TINJAUAN PUSTAKA
Peranan Pupuk Organik Terhadap Kesuburan Tanah Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Fisik Tanah
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk agregat tanah,
yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel tanah untuk bersatu
menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik penting dalam pembentukan struktur
tanah. Pengaruh pemberian bahan organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan
dengan tekstur tanah yang diperlakukan.
Pada tanah liat yang berat, terjadi perubahan struktur gumpal kasar dan kuat
menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar, dengan derajat struktur sedang hingga
kuat, sehingga lebih mudah untuk diolah. Komponen organik seperti asam humat dan
asam fulvat dalam hal ini berperan sebagai sementasi pertikel liat dengan membentuk
komplek liat-logam-humus (Stevenson, 1982).
Pada tanah berpasir bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah
dari berbutir tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur
dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi sedang atau
kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat mengubah tanah yang
semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk struktur yang baik atau remah,
dengan derajat struktur yang sedang hingga kuat.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah terhadap
tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh udara dan air. Pori pori
tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro, pori meso dan pori makro. Pori-pori
mikro sering dikenal sebagai pori kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase
lambat, dan pori makro merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak
mengandung pori makro sulit menahan air, sedang tanah liat yang banyak
mengandung pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan
air dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata air yang
baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir), akan meningkatkan
pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori makro. Dengan demikian akan
meningkatkan kemampuan menahan air (Stevenson, 1982). Hasil penelitian
menunjukkan, penambahan bahan humat 1% pada Latosol mampu meningkatkan
35,75% pori air tersedia dari 6,07% menjadi 8,24% 8 volume (Herudjito, 1999).
Pada tanah liat, pemberian bahan organik akan meningkatkan pori meso dan
menurunkan pori mikro. Dengan demikian akan meningkatkan pori yang dapat terisi
udara dan menurunkan pori yang terisi air, artinya akan terjadi perbaikan aerasi untuk
tanah liat berat. Terbukti penambahan bahan organik (pupuk kandang) akan
meningkatkan pori total tanah dan akan menurunkan berat volume tanah (Wiskandar,
2002).
Aerasi tanah sering terkait dengan pernafasan mikroorganisme dalam tanah dan
akar tanaman, karena aerasi terkait dengan O2 dalam tanah. Dengan demikian aerasi
tanah akan mempengaruhi populasi mikrobia dalam tanah.
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di samping
Penambahan bahan organik akan meningkatkan kemampuan menahan air sehingga
kemampuan menyediakan air tanah untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar
air yang optimal bagi tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar
kapasitas lapang. Penambahan bahan organik di tanah berpasir akan meningkatkan
kadar air pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran
menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan air
meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk pertumbuhan
tanaman (Scholes et al., 1994).
Pada tanah berliat, dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan
infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya pori
mikro.
Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Kimia Tanah
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara lain terhadap
kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH tanah, daya sangga tanah
dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan muatan
negatif sehingga akan meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK).
Bahan organik memberikan konstribusi yang nyata terhadap KTK tanah.
Sekitar 20-70 % kapasitas tukar tanah pada umumnya bersumber pada koloid humus
(contoh: Molisol), sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KTK tanah
(Stevenson, 1982). Kapasitas tukar kation (KTK) menunjukkan kemampuan tanah
untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation tersebut termasuk
Humus dalam tanah sebagai hasil proses dekomposisi bahan organik
merupakan sumber muatan negatif tanah, sehingga humus dianggap mempunyai
susunan koloid seperti liat, namun humus tidak semantap koloid liat, dia bersifat
dinamik, mudah dihancurkan dan dibentuk. Dilaporkan bahwa penambahan jerami 10
ton/ha pada tanah Ultisol mampu meningkatkan 15,18% KTK tanah dari 17,44
menjadi 20,08 cmol (+) /kg (Cahyani, 1996).
Muatan koloid humus bersifat berubah-ubah tergantung dari nilai pH larutan
tanah. Dalam suasana sangat masam (pH rendah), hidrogen akan terikat kuat pada
gugus aktifnya yang menyebabkan gugus aktif berubah menjadi bermuatan positip
(-COOH dan -OH), sehingga koloid yang bermuatan negatif menjadi rendah, akibatnya
KTK turun. Sebaliknya dalam suasana alkali (pH tinggi) larutan tanah banyak OH-,
akibatnya terjadi pelepasan H+ dari gugus organik dan terjadi peningkatan muatan
negatif (-COO-, dan -O-), sehingga KTK meningkat (Hardjowigeno, 2007).
Dilaporkan bahwa penggunaan bahan organik (kompos) memberikan pengaruh yang
lebih baik terhadap karakteristik muatan tanah masam (Ultisol) dibanding dengan
pengapuran (Sufardi et al., 1999). Fraksi organik dalam tanah berpotensi dapat
berperan untuk menurunkan kandungan pestisida secara non biologis, yaitu dengan
cara mengadsorbsi pestisida dalam tanah.
Mekanisme ikatan pestisida dengan bahan organik tanah dapat melalui:
pertukaran ion, protonisasi, ikatan hidrogen, gaya vander Waal’s dan ikatan
koordinasi dengan ion logam (pertukaran ligan). Tiga faktor yang menentukan
adsorbsi pestisida dengan bahan organik :
2. Sifat pestisidanya
3. Sifat tanahnya
Pengaruh penambahan bahan organik terhadap pH tanah dapat meningkatkan
atau menurunkan tergantung oleh tingkat kematangan bahan organik yang kita
tambahkan dan jenis tanahnya. Penambahan bahan organik yang belum masak (misal
pupuk hijau) atau bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi,
biasanya akan menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi
akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH tanah.
Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan kandungan Al tertukar
tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah, karena asam-asam organik hasil
dekomposisi akan mengikat Al membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al
tidak terhidrolisis lagi. Dilaporkan bahwa penambahan bahan organik pada tanah
masam, antara lain Inseptisol, Ultisol dan Andisol mampu meningkatkan pH tanah
dan mampu menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001; Cahyani., 1996; dan Dewi,
1996). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi apabila bahan organik yang kita
tambahkan telah terdekomposisi lanjut (matang), karena bahan organik yang telah
termineralisasi akan melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas
dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan
bahan organik. Dalam proses mineralisasi akan dilepas mineral-mineral hara tanaman
dengan lengkap (N, P, K, Ca, Mg dan S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak tentu
dan relatif kecil. Hara N, P dan S merupakan hara yang relatif lebih banyak untuk
Bahan organik sumber nitrogen (protein) pertama-tama akan mengalami
peruraian menjadi asam-asam amino yang dikenal dengan proses aminisasi, yang
selanjutnya oleh sejumlah besar mikrobia heterotrofik mengurai menjadi amonium
yang dikenal sebagai proses amonifikasi. Amonifikasi ini dapat berlangsung hampir pada setiap keadaan, sehingga amonium dapat merupakan bentuk nitrogen anorganik
(mineral) yang utama dalam tanah (Tisdale dan Nelson, 1974).
Nasib dari amonium ini antara lain dapat secara langsung diserap dan
digunakan tanaman untuk pertumbuhannya, atau oleh mikroorganisme untuk segera
dioksidasi menjadi nitrat yang disebut dengan proses nitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses bertahap yaitu proses nitrifikasi yang dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas dengan menghasilkan nitrit, yang segera diikuti oleh proses oksidasi berikutnya
menjadi nitrat yang dilakukan oleh bakteri Nitrobacter yang disebut dengan nitratasi.
Pengaruh bahan organik terhadap ketersediaan P dapat secara langsung melalui
proses mineralisasi atau secara tidak langsung dengan membantu pelepasan P yang
terfiksasi. Stevenson (1982) menjelaskan ketersediaan P di dalam tanah dapat
ditingkatkan dengan penambahan bahan organik melalui 5 aksi yaitu: 1. Melalui
proses mineralisasi bahan organik terjadi pelepasan P mineral (PO43-),
2. Melalui aksi dari asam organik atau senyawa pengkhelat yang lain hasil
dekomposisi, terjadi pelepasan fosfat yang berikatan dengan Al dan Fe yang tidak
larut menjadi bentuk terlarut, Al(Fe)(H2O)3(OH)2H2PO4 + Khelat ===> PO42- (larut) +
Kompleks Al-Fe- Khelat (Stevenson, 1982). Bahan organik akan mengurangi serapan
memblokir situs pertukaran. Penambahan bahan organik mampu mengaktifkan proses
penguraian bahan organik asli tanah, kemudian membentuk kompleks fosfo-humat
dan fosfo-fulvat yang dapat ditukar dan lebih tersedia bagi tanaman, sebab fosfat
yang dijerap pada bahan organik secara lemah.
Untuk tanah-tanah berkapur (agak alkalin) yang banyak mengandung Ca dan
Mg fosfat tinggi, karena dengan terbentuk asam karbonat akibat dari pelepasan CO2
dalam proses dekomposisi bahan organik, mengakibatkan kelarutan P menjadi lebih
meningkat, dengan reaksi sebagai berikut :
CO2 + H2O ====== > H2CO3
H2CO3 + Ca3(PO4)2 ====== > CaCO3 + H2PO4
Asam-asam organik hasil proses dekomposisi bahan organik juga dapat
berperan sebagai bahan pelarut batuan fosfat, sehingga fosfat terlepas dan tersedia
bagi tanaman. Hasil proses penguraian dan mineralisasi bahan organik, di samping
akan melepaskan fosfor anorganik (PO43-) juga akan melepaskan senyawa-senyawa
P-organik seperti fitine dan asam nucleic, dan diduga senyawa P-organik ini, tanaman
dapat memanfaatkannya. Proses mineralisasi bahan organik akan berlangsung jika
kandungan P bahan organik tinggi, yang sering dinyatakan dalam nisbah C/P. Jika
kandungan P bahan tinggi, atau nisbah C/P rendah kurang dari 200, akan terjadi
mineralisasi atau pelepasan P ke dalam tanah, namun jika nisbah C/P tinggi lebih dari
300 justru akan terjadi imobilisasi P atau kehilangan P (Stevenson, 1982).
Bahan organik di samping berperan terhadap ketersediaan N dan P, juga
berperan terhadap ketersediaan S dalam tanah. Di daerah humida, S-protein,
akan menghasilkan sulfida yang berasal dari senyawa protein tanaman. Di dalam
tanaman, senyawa sestein dan metionin merupakan asam amino penting yang mengandung sulfur penyusun protein (Mengel dan Kirkby, 1987). Protein tanaman
mudah sekali dirombak oleh jasad mikro.
Belerang (S) hasil mineralisasi bahan organik, bersama dengan N, sebagian S
diubah menjadi mantap selama pembentukan humus. Di dalam bentuk mantap ini, S
akan dapat terlindung dari pembebasan cepat (Brady, 1990). Seperti halnya pada N
dan P, proses mineralisasi atau imobilisasi S ditentukan oleh nisbah C/S bahan
organiknya. Jika nisbah C/S bahan tanaman rendah yaitu kurang dari 200, maka akan
terjadi mineralisasi atau pelepasan S ke dalam tanah, sedang jika nisbah C/S bahan
tinggi yaitu lebih dari 400, maka justru akan terjadi imobilisasi atau kehilangan S
(Stevenson, 1982).
Peranan Bahan Organik Terhadap Biologi Tanah
Bahan organik merupakan sumber energi bagi makro dan mikro-fauna tanah.
Penambahan bahan organik dalam tanah akan menyebabkan aktivitas dan populasi
mikrobiologi dalam tanah meningkat, terutama yang berkaitan dengan aktivitas
dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Beberapa mikroorganisme yang beperan
dalam dekomposisi bahan organik adalah fungi, bakteri dan aktinomisetes. Mikro
flora dan fauna tanah ini saling berinteraksi dengan kebutuhannya akan bahan
organik, kerena bahan organik menyediakan energi untuk tumbuh dan bahan organik
Pengaruh positip yang lain dari penambahan bahan organik adalah
pengaruhnya pada pertumbuhan tanaman. Terdapat senyawa yang mempunyai
pengaruh terhadap aktivitas biologis yang ditemukan di dalam tanah adalah senyawa
perangsang tumbuh (auxin), dan vitamin (Stevenson, 1982). Senyawa-senyawa ini di
dalam tanah berasal dari eksudat tanaman, pupuk kandang, kompos, sisa tanaman dan
juga berasal dari hasil aktivitas mikrobia dalam tanah. Di samping itu, diindikasikan
asam organik dengan berat molekul rendah, terutama bikarbonat (seperti suksinat,
ciannamat, fumarat) hasil dekomposisi bahan organik, dalam konsentrasi rendah
dapat mempunyai sifat seperti senyawa perangsang tumbuh, sehingga berpengaruh
positip terhadap pertumbuhan tanaman.
Tinjauan Umum Tanaman Melon
Melon (Cucumis melo L.) tergolong ordo Cucurbitales suku Cucurbitaceae genus Cucumis (Tjitrosoepomo, 2004). Rubatzky dan Yamaguchi (1999) menyatakan
bahwa tanaman melon merupakan tanaman semusim (annual), herbacious, batang
berbentuk segi lima tumpul dengan panjang 1,5 m–3 m, berbulu, bersulur tunggal,
sebagian besar kultivar merambat dan lunak. Daun melon berbentuk bulat bersudut
dengan diameter 8 cm–15 cm, memiliki 5–7 lekukan yang dangkal dan permukaan
daunnya berbulu.
Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999), melon termasuk dalam buah pepo,
yaitu pada biji terdapat lapisan tipis yang menyelimutinya (lendir). Lendir tersebut
terasa manis, kenyal dan tidak banyak mengandung air. Buah melon menghasilkan
biji dalam jumlah yang banyak (300-500 biji), berwarna putih atau kusam, berbentuk
buah dengan bobot 1 gam per biji. Bentuk buah bervariasi antara bulat, bulat lonjong
atau silindris. Bobot buah rata – rata 0,4 – 2,0 kg/buah.
Syarat Tumbuh Melon
Tanaman melon dapat tumbuh pada daerah tropik dan subtropik. Ketinggian
tempat yang optimal untuk budidaya melon adalah 200-900 meter di atas permukaan
laut. Namun, tanaman melon masih dapat berproduksi dengan baik pada ketinggian
lebih dari 900 meter di atas permukaan laut, tetapi tidak berproduksi optimal.
Tanah yang ideal untuk pertumbuhan melon, jenis tanah Andosol/berpasir
yang memiliki porositas dan aerasi yang baik dengan pH 6 – 7 pada tanah yang
masam akan menyebabkan terjadinya Acid Yellowing yang memiliki gejala seperti
tanaman kerdil, pertumbuahan terhambat dengan daun berwarna kuning, sehingga
diperlukan pengapuran sebelum ditanami melon. Tanah gambut, tanah liat berat atau
tanah cadas tidak disarankan untuk ditanami melon.
Jumlah Buah dan Pangkas Pucuk
Poerwanto (2004) menyatakan, bahwa penjarangan buah sering dilakukan
oleh petani untuk mengoptimalkan kualitas buah. Pada perlakuan penjarangan buah,
nisbah daun terhadap jumlah buah meningkat yang mengakibatkan pertumbuhan buah
lebih optimal dan menurunnya kompetisi dalam memperebutkan asimilat. Hal
tersebut akan meningkatkan ukuran buah, kandungan padatan terlarut dan bobot
kering buah. Menurut Saladin (2002), pada tanaman tomat Galur Harapan IPB yang
dibudidayakan di lapang, dengan penjarangan buah dapat mengurangi persentase
mendapatkan fotosintat makin kecil dengan jumlah buah yang terbatas sehingga dapat
memperkecil tingkat gugur buah.
Pemangkasan merupakan suatu teknik untuk mengatur bentuk tanaman agar
dapat menumbuhkan tunas baru dan memungkinkan melakukan panen pada tingkat
produksi tertentu. Secara fungsional pemangkasan akan mengurangi kapasitas
produksi karbohidrat sehingga menyebabkan pertumbuhan akar terganggu dan
mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Pemangkasan pada tomat memiliki
keuntungan yaitu buah lebih cepat matang, meningkatkan panen awal dan total panen,
mengurangi hama dan penyakit, buah lebih besar dan mempermudah pemanenan
serta penyemprotan pestisida.
Menurut Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura (2004), pemangkasan
tanaman melon adalah memangkas dan membuang cabang–cabang yang tidak
produktif dengan bertujuan untuk menjamin pertumbuhan tanaman sehingga proses
produksi berlangsung maksimal dan mengurangi kelembaban dalam tajuk tanaman.
Hal tersebut akan mengurangi resiko terjadinya serangan hama dan penyakit, serta
merangsang tumbuhnya tunas – tunas produktif. Pangkas
pucuk (toping) pada tanaman melon dilakukan dengan memangkas batang utama
setelah buah dipilih dengan menyisakan minimum 25 helai daun per satu buah per
tanaman.
Kandungan Unsur Hara Pupuk Kandang
Pupuk kandang adalah pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak, baik
berupa padatan (feces) yang bercampur sisa makanan, ataupun air kencing
cair yang berupa urin ternak. Pengumpulan kotoran padat memang jauh lebih praktis
dibanding urin ternak. Padahal dari segi kadar haranya, urine jauh lebih tinggi
dibanding feces (Tohari, 2009).
Kadar hara kotoran ternak berbeda-beda karena masing-masing ternak
mempunyai sifat khas tersendiri. Makanan masing-masing ternak berbeda-beda.
Padahal makanan inilah yang menentukan kadar hara. Jika makanan yang diberikan
banyak mengandung hara N, P dan K maka kotoran yang dihasilkan juga akan kaya
dengan zat tersebut.
Selain jenis makanan usia ternak juga menentukan kadar hara dalam
kotorannya. Ternak muda akan menghasilkan feses dan urine yang kadar harannya
rendah terutama N, karena ternak muda memerlukan sangat banyak zat hara N dan
beberapa macam mineral dalam pembentukan jaringan tubuhnya. Selain mengandung
N, P dan K, pupuk kandang juga mempunyai kandungan unsur hara mikro yang
sangat lengkap walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit. Makanan yang dimakan
ternak dan umur ternak sangat berpengaruh terhadap kandungan hara yang ada pada
kotoran. Selain itu, pupuk kandang juga dapat memperbanyak beragamnya bakteri
positif tanah yang ada pada lahan kita, dimana bakteri tersebut sebagian adalah
bakteri penambat N, sehingga secara tidak langsung bakteri-bakteri tersebut akan
menyediakan unsur hara bagi tanaman itu sendiri. Kandungan unsur hara pupuk
kandang dapat dilihat pada Lampiran 1.
Rata-rata produktivitas padi nasional adalah 48.95 ton/ha, sehingga jumlah
jerami yang dihasilkan kurang lebih 68.53 ton/ha. Produksi padi nasional tahun 2008
sebesar 57.157 juta ton (Direktorat Jenderal Hortikultura. 2009) dengan demikian
produksi jerami nasional diperkirakan mencapai 80.02 juta ton. Potensi jerami yang
sangat besar ini sebagian besar masih disia-siakan oleh petani. Sebagian besar jerami
hanya dibakar menjadi abu, sebagian kecil dimanfaatkan untuk pakan ternak dan
media jamur merang.
Pemanfaatan jerami dalam kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan
organik tanah adalah merombaknya menjadi kompos. Rendemen kompos yang dibuat
dari jerami kurang lebih 60% dari bobot awal jerami, sehingga kompos jerami yang
bisa dihasilkan dalam satu ha lahan sawah adalah sebesar 4.11 ton/ha. Andaikan
semua jerami dibuat kompos akan dihasilkan kompos sebanyak 48.01 juta ton secara
nasional.
Kompos jerami memiliki potensi hara dan nilai ekonomi yang sangat besar.
Pupuk kompos jerami memiliki kandungan hara 41.3 kg N, 5.8 kg P, dan 89.17 kg K.
Pemanfaatan kompos jerami ini oleh petani dapat menghemat pengeluaran negara
untuk subsidi pupuk dan mengurangi konsumsi pupuk kimia nasional. Namun,
potensi ini sepertinya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya
Departemen Pertanian.
Proses Produksi
Umur tanaman melon saat muncul bunga jantan dan bunga betina dengan
berjaring yaitu muskmelon (Cucumis melo var reticulate ) menghasilkan bunga
jantan umur 22-26 hari dan bunga betina 29–34 hari setelah semai (Wajiastuti, 2002).
Dengan berhasilnya penyerbukan maka dimulailah pembentukan buah yang
ditandai oleh pembentukan bakal buah dan dimulai pula perkembangan buah.
Bersamaan ini sering kali terjadi kelayuan dan pengguguran mahkota bunga dan
kadang–kadang benang sari. Perubahan–perubahan ini yang mencirikan perubahan
dari bunga ke buah muda disebut pembentukan buah atau fruit-set (Heddy, et al.,
1994).
Buah melon mengandung banyak bahan nutrisi, maka perlu mobilisasi atau
transport nutrisi dari bagian tanaman yang lain, mobilisasi dari daun–daun untuk
pertumbuhan buah yang bersangkutan (Heddy, et al., 1994).
Varietas Sky Rocket termasuk buah melon berukuran sedang dengan berat
1.0–2.5 kg, dinegara asalnya, Taiwan, mempunyai berat rata-rata 1.5 kg (Lampiran
2). Namun Varietas ini yang ditanam di Indonesia dapat mencapai berat buah
rata-rata 2,0-3,0 kg apabila dipelihara satu buah/tanaman (Prajnanta, 2004).
Menurut Santoso dan Purwoko (1995), kualitas komoditi hortikultura segar
seperti buah dan sayuran dilihat dari penampakan, tekstur, rasa dan aroma, nilai
nutrisi serta keamanan. Faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas tersebut adalah
faktor genetik, lingkungan prapanen, perlakuan pasca panen dan interaksi antar
berbagai faktor di atas. Harjadi (1989), menambahkan bahwa kualitas buah melon
dipengaruhi oleh karakter eksternal buah. Kualitas tersebut meliputi rasa manis
buah. Penampakan buah yang dimaksud adalah bobot per buah, bentuk buah (bulat/
agak lonjong) dan jaring pada kulit buah bagi varietas yang menghasilkan jaring.
Sismiyati (2003), panen melon dilakukan saat buah melon menunjukkan
tanda-tanda kematangan (aroma harum, warna kulit berubah, tangkai buah retak dan
net mulai tampak jelas pada melon tipe netting). Menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999), tingginya kadar padatan terlarut total pada buah melon akan menyebabkan
meningkatnya kualitas buah dan karakter tersebut telah digunakan sebagai indikator
tingkat kemanisan, rasa dan kematangan. Aroma melon yang khas berasal dari
berbagai senyawa atsiri, khususnya alkohol, asam dan ester yang terbentuk selama