• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Makalah Minimalisasi Kecurangan dalam Praktik Ujian Nasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Contoh Makalah Minimalisasi Kecurangan dalam Praktik Ujian Nasional"

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

KARYA ILMIAH

Diajukan sebagai tugas mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah

oleh

Amanda Kistilensa (16010232) Geavani Eva Ramadhania (16010107) Ajeng Sabarini Muslimah (16010262)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

BANDUNG

(2)

PRAKATA

Penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas rahmat-Nya makalah ini, yang merupakan tugas dari mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah, dapat disusun dengan baik.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantunya dalam pembuatan makalah ini, di antaranya: dosen mata kuliah Tata Tulis Karya Ilmiah, Dra. Anniar Samanhudi, M. Hum., yang telah

memberikan masukan dan koreksi secara berkala dalam penyusunan makalah ini, beserta rekan-rekan penulis yang telah memberikan bantuan, terutama yang sudi meluangkan waktunya untuk diwawancara.

Walaupun penulis merasa penyusunan makalah ini cukup sukses, penulis menyadari kemampuan penyusunan makalahnya bisa ditingkatkan lagi; kritik atau saran, baik untuk makalah ini maupun gaya penulisan secara keseluruhan, akan diterima dengan senang hati. Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat pada pembaca.

Bandung, November 2010,

(3)

ABSTRAK

Kecurangan dalam ujian, termasuk Ujian Nasional (UN), merupakan hal yang kerap ditemukan dalam dunia pendidikan Indonesia. Dengan meninjau sejarah pelaksanaan ujian berskala nasional (seperti UN, EBTANAS, dsb.) di Indonesia, dan tujuan dari pelaksanaannya serta dampak dari tindakan kecurangan terhadap tujuan ini, dapat dilihat bahwa kecurangan dalam UN adalah masalah yang berdampak serius pada dunia pendidikan Indonesia. Meskipun masalah krusial ini tidak bisa sepenuhnya ditiadakan, tetap dapat diminimalkan demi meningkatkan mutu evaluasi pendidikan di Indonesia melalui UN. Oleh karena itu, penentuan faktor penyebab pelaksanaan tindakan kecurangan, serta tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalkan kecurangan, menjadi tujuan dari penyusunan makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini, digunakan metode deskriptif-analitis dengan pendekatan empiris dan rasional. Data dikumpulkan melalui peninjauan pustaka, yang dapat berupa buku maupun laman web. Selain itu, dilakukan wawancara dengan mantan peserta UN dan narasumber. Dengan demikian, diperoleh pengalaman langsung dari peserta ujian sekaligus opini yang dimiliki pihak ahli yang lebih memahami peranan yang dimiliki UN, dipadukan dengan informasi yang didapatkan melalui pustaka.

Kasus kecurangan yang diperoleh dari pengumpulan data akan ditinjau berdasarkan pelaku dan jenis tindakannya. Selain itu, ditentukan juga faktor pendorong pelaksanaan tindakan kecurangan tersebut, yang bervariasi. Berbagai macam tekanan, seperti psikologis maupun ekonomik, dapat mendorong

seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan. Dengan meninjau hal ini dan menentukan cara untuk mengurangi—bahkan meniadakan—keberadaan faktor-faktor ini, praktik kecurangan dalam UN dapat diminimalkan demi peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

(4)

DAFTAR ISI

PRAKATA...i

ABSTRAKSI...ii

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1. Latar Belakang Masalah...1

1.2. Rumusan Masalah...2

1.3. Tujuan...2

1.4. Manfaat...2

1.5. Ruang Lingkup...3

1.6. Metode dan Teknik Pengumpulan Data...3

1.6.1. Metode Penelitian...3

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data...3

1.7. Sistematika Penulisan...4

BAB 2 UJIAN NASIONAL...5

2.1. Fungsi dari Ujian Nasional...5

2.2. Sistematika Pelaksanaan Ujian Nasional...6

(5)

2.2.2. Syarat Kelulusan Ujian Nasional...9

2.3. Pihak-Pihak Utama yang Terlibat dalam Ujian Nasional...9

2.3.1. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Pusat...10

2.3.2. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Provinsi...10

2.3.3. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Kabupaten/Kota...11

2.3.4. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Satuan Pendidikan...11

2.3.5. Pengawas Ruang Ujian Nasional...12

2.3.6. Peserta Ujian Nasional...12

2.4. Riwayat Pelaksanaan Ujian Berskala Nasional di Indonesia...13

2.4.1. EBTANAS (1980 – 2001) ...13

2.4.2. UAN (2002 – 2004) ...13

2.4.3. UN (2005 – 2010) ...14

2.4.4. UN Mendatang (2011) ...15

BAB 3 KECURANGAN DALAM UJIAN NASIONAL...16

3.1. Prevalensi Kecurangan dalam Ujian Nasional...16

3.2. Kecurangan dan Sanksinya Berdasarkan Pihak yang Terlibat...17

3.3. Pelaksanaan Nyata Ujian Nasional...19

3.4. Aspek Pendorong Tindakan Kecurangan dalam Ujian Nasional...20

3.4.1. Peranan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan...20

3.4.2. Pemeringkatan Sekolah Berdasarkan Hasil Ujian Nasional...21

3.4.3. Ketidakdisiplinan Penyelenggara Ujian Nasional...22

3.5. Dampak dari Kecurangan dalam Ujian Nasional...23

(6)

3.5.2. Dampak pada Peserta Didik...24

3.6. Upaya Nyata Minimalisasi Kecurangan dalam Ujian Nasional...25

3.7. KESIMPULAN DAN SARAN...26

3.8. Simpulan...26

3.9. Saran...27

DAFTAR PUSTAKA...28

(7)

DAFTAR TABEL

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Transkrip Wawancara dengan D. D. P...31

Lampiran B Transkrip Wawancara dengan R. W...36

Lampiran C Transkrip Wawancara dengan Ghyna...41

(9)

1.1. Latar Belakang

Keberadaan kecurangan dalam Ujian Nasional bukanlah hal yang baru, dan bukan pula hal yang mudah ditiadakan. Tindakan kecurangan dalam ujian sudah ada sejak pelaksanaan pendahulu Ujian Nasional seperti EBTANAS, dan UAN, hingga pelaksanaan Ujian Nasional yang terkini pada tahun 2010. Bahkan, tindakan kecurangan sudah lumrah ditemukan pada ujian berskala lebih kecil seperti ujian harian.

Kecurangan dalam ujian, lebih spesifiknya Ujian Nasional, memiliki dampak yang negatif bagi berbagai pihak. Salah satunya adalah tidak tercapainya tujuan dari pelaksanaan Ujian Nasional, yakni peningkatan mutu pendidikan di Indonesia1. Kecurangan, yang merupakan pertanda bahwa pelajar tidak

menunjukkan kemampuannya sendiri dalam pengerjaan ujian, membuat data yang didapatkan dari pelaksanaan Ujian Nasional tidak kredibel.

1 Dodi Nandika. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006 (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2006), hlm. 50

(10)

Dapat dilihat bahwa kecurangan akademis seperti ini merupakan masalah yang perlu ditanggapi dengan serius oleh semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan yang berjalan di Indonesia. Meskipun tidak bisa dimungkiri bahwa kecurangan tidak bisa sepenuhnya ditiadakan, keberadaannya tetap dapat diminimalisasi; hanya dengan melakukan inilah mutu pendidikan di Indonesia dapat ditingkatkan.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini dapat ditemukan dalam

research questions berikut:

 Apa sajakah faktor yang menyebabkan sekaligus mendorong pelaksanaan tindakan kecurangan dalam praktik ujian nasional?

 Apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkan pelaksanaan tindakan kecurangan dalam Ujian Nasional?

1.3. Tujuan

Melalui penulisan makalah ini, penulis berharap akan memperoleh gambaran mengenai penyebab tindakan kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional agar mutu evaluasi pendidikan dapat ditingkatkan. Selain itu, cara untuk meminimalkan kecurangan dalam Ujian Nasional akan ditemukan.

1.4. Manfaat

(11)

kecurangan dalam Ujian Nasional, sehingga frekuensi pelaksanaannya pun dapat diminimalkan. Inilah yang kelak mampu meningkatkan mutu Ujian Nasional.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup makalah ini meliput beberapa aspek yang perlu diteliti dalam peninjauan tindakan kecurangan dalam Ujian Nasional tingkat SMA/MA. Pertama, akan ditelaah latar belakang dari pelaksanaan Ujian Nasional di

Indonesia. Hal ini meliput sistematika pelaksanaan Ujian Nasional, serta riwayat pelaksanaan Ujian Nasional dan pendahulunya seperti EBTANAS dan UAN. Selain itu, pelaksanaan nyata Ujian Nasional dan prevalensi kecurangan di dalamnya akan dirangkum dari reportase mantan peserta. Kemudian, kecurangan dalam Ujian Nasional akan ditinjau berdasarkan pelakunya dan jenis tindakannya.

1.6. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

1.6.1. Metode Penelitian

Dalam penyusunan makalah ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif-analitis. Metode ini menggunakan pendekatan empiris dan rasional, yakni melalui peninjauan pustaka dan pengumpulan data langsung melalui wawancara.

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

(12)

dengan Ujian Nasional. Pihak-pihak yang akan diwawancara adalah mantan peserta Ujian Nasional.

1.7. Sistematika Penulisan

Makalah ini terdiri atas empat bab. Pertama, Bab I: Pendahuluan, yang mencakup subbab Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan, Manfaat, Ruang Lingkup, Metode dan Teknik Pengumpulan Data, dan Sistematika Penulisan. Pada Bab II: Ujian Nasional, diberikan sedikit latar belakang dari Ujian Nasional, dari fungsi, hingga sistematika pelaksanaannya, dan riwayat ujian berskala nasional pendahulunya. Bab III: Kecurangan dalam Ujian Nasional, sesuai judulnya, memiliki konteks pembahasan yang spesifik mengacu pada kecurangan dalam UN. Pembahasan dimulai dengan fakta di lapangan saat penerapan nyata ujian nasional yang tidak sesuai gambaran ideal karena keberadaan kecurangan. Kemudian, dibahas juga penyebab dan

(13)

2.1. Fungsi dari Ujian Nasional

UN, atau Ujian Nasional, adalah ujian berskala nasional dari pemerintah yang diselenggarakan oleh lembaga mandiri Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP)2. Mengenai pelaksanaannya, pihak pemerintah, dalam hal ini Departemen

Pendidikan Nasional (Depdiknas) berpendapat bahwa UN dibutuhkan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia3.

Peran UN Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) yang paling dikenal adalah sebagai salah satu4 penentu kelulusan siswa tingkat

SMA/MA. Apabila siswa tidak lulus UN (atau UN Ulangan), siswa dianggap tidak lulus tingkat pendidikan tersebut dan harus mengikuti ulang ujian tersebut tahun depan.

2 Nandika, op. cit., hlm. 50

3 Ibid.

4 Selain UN, terdapat tiga penentu kelulusan lain: peserta didik wajib mengikuti seluruh proses pendidikan, memperoleh nilai yang cukup dalam mata pelajaran sosial seperti agama, akhlak mulia, budi pekerti, estetika, olahraga, dan kewarganegaraan, dan lulus ujian sekolah.

(14)

Sebenarnya, peranan UN tidak terbatas pada penentu kelulusan saja. Ujian Nasional berfungsi sebagai quality control, atau penentu standar sistem

pendidikan yang diberlakukan5. Dari hasil UN, dapat diketahui peta mutu yang

mampu memberikan masukan dalam pembuatan kebijakan di bidang pendidikan.6

Dikatakan dalam Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006 bahwa telah disediakan dana bantuan operasional sekolah (BOS) sejumlah Rp900 miliar oleh Depdiknas untuk membantu sekolah yang mutunya masih kurang7. Dengan demikian,

diharapkan mutu pendidikan di seluruh Indonesia dapat disetarakan.

2.2. Sistematika Pelaksanaan Ujian Nasional

2.2.1. Alur Kerja Penyelenggaraan Ujian Nasional.

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa tahap yang harus dipenuhi sebelum dan sesudah Ujian Nasional diselenggarakan. Alur kerja penyelenggaraan Ujian Nasional yang ditentukan dalam Prosedur Operasi Standar (POS) UN 2010 memiliki tahap sebagai berikut:

1. Pendaftaran calon peserta Ujian Nasional: yang baru maupun yang mengulang dari tahun pelajaran sebelumnya. Daftar calon peserta dikirim oleh pihak sekolah ke Penyelenggara UN Tingkat Provinsi melalui Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota, dan

penyelenggara tingkat provinsi akan mencetak dan mendistribusikan

5 Ibid.

6 Op. cit., hlm. 57

(15)

daftar nominasi sementara (DNS) ke sekolah melalui penyelenggara tingkat kabupaten/kota8. Setelah DNS diverifikasi, daftar nominasi

tetap (DNT) diterbitkan dan kepala satuan pendidikan penyelenggara UN akan menerbitkan kartu peserta UN9.

2. Penyusunan kisi-kisi soal: pertama-tama, disusun Standar Kompetensi Lulusan UN (SKLUN) dari SKL tiap mata pelajaran dari tiap kurikulum yang digunakan10. Dengan melibatkan dosen,

guru, dan pakar penilaian pendidikan, kisi-kisi soal disusun berdasarkan SKLUN11.

3. Penyiapan bahan Ujian Nasional: penyelenggara UN Tingkat Pusat membuat master copy soal dengan merancang soal terlebih dahulu, memperhatikan distribusi kesukaran, dan membandingkan tiap paket soal untuk memastikan bahwa kesukarannya setara12. Lalu, master

copy digandakan dan dikirim ke penyelenggara tingkat provinsi13.

8 Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010, Revisi Final 23 Februari 2010. (Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan, 2010), hlm. 10.

9 Ibid.

10 Ibid.

11 Ibid.

12 Op. cit., hlm. 11.

(16)

4. Penggandaan bahan ujian: dilakukan oleh percetakan yang telah dipekerjakan oleh penyelenggara tingkat provinsi14. Kemudian,

percetakan mendistribusikan bahan ujian ke penyelenggara tingkat kota/kabupaten, yang menetapkan tempat penyimpanan bahan ujian bersama perguruan tinggi, sebelum bahan ujian diberikan pada penyelenggara tingkat satuan pendidikan15.

5. Pelaksanaan Ujian Nasional: terdiri atas UN Utama, dan UN Susulan, serta UN Ulangan yang diperuntukkan bagi peserta yang belum lulus UN Utama atau Susulan16. Pelaksanaan UN dilakukan

secara serentak di seluruh Indonesia17.

6. Pemeriksaan hasil ujian: Kepala Penyelenggara Tingkat Satuan Pendidikan mengumpulkan amplop LJUN ke penyelenggara tingkat kabupaten/kota18. Setelah kesesuaian jumlah amplop LJUN

diperiksa, penyelenggara tingkat kabupaten/kota mengirimnya ke perguruan tinggi, yang memindai lembar jawaban SMA/MA dan mengirim hasilnya ke Penyelenggara UN Tingkat Pusat19.

2.2.2. Syarat Kelulusan Ujian Nasional

14 Op. cit., hlm. 13.

15 Op. cit., hlm. 15.

16 Ibid.

17 Ibid.

18 Op. cit., hlm. 23

(17)

Berikut adalah standar kelulusan peserta Ujian Nasional yang ditentukan oleh POS UN 2010: “memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya”20. Namun,

Kabupaten/Kota dan/atau satuan pendidikan diberi wewenang menetapkans standar yang lebih tinggi bila mau21. Apabila siswa ditemukan melakukan

tindakan kecurangan dalam ujian suatu mata pelajaran, dia akan dinyatakan tidak lulus dalam mata pelajaran tersebut22.

2.3. Pihak-Pihak Utama yang Terlibat dalam Ujian Nasional

Pihak-pihak berikut memiliki peran masing-masing dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Berikut adalah penjelasan tentang sebagian dari pihak yang terlibat, dan sejumlah peranan yang mereka miliki. Pemaparan lebih lengkap dapat dilihat dalam POS UN SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010. Tiap pihak penyelenggara harus memahami Permendiknas dan POS UN, serta “menerapkan prinsip kejujuran, objektivitas, dan akuntabilitas” dalam menjalani tugasnya.23

2.3.1. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Pusat

20 Op. cit., hlm. 24.

21 Ibid.

22 Op. cit., hlm. 26

(18)

Penyelenggara UN Tingkat Pusat ditetapkan dengan Surat Keputusan BSNP, terdiri atas: BSNP, Sekretariat Jenderal (Sekjen) Depdiknas, Badan

Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Direktorat Jenderal (Dirjen) Perguruan Tinggi Depdiknas, Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia, Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, Inspektoral Jenderal Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, dan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama24. Secara keseluruhan, tugas mereka adalah

merencanakan dan mengkoordinasi pelaksanaan UN dari penyusunan kisi-kisi dan soal, pencetakan, pemantauan kerja penyelenggara di bawahnya, hingga

penskoran hasil25. Mereka juga mengevaluasi dan menganalisis hasil UN26.

2.3.2. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Provinsi

Penyelenggara tingkat provinsi ditentukan oleh Gubernur dan perguruan tinggi negeri, yang terdiri atas: perguruan tinggi negeri, Dinas Pendidikan Provinsi, dan Kantor Wilayah Departemen Agama27. Tugasnya adalah mengatur

pelaksanaan UN di provinsinya28. Penyelenggara tingkat provinsi menetapkan

DNS dan DNT, serta percetakan yang mencetak bahan ujian, yang didistribusikan

24 Op. cit., hlm. 3.

25 Op. cit., hlm. 3—4.

26 Op. cit., hlm. 4

27 Ibid.

(19)

ke penyelenggara tingkat kabupaten/kota29. Mereka juga menetapkan tim

pengolah hasil UN dan melakukan pemindaian lembar jawaban30, serta

mengemban berbagai kewajiban lain.

2.3.3. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Kabupaten/Kota

Bupati/Walikota, atas pertimbangan perguruan tinggi yang bertanggung jawab, menetapkan Penyelenggara UN Tingkat Kabupaten/Kota yang mengatur dan memantau penyelenggaraan UN di wilayahnya31. Penyelenggara tingkat

kabupaten/kota terdiri atas pihak perguruan tinggi, Dinas Pendidikan

Kabupaten/Kota, dan Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota32. Mereka

harus menjamin keamanan dan kerahasiaan pengumpulan dan penyimpanan LJUN sebelum LJUN diberikan kepada/oleh penyelenggara tingkat satuan pendidikan33.

2.3.4. Penyelenggara Ujian Nasional Tingkat Satuan Pendidikan

Satuan pendidikan yang dimaksud adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Madrasah Aliyah (MA) yang memenuhi standar untuk melaksanakan UN34.

Penyelenggara tingkat satuan pendidikan berkewajiban melaksanakan UN pada

29 Ibid.

30 Op. cit., hlm. 5.

31 Op. cit., hlm. 6.

32 Ibid.

33 Ibid.

(20)

satuan pendidikan masing-masing sesuai tata tertib, dan setelah ujian telah diskor, membagian SKHUN dan ijazah kepada peserta ujian yang lulus35.

2.3.5. Pengawas Ruang Ujian Nasional

Disebutkan dalam POS UN bahwa pengawas ruang Ujian Nasional adalah guru yang “memiliki sikap dan perilaku disiplin, jujur, bertanggung jawab, teliti, dan memegang teguh kerahasiaan”36, dan ditetapkan oleh perguruan tinggi37. Tiap

ruang ujian memiliki dua pengawas yang bertugas untuk memantau

keberlangsungan ujian38. Pengawas ruang UN harus mengikuti tata tertib yang

berlaku padanya dalam POS UN.

2.3.6. Peserta Ujian Nasional

Peserta Ujian Nasional SMA/MA adalah peserta didik tingkat SMA/MA yang berada pada tahun terakhirnya atau setara, dan peserta UN tahun pelajaran sebelumnya yang belum lulus39. Peserta UN juga harus mengikuti tata tertib yang

berlaku, sesuai dengan yang tertera dalam POS UN.

2.4. Riwayat Pelaksanaan Ujian Berskala Nasional di Indonesia

35 Ibid.

36 Ibid.

37 Op. cit., hlm. 18

38 Ibid.

(21)

Ujian Nasional bukanlah ujian berskala nasional dari pemerintah yang pertama diadakan, dan hingga kini pun UN terus mengalami perubahan sistem pelaksanaan. Berikut adalah riwayat pelaksanaan ujian berskala nasional di Indonesia.

2.4.1. EBTANAS (1980 – 2001)

EBTANAS, Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional, adalah ujian berskala nasional pertama yang dilaksanakan sejak Ujian Negara yang terakhir

diselenggarakan pada tahun 197140. Selama era penggunaan Ujian Sekolah,

dirasakan kebutuhan akan “nilai yang memiliki makna yang "sama" dan dapat dibandingkan antarsekolah” demi peningkatan mutu pendidikan41, sehingga

diselenggarakanlah EBTANAS, yang menguji tujuh mata pelajaran untuk tingkat sekolah menengah atas. Kelulusan siswa bergantung pada nilai rata-rata gabungan nilai pada tahun terakhir bersekolah dan nilai EBTANAS murni42.

2.4.2. UAN (2002 – 2004)

Sistem UAN, atau Ujian Akhir Nasional, menggantikan EBTANAS pada tahun 2002. Perbedaan antara UAN dan EBTANAS terletak pada penentu kelulusan siswa. Dalam UAN, yang menentukan kelulusan siswa adalah nilai

40 Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas). Sejarah Ujian Nasional. Dalam jaringan (http://www.kemdiknas.go.id/orang-tua/ujian-nasional/sejarah-ujian-nasional.aspx), diakses 3 Desember 2010.

41 Ibid.

(22)

mata pelajaran secara individual43. Mata pelajaran yang diuji dalam UAN ada tiga:

Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan, tergantung program studi, Matematika (IPA), Ekonomi (IPS), atau Bahasa Asing (Bahasa)44. Batas minimal kelulusan

naik tiap tahun, dan diadakan ujian ulang bagi siswa yang belum lulus, dan dilakukan konversi nilai UAN45.

2.4.3. UN (2005 – 2010)

Penyelenggaraan ujian berskala nasional tidak lagi menjadi tanggung jawab pemerintah, dan ditugaskan pada BNSP. UAN diganti namanya menjadi UN (Ujian Nasional), dan batas minimal kelulusan terus dinaikkan46. Konversi

nilai UAN yang dianggap merugikan siswa yang pandai ditiadakan47. Pada UN

2005, diadakan UN tahap kedua bagi mereka yang belum lulus untuk mengulang mata pelajaran yang nilainya kurang dan sejak UN 2007 ujian ulang ditiadakan48.

Peserta ujian yang tidak lulus bisa mengambil Paket C atau menunggu tahun depan untuk mengikuti UN lagi49. Sejak UN 2010, diadakan kembali ujian ulang

dalam bentuk UN Ulangan bagi mereka yang tidak lulus dalam UN Utama50.

43 Kemdiknas, loc. cit.

44 Bambang Sudibyo. Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia No 1 Tahun 2005 tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2004/2005. (Jakarta, 2005)

45 “Ujian Penghabisan, Ebtanas, UAN, Lalu Apa Lagi…”. Suara Merdeka. 9 November 2005.

46 Ibid.

47 Ibid.

48 Rozalina, loc. cit.

49 Ibid.

(23)

Mata pelajaran yang menjadi materi UN tetap berjumlah tiga, hingga UN 2008 menjadi UN pertama yang mencakup enam mata pelajaran, sesuai dengan program studi yang ditempuh siswa (IPA, IPS, Bahasa), dan bagi SMK nilai mata pelajaran praktik kejuruan turut diperhitungkan51. Hingga UN 2010, mata

pelajaran yang diujiankan tetap berjumlah enam.

2.4.4. UN Mendatang (2011)

Sembari menanti kedatangan UN berikutnya, BNSP akan

menyempurnakan lagi sistem pelaksanaan UN52. Diumumkan oleh BNSP bahwa

pelaksanaan UN 2011 direncanakan untuk dilakukan pada bulan April53, lebih

lambat dari UN 2010, dan demikian pula bagi ujian susulannya, yang akan dilaksanakan pada akhir Mei54.

51 Ibid.

52 Ujian Nasional 2011 Digelar April. Dalam jaringan (http://www.depkominfo.go.id/ berita/bipnewsroom/ujian-nasional-2011-digelar-april/), diakses 9 Desember 2010.

53 Ibid.

(24)

3.2. Prevalensi Kecurangan dalam Ujian Nasional

Pada kenyataannya, pelaksanaan Ujian Nasional tidak berjalan sesuai prosedur operasional standar yang telah ditetapkan. Kecurangan marak dalam pelaksanaan Ujian Nasional, baik dari pihak murid maupun pihak pelaksana, bahkan dalam UN 2010. Salah satu bentuk kecurangan ini adalah peredaran kunci jawaban melalui SMS. Bahkan, Komite Independen Pemantau Ujian Nasional menerima pengaduan tentang guru yang membantu membocorkan soal55.

Meskipun tanggapan dari peserta UN sendiri menunjukkan bahwa tindakan kecurangan sudah lumrah di kalangan siswa—bahkan, dikatakan “[s]ontek-menyontek itu pasti ada di sekolah mana pun56”—pengaduan kasus

berjumlah sedikit. Dalam Buletin BSNP, tertera bahwa jumlah kasus kecurangan yang ditemukan pada UN 2008 adalah 40, sementara pada tahun 2009 berjumlah 22. Hanya 9 kasus yang ditemukan pada UN 201057.

55 Anwar Siswadi, “Dua Tim Pemantau Beberkan Kecurangan Ujian Nasional di Jawa Barat”, TEMPO Interaktif, Sabtu, 27 Maret 2010.

56 D. D. P., wawancara dengan Amanda Kistilensa, komunikasi pribadi, 27 November 2010.

57 Bambang Suryadi, “Penyelenggaraan UN Tahun Ajaran 2009/2010”, Buletin BSNP, Volume V, No 2, Agustus 2010, hlm. 10

(25)

3.2. Kecurangan dan Sanksinya Berdasarkan Pihak yang Terlibat

POS UN SMA/MA Tahun Pelajaran 2009/2010 mengakui tindakan-tindakan berikut sebagai pelanggaran terhadap prosedur operasi standar UN, beserta sanksi dan penindakannya, sesuai jenis kecurangan dan pelakunya.

TABEL I

JENIS KECURANGAN DALAM UN DAN SANKSINYA

No. Pelaku Jenis Kecurangan/Pelanggaran Sanksi/Tindakan

1 Siswa

 Siswa menggunakan HP di ruang ujian setelah dilakukan pemeriksaan dan peringatan.

 Siswa menyebarkan dan/atau membawa dan menggunakan jawaban soal UN ketika UN berlangsung di ruang UN

 Siswa bekerja sama dalam satu ruang ujian setelah diberi peringatan sampai tiga kali oleh pengawas

 Guru mengedarkan jawaban secara langsung

 Guru menyebarkan jawaban melalui SMS

 Guru mata pelajaran yang diujikan berada di lingkungan sekolah

 Guru mengerjakan soal cadangan di sekolah

 Guru menawarkan soal dan jawaban

 Penyelenggara UN di sekolah mengganti lembar jawaban menyimpan bahan soal di

(26)

satuan pendidikan tanpa dijaga aparat, sementara kunci ruangan dipegang oleh kepala satuan pendidikan

Inspektorat Jenderal (Itjen) Depdiknas

 Penyerahan LJUN terlambat

 Anggota penyelenggara UN masuk ke ruang UN saat mengedarkan presensi pengawas ujian

Dibuat berita acara dan diberi peringatan

 Soal cadangan dibuka oleh penyelenggara UN

 Pengawas ruang ujian tidak mengelem/mengelak amplop

 Pengawas membaca sisa soal dalam ruang ujian

 Pengawas bercakap-cakap dalam ruang ujian yang mengganggu suasana ujian

 Pengawas mengerjakan sesuatu di luar tugas dan fungsi kepengawasan di ruang ujian

Diberi peringatan

5 Percetakan

 Jumlah naskah soal atau LJUN kurang

Diberi peringatan

 Me-layout ulang master copy

soal

 Salah mengepak naskah soal UN (misalnya sampul ujian Matematika, di dalamnya soal Bahasa Indonesia)

 Tidak mengikuti ketentuan pencetakan dalam POS Pencetakan UN

Di-blacklist

(27)

3.4. Pelaksanaan Nyata Ujian Nasional

Sebagian dari pelanggaran dalam Tabel I ditemukan dalam pelaksanaan UN di tiap sekolah mantan peserta UN yang telah diwawancara, dengan variasi tertentu. Dalam suatu sekolah swasta tertentu yang cukup disiplin, pihak

penyelenggara UN dari SMA sangat menentang tindakan kecurangan58. Meskipun

demikian, dinyatakan oleh alumninya bahwa tetap ada kecurangan dalam bentuk penggunaan kunci jawaban, yang disebarkan melalui SMS59. Identitas pengirim

awal SMS ini umumnya tidak diketahui pasti60, apalagi pembuatnya, meskipun

keakuratan kunci diakui sebagai lebih dari cukup untuk mendapatkan nilai bagus oleh setiap mantan peserta yang diwawancara.

Sementara itu, di sekolah lain yang satu kota, SMAN 5 Bandung, guru dan pengawas justru membantu siswa berbuat curang61. Fenomena yang sama juga

ditemukan di SMAN 28 Jakarta. Menurut penuturan alumninya, R. W., pengawas ujian berpura-pura tidak menyadari keberadaan siswa yang berbuat curang—salah satunya siswa yang menyalin jawaban dari siswa lain dengan “terang-terangan”— seakan-akan terdapat kerja sama antara sekolah tersebut dan tim pengawas62.

Bahkan, di suatu SMA swasta, pengawas juga membantu secara langsung dengan mengajarkan gerakan tangan untuk digunakan sebagai kode dalam berbagi

58 D. D. P., loc. cit.

59 Ibid.

60 Ghyna Putri, wawancara dengan Amanda Kistilensa, komunikasi pribadi, 28 November 2010.

61 Ibid.

(28)

jawaban63. Disebutkan bahwa kecurangan pada UN SMA/MA memang cenderung

bersifat kolektif ketimbang individualis64.

Terdapat sejumlah pelanggaran yang ditemukan, dan tercantum dalam liputan pelaksanaan UN 2010 dalam Buletin BSNP. Salah satunya adalah pembocoran soal dan jawaban oleh pihak penyelenggara UN satuan pendidikan (e.g., kepala sekolah yang membacakan soal dan jawaban UN sebelum ujian dimulai)65. Ditemukan pula guru mata pelajaran berkeliaran di sekolah sementara

ujian mata pelajaran tersebut berlangsung, dan siswa yang membawa ponsel ke dalam ruang ujian66. Selain itu, menurut liputan tersebut pelanggaran terhadap

POS UN yang ditemukan sebagian besar berasal dari pihak percetakan akibat kompetensi staf percetakan yang dianggap kurang baik67.

3.4. Aspek Pendorong Tindakan Kecurangan dalam Ujian Nasional

3.4.1. Peranan Ujian Nasional sebagai Penentu Kelulusan

Seperti yang tertera dalam PP No. 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, kelulusan dalam Ujian Nasional adalah salah satu penentu kelulusan seorang siswa SMA/MA68. Penekanan terhadap UN sebagai salah satu penentu

kelulusan bahkan menimbulkan rasa takut, dan miskonsepsi bahwa UN adalah 63 Priscilla Larasati, wawancara dengan Amanda K., komunikasi pribadi, 7 Desember 2010.

64 Suryadi, op. cit., hlm. 12.

65 Op. cit., hlm. 11.

66 Ibid.

67 Op. cit, hlm. 10.

(29)

satu-satunya penentu kelulusan, terutama karena nilai ujian sekolah cenderung “dikatrol” oleh sekolah69—bahkan, seorang mantan peserta bisa menuturkan,

“tidak mungkin ada sekolah yang tidak meluluskan siswanya”70 (alasannya

dijelaskan pada 3.4.2). Siswa merasa bahwa tidak sepatutnya mereka mengulang, setelah tiga tahun bersekolah, akibat ketidaklulusan UN71.

Sebagai akibatnya, banyak siswa—bahkan, mereka yang sehari-hari berprestasi cukup baik—memilih untuk berbuat curang, seperti menyimpan kunci jawaban “untuk jaga-jaga”72, meskipun harganya jutaan73. Hal ini bersumber dari

rasa kurang percaya diri yang dimiliki oleh siswa, bahkan setelah mereka

mempersiapkan diri (dengan mengikuti bimbingan belajar, mengurangi kegiatan ekstrakurikuler, dsb.)74. Keberadaan kunci jawaban membuat mereka merasa lebih

aman, meskipun mereka menyadari perbuatannya itu curang75.

3.4.2. Pemeringkatan Sekolah berdasarkan Hasil Ujian Nasional

Rasa takut terhadap ketidaklulusan UN tidak hanya dialami oleh siswa; hasil performa siswa suatu sekolah dalam UN kerap dijadikan salah satu aspek penilaian utama mutu sekolah tersebut, seperti dalam sistem kluster—sistem yang

69 R. W., loc. cit.

70 Putri, loc. cit.

71 D. D. P., loc. cit.

72 Ibid.

73 Larasati, loc. cit.

74 Ibid.

(30)

mengelompokkan sekolah berdasarkan kluster peringkat—yang menentukan kluster berdasarkan passing grade terendah dan hasil kelulusan, yang ditentukan oleh kelulusan UN76. Peringkat yang diperoleh sekolah tentunya menentukan

kualitas dan jumlah murid yang mendaftar ke sekolah tersebut77.

Reputasi sekolah yang bertumpu pada hasil UN siswanya membuat proses belajar-mengajar dalam sekolah terlalu berorientasi pada UN78. Sebagai akibatnya,

sekolah pun melakukan berbagai upaya untuk menjamin hasil UN yang baik, dan upaya tersebut tidak sekadar mengajar lebih giat. Selain “katrol nilai” yang kerap terjadi dalam penilaian ujian sekolah, beberapa sekolah juga menjalin semacam “kerja sama”: pengawas yang dikirim masing-masing sekolah sengaja

membiarkan—bahkan, mendukung—tindakan kecurangan dalam ruang UN79,

agar keduanya mendapatkan hasil yang baik, meskipun dengan tidak jujur.

3.4.3. Ketidakdisiplinan Penyelenggara Ujian Nasional

Salah satu faktor yang membuat siswa lebih leluasa melakukan tindakan kecurangan adalah pihak penyelenggara dari sekolah dan pengawas yang tidak tegas—bahkan, mendukung—tindakan tersebut. Melihat guru dan pengawas yang justru mendukung kecurangan, siswa merasa lebih santai berbuat curang karena

76 “Sistem Kluster Mendiskriminasi Sekolah”. Pikiran Rakyat. 14 Juni 2010.

77 Ibid.

78 Marjohan Usman, “Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah

Kadaluwarsa”, e-Newsletter Disdik, (http://enewsletterdisdik.wordpress.com/mengukur-peringkat-pendidikan-berdasarkan-skor-un-sudah-kadaluwarsa/), diakses 7 Desember 2010.

(31)

tahu mereka tidak akan ditangkap80. Ketidakdisiplinan ini dapat disebabkan

berbagai alasan, seperti belas kasihan atau tenggang rasa terhadap siswa, maupun keinginan sekolah untuk menyandang reputasi yang baik81.

Kejujuran pekerja dari pihak percetakan soal dan lembar jawaban UN juga dinilai kurang, sehingga ditemukan banyak pelanggaran POS UN dalam

percetakan82. Salah satu contoh kasusnya dalam UN 2010 adalah tindakan

pembocoran soal yang dilakukan oleh suatu oknum karyawan percetakan CV Budi Utomo, dan soal yang bocor inilah yang menjadi asal-muasal kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa via SMS83.

3.5.Dampak dari Kecurangan dalam Ujian Nasional

3.5.1. Dampak pada Pencapaian Tujuan Ujian Nasional

Dampak dari kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional terhadap pencapaian tujuannya—memperoleh pemetaan yang tepat atas mutu pendidikan di seluruh Indonesia—cukup jelas. Pemetaan yang diperoleh dari UN menjadi tidak kredibel karena tidak mencerminkan kenyataan sebenarnya, bertentangan dengan pakta integritas yang ditandatangani tiap kepala dinas pendidikan provinsi84.

80 Putri, loc. cit.

81 Ibid.

82 Suryadi, loc. cit.

83 Khairul Ikhwan. “Soal UN di Medan Diduga Bocor, Jawaban Beredar Lewat SMS “. detikNews. 22 Maret 2010.

(32)

Dengan demikian, peningkatan mutu guru dan fasilitas sekolah yang mutunya kurang baik tidak dapat dilaksanakan dengan semestinya.

3.5.2. Dampak pada Peserta Didik

Definisi pendidikan, menurut undang-undang sistem pendidikan nasional:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”85

Oleh karena itu, hasil akhir dari proses pendidikan sehendaknya adalah peserta didik memiliki keterampilan maupun kepribadian yang baik.

Pendidikan yang kurang tepat sasaran juga menciptakan generasi penerus yang diisi lulusan yang hanya “cerdas di atas kertas [ijazah]”86, atau bahkan

cerdas otak pula, namun tidak berkontribusi banyak karena tidak memiliki motivasi untuk belajar dan berinovasi87. Dikhawatirkan ketika siswa melihat

kecurangan akademik sebagai perilaku normatif, kelak mereka akan melihat perilaku bisnis tidak etis sebagai perilaku yang normatif juga88. Dapat dilihat

85 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

86 Usman, loc. cit.

87 Ibid.

88 K. Mangan, “The Impact Of Unethical Reasoning On Different Types Of Academic

(33)

bahwa pengaruh kecurangan yang dilakukan peserta didik terhadap pribadinya tidak hanya dalam kelas89, namun mencakup seluruh aspek kehidupannya.

3.6. Upaya Nyata Minimalisasi Kecurangan dalam Ujian Nasional

Tiap tahun, dilakukan upaya untuk mengurangi pelaksanaan tindakan dalam Ujian Nasional, meskipun beberapa hal seperti penyebaran kunci jawaban, masih ditemukan dari tahun ke tahun. Sistem pelaksanaan UN sendiri mengalami perubahan; contohnya adalah UN 2010 yang memiliki UN Ulangan bagi mereka yang tidak lulus UN Utama atau UN Susulan, untuk mengurangi beban psikologis pada peserta seandainya mereka belum lulus90. Tim Pemantau Independen (TPI)

juga memiliki wewenang langsung memasuki ruang ujian jika muncul tanda-tanda kecurangan91. Namun, sangat disayangkan, upaya-upaya ini belum berhasil

meniadakan kecurangan dalam Ujian Nasional.

89 Jacqueline Eastman, et. al., “The Impact Of Unethical Reasoning On Different Types Of Academic Dishonesty: An Exploratory Study”, Journal of College Teaching & Learning, Volume 5, No 12, Desember 2008, hlm. 9

90 Suryadi, loc. cit.

(34)

4.1. Kesimpulan

Kecurangan dalam Ujian Nasional adalah suatu masalah serius yang patut diperhatikan, terutama karena dampak buruknya pada perkembangan peserta didik dan pencapaian dari penyelenggaraan UN dan pendidikan secara keseluruhan. Akibat keberadaan kecurangan, hasil dari pelaksanaan UN menjadi tidak kredibel dan tidak dapat dimanfaatkan untuk memetakan mutu pendidikan di Indonesia. Meskipun kecurangan ini dianggap “lumrah” oleh siswa, kasus yang terungkap tidak begitu banyak, dan meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menangkal kecurangan yang terjadi, kasus kecurangan seperti pembocoran soal marak terjadi.

Pada umumnya, kecurangan dilakukan oleh pihak siswa dan

penyelenggara satuan pendidikan yang, tentunya, memiliki kepentingan dengan hasil UN—siswa demi kelulusan, penyelenggara satuan pendidikan demi nama baik institusi—sehingga berusaha mencapai hasil yang baik dengan cara yang tidak sah. Penyebab dari perilaku ini juga ketidakpercayaan peserta dengan kemampuannya sendiri, terutama di bawah tekanan UN yang batas minimal kelulusannya naik tiap tahun.

(35)

4.2. Saran

Peserta UN perlu diyakinkan bahwa mereka mampu mengerjakan Ujian Nasional dengan kemampuannya sendiri. Pihak sekolah dan pengawas ujian yang mengakomodasi tindakan kecurangan akan membuat siswa makin merasa tidak mampu mengerjakan UN sendiri, sehingga harus ditindak dengan lebih tegas. Sekolah juga tidak akan terlalu menekan murid untuk mendapatkan hasil yang bagus dalam UN jika reputasinya tidak terlalu bergantung pada hasil UN siswanya.

Pengawas ujian yang mengakomodasi kecurangan juga mendorong peserta untuk berbuat curang. Sanksi yang ada bagi pengawas ujian yang melanggar ketentuan POS UN bisa dimodifikasi agar pengawas ujian lebih sangsi melakukan

(36)

Suara Merdeka, 9 November 2005. Dalam jaringan (http://www.suara merdeka.com/harian/0511/09/nas21.htm), diakses 3 Desember 2010. ______, 2010. Prosedur Operasi Standar (POS) Ujian Nasional (UN) SMA/MA

Tahun Pelajaran 2009/2010, Revisi Final 23 Februari 2010. Jakarta: Badan Standar Pendidikan Negara.

______, 2010. “Sistem Kluster Mendiskriminasi Sekolah”. Dalam Pikiran Rakyat. 14 Juni 2010. Bandung.

______, 2010. “Ujian Nasional 2011 Digelar April”. 15 Oktober 2010. Jakarta. Dalam

jaringan

(http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/ujian-nasional-2011-digelar-april/), diakses 9 Desember 2010.

Kementerian Pendidikan Nasional. Sejarah Ujian Nasional. Dalam jaringan (http://www.kemdiknas.go.id/orang-tua/ujian-nasional/sejarah-ujian-nasional.aspx), diakses 3 Desember 2010.

Nandika, D. 2006. Kilas Balik Pendidikan Nasional 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Rozalina, Ice. 2010. UN Sebagai Sistem Dari Pendidikan. Dalam jaringan (http://sman1mandau.blogspot.com/2010/09/un-sebagai-sistem-dari-pendidikan.html), diakses 10 Desember 2010.

Siswadi, A. 2010. “Dua Tim Pemantau Beberkan Kecurangan Ujian Nasional di Jawa Barat”. Dalam TEMPO Interaktif, 27 Maret 2010. Bandung. Dalam

(37)

jaringan (http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2010/03/27/ brk,20100327-236099,id.html), diakses 4 Desember 2010.

Suryadi, B. 2010. “Penyelenggaraan UN Tahun Ajaran 2009/2010”. Dalam

Buletin BNSP, Volume V/No. 2/Agustus 2010: 8—13.

Usman, Marjohan. 2009. Mengukur Peringkat Pendidikan Berdasarkan Skor UN Sudah Kadaluwarsa. Dalam e-Newsletter Disdik. Dalam jaringan

(38)
(39)

Lampiran A

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P.

Hari/Tanggal Wawancara: Minggu/27 November 2010.

Identitas Informan

Nama: D. D. P.

Status: Mahasiswa Tingkat 2 Universitas Kristen Maranatha

Jenis kelamin: Lelaki

Peserta UN tahun: 2009

SMA dan Jurusan Asal: - (sekolah dirahasiakan), IPS

Pewawancara (P): Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?

D: Yah, nggak takut-takut amat, sih, soalnya dari dulu sudah dikasih tahu kalau ujian sekolah [UAS] tuh lebih susah dari ujian negara [UN], jadi santai saja.

P: Biasanya siswa lebih takut terhadap UN ketimbang UAS, kok berbeda di sekolah Anda?

D: Beda, di SMA saya tuh kalau lulus UAN tapi nggak lulus UAS, tetap saja nggak lulus, dan UAS tuh nggak ada yang digampangin biar jadi lulus.

(40)

Lampiran A

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)

D: Nggak juga, [s]ontek-menyontek itu pasti ada di sekolah mana pun. Saya juga ikut terlibat.

P: Bukankah lebih santai menghadapi UN ketimbang UAS?

D: Untuk jaga-jaga... Kalau-kalau soal yang keluar aneh-aneh, jadi sudah ada pegangan.

P: Hm, apakah Anda tidak yakin atas kemampuan Anda sendiri?

D: Yakin, sih, tapi kan kalau sesuatu ada pegangan tuh, jadi merasa lebih aman, apalagi kalau nilai yang keluar bisa bagus atau mendekati sempurna.

P: Dan bagaimana nilai Anda, dan teman-teman Anda? Mendekati sempurna? Bagaimana dengan yang nggak pakai?

D: Yang menggunakan [s]ontekan jelas nilainya jadi bagus-bagus. Yang biasanya nilainya jelek juga jadi bagus. Kalau yang nggak pakai sih karena mereka

memang pintar, jadi nilai mereka pasti bagus.

P: Anda merasa tidak pintar?

D: Nggak.

(41)

Lampiran A

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)

D: Yap,dan beberapa yang sebenarnya biasa saja juga ikut nyontek. Kayaknya

biar mereka juga merasa aman...

P: Bisa jadi, ya... Apakah dengan itu menurut Anda hal itu menjadi sah untuk dilakukan?

D: Hahaha, kalau sah sih jelas nggak... Yang namanya curang itu nggak sah, tapi ini demi kelulusan saja. Nggak lucu juga kalau udah 3 tahun sekolah di SMA, gara-gara ini nggak lulus, harus ngulang lagi...

P: Tentang kelulusan, tentu kalau banyak siswa yang nggak lulus, hal itu akan berdampak buruk bagi imej sekolah juga... Bagaimana pandangan pihak guru dan sekolah tentang menyontek saat UN?

D: Mereka sangat tidak setuju... Banyak upaya juga dari guru biar murid-muridnya nggak nyontek,tapi sepertinya murid-murid-muridnya lebih pintar

nyembunyiin [s]ontekannya. Biasanya pagi-pagi [mereka] sudah menghapal kunci jawabannya. Sebelum masuk kelas, kunci jawaban yang sudah dihapal dibuang.

P: Kunci jawaban ini didapat dari mana, ya?

(42)

Lampiran A

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)

P: Kalau melihat keakuratan kunci jawaban, kira-kira kunci jawaban ini bersumber dari mana?

D: Waduh, nggak tahu juga, sih... tapi kayaknya dari pihak Depdiknasnya.

P: Hal itu memang masih menjadi misteri... Setelah setahun lebih sejak mengikuti UN, bagaimana pendapat Anda sekarang, terhadap sontek-menyontek, dan UN sendiri?

D: Kalau contek-mencontek sih kayaknya udah biasa... Hal seperti itu sangat susah untuk dihilangkan...

P: Kalau UN?

D: Yah,kalau UN-nya sih lebih baik tetap ada… Dan diusahakan agar soalnya tidak bocor ke siswa, atau nilai UN itu hanya lima puluh persen dari total nilai untuk lulus. Lima puluh persennya lagi UAS, biar anak-anak nggak bisa

nyepelein UAS dan UN, dan kalau satu gagal, bisa diselamatin sama yang lain. Anak-anak juga jadi nggak tegang waktu ngerjain ujiannya, jadi tingkat

kecurangan bisa dikurangi.

(43)

Lampiran A

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN D. D. P. (sambungan)

D: Haha… Yah, memang ironis, sih, tapi mau gimana lagi... Kalau gini terus, mutu pendidikan bisa jeblok.

P: Jadi, setidaknya Anda menyadari kalau tindakan Anda itu sebenarnya tidak benar.

D: Yap.

P: Cukup sampai di situ, terima kasih atas partisipasinya...

(44)

Lampiran B

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W.

Hari/Tanggal Wawancara: Minggu/27 November 2010.

Identitas Informan:

Nama: R. W.

Status: Mahasiswa Tingkat 2 Institut Teknologi Bandung

Jenis kelamin: Perempuan

Peserta UN tahun: 2009

SMA dan Jurusan Asal: SMA Negeri 28 Jakarta, IPA

P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?

R. W. (R): Senang sekali, saya sudah menunggu lama kapan waktunya saya bisa lulus dari sekolah.

P: Tidak ada rasa gelisah? Bagaimana dengan siswa yang lain?

R: Tidak sama sekali. Saya sangat excited dengan lulus

sekolah-jadi-anak-kuliahan-thingy. Yang lain waktu awal-awal kelas tiga penuh semangat mengejar jurusan impian, UN nggak begitu dipikirkan. Baru pas semester dua mulai menyadari keberadaan UN.

(45)

Lampiran B

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)

R: Hm, waktu itu kan SIMAK [ujian mandiri Universitas Indonesia] jaraknya dekat dengan UN, mereka awalnya bingung menentukan prioritas. Sembilan puluh persen anak di sekolah saya ikut SIMAK, nah waktu itu kan SIMAK dulu baru UN. Mereka memprioritaskan SIMAK. Setelah SIMAK keluar dan banyak yang nggak lulus SIMAK, mereka baru memikirkan UN, menyadari bahwa ujian tidak mudah, dan menjalani hari menuju ujian dengan raut wajah muram.

P: Begitu menyadari bahwa UN tidak mudah, apakah ada yang berpaling ke cara-cara yang kurang benar?

R: Banyak. Biasanya tanya-tanya teman yang pintar di ruang penjagalan. Ada juga yang taruh kertas [s]ontekan di toilet, ada yang beli kunci jawaban.

P: Anda tidak terlibat?

R: Tidak.

P: Mengapa demikian?

R: Waktu itu saya iseng-iseng, sih, mengkampanyekan gerakan UN tanpa belajar. Jadi saya bilang ke yang lain, UN itu santai saja, gak usah nyontek, ngebet, pasti lulus. Toh kita masuk universitas nggak perlu NEM. Saya menjalani UN dengan

(46)

Lampiran B

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)

P: Bagaimana tanggapan teman-teman Anda terhadap gerakan tersebut?

R: Teman-teman saya karena baru patah hati ditolak UI, mereka jadi tidak percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri. Saya nggak ikut SIMAK jadi masih percaya diri.

P: Jadi, masalah kepercayaan diri, ya... Teman-teman Anda yang nyontek, mereka bisa dapat sontekan itu dari mana?

R: Tanya teman yang pinter, yang duduk di sekitar.

P: Tidak ada yang mendapatkan sontekan dari luar?

R: Itu kunci jawaban, sih, jadi ada teman saya yang kaya raya. Dia dan gengnya mendapat pasokan kunci entah beli sama siapa tapi dengar-dengar kuncinya tepat.

P: Setelah melihat hasil ujian yang keluar, bagaimana?

R: Hm bukan habis lihat hasil sih, kan biasa ya habis ujian anak-anak

mencocokkan jawaban. Nah, waktu dibahas ini, kunci jawaban anak orkay [orang kaya] itu lebih dari delapan puluh persen jawabannya tepat.

P: Selain itu, jumlah murid yang lulus pasti berpengaruh bagi imej sekolah juga... Bagaimana pandangan guru dan sekolah terhadap sontek-menyontek dan

(47)

Lampiran B

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN R. W. (sambungan)

R: Waktu itu di angkatan saya—di sekolah-sekolah lain juga—entah kenapa sekolah kelihatan bekerja sama dengan pengawas ujian untuk memperkendor pengawasan. Misalnya, jelas-jelas ada anak yang menyontek, tapi mereka membiarkan. Bahkan ada yang melongokkan kepala sampai nyaris berdiri untuk melihat jawaban teman di depannya tapi pengawas pura-pura nggak melihat.

P: Bagaimana pendapat Anda tentang hal ini?

R: Saya tidak suka cara mereka. Apalah artinya lulus seratus persen kalau ujian tidak jujur dan nilai dikatrol. Saya mau biar nilai pas-pasan yang penting hasil sendiri. Jujur saya menyumpah-nyumpahi anak orkay yang pakai kunci itu, lha wong dia pemalas, tahu-tahu lulus karena beli kunci yang mahal… Tidak adil!

P: Dikatrol? Apakah itu yang dilakukan sekolah terhadap nilai UAS?

R: Iya. Sedih betul.

P: Mengapa sedih?

R: Kalau dari pihak murid, pasti malas-malasan UAS. Belajarnya setengah hati. Pikirannya juga "Ah, mana mungkin ada sekolah yang mau muridnya tidak lulus". Pihak sekolah juga bingung kan, kalau serius dibuat standar kelulusan, pasti ada banyak yang tidak lulus, soalnya standar kelulusan di sekolah saya 76. Akhirnya

Lampiran B

(48)

dikatrol, bantu sedikit-sedikit. Ya sedih lah, mungkin sebetulnya saya juga tidak lulus UAS praktikum Olahraga.

P: Sepertinya sekolah juga benar-benar ingin muridnya lulus, ya. Lalu, bagaimana peranan Dinas Pendidikan dalam pelaksanaan UN?

R: Yah begitu-begitu saja. Melihat pelaksanaan UN 2009 yang tidak bisa dibilang baik, jadi yah… Begitu deh. Mengerti lah maksud saya.

P: Mungkin bisa diperjelas?

R: Pokoknya kurang memuaskan. Nah… Terus yang bikin soal UN Biologi, siapa itu? Saya masih ingat itu soalnya tidak sesuai kurikulum… Nyambung gak sih?

P: Hahaha, tidak masalah... Terakhir, apakah Anda punya saran perbaikan agar kecurangan dari pihak murid maupun sekolah bisa dikurangi?

R: Susah, sih. Mungkin ESQ di H-1, jangan jauh-jauh soalnya efek ESQ tidak lama kan. Kalau untuk sekolah sebetulnya tergantung murid, kalau muridnya baik-baik dan rajin masa iya mereka tetap mendukung kecurangan.

P: Sepertinya cukup sampai di situ... Terima kasih atas partisipasinya

(49)

Lampiran C

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN GHYNA

Hari/Tanggal Wawancara: Senin/27 November 2010.

Identitas Informan:

Nama: Ghyna Amanda Putri

Status: Mahasiswa Tingkat 2 Universitas Pendidikan Indonesia

Jenis kelamin: Perempuan

Peserta UN tahun: 2009

SMA dan Jurusan Asal: SMA Negeri 5 Bandung, IPA

P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?

Ghyna (G): Sedikit merasa pesimis karena pada dasarnya saya tidak punya kematangan dalam jurusan yang saya ambil.

P: Bagaimana dengan teman-teman, pesimis jugakah?

G: Teman-teman yang lain juga agak merasa pesimis—mungkin—soalnya UN itu tidak tertebak.

P: Maksudnya?

Lampiran C

(50)

G: Yaa, kan kadang-kadang ada anak yang pintar tapi tidak lulus, sedangkan yang biasa-biasa saja lulus gemilang.

P: Kira-kira mengapa bisa demikian?

G: Karena... karena kalau yang pintar mungkin kebanyakan pasrah dengan kemampuannya, sedangkan yang biasa-biasa saja merasa tidak akan bisa, jadi cari alternatif… belajar, [s]ontekan, atau apapun…

P: Alternatif, ya... Sebagai orang yang merasa pesimis terhadap performanya dalam UN, apa alternatif yang Anda dan teman-teman ambil untuk menghadapi UN?

G: Bimbingan belajar, pelajaran tambahan di sekolah, dan sebagainya.

P: Setelah mengambil tambahan seperti itu, apakah Anda merasa lebih optimis untuk menghadapi UN?

G: Optimis, tapi hanya [untuk] mencapai standarnya saja.

P: Apakah dengan demikian Anda dan teman-teman berpasrah dengan kemampuan sendiri, atau mencari kepastian dengan metode lain... sontekan, misalnya?

G: Kalau [s]ontekan tidak dicari sih, biasanya datang sendiri, jadi pasrah pada kemampuan sendiri kalau dapat [s]ontekan ya... lihat-lihat dulu terpakai apa tidak.

Lampiran C

(51)

P: Lha, kok bisa datang sendiri?

G: Kalau UN begitu suka ada sumbernya, jadi tanpa diminta pun datang sendiri

P: Sumbernya dari mana, bila boleh tahu?

G: Dari orang tidak dikenal yang datang lewat SMS, atau kadang ada beberapa orang yang kalau zaman saya sih disebut Sumber Pengki, mereka juga punya jawaban; entah dari mana, yang pasti tiap sebelum ujian jawabannya sudah disebar lewat SMS.

P: Dijarkom, ya, sepertinya?

G: Iya macam itu, tapi dari berbagai sumber.

P: Apakah kunci jawaban yang diberikan sumber yang berbeda juga berbeda?

G: Yaa... kadang ada yang sama dan kadang ada yang beda.

P: Lalu, bagaimana cara memilih yang mana yang sebaiknya "dipakai" bila demikian?

G: Cari yang paling banyak sama, atau kalau semuanya beda… ya semuanya dipegang buat jaga-jaga.

P: Dengan kunci jawaban, apakah jawabannya diikuti begitu saja atau tidak?

Lampiran C

(52)

G: Tidak sih, kecuali kalau sudah lebih dari setengah jawaban dari siswa terpintar sama dengan kunci baru dipakai. Ada satu-dua orang yang paling pintar yang menyamakan dulu, nanti setelah disamakan dan terbukti sama lebih dari setengahnya, baru kunci dianggap valid dan disebar.

P: Bagaimana caranya kuncinya bisa disamakan sebelum UN? Soalnya sudah diketahui sebelumnya?

G: Nggak, jadi kuncinya dicatat oleh semua anak. Nanti saat ujian, siswa yang paling pintar yang juga pegang kunci menyamakan sampai setengahnya... Habis itu baru dia kasih kode kunci mana yang [patut] dipakai sama anak-anak yang lain

P: Bagaimana caranya?

G: Yaa, tinggal bisik-bisik saja dari satu orang ke orang lain. Ngasih tahu kunci yang mana [yang benar] kan lebih gampang ketimbang ngasih tahu semua jawabannya.

P: Selain itu, dari pihak guru dan sekolah sendiri, bagaimana tanggapan mereka terhadap kerja sama antarsiswa ini? Apakah mereka tahu?

G: Tahu lah, bahkan kadang sumber kuncinya kan dari guru.

P: Bisa dibilang, mereka juga mendukung, dong?

Lampiran C

(53)

G: Ya pastinya mendukung, pihak sekolah juga kan nggak mau nama baik sekolahnya jatuh karena nilai UN siswanya yang hancur.

P: Sementara pada saat penyelenggaraan ujiannya sendiri, apakah mereka juga melakukan upaya lain?

G: Hm, nggak begitu tahu sih, soalnya guru-guru saat UN kan nggak ada di tempat.

P: Bagaimana dengan pengawas ujian?

G: Pengawas ujian kadang ada yang peduli kadang tidak, ya kebanyakan tidak peduli. Entah karena ada titipan pesan dari sekolah atau faktor lainnya.

P: Tidak peduli? Maksudnya?

G: Ya, membiarkan saja situasi kelas mau bagaimana juga, asal tidak ribut.

P: Meskipun ada murid yang menunjukkan tanda-tanda bekerja sama?

G: Iya.

P: Bagaimana pendapat Anda terhadap hal ini?

G: Hm, bagaimana ya, tidak bisa menyalahkan walau hal tersebut tetap salah… soalnya sebagai peserta ujian saya juga diuntungkan, kan?

P: Menurut Anda, mengapa hal ini bisa terjadi—dari pihak murid maupun guru?

Lampiran C

(54)

G: Kalau menurut saya sih karena masih mental orang Indonesia yang

menjunjung tenggang rasa, dimana para guru banyak yang tak tega buat menegur karena mereka tahu bagaimana nasib murid-muridnya sendiri… sedangkan yang murid ya senang-senang saja karena tidak ditegur.

P: Hm, apakah ada sesuatu dalam sistem pelaksanaan UN yang mengakibatkan sikap tenggang rasa ini muncul saat pelaksanaannya?

G: Mungkin karena tuntutannya terlalu tinggi, jadi membuat berbagai kalangan ketakutan, bukan cuma muridnya tapi juga gurunya.

P: Takut tidak lulus?

G: Yap.

P: Apakah bisa mengurangi rasa takut dari pihak murid dan sekolah ini?

G: Hm... mungkin jika tuntutan kelulusan tidak hanya pada UN rasa takut bisa berkurang.

P: Tapi, nyatanya kelulusan juga ditentukan oleh UAS dan akhlak baik, namun sepertinya yang diperhatikan hanya UN saja.

G: Eng... kelulusan hanya dari UN kan, pada zaman saya, sedangkan UAS pelengkap saja… jadi tidak lulus satu mata pelajaran UN ya tidak lulus SMA.

Lampiran C

(55)

P: Ya, memang kalau tidak lulus UN tidak lulus, tetapi kalau tidak lulus UAS juga tidak lulus. Namun, tidak banyak murid yang takut tidak lulus UAS.

G: Soalnya UAS itu ditentukannya oleh sekolah, dan tidak mungkin ada sekolah yang tidak meluluskan siswanya… yaa, walau ada saja sih… Kan sekolah juga tidak mau pamornya turun karena ada siswanya yang tidak lulus.

P: Tentu... Dan, terakhir, setelah setahun lebih sejak mengikuti UN, bagaimana pendapat Anda sekarang terhdap sontek-menyontek, dan UN-nya sendiri?

G: Sepertinya sih budaya menyontek dan segala macamnya susah untuk dipisah dari pelajar kita, intinya sudah mendarah daging, kecuali kalau pemerintah bisa lebih tegas dan membuat sistem pendidikan yang lebih baik.

P: Lebih baik, misalnya bagaimana?

G: Ya, tidak seperti UN yang dijadikan satu-satunya faktor kelulusan, karena yang namanya sekolah kan tidak hanya mengajar dan mengejar nilai tapi juga

mendidik… kalau penyamarataan pendidikan macam ini terus, yang sama hanyalah kuantitas angka, bukan kualitas akhlak serta norma.

P: Ya, terima kasih atas partisipasinya, sepertinya cukup sampai di sini.

(56)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA

Hari/Tanggal Wawancara: Selasa/7 Desember 2010

Nama: Priscilla Linda Larasati

Status: Mahasiswa Tahap Persiapan Bersama Institut Teknologi Bandung

Jenis kelamin: Perempuan

Peserta UN tahun: 2010

SMA Asal: SMA Mardi Yuana Depok

P: Bagaimana perasaan Anda ketika memasuki Kelas 3, dan mengetahui bahwa tahun tersebut Anda harus menghadapi UN?

Pr: Cukup tegang, karena tahun itu tahun terakhir dengan segala beban yang harus dipikul untuk persiapan UN dan SNMPTN.

P: Bagaimana dengan teman-teman? Merasa tegang juga?

Pr: Sebagian lebih tegang lagi, mungkin karena faktor nilai mereka dari Kelas 10 yang kurang menjanjikan, hehehe… Sebagian lagi, tenang, tapi cukup tegang untuk menyusun persiapan.

(57)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

Pr: Rata-rata nyari bimbel [bimbingan belajar], kalau aku termasuk setop semua ekskul juga. Fokus ngatur waktu, meng-deactivate Facebook, Twitter, dan kawan-kawan, hahaha…

P: Apakah dengan persiapan itu seseorang menjadi pasti dengan kemampuan sendiri, atau mencari kepastian dengan metode lain... bocoran soal, kunci jawaban, dan semacamnya?

Pr: Tergantung individunya, kalau dia merasa belum mampu sampai mendekati hari-H, pasti nyari alternatif; sebagian temanku termasuk [yang] mengambil langkah alternatif itu. Ada seseorang yang dapat channel dari luar untuk kunci jawaban, harganya jutaan, dan sebagian teman-temanku di IPA patungan beli itu. Yang IPS lebih parah lagi jumlah massanya.

P: Bagaimana, tuh?

Pr: Ya itu tadi, ada salah satu orang yang dapat channel untuk jual-beli kunci jawaban. Nah, dia kasih tahu ke yang lain, otomatis yang lain juga mau. Jangankan di sekolahku, teman-temanku dari [sekolah] negeri pun yang

sekolahnya termasuk sekolah-sekolah dengan rating tinggi di kotaku… di sana juga banyak penyebarluasan kunci.

(58)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

Pr: Wah, bagus-bagus, lah. Bahkan di sekolahku yang dapat nilai UN tertinggi itu seseorang tak terduga, dan dia beli “kunci” [kunci jawaban]. Malahan juara-juara umumnya paling cuma di-rating 4, 5, 8, bahkan 20-an. Jadi sebenarnya aku nggak

suka UN karena… banyak kecurangan di sana. Yang bisa membuktikan seorang anak berhasil dalam studinya itu berdasarkan rapotnya… yang juara umum pasti

ketahuan… kalau UN justru yang juara umum tersingkir. Artinya dunia pendidikan kita sudah termanipulasi oleh anak didiknya sendiri, kan?

P: Seharusnya lebih dilihat dari sehari-harinya, ya?

Pr: Yep, karena belajar dan prestasi itu menurutku proses… dan jangka waktunya panjang. Bukan cuma blek “UN bagus”, lalu seseorang jadi pintar… nggak gitu. Aku termasuk salah satu yang menentang UN, dengan alasan percuma UN ada tapi kecurangan masih banyak di mana-mana… Itu cuma buang-buang waktu, tenaga… malahan bikin anak stress.

P: Ya…

Pr: Coba bayangkan mereka yang dari kampung, dari Papua gitu, yang belajar dengan fasilitas minim, sekolah nggak punya lab bahasa, TV pun belum tentu punya, tiba-tiba UN harus listening Bahasa Inggris… aku saja yang di kota masih

(59)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

aku boleh jujur, aku berpendapat—serba instan, cuma terpatok kurikulum yang kurang strategi, dan anak-anak belajar semata-mata ngejar nilai, bukan ngejar

ilmu. Terbukti, kok, pas kuliah. Semua yang diajarin pas SMA itu—khususnya

aku yang merasakan—serba instan, rumus tanpa kita tahu aplikasi dan asal-mulanya, lalu cuma metode cepat yang sama sekali mematikan karakter kita untuk melatih olah pikir… Curcol nih lama-lama…

P: Hahaha, nggak apa… Namun, sepertinya sekolah juga sangat mengutamakan kelulusan muridnya dalam UN, berhubung imej mereka juga berkaitan dengan jumlah murid yang lulus UN…

Pr: Nah, itu dia, setuju! Cuma demi mempertahankan akreditasi… Sistem pendidikan kita seakan-akan terlalu dibonekakan oleh UN.

P: Apakah ada upaya yang dilakukan pihak guru dan sekolah Anda untuk memastikan kelulusan siswa dalam UN?

Pr: Upaya? Nggak ada, cuma ngajar doang. Tapi ada beberapa hal yang aku sendiri rasakan pas hari-H UN… jadi, guru dari sekolah lain ngawas di kelas aku… Aku benar-benar benci banget dengan sistem pengawasan mereka. Masa

(60)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

sengaja gitu supaya ngasih kesempatan [kepada] kita [untuk] nyontek. Lalu, ada dua guru dari dua sekolah berbeda justru malah ngajarin kita sistem tukar

jawaban gitu, yang dulu aku diajarin “A B C D E”-nya. “Ini A, ini B, ini C…” dan seterusnya [Priscilla menunjukkan gestur tangan]. Aku curiga, antara guru Sekolah A dan Sekolah B memang sudah ada kesepakatan sendiri untuk mengawas dengan “baik hati”—jadi ada Guru X yang bilang ke kita setelah membagi soal, “Kalian satu jam pertama kerjain dulu saja yang baik, jangan ganggu teman-temannya dulu… Nanti satu jam terakhir kalau kalian sudah mentok, baru deh”… sambil [siswa] diajarin metode tangan “A B C D E”. Mungkin baik untuk sebagian anak yg benar-benar pas UN terdesak dan panik karena nggak bisa ngisi... Aku curiga memang sudah ada kesepakatan khusus antarpengawas soal “kebaikan mengawas”… yang seharusnya itu “kebijakan pengawas”.

P: Bisa dijelaskan lagi yang “A B C D E” itu dalam kata-kata?

Pr: Nggak bisa, Man, aku bingung… soalnya kan itu gerakan gitu, hahaha… Pokoknya gitu, lah… Intinya kode dengan gerakan tangan. Tapi aku rasa percuma juga, wong yang lain sudah punya kunci jawaban, perlu tukar jawaban pun nggak jadi masalah.

(61)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

dan pihak sekolah yang nggak matang mempersiapkan UN. Aku saja UN 80% persiapan sendiri, percuma ngandalin sekolah, karena serba “instan”.

P: Bisa dibilangkah bahwa salah satu faktor yang menyebabkan siswa merasa kurang siap untuk UN adalah metode pengajaran sekolah yang "instan"?

Pr: Betul. Lalu, faktor mental juga. Aku sendiri juga merasakan, “malasnya belajar buat UN”…

P: Hoo?

Pr: Faktor kecanduan social-network site… Faktor mental yang lain… Aku menemukan beberapa temanku ngeluh, “Ah, udah lah, nggak sanggup lah gue

lihat rumus-rumus entah berantah kayak gini, entar dekat UN juga dapat “kunci”…”, jadi otak mereka ter-set untuk menyepelekan belajar, karena sudah tenang dengan “kunci”. Nanti, giliran kunci salah, baru kelabakan deh mereka… wakakaka… sayangnya kunci kemarin benar.

P: Jadi dari awal mereka memang sudah berniat menggunakan kunci?

(62)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

P: Jadi, mayoritas masih berusaha belajar dulu, ya… Tetapi, mereka tetap menggunakan kunci jawaban?

Pr: Yep. Ada juga mereka beli kunci karena nggak PD [percaya diri] dengan kemampuan diri sendiri… cuma sebagai pegangan doang buat jaga-jaga. Mereka nggak yakin dengan diri mereka sendiri, Man… Mental anak didik di Indonesia itu rata-rata mental penyontek. Dulu aku, pas SMA, ulangan-ulangan juga pernah

sih nyontek sekali-kali… Lama-lama aku mikir, nyontek itu cuma mematikan karakter kejujuran kita… Jadi, pas kuliah, begitu dapat statement “mahasiswa yang menyontek akan kehilangan status kemahasiswaannya” aku sudah nggak kaget, karena aku sudah meng-set-kan diri untuk jujur dalam ujian. Lebih baik aku

ngulang, daripada aku lanjut ke tingkat lebih tinggi padahal aku belum mampu di tingkat lebih basic-nya, ujung-ujungnya aku akan ngulang lagi.

(63)

Lampiran D

TRANSKRIP WAWANCARA DENGAN PRISCILLA (sambungan)

Pr: Nah, aku juga menilai faktor-faktor rusaknya moral anak-anak bangsa karena lingkungan juga, media massa terutama… Sinetron-sinetron yang nggak

mendidik, dan kawan-kawan… Anak kecil itu kan dalam proses sosiologinya cenderung “meniru”, kalau dari kecil yang ditiru negatif-negatif, sampai gede

perilakunya negatif juga.

P: Bisa jadi… Rasanya cukup itu saja, terima kasih atas partisipasinya.

(64)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Amanda Kistilensa

Tanggal 16 November 1992 menandakan kelahiran anak kedua dari Siswanda Harso Sumarto dan Hetifah Sjaifudian di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Pada hari itu juga, anak perempuan itu diberi nama Amanda Kistilensa. Seusai kelahirannya, ia tinggal di Bandung bersama kedua orang tua dan kakaknya, Amirah Kaca, dan dua tahun kemudian adiknya, Asanilta Fahda, lahir.

Sesudah melalui masa taman kanak-kanak, Amanda memasuki SD Islam Ibnu Sina. Tidak lama kemudian, adiknya yang kedua, Nahla Tetrimulya, lahir. Selama empat tahun ajarannya di sana, prestasinya cukup baik sebagai peraih peringkat pertama tiap tahun. Pada akhir kelas empat, kedua orang tuanya memutuskan melanjutkan studi mereka di Flinders University yang terletak di Kota Adelaide, Australia, dan membawa keempat anak mereka ke sana.

(65)

keluarganya selain kakaknya kembali ke Indonesia, dan ia dipindahkan lagi ke kelas sembilan.

Enam bulan kemudian, setelah empat tahun menimba ilmu di Australia, ia beserta kakaknya kembali ke Indonesia. Amanda menjalani satu semester yang singkat di SMPN 7 Bandung, sebelum diterima sebagai siswa SMAN 1 Bandung. Salah satunya prestasinya adalah menjadi juara dua lomba spelling bee. Pada tahun ketiganya di SMA, 2008, ia mengikuti ajang pemilihan Mojang-Jajaka Kota Bandung dan menjadi Mojang Remaja Wakil ke-2. Tidak lama kemudian,

kelulusan tiba, dan Amanda melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi.

(66)

Geavani Eva Ramadhania

Geavani Eva Ramadhania lahir di Palembang pada tanggal 15 November 1992. Geavani, yang biasa dipanggil Vani, merupakan putri kedua dari pasangan Drs. H. Eddy Roflin M.M. dan Hj. Tati Suhartati. Vani memiliki seorang kakak bernama Ferani Eva Zulvia dan adik bernama Abizard Bagas Putra. Dari kecil hingga lulus SMA, ia tinggal bersama

orangtuanya di Palembang. Setelah lulus sekolah menengah atas, ia melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dan tinggal di Bandung bersama kakak perempuannya hingga sekarang.

Vani memulai pendidikannya dengan bersekolah di TK dan SD Islam Az-zahra, sebuah sekolah yang berada di bawah bimbingan Yayasan Al-Azhar Jakarta. Pada tahun 2004, ia diterima di SMP Negeri 1 Palembang. Vani berada dalam urutan ke-13 dari 40 siswa terbaik, sehingga ia diterima di kelas bilingual di sekolahnya. Selama menempuh pendidikan di sekolah menengah pertama, ia dan teman-temannya sering diminta untuk mewakili sekolahnya dalam

(67)

Gambar

TABEL IJENIS KECURANGAN DALAM UN DAN SANKSINYA

Referensi

Dokumen terkait

Produk sayuran pangsit sangat bermanfaat untuk masyarakat karena mengandung gizi sebagai asupan gizi tambahan dengan rasa yang enak dan mudah untuk diperoleh.. 2.3

Jadi kesimpulnnya pengambilan contoh itu tergantung dari jumlah contoh yang diambil dan lokasi pengambilannya yang tersebar secara baik di seluruh tubuh endapan bahan galian

Ditahun 2012 transaksi penggunae- banking sebesar 3,79 Miliar, pada tahun 2013 terjadi peningkatan yang pesat sebesar 4,73 Miliar peningkatan tersebut dipengaruhi

Model street canyon street canyon Hertel dan Berkowicz tidak dapat diterapkan secara langsung untuk memprediksi kadar CO ambien pada jalan Pahlawan yang bertipikal

Karakteristik UKBM yaitu: 1) berbasis kompetensi dasar; 2) pengembangan buku teks pelajaran (BTP); 3) mengukur ketuntasan/pencapaian kompetensi; 4) pembelajaran aktif/interaktif

mengemukakan pendapat dengan menggunakan metode TGT sudah dijelaskan secara rinci dalam pelaksanaan tindakan pertama. Berdasarkan hasil penga-matan terhadap

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak

Pada penelitian ini, data sekunder yang digunakan adalah. laporan keuangan PT Alam Anugerah Sejati tahun 2016 dan