• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orasi Karya Ilmiah Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Orasi Karya Ilmiah Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi"

Copied!
286
0
0

Teks penuh

(1)

Orasi Karya Ilmiah

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Orasi

Karya

Ilmiah

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Orasi Karya Ilmiah

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Orasi

Karya

(2)

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi

Orasi

Karya Ilmiah

(3)

Orasi Karya Ilmiah

Pusat Peneit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilit asi

Editor :

Prof. Dr. Ir. Abdullah Syarief M ukht ar, M .S Prof. Ir. Dulsalam, M .M

Prof. Dr. Gust an Pari, B.Sc., Dipl., M .Si Prof. Drs. M . Bismark, M .S

Prof. Dr. Ir. Hendi Suhaendi Prof. Dr. Ir. Prat iw i, M .Sc Prof. Dr. Drs. Adi Sant oso, M .Si Prof. Ir. Hariyat no Dw i Prabow o, M .Sc Dr. Ir. Budi Leksono, M .P

Dr. Ir. Nina M indaw at i, M .Si Dr. Erdy Sant oso, M .S

Diterbitkan oleh :

Pusat Penelit ian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabiilt asi (P3KR) Jl. Gunung Bat u No. 5 Bogor, Indonesia

Telp : +62 (0251) 8633234 Fax : +62 (0251) 8638111 e-mail : p3hka_pp@yahoo.co.id

Dicetak oleh :

(4)

KATA PENGANTAR

Untuk memenuhi persyaratan kenaikan jabatan fungsional bagi peneliti yang akan diangkat menjadi Peneliti Muda dan Peneliti Utama, seorang peneliti harus mempresentasikan karya ilmiah hasil penelitiannya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 06/E/2009 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Peneliti.

Buku Kumpulan Orasi Karya Ilmiah ini merupakan rangkuman hasil penelitian yang ditulis oleh 14 orang peneliti Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dan telah dipresentasikan di hadapan para peneliti, para pakar, Tim Penilai Peneliti Instansi (TP2I) Badan Litbang Kehutanan dan instansi terkait / stakeholder lain.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kami sampaikan kepada para peneliti yang telah menyusun Karya Ilmiah dan kepada TP2I Badan Litbang Kehutanan yang telah memeriksa dan mencermati, serta semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2013

Kepala Pusat,

(5)

Kata Pengantar... i

Daftar Isi ... iii

1. Fungi Mikoriza Sebagai Input Teknologi Konservasi Jenis Tanaman Hutan Langka dan Rehabilitasi Lahan

Terdegradasi

Dr. Ir. Maman Turjaman, D.E.A ... 1

2. Pemberdayaan Masyarakat di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan dalam Rangka Pengentasan Kemiskinan dan Pelestarian Sumberdaya Hutan

Ir. Sri Suharti, M.Sc ... 25

3. Kontribusi Hutan Tropis dalam Mitigasi Karbon

N. M. Heriyanto, S.Hut ... 51

4. Agroforestry dan Social Forestry: Teknik dan Pendekatan Rehabilitasi dan Pengelolaan Hutan Kolaboratif

Dr. Ir. Murniati, M.Si ... 67

5. Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan : Pemanfaatan dan Identifikasi Nama Ilmiahnya

Dra. Marfu’ah Wardani, MP ... 95

6. Peran Mikoriza sebagai Penyedia Jasa Ekosistem dalam Pembangunan Kehutanan

Dr. Made Hesti Lestari Tata, S.Si., M.Si ... 115

7. Strategi Konservasi Tanah Mendukung Kelestarian Tanah dan Air dalam Berbagai Bentuk Pemanfaatannya

I Wayan Susi Dharmawan, S.Hut., M.Si ... 139

8. Pengelolaan dan Pemanfaatan Keragaman Hayati dan Lahan di Daerah Penyangga Taman Nasional

Ir. Reny Sawitri, M.Sc ... 153

9. Desain Penangkaran Rusa Timor Berdasarkan Analisis Bio-Ekologi di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor

(6)

10. Konservasi Owa Jawa (Hylobates moloch) dalam Pengelolaan Kawasan Hutan di Jawa Barat

Drs. Sofian Iskandar, M.Si ... 193

11. Hutan Rakyat : Potensi dan Tantangan dalam Pembangunan Kehutanan

Ir. Asmanah Widiarti, M.Si ... 211

12. Strategi Rehabilitasi Hutan Rawa Gambut Bekas Terbakar Mawazin, S.Si ... 231

13. Pentingnya Pengetahuan tentang Pemanfaatan Tumbuhan Obat secara Tradisional dan Upaya Pelestariannya

Ir. Titiek Setyawati, M.Sc ... 243

14. Perspektif Agroforestry dalam Konservasi Keanekaragaman Tumbuhan

(7)

REHABILITASI LAHAN TERDEGRADASI

Dr. Ir. Maman Turjaman, D.E.A1

I. PENDAHULUAN

Bapak, Ibu, dan para undangan yang kami muliakan,

Hutan tropika keberadaannya sangat penting, yaitu sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia dan siklus karbon global (Clarck, 2007; Laurence, 1999). Pada dasarnya hutan tropika yang tidak terganggu oleh kegiatan pembukaan lahan (perambahan hutan, penambangan mineral, dan kebakaran hutan) memiliki keanekaragaman hayati yang berlimpah meliputi flora, fauna dan jasad renik. Jasad renik atau yang lebih dikenal dengan mikroba merupakan salah satu kelompok makhluk hidup yang mempunyai peran penting dalam menjaga stabilitas siklus nutrisi pada ekosistem hutan tropika (de La Cruz, 1995). Mikroba pada lantai hutan terbagi-bagi lagi dalam kelompok mikroba simbiotik, parasit, dan dekomposer. Pada umumnya mereka termasuk kelompok fungi (jamur/cendawan), bakteri, dan yeast (khamir). Hutan tropika mempunyai siklus nutrisi yang tertutup, akumulasi nutrisi terdapat pada biomassa pohon hutan. Apabila pohon hutan ditebang habis dan lapisan atas tanah dihilangkan, maka terjadi perubahan komposisi mikroba. Mikroba ini dapat bertahan pada lantai hutan yang terbuka dalam bentuk spora, hifa, miselia atau propagul lain dalam kondisi terbatas di rhizosfer. Apabila terjadi peningkatan suhu dan kelembaban udara pada lantai hutan ditambah lagi dengan masuknya sinar ultraviolet, maka dapat dipastikan populasi fungi/bakteri menurun drastis dan mati. Fungi/bakteri ini akan kembali naik populasinya apabila areal yang terbuka didatangi oleh benih-benih vegetasi pionir yang tumbuh pada areal bekas tambang, karena vegetasi ini mampu berfotosintesis dan mengeluarkan eksudat-eksudat di rhizosfer (Turjaman et al., 2009; Pinton et al., 2007).

1

(8)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Hutan tropis di Indonesia telah banyak dikonversi untuk berbagai aktivitas pembangunan dari sektor lain (Kobayashi, 2004; Phillips, 1998). Sebagai contoh, perkebunan kelapa sawit, eksploitasi tambang terbuka (batubara, nikel, timah, bauksit, tembaga, dan emas), yang menyebabkan semakin meluasnya lahan terdegradasi karena tidak dibarengi dengan upaya rehabilitasi yang seimbang. Hal ini akan mengakibatkan dampak global maupun lokal. Dampak global berupa perubahan iklim dan pemanasan global sudah tidak dapat dipungkiri. Ketidakteraturan musim, banjir, suhu yang ekstrim merupakan beberapa indikasi perubahan iklim dan pemanasan global. Dampak lokal mencakup hilangnya mata pencaharian dan akar budaya masyarakat sekitar hutan akibat hilangnya hutan, timbulnya penyakit akibat hilangnya penyangga atau penyaring udara bersih, dan lain sebagainya. Laju deforestasi yang cepat yang tidak dibarengi dengan laju rehabilitasi yang seimbang, semakin memperluas lahan hutan terdegradasi, tidak produktif dan terabaikan (Pudjiharta et al., 2007).

Para hadirin yang dimuliakan,

(9)

hubungan dengan tanaman tingkat tinggi yang dikenal dengan simbiotik dan/atau asosiatif. Di bumi ada tujuh tipe mikoriza (Smith and Read, 1997) tetapi yang sangat berperan di hutan tropika kita adalah fungi mikoriza arbuskula dan fungi ektomikoriza.

Presentasi ilmiah ini memaparkan kemajuan riset fungi mikoriza sebagai input teknologi konservasi jenis-jenis tanaman hutan yang langka dan rehabilitasi lahan terdegradasi selama 20 tahun terakhir. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat dalam kegiatan konservasi jenis-jenis pohon yang berstatus langka termasuk jenis-jenis mikoriza yang berasal dari hutan tropika Indonesia dan kegiatan rehabilitasi lahan terdegradasi.

II. POTENSI FUNGI MIKORIZA

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat

2.1. Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Simbiosis Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) adalah sebuah bentuk simbiosis tua di bumi antara tanaman dan fungi dari phylum Glomeromycota (Schuβler et al., 2001). FMA merupakan salah satu kelompok mikoriza yang mampu bersimbiosis pada hampir semua jenis tanaman tingkat tinggi (97%) dan telah banyak dilaporkan pada jurnal internasional (Janos, 1980; Smith and Read, 1997; Miller and Jastrow, 2000; Rajan et al., 2000; Jeffries and Barea, 2001; Smith et al., 2004). FMA mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dari penyerapan nutrisi P (fosfor) dan mikro nutrisi (Cu, Zn, Mn, dan Fe), memodifikasi tanaman untuk bertahan dalam kondisi kering, memperbaiki dan memelihara struktur dan agregat tanah karena adanya kolonisasi miselia FMA (Jeffries et al., 2003; Augé, 2001; Andrade et al., 1998; Kothari et al.,1991). Tetapi beberapa keluarga dari jenis tanaman tidak membentuk kolonisasi mikoriza secara alami, seperti Brassicaceae, Chenopodiaceae, dan Amaranthaceae (Varma et al., 2008; Smith and Read, 1997).

(10)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

jenis saja (Schuβler et al., 2001). Akar tanaman melalui simbiosis dengan FMA mempunyai kemampuan menyerap terutama unsur fosfor (P) yang dalam bentuk terikat oleh senyawa besi (Fe) atau alumunium (Al) di dalam tanah. Selanjutnya dengan ketersediaan P pada tanaman secara simultan unsur-unsur nutrisi lain seperti nitrogen (N), kalium (K), kalsium (Ca), magnesium (Mg) turut diangkut oleh FMA sesuai kebutuhan tanaman, termasuk juga beberapa nutrisi mikro (Smith and Read, 1997). FMA memiliki hubungan simbiosis yang luas dengan berbagai jenis macam tanaman hutan, seperti akasia, sengon, jabon, cendana, gaharu, jati, gmelina, mahoni, mindi, mimba, kaliandra, dan nyamplung. Proses kolonisasi FMA dimulai dari umur dua minggu setelah proses inokulasi. Tanaman inang (host) akan memberikan karbohidrat cair kepada FMA untuk perkembangbiakannya selama di dalam jaringan akar tanaman hutan. Jadi, produk FMA bukan termasuk kategori pupuk organik, FMA adalah pemacu pertumbuhan yang mementingkan simbiosis mutualistis dengan tanaman hutan secara berkesinambungan.

Para hadirin yang terhormat,

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) telah diproduksi pada media produk sistem granular seperti batuan zeolite, tanah liat, dan pasir (Turjaman et al., 2008; Turjaman et al., 2007; Turjaman et al., 2000). FMA yang unggul telah diseleksi dari hasil eksplorasi FMA di beberapa lokasi hutan tropika yang tersebar luas di Indonesia. Produksi massal FMA dilakukan dengan sistem pot dengan kapasitas tiga ton inokulum FMA per rumah kaca (10 m x 10 m) selama empat bulan. Penggunaan inokulum FMA cukup dilakukan satu kali dimulai dari persemaian tananam hutan. Pengawasan mutu produk FMA telah dilakukan standarisasinya, sehingga daya hidup spora FMA dapat dimonitoring perkembangannya. Spora FMA akan berkembang di dalam sistem perakaran tanaman yang diinokulasi sehingga pada waktu penanaman semai di tingkat lapang tidak diperlukan lagi proses inokulasi. Biaya inokulum FMA per semai tanaman antara 5-10% dari harga semai tanaman yang diproduksi.

(11)

perusahaan tambang dan kelompok tani KBR yang menangani kegiatan rehabilitasi dapat dilatih untuk memproduksi inokulum skala massal untuk kepentingan kegiatan reklamasi. Diperkirakan setiap perusahaan tambang dapat memproduksi lebih dari satu juta semai per tahun. Pengawasan mutu inokulum dapat dilakukan secara periodik bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan. Keunggulan dari teknologi ini adalah keunggulan FMA yang sangat cocok dengan kondisi lahan setempat dan jenis-jenis pohon lokal di Indonesia. Aplikasi FMA dapat juga dilakukan untuk pengembangan komoditi perkebunan maupun pertanian pada lahan pasca tambang yang kesuburannya sudah mulai kembali normal, sehingga petani di sekitar lahan pasca tambang dapat memanfaatkan teknologi ini untuk produksi tanaman pangan maupun perkebunan. Selama ini belum ada produk FMA yang beredar di pasaran. Pada saat ini Badan Litbang Kehutanan telah memproduksi inokulum FMA berdasarkan pesanan dari pengguna di beberapa perusahaan tambang maupun perusahaan hutan tanaman di Indonesia.

Bapak dan Ibu yang terhormat,

Potensi aplikasi teknologi FMA tersebar luas puluhan juta hektar pada lahan-lahan pasca tambang di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, dan Papua. Perusahaan tambang batubara, emas, nikel dan bauksit adalah perusahaan multinasional yang telah membuka dan merusak lahan dan hutan secara luas di Indonesia. Pengaruh kerusakan yang besar terhadap lahan dan lingkungannya memberikan prospek teknologi ini dapat diaplikasikan pada jenis-jenis semai tanaman hutan yang sesuai dengan kondisi lahan setempat. Apabila satu juta hektar lahan pasca tambang akan direhabilitasi setiap tahunnya, maka akan diperlukan minimal satu milyar batang semai berbagai jenis semai tanaman hutan yang diberi bekal inokulasi FMA yang unggul.

(12)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Komersialisasi produk FMA dapat dilakukan melalui kerjasama alih teknologi secara berkesinambungan sampai perusahaan tambang telah menyelesaikan kewajibannya dalam kegiatan penutupan tambang (mine closure).

2.2. Fungi Ektomikoriza (ECM)

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,

(13)

Keanekaragaman jenis fungi ektomikoriza pada hutan tropika dapat ditemukan pada tegakan dari keluarga dipterokarpa, pinus, ekaliptus, kastanopsis dan gnetum. Selain itu dari jenis Tristania dan Casuarina sumatrana (hutan kerangas) dapat ditemukan pula jenis-jenis fungi ektomikoriza (Moyersoen et al., 2001). Pada tegakan alam muda Pinus merkusii di Aceh Tengah banyak ditemukan jenis-jenis dari famili Sclerodermataceae, yaitu Pisolithus dan Scleroderma, sedangkan pada tegakan alam dewasa banyak ditemukan jenis-jenis Suillus, Boletus, Lactarius, Russula, Amanita, dan sebagainya. Di KHDTK Haurbentes, Darmaga, Carita, Cigerendeng, Pasir Hantap yang didominasi tegakan dipterokarpa banyak ditemukan jenis-jenis Boletus, Laccaria, Suillus, Amanita, Cantharellus, Lepiota, Lactarius, Russula, Cortinarius, Entroma, Scleroderma, dan sebagainya. Jenis dari Ascomycetes yang ditemukan adalah Elaphomyces sp. dan Cenoccocum geophyllum. Pada tegakan alam ekaliptus di Soe (Nusa Tenggara Timur) juga ditemukan jenis-jenis Pisolithus, Scleroderma, Boletus, Suillus, Russula, Lactarius, Laccaria, Amanita, Lepiota, dan sebagainya. Pada tegakan dewasa di hutan kerangas dijumpai banyak fungi ektomikoriza dari jenis Boletus, Entroma, Tricholoma, Cortinarius, Suillus, Amanita, dan sebagainya (Turjaman et al., 2001; Turjaman et al., 1999; Turjaman and Santoso, 1999).

(14)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Bapak, Ibu, dan para hadirin yang dimuliakan,

Selama ini riset mikoriza bertumpu pada identifikasi berdasar pada kunci identifikasi fungi ektomikoriza dan fungi mikoriza arbuskula secara morfologi di ekosistem hutan temperate (Ingleby et al., 1990; Brundrett et al., 1996). Riset mikoriza ke depan akan lebih menjurus kepada koleksi fungi mikoriza lokal dengan proses identifikasi secara biologi molekuler. Studi ekologi suksesi dan pemantauan eksistensi fungi mikoriza di areal rehabilitasi dapat dipantau melalui bidang disiplin ilmu ekologi molekuler. Dengan demikian aplikasi mikoriza yang dilaksanakan di berbagai lokasi di Indonesia dapat dimonitoring dan evaluasi secara akurat (Martin et al., 2007; Anderson, 2006).

Indonesia mempunyai kawasan hutan rawa-gambut seluas 21 juta hektar yang tersebar dari mulai Sumatera, Kalimantan dan Papua (Page et al., 2002). Ekosistem hutan rawa-gambut merupakan salah satu ekosistem yang menyimpan cadangan karbon yang sangat besar sehingga banyak riset tentang perubahan iklim yang difokuskan untuk memperoleh data tentang emisi karbon. Keanekaragaman jenis pohon hutan tropika yang berlimpah dan sangat terkenal serta diminati oleh mancanegara di antaranya adalah jenis meranti rawa, ramin, jelutung rawa, gemor, pulai rawa, bintangur, dan nyamplung. Jenis-jenis pohon tersebut bersimbiosis dengan FMA dan ECM secara alami di ekosistem hutan rawa gambut dengan tingkat kolonisasi yang bervariasi (Tawaraya et al., 2003). Namun demikian eksistensi hutan rawa gambut mulai terdegradasi secara masive setelah melakukan konversi ekosistem hutan rawa gambut seluas satu juta hektar. Penebangan hutan meranti rawa secara sembarangan di hutan Sumatera dan Kalimantan, berarti turut memusnahkan ECM yang biasa berdiam di dinding korteks akar tanaman hutan tersebut. Jenis-jenis meranti rawa yang dikenal di antaranya adalah Shorea balangeran, S. uliginosa, dan S. teysmanniana. Pada kondisi lahan gambut yang ber-pH masam, semai tanaman meranti rawa tumbuh sangat lambat dan sangat tergantung dengan eksistensi ECM yang secara timbal-balik memberi input energi antara ECM dengan tanaman meranti rawa (Turjaman et al., 2011) .

(15)

tablet spora dan kapsul alginate (Turjaman et al., 2003, Turjaman et al., 1999; Turjaman and Santoso, 1999). Eksplorasi ECM telah dimulai dari eksosistem hutan tropika di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTB, dan NTT. ECM dapat diisolasi dan dibiakkan melalui biakan murninya dengan menggunakan media spesifik beberapa jenis ECM dapat disimpan dan dipelihara di laboratorium. Telah diperoleh beberapa jenis ECM, yang berpotensi untuk dikembangkan dan dipasarkan secara komersial. Untuk sementara identifikasi ECM dilakukan dengan cara mengamati morfologi dari manual buku identifikasi ECM. Keunikan dari ECM adalah dalam musim tertentu akan muncul tubuh buah fungi di sekitar perakaran tanaman meranti rawa yang berbentuk seperti bola yang berisi spora ECM yang sangat berlimpah (1.1 x 1013/mg spora). Jumlah spora yang berlimpah merupakan anugerah bagi kita untuk dapat membuat produk ECM dalam bentuk tablet spora. Selain itu spora ECM dapat dibiakkan pada media sintetik di laboratorium untuk mengembangkan bentuk vegetatifnya yaitu dalam bentuk benang-benang hifa (miselia), yang produknya dapat dibentuk kapsul alginate. Tablet spora dapat diproduksi dengan cepat dengan menggunakan mesin tablet kapasitas besar. Tablet spora ECM dapat bertahan hidup selama tiga tahun pada kondisi 4oC. Demikian pula dengan produk kapsul alginate, bahan berbasis miselia ECM murni yang diformulasikan dalam kemasan sodium alginate, dan produk ini dapat disimpan selama satu bulan di suhu kamar. Penggunaan inokulum ECM cukup dilakukan satu kali, dimulai dari persemaian tananam hutan. Menjaga mutu produk ECM telah dilakukan standarisasinya, sehingga daya hidup spora ECM dapat dimonitoring perkembangannya. Biaya inokulum ECM untuk per semai tanaman adalah 5-10% dari harga semai tanaman yang diproduksi.

Para hadirin yang terhormat,

(16)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

pengawasan mutu inokulum dapat dilakukan secara periodik bekerjasama dengan Badan Litbang Kehutanan. Keunggulan dari teknologi ini adalah keunggulan ECM yang sangat cocok dengan kondisi lahan rawa-gambut setempat dan jenis-jenis pohon lokal di Indonesia. Pemanfaatan ECM dapat digunakan juga untuk jenis-jenis ekaliptus, pinus, dan melinjo. Pengembangan jenis-jenis ECM yang dapat dikonsumsi manusia (edible mushroom) juga memberikan prospek yang cerah untuk diversifikasi kebutuhan pangan untuk masyarakat sekitar hutan rawa gambut.

Tim Peneliti Badan Libang Kehutanan telah mengembangkan aplikasi ECM dalam kegiatan produksi semai untuk menyelamatkan dan mengembangkan jenis-jenis meranti rawa di ekosistem hutan rawa-gambut yang terdegradasi. Keunggulan dari teknologi ini adalah inovasi mempercepat pertumbuhan meranti rawa sejak persemaian tanpa harus menggunakan pupuk kimia. Dapat dibayangkan apabila rehabilitasi hutan rawa-gambut seluas 21 juta hektar menggunakan input energi berupa pupuk kimia, maka yang mungkin terjadi adalah pembiayaan rehabilitasi yang sangat mahal, tidak efektif dan kemungkinan terjadi polusi lingkungan hutan rawa gambut yang menurunkan kualitas air, tanah maupun udara.

(17)

pada akhirnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.

Teknologi ini memberi nilai tambah dan prospek dalam rangka mengurangi emisi karbon khususnya pada ekosistem hutan rawa gambut dan mendukung program penanganan perubahan iklim (climate change) yang sedang ditangani oleh Pemerintah Indonesia. Komersialisasi produk ECM dapat dilakukan melalui kerjasama alih teknologi secara berkesinambungan melalui kerjasama kemitraan, sehingga proses rehabilitasi lahan dan hutan rawa gambut dapat dipulihkan secara bertahap dengan input teknologi yang ramah lingkungan.

III. APLIKASI FUNGI MIKORIZA

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,

Indonesia memiliki kekayaan sumber tambang mineral yang sangat kaya, mulai dari emas, batubara, nikel, timah, bauksit, dan besi. Pada umumnya penambangan dilakukan dengan penambangan terbuka dalam skala luas (Pudjiharta et al., 2007). Kondisi lahan dan hutan yang mengalami kondisi kritis di Indonesia hampir 43 juta hektar, termasuk di dalamnya eksploitasi pertambangan di Indonesia. Kondisi lahan aktual yang sering terjadi adalah kerusakan lapisan tanah yang menjadi tidak subur bahkan mengalami keracunan logam berat, pH tanah yang sangat rendah, tanaman yang ditanam menjadi kerdil, dan mengalami kematian. Biaya reklamasi tambang sangat mahal, karena kondisi lahan yang sangat tidak subur. Selama ini beberapa perusahaan tambang menggunakan teknologi persemaian konvensional dan pemupukan kimia belum tentu dapat meningkatkan persentase keberhasilan reklamasi pada lahan pasca tambang untuk menjadi kondisi rona awal lingkungan sebelum adanya kegiatan penambangan.

(18)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

pertumbuhan tanaman di lahan terdegradasi. Jenis-jenis mikoriza yang dimaksud adalah fungi mikoriza lokal yang telah diseleksi dan pengujian di laboratorium dan lapangan.

Fungi mikoriza adalah teknologi Go-Green yang ramah lingkungan. Sangat mudah diaplikasikan di persemain-persemain modern dan cukup satu kali aplikasi untuk seumur hidup tanaman. Teknologi ini sangat diperlukan dalam penanganan rehabilitasi, remediasi dan reklamasi lahan bekas tambang, baik tambang batubara, nikel, kapur, emas maupun semen. Selain itu juga rehabilitasi ekosistem jenis-jenis pohon hutan rawa-gambut yang telah terdegradasi sangat memerlukan input teknologi ini. Manfaat dari aplikasi teknologi mikoriza adalah menstimulasi pertumbuhan semai di persemaian, mempersingkat waktu penyiapan semai di persemaian, meningkatkan kualitas dan kesehatan semai di persemaian, dan persentase jadi semai yang hidup di tingkat semai maupun lapang. Selain itu teknologi ini bermanfaat juga dalam meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekurangan air dan serangan patogen penyebab penyakit akar. Tidak seperti pupuk kimia yang perlu secara rutin diaplikasikan, dan dapat berdampak negatif berupa polusi tanah, air sungai dan udara.

(19)

konservasi jenis pohon lokal dan rehabilitasi di ekosistem hutan rawa gambut.

Penerapan teknologi FMA dapat dilakukan pada kegiatan rehabilitasi lahan pasca tambang di lahan kapur untuk bahan baku semen di Cibinong (Pudjiharta et al., 2007) dan pasca tambang batubara di Tanjung, Kalimantan Selatan (Turjaman et al., 2009). Beberapa jenis tanaman hutan yang berkategori cepat tumbuh telah diinokulasi dengan FMA pada tingkat semai, dan memberikan respons pertumbuhan yang sangat nyata dibandingkan dengan kontrol (tanpa inokulasi). Kemungkinan dilakukan kombinasi inokulasi antar FMA dan bakteri penambat nitrogen untuk kegiatan rehabilitasi di lahan pasca tambang dapat diterapkan secara praktis di persemaian (Barea et al., 2005; Smith and Read, 1997).

Bapak dan ibu yang terhormat,

(20)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Boletus sp. memberikan respons terbaik terhadap S. balangeran setelah 40 bulan di tingkat lapang di Kalimantan Tengah.

Bapak, Ibu, dan hadirin yang kami muliakan,

KHDTK Carita, Haurbentes, Pasir Hantap, Cikole dan Cikampek yang dikelola oleh Badan Litbang Kehutanan merupakan areal koleksi dari jenis-jenis pohon yang bersimbiosis dengan fungi ektomikoriza, seperti dari keluarga Dipterocarpaceae, Pinaceae, Myrtaceae (Eucalyptus spp.) dan Gnetaceae (Gnetum gnemon). Pemanfaatan tubuh buah fungi ektomikoriza yang selama ini dikonsumsi oleh komunitas masyarakat di sekitar KHDTK, merupakan usaha Badan Litbang Kehutanan melakukan konservasi jenis-jenis pohon hutan tropika Indonesia, sekaligus mengkonservasi jenis-jenis fungi mikoriza yang bersimbiosis dengan inangnya.

Teknologi mikoriza merupakan teknologi sederhana yang akan banyak membantu memproduksi semai-semai tanaman hutan skala massal di persemaian. Selanjutnya pengaruh dari input teknologi ini, pertumbuhan semai-semai tanaman hutan dapat dipacu dengan cepat, memperbaiki kondisi tanah, dan mengembalikan fungsi hutan secara bertahap. Teknologi ini memberikan kontribusi yang besar dalam meminimalisasi masalah kompleks sehingga program penanaman pohon milyaran batang mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat luas.

(21)

semai di persemaian. Kedua inokulan ini dapat disimpan enam bulan dalam kondisi temperatur ruangan.

Para hadirin yang kami hormati,

Integrasi antara teknologi mikoriza dengan teknologi lain seperti teknologi stek pucuk (KOFFCO), pemanfaatan limbah sebagai media tanam, teknologi persemaian, seleksi jenis tanaman hutan yang sesuai dengan kondisi setempat, dan sebagainya, sangat diperlukan agar diperoleh produksi semai tanaman hutan yang berkualitas (Subiakto, 2006; Pratiwi, 2006).

Keunggulan teknologi mikoriza ini adalah : (1) teknik produksi massal mikoriza mudah dilaksanakan oleh staf Pemda atau Dinas Kehutanan dengan tingkat pendidikan formal setara dengan SLTA/S1; (2) untuk tahap aplikasi mikoriza di persemaian diperlukan pendidikan formal setara dengan SD; (3) telah disiapkan beberapa jenis mikoriza yang dapat dipergunakan di lokasi hutan rawa-gambut yang berbeda; (4) fungi ECM telah diformulasikan dalam bentuk tablet spora dan kapsul alginate sehingga mudah diaplikasikan di persemaian, FMA diformulasikan dalam bentuk granular (zeolit/liat/pasir); (5) fasilitas produksi inokulan memerlukan laboratorium mini dan sumber daya manusia memadai setingkat S1.

Kendala aplikasi teknologi fungi mikoriza untuk skala luas adalah faktor non-teknis, yang menyangkut masalah kurangnya informasi teknologi ini untuk para pemegang keputusan di tingkat pusat/daerah, preferensi pemegang keputusan yang lebih memilih penggunaan pupuk kimia, pasar dari teknologi mikoriza ini belum terbentuk, perencanaan tata waktu yang belum sesuai antara persiapan inokulan mikoriza, persiapan pembuatan persemaian, kegiatan penanaman, dan lain-lain.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,

(22)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Dengan aplikasi fungi mikoriza yang telah diseleksi dan efektif untuk berbagai pedobioagroklimat hutan tropika Indonesia, maka usaha rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi dapat dipercepat dan tingkat keberhasilan yang tinggi. Penerapan teknologi mikoriza memiliki spesifikasi khusus dan tetap mengikuti kaidah standar operasional yang berlaku yang dimulai pada kegiatan persemaian tanaman hutan di persemaian. Teknologi ini ramah lingkungan dan berdasar pada pengelolaan hutan yang lestari.

Fungi mikoriza di hutan tropika merupakan salah satu rantai penentu dalam konservasi jenis-jenis tanaman hutan yang langka di Indonesia. Peranan teknologi mikoriza dalam kegiatan rehabilitasi pada lahan terdegradasi sangat dibutuhkan dalam produksi semai berkualitas pada tingkat persemaian. Aplikasi teknologi mikoriza untuk membantu pertumbuhan tanaman hutan di lahan yang ekstrim merupakan tindakan alternatif yang tepat sasaran dilihat dari aspek global dan lokal. Keberhasilan rehabilitasi lahan terdegradasi ditentukan oleh perencanaan kegiatan yang dilakukan secara matang dan integratif. Partisipasi aktif setiap institusi/pengguna yang relevan untuk aplikasi dan sosialisasi mikoriza unggul bermanfaat ini dapat mempercepat proses keberhasilan rehabilitasi pada lahan-lahan terdegradasi.

Diseminasi dan kepastian hukum teknologi ini disarankan dapat ditetapkan dalam bentuk Surat Keputusan yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan tentang aturan produksi, aplikasi dan peredaran produk mikoriza yang akan digunakan oleh perusahaaan swasta atau masyarakat luas. Kepastian hukum ini dapat memberikan nilai tambah, keamanan dan kepastian produk ini dapat digunakan sebaik-baiknya oleh stakeholder yang bergerak dalam bidang rehabilitasi lahan hutan yang terdegradasi. Selain itu pembuktian berupa pembuatan demplot-demplot teknologi mikoriza pada jenis-jenis tanaman hutan lokal pada tingkat kabupaten sebagai bahan dasar memberikan kepercayaan pada pengambil keputusan di daerah.

(23)

Hutan Tropika di PuskonseR, sehingga pemanfaatan fungi jenis ini dapat optimal, baik di kalangan peneliti maupun pengguna/praktisi.

V. PENUTUP

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,

Paparan karya ilmiah ini disampaikan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan kenaikan jenjang jabatan fungsional peneliti dari Peneliti Madya menjadi Peneliti Utama di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Isi tulisan ini merupakan rangkuman dan pemikiran penulis selama lebih 20 tahun melaksanakan riset teknologi mikoriza di hutan tropika sebagai input untuk konservasi jenis-jenis pohon langka dan rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan teknologi mikroba di hutan tropika dan para pihak yang terkait langsung dengan penyelamatan dan pengelolaan hutan tropika di Indonesia.

UCAPAN TERIMA KASIH

Bapak, Ibu, dan hadirin yang terhormat,

Perkenankanlah saya menyampaikan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga dengan ijin-Nya dapat melaksanakan presentasi karya ilmiah pada hari ini.

Saya sampaikan rasa terima kasih dan hormat yang sebesar-besarnya kepada bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan dan bapak Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang telah memberi dorongan, kesempatan dan berbagai kemudahan dalam menjalankan tugas sebagai peneliti. Saya ucapan terima kasih kepada Tim TP2I yang telah mengoreksi naskah presentasi ilmiah ini.

(24)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Fakuara (alm.) dan Dr. Yadi Setiadi, di Fakultas Kehutanan IPB yang telah membimbing dan membekali sebelum saya masuk menjadi peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi. Rasa terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya Dr. Frederic Lapeyrie dan Dr. Francis Martin dari Laboratorium Mikrobiologi-INRA, Nancy di Perancis sewaktu menempuh pendidikan S2 (DEA) di University of Nancy di Perancis, yang telah memberikan pengalaman kepada saya bagaimana seharusnya penelitian itu dilakukan. Demikian pula kepada Prof. Keitaro Tawaraya dari Fakultas Pertanian, University of Yamagata di Jepang yang telah membimbing dan mengarahkan kami dalam tata cara penelitian mikoriza yang mengarah untuk penulisan dan publikasi di Jurnal Internasional, dan Prof. Mitsuru Osaki dari University of Hokkaido (Jepang).

Selama bertugas sebagai peneliti di Kelti Mikrobiologi Hutan tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Erdy Santoso, senior saya yang telah membentuk saya sebagai seorang peneliti. Demikian pula kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di Kelti Mikrobiologi Hutan, serta seluruh pegawai di Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi yang telah memberikan bantuan dan kerjasamanya yang sangat berharga.

Rasa terima kasih saya yang paling dalam saya sampaikan kepada ayahanda Memed Sadeli (Alm.) dan terutama kepada ibunda Rochaenah yang dengan susah payah telah mendidik dan membesarkan serta tak henti-hentinya mendoakan saya menjadi seperti sekarang ini. Secara khusus saya sampaikan rasa terima kasih kepada istri saya tercinta Yeni Aeniwati yang dengan sabar mendampingi dan memberikan semangat selama ini. Tak lupa pula kepada kedua ananda tercinta Rifqy Mikoriza dan Rafli Syawal atas segala dukungan dan menjadi sumber inspirasi dan penyemangat dalam menjalankan tugas. Semoga semua pengorbanan dan kebaikan semua pihak merupakan amal kebajikan yang mendapat ridho dan pahala dari Allah SWT. Amien.

(25)

Wabilllahi taufik wal hidayah wasssalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, I., Lee, S.S. 2005. Mycorrhizas and ecosystems processes in tropical rain forest: implications for diversity. In: Burslem D.F.R.P., M.A. Pinard and S.E. Hartley (Eds.). Biotic Interactions in the Tropics: Their role in the maintenance of species diversity. Cambridge University Press. p. 165-203.

Anderson, I.C. 2006. Molecular ecology of ectomycorrhizal fungal communities: New Frontiers. In:J.E. Cooper and J.R. Rao, Molecular Approaches to Soil, Rhizosphere and Plant Microorganism Analysis. CABI. UK. p.183-197.

Andrade, G., Mihara, K.L., Linderman, R.G., Bethlenfalvay, G.J. 1998. Soil aggregation status and rhizobacteria in the mycorrhizosphere. Plant and Soil 202 : 89-96.

Augé, R.M. 2001. Water relations, drought and VA mycorrhizal symbiosis. Mycorrhiza 11:3-42.

Barea, J.M., Werner, D., Azcón-Guilar, C., Azcón, R. 2005. Interaction of Arbuscular Mycorrhiza and Nitrogen-Fixing Symbiosis in Sustainable Agriculture. Eds. D. Werner, W.E. Newton, Nitrogen Fixation in Agriculture, Forestry, Ecology, and the Environment. Springer. 347p.

Brundrett, M., Bougher, N., Dell, B., Grove, T., Malajczuk, N. 1996. Working with mycorrhizas in Forestry and Agriculture. ACIAR Monograph 32, Canberra.

Cairney, J.W.G., Chambers, S.M. 1997. Interaction between Pisolithus tinctorius and its hosts: a review of current knowledge. Mycorrhiza 7: 117-131.

Clarck, D.A. 2007. Detecting tropical forests responses to global climatic changes and atmospheric change: current challenges and a way forward, Biotropica 39 (1): 4-19.

(26)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Ingleby, K., Mason, P.A., Last, F.T., Fleming, L.V. 1990. Identification of ectomycorrhizas. Institute of Terrestrial Ecology Natural Environment Research Council. Edinburgh.p112.

Janos, D.P. 1980 Vesicular-arbuscular mycorrhizae affect lowland tropical rain forest plant growth, Ecology 61 : 151-162.

Jeffries, P., Gianinazzi, S., Perotto, S.,Turnau, K., Barea, J.M. 2003. The contribution of arbuscular mycorrhizal fungi in sustainable maintenance of plant health and soil fertility. Biology and Fertility Soils 37 : 1-16.

Jeffries, P., Barea, J.M. 2001. Arbuscular mycorrhiza – a key component of sustainable plant-soil ecosystem, In : Hock (Ed.) The Mycota IX Fungal Association. Springer-Verlag, Berlin.

Kobayashi, S. 2004. Landscape rehabilitation of degraded tropical forest ecosystems case study of the CIFOR/Japan project in Indonesia and Peru. Forest Ecology and Management 201:13-22.

Kothari, S.K., Marschner H., Romheld, V. 1991. Contribution of the VA mycorrhizal hyphae in acquisition of phosphorus and zinc by maize grown in a calcareous soil. Plant and Soil 131 : 177-185.

Laurance, W.F. 1999. Reflection on the tropical deforestation crisis, Biological Conservation 91:109-117.

Martin, F., Perotto, S., Bonfante, P. 2007. Mycorrhizal fungi: A fungal community at the interface between soil and roots. Eds. R. Pinton, Z. Varanini, P. Nannipieri, The Rhizosphere: Biochemistry and Organic Substances at the Soil-Plant Interface. Second Edition. Taylor & Francis Group, CRC Press. Boca Raton. 201-236p.

Miller, R.M., Jastrow, J.D. 2000. Mycorrhizal fungi in soil structure, In: Y.Kapulnik and D.D. Douds, Jr. (Eds.), Arbuscular mycorrhizas: Physiology and Fuction, Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, the Netherlands 3-18 pp.

(27)

Page, S.E., Siegert, F., Rieley, J.O., Boehm, H.V., Jaya, A., Limin, S. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997. Nature 420: 61-65.

Pinton, R., Varanini, Z., Nannipieri, P. 2007. The Rhizosphere: Biochemistry and organic substances at the soil-plant interface. Second Edition. Taylor & Francis Group, CRC Press. Boca Raton. 447p.

Phillips, V.D. 1998. Peat swamp ecology and sustainable development in Borneo. Biodiversity and Conservation 7: 651-671

Pratiwi. 2006. Konservasi tanah dan air : Pemanfaatan limbah hutan dalam rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. p.81-86.

Pudjiharta, A., Santoso, E., Turjaman, M. 2007. Reclamation of degraded land by revegetation on a cement material mining area. J. Forest and Nature Conservation Research IV : 3.

Rajan, S.K., Reddy, B.J.D., Bagyaraj, D.J. 2000. Screening of arbuscular mycorrhizal fungi for their symbiotic efficiency with Tectona grandis. Forest Ecology and Management 126 : 91-95, 2000.

Schṻβler, A., Schwarzott, D.,Walker, C. 2001. A new fungal Phylum, the Glomeromycota: phylogeny and evolution. Mycological Research 105:1413-1421.

Smith, S.E., Read D.J. 1997. Mycorrhizal Symbiosis, Academic Press, Inc.: San Diego, CA.

Smith, S.E., Smith, F.A., Jakobsen, I. 2004. Functional diversity in arbuscular mycorrhizal (AM) symbioses: the contribution of the mycorrhizal P uptake pathway is not correlated with mycorrhizal responses in growth or total P uptake, New Phytologist 162: 511-524, 2004.

Subiakto, A. 2006. Teknologi perbanyakan vegetatif bibit pohon hutan secara massal. Prosiding ekspose hasil-hasil penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. p. 87-98.

(28)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

Tawaraya, K., Turjaman, M., Ekamawanti, H.A. 2007. Effect of arbuscular mycorrhizal colonization on nitrogen and phosphorus uptake and growth of Aloe vera L. Hort Science 42 (7):1737-1739.

Turjaman, M., Santoso, E., Susanto, A., Gaman, S., Limin, S.H., Tamai, Y., Osaki, M., Tawaraya, K. 2011. Ectomycorrhizal fungi promote growth of Shorea balangeran in degraded peat swamp forests. Wetlands Ecology and Management 19:331-339. Springer.

Turjaman, M., Sitepu, I.R., Irianto, R.S.B., Sentosa, S., Aryanto, Yani, A., Najmulah, Santoso, E. 2010. Utilization of arbuscular mycorrhizal fungi on four Aquilaria species. Info Hutan VII : 2. 165-173-p.

Turjaman, M., Santoso, E., Sitepu, I.R., Tawaraya, K., Purnomo, E., Tambunan, R., Osaki, M. 2009. Mycorrhizal fungi increased early growth of tropical tree seedlings in adverse soil. Journal of Forestry Research 6: 1.

Turjaman, M., Tamai, Y., Sitepu, I.R., Santoso, E., Osaki, M., Tawaraya, K. 2008. Improvement of early growth of two tropical peat-swamp forest tree species Ploiarium alternifolium and Calophyllum hosei by two arbuscular mycorrhizal fungi under greenhouse conditions. New Forests 36: 1-12. Springer.

Turjaman, M., Tawaraya, Sitepu, I.R., Santoso, E. 2008. Pemanfaatan fungi ektomikoriza dan mikoriza arbuskula untuk bioreforestasi dan peningkatan produktivitas lahan gambut. Prosiding Pra Workshop Pengembangan dan Pemanfaatan Konsorsia Mikroba pada Lahan Gambut. Pusat Teknologi Bioindustri. BPPT. Jakarta.

Turjaman, M., Santoso, E., Tawaraya, K. 2007. Arbuscular mycorrhizal fungi increased plant growth and nutrient concentrations of milkwood tropical tree species Alstonia scholaris under greenhouse conditions. J. Forestry Research 4:2.

Turjaman, M., Tamai, Y., Santoso, E., Osaki, M., Tawaraya, K. 2006a. Arbuscular mycorrhizal fungi increased early growth of two non-timber forest product species Dyera polyphylla and Aquilaria filaria under green house conditions. Mycorrhiza 16: 459-464. Springerlink.

(29)

two ectomycorrhizal fungi. Journal of Tropical Forest Science 18 (4) : 166-172.

Turjaman, M., Santoso, E., Sumarna, Y. 2006c. Arbuscular mycorrhizal fungi increased early growth of gaharu wood species Aquilaria malaccensis and A. crassna under greenhouse conditions. Journal of Forestry Research 2 :139-148.

Turjaman, M., Tamai, Y., Segah, H., Limin, S.H., Cha, J.Y., Osaki, M., Tawaraya, K. 2005. Inoculation with the ectomycorrhizal fungi Pisolithus arhizus and Scleroderma sp. improve the early growth of Shorea pinanga nursery seedlings. New Forests 30 : 67-73. Springer.

Turjaman, M., Irianto, R.S.B.I., Sitepu, I.R., Widyati E., Santoso, E. 2003. Mass production of ectomycorrhizal in encapsulated alginat beads for inoculating of seedlings planting stocks in nursery. Proceeding of Rehabilitation and Conservation of Forest Resources. ISBN :979-3145-09-9. Bogor. 9-24 pp.

Turjaman, M., Santoso, E. 2002. Prospek penggunaan mikroba untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi ekosistem hutan rawa gambut. Makalah Penunjang. Simposium Rehabilitasi dan Konservasi Lahan di Indonesia, Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 16 Desember 2002. Bogor.

Turjaman, M., Santoso, E. 2001. Efektivitas tablet, kapsul dan suspensi spora Pisolithus arhizus cendawan ektomikoriza pada semai Eucalyptus pellita. Buletin Penelitian Hutan 629. Bogor. 13 hal.

Turjaman, M., Irianto, R.S.B., Santoso, E. 2001. Teknik inokulasi dan produksi massal cendawan ektomikoriza. Info hutan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.

Turjaman, M., C. Sofyan, I.R. Sitepu, and E. Santoso. 2000. Field testing of exotic vesicular arbuscular mycorrhizae (Glomus aggregatum- Osaka Gaz Co.) on Acacia crassicarpa and Eucalyptus spp. at Rumpin, West Java. JSPS-NRCT/DOST/LIPI/VCC. Joint Seminar on Biotechnology for sustainable utilization of biological resources in the tropics, Novembre 22-24,1999, Penang, Malaysia. ICBiotech-Osaka University. Osaka, Japan.

(30)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

management :Impacts of fire and human activities on forest ecosystems in the tropics. September 20-23, 1999. Tropical forest research centre Mulawarman University and Japan International Cooperation Agency. Samarinda, East Kalimantan.

Turjaman, M., R.S.B. Irianto, and Anjusda. 1999. Mass production of Pisolithus tinctorius tablets for Pinus merkusii planting stock production in Tusam Hutani Lestari Ltd., Aceh Tengah, Indonesia. Eds.: F.A. Smith, K. Kramadibrata, R.D.M., Simanungkalit, N. Sukarno, S.T. Nuhamara. In: Proceedings of International Conference on Mycorrhizas in Sustainable Tropical Agriculture and Forest Ecosystems. R&D Centre for Biology-The Indonesian Institute of Sciences (LIPI), Bogor Agricultural University, and The University of Adelaide, October 27-30, 1997, 149-154p.

(31)

PENGENTASAN KEMISKINAN DAN PELESTARIAN

SUMBERDAYA HUTAN

Ir. Sri Suharti, M.Sc1

I. PENDAHULUAN

Ibu-Bapak sekalian yang saya muliakan,

Dengan luas total kawasan hutan sekitar 133,46 juta ha atau sekitar 70% dari total luas wilayah daratan, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kawasan hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (Republik Demokrasi Kongo). Hutan di Indonesia terdiri dari Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam (19,88 juta ha), Hutan Lindung (31,55 juta ha), Hutan Produksi Terbatas (22,43 juta ha), Hutan Produksi Tetap (36,75 juta ha), Hutan Produksi yang dapat Dikonversi

(22,68 juta ha), dan Taman Buru (167,6 ribu ha) (Kementerian

Kehutanan, 2010).

Hutan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman

hayati yang sangat tinggi yang meliputi: 16% spesies burung, 11%

spesies tumbuhan dunia, 10% spesies mamalia, termasuk mamalia yang paling berharga di dunia, yaitu orangutan, harimau, badak, dan gajah, 7% spesies reptilia, 6% ikan air tawar, dan 6% amfibi (Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001).

Namun karena pengelolaan hutan yang kurang bijak, maka selama 50 tahun terakhir banyak kawasan hutan yang rusak atau bahkan pada beberapa daerah ada yang sudah tidak memiliki tutupan pohon/vegetasi sama sekali sehingga mengakibatkan beberapa spesies flora dan fauna terancam punah.

Di sisi lain, di dalam dan sekitar hutan tinggal masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada hutan dan dikategorikan sebagai penduduk miskin. Bagi mereka, hutan merupakan sumber kehidupan, di mana mereka memanfaatkan

1

(32)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

26

berbagai jenis produk hasil hutan, baik kayu maupun non kayu (Suharti, 1991a). Mereka umumnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil yang terpencar di daerah yang terisolir dan jauh dari jangkauan berbagai fasilitas pelayanan pemerintah. Akibatnya, kerusakan sumberdaya hutan merupakan suatu bencana bagi mereka karena sumber kehidupan mereka terganggu.

Berbagai upaya rehabilitasi dan penanggulangan

kerusakan hutan telah dilakukan oleh pemerintah dengan

melibatkan banyak pihak, tetapi belum memberikan hasil yang

memuaskan. Hal ini terjadi karena pada awalnya kegiatan

rehabilitasi hutan menggunakan pendekatan yang lebih

menekankan aspek teknis dan kurang memperhatikan aspek sosial ekonomi dan kelembagaan, sehingga kurang memberikan manfaat bagi masyarakat. Selain itu, program kegiatan umumnya

bersifat rigid/kaku dengan pendekatan yang top-down serta

umumnya tidak berkesinambungan (Suharti, 2001).

Kenyataan inilah yang kemudian mengilhami lahirnya UU 41 tahun 1999 tentang kehutanan setelah era reformasi digulirkan. Semangatnya, harus ada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan dan adanya akses yang memadai terhadap hutan (Reni, 2008). Kementerian Kehutanan sudah memiliki pola/konsep pemanfaatan sumberdaya hutan secara lestari dengan melibatkan masyarakat di bawah payung besar ”social forestry” atau Perhutanan Sosial yang diatur pada pasal 3 Undang-Undang No. 41/1999 tentang kehutanan. Pemanfaatan sumberdaya hutan melalui pola ini pada dasarnya memberikan peluang bagi masyarakat untuk mengelola, mengusahakan dan mamanfaatkan sumberdaya hutan dengan tujuan agar sumberdaya hutan tetap lestari dan masyarakat sejahtera (Suharti, 2004; Suharti, 2005; Suharti, 2009).

II. KONDISI SUMBERDAYA HUTAN DAN BERBAGAI UPAYA REHABILITASI

Ibu-Bapak sekalian yang saya hormati,

(33)

No. 41 tahun 1999, PP No 28 tahun 1985, PP No 34 tahun 2002 dan beberapa keputusan Menteri Kehutanan serta beberapa keputusan Dirjen PHPA dan Dirjen Pengusahaan Hutan.

Beberapa dekade terakhir, lahan dan hutan Indonesia terdegradasi sangat cepat sebagai akibat dari kegiatan penebangan liar, kebakaran hutan, konversi hutan, perluasan pertanian yang tidak terencana dan konsekuensi dari dimulainya era reformasi serta konflik sosial atas sumberdaya hutan. Data terakhir menunjukkan bahwa, meskipun telah terjadi penurunan secara signifikan, namun deforestasi tetap berlangsung dengan

eskalasi yang cukup tinggi. Pada tahun 1980-an laju deforestasi

dalam kawasan di Indonesia sekitar satu juta ha per tahun, yang kemudian meningkat menjadi sekitar 1,7 juta ha per tahun pada awal tahun 1990-an dan mencapai puncaknya pada kurun waktu 1996 – 2000 dengan tingkat deforestasi sebesar rata-rata 2,83 juta ha per tahun. Sejak tahun 2000-an, laju deforestasi mulai menunjukkan penurunan yaitu sebesar rata-rata 0,78 juta ha per tahun pada periode 2000-2003 dan sebesar 0,76 juta ha per tahun pada periode 2003-2006 (Badan Planologi Kehutanan, 2010).

Lahan dan hutan yang terdegradasi diperkirakan mencapai

96,3 juta ha yang terdiri dari 54,6 juta ha dalam kawasan hutan

serta 41,7 juta ha di luar kawasan hutan (Nawir et al., 2008). Data

terbaru menyebutkan, lahan kritis/terlantar/kurang produktif

jumlahnya diperkirakan mencapai 41 % dari total areal hutan di Indonesia (Verchot et al., 2010 ). Faktor pendorong deforestasi dan degradasi lahan menjadi semakin kompleks dan mencakup berbagai aspek, tetapi secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung adalah kegiatan penebangan hutan, penebangan liar, dan kebakaran hutan. Sedangkan penyebab tidak langsung antara lain: kegagalan pasar, kegagalan kebijakan

dan persoalan sosial-ekonomi dan politik (Nawir et al., 2008).

Ibu-Bapak sekalian yang saya muliakan,

(34)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

28

sekitar 25 juta m3 dan mencapai puncaknya pada tahun 1989 yaitu lebih dari 37 juta m3, kemudian berfluktuasi dengan kecenderungan terus menurun hingga kurang dari 25 juta m3 pada tahun 1998. Penurunan produksi kayu dari hutan alam terus berlanjut hingga kurang dari 10 juta m3 sejak tahun 2004 dan kurang dari 7,5 juta m3 pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik Republik Indonesia, 2010). Penurunan produksi kayu tersebut selaras dengan penyusutan areal HPH yang pada tahun 1993/94 tercatat seluas 61,7 juta ha menyusut menjadi 39,16 juta ha pada

tahun 2000 dan menjadi 25,77 juta ha pada tahun 2009

(Kementerian Kehutanan, 2010).

Demikin pula halnya dengan produksi HHBK seperti gaharu, rotan, getah damar mengalami penurunan secara signifikan. Sebagai contoh, ekspor gaharu pada tahun 1985 mencapai 1.487 ton, tetapi akibat eksploitasi hutan dan pemburuan gaharu yang tidak terkendali menyebabkan beberapa spesies tanaman penghasil gaharu menjadi langka. Oleh karena itu sejak tahun 1995, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) memasukkan A. malaccensis, tanaman penghasil gaharu terbaik ke dalam daftar Appendix II. Sejak saat itu ekspor gaharu dibatasi oleh kuota yaitu sebesar 250 ton/tahun dan mulai tahun 2005, kuota ekspor bahkan diturunkan menjadi 125 ton (Suharti, 2009; Suharti, 2010a; Suharti, 2010b).

(35)

III. KONDISI MASYARAKAT DI DALAM DAN DI SEKITAR KAWASAN HUTAN

Bapak-Ibu sekalian yang saya muliakan,

Jumlah penduduk yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan hingga saat ini belum diketahui secara pasti karena belum tersedia data statistiknya. Meskipun demikian berbagai hasil kajian menyebutkan bahwa terdapat sekitar 48,8 juta jiwa tinggal pada lahan hutan negara dan sekitar 10,2 juta di antaranya termasuk miskin (Brown, 2004). Data lain sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat sekitar 20 juta jiwa yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan hutan dan 6 juta jiwa di antaranya memperoleh sebagian besar penghidupannya dari hutan (Sunderlin et al., 2000). Mereka bertempat tinggal di desa-desa sekitar hutan yang diperkirakan jumlahnya mencapai 19.410 desa (Amafnini, 2010). Kondisi ini menggambarkan bahwa masih cukup banyak penduduk Indonesia yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang sumber kehidupannya sangat tergantung pada hutan.

Kehidupan sehari-hari masyarakat hutan sangat beragam, mulai dari yang masih primitif sampai pada yang relatif modern. Namun hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kehidupan mereka masih sangat bergantung pada sistem pertanian tradisionil seperti berladang/huma dan berkebun serta memanfaatkan hutan dan lahan dengan berbagai cara antara lain memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dan berburu berbagai jenis binatang (Suharti, 1991b; Suharti dan Alrasyid, 1992). Apalagi bagi masyarakat di pelosok NTT (tepatnya di Kabupaten TTU dan TTS) serta di Merauke, Papua yang sumber kehidupan utamanya berasal dari kegiatan berburu dan meramu, maka ketergantungan mereka terhadap keberadaan hutan di sekitarnya sangat tinggi (Suharti et al., 2010).

(36)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

30

diperkirakan berjumlah 6,39 juta orang dengan lahan seluas 12,24 juta ha dan meningkat menjadi 8,65 juta orang dengan lahan seluas 16,44 juta ha pada tahun 2010 (Barchia, 2009).

IV. KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN

Hadirin sekalian yang saya hormati,

Kearifan lokal mengandung tiga unsur penting. Pertama, Nilai religius dan etika sosial yang mendasari praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hayatinya. Kedua, Norma/aturan adat, yang mengatur hubungan antar komunitas dan lingkungan alamnya. Ketiga, Pengetahuan lokal dan keterampilan yang diperoleh dari pengalaman empirik berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun mengelola sumberdaya hayati dan lingkungannya. Kesemuanya ini merupakan satu kesatuan sistem yang melandasi tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik komunitas petani masyarakat adat. Pemanfaatan dan kelestarian sumberdaya hayati ini sangat erat kaitannya dengan kearifan tradisional yang dimiliki oleh komunitas tersebut (Anonim, 2010).

(37)

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Meskipun demikian, pada banyak kasus masyarakat tetap dituding sebagai perusak hutan. Sebagai contoh masyarakat suku Dayak di Kalimantan yang bermukim di dalam atau di pinggir hutan sering dianggap sebagai perambah dan perusak hutan, hanya karena mereka melakukan perladangan berpindah (Djauhari, 2002). Perladangan berpindah merupakan suatu sistem pertanian yang terintegrasi dan berkesinambungan dalam ruang dan waktu. Sistem perladangan ini dilakukan secara berpindah-pindah sebagai ciri utama kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi lahan ladang berikutnya guna mengistirahatkan (bera) lahan perladangan selama periode tertentu sebelum digunakan kembali pada rotasi berikutnya (Arkanudin, 2009; Suharti, 1997; Herman and Suharti, 2011).

Dalam mengelola sumberdaya hutan, orang Dayak secara hakiki pada dasarnya berpangkal dari sistem religi yang menuntun agar senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta. Meskipun apa yang mereka lakukan ada yang tidak logis karena sebagian dari mereka masih menganut paham animisme dan dinamisme, namun secara sosiologis tradisi atau adat istiadat yang dilakukan adalah semata-mata merupakan upaya pelestarian dan pemeliharaan lingkungan (Gintings et al., 2001; Suharti, 2002; Benyamine, 2009).

Uraian di atas tidaklah dimaksudkan untuk mempertahankan diteruskannya sistem perladangan berpindah. Kondisi lingkungan telah berubah, penduduk terus bertambah dan kebutuhan lahan untuk bermacam-macam keperluan juga bertambah, sedangkan perladangan berpindah yang tradisional memerlukan lahan yang cukup luas, sehingga perladangan tidak sesuai lagi dengan kondisi lingkungan saat ini. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya rasionalisasi perladangan ke arah pertanian menetap yang berkelanjutan.

(38)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

32

perhutanan sosial. Namun upaya tersebut berjalan sangat lambat dan dalam skala yang relatif kecil dibanding dengan jumlah peladang yang cukup besar.

Meskipun demikian, upaya pengendalian perladangan tersebut sebagian telah membuahkan hasil yang nyata, khususnya yang terkait dengan pengembangan perkebunan. Sebagai contoh, pembinaan peladang melalui pengembangan proyek “Smallholder Rubber Development Project” (SRDP) dan PIR kelapa sawit di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Perkebunan karet dan kelapa sawit yang dikelola peladang mampu memberikan kontribusi pendapatan yang cukup tinggi yaitu masing-masing Rp 24,82 juta/tahun (72% total pendapatan) dan Rp 27,98 juta/tahun (63% total pendapatan)(Agus et al., 2010).

V. INTEGRASI PROGRAM REHABILITASI LAHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Hadirin sekalian yang saya muliakan,

Belajar dari pengalaman di masa lalu, maka pola pendekatan dan implementasi kegiatan dilaksanakan dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan parapihak termasuk masyarakat lokal yang sebelumnya terabaikan dan terpinggirkan. Pendekatan yang semula bersifat sentralistik, timber oriented, top down berangsur beralih kepada pendekatan yang partisipatif, mengutamakan kelestarian sumberdaya hutan dalam jangka panjang serta kesejahteraan masyarakat yang selama ini berinteraksi sangat erat dengan hutan.

(39)

sebagaimana dimaksud pada PP nomor 6/2007 pasal 83 ayat (1) merupakan kewajiban pemerintah provinsi, kabupaten/kota yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab Kepala KPH. Pemberdayaan masyarakat desa hutan dapat dilakukan melalui berbagai program pemerintah seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan dan Kemitraan.

Pemberdayaan masyarakat melalui Hutan

Kemasyarakatan dapat dilakukan, baik di Hutan Produksi, Hutan Lindung dan Hutan Konservasi, kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional. Sedangkan ketentuan mengenai Hutan Kemasyarakatan pada hutan konservasi diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri (PP 6/2007 pasal 92).

Di lain pihak, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA) mengembangkan inisiatif model desa konservasi (MDK) sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Menteri Kehutanan juga telah mencanangkan program percontohan pengelolaan DAS terpadu melalui pengembangan desa konservasi. Untuk mewujudkan komitmen tersebut, sejak tahun 2007 DitJen PHKA bekerjasama dengan Environmental Services Program (ESP) yang didanai USAID mengembangkan desa konservasi di 16 kawasan konservasi yang terletak di lima provinsi prioritas yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah/DI Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, dan Sumatera Utara. Sampai akhir tahun 2008, tercatat telah terbentuk kelembagaan di 127 MDK sebagai wadah perencanaan, pelaksanaan, dan monitoring evaluasi kegiatan pemberdayaan masyarakat (Departemen Kehutanan, 2008). Beberapa usaha pengembangan ekonomi masyarakat, baik yang dibina oleh Balai TN dan KSDA antara lain adalah usaha TOGA (tanaman obat keluarga), kerajinan tangan, budidaya jamur, peternakan, home industry serta budidaya anggrek (Departemen Kehutanan, 2008).

(40)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

34

Pembangunan Hutan Rakyat dan Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH) (Suharti and Murniati, 1994; Suharti, 1998; Suharti et al., 1999). Rancangan kegiatan tersebut langsung terkait dengan masyarakat dan dilandasi oleh semangat menanggulangi kemiskinan. Namun disadari bahwa rancangan kegiatan tersebut masih belum secara komprehensif mempertimbangkan aspek kemiskinan yang ada pada masyarakat di dalam dan sekitar hutan, karena masih minimnya dukungan data dan informasi terutama terkait dengan jumlah dan penyebaran masyarakat miskin di sekitar dan dalam kawasan hutan, indikator atau kriteria masyarakat miskin, informasi yang menjadi akar kemiskinan, serta profil atau tipologi masyarakat sekitar dan dalam kawasan hutan. Hal ini terjadi karena selama ini Kementerian Kehutanan belum pernah melakukan upaya untuk memetakan potret kemiskinan masyarakat di sekitar dan dalam hutan serta memprediksi seberapa besar penduduk yang terlibat dalam usaha-usaha bidang kehutanan.

Beberapa hasil penelitian yang telah kami laksanakan untuk mengamati implementasi berbagai program rehabilitasi lahan dengan pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI)

Pemerintah mengembangkan program HTI Tumpangsari (TS) dan HTI Transmigrasi (HTI-Trans) untuk memberikan kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Melalui HTI-TS pemegang HTI menyediakan kesempatan berusaha melalui usahatani tumpangsari (agroforestry) di sela-sela tanaman pokok seperti Acacia mangium. Sebagai contoh adalah HTI-TS di kawasan HTI PT Arara Abadi dengan luas sekitar 65 ha dengan luasan rata-rata 0,89 ha per petani. Kegiatan tersebut mampu menghasilkan kontribusi pendapatan rata-rata sekitar Rp 2 juta selama satu sampai dua tahun kegiatan tumpangsari (Suharti dan Widiarti, 2005).

(41)

saja. Selain itu, program tumpangsari yang dikembangkan perusahaan skalanya juga masih sangat kecil dibandingkan jumlah masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar kawasan HTI Gintings and Suharti, 1998).

2. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)

Pengelolaan hutan bersama masyarakat umumnya dilakukan Perum Perhutani pada berbagai Kesatuan Pemangku Hutan (KPH). Kegiatan PHBM ada yang sebatas berbagi ruang dan waktu untuk masyarakat melakukan kegiatan tumpangsari. Namun ada pula yang sudah secara komprehensif memberi kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan hutan sejak perencanaan sampai panen (cost and benefit sharing). Pada kegiatan tumpangsari, jenis tanaman yang diusahakan masyarakat sangat beragam yang meliputi tanaman pangan, sayuran, tanaman obat-obatan dan tanaman perkebunan seperti kopi dan vanili.

Hasil penelitian di daerah Sumedang, Cianjur dan Sukabumi menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan hutan dengan pola tumpangsari dengan berbagai jenis tanaman pertanian dengan luas garapan 0,75-2,16 ha, mampu menghasilkan pendapatan bersih berkisar antara Rp 1,9 juta - Rp 6,67 juta per kepala keluarga per tahun (Suharti, 2007). Sementara itu hasil penelitian pengembangan PHBM di daerah Interface di Parung Panjang, Bogor menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat meningkat sebesar 27% dari kegiatan usahatani tanaman pangan di antara tanaman Acacia mangium dan budidaya tanaman rambutan dan mangga di sela-sela tanaman pokok (Suharti, 2008). Sementara itu hasil analisis finansial budidaya vanili di bawah tegakan hutan di Desa Padasari wilayah KPH Sumedang dengan tanaman inang gamal (Glyricidia maculata), dadap cangkring (Erythrina fulusca Lour) dan lamtoro (Leucaena leucocephala) menunjukkan vanili sangat layak dibudidayakan dengan nilai B/C ratio tahunan lebih dari satu (Suharti, 2006).

(42)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

36

masyarakat masih rendah dan Perhutani masih mendominasi pelaksanaan kegiatan dan berperan sebagai price taker.

3. Pengembangan Aneka Usaha Kehutanan (AUK) oleh Masyarakat

Pola pemanfaatan lahan dengan aneka usaha kehutanan (AUK) diarahkan pada pengembangan komoditi hasil hutan bukan kayu seperti wanatani, wanafarma, tanaman penghasil buah dan getah, tanaman penghasil minyak atsiri serta hutan cadangan pangan (Direktorat Bina Usaha Perhutanan Rakyat, 2002). Pengembangan komoditi AUK dapat dilakukan pada berbagai kawasan hutan, baik hutan produksi, hutan lindung maupun kawasan konservasi. Pengembangan dilakukan dengan cara tidak merombak hutan melainkan mengupayakan optimalisasi ruang tumbuh melalui perbaikan struktur dan komposisi hutan. Pengelolaannya berorientasi pada peningkatan produktivitas dengan memperhatikan tiga azas yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. Teknik penanaman dilakukan dengan pola agroforestry dengan komoditi HHBK yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga peluang pengembangannya sangat besar bagi peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan devisa negara.

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengaturan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, sebagian urusan kehutanan antara lain pengembangan usaha perhutanan rakyat termasuk pengembangan AUK diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

(43)

komoditi lada dan kapolaga yang telah diujicobakan di areal KHDTK Carita dengan rata-rata luas garapan 0,1 - 1 ha memberikan kontribusi sebesar 23 % terhadap pendapatan total masyarakat (Suharti, 2010b; Suharti, 2011a).

4. Program Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)

Program PMDH atau dulu dikenal dengan program HPH Bina Desa merupakan rekayasa sosial kemasyarakatan yang diwajibkan bagi seluruh pemegang HPH dan HPHTI sebagai realisasi dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 691/Kpts-II/1991 yang kemudian direvisi menjadi SK No. 69/Kpts-II/1995 tentang peranan pemegang HPH dalam pembinaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Kewajiban tersebut sifatnya mengikat dan sangat menentukan kelangsungan kegiatan usaha para pemegang HPH dan HPHTI. Setiap pemegang HPH/HPHTI mempunyai kewajiban untuk mengembangkan paling tidak dua desa binaan setiap tahunnya dengan ketentuan bahwa setelah 20 tahun atau setelah jangka waktu hak pengusahaan hutan berakhir seluruh desa di dalam areal kerjanya dapat terbina seluruhnya.

Dalam pelaksanaannya, pengembangan program PMDH menghadapi berbagai kendala, baik pada tahap persiapan/ perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan. Hal ini antara lain disebabkan secara umum pelaksanaan program bersifat sentralistik dengan pendekatan yang bersifat “top down”. Dengan pendekatan yang seperti ini maka tujuan utama kegiatan PMDH yaitu menciptakan masyarakat yang sejahtera, mandiri dan sadar lingkungan agak sulit dicapai. Permasalahan tersebut sebenarnya telah diantisipasi pemerintah antara lain dengan persyaratan penyusunan studi diagnostik sebelum kegiatan bina desa dimulai. Namun sangat disayangkan validitas studi ini masih harus dipertanyakan mengingat metodologi dan substansi di dalamnya tidak mendeskripsikan realita masyarakat binaan dan problematika mereka (Haba, 1996; Lewoleba, 1997).

Ibu dan Bapak sekalian yang saya hormati,

(44)

Orasi

KARYA ILM IAH P3KR, 2013

38

pengelolaan hutan. Namun pada kenyataannya hambatan dan kendala yang dihadapi pada tatanan pelaksanaan/implementasi sering begitu kompleks. Kendala, baik teknis maupun nonteknis tersebut pada banyak kasus mengakibatkan upaya konservasi sumberdaya hutan sebagai basis kegiatan berakhir dengan kekecewaan semua pihak.

Selain itu, program kegiatan yang digulirkan pemerintah tersebut umumnya berbentuk proyek dengan iming-iming insentif berupa materi yang tentu saja sangat menarik masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Namun seperti pada umumnya proyek, rentang waktu pelaksanaannya biasanya bersifat sementara/short term dan hanya mencoba mengejar target kuantitas dan bukan kualitas serta kurang memperhitungkan dampak setelah proyek berakhir. Sebagai akibatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan tersebut juga berada pada level yang paling rendah (partisipasi partial/pasif). Masyarakat tidak terdorong dan terlatih untuk memiliki inisiatif serta kreatif menghadapi berbagai perubahan yang terjadi. Pada saat program/proyek kegiatan terhenti, masyarakat yang terlibat menjadi kehilangan pegangan, karena selama ini yang diberikan pemerintah adalah “umpan” dan bukan “kail”. Pada saat sudah tidak ada lagi “umpan” yang diberikan, masyarakat pun berbondong-bondong meninggalkan kegiatan tersebut. Akibat selanjutya program yang semula begitu populer dipromosikan pemerintah tinggal menjadi suatu “episode” singkat dari perjalanan upaya pemerintah memecahkan masalah degradasi hutan (Suharti, 2002).

VI. ARAH DAN STRATEGI PEMANFAATAN SUMBERDAYA HUTAN KE DEPAN

Ibu-Bapak sekalian yang saya muliakan,

Gambar

Gambar 1. Strategi pengembangan daerah penyangga

Referensi

Dokumen terkait

Artinya bahwa rata-rata kinerja keuangan Bank BCA pada tahun 2017-2018 untuk menghasilkan laba dari kegiatan usaha murni atau disebut juga sebagai

Kegiatan pengabdian ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dengan memanfaatkan program Mendeley untuk secara otomatis menghasilkan kutipan dan daftar pustaka saat

Kegiatan pelayanan jasa teknis menghasilkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pada tahun 2021, target penerimaan PNBP Balai Besar Pulp dan Kertas sebesar Rp. Capaian penerimaan

1) Rata-rata keseimbangan Produk Domestik Bruto dan tingkat bunga di Indonesia mulai tahun 1970 sampai dengan 2005 adalah pada tingkat bunga sebesar 11,29 % dan Pendapatan

Sedangkan yang minoritas adalah 8% atau 2 homestay yang menghasilkan pendapatan Rp 3.000.000-Rp 5.000.000 Kegiatan sosialiasi tersebut di buka oleh Kepala Desa Tanjung Jaya, Bapak