• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pelaksanaan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB (1)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Perpajakan

Dosen Pengampu:

Neneng Hartati. S.E., M.M

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Muamalah/VI/HPS-B

Idah Nurnaeni 1133020091 Imas Nurul Fuadiah 1133020096

Ismat Fauzi 1133020

PROGRAM STUDI MUAMALAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat

beserta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam yakni Nabi Besar Muhammad SAW. Tak lupa juga kepada para thabi’in yang senantiasa mengikuti ajaran-Nya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam pembelajaran mata kuliah perpajakan pada jurusan Muamalah Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Kami selaku penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan dalam penyajian materi-materi pembahasan, seperti kata pepatah “tak ada gading yang tak retak”. Oleh karena itu, kritik dan saran pembaca yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ini di masa yang akan datang.

Bandung, Mei 2016

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 1

A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ... 1

B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan ... 1

C. Subjek dan Wajib Pajak ... 4

D. Tarif Pajak ... 5

E. Dasar Pengenaan Pajak ... 6

F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ... 7

G. Dasar Perhitungan Pajak ... 8

H. Cara Menghitung Pajak ... 9

I. Rumusan Perhitungan Pajak ... 10

J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang ... 10

K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) ... 10

BAB III PEMBAHASAN ... 16

A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah ... 16

B. Tinjauan Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia ... 17

C. Analisis Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi dan Banguna di Indonesia ... 25

BAB IV PENUTUP ... 32

A. Simpulan ... 32

(4)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Pajak merupakan suatu iuran wajib bagi wajib pajak yang dipungut oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang. Adanya pajak dapat diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pajak ini sifatnya tidak dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Dalam hubungannya dengan adanya suatu wilayah dipermukaan bumi dan segala sesuatu yang bernilai diatasnya, dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus memiliki aturan yang jelas. Peraturan yang berkaitan dengan pajak ini diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 1985 yang telah diubah dengan adanya undang-undang No.12 tahun 1994. Dengan adanya peraturan ini diharapkan adanya pemungutan pajak yang berkaitan dengan bumi dan bangunan dapat dilakukan sesuai dengan asas-asas yang ada.

Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per

wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan yang di anut di Indonesia?

(5)

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia.1

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan undang-undang No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi atau tanah dan atau bangunan. Sementara itu keadaan Subjek

(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Asas Pajak Bumi dan Bangunan:

1. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan

2. Adanya kepastian hukum 3. Mudah dimengerti dan adil 4. Menghindari pajak berganda

B. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

1. Yang menjadi objek pajak adalah bumi dan atau bangunan

2. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang.

Termasuk dalam pengertian bangunan adalah:

1

(6)

a. Jalan lingkunan dalam satu kesatuan dengan kompleks bangunan. b. Jalan tol.

c. Kolam Renang. d. Pagar Mewah. e. Tempat olah raga.

f. Galangan Kapal, dermaga g. Taman mewah

h. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak.

i. Fasilitas lain yang memberikan manfaat

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.2

Adakalanya orang atau badan memiliki rumah yang ada di atas tanah orang lain, sehingga pemillik rumah terpisah dari pemilik tanah. Undang-undang PBB memungkinkan orang yang memiliki rumah diatas tanah orang lain dikenakan pajak tersendeiri terlepas dari pajak yang dikenakan dianut asas pemisahan horisontal (horizontale sheiding) antara pemilik tanah dan pemilik rumah yang ada diats tanah yang bersangkutan. Asas ini seberya tidak sama dengan undang-undang Pokok Agraria maka ada baiknya bahwa hal ini ditegaskan dalam undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan. Masalah ini menjadi aktuil pada masa bertingkat yang masing-masing terikat dimiliki oleh orang lain.3

Objek pajak yang tidak dikenakan PBB, pasal 3 UU PBB menentukan bahwa tidak dikenakan pajak adalah :

a. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dan ridak

untuk keuntungan antara lain,

b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan pubakala, atau yang sejenis dengan itu.

2 http://www.pajak.go.id/content/seri-pbb-ketentuan-umum-pajak-bumi-dan-bangunan-pbb 3

(7)

c. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak

d. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsultan berdasarkan asas perlakuan timbal balik

e. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.

Objek pajak yang digunakan untuk kepentingan negara diatur lebih

lanjut oleh peraturan pemerintah. Objek pajak tersebut dimiliki atau dikuasai atau digunakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaan merupakan pendapatan daerah yang antara lain digunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga diminati oleh pemerintah pusat ikut membiayai fasilitas tersebut dengan membayar Pajak Bumi dan Bangunan.

Besarnya nilai jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-tingginya Rp 12.000.000.00 untuk setiap wajib pajak. Apabila seorang wajib pajak mempunyai beberapa objek pajak, maka yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.4

C. Subjek pajak

1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas

bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.

4

(8)

3. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.

Hal ini berarti memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menentukan subjek wajib pajak, apabila suatu objek pajak belum jelas wajib pajaknya.

4. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jendral Pajak

bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.

5. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib dalam no.4 disetujui, maka Direktur Jendral Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib pajak sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

6. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jendral Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.

7. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui.

Apabila Direktur Jendral Pajak tidak memberikan keputusan dalam waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya keterangan dari wajib pajak, maka ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.5

D. Tarif pajak

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.6 Tarif PBB untuk pedesaan dan perkotaan diturunkan dari 0,5% terhadap nilai jual objek pajak (NJOP) menjadi paling tinggi 0,3% dari NJOP. Perubahan tarif

5 Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset, 2013. Hlm. 336 6

(9)

PBB pedesaan dan perkotaan itu ditetapkan dalam UU No.28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) yang selesai diamandemen pada tanggal 15 September 2009.

Langkah ini diharapkan dapat memperluas basis pemungutan PBB kepada pemerintah kabupaten atau kota setelah 31 Desember 2013.7

1. Tahun Pajak, Saat, Dan Tempat Yang Menentukan Pajak Terutang a. Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim. Jangka

waktu satu tahun takwim adalah dari 1 Januari sampai dengan 31

Desember.

b. Saat yang menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari.

Contoh :

a. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 2005 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005, yaitu keadaan sebelum keadaan terbakar.

b. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2005 berupa sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 20 Agustus 2005 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2005 tetap dikenakan berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2005. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 2006. 2. Tempat pajak yang terutang :

a. Untuk daerah Jakarta, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten atau Kota. Tempat

pajak yang terutang untuk Batam, di wilayah Provinsi Riau

E. Dasar Pengenaan Pajak

1. Dasar pengenalan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

7

(10)

2. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat.

3. Dasar penghitungan pajak adalah yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). 4. Besarnya persentase ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan

memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Pada dasarnya penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah tiga tahun sekali. Namun demikian untuk daerah tertentu yang karena perkembangan pembangunan mengakibatkan kenaikan NJOP cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali.

Dalam menetapkan nilai jual, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama menteri keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota (pemerintah daerah) setempat serta memperhatikan asas self assessment. Yang dimaksud adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya.8

Contoh :

a. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000,00. Persentase misalnya 20%, maka besarnya= 20% x Rp2.000.000,00 = Rp.400.000,00.

b. Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp2.000.000.000,00. Persentase misalnya 40%, maka besarnya 40% x Rp2.000.000.000,00 = Rp800.000.000,00.

Untuk perekonomian sekarang ini, terutama untuk tidak terlalu

membebani wajib pajak di daerah pesesaan, tetapi dengan tetap memperhatikan penerimaan, khususnya bagi Pemerintahan Daerah, makan telah ditetapkan besarnya persentase untuk menentukan besarnya NJKP, yaitu:

8

(11)

a. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari NJOP untuk: 1) Objek Pajak perkebunan.

2) Objek Pajak kehutanan.

3) Objek Pajak lainnya, yang wajib pajaknya perorangan dengan NJOP atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

b. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari NJOP untuk : 1) Objek Pajak pertambangan.

2) Objek Pajak lainnya yang NJOP-nya kurang dari Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

F. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan

UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.

1. KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.

2. KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.

3. KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara

Penetapan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.

5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak

(12)

g. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan Real Estate.

G. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah9 :

1. Objek pajak perkebunan adalah 40%

2. Objek pajak kehutanan adalah 40% 3. Objek pajak pertambangan adalah 20%

4. Apabila NJOPnya < Rp. 1000.000.000,- adalah 40% 5. Apabila NJOPnya > Rp. 1000.000.000,- adalah 20%

H. Cara Menghitung Pajak

Untuk menghitungbesarnya pajak bumi dn Bangunan (PBB) Yang harus dibayar maka harus diketahui lebih dahulu kelas dari tanah (bumi) dan/atau bangunan yang menjadi obyek PBB sehigga bisa dihitung NJOP PBB. Penentuan klasifikasi dari bumi dan bangunan didasakan pada keputusan Menteri keuangan dan untuk peraturan yang terbari adalah peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 tentang klasifikasi dan penetapan Nilai Jual Obyek Pajak sebagaimana Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan, yang menggantikan keputusan Menteri Kuangan Nomor 523/KMK.04/1998.10

Contoh :

Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp12.000.000,00,

maka besarnya pajak yang terutang adalah :

PBB = 0,5% x 20% x (Rp20.000.000,00 - Rp12.000.000,00) = 0,001 x Rp8.000.000,00

9

http://www.pajak.go.id/sites/default/files/BookletPBB.pdf 10

(13)

= Rp8.000,00

I. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Rumus perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP

a. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi dan Bangunan

= 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP) = 0,2% x (NJOP – NJOPTKP)

b. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya Pajak Bumi dan Bangunan

= 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP) = 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)

J. Tahun pajak, saat, dan tempat yang menentukan pajak terutang

1. Tahun pajak adalah jangka waktu satu tahun takwim. Jangka waktu satu tahun takwim adalah dari 1 januari sampai dengan 31 desember. 2. Saat menentukan pajak yang terutang adalah menurut keadaan objek

pajak pada tanggal 1 januari. 3. Tempat pajak yang terutang:

a. Untuk daerah Jakarata, di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. b. Untuk daerah lainnya, di Wilayah Kabupaten atau Kota.

Tempat pajak yang terutang untuk Batam, di Wilayah Propinsi Riau.

K. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Surat Pemberitahuan Pajak

Terutang (SPPT), dan Surat Ketetapan Pajak (SKP)

1. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP)

(14)

dasar untuk menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang.11

Hak Wajib Pajak

a. Memperoleh formulir SPOP secara gratis pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau tempat lain yang ditunjuk.

b. Memperoleh penjelasan, keterangan tentang tata cara pengisian maupun penyampaian kembali SPOP pada KPP atau KP2KP.

c. Memperoleh tanda terima pengembalian SPOP dari KPP, atau KP2KP.

d. Memperbaiki/mengisi ulang SPOP apabila terjadi kesalahan dalam pengisian dengan melampirkan foto kopi bukti yang sah (sertifikat tanah, akta jual beli tanah, dan lain-lain).

e. Menunjuk orang/pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Pajak dengan surat kuasa khusus bermeterai, sebagai kuasa Wajib Pajak untuk mengisi dan menandatangani SPOP.

f. Mengajukan permohonan tertulis mengenai penundaan penyampaian SPOP sebelum batas waktu dilampaui dengan menyebutkan alasan-alasan yang sah.

Kewajiban Wajib Pajak

a. Mendaftarkan Objek Pajak dengan cara mengisi SPOP. b. Mengisi SPOP dengan jelas, benar, dan lengkap:

1) Jelas berarti dapat dibaca sehingga tidak menimbulkan salah tafsir;

2) Benar berarti data yang diisi sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;

3) Lengkap berarti terisi semua dan ditandatangani serta dilampiri surat kuasa khusus bagi yang dikuasakan.

11

(15)

c. Menyampaikan kembali SPOP yang telah diisi WP ke KPP Pratama atau KP2KP setempat selambat-lambatnya 30 hari setelah formulir SPOP diterima.

d. Melaporkan perubahan data Objek Pajak/WP ke KPP Pratama atau KP2KP setempat dengan cara mengisi SPOP sebagai perbaikan/pembetulan SPOP sebelumnya.

Sanksi

a. Sanksi Administrasi

1) Dalam hal WP tidak menyampaikan kembali SPOP pada waktunya dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran, maka akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari PBB yang terutang. 2) Apabila pengisian SPOP setelah diteliti atau diperiksa ternyata

tidak benar (lebih kecil), maka akan diterbitkan SKP dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 25% dari selisih besarnya PBB yang terutang.

b. Sanksi Pidana

1) Barang siapa karena kealpaannya tidak mengembalikan SPOP atau mengembalikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang; 2) Barang siapa karena dengan sengaja:

a) tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada

Direktorat Jenderal Pajak;

(16)

c) memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;

d) tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;

e) tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan; sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara

selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali

2. Surat Pemberitahuan Terutang (SPPT)

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) adalah Surat Keputusan Kepala KPP mengenai pajak terutang yang harus dibayar dalam 1 (satu) tahun pajak.12

Hak Wajib Pajak

a. Menerima SPPT PBB untuk setiap tahun pajak.

b. Mendapatkan penjelasan berkaitan dengan ketetapan PBB dalam hal Wajib Pajak meminta.

c. Mengajukan keberatan dan/atau pengurangan.

d. Mendapatkan Surat Tanda Terima Setoran (STTS) PBB dari Bank/Kantor Pos dan Giro Tempat Pembayaran PBB yang tercantum pada SPPT, atau

e. Mendapatkan Resi/struk ATM/bukti pembayaran PBB lainnya (sebagai bukti pelunasan pembayaran PBB yang sah sebagai pengganti STTS) dalam hal pembayaran PBB dilakukan melalui

fasilitas ATM/fasilitas perbankan elektronik lainnya, atau

f. Mendapatkan Tanda Terima Sementara (TTS) dari petugas pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi dalam hal pembayaran PBB dilakukan melalui petugas pemungut PBB.

(17)

Kewajiban Wajib Pajak

a. Mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dengan jelas, benar dan lengkap, dan menyampaikan ke KPP Pratama/KP2KP setempat, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.

b. Menandatangani bukti tanda terima SPPT dan mengirimkannya kembali kepada Lurah/Kepala Desa/Dinas Pendapatan Daerah/KP2KP untuk diteruskan ke KPP Pratama yang

menerbitkan SPPT.

c. Melunasi PBB pada Tempat Pembayaran PBB yang telah ditentukan.

Cara Mendapatkan SPPT

a. Mengambil sendiri di Kantor Kelurahan/Kepala Desa atau di KPP Pratama/ KPPBB tempat Objek Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditunjuk.

b. Dalam rangka pelayanan, SPPT dapat dikirim melalui Kantor Pos dan Giro atau diantarkan oleh aparat Kelurahan/Desa.

c. Wajib Pajak dapat menggunakan fasilitas Kring Pajak (500-200) yang merupakan layanan pulsa lokal dari Fixed Phone/PSTN.

3. Surat Ketetapan Pajak (SKP)

Surat Ketetapan Pajak (SKP) adalah Surat Keputusan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang memberitahukan besarnya pajak yang terutang termasuk denda administrasi, kepada Wajib Pajak (WP).

Dasar Penerbitan SKP

SKP diterbitkan apabila :

a. Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) :

(18)

2) tidak disampaikan kembali dalam jangka waktu 30 hari dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

b. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh WP;

Jumlah Pajak Terutang Dalam SKP

a. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang disebabkan SPOP

tidak diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta tidak ditandatangani oleh WP atau pengembalian SPOP lewat 30 hari setelah diterima WP, adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% dihitung dari pokok pajak.

b. Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang didasarkan atas hasil pemeriksaan atau keterangan lain adalah selisih pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak terutang yang dihitung berdasarkan SPOP ditambah denda administrasi sebesar 25 % dari selisih pajak yang terutang.

Cara Penyampaian SKP

SKP disampaikan kepada WP melalui :

a. Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan.

b. Kantor Pos.

c. Pemerintah Daerah (dalam hal ini Aparat Desa atau Kelurahan).

Batas Waktu Pelunasan SKP

(19)

16

BAB III

PEMBAHASAN

A. Pajak Bumi dan Bangunan Menurut Syariah

PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan.

Keadaan subjek (siapa yang membayar ) tidak ikut menentukan besarnya pajak.13

Sedangkan objek PBB adalah “Bumi dan /atau Bangunan”

Bumi: Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Contoh: sawah, ladang, kebun, tanah pekarangan, tambang, dan lain-lain.

Bangunan: Kontruksi teknik yang dinamakan atau diletakan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah, republik Indonesia. Contoh rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai dan lain-lain.

Objek yang dikecualikan adalah objek yang;

1. Digunakan untuk semata-mata melayani kepentingan umum dibidang ibadah sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan memperoleh keuntungan seperti masjid, gereja, rumah sakit, pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi dan lain-lain.

2. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala.

3. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata taman nasional dan lain-lain.

4. Dimiliki oleh perwakilan diplomatik bersaarkan asas timbal balik dan organisasi internsional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata: 1. Mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau

13

(20)

2. Memeperoleh manfaat atas bumi, dan atau 3. Memiliki, menguasai atas bangunan dan atau 4. Memeperoleh manfaat atas bangunann

Jika dilihat dari sisi subjeknya, PBB yang dianut oleh Negara Indonesia ini jelas bertentangan dengan syariat, karena kaum muslimin ikut dibebankan atas tanah dan atau bangunan yang mereka miliki, tempati, atau manfaatkan. Kalau diidentikan dengan kharj, maka indonesia bukan lah tanah kharajjiyah, yang dilakukan dengan peperangan, sehingga warga muslim atas tanah itu

tidak wajib membayar kharaj. Khalifah Umar Ibn khatab pun pernah melarang pengenaan kharaj terhadap kaum mulsim, dan memasukkan penerimaan hsil tanah sebgai zakat.

Dengan kata lain tidak ditemukan suatu dalil yang bisa dijadikan rujukan, mengapa kaum Muslim diwajibkan membayar pajak atas tanah dan/ bangunan yang merka miliki, tempati atau manfaatkan. Semua potensi pajak yang ada pada tanah dan atau bangunan sudah tercakup dalam zakat, baik hasil berupa mareri berupa bauahnya, maupun berupa jasa hasil penyewaan lahan.

B. Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Pajak Bumi Dan Bangunan Di

Indonesia

1. Konsep kepemilikan Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam

(21)

Artinya: Allah-lah yang Telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, Kemudian dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan dia Telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan dia Telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai. (Q.S Ibrahim : ayat 32)

Seluruh isi alam semesta ini adalah milik Allah SWT dan manusia dapat memanfaatkan yang ada di alam ini untuk memenuhi kelangsunga hidup mereka Islam menganggap hak kepemilikan adalah pembemberian Allah SWT yang bertujuan untuk kemaslahatan seluruh umat. Kekausaan manusia untuk memikul suatu tanggung jawab berasal dari perannya sebagai kahalifah di muka bumi. Sebagaimana firkman Allah dalam Q.S Al-baqarah ayat 30 yang berbunyi:

Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al-baqarah: 30)

(22)

menggunakan atau mengambil keuntungan dari suatu badan yang berada dlam kekusaan tanpa merugikan orang lain.

Berikut adalah pemaparan mengenai konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam:

a. Kepemilikian Pribadi (Private Ownership)

Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya, menggunkan secara Produktif, memindahkannya dan melindunginya dari pemborosan. Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah batasan.

Ia tidak boleh menggunakannya secara berhambur-hambur, juga tidak bolehmenggunakannya semena-mena (dengan buruk) dan dilarang untuk tujuan bermewah-mewahan. Salin itu, setiap individu tidak boleh menggunakan hak miliknya, yang biasa bisa menimbulkan kerugian bagi orang lain.

b. Kepemilikan Publik (public ownership)

Kepemilikan publik atau disebut juga hak milik sosial baisanya diperlukan untuk kepentingan sosial. Contohnya dari pemilikan bersama adalah anugrah alam. Seperti air, rumput dan api, yang secara khusus disebut dalam hadis Rosulullah SAW. Semua itu pemberian dari Allah SWT dan manusia tidak meimiliki kesulitan apapun untuk menggunakannya. Jika ada individu yang menguasannya dan memilikinya secara pribadi, hal itu bisa mengakibatkan kesulitan dan kesusahan bagi masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, air, rumput dan api hanya contoh kecil saja, akan tetapi masih banyak objek yang lain yang meimiliki kesamaan karakteristik dengannya. Ia manganjurkan seluruh bahan mineral yang dihasilkan oleh tanah bebas (tanah negara) menjadi milik

kolektif, seperti emas, perak, minyak dan sebagainya. c. Kepemilikan Negara (State Ownership)

(23)

menyelenggarakan pendidikan, regenerasi moral, memelihara keadailan, dan secara umum melindungi seluruh kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyah, sumber utama kekayaan negara adalah zakat, dan ghanimah. Selain itu, negara juga bisa meningkatkan sumber penghasilannya dengan mengenakan pajak, ketika dibutuhkan atau saat kebutuhannya meningkat. Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan publik (umum). Kepala negara hanya sebagai pemegang amanah, sehingga merupakan kewajiban

negara untuk mengeluarkannya guna kepentingan publik. Dalam kehidupan ekonomi dewasa ini terdapat perbedaan sudut pandang dan ideologis antara kapitalisme, sosialisme dan sistem ekonomi Islam dalam hal kepemilikan.

Konsep kepemilikan dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep pada sistem kapitalisme maupun sosialisme. Sistem kapitalisme mengedepankan individualisme sehingga memberikan kebebasan sepenuhnya kepada individu untuk memiliki apa saja yang diingankan. Sedangkan sistem sosialisme sebaliknya, mengedepankan kolektivisme. Dimana individu secara langsung tidak memiliki hak kepemilikan karena seluruh alat-alat produksi dimiliki dan dikuasai oleh negera.

Kedua sistem ekonomi di atas berbeda dengan sistem ekonomi Islam dalam hal konsep kepemilikan Islam memandang bahwa setiap orang mempunyai hak penuh untuk dapat memiliki harta kekayaan. Hak milik merupakan salah satu hak primer dalam kehidupan setiap individu agar dapat hidup layak dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memiliki harta mendorong adanya aktivitas ekonomi dalam

masyarakat sehingga keinginan untuk memiliki harta merupakan fitrah manusia.

(24)

hak milik masyarakat terutama masyarakat yang tidak mampu. Sebagaimana yang terdapat dalam QS. Az-Zariyat : 19

 

  



Artinya: Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian. (QS. Az-Zariyat : 19)

Kepemilikan tanah adalah salah satu perkara sosial yang memainkan peranan penting dalam pemikiran manusia, yang menjadi fenomena penting dalam kehidupan manusia sejak ribuan tahun lalu. Pada dasarnya tanah adalah milik negara dalam Islam. Seorang individu mendapatkan hak kepemilikan atas sebidang tanah kecuali berdasarkan usaha yang ia curahkan dalam mengharap dan mengeksplorasinya. Apabila seseorang menghidupkan sebidang tanah mati maka ia akan memiliki hak atas tanah tersebut.

Pendapat lain mengatakan, Islam tidak memiliki kepemilikan pribadi atas tanah kecuali bila individu telah memiliki sebidang tanah sejak sebelum tanah tersebut masuk kepangkuan Islam secara

sukarela atau melalui perjanjian. Menurut Ibnu Taimiyah, penggunaan hak milik itu dimungkinkan sejauh tak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat. Hak kepemilikan pribadi atas tanah

bukanlah hak absolut atas tanah tersebut. Mereka terikat dengan kewajiban untuk terus menggarap dan menyuburkan tanah mereka guna memberikan kontribusi bagi kemajuan masyarakat Islam.

Dalam buku Iqtishaduna karya Muhammad Baqir Ash-Shadr dijelaskan bahwa ada berbagai keadaan yang mendasari status kepemilikan tanah berdasarkan kategorinya, antara lain:

(25)

penaklukan Islam, keadaan tanah-tanah tersebut tidak sama sehingga status kepemilikannya menjadi berbeda, yaitu:

a) Tanah yang digarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan. Tanah tersebu menjadi milik bersama kaum muslim, baik generasi muslim saat penaklukan maupun generasi muslim di masa mendatang.

b) Tanah mati pada saat penaklukan, tanah yang tidak tergarap oleh tangan manusia pada saat penaklukan maka tanah ini

akan menjadi milik imam (negara).

c) Tanah yang subur secara alam pada saat penaklukan, hutan dan tanah subur secara alami mendapat status kepemilikan bersama kaum muslim.

2) Tanah yang Masuk Wilayah Islam Melalui Dakwah

Tanah yang masuk wilayah Islam melalui dakwah adalah setiap tanah yang penduduknya menyambut panggilan Islam tanpa menimbulkan konflik bersenjata, seperti kota Madinah, Indonesia, dan sejumlah wilayah lainnya.

Tanah-tanah hasil dakwah dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

a) Tanah yang digarap oleh para penduduknya dan mereka masuk Islam secara sukarela.

b) Tanah yang subur secara alami seperti hutan serta berupa tanah mati. Tanah yang subur alami menjadi milik negara dan individu boleh mengambil manfaat darinya tetapi tidak dapat menguasainya. Tanah mati juga menjadi milik negara. Akan tetapi apabila ada individu yang menghidupkan (menggarap) maka tanah mati tersebut menjadi miliknya.

(26)

tersebut menjadi milik masyarakat muslim, maka tanah ini menjadi subjek prinsip kepemilikan bersama.

2. Pemungutan Pajak Tanah (Bumi) dalam Ekonomi Islam

Secara sederhana, kharaj berarti pajak tanah. Arti kharaj menurut bahasa dia ambil dari kata “kharaja”, yang artinya mengeluarkan dari tempatnya. Kharaj adalah apa yang dikeluarkan, lawan dari upaya untuk mengeluarkan. Kharaj dapat diartiakan harta yang dikeluarkan oleh

pemilik tanah untuk diberikan kepada negara. Ada yang memeberikan pengertian lain, kharaj adalah apa yang dibayarkan untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil buminya. Beberapa analisis yang lain beranggapan bahwa kharaj adalah 3 macam dari bentuk perpajakan; yaitu pajak bumi, jizyah dan ’Usyr .

Pada masa rosullulah saw, jumlah kharaj yang dibayarkan masih sangat terbatas sehingga tidak diperlukan suaru sistem administrasi yang terperinci. Selama pemerintahan khalifah Umar, wilayah kekuasaan islam semakin luas seiring dengan banyaknya daerah-daerah yang berhasil ditaklukan, baik melalui peperangan maupun secara damai. Sehingga dibutuhkan kebijakan baru untuk diterapkan negara terhadap kepemilikan tanah-tanah yang berhasil ditaklukan tersebut.

Dimasa Umar Bin Khatab, kaum muslimin mendapatkan kemenangan atas Syam, Irak, Dan Mesir serta memperoleh harta rampasan yang sangat banyak. Para pasukan islam meminta agar harta rampasan tersebut dibagi-bagikan. Merujuk pada dasar umum yang ditetapkan rasulullah saw atas tanah Khaibar, Umar membagikan harta yang berupa barang saja sedangakan tanah tidak dibagikan dan

menjadikannya sebagai milik umum umat islam dan diambil kharaj darinya.

Sistem pemungutan kharaj (assesment of kheraj) ada dua macam sistem yaitu sistem wazifah (tetap) dan sistem muqasamah

(27)

Cara pemungutan kharaj yang pertama adalah kharaj tetap (waziyah), yaitu beban pada tanah sebanyak hasil alam atau uang persatuan lahan yang dibayarkan wajib setelah lampau satu tahun. Sistem ini berlaku mulai dari halifah Umar bin Khattab sampai pada amasa daulah Abbasiyah dibwah pemerintahan al-Mahdi. Metode perhitungan wazifah didasaekan pada pengukuran tanah, tanpa memperhitungkan tingkat kesuburan tanah, sistem irigasi dan jenis tanaman.

Metode ini mulai berubah pada masa daulah Bani Abbasiayah. Abu

yusuf berpandangan bahwa sistem misaha atau wazifah ini tidak lagi efesien untuk diterapkan. Dia merujuk pada asaar Umar nin Khattab menerapkan metode ini hanya sebagian besar tanah yang dapat diolah sedangakan seabgian lainnya menganggur. Area yang diolah diklasifikasikan dalam satu kategori dan kharaj juga dikumpulkan dari tanah yang tidak diolah. Atas dasar pertimbangan optimalisasi pemsukan bagi negara dan keadilan sosion ekonomi, maka Abu Yusuf menyampaikan gagasan kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk mengubah sistem Wazifah dengan muqasamah.

Dan yang kedua adalah kharaj perbandingan ( muqasamah) yang ditetapkan berdasarkan porsi hail seperti ½,1/3, 1/5 dari total hasil yang panen yang dipunyit pada setiap kali panen. Abu Ubaid adalah orang yang menemukan sistem baru ini dan kemudian Abu Yusuf mendukung serta menerapkan sistem baru ini. Pada masa daulah abbasiyah, pajak atas tanah mengalami perubahan dari tarif tetap menjadi proporsional, dengan pertimbangan persentase yang ditetepkan oleh negara tidak terlalu tinggi. Abu yusuf merekomendasikan adaptasi dari sistem

muqasamah denganmengenakan presentase dari produksi panen. Yang

sudah ada

(28)

a. Jenis tanah : karena kandungan tanah bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya lebih baik dari tanah yang buruk.

b. Jenis tanaman : ada yang harganya tinggi dan juga ada yang rendah.

c. Pengelolaan tanah : biaya pengelolaan yang tinggi, maka pajak tanah tidak sebesar pajak tanah yang disiram dengan air hujan (biaya rendah).

Kharaj yang ada pada masa pemerintahan Islam, secara umum

sesuai dengan ukuran dan nilai-nilai ilmu modern terhadap sumber pemasukan umum. Jadi Kharaj telah memenuhi syarat-syarat yang urgen dalam ilmu ekonomi untuk mencapai devisa yang bagus. Kharaj adalah pajak yang memperhatikan keadilan dalam penetapannya, demikian juga dalam pengambilannya.

C. Analisa Ekonomi Islam terhadap Pajak Bumi dan Bangunan di

Indonesia

1. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ditinjau dari Ekonomi Islam Dalam ekonomi Islam memang tidak ada rujukan secara ekplisit tentang PBB, yang ada hanya pajak bumi yang dikenal dengan kharaj. Dilihat dari objeknya, baik itu PBB maupun kharaj memiliki objek yang sama, yaitu tanah. Namun, pada PBB objeknya ditambah dengan bangunan. PBB dikenakan kepada seluruh masyarakat yang memilih tanah dan atau bangunan, lain halnya dengan Dihadapi. Oleh karena itu, kondisi objektif mempengaruhi penentuan kebijakan yang harus dijalankan

Dalam memformasikan kebijakan-kebijakan bagi negara-negara

(29)

pajak yang telah dibahas oleh para fuqaha. Situasi telah berubah dan perlu melengkapi sistem pajak dengan menyertakan realitas perubahan terhadap kebutuhan negara berkembang dan perekonomian modern.

Pada masa-masa penaklukan Islam awal, kas negara dapat tercukupi dari seperlima ghanimah (rampasan perang), kharaj, dan lain-lain. adapun pada zaman sekarang sumber pendapatan itu telah tiada. Maka untuk dapat membiayai keperluan umum itu tidak ada jalan lain kecuali mengenakan pajak. Sebagaimana kaidah “sesuatu yang menjadi syarat bagi yang wajib adalah wajib.”

Menurut para pemikir ekonom Islam kontemporer, negara-negara Muslim saat ini harus menutup defisit dengan pajak, yaitu mereformasi sistem perpajakan dan program pengeluaran negera. Selaiin dengan meningkatkan pajak bisa juga melalui ekspansi moneter dan meminjam. Namun dengan melakukan pinjaman kepada negara asing dan lembaga keuangan internasional akan berpotensi membawa kepada riba dan hanya menangguhkan beban sementara waktu yang pada akhirnya akan membebani generasi mendatang karena diwariskan hutang yang berbunga-bunga sehingga meningkatkan pembayaran pajak lebih dipilih dari pada ekspansi moneter.

Menurut Yusuf Qardhawi dalam pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut.

a. Benar-benar harta (dana) itu dibutuhkan dna tidak ada sumber lain. b. Pembagian beban pajak yang adil

c. Pajak hendaknya dipergunakan untuk membiayai kepentingan umat bukan untuk maksiat dan hawa nafsu

d. Persetujuan para ahli dan para cendikia

(30)

 Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisa: 59)

Hasil dari pemungutuan PBB disatukan dengan sumber penerimaan negara lainnya kebijakan di bidang PBB juga diarahkan untuk

meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan. Tanah dan bangunan yang tidak produktif akan berkurang nilai ekonomisnya dibandingkan tanah dan bangunan yang digunakan untuk kegiatan produktif. Kegiatan yang menghasilkan pendapatan tentu akan memberikan keuntungan bagi pemiliknya sehingga ketika dikenakan PBB tidak mengurangi nilai ekonomis tanah tersebut. Dengan demikian secara tidak langsung PBB mendorong masyarakat untuk memproduktifkan tanah dan bangunan yang mereka miliki.

2. Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagai alat Distribusi Kekayaan Secara umum asas kebijakan ekonomi Islam adalah menyangkut distribusi kekayaan. Tujuan Islam dalam bidang ekonomi dan sosial ialah menghindarkan terkumpulnya kekayaan umat ditangan segelintir anggota masyarakat. Oleh Karena itu, Islam mendistribusikan kekayaan itu dan berusaha menghilangkan perbedaan yang menyolok dan pemeretaan kepada seluruh anggota masyarakat.

(31)

penyimpangan dalam distribusi. Hak intervensi itu harus sesuai dengan gagasan keadilan sosial Islam bagi segala zaman dan tempat. Dengan adanya konsep distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidak akan ditemui sebuah perbedaaan tingkat ekonomi, ataupun kesenjangan sosial yang mendalam di antara anggota masyarakat.

Teori distribusi diharapkan dapat mengatasi masalah distribusi pendapatan antara berbagai kelas dalam masyarakat. M. Anas Zarqa mengemukakan beberapa prinsip distribusi dalam ekonomi Islam, yaitu :

a. Pemenuhan kebutuhan bagi semua makhluk hidup.

b. Menimbulkan efek positif bagi pemberi itu sendiri, misalnya zakat, selain dapat membersihkan diri dan harta muzakki juga meningkatkan keimanan dan menumbuhkan kebiasaan berbagi dengan orang lain.

c. Menciptkan kebaikan antara yang kaya dan yang miskin. d. Mengurangi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.

e. Pemanfaatan lebih baik terhadap sumber daya alam dan aset tetap. f. Memberikan harapan pada orang lain melalui pemberian

Pajak merupakan salah satu alat redistribusi kekayaan dalam ekonomi Islam selain zakat, sedekah, wakaf, wasiat dan warisan. Distribusi kekayaan dilakukan sebagai usaha untuk mencegah konsentrasi kekayaan agar tidak beredar pada orang kaya saja. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr Ayat 7

(32)

anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Q.S. Al-Hasy (59):7)

Objek yang dikenakan PBB adalah bumi dan atau bangunan. Bumi atau tanah merupakan salah satu sumber produksi dan bangunan merupakan salah satu jenis kekayaan produktif sehingga kedua merupakan objek dari distribusi kekayaan.

Salah satu cara untuk mendistribusikan kekayaan tersebut adalah dengan memungut pajak dari kekayaan yang dimiliki masyarakat dan hasil dari pajak tersebut digunakan untuk kepentingan masyarakat kembali.

3. Tarif perpajakan yang sesuai dengan keadilan sosial dalam Ekonomi Islam

Tarif perpajakan di Indonesia ada beberapa macam dan sistem tarif yang digunakan dalam pajak dan bangunan (PBB) adalah tarif proporsional. Dimana besarnya presentase yang tetap terhadap berapapun

jumlah yang dikenai pajak sehingga besarnya pajak yang terutang proporsional terhadap besarnya nilai yang dikenai pajak. Besarnya presentase yang digunakan dalam PBB sebesar 0,5%. Apakah adil penggunaan presentase tarif pajak yang sama antara orang yang memiliki tanah luas dengan orang yang hanya memiliki tanah untuk kebutuhan primer?

(33)

Pajak merupakan alat retribusi kekayaan, dimana pajak dengan tarif progresif dimaksudkan untuk mengenakan pajak yang lebih tinggi pada golongan yang mampu, peranan ini sangat penting untuk mengenakan keadilan sosial.

Dalam bukunya Majmuatur Rasa’il, Hasan Al-Bana berpendapat bahwa sestem perpajakan progresif seirama dengan sasaran-sasaran Islam, yaitu keadilan sosial dan distribusi pendapatan yang merata.

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa pembebanan pajak progresif

yang ditentukan oleh negara ialah untuk mengatasi keadaan tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau ekonomi dalam negara tertentu dan dalam keadaan tertentu.

Pada masa Nabi tarif zakat bisa begitu rendah adalah lantaran tuntutan kemaslahatan umum yang harus ditanggung dari dana zakat relatif masih sederhana, jauh dibawah tingkat kebutuhan masyarakat zaman sekarang, seperti kebutuhan untuk membangun jalan tol, kebutuhan jaringan komunikasi dengan satelit, alat transportasi masal, dan lain sebagainya.

Besar kecilnya tarif pajak secara absolut yang harus dibayar oleh masyarakat, Nabi menetapkan berdasarkan berat ringannya tantangan keadilan dan kesejahteraan yang dihadapi sesuai dengan prinsip syariat. Nabi menetapkan tarif antara 2,5% sampai 10%. Namun ada juga satu jenis kekayaan yang dikenakan tarif tinggi 20% karena perolehannya tanpa upaya, yaitu harta karun (rikaz). Artinya, apabila variabel tantangan keadilan dan kemaslahatan yang ditemukan lebih berat pada masyarakat yang lain, seperti dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, tarif yang ditentukan Nai tersebut tidak ada halangan untuk

(34)

mengherankan hingga saat ini masih banyak masyarakat yang menimbun harta kekayaannya dalam nemtuk tanah maupun bangunan (property).

Pajak progresif adalah cara yang terbaik untuk menghilangkan perbedaan kekayaan dan pendapatan yang menyolok di mana kekayaan itu tidak dapat didistribusikan secara merata di antara masyarakat. Oleh karena itu, untuk merubah keadaan demikian harus digunakan pajak bertingkat (progresif) agar jurang perbedaan dapat diperkecil. Hendaklah orang kaya diturunkan setingkat dan orang miskin dinaikkan setingkat

(35)

32

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan di Indonesia masih mengacu pada Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. Dimana objeknya bumi dan bangunan yang berupa sawah, ladang, kebun, pekarangan, tambang, rumah tempat tinggal dll. Baik yang produktif maupun tidak digunakan. Semua itu akan terkena tarif pajak yang berbeda, atau biasa disebut dengan tariff progresif berdasarkan daerah yang di tinggali. Beda halnya dengan Pajak atau kharaj yang diatur di Islam.

Islam megatur pajak (Kharaj) berdasarkan produktifitas suatu tanah, jika tanah tersebut produktif maka pajak akaan berlaku dimanapun tempatnya seperti di perkotaan atau di suatu pedesaan. Semakin besar produktifitas suatu tanah maka tarif pajak akan bertambah. Namun jika pajak yang dianut di Indonesia tanah yang produktif maupun tidak tetap saja harus dibayar hanyasaja di Indonesia yang membedakan tergantung tanah yang ditempati, misalkan tarif tanah yang di perkotaan dengan tanah yang di pedesaan akan berbeda, meskipun tanah yang diperkotaan tidak digunakan maka tetap harus dibayar dengan harga

yang lebih tinggi dibandingkan tanah produktif yang letaknnya di desa.

(36)

33

DAFTAR PUSTAKA

Gushfahmi. 2007. Pajak Menurut Syriah. Jakarta: Rajawali Pers.

Mardiasmo. 2013. Perpajakan, Yogyakarta : CV Andi Offset Mardiasmo. 2008. Perpajakan.Yogyakarta: Andi Yogyakarta

Trisni Suryani dan Tarsis Tarmudji. 2012. Pajak Di Indonesia. Semarang: Graha Ilmu

Wahyudi triyono. 2003.Perpajakan indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Ketentuan umum seri PBB,

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu inovasi teknologi pascapanen mulai dari penentuan umur panen padi yang tepat, sistem dan cara panen dan alat panen, cara dan alat perontok yang digunakan,

Penurunan frekuensi panen bersamaan dengan harga pupuk yang terus meningkat, biaya produksi, kebijakan harga pemerintah yang menetapkan HPP yang terlau rendah sehingga

Adapun dampak ekonomis pemanfaatan hasil yang diinginkan oleh konsorsium CISKA sebagai outcome ini adalah mempercepat dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia,

Penilaian perawat untuk kepala ruang terdapat 60 perawat (60%) menilai kepala ruang dengan kepemimpinan efektif tinggi memiliki penerapan budaya keselamatan tinggi, jika

Hasil rapat gabungan wajib dituangkan dalam risalah yang ditandatangani oleh seluruh anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang hadir dan disampaikan kepada seluruh

Pengetahuan ibu akan perannya dalam penanaman pekerti sejak dini dan pemberian kasih sayang yang wajar atau tidak berlebihan pada diri anak akan membantu anak untuk

Hasil Pengamatan dan Beberapa Prediksi Pergerakan Lateral Tanah di Bagian Permukaan akibat Pemancangan Tiang Diameter 600 mm pada Proyek Kedua .... Hasil Pengamatan dan

Berdasarkan prakiraan beban Sistem dan Kesiapan pembangkit, dalam 1 Minggu kedepan pada Waktu Beban Puncak Malam di Sistem Khatulistiwa diperkirakan mengalami 0