• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN RI DALAM PASAL 37 B PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 18 TAHUN 2011.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN RI DALAM PASAL 37 B PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 18 TAHUN 2011."

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN RI DALAM PASAL 37 B

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NO 18 TAHUN 2011

SKRIPSI

Diajukan Kepada

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan

Dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu (S-I) Dalam Bidang Hukum Islam

SUSANTO

NIM. C03211027

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Pemberhentian Dengan Tidak Terhormat Anggota Komisi Kejaksaan RI dalam Pasal 37 Peraturan Presiden Republik Indonesia No 18 Tahun2011ini merupakan hasil penelitian Kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana proses penyelesaian masalah ketika jaksa melakukan pelanggaran etik yang berdampak terhadap pemberhentian Jaksa tersebut dari jabatan Jaksa dan bagaimana indikator jaksa itu dikatan bersalah sesuai dengan Pasal 37 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011.

Data penelitian dihimpun dengan melalui data yang didapat dari buku-buku dan analisis Undang-Undang terkait proses pemberhentian secara tidak terhormat Jaksa yang melakukan pelanggaran etik. Teknik analisis data dengan menggunakan metode deskriptif analitis yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian seara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara Undang-Undang dengan penerapan sangsi dari Undang-Undang Tersebut. Selanjutnya data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola fikir deduktif.

Hasil penelitian menjelaskan, bahwa dalam pasal 37 Peraturan Presiden No 18 Tahun 2011 dengan tegas menyatakan menindak tegas jika ada oknum jaksa yang melakukan pelanggaran diantaranya seperti berikut: Melanggar sumpah jabatan, Dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Melakukan perbuatan tercela, Terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; atau Melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud.

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TRANSLITERASI ... x

HALAMAN PERSEMBAHAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 11

D. Kajian Pustaka ... 12

E. Tujuan Penelitian ... 13

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II LANDASAN TEORIKEDUDUKAN DAN FUNGSI KEJAKSAAN A. Pengertian Hukum Pidana Islam. ... 20

B. Dasar Hukum Acara Peradilan Islam. ... 27

C. Rangkaian Penyelidikan Jaksa Yang Melakukan Pelanggara. ... 31

(8)

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK

TERHORMAT ANGGOTA KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA

MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa. ... 39 B. Tindak Pidana Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Wewenang. 50

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA

KOMISI KEJAKSAAN RI DALAM PASAL 37 B PERATURAN

PRESIDEN RI NO 18 TAHUN 2011

A. Analisis hukum terhadap pemberhentian Jaksa dengan tidak terhormat sesuai dengan Pasal 37 PP RI No 18 Tahun 2011. ... 55 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberhentian Anggota Komisi

Kejaksaan Sesuai Perpres No 18/2011 Pasal 37. ... 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan. ... 64 B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan dan berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).1

Pengadilan dan kejaksaan merupakan salah satu pilar terpenting dalam sebuah negara hukum. Pengadilan merupakan institusi utama yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa antara masyarakat dengan Negara dan antar lembaga negara ( dalam batas tertentu) demi terciptanya kepastian

1

(10)

2

hukum yang berkeadilan. Sedangkan kejaksaan sebagai salah satu subsistem dari suatu sistem hukum, dalam proses penyelesaian perkara pidana kapasitasnya sebagai penuntut umwn yang mewakili negara dan kepentingan umum, bertugas untuk memastikan agar setiap ketentuan hukum dapat dipatuhi baik oleh masyarakat maupun oleh elemen penyelenggara negara, sehingga tujuan yang ingin dicapai dari adanya ketentuan hukum tersebut dapat terlaksana.

Dewasa ini tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan sangat rendah. Hal ini terlihat dengan maraknya unjuk rasa di pengadilan, angka tindakan main hakim sendiri yang meningkat serta banyaknya laporan ke pengawas lembaga peradilan yang bersangkutan. Fenomena ini demikian merupakan implikasi dari ketidakmampuan aparat peradilan bekerja dengan baik yang disebabkan oleh system maupun personnya.

Peran kejaksaan dalam sistem peradilan pidana sangat sentral karena kejaksaan merupakan lembaga yangmenentukan apakah seseorang harus diperiksa oleh pengadilan atau tidak. Jaksa pula yang menentukan apakah sesorang akan dijatuhi hukuman atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuatnya.

(11)

3

khususnya dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.2

Berdasarkan Pasal 1 angka1UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”), jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:3

a. melakukan penuntutan.

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat.

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

Sejak ditetapkannya Undang-undang Kejaksaan Nomor 15 tahun 1961 dasar hukum tugas dan wewenang kejaksaan di bidang perdata tidak diatur secara jelas, hanya berdasarkan pasal 2 ayat (4) yang menyatakan bahwa

2

https://www.kejaksaan.go.id. Diakses tanggal 26 May2016. Pukul,17:49. 3

KUHP, Tentang Kejaksaan

(12)

4

Kejaksaan melaksanakan tugas-tugas khusus lainnya yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan negara. Para pembuat undang-undang tersebut tidak menyadari dan tidak ingat bahwa Kejaksaan sebelumnya telah memiliki tugas-tugas perdata. Karena itulah tugas-tugas-tugas-tugas keperdataan tidak lagi diindahkan oleh Kejaksaan, yang mengakibatkan pelaksanaan peraturan-peraturan pada jaman Belanda tidak dipergunakan lagi.

Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).4

Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai

4

Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Organisasi dan tata kerja Kejaksaan Republik Indonesia.

(13)

5

pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Pemerintah Indonesia sebagai negara sedang berkembang tentu saja memiliki tugas yang tidak mudah terkait penegakan hukum dan perbaikan ketatanegaraan. Sebab bagaimana pun tertib sosial tidak mungkin tanpa tertib hukum dan ketatanegaraan. Produk hukum kita sendiri tidak hanya bersandar semata dari hukum positif (postitif legality), tapi juga harus bertolak dari hukum Islam. Sebab mayoritas masyarakat kita yang menganut Islam. Tidak hanya di situ, Indonesia juga dikenal memiliki keragaman kultural dan ekspresi-ekpresi sosial yang pluralistik. Oleh karena itu konvergensi hukum positif, Islam dan keterkaitannya dengan sosio-kultural menjadi penting untuk diintegrasikan dalam kehidupan berbangsa dan benegara yang berlandaskan pada penegakan hukum yang seadil-adilnya. Hal ini jelas tercermin dalam pikiran-pikiran politik, hukum dan ketatanegaraan sosok pemikir Islam setelah Muhammad Natsir, yakni Yusril Ihza Mahendra.5

Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai

5

Yusril Ihza Mahendra. Eksiklopedia Pemikiran Yusril Ihza Mahendra. Jakarta: Kompas.2015

(14)

6

pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.

Kejaksaan adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan penyidikan pidana khusus berdasarkan KUHP. Pelaksanaan kekuasaan negara diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung RI (berkedudukan di ibukota negara), Kejaksaan Tinggi (berkedudukan di ibukota provinsi), dan Kejaksaan Negeri (berkedudukan di ibukota kabupaten). Kejaksaan merupakan lembaga representasi pemerintah dalam menuntut seseorang yang melakukan tindakan melawan hukum. Lembaga ini akan menindak lanjuti BAP dari kepolisian dan akan membawa yang berperkara ke meja hijau atau ke lembaga pengadilan untuk mendapatkan keputusan yang adil bagi kedua belah pihak yang berperkara. Kejaksaan dapat bertindak sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata.

(15)

7

dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah ”peguam negara” untuk jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”, yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.Tugas dan Fungsi Kejaksaan yaitu:

a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

b. Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. c. Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan

(16)

8

terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Pada bagian pertama Peraturan Presiden No 18 Tahun 2011 Pasal 2 tentang kedudukan menyebutkan bahwa komisi kejaksaan merupakan lembaga non struktural yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat mandiri serta komisi kejaksaan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Fungsi dan Wewenang jaksa Menurut Undang-undang Kejaksaan No. 16 tahun 2004. Dalam Pasal 30 disebutkan :

1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

(17)

9

f. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

2. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Disamping itu kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.

(18)

10

• Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang

memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

• Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab

kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya.

• Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan

pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

(19)

11

B. IdentifikasiDan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka identifikasi masalah yang muncul adalah:

a. Tugas dan wewenang jaksa atau pengacara Negara berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI No.040/A/JA/12/2010.

b. Bagaimana proses pemberhentian jaksa.

c. Pemberhentian anggota Kejaksa dengan tidak terhormat sesuai dengan Pasal 37Peraturan Presiden RI No 18 Tahun 2011.

2. Batasan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan terfokus maka dibutuhkan adanya batasan masalah. Penelitian ini terfokus pada:

a. Bagaimana prosedur pemberhentian anggota komisi Kejaksaan RI ? b. Pemberhentian jaksa dengan tidak terhormat sesuai dengan Pasal

37Peraturan Presiden No 18 Tahun 2011.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang serta identifikasi dan batasan masalah di atas, penulis mengemukakan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemberhentian anggota komisi Kejaksaan dengan tidak terhormat salam Pasal 37 Peraturan Presiden RI No 18 Tahun 2011 ? 2. Bagimana analisis hukum Islam terhadap pemberhentian dengan tidak

(20)

12

D. Kajian Pustaka

Kajian pustaka adalah deskripsi singkat tentang kajian atau penelitian yang pernah sudah dilakukan diseputar masalah yang diteliti sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian tersebut.

Di bawah ini akan disebutkan beberapa karya tulis sebelumnya yang membahas tentang lisis Fiwh Jinayah terhadap fungsi kejaksaan dalam mewakili Pemerintahan atau Negara dibidang Pidana diantaranya :

1. Karya ilmiah Kejaksaan Negeri pada tahun 2001 yang berjudul “ Fungsi Kejaksaan Dalam Mewakili Negara atau Pemerintah Dibidang perdata dan Tata Usaha Negara (Analisis Jaksa Mewakili Kepentingan Negara dibidang Perdata dan Tata Usaha Negara ).Sekripsi ini meneliti bagaimana fungsi kejaksaan dibidang perdata dan Tata Negara.6

2. Skripsi di Universitas Hasanuddin Makasar tahun 2011 yang disusun oleh Ahmad Andriani dengan judul” Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia ( Telaah Kritis Terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia)”. Skripsi ini juga menjelaskan tentang kedudukan kejaksaan Republik Indonesia terkait dengan kemandirian Kejaksaan.7

3. Skripsi di Universitas Atma Jaya Yogyakarta tahun 2012 yang disusun oleh Suryawan Purba yang berjudul “ Peran Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Mengembalikan Aset Negara Hasil

6

Sutikno,SH.Fungsi Kejaksaan dalam Mewakili Negara atau P{emerintah Di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Karya Ilmiah. 2001.

7

Ahmad Adriani. Kedudukan Kejaksaan dalam Sistem Ketata Negaraan Republik Indonesia( Telaah kritis terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. SkripsiUniversitas Hasanuddin Makasar. 2011.

(21)

13

Korupsi” skripsi ini meneliti tentang peran jaksa dalam penyelidikan tindak pidana korupsi dan penuntutan dalam upaya pengambilan kembali kekayn dari hasil korupsi8

E. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka peneliti memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui prosedur pemberhentian Jaksa dengan tidak terhormat. 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pemberhentian anggota

komisi Kejaksaan dengan tidak terhormat.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Studi yang dilakukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis antara lain:

1. Kegunaan Teoritis, Untuk pengembangan pengetahuan dan memperluas cakrawala berfikir penulis selama menempuh pendidikan yang berkaitan dengan masalah yang selalu timbul dalam bidang hukum dan penegakannya khususnya lembaga kejaksaan di negara Indonesia

2. Kegunaan praktis,Penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai suatu tambahan khasanah keilmuan sekaligus sebagai perbaikan dan menambah pola kehidupan berbangsa dan bernegara.

G. Definisi Operasional

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami skripsi ini, maka penulis akan menguraikan maksud dari variabel penelitian tersebut. Adapun yang dijelaskan dalam definisi operasional adalah:

8

Suryawan Purba. Peran Jaksa dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Mengembalikan Aset Negara Hasil Korupsi. Skripsi. 2012.

(22)

14

a. Analisis pada penelitian ini bersifat uraian; penguraian; kupasan.9

b. Hukum Pidana Islam yaitu suatu tindak pidana yang dilarang oleh syara’ karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal10. Selanjutnya, dalam penelitian ini, penulis mengarahkan kepada wilayah jinayah hukum acara Islam.

c. Kejaksaan Republik Indonesia: Proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.11

H. Metode Penelitian

Dalam menelusuri dan memahami objek kajian ini penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian skripsi ini adalah studi kepustakaan(library research)yang bermaksud Yaitu melalui serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data kepustakaan, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.12

2. Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan rumusan masalah seperti yang telah dikemukakan di atas, maka data yang dikumpulkan sebagai berikut :

a. Data yang berkaitan dengan pembahasan pasal 8 ayat 5 undang-undang no. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Tentang rangkaian proses penyidikan terhadap jaksa yang melakukan tindak pidana.

9

Pius A Partanto Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 29

10

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam(Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), hlm.2

11

Undang-Undang Kejaksaan RI UU No. 16 Tahun 2004 TentangKejaksaan, hlm. 3. 12

Mustika Zeid.Metode Penelitian Kepustakaan.(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), hlm. 3

(23)

15

b. Data yang berkaitan dengan hukum acara peradilan Islam.

c. Data yang berkaitan dengan Pasal 23 Undang-Undang No 23 Tahun 2003.

3. Sumber data

Sumber dalam literatur ini agar bisa mendapatkan data yang akurat terkait Peran Jaksa sebagai wakil Pemerintah dalam penegakan hukum dibidang Pidana. data primer dan sekunder, yaitu:

a. SumberPrimer, Yaitu bahan- bahan Hukum yang mengikat13, Meliputi: 1) KUHP

2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan.

3) Undang-Undang No 18 Tahun 2005 Tentang Pemberhentian Jaksa secara tidak terhormat.

4) Peraturan Presiden Republik Indonesia No 18 Tahun 2011 pasal 37 5) Widyonopramonoi.Himpunan Undang-Undang Penting untuk

aparat Penegak Hukum.

6) Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. b. SumberSekunder

Sumber sekunder adalah data yang memberi penjelasan terhadap data primer.14 Data tersebut merupakan literatur yang terkait dengan Fungsi kejaksaan dan data ini bersumber dari buku-buku dan catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan dengan masalah. 1) Jurnal Hukum yang membahas tentang Kejaksaan Republik

Indonesia. 13

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 31.

14

Ibid, hal, 32

(24)

16

2) Penelitian Ilmiah yang membahas tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

3) Buku-buku tentang Hukum Pidana Islam 4. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian skripsi adalah penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini termasuk kategori penelitian kepustakaan (library research),maka tehnik pengumpulan data meliputi studi bahan-bahan yang

terdiri dari bahan primer, bahan sekunder.15 Setiap bahan penelitian yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas akan diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya, kemudian akan disimpulkan dan dianalisis.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu.16 a. Organizing,yaitu mengatur dan menyusun data primer dan data

sekunder tentang proses penyidikan terhadapjaksa yang melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 37 UU No. 18 Tahun 2011 tentang pemberhentian Jaksaan dengan tidak terhormat,sehingga menghasilkan bahan-bahan untuk menyusun laporan penyusunan skripsi.

b. Editing, yaitu pengecekan atau pengkoreksian datayang dikumpulkan.17 Editing dilakukan dengan cara memeriksa kembali

15

Ibid, Hal, 68. 16

M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), 89.

(25)

17

serta mengoreksi data untuk mengetahui kelengkapan, kekurangan, serta kesesuaian data.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh kemudian menyimpulkannya sehingga mudah dipahami.18Penyusun melakukan analisis data pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dan dalam periode tertentu analisis data tersebut menggunakan metode kualitatif, yaknimencari nilai-nilai dari suatu variable yang tidak dapat diutarakan dalam bentuk angka-angka, tetapi dalam bentuk kategori-kategori.19

Setelah data terkumpul langkah selanjutnya adalah menganalisis data dan mengambil kesimpulan dari data yang telah terkumpul. Dalam melakukan analisis data ini, penulis akan menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif dengan pola pikir deduktif yang bertujuan untuk membuat deskripsi atau gambaran mengenai objek penelitian seara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat- sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.

Kemudian data tersebut diolah dan dianalisis dengan pola fikir deduktif, yakni bermula dari hal – hal yang bersifat umum yaitu tentang fungsi kejaksaan, khususnya berupa data yang menjelaskan tentang fungsi da tugas kejaksaan dalam mewakili Pemerintah dibidang hukum Pidana.

17

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum ... , 253. 18

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, cet IV, (Bandung: Alfabeta, 2008), 244. 19

Koenjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,cetke9(Jakarta:Pengadilan Tinggi.Gramedia,1989),254.

(26)

18

Dari hasil analisis inilah diharapkan bisa menjadi suatu jawaban atas rumusan masalah di atas dan sekaligus sebagai bahan untuk pembahasan hasil penelitian dan bisa ditarik suatu kesimpulan.

I. Sistematika Pembahasan

Agar dalam penyusunan skripsi dapat terarah dan sesuai dengan apa yang direncanakan atau diharapkan oleh peneliti, maka disusunlah sistematika pembahasan yang terbagi menjadi lima bab, yaitu:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang mengantarkan seluruh pembahasan selanjutnya.Bab ini berisi latarbelakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab dua akan menjelaskan tentang pemberhentian Jaksa. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, sub bab pertama yaitu pengertian hukum pidana Islam.kedua, Dasar hukum acara peradilan Islam. Ketiga, rangkaian penyelidikan Jaksa yang melakukan pelanggaran.

Bab ketiga akan menjelaskanadalah tentang dasar hukum tentang kejaksaan. Bab ini terdiri dari dua sub bab. yaitu; pertama,prosedur tugas dan kewenangan jaksa. Kedua, tindak pidana jaksa dalam melaksanakan tugas dan wewenang.

Bab keempat, analisis hasil penelitian.Bab ini memuat tentang analisis Hukum Islam terhadap dasar hukum kejaksaan , bab ini terdiri atas dua sub

(27)

19

Analisis hukum pidana Islam terhadap pemberhentian anggota komisi Kejaksaan Ri sesusi Pasal 23 PP RI No 18 Tahun 2005

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Hukum Pidana Islam

Hukum pidana Islam sering disebut dengan fikih jinayah. Fikih jinayah terdiri dari dua kata. Fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf adalah: Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.1 Sedangkan Jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Adapun jinayah secara istilah sebagai mana yang di kemukakan oleh Abdul Qadir Audah yaitu: Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya.2

Beberapa pandangan intelektual lain mengartikan Hukum Pidana Islam yaitu Sayid Sabiq memberikan definisi jinayah sebagai berikut:Yang dimaksud dengan jinayah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan atau harta benda.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut

1

Abdul Wahab Khallaf,Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah, cet, VIII, 1968, h. 11. 2

(29)

21

terbatas pada perbuatan yang dilarang.Abd al Qodir Awdah bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.

Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.

Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu tindakan yang dilarang oleh syara’ (Al Qur’an dan Hadis) karena dapat menimbulkan bahaya bagi jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensia). Pengertian dari istilah jinayah mengacu pada hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu ada fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir.. istilah lain yang sepadan dengan istila jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan Syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir.3

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pengertian jinayah mengacu kepada perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan

3

Djazuli, A, Fiqih Jinayah upaya menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, h. 1

(30)

22

diancam dengan hukuman had atau ta’zir. Larangan-larangan atas perbuatan-perbuatan yang termasuk kategori jinayah berasal dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) syara’. Artinya, perbuatan-perbuatan manusia dapat dikategorikan sebagai jinayah jika perbuatan tersebut diancam hukuman. Larangan-larangan berasal dari Syara’, maka larangan-larangan tersebut hanya ditujukan kepada orang-orang yang berakal sehat. Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat menerima panggilan (khitab), dan dengan demikian orang tersebut mampu memahami pembebanan (taklif)dari syara’. Perbuatan-perbuatan merugikan yang dilakukan orang gila, anak kecil tidak dapat dikategorikan sbagai jinayah, karena mereka tidak dapat menerima khitab atau memahami taklif. Dari sinilah dapat ditarik unsur atau rukun umum dari jinayah. Perlu kiranya saya cantumkan Unsur atau rukun jinayah trsebut yaitu:

a. Unsur formil yaitu, adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.

b. Unsur materiel yaitu, adanya tingkah laku yang membentuk tindak pidana (Jarimah), baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).

c. Unsur moral atau pertanggungjawaban yaitu, bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban atas tindak pidana yang dilakukannya.[6]

d. Unsur formil (al-Rukun al-Syar’i)

(31)

23

yang timbul dalam masyarakat. Dalam perkara pidana, Nabi Saw. memutuskan bentuk hukuman terhadap pelaku perbuatan pidana sesuai dengan wahyu Allah. Setelah Nabi Saw. wafat, tugas kepemimpinan masyarakat dan keagamaan dilanjutkan oleh “al-Kulafa’ar-Rasyidun” sebagai pemimpin umat Islam, yang memegang kekuasaan sentral. Masalah pidana tetap dipegang oleh khalifah sendiri.

Dalam memutuskan suatu perkara pidana, khalifah langsung merujuk kepada al-Qur’an dan sunah Nabi Saw. Apabila terdapat perkara yang tidak dijelaskan oleh kedua sumber tersebut, khalifah mengadakan konsultasi dengan sahabat lain. Keputusan ini pun diambil berdasarkan ijtihad. Pada masa ini belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang tertulis selain al-Qur’an.4

Pada era Bani Umayyah (661-750) peradilan dipegang oleh khalifah.5 Untuk menjalankan tugasnya, khalifah dibantu oleh ulama mujtahid. Berdasarkan pertimbangan ulama, khalifah menentukan putusan peradilan yang terjadi dalam masyarakat. Khalifah yang pertama kali menyediakan waktunya untuk hal ini adalah Abdul Malik bin Marwan (26 H - 86 H/647 M -705 M). Kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (63 H – 102 H/682 M - 720 M). Pada masa ini, belum ada kitab undang-undang hukum pidana yang bersifat khusus. Pedoman yang dipakai adalah al-Qur’an, sunah Nabi Saw., dan ijtihad ulama. Pengaruh pemikiran asing juga belum memasuki pemikiran pidana Islam Perubahan

4

Dts. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 5

H. Sulaiman Rasjid, 1994 Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo:Bandung.

(32)

24

terjadi pada abad ke-19 ketika pemikiran Barat modern mulai memasuki dunia Islam.

Negara yang pertama kali memasukkan unsur-unsur Barat dalam undang-undang hukum pidananya adalah Kerajaan Turki Usmani. Undang-undang hukum pidana yang mula-mula dikodifikasi adalah pada masa pemerintahan Sultan Mahmud II (1785-1839) pada tahun 1839 di bawah semangat Piagam Gulhane. Dalam undang-undang ini ditentukan bahwa setiap perkara yang besar, putusannya harus mendapat persetujuan Sultan. Undang-undang ini kemudian diperbarui pada tahun 1851 dan disempurnakan pada tahun 1858. Undang-undang hukum pidana ini disusun berdasarkan pengaruh hukum pidana Perancis dan Italia. Undang-undang hukum pidana ini tidak memuat ketentuan hukum pidana Islam, seperti kisas terhadap pembunuhan, potong tangan terhadap pencurian, dan hukuman rajam atas tindak pidana zina.

Perumusan undang-undang hukum pidana diikuti oleh Libanon. Diawali dengan pembentukan sebuah komisi yang bertugas membuat rancangan undang-undang hukum pidana pada tahun 1944. Dalam penyusunannya, Libanon banyak mengadopsi undang-undang hukum pidana Barat seperti Perancis, Jerman dan Swis.

(33)

25

umat Islam meyakini bahwa hukum Islam adalah hukum yang universal rahmatan lil alamin.

Secara teori dalam mata kuliah hukum pidana islam, kita telah mengetahui bahwa hukum pidana Islam dalam bahasa arab adalah jarimah yang berarti dosa, kesalahan, atau kejahatan. Yang secara terminologis adalah larangan hukum yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Jariamah umumnya dipakai sebagai perbuatan dosa seperti pencurian, pembunuhan, atau perkosaan. Dalam perbuatan jarimah ini seseorang dalam melakukannya ada yang dilakukan secara sengaja, secara individual, kerjasama, ataupun dengan melakukan percobaan berbuat jarimah. Disini pemakalah akan membahas tentang percobaan melakukan jarimah, mengenai pengertian jarimah, macam-macamnya, dan apakah dalam melakukan percobaan jarimah akan dikenai hukuman atau tidak menurut syariat islam.

(34)

26

jana berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jinayah diartikan

perbuatan dosa atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian, seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwajinayat adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta benda, atau lainnya.

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqoha’, perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan yang dilarang oleh syara’. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha’ menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha’ yang membatasi istilah Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zir. Istilah lain yang sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Namun secara umum Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.

(35)

27

Arab (KUHP RPA) terdapat tiga tindak pidana yang didasarkan pada berat-ringannya hukuman, yaitu jinayah (jinayah yang disebutkan dalam konstitusi dan merupakan tindakan yang paling berbahaya. Konsekuensinya, pelaku tindak pidana diancam dengan hukuman berat, seperti hukuman mati, kerja keras, atau penjara seumur hidup, dalam Pasal 10 KUHP RPA). Janbah (perbuatan yang diancam dengan hukuman lebih dari satu minggu tetapi tidak sampai kepada penjatuhan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, dalam pasal 11 KUHP RPA). Mukhalafah. (jenis pelanggaran ringan yang yang ancaman hukumannya tidak lebih dari satu minggu, dalam Pasal 12 KUHP RPA).

B. Dasar Hukum Pidana dan Acara Peradilan Islam

Peradilan Islam hadir sebagai pemenuhan perintah Allah. Karenanya, peradilan Islam memiliki landasan yang kuat, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin. Asas hukum adalah suatu landasan yang mengatur tentang pelaksanaan hukum acara agar dapat ditemukan suatu putusan yang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum. Landasan hukum acara peradilan Islam adalah dasar atau prinsip yang mengatur tentang berdiri atau berlakunya suatu hukum, Peradilan Islam hadir bukan hanya sekedar tuntutan dari sekelompok orang, melainkan peradilan Islam hadir sebagai pemenuhan perintah Allah, Tuhan semesta alam. Karenanya, peradilan Islam memiliki landasan yang kuat, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.6 Berikut kami jabarkan dasar hukum acara peradilan islam

6

Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 11-13.

(36)

28

a. Landasan hukum peradilan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis

Prinsip keadilan merupakan perinsip ketiga dalam nomokrasi islam. Seperti halnya musyawarah, perkataan keadilan juga bersumber dari Al-Qur’an. Cukup banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang keadilan, misalnya Dalam surah an-Nisa:135 perkataan al-Qist merupakan sinonim perkataan keadilan:

نإ ۚ ﺮ ﻷ و ﺪ ﻮ وأ أ ٓﻰ ﻮ و ہ ءٓاﺪﮭﺷ ﻂ ﭑ ﻮ اﻮ ﻮ اﻮ اء ﺬ ﺎﮭ ﺄٓ ۞

ہ نﺈ اﻮ ﺮ وأ آۥﻮ نإو ۚاﻮ ﺪ نأ ٓىﻮﮭ اﻮ ۖﺎ ﮭ ﻰ وأ ہﭑ اﺮ وأ ﺎً ﻏ اﺮ نﻮ ﺎ نﺎ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

ىﻮﮭ و ﭑ سﺎ ﭑ ضرﻷ ﻲ ﺔ ﺎ إ دۥواﺪ

بﺎ مﻮ اﻮ ﺎ ﺪ ﺪﺷ باﺬ ﮭ ہ نﻮ ﺬ نإ ۚہ

(37)

29

Dalam ayat lain allah juga menjelaskan bagaimana cara memutus perkara pidana Islam yang diterangkan pada surat Al- Ma’idah ayat 48

لﺰ أ ٓﺎ ﮭ ﭑ ۖﮫ ﺎً ﮭ و ﮫ ﺪ ﺎ ﺎ ﺪﺼ ﭑ إ ٓﺎ ﺰ أو

ہ ءٓﺎﺷ ﻮ و ۚﺎ ﺎﮭ و ﺔ ﺮﺷ ﺎ ۚ كءٓﺎ ﺎ ھءٓاﻮھأ و ۖہ

ﺌ ﺎ ﺮ ہ ﻰ إ ۚتﺮ اﻮ ﭑ ۖ ٮ اء ٓﺎ ﻲ ﻮ و ةﺪ و ﺔ أ

نﻮ ﮫ ﺎ ۸

Artinya : Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

(38)

30

tidak menghukum secara adil, maka putuslah harapan orang banyak yang ingin mendapat perlindungan dari hukum dan kekuasaan dapat menyebabkan orang lupa dari asal-usul kekuasaannya di dapat sehingga dia dapat sewenang-wenang terhadap hukum.

a. Landasan As Sunnah

Hadist Rasulullah SAW yang menjadi dasar adanya peradilan Islam adalah hadits dari Amru bin ‘Ash. Sesungguhnya ia telah mendengar Rasulullah SAW bersabda yang artinya:

“Apabila seorang hakim memutus perkara lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, maka baginya mendapat dua pahala, dan apabila hakim menghukum lalu ia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah maka baginya mendapat satu pahala.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

(39)

31

b. Risalah Al-Qadha

Risalah al-Qadha adalah surat dari Umar bin Khattab kepada Abu Musa Al-Ash’ari ra. bahwa naskah asas-asas hukum acara ada 10 macam yaitu:7

1. Kedudukan lembaga peradilan.

2. Memahami kasus persoalan dan memutuskannya.

3. Samakan pandangan anda kepada kedua belah pihak dan berlaku adillah.

4. Kewajiban pembuktian. 5. Lembaga damai.

6. Penundaan persidangan

7. Kebenaran dan keadilan adalah masalah universal

8. Kewajiban menggali hukum yang hidup dan melakukan penalaran logis.

9. Orang Islam haruslah berlaku adil.\

10. Larangan bersidang ketika sedang emosional.

C. Rangkaian Mekanisme Lembaga yang Berwenang Menyidik Komisi

Kejaksaan yang Melakukan Pelanggaran

Dewasa ini kita sering melihat beberapa kejadian peradilan yang tak sesuai dengan peraturan yang berlaku, seperti yang kita tahu bahwa dalam permasalahan yang kami angkat dalam tulisan ini adalah ketika Jaksa melakukan pelanggaran pidana berat atau ringan yang berakibat

7

M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Dan Mahkamah Syar’iyah di Indonesia, Cet. III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 89-94.

(40)

32

pemecatan atau pemberhentian. Berikut kami coba menjelaskan bagimana rangkaian penyelidikan jaksa yang melakukan pelanggaran pidana.

Jaksa sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta tugas-tugas lain berdasarkan peraturan perundang-undangan, Kejaksaan memerlukan adanya satu tata pikir, tata laku dan tata kerja Jaksa dengan mengingat norma-norma agama, susila, kesopanan serta memperhatikan rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, diperlukan sosok Jaksa sebagai abdi hukum yang profesional, memiliki integritas kepribadian, disiplin, etos kerja yang tinggi dan penuh tanggungjawab, senantiasa mengaktualisasikan diri dengan memahami perkembangan global, tanggap dan mampu menyesuaikan diri dalam rangka memelihara citra profesi dan kinerja jaksa serta tidak bermental korup. Jaksa sebagai pejabat publik senantiasa menunjukkan pengabdiannya melayani publik dengan mengutamakan kepentingan umum, mentaati sumpah jabatan, menjunjung tinggi doktrin Tri Krama Adhyaksa, serta membina hubungan kerjasama dengan pejabat publik lainnya dan sebagai anggota masyarakat selalu menunjukkan keteladanan yang baik, bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang serta peraturan perundang-undangan.

(41)

33

mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam tugas dan kewajiban yang sangat luas dan kompleks ini, kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan antara turut menciptakan kondisi dan prasarana yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintahan dan negara serta melindungi kepentingan rakyat melalui penegakan hukum.

(42)

34

tidak jarang aparat penegak hukum dalam hal ini hakim, jaksa, dan penasihat hukum “main mata.” Hukum pun dipermainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Masyarakat yang tidak tahu tentang aturan hukum pun mudah untuk dipermainkan. Sistem peradilan menjadi jauh dari asas-asas peradilan. Biaya menjadi membengkak, waktu lama, dan bertele-tele. Kurang uang hukuman panjang. Itulah istilah yang juga cukup populer. Menggambarkan betap hukum itu dijadikan komoditas lahan usaha untuk aparat penegak hukum.

Pemberhentian secara tidak terhormat kepada jaksa yang melekukan pelanggaran diatur didalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberhentian Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak Dengan Hormat, Dan Pemberhentian Sementara, Serta Hak Jabatan FungsionalJaksa Yang Terkena Pemberhentian pada Pasal 5, 6, 7, 8 dan 9.8

D. Tugas dan Fungsi Komisi Kejaksaan

Hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah ”kejaksaan”, yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan. Istilah ”jaksa” atau ”kejaksaan” sebagai institusi dalam bahasa Indonesia tidaklah mudah untuk dipersamakan dengan istilah yang sama dalam berbagai bahasa. Dalam bahasa Inggris dibedakan antara ”attorney general” dengan ”public prosecutor”. Istilah pertama diartikan sebagai ”jaksa agung” dalam bahasa Indonesia, sedang yang kedua diartikan sebagai ”penuntut umum”.

8

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pemberhentian Jaksa Dengan Hormat, Pemberhentian Tidak dengan Hormat, dan Pemberhentian semntara Serta hak Jabatan Fungsional Jaksa.

(43)

35

Demikian pula dalam Bahasa Belanda, dibedakan antara ”officer van justitie” untuk istilah ”jaksa” dan ”openbaar aanklager” untuk ”penuntut umum”. Sementara dalam Bahasa Melayu Malaysia digunakan istilah ”peguam negara” untuk jaksa, dan ”pendakwa raya” untuk ”penuntut umum”, yang kesemuanya berada di bawah Jabatan Peguam Negara. Jabatan ini adalah semacam Direktorat Jenderal di bawah Kementerian Dalam Negeri.Tugas dan Fungsi Kejaksaan yaitu:

a. Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden.

b. Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya. c. Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah

(44)

36

hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.

Pada bagian pertama Peraturan Presiden No 18 Tahun 2011 Pasal 2 tentang kedudukan menyebutkan bahwa komisi Kejaksaanmerupakanlembaga non struktural yangdalam melaksanakan tugasdanwewenangnyabersifatmandiri serta komisikejaksaanberadadibawahdanbertanggungjawabkepadaPresiden.

Pada bagian ke dua Perpres No 18 Tahun 2011 Pasal 3 menyebutkan:

1) Melakukanpengawasan,pemantauandanpenilaianterhadapkinerj adanperilaku Jaksadan/ataupegawai Kejaksaandalam melaksanakantugasdan wewenangnya yangdiaturdalam peraturanperundang-undangandankodeetik;

2) Melakukan

pengawasan,pemantauandanpenilaianterhadapperilaku

Jaksadan/atau pegawaiKejaksaanbaikdidalam maupundiluar tugaskedinasan;dan

3) Melakukan pemantauandanpenilaianataskondisiorganisasi, tatakerja,kelengkapan

saranadanprasarana,sertasumberdayamanusiadilingkunganKeja ksaan.

(45)

37

ada oknum jaksa yang melakukan penyelewengan tugas maka dapat diproses lebih lanjut.

1. Peraturan yang menyebutkan syarat menjadi anggota

komisi Kejaksaan

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita perlu mengetahui apa saja syarat-syarat menjadi seorang jaksa itu. Menurut Pasal 9 ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU Kejaksaan”), syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa adalalah:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

d. berijazah paling rendah sarjana hukum;

e. berumur paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 35 (tiga puluh lima) tahun;

f. sehat jasmani dan rohani;

g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan h. pegawai negeri sipil.

(46)

38

(47)

BAB III

DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA

KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES

NO 18 TAHUN 2011

A. Prosedur tugas dan kewenangan Jaksa

Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan (en een ondelbaar).1

Sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekueten hukum tetap.2Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dimaksud dengan Jaksa adalah "Pejabat Fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut

1

Vide Pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan. 2

(48)

40

umum dan pelaksana (eksekutor) putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera dipimpin oleh ketua pengadilan.3

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.4Mengacu pada UU tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari

3

Pasal 54 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 4

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1)

(49)

41

pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.

Lex specialis derogath legi generalis merupakan asas yang

(50)

42

korupsi dan menugaskan Kejaksaan untuk melakukan akselerasidalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bahkan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yang menyebutkan: Tugas dan kewenangan Jaksa adalah: “Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan UU”. Dalam penjelasannya dinyatakan yang dimaksud dengantindak pidana tertentu berdasarkan Undang-Undang adalah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Korupsi Jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 Jo. Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Eksistensi Kejaksaan sebagai penyidik dalam perkaratindak pidana korupsi tidak sepenuhnya dapat dipahami dengan satu pendapat. Sebab faktanya dalam praktek peradilan ada pengadilan yang tidak dapat menerima alasan bahwa Jaksa berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.

Fungsi dan Wewenang jaksa Menurut Undang-undang Kejaksaan No. 16 tahun 2004. Dalam Pasal 30 disebutkan :

1. Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. Melakukan penuntutan;

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

(51)

43

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3. Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum; c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Pasal 31 Juga Menjelaskan:

kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkab oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan, atau dirinya sendiri.

(52)

44

Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang.

Pasal 33 berbunyi:

Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya.

Pasal 34

kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.

Tugas Komisi Kejaksaan5

• Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap kinerja Jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas kedinasannya • Melakukan pengawasan, pemantauan, dan penilaian terhadap sikap

dan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan baik di dalam maupun di luar tugas kedinasan

• Melakukan pemantauan dan penilaian atas kondisi organisasi, kelengkapan sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan

• Menyampaikan masukan kepada Jaksa Agung atas hasil pengawasan, pemantauan, dan penilaian sebagaimana tersebut huruf a, huruf b, dan huruf c untuk ditindaklanjuti.

5 Ibid

(53)

45

Wewenang Komisi Kejaksaan

• Menerima laporan masyarakat tentang perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan dalam melaksanakan tugas baik di dalam maupun di luar kedinasan

• Meminta informasi dari badan pemerintah, organisasi, atau anggota masyarakat berkaitan dengan kondisi dan kinerja di lingkungan Kejaksaan atas dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan maupun berkaitan dengan perilaku Jaksa dan pegawai Kejaksaan di dalam atau di luar kedinasan

• Memanggil dan meminta keterangan kepada Jaksa dan pegawai Kejaksaan sehubungan dengan perilaku dan/atau dugaan pelanggaran peraturan kedinasan Kejaksaan

• Meminta informasi kepada badan di lingkungan Kejaksaan berkaitan dengan kondisi organisasi, personalia, sarana, dan prasarana

• Menerima masukan dari masyarakat tentang kondisi organisasi, kelengkapan sarana, dun prasarana serta sumber daya manusia di lingkungan Kejaksaan

(54)

46

Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain :6

a. Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).

b. Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum. Selanjutnya apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut yakni :

1. Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya. 2. Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi

oleh penyidik dalam membuat berkas perkara, yang antara lain perihal identitas tersangka, locus dan tempus tindak pidana serta kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan.

c. Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan

6

https://www.kejaksaan.go.id/

(55)

47

Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP. d. Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka

menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21)

e. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan.

f. Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan penuntutan, maka penuntutan umum secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili.

(56)

48

tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan pemeriksaan terhadap tersangka baik identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka, dapat melakukan penahanan/penahanan lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali.7

Sedangkan tugas dan wewenang Jaksa Penuntut Umum dalam poses penuntutan antara lain adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Pasal 143 ayat (1) KUHAP penuntut umum melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.

b. Melakukan pembuktian atas surat dakwaan yang dibuat, yakni dengan alat bukti yang sah sebagaimana Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dalam hal itu penuntut umum berkewajiban menghadirkan terdakwa berikut saksi-saksi, ahli serta barang bukti di depan persidangan untuk dilakukan pemeriksaan.

c. Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) huruf a, setelah pemeriksaan dinyatakan selesai penuntut umum Mengajukan tuntutan pidana, meskipun sebenarnya yang lebih tepat yang diajukan adalah tuntutan (requisitoir),karena tidak menutup peluang selain dari tuntutan pidana atas diri terdakwa, penuntut umum dapat menuntut bebas diri terdakwa.

7

Vide Pasal 31 ayat (1) dan (2) KUHAP.

(57)

49

d. Bahwa bila atas tuntutan terhadap terdakwa dan berdasarkan alat bukti yang sah majelis hakim berkeyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, maka majelis hakim menjatuhkan putusan, dimana bila terdakwa dan penuntut umum kemudian menerima, putusan tersebut kemudian berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka berdasarkan Pasal 270 KUHAP,8 jaksa melaksanakan putusan (eksekusi) tersebut.

e. Terkait poin d tersebut di atas, apabila terdakwa maupun penuntut umum tidak menerima putusan tersebut maka terdakwa maupun penuntut umum dapat melakukan upaya hukum, upaya hukum banding berdasarkan Pasal 233 KUHAP, dan atau upaya hukum kasasi berdasarkan Pasal 244 KUHAP.

f. Bahwa selain hal tersebut, berdasarkan Pasal 140 ayat (2) KUHAP, penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan dengan mengelarkan SKPP (Surat Ketetapan Peghentian Penuntutan) dikarenakan alasan bahwa perkara tersebut tidak terdapat cukup bukti, peristiwanya bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, SKPP tersebut diberitahukan kepada tersangka dan apabila ditahan tersangka harus segera dikeluarkan. Turunan surat tersebut wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarganya, penasehat hukum, pejabat RUTAN, penyidik dan hakim. Bila kemudian ditemukan alasan baru, penuntut umum dapat menuntut tersangka, alasan baru tersebut adalah novum (bukti baru).

8

Pasal 1 butir 6 huruf a KUHAP dan Pasal 1 butir 1 UU Kejaksaan.

(58)

50

Bila melihat uraian yang telah digambarkan di atas, semua tindakan-tindakan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[28], Penegakan hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum, dengan begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian hukum, menjembatani rasa keadilan dan kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan.

B. Tindak Pidana Jaksa Dalam Melaksanakan Tugas dan Wewenang

Semestinya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.9 Kode etik Jaksa atau Kode Perilaku Jaksa adalah serangkaian norma sebagai pedoman untuk mengatur perilaku jaksa dalam menjalankan jabatan profesi, menjaga kehormatan dan martabat profesinya serta menjaga hubungan kerjasama dengan penegak hukum lainnya.10Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan Jaksa 67/2007 disebutkan bahwa sidang pemeriksaan

9

Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia 10

Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: Per-067/A/Ja/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa.

(59)

51

kode perilaku jaksa adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang memberikan tindakan administratif terhadap jaksa yang diduga melakukan pelanggaran kode perilaku jaksa. Berdasarkan Pasal 6 Peraturan Jaksa 67/2007, pejabat yang berwenang menjatuhkan tindakan administratif adalah:

a. Jaksa Agung bagi Jaksa yang menduduki jabatan struktural atau jabatan lain yang wewenang pengangkatan dan pemberhentiannya oleh Presiden.

b. Para Jaksa Agung Muda bagi Jaksa yang bertugas dilingkungan Kejaksaan Agung R.I.

c. Jaksa Agung Muda Pengawasan bagi Jaksa yang bertugas diluar lingkungan Kejaksaan Agung R.I.

d. Kepala Kejaksaan Tinggi bagi jaksa yang bertugas di Kejaksaan Tinggi.

e. Kepala Kejaksaan Negeri bagi jaksa yang bertugas di Kejaksaan Negeri.

Dalam Pasal 3 Peraturan Jaksa 67/2007 disebutkan Sidang pemeriksaan kode perilaku jaksa dilakukan dalam hal jaksa diduga melakukan perbuatan tidak melaksanakan kewajiban atau melakukan perbuatan yang dilarang, yang dilarang dalam pasal ini yaitu:

a. mentaati kaidah hukum, peraturan perundang-undangan dan peraturan kedinasan yang berlaku;

(60)

52

c. mendasarkan pada keyakinan dan alat bukti yang sah untuk mencapai keadilan dan kebenaran;

d. bersikap mandiri, bebas dari pengaruh, tekanan /ancaman opini publik secara langsung atau tidak langsung;

e. bertindak secara obyektif dan tidak memihak;

f. memberitahukan dan atau memberikan hak-hak yang dimiliki oleh tersangka atau terdakwa maupun korban;

g. membangun dan memelihara hubungan fungsional antara aparat penegak hukum dalam mewujudkan sistem peradilan pidana terpadu; h. mengundurkan diri dari penanganan perkara yang mempunyai

kepentingan pribadi atau keluarga, mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai ekonomis secara langsung atau tidak langsung;

i. menyimpan dan memegang rahasia sesuatu yang seharusnya dirahasiakan;

j. menghormati kebebasan dan perbedaan pendapat sepanjang tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan;

k. menghormati dan melindungi Hak Asasi Manusia dan hak-hak kebebasan sebagaimana yang tertera dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen Hak Asasi Manusia yang diterima secara universal;

l. menanggapi kritik dengan arif dan bijaksana;

Referensi

Dokumen terkait

Dua dari lima genotip tersebut, BTM 2064 dan BTM 867, memiliki karakter jumlah cabang produktif, jumlah bunga per tanaman, jumlah tandan bunga per tanaman,

Penelitian bertujuan untuk membuat suatu strategi peningkatan mutu produk olahan markisa berdasarkan sistem manajemen mutu (SMM) dan sistem manajemen keamanan pangan (SMKP)

Slee (2013) mengatakan bahwa anak-anak yang perduli terhadap keadaan sekitarnya, mau menolong, dan dapat beradaptasi dengan aturan-aturan yang berlaku, dapat diterima

Pada fase pemrosesan awal, dilakukan pencarian sepasang karakter, special position, dan non-special position untuk menentukan pergeseran pattern.. Pada fase pencarian,

Pada kasus cerai gugat di atas pertimbangan Majelis Hakim menyatakan tidak sesuai dengan teori dalam hukum acara yang terdapat pada Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang

Dalam penelitian ini analisis regresi berganda digunakan untuk mencari nilai nondiscretionary accrual untuk menghitung manajemen laba yang terjadi pada perusahaan baik sebelum

Berdasarkan perbandingan dari ketiga perusahaan jasa konstruksi tersebut diatas selama periode tahun 2011 sampai dengan tahun 2013, maka kinerja keuangan perusahaan

(2) Bantuan sosial berupa uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah uang yang diberikan secara langsung kepada penerima seperti beasiswa bagi anak