain diluar data itu. Dalam hal ini triangulasi dengan
sumber sebagai penjelasan banding. Selain triangulasi dengan
sumber sebagai pembanding terhadap sumber yang diperoleh dari
hasil penelitian dengan sumber data lain.37
Dalam penelitian mengenai makna simbolik tradisi nyadran,
peneliti mengumpulkan data dengan melakukan wawancara dari
mereka yang sedang terjun dalam kegiatan nyadran. Data dari
informan tersebut perlu dideskripsikan, dikategorisasikan, mana
pandangan yang sama, yang berbeda, dan yang spesifik dari tiga
sumber data tersebut.
c. Menggunakan bahan referensi
Yang dimaksud dengan bahan referensi di sini adalah adanya
pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh
peneliti berupa adanya rekaman wawancara.
37
35
Disini peneliti harus menyertakan data wawancara mengenai
tradisi nyadran berupa rekaman guna mendukung hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti.
J. Sistematika Penelitian
BAB I : PENDAHULUAN. Dalam bab ini meliputi konteks
penelitian, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, kajian hasil penelitian
terdahulu, definisi konsep, kerangka pikir penelitian, dan
metode penelitian, yang didalamya membahas tentang
pendekatan dan jenis penelitian, jenis dan sumber data,
tahap-tahap penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis
data.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini berisi mengenai teori dari
buku-buku yang ditemukan peneliti guna mendukung judul
dari penelitian ini dan model metodologi penelitian yang
diterapkan dalam menganalisa data.
BAB III : GAMBARAN UMUM. Dalam bab tiga penelitian ini, akan
digambarkan data-data dari tradisi nyadran di Desa
Balonggebang Kecamatan Gondang Kabupaten Nganjuk
yang ditemukan peneliti dari sumber-sumber pendukung.
BAB IV : HASIL PENELITIAN. Bab keempat dalam laporan
36
yang diperoleh peneliti dan dikaitkan dengan teori
Interaksionisme Simbolik.
BAB V : PENUTUP. Dalam bab ini membahas tentang simpulan dan
rekomendasi.
DAFTAR PUSTAKA : Bagian ini berisi buku-buku dan
sumber-sumber lain yang diperoleh peneliti guna
memperoleh data, dan mendukung
pengumpulan data yang lengkap atas penelitian
ini.
K. Jadwal Penelitian
No. Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
Pebruari Maret April Mei Juni Juli
1 Pengajuan Judul
Skripsi
2 Penyusunan
Proposal
3 Bimbingan
Proposal
4 Ujian Proposal
5 Revisi Proposal
6 Pengumpulan
Data
7 Pengolahan dan
Analisis Data
8 Bimbingan
Skripsi
9 Penyusunan
BAB II
KAJIAN TEORITIS TENTANG MAKNA SIMBOLIK TRADISI NYADRAN PADA RITUAL SELAMETAN
A. Kajian Pustaka
1. Tradisi Nyadran dan Mitos Masyarakat
Penduduk Indonesia terdiri atas bermacam- macam keturunan, ras
maupun bangsa. Oleh sebab itu dari masyarakat satu dan masyarakat
lainnya memiliki perbedaan budaya sesuai mata pencaharian. Oleh
karena itu Indonesia memiliki baragam kebudayaan, salah satunya adalah
tradisinyadran.
Nyadran merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati,
dan memperingati roh leluhur. Dalam ritual nyadran ada dua tahap yaitu
tahap selametan dan tahap ziarah. Pada tahap selametan biasanya orang
membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang
setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan
tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.38 Kebiasaan menyembah arwah
orang mati, terutama arwah para leluhur atau apa yang disebut cikal
bakal, pendiri desa semula, memainkan peranan yang penting secara
38
38
religious. Yang sama pentingnya ialah penghormatan kepada
kuburan-kuburan suci yang disebut kramat.39
Tradisi nyadran merupakan kebudayaan yang telah berkembang
di masyarakat yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian
masyarakat yang masih mempercayai dan melaksanakan tradisi nyadran
secara rutin. Tradisi Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar
masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang telah
ditentukan.Tradisi nyadran hakekatnya adalah simbol yang mewakili
kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Tradisi nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum
agama Islam masuk di Indonesia. Zaman kerajaan Majapahit tahun 1284
ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran yaitu tradisi craddha. 40
Kesamaan dari tradisi tersebut pada kegiatan manusia dengan leluhur
yang sudah meninggal seperti sesaji dan ritual sesembahan untuk
penghormatan terhadap leluhur yang telah meninggal.41 Tradisi nyadran
merupakan sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek
moyang dan memanjatkan doa selamatan.
Pelaksanaan tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha
menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritualnya
sedangkan oleh walisongo diakulturasikan dengan doa-doa dari Al-
39
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,
1988), hlm. 31 40
Anonim.http://NovianaWijayati.Blogspot.Com/2011/04/tradisi-Nyadran-sebagai-Transformasi-Agama-soaial-dan-Budaya-html. Diakses pada 25 Juni jam 17.00 WIB.
41
Suyitno. 2001. Mengenal Upacara Tradisional Masyarakat suku Tengger. Satu Buku.
39
Quran. Masyarakat Jawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah
meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu
atau keturunannya.Karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran
mengalami pergeseran sebagai upaya untuk berdoa kepada Tuhan. Oleh
karena itu pelaksanaan ziarah kubur juga dimaksud sebagai sarana
intropeksi atau perenungan terhadap segala daya dan upaya yang telah
dilakukan selama satu tahun.
Upacara tradisional nyadran disebarkan dan diwariskan secara
turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain, oleh karena itu
tradisi ini dapat digolongkan dalam bentuk folklor. Menurut Danandjaja
folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun
contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu
pengingat. 42 Sedangkan menurut John Harold Bruvant (melalui
Danandjaja) berdasarkan tipenya folklor dapat digolongkan dalam tiga
kelompok :43
a. Folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya murni lisan,
misalnya ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, cerita
prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.
42
James Danandjaja, Folklor Indonesia Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 2.
43
40
b. Folklor sebagian lisan, yaitu folklor yang bentuknya
merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan,
misalnya kepercayaan rakyat, permainan rakyat, adat-istiadat,
upacara dan pesta rakyat.
c. Folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor
ini ada yang berbentuk material dan nonmaterial. Yang
berbentuk material bisa berupa arsitektur rakyat, kerajinan
tangan, pakaian serta perhiasan adat, makanan, alat musik,
dan senjata.
Berdasarkan penggolongan di atas, upacara tradisional nyadran
termasuk folklor sebagian lisan karena di dalamnya terdapat bentuk
foklor lisan, yaitu doa-doa yang digunakan dalam upacara dan juga
terdapat bentuk folklor bukan lisan berupa ubarampe dalam upacara
tersebut.
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia gaib (dunia yang tak
nampak) didasarkan pada gagasan bahwa semua perwujudan dalam
kehidupan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian yang
mempunyai kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan
demikian : segala sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tetumbuhan,
apakah besar atau kecil, mempunyai nyawanya sendiri.44
44
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,
41
Roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya disebut
hyang atau yang yang berarti “tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa
terkadang dinamakan Hyang Maha Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Tak seorang pun dapat menghitung jumlah para yang.Diantaranya
terdapat danyang desa (roh pelindung desa). Orang Jawa menganggap
bahwa setiap desa mempunyai roh pelindung sendiri yang tinggal dalam
sebatang pohon yang rindang. Penduduk membayangkan bahwa roh-roh
itu sudah tinggal di tempat tersebut sebelum tanah itu dibersihkan untuk
pembangunan desa bersangkutan. 45
Masyarakat khususnya di pulau Jawa yang masih melestarikan
tradisi penghormatan nenek moyang dalam bentuk perayaan tradisi
nyadran memiliki ikatan yang erat dengan alam. Itu juga sebabnya
mereka sangat memperhatikan kejadian-kejadian alam sekitar sebagai
pertanda bagi kejadian-kejadian lain. Oleh karena itu sebagian
masyarakat meyakini jika tidak melaksanakan upacara maupun tradisi
yang merupakan adat akan ada bahaya maupun bencanayang terjadi di
masyarakat tersebut, biasa masyarakat menyebutnya sebagai mitos. Hal
ini karena masyarakat memiliki sistem budaya tersendiri yang sudah
begitu mengakar kuat.
Mitos dalam konteks budaya Jawa bukan sekedar dongeng. Mitos
pada kebudayaan Jawa menjadi referensi semua tindakan dan sikap
dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tindakan yang dimaksud adalah
45
42
dalam hal spiritual religius, bukan tindakan sehari-hari. Mitos
mengandung suatu kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat, harus
diikuti, baik suka ataupun tidak suka.
Sistem kepercayaan dari suatu masyarakat meliputi semua aspek
kesadaran, gagasan, pengetahuan, cerita rakyat/pengetahuan, takhayul,
dan legenda yang ada dalam masyarakat. Mitos dan dongeng adalah
suatu bagian yang sangat penting dari dongeng-dongeng yang ada dalam
masyarakat. Mereka menyediakan suatu dasar untuk berkesinambungan
hidup masyarakat dan budaya. Melalui mereka dunia memberikan suatu
arti. Mitos dan legenda adalah bagian yang nyata dari sistem
kepercayaan.46
Banyak orang desa yang ingin mendapat berkah atau minta
perlindungan terhadap bencana, mengantarkan saji-sajian berupa
kemenyan dan bunga ke tempat sajian pohon besar tersebut serta
mengemukakan kesulitannya dan kebutuhannya akan perlindungan
kepada danyang desa. Bukan hanya desa yyang ada danyangnya
melainkan juga sawah, pasar, gedung-gedung besar dan sebagainya.
Tempat-tempat yang dikuasai oleh danyang dan tidak dapat dihuni atau
dimasuki oleh manusia disebut angker dalam bahasa Jawa yang artinya
“tak dapat didekati”.47
46
A. M. Moefad, Perilaku Individu Dalam Masyarakat, (Jombang: el-Deha Press, Fakultas Dakwah IKAHA, 2007), hlm. 49
47
Zaini Muchtarom, Santri dan Abangan di Jawa, Terjemahan: Sukarsi (Jakarta : INIS,
43
Mitos merupakan sesuatu hal yang dipercayai oleh sebagian
orang, biasa dipakai untuk menakut-nakuti, memberi peringatan, ataupun
diceritakansecara berkelanjutan. Semua mitos yang ada di dunia,
merupakan mitos yang telah ada sejak zaman nenek moyang,
dikarenakan cerita yang terus bergulir, atau bisa saja sesuatu mitos
berubah dikarenakan zaman yang terus berkembang. Bagi
sebagianorangmitos merupakan sesuatu yang sudah jarang dipercaya,
tapi masih juga ada yang percaya tentang mitos-mitos tertentu dan terus
bergulir sampai sekarang.
2. Ritual Selametan sebagai Bentuk Kebudayaan Masyarakat
Ibadah orang Jawa meliputi upacara perjalanan, penyembahan roh
halus, upacara cocok tanam dan tata cara pengobatan yang semuanya
berdasarkan kepercayaan kepada roh baik dan roh jahat. Upacara pokok
dalam agama orang Jawa tradisional ialah selametan (selamatan,
kenduri). Ini merupakan acara agama yang paling umum dan
melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut
serta dalam selametan itu.48
Selametan adalah versi Jawa dari apa yang barangkali merupakan
upacarakeagamaan yang paling umum di dunia. Ia melambangkan
kesatuan mistis dan sosial yang mereka anut di dalamnya. Tradisi ini
merupakan semacam wadah bersama masyarakat yangmempertemukan
berbagai aspek kehidupan sosial dan pengalaman perseorangan dengan
48
44
suatu cara memperkecil ketidakpastian, ketegangan dan konflik atau
setidak-tidaknya dianggap berbuat demikian.49
Selametan dan lambang-lambang yang mengiringinya
memberikan gambaran yang jelas tentang cara pemaduan antara
kepercayaan masyarakat Jawa yang animis dan Buddhis-Hindu dengan
unsur Islam serta membentuk nilai pokok masyarakat pedesaan. Adapun
selametan diadakan pada hampir setiap kesempatan yang mempunyai arti
upacara bagi orang Jawa, seperti kehamilan, kelahiran, pengkhitanan,
perkawinan, kematian, hari raya Islam resmi, seperti Lebaran, Muludan
(Maulid Nabi Muhammad SAW), upacara panen, dan lain sebagainya.
Jika seseorang ingin merayakan atau mengeramatkan peristiwa apapun
yang berhubungan dengan upacara perseorangan atau jika ia hendak
memperoleh berkah atau minta perlindungan dari bencana, maka
selametan harus diadakan.50
Adanya ritual selamatan atau merupakan suatu upaya manusia
untuk mencari keselamatan, ketentraman dan sekaligus menjaga
kelestarian alam. Selamatan ini pada hakikatnya merupakan upacara
keagamaan yang paling umum di dunia dan melambangkan kesatuan
mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir didalamnya.
Aktifitas selamatan atau upacara ini merupakan salah satu usaha
manusia sebagai jembatan antara dunia bawah (manusia) dengan dunia
49
Clifford Geertz, The Religin Of Java, diterjemakan oleh Aswab Mahasin, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya,1989), hlm. l3
50
45
atas (makhluk halus atau Tuhannya). Melalui selamatan maupun sesaji
maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas,
dengan leluhur, roh halus dan Tuhannya. Melalui perantara ini leluhur,
roh halus dan Tuhannya akan memberi berkah keselamatan manusia di
dunia.
Istilah selametan rupanya telah lama populer dan telah menjadi
sistem simbol yang dikembangkan oleh para peneliti untuk menjelaskan
makna dibalik simbol itu. Dalam prakteknya, selametan m