• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer Ilmu Manajemen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan Ilmu Nahwu Kontemporer Ilmu Manajemen"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU KONTEMPORER

A. PENDAHULUAN

Ilmu nahwu (sintaksis) adalah disiplin ilmu yang membahas kedudukan

suatu kalimat dalam bahasa arab, dengan mempelajari ilmu nahwu memberikan

solusi untuk mengatasi berbagai kesulitan yang ada dalam kitab, khusus kitab-kitab

berbahasa arab, karena bahasa arab selain bahasa pergaulan adalah bahasa

pemersatu umat Islam, bahasa al-Qur’an dan al-Hadis. Agama Islam diturunkan di tengah – tengah kultural arab maka bahasa arab sangat identik dengan komunitas, wilayah kultur arab itu sendiri. Bahasa yang digunakan al-Quran dan al-Hadis

adalah bahasa arab Quraiys sesuai dengan kesepakatan dan perkembangan berbagai

bahasa suku-suku yang mendiami jazirah arab.

Seiring dengan perkembangan dari mulai di turunkan agama Islam di

tanah arab, di utusnya Nabi Muhammad sebagai pelopor pembaharu dalam berbagai

sosial kebudayaan jahiliyah, terutama sekali konstruksi bahasa arab oleh para ulama

setelah nabi wafat. Penomena peristiwa yang berlaku saat itu adalah banyaknya

pengikut Islam dari berbagai wilayah di luar arab, yang tentunya memiliki cara

pandang dan teori membaca al-Quran. Denagan demikian, para ulama mulai

menyususun konsep untuk pemberlakuan tata bahasa(gramer) untuk menjaga

kesalahan berbahasa baik, membaca al-Quran, hadis, maupun kitab-kitab ilmu arab

lainnya.

Dalam pendahuluan ini, kami mencoba menunaikan tugas dengan

nmenganalisis perkembangan ilmu nahwu mulai dari periode pertama hingga akhir.

Di samping itu kami paparkan sejarah pemberlakuan nahwu dan para tokohnya.

Mingingat keterbatasan referensi, kemampuan, kami menerima koreksi, saran yang

(2)

B. BAHASA DAN TATA BAHASA

Andai saja kita mengenal bahasa dalam konsepsinya yang paling luas – sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibn Jani – yakni “suara yang diucapkan oleh setiap kaum untuk menyatakan tujuannya” atau dalam definisi yang lain sebagaimana yang dikemukakan oleh Edward Sabr yakni “instrumen manusiawi yang dikhususkan untuk menyatakan pikiran, sikap, dan keinginan, melalui

aturan-aturan yang sistematis, yang dilakukan dengan sadar. Apabila kita mengenal

konsepsi seperti diatas, maka kita akan memahami bahasa sebagai sesuatu yang

bersifat menyeluruh, atau bahwa bahasa merupakan aturan umum yang tersusun dari

aturan-aturan parsial yang satu sama lain tidaklah saling bertentangan. Pada

akhirnya kita akan menyadari bahwa kita tidak akan mungkin bisa terlepas dari

bahasa apabila bahasa memang memerankan posisinya sebagaimana disebutkan

diatas.

Aturan-aturan parsial yang dimaksud ialah:

1. Aturan sintaksis (al-nizham al-nahwiy)

2. Aturan perubahan bentuk kata (al-nizham al-sharfiy) 3. Aturan pelafalan (al-nizham al-shautiy)

4. Aturan semantik (al-nizham al-dalaliy)

Aturan sintaksis (nahwu) secara khusus berbicara tentang aturan dalam

menyusun kalimat. Dari sini kita memahami bahwa titik tekan kajian nahwu ialah

pada kalimat (al-jumlat), yang ditinjau makna umumnya dalam batas-batas tertentu. Maksudnya, ilmu nahwu secara khusus berbicara tentang jabatan tiap elemen

kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan mengenai hubungan antar

elemen tersebut. Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis

secara sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian

tersebut dalam apa yang dalam tradisi klasik kita disebut sebagai hubungan

(3)

Al-Jurjaniy dimana beliau menjadikan ilmu nahwu sebagai landasan dalam

mengungkap keajaiban Al-Qur’an (I’jaz Al-Qur’an). Beliau menulis dalam kitabnya Indikasi-indikasi Keajaiban (Dalaa-il al-I’jaz) :

“Ketahuilah bahwa apabila Anda melakukan refleksi terhadap diri Anda sendiri, maka Anda akan memahami sesuatu yang tidak bisa diragukan lagi, yakni

bahwasanya dalam berbicara tidak ada aturan maupun tata urutan tertentu kecuali

bahwa sebagian mesti tergantung pada yang lain dan sebagian mesti dibangun diatas

yang lain. Demikian pula, suatu keadaan ini mesti disebabkan oleh sesuatu yang

lain. Yang demikian ini merupakan sesuatu yang tidak akan dipungkiri oleh mereka

yang berakal sehat, juga merupakan sesuatu yang tidak tersembunyi bagi satu orang

manusia pun. Apabila kita mengamati yang demikian itu, kita akan mengetahui

bahwa, tidak bisa tidak, apabila Anda menggunakan sebuah isim maka isim tersebut

pasti menjadi fa’il atau maf’ul bagi fi’il-nya. Apabila Anda menggunakan dua buah isim maka salah satu akan menjadi khabar bagi yang lainnya. Apabila Anda

meletakkan isim mengikuti isim yang lain maka isim yang kedua pasti merupakan

shifat bagi yang pertama, penegasan (ta’kid) baginya, atau pengganti (badal) baginya. Apabila Anda meletakkan isim dibelakang sebuah kalimat sempurna maka

isim tersebut akan menjadi shifat, hal atau tamyiz. Apabila Anda menginginkan

bahwa dari dua fi’il, salah satu menjadi syarat bagi yang lainnya, maka Anda harus

memakai huruf atau isim dengan makna yang sesuai. Demikian seterusnya, kita bisa menganalogikannya”.

Selanjutnya, beliau melanjutkan dengan menjelaskan pentingnya

berpegang pada kaidah-kaidah dan hukum-hukum nahwu, serta menjaga keterkaitan

antara bagian-bagian kalimat di satu sisi dan keterkaitan antara satu kalimat dengan

kalimat lainnya di sisi yang lain. Demikianlah sampai kalimat-kalimat kita menjadi

teratur dan tersusun secara sempurna, dalam rangka mengungkapkan makna

(4)

“Ketahuilah bahwa tidaklah aturan itu dibuat kecuali agar Anda meletakkan kalimat-kalimat Anda pada tempatnya sebagaimana yang telah diatur

oleh ilmu nahwu, dan agar Anda mentaati hukum-hukum dan prinsip-prinsipnya.

Demikian pula, aturan tersebut dibuat agar Anda memahami manhaj-manhajnya. Maka, janganlah Anda melanggar dan mengabaikannya”.

Lebih jauh lagi, beliau menambahkan bahwa nahwu merupakan ukuran

bagi benar-tidaknya ucapan dan kualitas keteraturannya. Sebaliknya, menyalahi

hukum-hukumnya akan berakibat pada rusaknya ucapan dan rendahnya kualitas

keteraturannya. Beliau menulis:

“Persoalannya ialah sebagai berikut. Anda tidak akan menemukan sesuatu yang kebenarannya – jika memang benar - merujuk pada aturan dan kekeliruannya – jika memang keliru - merujuk pada aturan, kecuali itu semua termasuk dalam makna

ilmu nahwu. Maka Anda tidak akan melihat suatu kalimat bisa dinyatakan benar

atau salah susunannya, dan dinyatakan sebagai kalimat yang bagus dan indah,

kecuali Anda harus mempunyai rujukan tentang kebenaran dan kekeliruannya, atau

tentang kebagusan dan keindahannya, yang semua itu terdapat dalam makna-makna

dan hukum-hukum ilmu nahwu, serta prinsip-prinsip dan bahasan-bahasannya”.

Adapun ilmu atau aturan perubahan kata (sharf), ia banyak berkaitan

dengan pembentukan kata (al-bunyat wa al- shighat). Ilmu ini mempelajari

timbangan-timbangan (wazan) dan indikasinya, serta bentuk-bentuk perubahan yang

sangat beragam seperti penghapusan (al-hadzf), penambahan (al-ziyadat),

(5)

Adapun ilmu atau aturan pelafalan, ia secara khusus mempelajari

pelafalan bahasa, dari sisi karakteristiknya, sifat-sifatnya, macam-macamnya, serta

cara pelafalan dan perpindahannya dari mulut pembicara ke telinga orang yang

mendengarkan. Dengan demikian titik tekan kajian pelafalan ialah suara (al-shaut).

Mengenai yang terakhir, yakni ilmu atau aturan penunjukan (indikasi)

makna, sesungguhnya ia menitikberatkan pada aspek makna dan aspek penunjukan

makna. Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang

makna leksikon (al-ma’na al-mu’jami, al-ma’na al-qamusi) dari suatu kata, makna kontekstualnya (al-ma’na al-siyaqi) yang disebabkan oleh susunan disekitarnya, makna individual, makna sosial, dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan

makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang perkembangan makna suatu

kata, yang dipengaruhi oleh banyak variabel seperti aspek individu, bahasa, sosial,

kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan lain-lain.

Cabang-cabang ilmu diatas secara bersama-sama membentuk bangunan

ilmu bahasa secara keseluruhan. Kita tidak mungkin memisahkan sama sekali satu

cabang dari yang lainnya karena bahasa, semuanya saja, bukan merupakan sesuatu

yang bisa dipisah-pisah. Bahasa tidak akan bisa berfungsi sebagaimana mestinya

apabila salah satu atau beberapa bagiannya ditiadakan. Ambillah gambaran tentang

nomor telepon. Ia merupakan susunan tertentu dari beberapa angka, misalnya

751265. Setiap nomor dalam susunan tersebut memiliki posisi numeralnya

sendiri-sendiri. 5 bukanlah 6. Keduanya pun bukanlah 2 atau 1. Demikian seterusnya. Ada

yang berada pada posisi satuan, puluhan atau ratusan. Angka 5 pada posisi satuan

berbeda dengan angka yang sama pada posisi puluhan ribu. Yang pertama berarti 5

sementara yang belakangan berarti 50000.

Demikianlah nomor telepon melakukan fungsinya dimana semua

persyaratan yang telah diterangkan diatas harus terpenuhi tanpa kecuali. Apabila

salah satu angka dihilangkan, atau salah satu angka diubah seperti 5 diubah menjadi

(6)

Demikian pula dengan bahasa, tidak bisa tidak. Kita harus memahaminya

dari segenap aturan-aturannya baik itu dari aspek nahwu, sharf, pelafalan, atau

penunjukan maknanya. Satu pun dari aspek-aspek tersebut tidak mungkin bisa

ditinggalkan. Kita membedakan atau memilah-milah aturan-aturan tersebut

hanyalah sebatas untuk menjadikannya sebagai disiplin ilmu yang bisa dipelajari

secara terpisah, karena masing-masing aturan tersebut memiliki manhaj, tema,

tujuan, persoalan, dan kaidahnya sendiri-sendiri. Semua itu hanyalah dilakukan

dalam rangka studi dan pengkajian, serta untuk tujuan-tujuan pengajaran dan

pendidikan.

Dari sini jelas sudah kaitan antara nahwu dan bahasa yakni bahwa nahwu

merupakan bagian dari bahasa. Demikian juga telah jelas pula kaitan antara nahwu

dan sharf, pelafalan, serta penunjukan makna. Semuanya merupakan elemen-eleman

dari satu kesatuan yakni bahasa.

Berdasarkan apa yang sudah dikemukakan diatas tentang karakteristik

dan funsi ilmu nahwu, kiranya sudah jelas bagi pembaca bahwa nahwu tidaklah sebagaimana yang didefinisikan oleh sebagian orang, yakni “mengetahui harakat

dari akhir kata serta i’rabnya”. Nahwu, ternyata, lebih luas daripada sekedar

masalah harakat akhir kata. Ia merupakan ilmu yang mengkhususkan diri berbicara

tentang aturan menyusun dan merangkai ucapan. Kata-kata harus disusun

berdasarkan pola-pola tertentu dan kaidah-kaidah yang sudah ada. Demikianlah

kata-kata itu tersusun berdampingan satu sama lain, memiliki harakat yang

berbeda-beda, dan memiliki posisi yang berbeda-berbeda-beda, sesuai dengan aturan umum

berbahasa. Nahwu merupakan ilmu mengatur kata atau ilmu menyusun

kata-kata, yang banyak mempelajari tentang pengaturan kalimat dalam berbagai macam

dan bentuknya. Ia juga mempelajari tentang elemen-elemen kalimat baik dari sisi

kedudukannya, fungsinya, kaitannya, i’rabnya, dan hal-hal lain yang termasuk

(7)

C. PENYUSUNAN ILMU NAHWU

Di antara prestasi cemerlang yang senantiasa diabadikan oleh sejarah

ialah penyusunan (peletakan) ilmu nahwu. Para ahli tata bahasa kontemporer – di Timur maupun di Barat – hanya bisa tercengang dengan penuh rasa takjub, karena ilmu nahwu ternyata sangat sempurna, memiliki kaidah yang teliti, dan

hukum-hukumnya senantiasa konsisten. Ini, sungguh, merupakan sebuah penemuan ilmiah

sekaligus prestasi pioner dalam bahasa, yang dicapai dibawah petunjuk Kitab Suci

Rabb semesta alam dan sunnah Nabi saw. Disamping itu, semua ini juga karena

lingkungan yang khas dengan ketercerahan, kejernihan pikiran, kejelasan

pandangan, dan kejelasan akan kebenaran. Karakter pikiran yang demikian itu telah

menghasilkan ingatan yang kuat, ketajaman rasa, kemampuan analisis dan sintesis,

kemampuan metodologis dalam menggali hukum, dan kemampuan problem solving melalui kajian yang mendalam. Namun sebelum semua itu, akal Arab telah

memiliki orientasi yang amat mulia, yang menjadi bagian dari aqidah dan iman,

yakni untuk menjaga Al-Qur’an yang mulia serta memeliharanya dari berbagai kesalahan dan kekeliruan.

Sesungguhnya sebagian kalangan telah mengakui prestasi pioner ini.

Adapun orang-orang yang menyimpan kedengkian, maka mereka berusaha untuk

menyuarakan kebatilan dengan baju kebenaran, yakni dengan mengatakan bahwa

asal muasal dan referensi tata bahasa Arab ialah tata bahasa lain. Mereka

menyebarluaskan paham bahwa para ahli tata bahasa Arab telah dipengaruhi oleh

para ahli tata bahasa lain.

Berangkat dari sini, kita hendaknya memahami bahwa bahasan tentang

penyusunan ilmu nahwu merupakan bahasan penting yang harus dicermati oleh para

generasi muda kita. Mereka harus melakukan pengkajian yang detail atas bahasan

tersebut. Dengan demikian pemahaman mereka atas khazanah klasik akan

bertambah. Disamping itu, mereka juga akan sanggup membela kemuliaan generasi

(8)

inferioritas, dan penghancuran khazanah klasik kita yang dilakukan oleh

musuh-musuh Islam dan Arab.

Berbicara tentang penyusunan ilmu nahwu akan berhubungan dengan

persoalan yang cukup banyak. Siapakah yang menyusunnya? Sebelum pertanyaan

ini ialah pertanyaan “Apa sebab-sebab yang mendorong penyusunannya?” Bab apa

yang pertama kali disusun dalam ilmu nahwu? Atau barangkali ilmu nahwu disusun

secara sekaligus? Dimana dan kapan ia disusun? Lalu apa saja bahasan ilmu ini?

Apa tujuan dan fungsinya? Dari mana ia dikembangkan? Demikian seterusnya, yang

semua persoalan tersebut akan dibahas berikut ini.

D. SEBAB-SEBAB YANG MENDORONG DISUSUNNYA ILMU NAHWU

Orang-orang Arab pra-Islam merupakan model sebuah masyarakat yang

khas dan unik. Mereka memiliki tradisi bahasa yang menjadi patron bagi aturan

bahasa secara umum. Pada masa mereka tidak terjadi pergumulan dengan

bangsa-bangsa lain yang sampai menimbulkan pengaruh yang signifikan pada bahasa

mereka. Ini berkebalikan dengan apa yang terjadi pada zaman sesudah Islam,

dengan beberapa alasan yang akan dibahas kemudian.

Bahasa di jazirah Arab pra-Islam bisa dibedakan atas dua tingkatan:

1. Pertama, tingkatan bahasa fasih, yang berupa bahasa patron yang disepakati,

dan berkiblat pada dialek Quraisy yang digunakan dalam bidang keagamaan,

politik, perdagangan, dan kebudayaan, sampai-sampai kabilah-kabilah Arab

menjadikannya sebagai kiblat dalam berbagai bidang kehidupan.

2. Kedua, tingkatan dialek, yang terdiri dari dialek-dialek berbagai kabilah

yang sangat banyak jumlahnya, yang mana cara dan tradisinya berbeda satu

sama lain sampai pada batas-batas tertentu.

Orang-orang Arab saat itu mampu berbicara dalam kedua tingkatan

(9)

sedang bercakap-cakap santai dengan keluarga. Apabila mereka pada saat yang lain

dituntut untuk memakai bahasa yang fasih maka mereka pun akan melakukannya

tanpa merasa kesulitan.

E. NAHWU SEBAGAI PROSES ILMIAH BAHASA ARAB DAN

LATARBELAKANG KELAHIRANNYA

Al-Jabiri dalam salah satu bukunya yang sangat terkenal ”Takwîn al-Aql

al-Arabi” menyatakan bahwa “jika filsafat disebut sebagai mukjizat bangsa Yunani,

maka pengetahuan tentang bahasa adalah mukjizat bangsa Arab.1 Menurutnya,

sumbangan terpenting bangsa Arab terhadap peradaban yang diwariskan kepada dunia adalah “agama dan bahasa”. Keduanya saling terkait erat dan tidak dapat dipisahkan.

Munculnya berbagi perselisihan mazhab, baik dalam fiqih maupun kalam

jika dicermati, di antaranya, juga disebabkan oleh bahasa, dalam hal ini adalah

masalah interpretasi teks (bahasa) al-Qur’an. Begitu pula dalam perselisihan politik, meskipun berlatar belakang sosial, ekonomi dan golongan, namun adakalanya pula

timbul dari soal pemahaman teks (bahasa) agama.

Itu sebabnya, aktifitas ilmiah pertama yang dilakukan dalam tradisi

intelektual Islam adalah terkait dengan masalah kebahasaan seperti kodifikasi

bahasa, meletakkan dasar-dasar linguistik dan merumuskan gramatikanya. Metode

ilmiah yang digunakan dalam pembahasan bahasa ini lalu dijadikan mode dalam

berbagai aktifitas intelektual lainnya. Karenanya, tradisi keilmuan Islam yang

berkembang setelah ilmu bahasa sangat terwarnai oleh metode dan cara berpikir

para linguist dan grammarian generasi pertama.

Oleh karena itu, pada bagian ini penting rasanya menelusuri kembali

mula pertama aktifitas dunia kebahasaan yang kemudian disebut dengan ilmu

1 Muhammad Abid al-Jabiri,

(10)

nahwu, terutama yang terkait dengan penggagas disiplin tersebut dan

perkembangannya.

Berbagai literatur Arab yang membahas historisitas nahwu hampir dapat

dipastikan bahwa pada umumnya memiliki nuansa pengkajian yang seirama, yaitu

terfokus pada dua hal: peletak dasar (penggagas) disiplin nahwu, dan kedua

latarbelakang kelahirannya. Terkait dengan soal pertama, perbincangan yang

mewarnai berbagai literatur Arab berkisar pada “pro-kontra” dalam memastikan

nama utama yang dianggap sebagai penggagas ilmu nahwu ini. Paling tidak terdapat

lima nama yang disebut-sebut secara kontroversial sebagai panggagasnya, yaitu;

Abu al-Aswad al-Du’ali, Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khattab, Abdurrahman bin Hurmuz dan Nashr bin Ashim al-Laitsi.2

Kajian ini tidak akan larut dan terjebak pada kontroversi di atas, sebab

hampir dapat dipastikan semua nama yang tersebut tadi memiliki peran

masing-masing dalam membidani kelahiran dan pertumbuhan nahwu. Abu Aswad

al-Du’ali dan para muridnya yaitu Anbasah al-Fil, al-Aqran, Nashr bin Ashim dan

Yahya bin Ya’mur, misalnya, dalam berbagai literatur diakui sebagai penggagas

awal ilmu nahwu. Abu Aswad al-Du’ali berjasa merumuskan “i’rab” dan pembagiannya, semenatra para muridnya mengembangkannya dan menemukan

istilah-istilah teknis semisal “al-mubtada’, al-fa’il dan al-maf’ul”. Kemudian murid dari para murid Abu Aswad terutama Ibnu Abi Ishaq Hadhrami, Isa bin Umar

al-Tsaqafi dan Abu Amr bin al-Ala’ lebih jauh mengembangkan teori-teori yang telah

dirintis di atas dengan cara membuat rumusan tatabahasa yang sedikit lebih luas

dengan melakukan penelitian mendalam mengenai karakter bahasa Arab, ia juga

dianggap sebagai penggagas metode “ta’lil dan qiyas” dalam nahwu.3

Lebih dari itu,

2

Abd al-‘Al Salim Mukrim, al-Quran al-Karim wa Atsaruhu Fi al-Dirasat al-Nahwiyyah,

(Mesir: Dar al-Maarif, t.t), h. 49.

3

(11)

generasi ini juga telah membukukan teori-teori mereka seperti yang dilakukan oleh

Isa bin Umar dalam karyanya”Kitâb al-Jâmi’ dan Kitâb al-Mukammil ”.4

Sementara terkait dengan latar belakang yang mendorong lahirnya ilmu

nahwu ini hampir semua literatur yang tersedia sependapat yaitu disebabkan karena

semakin meluasnya kesalahan-kesalahan berbahasa secara baik dan benar menurut

standar bahasa Arab yang fasih, atau yang lebih akrab disebut dengan istilah “al

-Lahn”.5

Terlepas dari faktor utama yang mendorong proses ilmiah bahasa Arab

(kodifikasi dan perumusan gramatikanya), misalnya saja demi menjaga kemurnian

bahasa al-Quran atau karena meluasnya “lahn” seperti di tengah masyarakat seperti disinggung di atas, atau siapapum penggagas utama cabang pengetahuan nahwu ini,

yang pasti aktifitas ilmiah tersebut telah menjadi catatan penting dalam sejarah

intelektual Islam yang menandai adanya suatu perubahan radikal dalam dunia

kebahasaan Arab. Aktifitas intelektual tersebut telah merubah bahasa Arab dari

sebuah bahasa non ilmiah (tidak dapat dipelajari dengan metode ilmiah) menjadi

bahasa ilmiah, bahasa yang memiliki aturan dan sistem seperti lazimnya obyek

ilmiah lainnya.

Dalam kaitan ini, Khalil bin Ahmad al-Farahidi (100-170 H) dipandang

sebagai orang yang paling berjasa dalam proses ilmiah yang sebenarnya dalam

bahasa Arab. Pengetahuannya yang begitu luas baik tentang hadits, fikih, bahasa,

matematika dan logika formal (manthiq) dan didukung dengan kecerdasan yang luar

biasa, ilmu nahwu ia kembangkan sedemikian rupa baik secara teoretik maupun

cakupan kajiannya. Dengan kata lain, bahasa Arab mulai benar-benar menjadi

bahasa yang ilmiah dan dapat dipelajayjri secara metodologis dan sistematis sejak ia

dibuat rumusan tatabahasanya yang komprehensif oleh Khalil bin Ahmad

4

Abdul Aziz Ahmad Allam, Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi, dalam majalah ”Majallah”, Jami’ah

al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.

5 Abd al-‘Al Salim Mukrim,

(12)

Farahidi ini.6 Oleh karena itu, pada umumnya kajian seputar metode dalam proses

ilmiah bahasa Arab lebih terfokus pada penelusuran metode yang digunakan oleh

Khalil tersebut. Tulisan ini juga akan bertitik tolak dari hal yang serupa pula.

F. PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Ilmu nahwu merupakan bagian dari ilmu bahasa secara umum. Secara

keseluruhan, ilmu bahasa meliputi ilmu nahwu, ilmu sharf, ilmu pelafalan, dan ilmu

semantik. Ilmu sharf berbicara tentang aturan pembentukan kata. Ia mempelajari

timbangan-timbangan kata (wazan) berikut indikasinya, serta bentuk-bentuk

perubahan yang sangat beragam seperti penghapusan, penambahan, perentangan,

pemendekan, peleburan, pembalika, penggantian, pencacatan, serta keadaan saat

terus dan saat berhenti. Dengan kata lain, kata kunci dalam ilmu sharf ialah kata .

Adapun kata kunci dalam ilmu pelafalan ialah suara. Sementara, ilmu

semantik menitikberatkan kajiannya pada aspek makna dan penunjukan makna.

Titik berat pada aspek makna berarti bahwa disana akan dipelajari tentang makna

leksikon dari suatu kata, makna kontekstualnya, makna individual, makna sosial,

dan sebagainya. Titik berat pada penunjukan makna berarti bahwa disana akan

dipelajari tentang perkembangan makna suatu kata, yang dipengaruhi oleh banyak

variabel seperti individu, sosial, kebudayaan, militer, politik, peradaban, dan

lain-lain. Adapun ilmu nahwu, kata kuncinya ialah kalimat. Ia secara khusus berbicara

tentang jabatan tiap elemen kalimat dan secara umum berbicara tentang aturan

mengenai hubungan antar elemen tersebut.

Demikianlah, ilmu nahwu telah digunakan untuk menganalisis secara

sintaktik bagian-bagian sebuah kalimat serta hubungan antar bagian-bagian tersebut

dalam apa yang dalam tradisi klasik kita sebut sebagai hubungan penyandaran. Jadi

ilmu nahwu tidaklah hanya berbicara tentang harakat di akhir kata serta i’rabnya,

6

(13)

namun ia juga mengatur tentang bagaimana cara yang baik dalam menyusun dan

merangkai kalimat.

Semua cabang ilmu bahasa diatas saling melengkapi satu sama lain.

Ilmu-ilmu tersebut dibeda-bedakan hanyalah untuk kemudahan mempelajarinya saja. Kita

tidak bisa mengkaji bahasa secara sempurna dengan hanya menggunakan salah satu

atau sebagian ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan ilmu yang lain.

Ilmu Nahwu (gramatika bahasa Arab) sejak awal perkembangannya

sampai sekarang senantiasa menjadi bahan kajian yang dinamis di kalangan para

pakar linguistik bahasa Arab. Sebagai salah satu cabang linguistik (ilmu lughah),

Ilmu Nahwu dapat dipelajari untuk dua keperluan. Pertama, Ilmu Nahwu dipelajari

sebagai prasyarat atau sarana untuk mendalami bidang ilmu lain yang referensi

utamanya ditulis dengan bahasa Arab, misalnya Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu

Fiqih. Kedua, Ilmu Nahwu dipelajari sebagai tujuan utama. Dua bentuk

pembelajaran (learning) Ilmu Nahwu itu telah menjadi tradisi yang berkembang

secara berkesinambungan di kalangan masyarakat Arab (Islam) dahulu sampai

sekarang.

Hampir semua pakar agama Islam sejak akhir abad kesatu Hijriah sampai

sekarang mempunyai penguasaan yang baik terhadap Ilmu Nahwu. Bahkan tidak

jarang dari mereka yang menjadi pakar dalam bidang nahwu di samping kepakaran

mereka dalam bidang agama. Sebagai contoh, Imam Ibnu Katsir, An-Nawawi,

Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Hisyam, dan Az- Zamakhsyari adalah tokoh-tokoh

handal dalam bidang ilmu agama, dan pada saat yang sama kepakaran mereka

dalam bidang Ilmu Nahwu juga diakui di kalangan ulama. Di Indonesia,

tokoh-tokoh agama semisal Syekh Nawawi Banten, Buya Hamka, Prof. Mahmud Yunus,

dan K.H. Bisri Musthafa juga mempunyai penguasaan nahwu yang mendalam,

bahkan rata-rata mereka telah menulis atau menerjemahkan lebih dari satu judul

buku tentang nahwu. Sementara itu, tokoh-tokoh nahwu seperti Imam Sibawaih,

Al-Farra', Ibnu Jinny, dan Ibnu Yaisy, lebih dikenal sebagai pakar dalam bidang Ilmu

(14)

membagi perkembangan Ilmu Nahwu secara kronologis berdasarkan kurun waktu

dan peta penyebarannya. Di bagian akhir bukunya dia membuat skema

perkembangan Ilmu Nahwu sebagai berikut.

G. PETA PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Pusat Perkembangan Abad Hijriah ke

1. Bashrah, Mekah, Medinah Kufah,Baghdad, Mushal, Irbal, Andalus (1) kesatu

2. Marocco, Persi (2) kedua 3. Mesir (3) ketiga

4. Damaskus, Haleb (4) keempat 5. Nejed, Yaman (5) kelima 6. Hulah, Eropa (6) keenam 7. India (7) ketujuh

8. Romawi (8) kedelapan

Dari peta di atas tampak bahwa Al-Fadlali tidak memasukkan

negara-negara Asia Tenggara sepertiIndonesia dan Malaysia dalam peta. Padahal

bagaimanapun juga di negara-negara itu perkembangan nahwu cukup pesat. Di

samping itu, ia juga tidak mengemukakan alasan mengapa ia langsung melompat

dari abad ke 8 menuju abad ke14 dengan mengabaikan lima abad yang ada di

antaranya. Namun, terlepas dari kekurangannya, bagan tersebut cukup berarti dalam

memberikan gambaran secara global tentang peta perkembangan Ilmu Nahwu.7

Sementara itu, Dlaif (1968) membagi perkembangan Ilmu Nahwu

berdasarkan aliran-aliran (madzhab) dengan menyebutkan sejumlah tokoh yang

dominan pada setiap aliran. Ia menyebutkan secara kronologis lima aliran nahwu

sebagai berikut. (1) aliran Bashrah, (2) aliran Kufah, (3)aliran Baghdad, (4) aliran

7

(15)

Andalusia, dan (5) aliran Mesir. Dua aliran pertama, Bashrah dan Kufah, disebutnya

sebagai aliran utama, karena keduanya mempunyai otoritas dan independensi yang

tinggi, kedua aliran tersebut juga mempunyai pendukung yang banyak dan fanatik,

sehingga mampu mewarnai aliran-aliran berikutnya. Adapun tiga aliran yang lain

disebutnya sebagai aliran turunan yang berinduk pada salah satu aliran utama atau

merupakan hasil paduan antara keduanya.

Di Indonesia, sejalan dengan perkembangan agama Islam, Ilmu Nahwu

juga banyak dipelajari. Akan tetapi, pembelajaran nahwu di Indonesia lebih banyak

sebagai alat (untuk mempelajari bahasa Arab) dan bukan sebagai tujuan. Karena itu,

referensi yang banyak dipelajari adalah buku-buku yang bersifat praktis dan

textbook oriented yang substansinya mengacu pada peran nahwu sebagai alat bantu

pembelajaran agama (Islam), sementara buku-buku yang bersifat historis teoretis

cenderung kurang mendapat perhatian.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika referensi nahwu yang banyak

ditemukan di pesantren-pesantren maupun di kalangan perguruan tinggi Islam

adalah buku-buku semacam Al- Ajrumiyyah dengan berbagai syarah1-nya, Alfiyah

Ibnu Malik dengan berbagai syarahnya, dan Al-'Umrithiy. Sementara, buku-buku

yang banyak menyinggung aspek historis seperti Sirru Shina'atil I'rab karya Ibnu

Jinny, Al-Mazhar karya Jalaluddin Assuyuthi, dan Mizanudz Dzahab 1 Syarah

adalah kitab perluasan dari matan. Matan adalah karya orisinil yang ditulis oleh

seorang ulama yang biasanya bersifat ringkas dan padat isi, sedangkan syarah

berfungsi memperjelas atau memperluas keterangan kata-kata, kalimat atau wacana

yang ada pada matan, karya Ibnu Hisyam kurang populer.

Bagi para linguis bahasa arab, atau pemerhati Ilmu Nahwu pada

khususnya, pembelajaran nahwu dari perspektif sejarah merupakan suatu hal yang

penting untuk dilakukan, karena dengan itu cakrawala mereka tentang dinamika

Ilmu Nahwu menjadi lebih luas dan pada akhirnya dalam diri mereka akan tumbuh

toleransi yang tinggi terhadap perbedaan - perbedaan yang ada. Selain itu,

(16)

pertengahan abad 20 M itu ada khazanah yang terlalu mahal untuk disia-siakan.

Atas dasar kenyataan dan alasan diatas, pada kesempatan ini penulis memaparkan

secara global dinamika Ilmu Nahwu pada abad permulaan. Paparan itu mencakupi

cikal bakal Ilmu Nahwu, Bashrah sebagai kota kelahiran Ilmu Nahwu, dan

tokoh-tokoh pemrakarsa Ilmu Nahwu.

Selain itu kami paparkan perkembangan ilmu nahwu dapat diruntut

menjadi tiga periode:

a. Periode Perintisan (Periode Bashrah)

Perkembangan pada periode ini berpusat di Bashrah, dimulai sejak zaman

Abul Aswad sampai munculnya Al-Khalil bin Ahmad, yakni sampai akhir abad

kesatu Hijriyah. Periode ini masih bisa dibedakan atas dua sub periode, yaitu masa

kepeloporan dan masa pengembangan. Masa kepeloporan tidak sampai memasuki

masa Daulah Abbasiyah. Ciri-cirinya ialah belum munculnya metode qiyas

(analogi), belum munculnya perbedaan pendapat, dan masih minimnya usaha

kodifikasi. Adapun ciri-ciri masa pengembangan ialah makin banyaknya pakar,

pembahasan tema-temanya semakin luas, mulai munculnya perbedaan pendapat,

mulai dipakainya argumen dalam menjelaskan kaidah dan hukum bahasa, dan mulai

dipakainya metode analogi.

b. Periode Ekstensifikasi (Periode Bashrah-Kufah)

Periode ini merupakan masa ketiga bagi Bashrah dan masa pertama bagi

Kufah. Hal ini tidak terlalu mengherankan, sebab kota Bashrah memang lebih dulu

dibangun daripada kota Kufah. Pada masa ini, Bashrah telah mendapatkan rivalnya.

Terjadi perdebatan yang ramai antara Bashrah dan Kufah yang senantiasa berlanjut

sampai menghasilkan apa yang disebut sebagai Aliran Bashrah dengan panglima

besarnya Imam Sibawaih dan Aliran Kufah dengan panglima besarnya Imam

Al-Kisa’i. Pada masa ini, ilmu nahwu menjadi sedemikian luas sampai membahas

tema-tema yang saat ini kita kenal sebagai ilmu sharf.

(17)

Di akhir periode ekstensifikasi, Imam Al-Ru’asi (dari Kufah) telah meletakkan dasar-dasar ilmu sharf. Selanjutnya pada periode penyempurnaan, ilmu

sharf dikembangkan secara progresif oleh Imam Al-Mazini. Implikasinya, semenjak

masa ini ilmu sharf dipelajari secara terpisah dari ilmu nahwu, sampai saat ini. Masa

ini diawali dengan hijrahnya para pakar Bashrah dan Kufah menuju kota baru

Baghdad. Meskipun telah berhijrah, pada awalnya mereka masih membawa

fanatisme alirannya masing-masing. Namun lambat laun, mereka mulai berusaha

mengkompromikan antara Kufah dan Bashrah, sehingga memunculkan aliran baru

yang disebut sebagai Aliran Baghdad. Pada masa ini, prinsip-prinsip ilmu nahwu

telah mencapai kesempurnaan. Aliran Baghdad mencapai keemasannya pada awal

abad keempat Hijriyah. Masa ini berakhir pada kira-kira pertengahan abad keempat

Hijriyah. Para ahli nahwu yang hidup sampai masa ini disebut sebagai ahli nahwu

klasik.

Setelah tiga periode diatas, ilmu nahwu juga berkembang di Andalusia

(Spanyol), lalu di Mesir, dan akhirnya di Syam. Demikian seterusnya sampai ke

zaman kita saat ini.

H. TAHAP PERKEMBAGAN SEJARAH NAHWU KONTEMPORER

1. Tahap Pertama

Sejak sebelum masa Islam bahasa Arab telah menjadi bahasa yang

sempurna. bahasa Arab cukup memenuhi kehidupan pemiliknya, baik untuk

keperluan komunikasi antar anggota masayarakat dalam berbagai bidang kehidupan

maupun untuk menciptakan kesusasteraan.

Pergaulan orang Arab dengan orang-orang non-Arab sebelum Islam

masih terbatas, sehingga lahn yang timbul akibat pergaulan merekapun tidak

seberapa banyak dan tidak dikuatirkan akan merusak bahasa Arab itu. Akan tetapi

setelah memasuki masa Islam pergaulan orang Arab dengan bangsa-bangsa

sekitarnya semakin meningkat dan lahn pun meningkat pula sehingga dirasa akan

(18)

lahn itu. Kelahiran nahwu juga bertujuan agar orang-orang terutama non-Arab dapat

menguasai bahasa Arab dengan baik.8oleh karena itu, mualilah dibahas masalah

i’rab dan kaidah-kaidahnya.

Atas perintah Ali bin Abi Thalib, Abu al-Aswad al-Du’ali mulai kegiatannya dengan mengumpulkan masalah-masalah lahn. Setiap orang mendengar

lahn segera ia menunjukan contoh yang benar dari kalimat-kalimat dalam al-Qur’an al-Hadist atau ungkapan-ungkapan yang baik dan benar dari orang Arab. Oleh

karena itu, kaidah yang dibuat pada waktu itu selalu sejalan dengan keperluan

masyarakat dan berkaitan dengan lahn yang terjadi pada lisan pemkai bahasa Arab

itu.9

Abu al-Aswad al-Du’ali mengajarkan nahwu itu di masjid jami Basrah. Banyak murid-muridnya, antara lain Yahya ibn Ya’mur yang bersama Atha, anak Abu al-Aswad al-Du’ali mengembangkan dan mengelompokan bahasanya menjadi bab-bab dan menambhkan beberapa masalah nahwu dalam lingkup al-Qur’an.10

Sebagai ilmu yang baru dan masih tahap awal pertumbuhannya,

kaidah-kaidah yang dihasilkan pada periode awal oleh angkatan pertama ini baru merupakan kaidah umum yang dibuat atas dasar sima’(yang didengar dari orang Arab). Periode awal angkatan pertama belum menghasilkan kitab-kitab yang

disusun secara sistematis yang ditinggalkan untuk generasi berikutnya.

Namun, studi nahwu terus berkembang. Kaidah-kaidahnya bertambah.

Pada masa angkatan kedua periode kedua terjadi loncatan pemikiran nahwu dalam

prisip pengembangan nahwu. Abu Amr al-‘Ala (w. 154 H) memasukan qiyas kedalam prisip penyusunan kaidah nahwu. Ia membuat kaidah atas dasar qiyas

kepada ungkapan-ungkapan orang Arab yang banyak terpakai, sedangkan

8 Said al-Afghani,

Min Tarikh al-Nahwi, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h, 26

9

Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, (t.t: maktabah al-Manar, t.t), h.21

10

(19)

ungkapan-ungkapan yang kurang banyak terpakai tidak dijadikan sumber qiyas dan

disebut olehnya dengan nama lahjah.11 Selanjutnya qiyas ini disebut qiyas bashri.

Berbeda dengan Abu ‘Amr ibn al-‘ala, Abdullah ibn Abi Ishak

menggunakan ungkapan-ungkapan yang oleh Abu ‘Amr ibn al-A’la sisebut lahjah sebagai qiyas, tidak hanya terbatas pada ungkapan-ungkapan yang banyak terpakai

saja.

Apabila ulama Basrah untuk sumber qiyas hanya mengambil teks atau

kata yang banyak dipakai oleh orang-orang yang diakui ke-fasihannya saja, maka

ulama kuffah tidak membuat prinsip qiyas, kecuali prisip yang diambil dari

gurunya, yaitu ulama Basrah terutama al-Hadrami. Tetapi penerapannya longgar.

Karena tidak prisip membuat qiyas yang ketat itu, maka ketika menemukan kalimat

syadz atau lahn bahkan yang sebenarnya salah, mereka membuat kaidah khusus

untuk mereka sendiri. Akibatnya terjadi bermacam kaidah yang kurang singkron

antara satu sama lainnya.12

2. Tahap kedua

Pada tahap pertama Abu ‘Amr ibn al-‘Ala’ telah menghasilkan

beberapa buku sebagai karya tulisnya, hanya saja tidak ada yang sampai kepada

generasi berikutnya.13 Adapun prinsip qiyas yang dicetuskan mendapat perhatian

generasi berikutnya bahkan pada periode kedua ini qiyasnya Abu ‘Amr ibn al- ‘Ala itu disempurnakan oleh al-Khalil, sedang qiyas Abdullah ibn Abi Ishak al-Hadrami

dibatalkan.14

11

Abd. Al-hadi al-fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 30.

12

Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 72.

13

Said al-Afghani, Min Tarikh al-Nahwi, h. 70.

14 Muhammad khairuddin al-Halwani,

(20)

Dengan munculnya yunus ibn Habib al-Khalil, nahwu memasuki fase

baru, yang berbeda denghan fase sebelumnya. Periode ini ditandai, anatara lain

denga:15

1. Munculnya teori ‘amil nahwu, kemudian berkembang dan mendominasi

proses analisis kalimat,

2. Meningkatnya penggunaan qiyas nahwu sebagai pengaruh dari fiqh,

terutama oleh al-Khalil al-Faharadi,

3. Meningkatnya penggunaan ‘llah nahwu, dan

4. Penggunaan peninggalan bahasa zaman jahili dan zaman Islam dalam

argumentasi

Pada masa ini nahwu mulai tegak sendiri, mempunyai sumber data

yang banyak terutama terdiri dari fenomena kebahsaan dan kekayaan budaya.

Tokoh-tokonya yang utama adalah Yunus ibn Habib yang berorientasi kepada

gurunyaAbu ‘Amr ibn al-‘Ala yaitu berpegang kepada sima’.16tokoh yang lain

adalah al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang lebih berpegang pada qiyas dan ta’wil.

Pada masa al-Khalil nhwu sangat dekat dengan ilmu fiqh dan ilmu

kalam,17 terutama dikota basarah. Sebenarnya sejaka abad 1 H, masa guru-guru Abu

Hanifah, guru-guru imam Syafi’i dan wasil ibn Atha telah banyak terjadi perdebatan dalam bidang pemikiran keagamaan antara para ulama, termasuk ulama nahwu. Jadi

pengaruh fiqih terhadap nahwu terjadi sejak periode pertama, yaitu pada saat

mereka menganggap fiqih sebagai salah satu pokok ilmu keIslaman. Semua ulama,

termasuk ulama nahwu sangat menaruh perhatian, banyak yang menekuni dan

memanfaatkan ilmu fiqh. Sebagai contoh adalah keterpengaruhan al-Khalil oleh

qiyas Abu Hanifah.

15 Abd. Al-Hadi al-Fadhli,

Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 35.

16

Abd. Al-Hadi al-Fadhli, Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat, h. 202.

17

(21)

Al-Laits ibn al Mudzaffar bertanya kepada al-Khalil. Kata نيرشع

adalah jamak dari kata رشع, jadi نيرشع sama dengan tiga kali Sembilan atau dua

puluh tujuh. Mengapa نيرشعsama dengan dua puluh?

Al-Khalil menjawab نارشع sama dengan 2 X 9 ATAU 18 ( ةينامثرشع).

Dua lagi merupakan bagian dari رشعyang ketiga digabung dengan نارشع (18)

menjadi 18 + 2 = 20 atau نيرشعjadi benar bahwa نيرشعsama denga 20, jamak dari رشع.

Al- Laiy berkata mengapa begitu? Bukankah itu belum sempurna 3X رشع? apa boleh saya katakana bahwa satu dirham ditambah satu danaq sama dengan tiga dirham?

Al-khalil menjawab saya tidak senang mengqiyaskan dengan dirham,

melainkan dengan ucapan Abu Hanifah. Anda mengetahui Abu Hanifah

mengatakan bahwa kalimat saya talak dia dengan dua talak dan sepuluh talak ( اهتقلط تاقيلطت رشع و نيتقيلطت) sama dengan talaq tiga. Sebabnya sepuluh talak رشع تاقيلطت yang terakhir itu berkedudukan sebagai talak yang ketiga. Hitungan Abu hanifah

sepuluh (رشع) itu sama dengan hitungan saya dua tadi. Jadi 18 ditambah dua sama

dengan نارشعditambah رشعjadi نيرشع sama dengan 20, karena نيتقيلطت ditambah اقيلطت رشعت sama dengan اقيلطت ثلاثت.

Di samping itu, ulama nahwu menggunakan ijtihad dalam member

fatwa dan menggunakan ta’wil pada teks-teks untuk menyesuaikan dengan kaidah

yang telah dibuat, seperti halnya ulama fiqih.

Adapun kedekatannnya dengan ilmu kajian tampak pada pengambilan

kaidah induk terutama dalam hal ’amil. Mereka menyatakan bahwa semua kejadian, dalam hal ini ilmu nahwu menyebutkan I’rab, tentu ada penyebabbnya. Mereka menamakan penyebab ini dengan ‘amil. Apabila ada 2 ‘amil tentu ada 2 ma’mul. Demikian sebaliknya. Kemudian tidak mungkin 2 ‘amil bertemu dengan satu ma’mul, karena akan terjadi dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah

bahwan dua ‘amil mempunyai fungsi yang sama, yaitu sama-sama me-rafa’-kan,

(22)

Umpamanya yang satu me-rafa’-kan, sedangkan yang lain me-nashad-kan. Hal ini tidak mungkin dan tidak masuk akal.

Pengaruh ilmu kalam dalam pembentukan kaidah nahwu tampak jelas

diterapkan dalam menganalisis pola tanazu’ seperti kalimat ( بلاطلا سلج و ءاج).

Dalam kalimat ini ada dua ‘amil, yaitu (ءاج) dan (سلج), sedangkan ma’mul-nya

hanya ada satu, yaitu (بلاطلا). Dalam hal ini terjadi dua pendapat. Pertama, menurut

ulama Bashrah yang beramal hanya ‘amil yang kedua, yaitu kata (سلج) karena ‘amil

itu dengan mu’mil, sedangkan ‘amil yang pertama, yaitu (ءاج), diberi ma’mul lain,

yaitu dhamir yang sesuai dengan ma’mul, maka kalimat itu menjadi ( سلجواؤاج بلاطلا). Kedua, ulama Kufah berpendapat sebaliknya. Mereka menganggap bahwa yang beramaladalah ‘amil yang pertama. ‘Amil yang kedua diberi ma’mul lain, yaitu dhamir yang sesuai dengan mu’,il tersebut (بلاطلا). Maka kalimat itu berubah menjadi (بلاطلااوسلجو ءاج), sesuai dengan kaidah tanazu’ pada bait=bait berikut.

لمع مسا يف ايضتقا نلاماع نإ

tersebut di atas, yang memberikan gambaran keterpengaruhan dan kedekatan

mereka dengan ilmu kalam. Padahal dalam Al-Qur’an dan lain-lain banyak terdapat pola yang disebut mempunyai dua ‘amil itu, seperti (ىمعلأا هءاج نأ ىلوتو سبع). Juga fikih tampak pada gagsan al-Khalil tentang teori ‘amil, terutama dalam pola tanazu’

seperti dijelaskan di atas. Lebih lanjut al-Khalil membagi ‘amil menjadi ‘amil lafzhi dan ‘amil ma’nawi. ‘Amil ada yang lebih kuat dari‘amil.

Al-khalil orang pertama yang menyatakan bahwa ‘amil ada yang kuat

(23)

Contoh ‘amil yang lemah adalah (نإ) yang mempunyai dua amal, yaitu mubtada’dan khabar seperti ( اهيفاخأ داكأ ةيتأآعاسلا نإ). Tetapi ‘amil نإ itu lemah disbanding, ناك karena نإ itu tidak dapat di-tashrif dan mempunyai isim dhamir, sedangkan ناك bias di-tasrif menjadi fi’l mudhari seperti نوكيfi’il amr seperti نك , dan mashdar seperti نوك. masing-masing kata yang ditasrif dari ناكitu ber-amal

pula seperti amal ناك. bahkan kata-kata yang ditasrif itu dalam bentuk mudzakar

dan mua’nast, baik mufrad (tunggal), mutsanna, jama’, semuanya ber-amal

me-rafakan isism dan me-nasabkan khabar, seperti:

ايسن كبر ناك امو هنإ ايبن اقيدص ناك ايلو ناطيشلل نوكتف نمحرلا نم باذع كسمي نأ فاخأ ىنإ تبآاي

نيئساخ ةدرق ونوك

Demikian pula saudara-saudara ناك seperti ، حبصأ ، تاب ، لظ ، داك ، سيلراصdan lain-lain lebih kuat dari saudara-saudara نإseperti anna, lakina, la’alla dan kaanna.

Al-Khalil berperan besar dalam meletakan dasar-dasar penciptaan

kaidah nahwu. Ia menyempurnakan dasar-dasar yang telah diletakan oleh Abu

al-Aswad al-Du’ali dan ulama berikutnya hingga akhir angkatam periode pertama, yaitu sampai masa Abu Amr ibn al-A’la mereka telah mengadakan penelitian, membuat prinsip analisis, kemudian menarik kesimpulan tentang aturan-aturannya,

sedang al-Khalil meneliti kembali, memperdalam analisis, kemudian memberikan

deskripsi lebih luas dan jelas.18

Tidak berlebihan kiranya al-Khalil disebut sebagai ulama nahwu

terbesar di Irak, bahkan terbesar sepanjang masa. Dari pikiran-pikirannya timbul

karya-karya besar ditangan murid-muridnya dan ulama sesudahnya, seperti, al-Kitab

karya sibawih.

1. Penjelasan Singkat Perkembangan Ilmu Nahwu

18

(24)

Dorongan utama dari penyusun nahwu ini adalah semata-mata untuk

membentengi bahasa arab Arab dari kesalahan ungkapan (lahn) yang ada pada masa

itu mulai menular serta merusak “edisi” Arab fusha. Dengan dilemma yang ada, maka para ulama mersa khawatir atas keautentikan bahsa Arab yang akan

berimplikasi pada pengkontaminasian cara membaca dan memahami al-Quran.

Keprihatinan ini amatlah wajar sebab, sebelum bahasa arab jerjankit lahn,

masyarakat Arab senddiri sudah mendapat masalah internal dalam keterbatasan :

mereka terbagi kedalam klan (suku) yang bermacam-macam, tiap klan memiliki

bahasa yang berbeda-beda antara suku satu dan yang lain. Upaya menyatukan

bahasa menduduki urutan penting pertama sebelum memerangi virus lahn lain yang

dating setelah agenda penaklukan (Arab : al-futuhat). Atas perintah Ali bin Abi

Thalib, Abu al-Aswad al-duali (Dhalim ibn ‘Amru ibn Hambal ibn Jundl ibn Sulaiman ibn Hils al-Duali al-Kinnani) 1 SH-69 H/605-688 M. Berjuang untuk

menyusun kaidah-kaidah dasar bahasa Arab yang akan menjadi rujukan dikala

terjadi kesalahan ungkapan tersebut.

Meski para sarjana bahasa berbeda pendapat tentang Abu al-Aswad

sebagai peletak dasar ilmu Nahwu. Namun tidak boleh dilupakan bahwa disana

banyak sekal;I pendapat yang menguatkan keabsahannya sebagai pioneer ilmu

nahwu (Arab : wadhi’-u ‘ilm al-Nahwu) itu sendiri, seperti disinggung dengan

bagus oleh Ahmad Amien, bahwa Ibn Qutaybah dalam kitab al ma’arif mangafirmasi posisi Abu al-Aswad sebagai orang:” yang pertama kali meletakan dasar pondasi Nahwu” orang yang pertama kali memberikan titik di mushaf dan meletkan pondasi nahwu adalah Abu Aswad. Inovasi yang digagas oleh Abu

al-Aswad ini, lambat laun, kemudian disambut hangat oleh para penduduk Arab dikala

itu. Maka tak heran jika ilmu ini berkembang begitu pesatnya sehingga melahirkan

banyak generasi mahir dibidang ilmu bahasa Arab.

Setelah Abu al-Aswad wafat, dua muridnya yaitu : Nashr ibn Ashim

(25)

Arab dari masa ke masa. Selang beberapa tahun kemudian, setelah kematian

murid-murid Abu al-Aswad, munculah seorang ulama popular yang karya agungnya

menjadi disiplin ilmu terkenal dalam sastra arab yaitu : Khalil ibn Ahmad

al-Farahidi. Estafeta al-Khalil ini melahirkan murid brilian, sibaweh dengan karya

besarnya: “al-Kitab”.

Lagi-lagi disini menarik sekali menyelipkan argument Ahmad Amien,

bahwa Sibaweh tercatat sebagai murid Khalil ibn Ahmad Farahidi, pengarang

al-Kitab “Mu’jam al-Ayn”, darinya pula ia belajar gramatika bahasa Arab dengan

benar. Ahmad Amien memuji Khalil telah member sumbangsih banyak dalam

memperkaya khazanah Nahwu, tetapi herannya selepas al-Kitab Sibaweh muncul

pamor nomer satu Khalil merosot. Malah seperti amatan Ahmad Amien, dalam

kitab al-Zubaidi Mukhtasar kitab al-‘Ain misalnya menyebut al-Kitab karya Sibaweh telah melumpuhkan kitab nahwu sebelumnya dan mematahkan

kitab-kitab Nahwu yang dating setelahnya. Ini adalah isyarat bahwa peran Sibaweh sudah

melampaui gurunya sendiri.

- Polemik ahli nahwu basrah dan kuffah

Sejarah mencatat bahwa formulasi gramatika bahasa arab tidak

berjalan mulus apa adanya, disana ada pergolakan yang akut. Kiranya tiga kota

besar : Basrah, Kuffah, dan Baghdad patut diperhitungkan untuk meninjau kasus

polemic ilmu nahwu.

Di antara tiga kota besar itu adalah Basrah dan Kuffah yang banyak

mewarnai polemic pembahasan ilmu bahasa Arab. Factor penyebabnya tiada lain

karena kedua kota tersebut sama-sama memiliki ulama ahli bahasa andalan. Basrah

memiliki pakar bahasa sekaliber khalil ibn Ahmad al-Farahidi dan sibaweh,

(26)

Penting diketahui bahwa imbas perbedaan ulama Basrah dan Kuffah,

dengan sendirinya membuat madhab pemikiran keduanya berbeda dramatis. Aliran

Basrah berpijak pada qiyas karena terpengaruh pada logika Yunani yang kuat waktu itu, sedangkan Kuffah lebih tergiur pada pendengaran (sama’ie).

Sementara itu kegiatan mengembangkan bahasa di Basrah dan Kuffah

semakin sistematis, masing-masing dari dua kubu tersebut memiliki sebuah majlis bagi pecinta bahasa maupun syi’ir. Majlis hanya dipergunakan untuk mengkaji, mendalami, dan meningkatkan bakat bahsa Arab. Kelompok ini kemudian dikenal

dengan “Madrasah” dalam perkembangannya. Basrah telah mendirikan madrasa

lebih lama dari pada Kuffah, dengan selisih 100 tahun lamanya. Di Basrah nama madrasah itu “Ukadz” yang berdiri sejak zaman jahiliyah, sementara nama

madrasah di Kuffah adalah “al-Naqasyah”.

Dalam mempelajari ilmu tata Arab, prioritas yang harus diutamakan

adalah ilmu Nahwu dan Sharf sebagaimana kata sebagian ulama : مأ فرصلا نأ ملعإ اهوبأ وحنلاو مولعلاilmu Sharaf diasumsikan induk segala ilmu, sebab ilmu inilah yang dapat melahirkan semua bentuk kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu menjadi

petunjuk segala ilmu. Adapun ilmu Nahwu diasumsikan sebagai bapaknya karena

ilmu inilah yang mengatur susunan kalimat tersebut19

I. Imam Sibawaih dan Ilmu Nahwu

Ilmu Nahwu adalah ilmu yang membahas tentang kaidah-kaidah untuk

mengetahui keadaan akhir kata bahasa arab yang berhubungan denganya. Adapun

faktor yang mendorong di rumuskanya ilmu Nahwu adalah keinginan adanya

fasilitas ilmu yang memadai untuk memahami pesan-pesan agama dalam al-Qur’an

dan al Hadits yang berbahasa Arab, Implikasi dari bahasa al Qur’an dan al-Hadits

dalam melakukan amal sehari-hari khususnya yang berkaitan dengan praktek

19

(27)

kegamaan harus menggunakan bahasa Arab. Di samping itu dalam sejarah hidup para ulama Nahwu kebanyakan dari mereka adalah para ahli Qira’ah, ahli bacaan al Qur’an, yang berkepentingan untuk menjaga otentitas bacaan al Qur’an.

Imam Sibawaih terkenal dengan julukan ‘ajam yang menunjukan bahwa beliau berasal dari Persia. Nama lengkapnya ‘Amr bin ‘Usman Qunbar, lahir di daerah Baidha sebuah desa di negeri persia berdekatan dengan Syiraz pada tahun

148 H bertepatan dengan tahun 765 M. Beliau adalah salah satu murid dari Al-khalil

bin Ahmad al Farahidi yang diakui kecerdasan dan kepandaianya dalam masalah

Nahwu tentang ‘amil dan ‘awamil yang kemudian oleh beliau di kumpulkan ilmu

-ilmu tersebut menjadi Al Kitab. Beliau termasuk ulama yang paling berjasa dalam

pengembangan dan penyempurnaan ilmu Nahwu Bashrah.

Di antara para linguis yang turut serta mengembangkan ilmu Nahwu

adalah Imam Sibawaih karena di tangan Beliaulah bermacam-macam istilah Nahwu

lahir. Kota Bashrah merupakan kota pusat ilmu pengetahuan. Dalam skripsi ini

bermaksud untuk meneliti lebih lanjut tentang peran serta karya Imam Sibawaih dan

kontribusinya terhadap perkembangan ilmu Nahwu khususnya di Bashrah.

J. KISAH PERJALANAN HIDUP SIBAWAEHI

Adalah Sibawaehi (Nama lengkapnya: ‘Amr ibn Utsman Ibn Qunbar

[148-180 H./765-795 M.]) pengarang al-Kitâb yang terkenal itu. Julukannya adalah: “Abu Bisyr” tapi orang banyak mengenalnya: “Sibawaehi”. Dalam bahasa Persia, kata Sibawaehi artinya: harum buah apel.Imam pakar Ilmu Nahwu ini dilahirkan di

suatu komunitas besar di kota Baidha’, salah satu kota di propinsi Istikhar, Persia

(Iran sekarang).

(28)

awal keilmuan Sibawaehi dibangun dan ditata. Di situlah tempat ia menuntut ilmu

bersama para ulama-ulama terkemuka di zamanya hingga ajal menjemput di usia

yang belum terlalu tua, tahun 180 H. Ia menghembuskan nafas terakhirnya dengan

tenang di kota Ahwaz, Iran.

Hingar-bingar keilmuan Bashrah membuat Sibawaehi kecil kerasan

alias beta, dengan tekun ia belajar Hadits dalam halaqah Syeikh Himad ibn Salamah

ibn Dinar, salah seorang Muhadist termashur saat itu. Dalam kegigihan itu,

Sibawaehi mendapati lahn (kesalahan-ungkap) pada pembelajaran Syeikh ketika

membacakan beberapa hadist Nabi. Ia kecewa dengan sang guru. Dirinya bertekat

tidak mengulangi kesalahan tersebut (lahn) sebagaimana telah dialami Syeikh

Himad. Di sinilah awal Sibawaehi tergiur belajar bahasa Arab agar terhindar dari

lahn yang mengjengkelkan itu.

Karya Monumental Sibawaehi: “al- Kitâb”. Hampir di setiap diktat

Ilmu Nahwu yang kita pelajari tak pernah lepas dari rujukan yang bersumber dari

al-Kitâb Sibawaehi. Benar juga kesaksian yang mengatakan kitab-kitab Nahwu selepas

Sibawaehi tidak lebih dari sekedar pengulangan-pengulangan al-Kitâb, serasa tidak

ada referensi lain selain karya dari aliran Bashrah itu. Hal ini bukti ketajaman dan

ketelitian pengarang dalam mempelajari gramatika bahasa Arab.

Al-Kitâb Sibawaehi terdiri tiga juz dan terdapat 1500 bait syi’ir yang

dimulai dari bab kalam dan diakhiri dengan bab jer. Konon, sejarah dinamakan

al-kitab ini merupakan kumpulan tulisan Sibawaehi tentang kaidah Bahasa Arab yang

lebih dominan membahasa tentang Ilmu Nahwu. Tanpa menafikan ilmu Balaghah di

dalamnya. Kemudian setelah beliau wafat, maka para ulama bahasa membukukan

tulisan-tulisannya dengan nama yang megah: “al-Kitâb”.

Abu Ja’far berkata, Muhammad ibn Zaid bercerita bahwasanya para pengoreksi tulisan-tulisan Arab dan orang-orang yang ahli bahasa di negara Arab

(29)

bahwasanya kitab Sibawaehi tidak pernah meninggalkan kosa kata yang berpatokan

pada lisan orang arab kecuali pada tiga kata.

Adapun salah satu kaidah yang beliau tetapkan adalah “bahwasanya fi’il harus senantiasa dibarengi oleh isim sehingga akan membentuk suatu kalam. Dan sebaliknya, isim tidak membutuhkan fiil seperti contoh ”انوخأ الله دبع و انهلإ الله”.20

20

(30)

DAFTAR PUSTAKA

al-Afghani, Said. Min Tarikh al-Nahwi. Beirut: Dar al-Fikr. t.t.

Allam, Abdul Aziz Ahmad. Min Tarikh al-Nahwi al-Arabi. dalam majalah

”Majallah”, Jami’ah al-Imam bin Saud, edisi II, 1401-1402.

Bajang, Agus. Perkembangan dan Sejarah Ilmu Nahwu, http://agusbajang.blogspot. com/2009/12/perkembangan-dan-sejarah-ilmu-nahwu.html diunduh pada 19 Juni 2012 pukul 21.30 wib.

Dhaif, Sauqi. al-Madaris al-Nahwiyyah. Mesir: Dar al-Maaris. t.t.

al-fadhli, Abd. Al-hadi. Marakiz al-Dirasat al-Nahwiyyat. t.t: maktabah al-Manar. t.t.

al-Halwani, Muhammad khairuddin. al-Mufassal fi Tarikh al- Nahwi al-’Araby. Baerut: Muassah al-Risalah. t.t.

al-Jabiri, Muhammad Abid. Takwin al-‘Aql al-Arabi. Beirut: Markaz Dirasah Wahdah al-Arabiyyah. cet. IV. 1989.

Syekh Makruf. Perkembangan Ilmu Nahwu, http://syekhmakruf.blogspot.com /2011/01/perkembangan-ilmu-nahwu.html diunduh pada tanggal 20 juni 2012 Pukul 13.30 wib.

Mukrim, Abd al-‘Al Salim. Quran Karim wa Atsaruhu Fi Dirasat al-Nahwiyyah. Mesir: Dar al-Maarif. t.t.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian dalam kajian pustaka, diuraikan kerangka berfikir “ Pengaruh Posisi Peletakkan Bata Merah Pada Proses Pembakaran Secara Konvensional Terhadap

Pelaksanaan penanganan sengketa ekonomi syariah di pengadilan tingkat banding dengan memeriksa secara langsung kepada para pihak yang berperkara juga akan

Pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua yang masih bertahan hingga kini tentu saja harus sadar bahwa penggiatan diri yang hanya pada wilayah keagamaan tidak lagi

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab Perusahaan Listrik Negara atas kompensasi yang berhak diterima konsumen akibat

Pengetesan sistem dilakukan agar diketahui apakah program telah bebas dari kesalahan-kesalahan yang timbul dalam penulisan program pengolahan data pegawai adalah

Dalam penelitian ini pengamatan produktivitas tenaga kerja dilakukan secara langsung dilapangan yaitu dengan metode Uji Petik Pekerjaan.Dengan metode ini kita dapat

o Hubungan antara bilangan reynolds dengan faktor gesekan adalah berbanding terbalik yang artinya semakin besar bilangan Reynolds maka akan semakin kecil friction