• Tidak ada hasil yang ditemukan

SANGIRAN KEKAYAAN SEJARAH BANGSA SEBAGAI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SANGIRAN KEKAYAAN SEJARAH BANGSA SEBAGAI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

SANGIRAN: KEKAYAAN SEJARAH BANGSA SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Metodologi dan Historiografi II yang diampu oleh Bapak Drs. Tri Yunianto, M. Pd.

Oleh : Eka Ayu Widuri

K4411022

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

SITUS SANGIRAN: KEKAYAAN SEJARAH BANGSA SEBAGAI WARISAN BUDAYA DUNIA

Situs adalah suatu wilayah yang menyimpan benda-benda peninggalan sejarah yang bermanfaat untuk penelitian, ilmu pengetahuan dan teknologi. Sangiran merupakan sebuah situs manusia purba terpenting di Indonesia, bahkan terkemuka di dunia karena termasuk salah satu dari sedikit situs hominid dunia. Letak Situs Sangiran berada 15 Km di sebelah utara Kota Solo. Luas Situs Sangiran meliputi empat wilayah administratif yaitu Kalijambe, Gemolong, dan Plupuh yang masuk Kabupaten Sragen, serta wilayah Gondangrejo yang masuk Kabupaten Karanganyar (Simanjuntak, dkk., 1998).

Situs ini memiliki luas kurang lebih 56 km2 dan banyak menyimpan peninggalan masa lalu berupa sisa-sisa kehidupan manusia purba, fosil fauna, fosil tumbuhan, artefak, dan data lapisan tanah yang terendapkan secara alamiah tidak kurang dari 2 juta tahun silam yang merupakan sumber ilmu pengetahuan untuk memahami kehidupan masa lalu. Besarnya potensi kandungan Situs Sangiran yang sangat signifikan bagi pemahaman evolusi manusia, lingkungan, dan budayanya selama 2 juta tahun tanpa terputus, membuat situs ini ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya tahun 1977, dan bahkan pada tahun 1996 mendapatkan pengakuan dunia sebagai situs yang terdaftar dalam World Heritage List (Warisan Budaya Dunia) UNESCO nomor C593 pada tahun 1996 dengan nama The Sangiran Early man Site.

Prestasi Sangiran yang mendunia ini tidak dapat dilepaskan dari kerja keras para peneliti. G.H.R. Von Koenigswald merupakan orang pertama yang menemukan Situa Sangiran pada tahun 1934 berdasarkan penemuan alat-alat serpih di Desa Ngebung. Dua tahun kemudian ditemukan fosil manusia purba yang kelak dikemudian hari dinamakan Homo Erectus.

(3)

bersifat melengkapi untuk mengungkap aspek-aspek kehidupan dan lingkungan purba Sangiran. Hingga sekarang tokoh-tokoh di atas telah diganti oleh generasi penerus mereka, yaitu Prof. Dr. Truman Simanjuntak menekuni bidang artefak, Dr. Hary Widiantoro membidangi manusia purba, serta Prof. Dr. Yahdi Zaim dan Dr. Tony Djubiantoro yang menekuni bidang geologi Sangiran.

Situs Sangiran berada pada bentang Solo Depression yang dibatasi oleh Gunung Lawu di timur dan Gunung Merapi-Merbabu di barat, serta Pegunungan Kendeng di utara dan Pegunungan Sewu di selatan. Situs ini merupakan sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Secara geomorfologis, kubah ini terbentuk oleh proses pengangkatan akibat tenaga endogen dan kemudian bagian puncak kubah terbuka melalui proses erosi, sehingga membentuk cekungan besar di pusat kubah yang diwarnai oleh perbukitan bergelombang. Pada cekungan itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang kehidupan di masa lampau, ditinjau dari aspek paleoantropologis, paleontologis, geologis maupun arkeologis. (Widianto dan Simanjuntak, 2009).

Di Situs Sangiran terekam rangkaian lapisan litologi yang lengkap serta berkelanjutan mulai sejak akhir Kala Pliosen Atas hingga lapisan resen. Mulai dari formasi Kalibeng yang tertua berumur sekitar 2,4-1,8 Juta tahun berupa lempung biru dari lingkungan laut dalam. Diatasnya adalah formasi Pucangan yang berasal dari Kala Plestosen Bawah berumur 1,8-0,73 Juta tahun berupa lahar serta endapan lempung hitam berfasies vulkanik dan rawa.Disusul oleh formasi kabuh yang berasal dari Kala Plestosen Tengah berumur 0,73-0,20 Juta tahun berupa endapan pasir fluvio-volkanik yang mencerminkan lingkungan daratan. Setelah itu adalah formasi Notopuro yang berasal dari Kala Plestosen Akhir berumur 0,25-0,12 Juta tahun berupa lahar dan pasir-gravel fluvio-volkanik. Di bagian paling atas Situs Sangiran berupa endapan resen alluvial Kali Cemoro, Brangkal dan Pohjajar.

A. Terbentuknya Kubah Sangiran

(4)

Kubah Sangiran. Singkapan Kubah Sangiran ini memperlihatkan lapisan-lapisan (formasi) yang menunjukkan urutan pertanggalan bagian awal dari kehidupan manusia dan lingkungannya. Dalam lapisan di Sangiran ini ditemukan berbagai fosil dan sisa-sisa kehidupan dari jutaan tahun yang lalu, yang menjadi satu-satunya sumber otentik untuk menyusun sejarah kehidupan yang telah berusia ratusan ribu sampai jutaan tahun yang telah lalu. Pembentukan Kubah ini melalui tahapan yang panjang, Kartodirdjo, Poesponegoro, dan Notosusanto (1997) menjelaskan:

Pada waktu itu Pulau Jawa sedang mengalami pembentukan; letusan gunung berapi terjadi yang diselingi oleh genang laut. Hasil kegiatan vulkanik dari gunung Lawu tua itu mencapai pula pegunungan Kendeng yang terletak disebelah utara Sangiran, yang kemudian bendungan untuk air sungai yang mengalir dari lereng gunung Lawu tua, pegunungan Kendeng serta pegunungan selatan sehingga mengakibatkan terjadinya danau luas di Sangiran. Endapan danau yang berupa lempung hitam merupakan salah satu unsur dalam formasi Pucangan (Plestosen Bawah). Formasi Pucangan yang tebal seluruhnya 540 m ini terletak di atas formasi Kalibeng (Pliosin Atas) dan dibawah formasi Kabuh (Plestosin Tengah) (hlm. 35-36).

Di formasi-formasi inilah banyak ditemukan fosil dari zaman purbakala, baik berupa fosil tumbuh-tumbuhan, vertebrata, binatang air tawar dan air laut, hingga fosil manusia purba. Pada tahun 1936-1941 Von Koenigswald menemukan fosil-fosil rahang, gigi dan tengkorak. Ditemukan bagian-bagian tubuh Pithecanthropus erectus, Pithecanthropus soloensis, dan Meganthropus paloejavanicus. Selain itu ditemukan pula fosil-fosil binatang vertebrata seperti gajah purba (Stegodon trigonocephalus), kerbau purba (Bubalus paleokarabau), harimau purba (F elis paleojavanica). Terdapat pula binatang air seperti kerang air tawar, kerang air laut, moluska, hingga gigi ikan hiu. Sisa-sisa peralatan manusia purba juga ditemukan di Sangiran seperti alat-alat serpih yang dapat dibedakan menjadi serut, lancipan dan gurdi. Ditemukan pula alat-alat bilah yang meliputi jenis-jenis pisau dan serut (Kartodirdjo, dkk., 1997).

(5)

berubah menjadi lingkungan daratan seperti sekarang ini. Informasi perubahan lingkungan ini diperoeleh dengan mencermati lapisan-lapisan tanah yang ada di Sangiran, karena setiap lapisan tanah di Sangiran menyimpan informasi yang berbeda mengenai lingkungan saat itu. Perubahan lingkungan Sangiran secara garis besar dapat dideskripsikan sebagai berikut: Formasi Kalibeng berusia 2,4 juta tahun silam menunjukkan lingkungan Sangiran saat itu merupakan lingkungan laut dalam pada Cekungan Solo (Solo Depresion diantara Gunung Lawu dan Merapi Purba).

Pada 1,8 juta tahun silam diendapkan lahar Gunung Lawu Purba, tempat berdirinya Museum Sangiran saat ini. Berikutnya diendapkan endapan rawa pada 1,8 – 0,9 juta tahun yang lalu, dan kedua jenis lapisan tanah tersebut disebut formasi Pucangan. Formasi ini mencerminkan lingkungan rawa di Sangiran yang berlangsung lebih dari 1 juta tahun. Pada sekitar 0,9 juta tahun yang lalu, terjadi erosi dari Pegunungan Kendeng di bagian utara berupa pasir dan kerikil, serta gamping dari Pegunungan Selatan yang diendapkan di Sangiran dan membentuk konkresi keras yang saat ini disebut dengan grenzbank. Dengan diendapkannya grenzbank tersebut Sangiran berubah dari lingkungan pengendapan laut menjadi pengendapan darat. Sejak saat itu laut telah mundur untuk selamanya dari Sangiran.

(6)

B. Karakterisitik Lingkungan Purba Sangiran 1. Lingkungan Lautan

Bentuk rupa bumi selalu berubah dari waktu ke waktu, namun perubahan tersebut berlangsung secara perlahan sehingga baru kita sadari perubahan tersebut setelah melewati masa yang sangat panjang. Sangiran yang sekarang kita lihat ternyata pernah menjadi lautan. Fosil-fosil seperti cangkang kerang, gigi-gigi ikan hiu, cangkang kura-kura laut, koral dan lain sebagainya yang ditemukan pada lapisan lempung biru. Formasi Kalibeng membuktikan bahwa Sangiran pernah menjadi lautan pada sekitar 2,4 juta tahun silam.

Kehidupan yang ada masa lingkungan laut ini hanyalah sebatas flora dan fauna laut saja. Belum ditemukan bukti-bukti kehidupan manusia didalamnya. Setelah bukti-bukti fosil fauna laut, terdapat sumber air laut yang bercampur dengan lumpur vulkanik yang saat ini masih dapat dilihat di Dusun Pablengan, di dekat Museum Sangiran. Ketika terjadi pengendaan di Sangiran, lumpur vulkanik dengan lingkungan laut tersebut terjebak di cekungan-cekungan pengendapan. Ketika terjadi retakan tanah, air asin dan endapan lumpur vulkanik tersebut keluar dengan sendirinya. Lingkungan laut yang terjebak inilah yang pada akhirnya menjadikan Sangiran berubah menjadi lingkungan rawa.

2. Lingkungan Rawa

Pada 1,8 juta hingga 900.000 tahun silam, lingkungan Sangiran berubah dari lingkungan laut menjadi lingkungan rawa karena adanya pengendapan material vulkanik akibat aktivitas gunung api. Beberapa jenis buaya saat itu hidup berdampingan dengan mamalia lainnya seperti kuda sungai (Hippopotamus sp.). Saat itu lingkungan Sangiran masih miskin spesies binatang. Manusia (Homo erectus arkaik) mulai datang di Sangiran pada 1,5 juta tahun yang lalu, hidup ditepian sungai yang mengalir di tengah-tengah hamparan rawa. Mereka telah menciptakan budaya berupa alat-alat serpih dari batu kalsedon.

3. Lingkungan Daratan

(7)

indah dilengkapi dengan maraknya kehiduan Homo erectus (tipik) yang berdampingan dengan fauna-fauna dari berbagai spesies. Gajah purba jenis Mastodon sp. telah diganikan oleh bentuk yang lebih modern yaitu Stegodon sp. dan Elephas sp. Cervida e dan Bovida e semakin bnyak jumlahnya, dan disusul oleh pendatang baru yaitu badak (Rhinoceros sp.), babi (Sus sp.) maupun harimau (Panthera tigris). Manusia purba (Homo erectus tipik) sudah canggih menciptakan alat batu berupa serpih dan kapak genggam. Inilah jaman keemasan Sangiran yang berlangsung lebih dari 500.000 tahun lamanya.

Terdapat tiga jenis gajah yang pernah hidup di Sangiran, yaitu Mastodon, Stegodon, dan Elephas. Ciri fisik yang membedakan ketiganya adalah tiga tipe gigi dan bentuk gadingnya. Penjelasan dari masing-masing fauna ini adalah:

a. Mastodon adalah hewan penjelajah hutan dan merupakan jenis gajah paling primitif di Sangiran. Gigi geraham Mastodon bertipe bunodent yang merupakan tipe gigi herbivora sederhana.

b. Stegodon memiliki gading berbentuk membulat dan agak melengkung. Sementara itu, gigi Stegodon bertipe brachydent atau tipe gigi dengan mahkota yang rendah. Jenis gigi ini merupakan jenis gigi yang sesuai untuk melumat dedaunan yang lembut.

c. Elephas sp. merupakan jenis gajah paling modern. Bentuk gading Elephas relatif luru dan digunakan untuk menumbangkan pepohonan yang akar dan cabangnya menjadi makanan. Gigi Elephas bertipe Hymodent yang merupakan tipe gigi dengan mahkota gigi yang tinggi. Jenis gigi ini sangat sesuai untuk mengunyah makanan yang eras seperti rumput kering dan biji-bijian.

C. Penemuan Fosil di Sangiran

(8)

diragukan lagi, lokasi penyumbang terbesar koleksi tersebut adalah Sangiran dan bahkan hingga tahun 2009 di lokasi ini telah ditemukan lebih dari 100 individu manusia purba yang juga berarti mewakili lebih dari 50 % populasi temuan Homo erectus di dunia (Widianto, 2009). Potensi tersebut menjadikan Sangiran sebagai lokasi penemuan fosil Homo erectus yang paling signifikan di muka bumi.

Widianto telah melakukan studi perbandingan karakter morfologi dan biometric serta relevansinya dengan data stratigrafis, mencakup seluruh koleksi tengkorak Homo erectus dari Jawa yang pernah ditemukan hingga tahun 1998 menyimpulkan bahwa terdapat tiga tahapan evolusi Homo erectus di Jawa dari yang paling arkaik hingga progresif yaitu kelompok kekar (Homo erectus archaic), kelompok Trinil-Sangiran (Homo erectus typical) dan kelompok Ngandong (Homo erectus progressif). Kelompok kekar berasal dari Formasi Pucangan yang berumur Plestosen Bawah sekitar 1,5-1 Juta tahun, kelompok Trinil-Sangiran berasal dari Formasi Kabuh bawah dan tengah berumur Plestosen Tengah rentang 0,9-0,3 Juta tahun, sedangkan kelompok Ngandong berasal dari Ngandong, Sambungmacan dan Ngawi berumur antara 0,2-0,1 Juta tahun (dalam Noerwidi dan Siswanto, 2013).

Sangiran 17, atau sering disebut S17 adalah temuan fosil tengkorak Homo erectus paling terkenal di dunia karena temuan ini relatif lengkap sehingga wajah Homo erectus dapat direkonstruksi secara utuh. Duplikasi S17 ditemukan hampir di berbagai museum prasejarah utama di dunia. Bentuk muka Homo erectus, dahi sangat datar, tulang kening menonjol, orbit mata persegi, pipi lebar menonjol, mulut menjorok ke depan, tengkorak pendek memanjang. Berdasarkan morfologi tengkorak S17 adalah individu laki-laki dewasa, yang hidup di Sangiran pada saat Sangiran didominasi lingkungan sungai yang luas sekitar 700.000 tahun yang lalu (Harmadi, 2012).

(9)

1. Homo erectus arkaik

Memiliki ciri fisik yang paling kekar, dengan geligi yang kuat. Tengkoraknya tebal kadang mencapai 1,2 cm pada bagian parietal, volume otak sekitar 850 cm.

2. Homo erectus tipik

Ciri fisiknya tidak sekekar jenis arkaik, volume otaknya rata-rata 1.000 cc, tengkoraknya lebih ramping dan tinggi dengan atap tengkorak yang lebih bulat, gigi geliginya juga lebih kecil.

3. Homo erectus progresif

Jenis Homo erectus yang paling maju dan yang aling akhir hidup di Jawa sebelum mereka punah pada 100.000 tahun yang lalu. Tengkoraknya paling tinggi dan bulat dibanding dua jenis pendahulunya, dengan kapasitas otak 1.100 cc. Homo erectus di Sangiran telah membuat berbagai macam alat-alat dari batu dengan berbagai ukuran. Artefak-artefak batu tersebut di dominasi oleh jenis alat-alat serpih yang kecil sekitar 2-4 cm, tipis, dan tajam yang sebagaian besar dibuat dari batuan kalsedon. Dominasi alat serpih tersebut menyebabkan sebutan yang terkenal yaitu

“Industri Serpih Sangiran” (Sangiran Flakes Industry). Jenis alat serpih ini

ditemukan di setiap tingkatan perlapisan tanah, mulai dari 1,2 – 0,2 juta tahun yang lalu. Selain itu juga ditemukan alat-alat yang lebih besar, umumnya dibuat dari batu andesit kersikan, berupa kapak penetak, kapak perimbas, kapak genggam, dan bola batu. Alat tulang berupa penusuk yang dibuat dari tulang-tulang binatang besar juga sering ditemukan.

(10)

Berdasarkan hasil penelitian Bouteaux dalam Noerwidi dan Siswanto (2013) mengenai paleontologi kubah Sangiran pada Plestosen Tengah, dapat diketahui kondisi lingkungan purba pada masa tersebut. Jejak fauna dari Tanjung, Grogol, Bukuran, Ngrejeng dan Sendangbusik mengindikasikan bahwa dalam kronologi masa pembentukan formasi Kabuh, manusia purba tinggal di lingkungan hutan terbuka (savana) yang dekat dengan sumber air (sungai) yang cukup besar. Fauna Bukuran merepresentasikan lingkungan air, fauna Grogol-Tanjung 82 dan Ngrajeng-Sendangbusik merepresentasikan lingkungan dataran banjir di kedua sisinya, sedangkan fauna Tanjung 63-64 merepresentasikan lingkungan hutan terbuka. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan pendapat Belwood (2000) yang menempatkan hominid Sangiran dalam lingkungan mosaik. Perubahan iklim yang cukup signifikan memungkinkan migrasi mamalia ke pulau Jawa, khusus Sangiran. Pada saat itu, ada cukup ruang terbuka yang memiliki sumber air untuk mendukung kehidupan mamalia dan Homo erectus.

D. Situs Sangiran sebagai Warisan Budaya Dunia

Warisan Dunia (World Heritage), adalah peninggalan dari masa lampau di seluruh penjuru bumi yang kita saksikan hari ini untuk diwariskan pada anak cucu di masa depan sebagai kekayaan tak tergantikan. Warisan Dunia menurut UNESCO dibagi menjadi tiga macam, yaitu kategori Budaya (Cultural World Heritage), Alam (Natural World Heritage), dan gabungan Budaya-Alam (Cultural Lanscape). Ketiga kategori ini harus memiliki nilai universal yang luar biasa (Outstanding Universal Value) yang ditetapkan UNESCO.

Perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan Sangiran sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO telah dimulai sejak tahun 1995. Melalui proposal, verifikasi dan sidang penetapan Warisan Dunia tanggal 6 Desember 1996 di Kota Marida, Meksiko, yang dilakukan UNESCO akhirnya secara aklamasi Situs Sangian

ditetapkan sebagai Warisan Dunia nomor C. 593 dan diberi nama “The Sangiran Early

(11)

Daerah Sangiran merupakan Kawasan Cagar Budaya Internasional, sehubungan dengan itu, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melestarikan situs dan mensosialisasikan kepada masyarakat luas baik nasional maupun internasional. Pada tahun anggaran 1998/1999 terselenggara lokakarya pelestarian dan pemanfaatan warisan dunia Situs Prasejarah Sangiran. Tahun berikutnya terselenggara sarasehan peningkatan kepedulian masyarakat terhadap Sangiran sebagai warisan budaya dunia.

E. Pelestarian Sangiran

Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP Sangiran), mempunyai tugas untuk melaksanakan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan Situs Sangiran dan situs-situs sejenis lainnya. Namun demikian, keberadaan dan kelestarian Situs Sangiran menjadi tanggung jawab kita bersama. Hal-hal yang mendukung pelestarian Situs Sangiran adalah sebagai berikut:

1. Melaporkan kepada petugas jika menemukan fosil atau benda yang diduga fosil, agar dapat segera diambil tindakan terhadap penemuan tersebut.

2. Tidak melakukan penggalian atau pencarian fosil, karena fosil yang telah diambil dari lokasi temuannya akan kehilangan informasi penting yang mungkin ada disekitarnya.

3. Tidak melakukan penambangan tanah karena dapat merusak lapisan-lapisan tanah serta data lingkungan masa lalu.

4. Tidak menjual temuan fosil kepada siapapun, karena fosil-fosil di Situs Sangiran merupakan benda berharga bukan hanya untuk kita sekarang melainkan juga untuk anak cucu kita kelak.

5. Sisa-sisa masa lalu tersebut, termasuk fosil-fosil manusia, binatang, dan tumbuhan adalah Cagar Budaya yang dilindungi Undang-undang RI No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

(12)

pengembangan ilmu pengetahuan, sejarah dan kebudayaan. Dalam pengembangannya sebagai tujuan pariwisata, terdapat empat kluster pengembangan Sangiran sebagi Tujuan Wisata Dunia, yaitu:

1. Klaster Krikilan

Merupakan pusat informasi tentang kehidupan manusia purba, tidak hanya di Sangiran melainkan di Indonesia.

2. Klaster Ngebung

Secara khusus akan menyajikan informasi tentang sejarah penemuan Situs Sangiran sejak ditemukannya alat-alat serpih yang pertama oleh G.H.R von Koenigswald pada tahun 1934 dan fosil manusia purba pertama pada tahun 1936.

3. Klaster Bukuran

Klaster ini berisikan informasi mengenai karakterisik manusia purba. 4. Klaster Dayu

Klaster ini dikembangkan sebagai sebuah pondok informasi mengenai hasil-hasil penelitian mutakhir.

Sementara, Museum Situs Prasejarah Sangiran berdiri di Klaster Krikilan, terletak di Desa Ngampon, Krikilan, Kecamatan Kalijambe di atas tanah seluas 16.675 m2. Museum Sangiran ini dikembangkan sebagai visitor-center yang memayungi ketiga klaster lainnya. Museum ini menyimpan lebih dari 15.000 buah koleksi baik berupa fosil, alat batu, meteor, dan beberapa buah copy fosil manusia purba yang pernah ditemukan di Sangiran. Museum ini selain berfungsi untuk mengkonservasi temuan yang ada dan juga sebagai pusat perlindungan dan pelestarian kawasan Sangiran.

Sebagai visitor-center Klaster Krikilan merupakan klaster yang paling besar yang dilengkapi berbagai fasilitas umumnya sebuah museum modern. Keempat klaster

lainnya, kedepannya akan berperan sebagai “empat-dalam-satu”, satu kesatuan

(13)

Klaster Krikilan lembaga pengembangan penelitian, pemanfaatan dan pengembangan situs dibentuk, yang telah aktif beroperasional sejak tahun 2009, dibawah nomenklatur “Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran”. Lembaga ini mengelola sumber daya manusia purba dari hulu ke hilir.

Museum Sangiran yang dibangun merepresentasikan tiga sajian kronologis,

yaitu “Kekayaan Sangiran” yang menghadirkan fosil-fosil asli dalam berbagai diorama

yang menunjukkan betapa kayanya Sangiran. “Langkah-langkah Kemanusiaan”

bercerita tentang peciptaan alam semesta, evolusi makhluk hidup hingga manusia, penciptaan kepulauan Nusantara, kedatangan manusia purba pertama di Indonesiahingga penyebarannya dengan penjelasan perubahan budaya dan lingkungannya. Serta “Jaman Keemasan Sangiran 500.000 tahun silam” dipajang diorama raksasa yang melukiskan kehidupan Homo erectus di jaman keemasan Sangiran, dilengkapi dengan manekin Sangiran 17 dan Manusia Flores.

Museum ini dibangun secara intensif sejak 2008, sebagai pengganti museum yang lama. Diselesaikan dan diresmikan pemanfaatannya untuk publik pada 15 Desember 2011 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, melalui Wakil Menteri Bidang Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Wiendu Nuryanti, Ph.D. Hal ini menjadi babak baru bagi Sangiran sebagai loncatan status yang sangat signifikan, dari museum klasik ke museum modern, dari museum statis ke museum dinamis. Di lain pihak peresmian Museum Sangiran juga merepresentasikan arti secara internasional. Peresmian museum ini diwarnai dengan beberaa even

berbobot internasional seperti seminar internasional dengan tema “75 Years After the

First Hominid Discovery”, penyerahan sumbangan reonstruksi temuan kuda air bukuran, Hippopotamus sp., dari Pemerintah Perancis untuk Museum Manusia Purba Sangiran dan International Field-school berupa ekskavasi arkeologis di atas formasi Kabuh di Pucung (Desa Dayu) yang dilaksanakan bersama oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Museum National d’Historie Naturelle Perancis, dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Harmadi dkk, 2012).

(14)

Pemerintah Daerah mulai dari tingkat provinsi hingga tingkat kecamatan, semakin memberikan semangat baru bagi Sangiran dalam melaksanakan tugas dan fungsi kelembagaan, terutama apabila dikaitkan dengan strategi diplomasi budaya Indonesia.

Di akhir kunjungan, Presiden mengadakan konferensi pers di halaman utama.

Kata pertama yang diucapkan adalah “Harus saya katakan bahwa Museum Manusia

(15)

SUMBER PRIMER:

Sumber primer yaitu peninggalan asli sejarah seperti prasasti, kronik, piagam, candi yang benar-benar berasal dari zamannya. Sumber Primer dalam kajian ini adalah bukti-bukti arkeologis yang masih tersimpan di Sangiran baik di Museum Sangiran sendiri dan secara luas di Situs Sangiran. Bukti-bukti arkeologis tersebut berupa fosil-fosil yang ditemukan di Situs Sangiran serta termasuk lapisan-lapisan tanah (stratigrafi tanah) yang telah tersingkap di Kubah Sangiran.

Sumber primer dapat berupa Koran atau Majalah yang memuat informasi mengenai peristiwa sejarah. Sumber dari Koran atau Majalah yang berkaitan dengan tema ini adalah:

Bramantyo. (2014, 4 Juni). Kalijambe “Pemasok” Fosil Purba Terbanyak di Indonesia. OKEZONE. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.okezone.com.

Budi R, Muchus. (2012, 16 Februari). Kunjungi Sangiran, Presiden Minta Anaka Muda Cintai Benda Purbakala. DETIK News. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://news.detik.com

Desk Informasi. (2012, 17 Februari). Presiden Dukung Pengembangan Kawasan Museum Sangiran. SETKAB RI. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.setkab.go.id

Nuh, Muhammad. (2013, Juli). Pentingnya Menggali Nilai Budaya. DIKBUD, 04 (1).

Rejeki, Sri. (2012, 16 Februari). Presiden Kunjungi Sangiran dan Panen Raya di Sragen. KOMPAS. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.kompas.com

Senjaya, Immanuel Citra. (2012, 07 Februari). Presiden dijadwalkan Resmikan Situs Sangiran. ANTARA Jateng. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.antarajateng.com

Wahyu, Genta. (2012, 16 Februari). Presiden Kunjungi Museum Purba di Sangiran. OKEZONE. Diperoleh pada 18 Juni 2012, dari http://www.okezone.com

(16)

Yudhoyono, Susilo Bambang. (2012, 16 Februari). Jadikan Situs Sangiran sebagai Temat Kajian dan Wisata Sejarah Dunia. PRESIDEN RI. Diperoleh pada 18 Juni 2014, dari http://www.presidenri.go.id

SUMBER SEKUNDER:

Sumber sekunder yaitu benda benda tiruan dari benda aslinya atau sumber pustaka hasil penelitian para ahli ahli sejarah, laporan penelitian, dan terjemahan kitab kitab kuno.

A. Buku:

Simanjuntak, Truman., Prasetyo, Bagyo., dan Handini, Retno. (Ed). (1998). Sangiran: Man, Culture and Environment in Pleistocene Times. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Widianto, Harry dan Iwan Setiawan Bimas. (2011). Sangiran Situs Praseja rah Dunia. Sangiran: BPSMP

Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. (2009). Sangiran Menjawab Dunia. Sangiran: BPSMP

B. Hasil Penelitian:

Direktorat Museum Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. (2006). Konsep Pedoman Museum Situs Cagar Budaya (Versi elektronik). Diperoleh pada 5 Juni 2014, dari

http://xa.yimg.com/kq/groups/23466284/190103495/name/KONSEP-MUSEUM-SITUS-FIX.pdf

Harmadi., Rahardjo, Mugi., dan Agung, Wahyu. (2012). Faktor-faktor Percepatan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat di Kawasan Sangiran. Surakarta: UNS (Laporan Penelitian Dosen Fakultas Ekonomi).

Noerwidi, Sofwan dan Siswanto. (2013). Sangiran-Patiayam: Perbandingan Karakter Dua Situs Plestosen di Jawa. Yogyakarta: Balai Arkeologi.

(17)

Satrio, Janus A. (2011). Pelestarian Kawasan Purbakala antara Konsep dan Realita (Versi elektronik). Direktorat Peninggalan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Diperoleh pada 4 Juni 2014, dari http://www.penataanruang.net/ bulletin/ upload/ data_artikel/ pelestarian-kawasan-2011.pdf

Widianto, Harry. (2006). “Dari Pithecanthropus ke Homo erectus : Situs, Stratigrafi

dan Pertanggalan Temuan Fosil Manusia di Indonesia”, Berkala Arkeologi

Tahun XXVI Edisi No. 2 / November, pp. 114-129, Yogyakarta: Balai Arkeologi

C. Internet

Menyusuri Jeja k Manusia Purba di Sangiran Jawa Tengah. (2013).Diperoleh pada 25 Mei 2014, dari http://nationalgeographic.co.id/menyusuri_jejak_ manusia_purba_di_sangiran_jawa_tengah.html

Referensi

Dokumen terkait

Data yang di peroleh dari isntansi pemerintahan dan studi litertur kemudian di olah dan di analisis agar diketauhi estimasi biaya yang di hasilkan dalam perencanaan

Deviation Kelompok Akuntan Publik Mahasiswa Akuntansi Akuntan Publik Mahasiswa Akuntansi Akuntan Publik Mahasiswa Akuntansi Akuntan Publik Mahasiswa Akuntansi Akuntan Publik

Pendampingan oleh penyuluh saat petani model sedang mempraktikkan budiday melon ramah lingkungan (A) penyuluh sedang menekankan penggunaan potensi lokal setempat (B) penyuluh

Model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran,

[r]

Dalam penelitiannya, Abdullah (2005) mengusulkan bahwa HEdPERF untuk mengukur kualitas layanan pendidikan tinggi terdiri atas enam dimensi, yaitu (1) aspek akademik yang

1) Agar dapat menambahkan user baru yang dapat menggunakan sistem operasi secara pribadi, dan lebih aman menyimpan data dalam sistem operasi yang memiliki banyak user. 2)

3.1 Penentuan Indikator dan Keterukuran Untuk mencapai obyektif tersebut maka berikut ini adalah beberapa KPI( Key Performance Indicator) yang harus ditentukan sebagai