• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra Fenomenologis Perayaan Makna atau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastra Fenomenologis Perayaan Makna atau"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DAFTAR ISI

RUANG REDAKSI -3

Nocturnalena

ESAI -4

Indonesia yang Merdeka, Kaum Muda

dan Kebebasan Berekspresi

(Elvan De Porres)

Sastra Fenomenologis: Perayaan Makna atau

Teritorialisasi Subjektivisme

(Sintus Runesi)

CERPEN -23

Gerhana Bulan

(Silviana Yanti Mesakh)

Ibu

(Kristo Suhardi) In the Rain

(Cheyene Djema)

PUISI -39

Agust Kani

Berthy Enjelina Djawa

KUSU-KUSU -44

Lamafa di Lamalera (Amanche Franck Oe Ninu)

RESENSI -49

Homo Lunaticus

(Mario F. Lawi)

KARTUN -53

(3)

Nocturnalena

Seorang gadis kecil Menyusuri muara. Didengarnya suara Cakrawala memanggil.

―Bagaimana cara melepaskan Sulur pantai yang

Menjerat kakiku?‖

Matahari menghapus sisa Tulisan di pantai

Yang dilupakan angin Dan ombak.

(Pantai Lasiana, 30 Juli 2015)

Jurnal Sastra SANTARANG

Diselenggarakan dan diterbitkan oleh Komunitas Sastra Dusun Flobamora Pelindung/ Penasehat:

Rm. Sipri Senda, Pr & Dr. Marsel Robot

Penanggungjawab:

Amanche Franck OE Ninu, Pr. & Patris Allegro Neonnub, Pr.

Pemimpin Redaksi: Mario F Lawi|Pengasuh Rubrik: Esai:

Januario Gonzaga|Cerpen: Djho Izmail|Puisi: Christian Dicky Senda|

Kusu-kusu: Amanche Franck|Profil: Arky Manek|Resensi: Saddam HP|

Lay-out: Abdul M. Djou|Kartun: Elozt |Ilustrasi Isi: Arystha Ayu| Email redaksi: santarang@yahoo.co.id

(4)

Sastra Fenomenologis: Perayaan Makna

atau Teritorialisasi Subjektivisme?

Catatan untuk Esai Giovani A. L. Arum

Sintus Runesi

Membaca judulnya, membuat saya tertarik membacanya sampai selesai. Esai Giovani tentang sastra fenomenologis, sastra yang mengundang kita turut merayakan keragaman makna. Satu hal yang gamblang mengemuka menyangkut proposal konseptualnya, adalah upaya mengelaborasi sosiologi estetis warga sastrawan terkait kebebasan ekspresif sastrawi mereka. Namun, di akhir pembacaan atas esai tersebut, saya menemukan bahwa ada implikasi yang datang dari pandangannya, jauh melebihi apa yang mungkin dipikirkan sang penulisnya.

Oleh karena itu, apa yang akan hadir lewat artikel ini lebih sebagai refleksi yang bergerak maju secara kritis-dialektis (cf. κρίζις-memutuskan dan διαλέγεζθαι-berdialog). Saya akan mulai dengan coba menangkap maksud Giovani, yakni apa yang secara positif bisa kita petik dari proposal konseptual Giovani. Kemudian, saya akan mencoba menunjukkan karakter postmodernisme dan bagaimana postmodernisme itu dilihat dalam hubungan dengan fenomenologi. Di bagian ini, saya akan coba memerlihatkan kelemahan dari apa yang disebut sebagai sastra fenomenologis sebagai sastra postmodernisme. Saya akan mengakhirinya dengan sebuah anjuran kritis.

(5)

dalamnya asumsi tentang naturalisme kalau diletakkan dalam konteks humanitas. Salah satu keyakinan naturalisme dalam ilmu-ilmu positivistik, adalah keyakinan bahwa dunia sosial dan masyarakat mampu dimengerti menggunakan kriterium metodologi ilmu-ilmu alam. Hal yang kemudian coba difinalkan dalam rekonstruksi historis August Comte.

Hasil dari logika Cartesian antara lain, manusia diceraikan dari dunia yang dihayatinya. Manusia seolah dikeluarkan dari gendongan firdaus asalinya. Dunia bukan lagi tempat penghayatan kemanusiaan, tetapi tempat penubuhan rasionalitas fungsional dan kekuasaan pengetahuan manusia. Di situ, manusia menempatkan dirinya sebagai seorang penakluk, dan dunia merupakan entitas yang bisa diringkas dan diringkus ke dalam rumusan-rumusan yang ajeg dan niscaya sekaligus bersifat ahistoris.

Ada dua hal yang patut dicatat di sini. Pertama, bahwa tendensi itu sebenarnya sudah dilawan sejak dalam modernitas itu sendiri, melalui para eksponen romantisisme, yang memuncak dalam proyek kemabukan emosional musik-musik klasik Richard Wagner dan nihilisme Friedrich Nietzsche. Dan karena itu, yang kedua, kita perlu membedakan antara kritik terhadap rasionalitas modern sebagaimana dibuat oleh para eksponen romantisis, dengan kritik terhadap subjek yang didefinisikan sebagai kesadaran dan sebagai kehendak, yakni manusia sebagai author (punya otoritas) bagi tindakan dan

gagasan-gagasannya, terutama punya otoritas mutlak atas hubungan antara impresi sensorik dunia eksternal dengan sensibilitas internal subjek. Dua hal ini, membantu dalam melihat gerak pergeseran, yakni bagaimana perlawanan atau reaksi terhadap satu hal mengakibatkan subjek jatuh pada yang lain. Misalnya, reaksi atas rasionalisme Cartesian membawa kepada irasionalisme Nietzschean.

(6)

pemula di hadapan realitas. Sikap membiarkan kenyataan masuk ke dalam kesadaran kita sebagaimana adanya. Jadi, ada pergeseran dari tema pemikiran khas Cartesianisme kepada tema kesadaran dalam fenomenologi. Mengikuti Heidegger berarti, kita bergeser dari pikiran kalkulatif (das rechnende Denken) ke pikiran meditatif (das

besinnliche Nachdenken). Menjadi sadar sebagai pemula, sebentuk

keheranan (θασμάζειν) serupa anak di hadapan realitas apa adanya.

Dengan begitu, dalam konteks sastra, bisa kita rumuskan sastra fenomenologis sebagai sastra yang memberi ruang sebesar-besarnya bagi ekspresi kebebasan dan pembebasan aisthēsis (αἵζθηζις)

sastrawan. Sastra yang menjadi medan ekspresi tangkapan sensasi, objek aisthēsis sastrawan. Maka, kita bisa bertemu dengan cerpen

―Matinya seorang Demonstran‖ dari Agus Noor, atau ―Wanita Sepotong Kepala‖ dari Januario Gonzaga, puisi-puisi disiden Wiji

Thukul, bahkan sampai film seperti ―Jagal‖ dan ―Senyap‖ dari Joshua

Oppenheimer, ibarat invitasi yang datang dari anamnesis atas kekalahan pihak-pihak periferi dan subalternum.

Persis di sini, nampak gamblang apa yang ingin diartikulasi oleh Giovani dalam estetika kebebasan dalam perspektif fenomenologi. Bahwa sastrawan fenomenolog adalah sastrawan yang membuat kita menyadari, kalau ada multiplisitas peristiwa yang terjadi, yang tidak kait-mengait secara langsung, dengan kebutuhan langsung kita dari saat ke saat. Sastra fenomenologis adalah sastra yang bisa membuat seorang pak polisi tahu kalau ada human trafficking, sastra yang bisa

membuat anggota Dewan tahu kalau harga bawang sedang melambung, walau mungkin anggota Dewan itu sendiri tidak mampu melihat hubungan antara harga bawang dengan pekerjaannya yang cuma studi banding. Dengan demikian, sastra fenomenologis memerlihatkan karakter emansipatoris dari aktus bercerita.

(7)

Namun, secara epistemologis dan etis, saya menemukan ambiguitas posisional menyangkut arah sastra fenomenologis, kalau kita memahaminya dalam hubungan dengan penegasannya mengenai dunia yang taken for granted, sambil menanggalkan sejenak konstruksi

rasional yang sudah ada. Apakah dengan bantuan fenomenologi, Giovani bermaksud menyatakan kepada kita mengenai peran sastra sebagai sastra yang terlibat dengan konteks untuk mengangkat keragaman peristiwa sebagai peristiwa dengan determinasinya atau kekhasannya masing-masing? Atau sastra yang terlibat dengan peristiwa sebagai problem kehidupan etis dalam dunia yang sedikit

edan?

Sesuai dengan konstruksi teoritis Husserl, fenomenologi

mengarahkan perhatian kita pada ‗bagaimana sesuatu itu memerlihatkan diri‖ dan bukan ―mengapa sesuatu seperti itu dan bukan seperti ini‖. Bukan mengapa tidak perempuan kaya, tidak anak

perempuan seorang pejabat kepolisian atau pejabat imigrasi yang menjadi korban? Fenomenologi tidak cukup punya waktu menyibukkan diri dengang pertanyaan mengapa.

Sehubung itu, pertanyaan yang muncul adalah terberi seperti apa yang direpresentasikan melalui deskripsi sastrawi sastrawan bersangkutan? Sebabnya, semurni apa pun yang terberi itu, representasionalitas kehadirannya di dalam teksditentukan oleh apa yang disebut sebagai struktur hermeneutis prapemahaman setiap orang yang selalu berbeda-beda karena bentukan lingkungan, pendidikan, latar belakang sosio-religius maupun karakter melankolik

(Kristeva) dari jiwa seseorang. Albert Camus dalam Sampar misalnya,

secara gamblang memerlihatkan bagaimana struktur prapemahaman setiap tokoh memengaruhi cara melihat dan menilai keberadaan penyakit sampar yang menerabas masuk wilayah Oran dan membunuh banyak warganya.

Dengan begitu, apakah kita perlu mencintai atau bahasa Edith

(8)

karena itu adalah suatu peristiwa apa adanya, atau karena ―perempuan yang dijual ke Makasar‖ adalah problem sosial menyangkut martabat seorang manusia. Singkatnya, apakah cara kita mencintai ―seorang perempuan yang dijual ke Makasar‖ lewat sastra dapat menjadi

momen redemptif secara sosial kalau kita diajak menghadapi setiap peristiwa apa adanya sambil sedapat mungkin mengurungkan segala asumsi etis-moral yang menentukan cara kita menilai peristiwa tersebut? Bagaimana sastra fenomenologis dapat hadir dengan kapasitas rupturenya, kalau ia hanya menghadirkan kenyataan apa adanya?

Ambiguitas lainnya, muncul dari gagasan tentang menjadi pemula.

Pada reduksi mana pemula ini harus ditempatkan dan dimengerti?

Kalau pada level reduksi pertama, berarti apakah penekanan harus diberikan kepada operasi phantasia (υαντασία) yang mengarah langsung kepada kepentingan pleasure, yang dalam bahasa Kant

berarti mengarah kepada keharusan kesenangan estetis yang bertaut erat dengan sensus communis dalam diri subjek, atau penekanan pada

eikasia (εἰκασία) yang bertujuan menjaga ketepatan imitasi dan

kapasitasnya untuk menghadirkan realitas dalam originalitasnya tanpa mengisinya dengan asumsi-asumsi moral tertentu. Dalam konteks fenomenologis, akan kita pertanyakan mengapa harus hal tertentu yang dikurungkan sedangkan hal lainnya tidak dikurungkan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menuntut kita menelusuri historisitas kehidupan sastrawan demi memeroleh jawaban yang sedekat mungkin.

Dengan mendiskusikan buku Georg Orwell Animal Farm, Richard

Rorty pernah menulis bahwa adalah tugas literatur (seni dan sastra)

saja untuk menghadapi problem semasa ini seperti kekerasan

identitas; kekerasan politik; kemiskinan; kelaparan; human trafficking;

(9)

sosial lebih luas dari para filsuf dan sosiolog, Rorty enteng

menyatakan bahwa filsuf dan sosiolog itu sebuah ―fungsi keimamatan

eksklusif dari segelintir orang yang bisa seenaknya mengklaim apa yang seharusnya benar dan etis. Asumsi itu, dalam satu dan lain cara terafirmasi dalam sosok sastrawan disiden Wiji Thukul untuk konteks Indonesia. Rorty yakin bahwa, sebenarnya tidak ada kebenaran atau apa itu humanisme universal. Orang tidak membincangkan kebenaran, sebaliknya membincang atau merancang bagaimana menguasai.

Nada yang sama dapat ditemukan dalam pernyataan Giovani berikut:

―Seorang satrawan tentu tidak harus mengangkat karya-karya

besar tentang tokoh-tokoh penting, Presiden, Menteri, anggota DPR, Ilmuwan, rohaniwan dan yang lainnya yang serupa. Sastrawan adalah juga mereka yang mencintai perempuan-perempuan yang dijual ke Makasar, loper-loper koran di sekitaran bundaran, mahasiswi yang masih menunggak uang regis dan yang lainnya yang serupa. Bagi sastrawan-fenomenolog, peristiwa yang bermakna bukan hanya persoalan BBM yang dinaikan, berapa gaji para anggota DPR-MPR, bagaimana artis mengganti bajunya setiap hari, atau mungkin apa isi UU PEMILUKADA yang sudah disahkan, melainkan juga berapa harga kue yang harus dijual oleh seorang ibu di pasar sehingga bisa membayar anaknya sekolah, pun berapa banyak batang kangkung yang harus dikurangi oleh penjual sayur supaya mampu membayar biaya ojek kembali ke rumah dan yang lainnya yang serupa. Segala peristiwa adalah lautan

penuh makna.‖

Pernyataan ini dalam amatan saya bukan sebentuk penegasan

t e r had ap pan d an gan H u s s e r l m e n ge n ai ― hor i z on panoramik‖ (Überschau). Horizon panoramik mau menyatakan bahwa

(10)

aprehensi korelatif dalam satu totalitas yang penuh. Heidegger misalnya, pada satu momen dalam perjalanan pemikirannya, sampai pada pemaknaan bahwa manusia itu adalah ada-menuju-kematian.

Namun, apa yang terlihat dari pernyataan Giovani di atas, dan bersua dengan artikulasi Rorty adalah, keduanya membagi sebuah keyakinan mengenai orientasi fundamental subjek postmodern terkait ide mengenai kreasi-diri individual yang telah dikumandangkan oleh Nietzsche namun memiliki akarnya dalam romantisisme, dalam hubungan dengan determinasi pengalaman atau determinasi kasus

(Bestimmung)dalam ungkapan Husserl. Bagi Nietzsche, subjek adalah

seseorang, yang kehadirannya memuat kemungkinan kebebasannya dapat direalisasikan ketika, terlepas dari semua bentuk ekspektasi normatif-teknis dan pembatasan, mereka mampu untuk secara kreatif memproduksi (poiesis [ποίηζις] , techne [ηέτνη] – puisi) gambaran

dirinya sepanjang waktu. Asumsi nietzschean ini oleh Giovani diberi warna fenomenologi, yang ia sebut terlibat sebagai pemula ke dalam dunia apa adanya. Sastra fenomenologis adalah sastra yang memberi ruang kepada keragaman artikulatif peristiwa sebagai peristiwa.

Dengan asumsi Nietzschean yang berada dibelakangnya, hemat saya, sastrawan fenomenolog rawan jatuh kembali kepada sebentuk cartesianisme baru sebagaimana Husserl sendiri jatuh pada ego

transendental, yakni subjektivisme estetis dan makna yang diartikulasi

adalah makna subjektif. Hal ini sebenarnya sudah dikritik oleh Roman Ingarden, salah satu murid Husserl sendiri. Ingarden menulis bahwa Husserl mereduksi dunia-kehidupan dan dunia fisik menjadi sesuatu yang subjektif, tergantung pada kesadaran imanen subjek. Di sini, makna sebagai tataan kedua yang merupakan makna subjektif mengambang, menyembul keluar ke dalam ruang publik sekadar turut meramaikan pesta kata-kata.

(11)

tindakan subjek yang diarahkan oleh pemaknaan subjektif belum pasti menggugah orang. Ini hampir pasti mengafirmasi pandangan Husserl dari periode Idea I menyangkut tingkatan dalam estetika. Tingkatan

pertama dalam karya sastra, menurut Husserl terkait bunyi dan formasi suara berdasarkan teks, dan apa yang ada pada tingkatan pertama belum tentu serasi dengan makna yang ditangkap seorang pembaca pada tingkatan kedua. Dengan mengutip Ricoeur, kita dapat mengargumentasikan bahwa makna yang ditangkap oleh pembaca tidak mesti bentuk copy paste dari maksud penulis, karena otonomisasi

teks memungkinkan keragaman pemaknaan.

Ambil contoh, seorang sastrawan dengan resonansi jiwa yang lebih dekat dengan gerakan kiri akan melihat karya-karya Sutardji sebagai omong kosong. Konsekuensi sosial dari pendirian semacam ini, bila disokong dengan sebentuk kediktatoran estetis, hal yang hemat saya tidak dipikirkan oleh Ricoeur, adalah kita atau masyarakat dijebak ke dalam apa yang bisa disebut sebagai patologi sosio-kultural. Salah satu bentuknya adalah kesimpangsiuran pemaknaan, skizofrenik budaya. Dalam bahasa Ricoeur, sastra fenomenologis tak dapat hadir dengan karakter rupture-nya yang memiliki kekuatan menerabas penindasan simbolik, karena rupture-nya justru bersifat skisofrenik. Di situ, suatu problem tidak diselesaikan tetapi subjek justru dibombardir dengan keragaman artikulatif pemaknaan problem.

(12)

yang dipikirkan sebagai paling tepat, benar dan memadai dan menolak makna lain yang diartikulasi subjek lain.

Sampai di sini, kita bisa memahami mengapa seorang sastrawan seperti Saut Situmorang misalnya, dengan enteng atas nama pleonasme, sarkasme mengatai seterunya dan menganggap tindakan itu adalah bagian dari kritik sastra yang dapat disejajarkan dengan kritik sastra bercorak sosiologis seperti dilakukan oleh Ignas Kleden. Atas nama sarkasme misalnya, orang boleh menyebut seorang sebagai

bajingan dan menganggap itu sebuah politik bahasa dan dengan

asumsi yang ‗semena-mena‘, menganggap semua orang harus mampu berpikir seperti dirinya, melepaskan segala asumsi etis dan melihat politik bahasa itu sebagai hal yang wajar. Tetapi, kalau sarkasme misalnya, adalah sesuatu yang bersifat kekecualian dalam kehidupan

publik, dan ternyata kekecualian itu berubah menjadi aturan, karena

dipakai terus-menerus, sekalipun secara individual (dengan begitu meniadakan pembedaan antara kekecualian dengan norma, sehingga kritik tidak didasarkan pada asumsi etis tertentu tetapi lebih didasarkan pada reaksi estetis), bukankah sastra sebagaimana kritik

Axel Honneth pada Rorty merupakan ―a placeholder for social

pathologies”. Honneth bahkan menyatakan bahwa ―literature in such a way, as a kind of medium for violations, deficiencies and ruptures of our

life”.

(13)

sebagai penyelamat merujuk pada pernyataan Giovani mengenai sastra fenomenologi yang menyediakan jalan keselamatan universal? Michel Henry pernah menulis bahwa [tangkapan] internal sama dengan interioritas [subjek] sama dengan keseharian sama dengan tak

kelihatan sama dengan pathos.

Dengan demikian, kalau tepat, pada akhirnya, kita akan melihat bahwa seberapa tepatnya imitasi atas kenyataan, atau seberapa menyentuhnya suatu karya sastra, atau seberapa kirinya sebuah karya sastra, per definitionem iaadalah sesuatu yang subjektif. Animal Farm

atau Tetralogi Bumi Manusia misalnya, merefleksikan atau menggambarkan bahkan mendemonstrasikan melalui mediasi estetik, masalah pem-binatang-an subjek, ruptur maupun trauma yang terjadi dalam kehidupan. Dalam bingkai sastra atau literatur secara umum, semua itu adalah eksplisitasi nyata reaksi kritis-estetis subjek bersangkutan.

Namun, karya-karya tersebut tetaplah literatur yang bersifat subjektif, dan berhadapan dengan beragam patologi sosial maupun defisiensi kultural yang bersifat tersembunyi, sesuatu yang subjektif tidak cukup radikal mengganggu rasionalitas publik. Oleh karena itu,

selama rasionalitas sosial tidak terganggu, ―seorang perempuan yang dijual ke Makasar‖ bukanlah suatu problem akut yang tersangkut

dengan martabat perempuan sebagai manusia, tetapi sebagai suatu faktisitas, suatu fenomena apa adanya yang tidak punya hubungan dengan dominasi tertentu. Kalau Seno Gumira bilang bahwa ketika kediktatoran membungkam, sastralah corong yang bisa dipakai untuk berbicara, lalu pertanyaannya adalah dalam konteks demokrasi yang memberi ruang kebebasan untuk bersuara, bagaimana represi dan dominasi tersembunyi yang sering tampil dengan wajah menawan bisa dilawan?

(14)

(event). Baginya, fenomenologi gagal untuk menangkap dan

(15)

era yang ditandai dengan meningkatnya perkembangan teknologi merupakan era Deleuzeian, merujuk kepada pemikiran Deleuze mengenai teritorialisasi.

Teritorialisasi dalam Deleuze adalah menyangkut fenomena penumpukan massa karena seduksi citra mediatik teknologi kapitalisme. Di situ, tidak ada subjek individual, person yang

―berwajah‖ (Levinas), tetapi hanya gerombolan yang selalu berpindah

dari satu teritori ke teritori lain mengikuti gembalanya, sebuah signifikasi tak sadar atau supraindividual. Misalnya, orang tidak membeli sesuatu karena kebutuhan, tetapi karena orang lain membeli. Seorang anak muda merasa lebih berisi kalau makannya di KFC tapi

minumnya di Starbucks, seperti dibuat oleh orang lain. Guattari

menyebut teritorialisasi sebagai ―chaosmosis‖, peristiwa penyuaraan

yang terus-menerus, sebuah kemengaliran tanpa henti, tanpa makna yang pasti yang membebaskan. Subjek sekadar mesin yang dikendalikan oleh sesuatu yang supraindividual. Subjek tidak mampu memertanyakan atau mengkrititsi pertanyaannya maupun reaksinya sendiri (Cogito blesse).

Problem yang muncul dalam tautan dengan sastra fenomenologis adalah spasialitas subjektivisme yang diteritorialisasi terjebak ke dalam subjektivitas isolasionis dalam reaksi estetisnya. Hal tersebut, sudah nampak dalam proyek Husserl yang pada akhirnya jatuh pada ego transendental yang kontemplatif dan autopoesis. Kontemplatif dan

autopoesis dalam pengertian Lukácsian-Honnethian berarti subjek hanya menjadikan subjek lain sebagai objek, karena kehilangan perhatian (Sorge). Subjek kontemplatif dan autopesis tidak punya

perhatian tetapi dikendalikan sepenuhnya oleh prinsip tujuan menghalalkan cara. Subjek tidak punya hati, dalam ungkapan lazim

masyarakat. Maka, kita menemukan bahwa biasanya penindasan atau pun kekerasan paling kontemplatif terjadi ketika subjek yang ditindas tidak merasa bahwa ia sedang ditindas.

(16)

terjadi pergeseran dari tema pemikiran kepada tema kesadaran. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Hannah Arendt, tidak semua punya kesadaran kritis atas situasi di mana ia sedang tertanam, sebaliknya seseorang bisa menjadi sangat banal dalam situasinya, karena terhegemoni oleh seduksi-seduksi kekuasaan yang menindas dan membungkam. Di sini, sastra fenomenologis dapat dianalogkan dengan smartphone. Ia, pertama-tama bukan menjadi jalan penyelamat

tetapi tempat subjek narsis men-selfie dirinya sendiri, bagi dirinya

sendiri.

Sastra fenomenologis dalam konteks penulis, bukanlah

imbal-hubung antara kesadaran dengan kenyataan, tetapi baku-hubung dari

kenyataan ke teks sastra dengan kebebasan estetis-imaginatif sastrawan sebagai mediumnya. Menyangkut pluralisme peristiwa atau fakta, Nietzsche menulis dalam The Will to Power bahwa ―there are

many kinds of eyes…. Consequently there are many kinds of „truths,‟ and consequently there is no truth”. Dalam garis pikir yang sama, kalau sastra

fenomenologis disebut sebagai sastra yang mengangkat segala peristiwa untuk dimaknai, berarti ada banyak makna, konsekuensinya tidak ada makna. Dengan demikian, apakah berarti sastra fenomenologis hanya ingin menegaskan – menyitir pernyataan Hegel tentang seni – bahwa sastra sudah berakhir?

Daftar Bacaan:

Andrea Staiti, ―Überschau and The Givenness of Life in Husserl‘s Phenomenology‖ dalam 41st Annual Meeting of the Husserl Circle,

June 21st-23st 2010, New York: New School for Social Research,

2010, pp. 74-85.

(17)

Jan Patočka, Body, Community, Language, World, trans. Erazim Kohák, Chicago: Open Court, 1998.

John D. Caputo, Radical Hermeneutics: Repetition, Deconstruction, and the

Hermeneutic Project, Bloomington: Indiana University Press,

1987.

John Sallis, Force of Imagination: The Sense of the Elemental,

Bloomington: Indiana University Press, 2002.

Martin Heidegger, ―Six Basic Developments in the History of Aesthetics‖ dalam Nietzsche Vol. I-II, trans. David Farrell Krell, New York: HarpersCollins, 1991, pp. 80-91.

Michel Foucault, ―Theatrum Philosophicum‖ dalam Aesthetics, Method,

and Epistemology, ed. James D. Faubion, (New York: The New

Press, 1998), pp. 343-368.

Michel Henry, Seeing the Invisible: On Kadinsky, trans. Scott Davidson, London: Continuum, 2009.

Muhammad Al-Fayyadl, ―Andai Saut Situmorang di Penjara‖ (27 Maret 2015) dalam http://literasi.co/Andai-Saut-Situmorang-Dipenjara

Richard Rorty, Contingency, Irony and Solidarity, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.

Referensi

Dokumen terkait

Amanat undang-undang ini dipertegas lagi pada ayat (3) bahwa warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh

Menyampaikan materi tentang luas permukaan kubus dan balok secara online melalui bahan ajar dalam bentuk file word/pdf dan diikuti berupa video pembelajaran

Uji keragaman bobot dilakukan dengan syarat bahwa tidak boleh terdapat lebih dari dua suppositoria yang bobotnya menyimpang yang bobotnya menyimpang dari bobot rata-rata lebih

Kanker Penis adalah kanker yang sangat ganas pada alat reproduksi pria, dan kalau tidak segera ditangani bisa memicu kanker pada organ tubuh yang lain dan dapat menyebabkan

Adanya organ pencernaan fermentatif bagi ruminansia memiliki beberapa keuntungan (Sutardi, 1980), yaitu: 1) dapat mencerna bahan makanan dengan serat kasar yang tinggi, sehingga

Hasil dari penelitian diperoleh bahwa pengukuran kelembaban tanah permukaan di lapangan dengan nilai spektral dari hasil transformasi memiliki hubungan yang

Awalnya Riani tidak setuju dengan rencana Genta tersebut dengan alasan akan berat sekali baginya untuk tidak bertemu keempat sahabatnya itu.. Namun setelah keempat