• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepailitan dapat terjadi dengan makin pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan sehingga muncul berbagai macam permasalahan utang piutang yang timbul dalam rangka meningkatkan modal ataupun kinerja perusahaan. Pada dunia bisnis dapat terjadi salah satu pihak tidak dapat melakukan kewajibannya membayar utang-utangnya kepada pihak lain sehingga mengakibatkan terjadi penyitaan atas harta (aset) perusahaan untuk melunasi utang tersebut setelah adanya gugatan oleh pihak yang berpiutang (kreditur) ke pengadilan dalam hal ini sering disebut dengan terjadi pailit terhadap perusahaan (debitur).

Proses kepailitan dimulai dengan adanya suatu permohonan pailit terhadap debitur yang memenuhi syarat, sesuai Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU) yang menyatakan bahwa ”Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih dari krediturnya.”

(2)

Niaga, yang merupakan badan peradilan yang berwenang untuk memproses, memeriksa dan mengadili perkara kepailitan. Apabila permohonan pailit tersebut dikabulkan maka Pengadilan Niaga akan mengeluarkan putusan yang menyatakan debitur tersebut dalam keadaan pailit.

Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 25 UUK dan PKPU menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu pula segala gugatan hukum dengan tujuan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan laporan atau pencocokannya.

(3)

hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitur dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali perbuatan hukum yang dilakukan debitur wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau karena undang-undang.

Akibat hukum lain adalah bila sudah ada putusan pernyataan pailit, maka akan berakibat bahwa segala pelaksanaan pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera debitur. Bahkan penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya dan debitur yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal 31 UUK dan PKPU). Adanya hak retensi yang diatur dalam Pasal 61 UUK dan PKPU yaitu hak kreditur untuk menahan barang-barang kepunyaan debitur hingga bayarnya suatu utang tidak kehilangan hak untuk menahan barang dengan diucapkannya pernyataan pailit.1

Perbuatan melawan hukum titik tolak dasar gugatannya adalah kepentingan pihak tertentu yang sirugikan oleh perbuatan pihak lainnya, meskipun diantara para pihak tidak terdapat suatu hubungan hukum keperdataaan yang bersifat kontraktual (dalam arti kausalitas). Dalam hal ini landasan gugatannya cukup dibuktikan apakah perbuatan pelaku benar telah merugikan pihak lain.

1

(4)

Dengan kata lain, pengajuan gugatan perbuatan melawan hukum semata-mata hanya terorientasi pada akibat yang ditimbulkan yang mengakibatkan pihak lain mengalami kerugian.

Kepailitan berakibat hilangnya segala hak debitur untuk mengurus segala harta kekayaan yang termasuk ke dalam harta pailit (boedel pailit). Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan debitur kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen

handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau

kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja. Kewenangan debitur itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit.

Bila tuntutan-tuntutan hukum tersebut diajukan atau dilanjutkan oleh atau terhadap debitur pailit dan bukan oleh kurator, maka jika tuntutan-tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman kepada debitur pailit, penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta kekayaan yang telah dinyatakan pailit tersebut.2 Bila gugatan terhadap debitur pailit yang menyebabkan penghukuman terhadap debitur pailit, maka penghukuman tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit. Disamping itu, setiap gugatan hukum terhadap debitur pailit yang bertujuan memenuhi perikatan dari harta pailit, hanya dapat diajukan dengan melaporkannya untuk dicocokannya piutangnya.3

2

Gunawan Widjaja, Tanggungjawab Direksi atas Kepailitan Perseroan (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 101.

3

(5)

Berdasarkan uraian diatas, permasalahan mengenai kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatanperbuatan melawan hukum terhadap krediturnya perlu untuk diteliti guna mengetahui hal-hal yang terkait dengan itu.

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana akibat putusan pailit menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan PenundaanKewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimanakahkewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya?

3. Bagaimanakahpengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu:

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

(6)

b. Untuk mengetahui kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap krediturnya.

c. Untuk mengetahui pengurusan dan pemberesan yang dilakukan oleh kurator terkait adanya pengajuan gugatan melawan hukum oleh debitur pailit.

2. Manfaat penulisan a. Manfaat teoritis

1) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kegiatan penelitian, khususnya masalah kepailitan.

2) Untuk membandingkan kebenaran pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah dengan pelaksanaan di lapangan sehingga mengetahui perbedaan dan persamaan yang jelas antara teori dan praktek tentang kepailitan, kurator dan peradilannya.

b. Manfaat praktis

1) Bagi penulis, selain untuk memenuhi syarat penyelesaian strata satu (S1), juga untuk memperluas wawasan mengenai hukum kepailitan secara umum, khususnya mengenai kewenangan debitur pailit untuk mengajukan gugatanperbuatan melawan hukum terhadap krediturnya. 2) Bagi masyarakat secara umum dapat memberikan masukan, khususnya

bagi para usahawan yang lebih berpeluang pada hukum kepailitan dalam menyelesaikan gugatanperbuatan melawan hukum terhadap krediturnya. 3) Bagi kalangan akademis, yaitu untuk memberikan sumbangan

(7)

berprofesi sebagai kurator ataupun untuk sekedar mempelajari masalah-masalah hukum di bidang kepailitan.

4) Bagi praktisi hukum, dapat memberikan sumbangan pemikiran maupun sebagai tambahan referensi dalam mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi dalam kewenangan debitur untuk mengajukan gugatanperbuatan melawan hukum.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan di Perpustakaan Pusat Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara maka diketahui bahwa belum pernah dilakukan penulisan yang serupa mengenai “Kewenangan Debitur Pailit Untuk Mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Krediturnya”. Oleh karena itu, penulisan skripsi ini merupakan ide asli penulis, adapun tambahan ataupun kutipan dalam penulisan ini bersifat menambah penguraian penulis dalam skripsi ini. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini adalah ide penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademik.

E. Tinjauan Pustaka

(8)

Belanda dipergunakan istilah faillite yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata benda dan kata sifat. Sedangkan dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah to fail, dan di dalam bahasa Latin dipergunakan istilah failure. Dinegara-negara yang berbahasa Inggris, untuk pengertian pailit dan kepailitan dipergunakan istilah

“bankrupt” dan “bankruptcy”. Terhadap perusahaan-perusahaan debitur yang

berada dalam keadaan tidak membayar utang-utangnya disebut dengan

“insolvency”.4

Di dalam praktik dunia bisnis berutang merupakan hal yang lazim. Selama masih mampu membayar, berutang tidak merupakan hal yang salah. Utang baru menjadi masalah jika debitur tidak mampu lagi membayar utang tersebut. Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia sekarang ini merupakan terjemahan dari

failissement (Belanda). Di dalam sistem hukum Inggris atau Amerika Serikat dan beberapa negara yang mengikuti tradisi common law dikenal dengan istilah

bankruptcy. Kepailitan merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan

peristiwa pailit. Pailit sendiri adalah berhenti membayar (utang-utangnya).5

Pailit adalah suatu usaha bersama untuk mendapat pembayaran bagi semua kreditur secara adil dan tertib, agar semua kreditur mendapat pembayaran menurut imbangan besar kecilnya piutang masing-masing dengan tidak berebutan.6 Pengertian pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan

4

Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi kedua, Cetakan pertama (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hlm 23.

5

Ridwan Khairandy, Pengantar Hukum Dagang, Cetakan ke enam (Yogyakarta: FH UII Press, 2006), hlm 263.

6

(9)

tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitur. keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan.7

Kepailitan berasal dari kata dasar pailit. Pailit adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa keadaan berhenti membayar utang-utang debitur yang telah jatuh tempo. Si pailit adalah debitur yang mempunyai dua orang atau lebih kreditur yang tidak mampu membayar satu dan atau lebih uangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.8

Arti kepailitan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa pailit. Pailit adalah keadaan berhenti membayar (utang-utangnya). Berhenti membayar di sini bukan berarti bahwa si debitur berhenti sama sekali untuk membayar utang-utangnya, melainkan debitur tersebut pada waktu diajukan permohonan pailit, berada dalam keadaan tidak membayar utang tersebut.9

7

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Cetakan pertama, (Jakarta:Penerbit Forum Sahabat, 2009), hlm 15

8

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Edisi revisi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm 229.

9

(10)

Secara umum kepailitan sering diartikan sebagai suatu sitaan umum atas seluruh karyawan kekayaan debitur agar dicapainya perdamaian antara debitur dengan para krediturnya atau agar kekayaan debitur dapat dibagi-bagikan secara adil di antara para krediturnya. Definisi yang menjadi tujuan utama dari kepailitan adalah agar harta kekayaan debitur yang masih tertinggal oleh kurator dapat dibagi-bagikan kepada para kreditur dengan memperhatikan hak mereka.10

Adapun tujuan pernyataan pailit sebenarnya adalah untuk mendapatkan suatu penyitaan umum atas kekayaan debitur (segala harta benda disita/dibekukan) untuk kepentingan semua orang yang mengutangkannya (krediturnya). Prinsip kepailitan itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.11

Pihak debitur pailit adalah pihak yang memohon/dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Yang dapat menjadi debitur pailit adalah debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.12

Putusan pailit membawa akibat hukum terhadap seluruh harta kekayaan debitur. Kekayaan tersebut akan dikuasai oleh kurator. Kuratorlah yang akan mengurus dan membereskan seluruh harta pailit. Akibat dari putusan pailit membawa konsekwensi bahwa gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan oleh atau terhadap

10

Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dan Ekonomi, Edisi Revisi (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005), hlm 144.

11

Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan :Teori dan Contoh kasus, Cetakan ketujuh (Jakarta: Penerbit Kencana, 2014), hlm 121.

12

(11)

kurator. Bila tuntuan diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit, maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan penghukuman debitur pailit, maka penghukuman itu tidak mempunyai kekuatan hukum terhadap harta pailit.13

Gugatan dapat diajukan secara tertulis dan dapat diajukan secara lisan. Namun, Pasal 144 ayat (2) RBg menentukan bahwa penerima kuasa tidak diperkenankan untuk mengajukan gugatan secara lisan. Dengan demikian, pengajuan gugatan secara lisan hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mengurus sendiri perkaranya, bukan juga penerima kuasa karena penerima kuasa dianggap sudah mampu membuat gugatan secara tertulis, sehingga pengadilan tidak perlu lagi melakukan pencatatan-pencatatan. Sebab, apabila gugatan diajukan secara lisan, ketua pengadilan negeri yang bersangkutan akan membuat catatan atau menyuruh membuat catatan kepada panitera/penitera pengganti tentang gugatan yang diajukan secara lisan tersebut.14

Suatu perbuatan merupakan perbuatan hukum kalau perbuatan itu oleh hukum diberi akibat (mempunyai akibat hukum) dan akibat itu dikehendaki oleh yang bertindak. Apabila akibat hukum sesuatu perbuatan tidak dikehendaki oleh yang melakukannya atau salah satu dari yang melakukannya, maka perbuatan itu bukanlah suatu perbuatan hukum. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa kehendak dari yang melakukan perbuatan itu menjadi unsur pokok dari perbuatan tersebut.15

13

Sunarmi, Op.Cit, hlm 97.

14

Riduan Syahrani, Op.Cit, hlm 51.

15

(12)

Perbuatan melawan hukum adalah melanggar onrechtmatige daad yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(selanjunta disebut KUH Perdata). Pasal tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut: “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain mewajibkan orang karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.”

Dari sudut teori perundang-undangan, cara perumusan Pasal 1365 KUH Perdata ini merupakan norma hukum umum konkrit. Hal itu berarti bahwa norma hukum tersebut ditentukan untuk umum, namun perbuatan yang dilakukan adalah sesuatu yang sudah tertentu.16

Pengertian perbuatan melawan hukum dapat dipahami secara klasik dengan mengetahui pengertian perbuatan hukum dalam “perbuatan melawan hukum” yaitu:

1. Nonfeasance: apabila seseorang tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan

hukum

2. Misfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu yang wajib dilakukan,

namun apa yang dilakukan tersebut adalah salah

3. Malfeasance: apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan, padahal yang

bersangkutan tidak berhak untuk melakukannya.17

Selain itu, perbuatan melawan hukum tidak hanya mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, melainkan juga berbuat atau tidak

16

V. Harlen Sinaga, Batas-Batas Tanggung Jawab Perdata Direksi, Cetakan pertama (Jakarta: Adinatha Mulia, 2012), hlm175.

17

(13)

berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain atau kewajiban orang untuk berbuat atau tidak berbuat, bertentangan dilakukan dalam lalu lintas kemasyarakatan. Dengan demikian, cakupan perbuatan melawan hukum terakhir ini lebih luas dan lebih lengkap daripada perbuatan melawan hukum di Inggris dan Prancis.18

Seseorang dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain, maka nampaklah dengan jelas sifat aktif dari istilah melawan tersebut. Sebaliknya kalau seseorang dengan sengaja tidak melakukan sesuatu atau diam saja padahal mengetahui bahwa sesungguhnya harus melakukan sesuatu perbuatan untuk tidak merugikan orang lain atau dengan lain perkataan bersikap pasif saja, bahkan tidak mau melakukan kerugian pada orang lain, maka telah “melawan” tanpa harus menggerakkan badannya. Inilah sifat pasif daripada istilah melawan.19

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten dengan mengadakan analisa dan konstruksi.20

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain:

18

V. Harlen Sinaga, Op.Cit, hlm 178.

19

Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1992), hlm. 13.

20

(14)

1. Spesifikasi penelitian

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah atau apabila hukum dipandang sebagai sebuah kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.21 Penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penulisan skripsi penulis.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperolah gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat yang digunakan dapat dikaitan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.

2. Data penelitian

Penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data sekunder adalah mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya.22

Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan, antara lain:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

21

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan Ajar (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2009), hlm 54.

22

(15)

b. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat sarjana, yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni kamus hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

3. Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library

reaseacrh) yaitu serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan

membaca, menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku literatur yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari kegiatan pengkajian tersebut kemudian dibuat ringkasan secara sistematis sebagai inti sari hasil pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.23

23

(16)

4. Analisis data

Data yang berhasil dikumpulkan, data sekunder, kemudian diolah dan dianalisa dengan mempergunakan teknik analisis metode kualitatif, yaitu dengan menguraikan semua data menurut mutu, dan sifat gejala dan peristiwa hukumnya melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas dengan mempertautkan bahan hukum yang ada. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan serta memaparkan kesimpulan dan saran, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yakni kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.24

G. Sistematika penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II AKIBAT PUTUSAN PAILIT MENURUT UNDANG-UNDANG

NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAANKEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

24Ibid

(17)

Dalam bab ini berisi tentang Penyebab Terjadinya Kepailitan, Prosedur Pernyataan Pailit, Upaya Hukum Terhadap Putusan Pailit dan Akibat Hukum Terhadap Putusan Pailit.

BAB III KEWENANGAN DEBITUR PAILIT UNTUK MENGAJUKAN GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM TERHADAP KREDITURNYA

Bab ini berisikan tentang Unsur – Unsur Perbuatan Melawan Hukum, Kewenangan Debitur Pailit Dalam Kepailitan, Bentuk – Bentuk Perbuatan Melawan Hukum, Tanggung Jawab Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit.

BAB IV PENGURUSAN DAN PEMBERESAN YANG DILAKUKAN OLEH KURATOR TERKAIT ADANYA PENGAJUAN GUGATAN MELAWAN HUKUM OLEH DEBITUR PAILIT

Bab ini berisi tentang Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit, Tugas Dan Wewenang Kurator Dalam Pengurusan Dan Pemberesan Harta Pailit dan Pengurusan Dan Pemberesan Yang Dilakukan Oleh Kurator Terkait Adanya Pengajuan Gugatan Melawan Hukum Oleh Debitur Pailit.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pelaksanaan kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 22 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang

Apabila dokumen tidak diunggah sampai batas waktu yang ditentukan, maka Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) akan memberikan sangsi menutup akses yang

Guru memberikan penguatan terhadap hasil diskusi peserta didik, kemudian menjelaskan kembali makna yang terkandung dalam peristiwa bencana alam

The stable outlook reflects Moody's expectation that Indosat will maintain its position as a leading mobile operator in Indonesia amid increasing competition for

Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi mahasiswa, akreditasi prodi, dan promosi berpengaruh terhadap keputusan mahasiswa memilih program studi Akuntansi

3.1.2 Tuliskan data mahasiswa reguler dan mahasiswa transfer untuk masing-masing program studi S1 pada TS (tahun akademik penuh yang terakhir) di Fakultas/

Rumusan pancasila sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945 inilah yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar Negara Republik Indonesia.. Yang di sah kan oleh

[r]