• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa, strategis di pemerintahan atau masyarakat.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa, strategis di pemerintahan atau masyarakat."

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami krisis nilai-nilai karakter bangsa, yang ditandai dengan semakin maraknya kejahatan dan tindakan-tindakan lain yang tidak mencerminkan nilai-nilai karakter bangsa, yang dilakukan oleh orang-orang berpendidikan dan ada yang punya jabatan strategis di pemerintahan atau masyarakat.1

Persoalan yang tidak kalah seriusnya adalah praktik-praktik kebohongan dalam dunia pendidikan mulai dari menyontek saat ujian sampai plagiatisme. Jika sebagai peserta didik sudah terbiasa dengan tipu menipu atau manipulasi ujian, bagaimana jika lulus dan bekerja?. Memprihatinkan lagi ketika melihat kenakalan pelajar, seperti tawuran, menyalahgunakan narkotika, kebut-kebutan di jalan, kenakalan-kenakalan lainnya.2 Realitas tersebut mendorong timbulnya berbagai pertanyaan tentang efektivitas pendidikan agama yang selama ini dipandang oleh sebagian besar masyarakat telah gagal dalam membangun afeksi anak didik dengan nilai-nilai yang eternal serta mampu menjawab tantangan zaman yang terus berubah (aktual). Terlebih lagi dalam hal ini, dunia pendidikan yang mengemban peran sebagai pusat pengembangan ilmu dan SDM, pusat sumber daya penelitian dan

1

Anik Ghufron, Integrasi Nilai-nilai Karakter Bangsa Pada Kegiatan Pembelajaran (Yoyakarta: Cakrawala Pendidikan Jurnal Ilmiah Pendidikan, 2010), hlm. 13

2

Novan Ardy Wiyani, Manajemen Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasinya di

(2)

sekaligus pusat kebudayaan kurang berhasil dalam mengemban misinya. Sistem pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pengisian kognitif unsich, sehingga melahirkan lulusan yang cerdas tetapi kurang bermoral. Aspek afeksi dan psikomotor yang sangat vital keberadaannya terabaikan begitu saja.3 Oleh karena itu, pendidikan karakter harus diajarkan melalui tindakan praktik dalam proses pembelajaran, bukan sebatas pemahaman dan teori saja (moral understanding).4

Dalam proses tumbuh kembangnya peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan sekolah, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan sekolah dapat menumbuhkan budaya religius. Sekolah mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan generasi-generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan sekolah ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

Upaya mewujudkan pendidikan karakter di sekolah secara efektif salah satunya adalah dengan melalui budaya religius. Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi kebiasaan keseharian dan simbol-simbol yang dipratikkan oleh kepala sekolah, guru,

3

Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah, Upaya Mengembangkan PAI

dari Teori ke Aksi (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm. 66

4

H.M. Saleh Marzuki, Pendidikan Nonformal; Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional,

(3)

petugas administrasi, peserta didik.5 Sebab itu budaya tidak hanya berbentuk simbolik semata sebagaimana yang tercermin di atas, tetapi di dalamnya penuh dengan nilai-nilai.6 Terdapat sejumlah nilai budaya religius yang perlu dikembangkan agar menjadi karakter bagi peserta didik, diantaranya, ketakwaan, kejujuran, kearifan, keadilan, kesetaraan, harga diri, percaya diri, harmoni, kemandirian, kepedulian, kerukunan, ketabahan, kreativitas, kompetitif, kerja keras, keuletan, kehormatan, kedisiplinan, dan keteladanan.7

Budaya religius harus dimaknai secara luas, bukan hanya berarti melaksanakan shalat berjamaah, baca al-Qur’an, tetapi budaya 3 S (salam, senyum, sapa), etos belajar, tertib, disiplin, jujur, adil, toleran, simpati, empati, buang sampah pada tempatnya, kebersihan, dan keindahan lingkungan sekolah, tanggungjawab dalam pelaksanaan tugas, dan seterusnya, semuanya adalah budaya religius yang diwujudkan melalui keteladanan, pembiasaan, dan internalisasi.8

Menurut Muhaimin dalam Asmaun Sahlan, bahwa:

penciptaan suasana religius sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tempat model itu akan diterapkan beserta penerapan nilai yang mendasarinya. Pertama, penciptaan budaya religius yang bersifat vertikal dapat diwujudkan dalam bentuk hubungan dengan Allah Swt. melalui peningkatan secara kuantitas maupun kualitas kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah yang bersifat ubudiyah, seperti: salat berjamaah, puasa Senin Kamis, khatm al-Qur’an, doa bersama dll. Kedua, penciptaan budaya religius yang bersifat horizontal yaitu lebih mendudukkan sekolah

5

Asmaun Sahlan, Mewujudkan ...., hlm. 116

6

Asmaun Sahlan, Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya

Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 116

7 Malik Fajar, Holistika Pemikiran Pendidikan. (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 13

8

Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam dari Paradigma Pengembangan, Manajemen

Kelembagaan, Kurikulum hingga Srategi Pembelajaran, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada,

(4)

sebagai institusi sosial religius, yang jika dilihat dari struktur hubungan antar manusia, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga hubungan yaitu: (1) hubungan atasan-bawahan, (2) hubungan profesional, (3) hubungan sederajat atau sukarela yang didasarkan pada nilai-nilai religius, seperti: persaudaraan, kedermawanan, kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.9

Budaya religius dalam tataran nilai berupa semangat berkorban, semangat persaudaraan, semangat saling menolong, dan tradisi mulia lainnya. Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa tradisi salat berjamaah, gemar bersodaqoh, rajin belajar, dan perilaku mulia lainnya.10 Hal ini sesuai dengan pendapat Aang Kunaepi bahwa budaya religius yang dimaksud adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah menjalankan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah).11

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam surat al-Baqarah ayat 208:

































”Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu”. (Q.S. al-Baqarah [2]: 208)12

9

Asmaun Sahlan, Mewujudkan ...., hlm. 47

10

Asmaun Sahlan, Mewujudkan ...., hlm. 76-77

11

Aang Kunaepi, Membangun Pendidikan Tanpa Kekerasan Melalui Internalisasi PAI

dan Budaya Religius, (Jurnal Pendidikan Islam el-Tarbawi, No. 1 Vol. IV, 2011), hlm. 11, http/journal.uii.oc.id/indekphp/JPI/arhcle/viewfile/2775/2555, diunduh 10 April 2014

12

Tim Penyusun, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), hlm. 33

(5)

Urgensi pengembangan budaya religius di sekolah agar seluruh warga sekolah, keimananya sampai pada tahap keyakinan, praktik agama, pengalaman, pengetahuan agama, dan dimensi pengalaman keagamaan, dapat diwujudkan melalui berbagai kegiatan keagamaan sebagai wahana dalam upaya menciptakan dan mengembangkan suasana religius. Diharapkan penanaman nilai-nilai agama di sekolah dapat diamalkan dilingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat.13

SMP Negeri 2 Pemalang sebagai salah satu lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pemalang merupakan lembaga yang berusaha menjadikan budaya religius sebagai upaya untuk mewujukan pendidikan karakter. Termasuk didalamnya membangun karakter peserta didik dan warga sekolah.

Berdasarkan observasi awal yang penulis lakukan di SMP Negeri 2 Pemalang, menunjukan bahwa SMP Negeri 2 Pemalang adalah sekolah yang mempunyai budaya religius yang kuat. hal ini terlihat dari berbagai bentuk budaya religius yang ada di sekolah ini, antara lain: 1) budaya salam, senyum, sapa, dan salim. Budaya ini dimulai ketika peserta didik memasuki pintu gerbang sekolah dan disambut oleh guru dan juga ketika bertemu dengan seluruh warga sekolah, 2) budaya salat zuhur berjamaah di sekolah dilakukan setiap hari secara bergiliran sesuai jadwal yang telah ditentukan, 3) kantin kejujuran, dilakukan setiap istirahat, 4) adanya kemauan berbusana muslimah oleh seluruh warga sekolah yang perempuan baik guru, staf administrasi, dan

13

Macfud Efendi, Pengembangan Budaya Agama di Sekolah Melalui Model Pembiasaan

Nilai Shalat Berjamaah di SMA Negeri 2 Batu (Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik

(6)

siswanya. Berbusana seperti itu berawal dari tata tertib sekolah yang mewajibkan seluruh peserta didik baik laki-laki maupun perempuan pada hari Jum’at berbusana muslim/muslimah, dan pada akhirnya banyak peserta didik perempuan tetap berbusana muslimah pada hari-hari lain, 5) adanya kesadaran berinfak melalui kotak amal pada hari Jum’at. Dan masih banyak budaya religius lainnya.

Agar diketahui secara pasti bagaimana sekolah tersebut telah mengimplementasikan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, maka perlu dilakukan pengkajian secara khusus dan mendalam. Untuk itulah penelitian ini berjudul: “Implementasi Budaya Religius dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di SMP Negeri 2 Pemalang”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dia atas, maka rumusan masalah dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Bagaimana perencanaan pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang ?

2. Bagaimana pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang ?

3. Bagaimana sistem evaluasi pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang ?

4. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat pelaksanaan budaya religus dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang ?

(7)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah di atas, adalah untuk:

1. Mendeskripsikan perencanaan pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

2. Mendeskripsikan pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

3. Mengetahui sistem evaluasi pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

4. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan budaya religus dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian secara teoritis dan secara praktis adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian secara teoritis diharapkan dapat:

a. Dijadikan sebagai salah satu tambahan khazanah ilmu pengetahuan tentang implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah

b. Memberikan kontribusi pemikiran bagi kajian lebih lanjut tentang implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah.

(8)

c. Dijadikan oleh pemerintah dan praktisi pendidikan sebagai rujukan dalam implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah.

2. Secara praktis diharapkan dapat:

a. Memberikan kontribusi bagi lembaga yang bersangkutan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

b. Menjadi sumber informasi bagi peneliti lain dari semua pihak yang berkepentingan.

c. Dijadikan sebagai acuan bagi sekolah dalam implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah.

d. Dijadikan sebagi acuan bagi penelitian lebih lanjut terutama bagi peneliti yang menekuni tentang implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di sekolah.

E. Kajian Pustaka

Setelah melakukan survey literatur, banyak tulisan atau karya tulis baik yang berupa artikel, skripsi maupun tesis yang mengkaji tentang permasalahan yang berkaitan dengan budaya religius. Namun kajian spesifik yang dibahas dalam penelitian ini adalah analisis implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, sehingga penelitan ini benar-benar ingin menganalisis apa yang diteliti, kendati karya-karya maupun penelitian yang ada mempunyai relevansi dengan penelitian ini.

(9)

Berikut ini akan disajikan beberapa hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan budaya religius, yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Machfud Efendi dengan judul “Pengembangan Budaya Agama di Sekolah Melalui Model Pembiasaan Nilai Salat Berjamaah di SMA Negeri 2 Batu”. Hasil penelitian ini adalah: (a). Wujud budaya agama di SMA negeri 2 Batu meliputi : pertama, pembiasaan senyum, salam, dan sapa; kedua, shalat jum’at di masjid sekolah; ketiga, peringatan hari-hari besar; keempat, ekstrakurikuler keagamaan dan seni baca al-qur’an; kegiatan baca tulis al-qur’an, kegiatan mar’atus shalihah, (b). Dukungan warga sekolah adalah baik, (c). Hasil tindakan bersiklus pembiasaan nilai-nilai shalat berjamaah adalah baik.14

2. Penelitian yang dilakukan oleh Saeful Bakri dengan judul ” Strategi Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Religius di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ngawi”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, (1) wujud budaya religius di SMAN 2 Ngawi meliputi: (a) belajar baca tulis al-Qur’an, (b) pembiasaan senyum dan salam, (c) pelaksanaan salat Jumat, (d) pemakaian jilbab (berbusana muslim/muslimah) pada bulan ramadhan, (e) mentoring ke-Islaman, (f) peringatan hari-hari besar Islam. (2) Strategi kepala sekolah dalam membangun budaya religius di sekolah meliputi: (a) perencanaan

14

Machfud Efendi, Pengembangan Budaya Agama Di Sekolah Melalui Model

Pembiasaan Nilai Shalat Berjamaah Di SMA Negeri 2 Batu. Tesis, tidak diterbitkan.

(10)

program, (b) memberi teladan kepada warga sekolah, (c) kemitraan dan andil dalam mendukung kegiatan keagamaan, (d) melakukan evaluasi. (3) Dukungan warga sekolah dalam membangun budaya religius di SMAN 2 Ngawi telah berjalan dengan baik dengan cara menunjukkan komitmen nya masing-masing.15

3. Penelitian yang dilakukan oleh Lia Husna Khotmawati dengan judul “Manajemen Kinerja Berbasis Budaya Religius Dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru (Studi Kasus di MTsN Aryojeding Tulungagung)”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Perencanaan yang dilakukan oleh kepala MTsN Aryojeding dalam meningkatkan profesionalisme guru berbasis budaya religius meliputi: (a) Perencanaan berdasarkan RENSTRA, visi, misi, tujuan madrasah, dan kebutuhan (need assesment), (b) Melibatkan seluruh unsur civitas akademika madrasah, (c) Melakukan rekrutmen guru GTT baru, (2) Pembinaannya meliputi: (a) Mengikutkan dalam diklat, seminar, maupun workshop, (b) Studi lanjut, (c) Revitalisasi MGMP, (d) Membentuk forum silaturrahim antar guru, (e) Penambahan fasilitas penunjang, (3) Evaluasi meliputi: (a) melakukan supervisi, (b) teknik yang digunakan adalah secara langsung dan tidak langsung, (c) aspek penilaian adalah presensi guru, kinerja guru di madrasah, perkembangan peserta didik, (d) menggunakan format DP3.16

15

Saeful Bakri, Strategi Kepala Sekolah dalam Membangun Budaya Religius di Sekolah

Menengah Atas Negeri (SMAN) 2 Ngawi. Tesis, tidak diterbitkan. Malang: Program

Pascasarjana UIN Malang, 2010, hlm. viii-ix

16

Lia khusna Khotmawati, Manajemen Kinerja Berbasis Budaya Religius Dalam

Meningkatkan Profesionalisme Guru (Studi Kasus di MTsN Aryojeding Tulungagung). Tesis,

(11)

4. Penelitian yang dilakukan oleh Masyfu’ Jiddy dengan judul ”Strategi Guru PAI dalam Mengembangkan Budaya Religius di SMAN 1 Malang”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) strategi guru PAI Dalam Mengembangkan Budaya Religius di SMAN 1 Malang meliputi: (a) menjalin kerja sama dengan aparat sekolah, (b) menjalin keja sama dengan orang tua murid, (c) memilih dan menentukan model strategi pembelajaran yang inovatif, (d) melalui pendekatan pembiasaan, (e) melalui pendekatan emosional, (f) melalui pendekatan ketauladanan, (g) mengadakan ekstrakurikuler keagamaan. (2) realita budaya religius di SMAN 1 malang meliputi: (a) budaya salam, sapa, senyum, (b) budaya salat zuhur dan dhuha berjamaah, (c) budaya pundi amal, (d) istighosah, (e) budaya menutup aurat. (3) faktor pendukung antara lain: guru, lingkungan keluarga, sedangkan faktor penghambat adalah pengaruh derasnya dunia globalisasi, sarana dan prasarana yang kurang lengkap.17

Penelitian-penelitian yang telah dilakukan tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu masih terkait dengan budaya religius. Hal yang membedakan dengan peneliti sebelumnya terletak pada penentuan subjek penelitian dan fokus penelitiannya. Pada penelitian yang dilakukan Machfud Efendi yang menjadi fokus penelitian adalah pembiasaan nilai salat berjamaah sebagai sarana pengembangan budaya religius, penelitian yang dilakukan Saeful Bakri lebih ditekankan pada strategi kepala sekolah dalam membangun budaya religius, penelitian yang

17

Masyfu’ Jiddy, ”Strategi Guru Pai Dalam Mengembangkan Budaya Religius di SMAN

(12)

dilakukan Lia Husna Khotmawati lebih ditekankan pada upaya meningkatkan profesionalisme guru melalui manajemen kinerja berbasis budaya religius. Dan penelitian yang dilakukan Masyfu’ Jiddy lebih ditekankan bagaimana strategi guru PAI dalam mengembangkan budaya religius. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan penulis ditekankan pada pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter.

F. Kerangka Teoritis 1. Budaya Religius

Budaya religius adalah sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi perilaku, tradisi kebiasaan keseharian dan simbol-simbol yang dipratikkan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik.18

Menurut Muhammad Alim, bahwa sikap religius (budaya religius) merupakan bagian penting dari kepribadian seseorang yang dapat dijadikan sebagai orientasi moral, internalisasi nilai-nilai keimanan, dan sebagai etos kerja dalam meningkatkan keterampilan sosial.19

Dalam tataran nilai, budaya religius adalah berupa semangat berkorban (jihad), semangat persaudaraan (ukhuwah), semangat saling menolong (ta’âwun) dan tradisi mulia lainnya. Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa tradisi solat berjamaah, gemar bersedekah, rajin belajar dan perilaku yang mulia lainnya. Dengan

18

Asmaun Sahlan, Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah: Upaya

Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, (Malang: UIN Maliki Press, 2010), hlm. 116

19

Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan Pemikiran dan

(13)

demikian, budaya religius sekolah adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.20 Oleh karena itu untuk membudayakan nilai-nilai keberagamaan (religiusitas) dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui kebijakan pimpinan sekolah, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ekstrakurikuler di luar kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religious culture tersebut dalam lingkungan sekolah.21 Dalam membentuk budaya religius di sekolah juga dibutuhkan pembiasaan sehingga pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan. Menurut Darmiyati Zuchdi bahwa kebiasaan merupakan perpaduan antara pengetahuan, ketrampilan, dan keinginan. Pengetahuan merupakan paradigma teoritis, kerampilan adalah cara melakukan, dan keinginan merupakan motivasi, dorongan untuk mengerjakan.22 Ada beberapa teori yang berkaitan dengan pembiasaan:

a. Teori Pembiasaan menurut al-Qur’an dan al-Hadits

Teori pembiasaan berdasarkan al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah an-Nur (24) ayat 58 Allah berfirman:

20

Aang Kunaepi, Membangun Pendidikan..., hlm. 12

21

Asmaun Sahlan, Mewujudkan...., hlm. 77

22

(14)





































































































Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (kesempatan) yaitu: sebelum salat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. an-Nur [24] : 58)23

Sedangkan hadits yang diriwayatkan Imam At Turmudzi:

ةﻼﺼﻟا ﻢﻛدﻻوأ اوﺮﻣ

ﺮﺸﻋ ءﺎﻨﺑأ ﻢھو ﺎﮭﯿﻠﻋ ﻢھﻮﺑﺮﺿاو ، ﻦﯿﻨﺳ ﻊﺒﺳ ءﺎﻨﺑأ ﻢھو

“Suruhlah olehmu anak-anak itu shalat apabila ia sudah berumur tujuh tahun, dan apabila ia sudah berumur sepuluh tahun, maka hendaklah kamu pukul jika ia meninggalkan shalat” ( HR. Imam At

Turmudzi )24

23

Tim Penyusun, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: PT. Mizan, 2010), hlm. 358

24

(15)

b. Teori Ivan Pavlov

Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), pada dasarnya classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut.25 Berdasarkan hasil eksperimen tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perilaku itu dapat dibentuk melalui suatu kebiasaan, misalnya anak dibiasakan mencuci kaki sebelum tidur, atau membiasakan menggunakan tangan kanan untuk menerima suatu pemberian dari orang lain.26

c. Teori Thorndike

Teorinya dikenal dengan connectionism (pertalian, pertautan).27 Thorndike juga mengemukakan beberapa hukum, antara lain:

(1) Law of Readiness (hukum kesiapan), jika seseorang siap melakukan sesuatu, ketika ia melakukan maka ia puas. Sebaliknya, bila ia tidak jadi melakukannya, maka ia tidak puas.28

(2) Law of Exercise (hukum latihan), berkaitan dengan hubungan stimulus dan respon akan bertambah kuat apabila dilatih.29

25

Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm., 104

26

Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm. 171

27

Eveline Siregar dan Hartini nara, Teori Belajar...., hlm. 28

28

Eveline Siregar dan Hartini nara, Teori Belajar...., hlm. 29

29

(16)

(3) Law of Effect (hukum akibat) bahwa perilaku yang diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan perilaku yang diikuti hasil negatif diperlemah.30

d. Teori Skinner

Teori Skinner dikenal dengan nama “operant conditioning” dengan enam konsep.31

Indikator keberhasilan budaya religius sekolah adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran agama sebagai tradisi dalam berprilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut sebenar-benarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.32

2. Pendidikan Karakter

Menurut Elkind dan Sweet dalam Pupuh Fathurrohman dkk., bahwa pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti.33 Sedangkan Williams & Schnaps dalam Zubaedi berpendapat bahwa pendidikan karakter merupakan berbagai usaha bersama-sama dengan orang tua dan anggota masyarakat, untuk membantu anak-anak

30

John W. Santrock, Education Psychology (Psikologi Pendidikan), Penerjemah Tri Wibowo B.S., (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 272

31

Eveline Siregar dan Hartini nara, Teori Belajar...., hlm. 28

32

Asmaun Sahlan, Mewujudkan ...., hlm. 77

33

Pupuh Fathurrohman dkk., Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: Refika Aditama, 2013), hlm. 16

(17)

dan remaja agar menjadi atau memilki sifat peduli, berpendirian, dan bertanggungjawab.34

Dilihat dari komponennya menurut Lickona, dalam pendidikan karakter menekankan petingnya tiga komponen karakter yaitu konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. 35

Pada tingkat sekolah, indikator keberhasilan pelaksanaan penciptaan suasana sekolah yang kondusif melalui penanaman nilai-nilai karakter luhur bagi peserta didik, berhasil tidaknya menurut Pupuh Fathurrohman dkk., dapat dilihat berdasarkan indikator-indikator sebagai berikut:

a. Tingkat pegamalan ibadah keagamaan misalnya bagi mereka yang beragama Islam dapat di lihat dari pengamalan ibadah wajib dan sunat seperti sholat, puasa dan peran serta zakat, infak, shadaqah oleh peserta didik, kepala sekolah, guru dan warga sekolah lainnya; b. Tingkat keimanan, kebersihan, ketertiban, dan keindahan lingkungan sekolah diukur dari persepsi peserta didik, orang tua dan masyarakat sekitar;

c. Tingkat penurunan frekuensi dan intensitas kenakalan peserta didik baik di sekolah maupun di luar sekolah;

d. Tingkat peran serta peserta didik, pembina sekolah dan masyarakat sekitar dalam program kegiatan sekolah;

e. Tingkat pengetahuan, pemahaman dan pengalaman peserta didik terhadap nilai-nilai dan norma ajaran karakter yang dapat diukur melalui nilai pendidikan agama, PPKn dan mata pelajaran lainnya.36

34

Zubaidi, Desain Pendidikan karakter Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga

Pendidikan, (Jakarta: Kencana Prenada Meda Group, 2012), hlm. 15

35

Thomas Lickona, Educating For Character Terjemah oleh Juma Abdu Wamaungo, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 83

36

(18)

Lebih lanjut Lickona dalam Zubaedi menjelaskan bahwa konsep moral memiliki komponen kesadaran moral, pengetahuan nilai moral, pandangan ke depan, penalaran moral, pengambilan keputusan, dan pengetahuan sendiri. Sikap moral memiliki komponen kata hati, rasa percaya diri, empati, cinta kebaikan, pengendalian diri, dan kerendahan diri. Perilaku moral terdiri dari komponen kemampuan, kemauan, dan kebiasaan. Kelengkapan komponen karakter dimiliki seseorang akan membentuk karakter yang baik atau unggul/tangguh.37

Pada tataran sekolah, kretiria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang diparktekkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai karakter.38

G. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan yang menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan metode yang akan digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Metode ini berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan apa yang ada atau mengenai kondisi atau hubungan yang ada, pendapat yang sedang berkembang, proses yang sedang

37

Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter Konsepsi dan Aplikasi dalam Lembaga

Pendidikan, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2012), hlm. 29-30

38

Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah, (Yoyakarta: Diva Press, 2011), hlm. 56

(19)

berlangsung, akibat atau efek yang terjadi, atau kecenderungan yang tengah berkembang.39

2. Latar Setting Penelitian

Sesuai dengan fokus permasalahan yang akan memotret dan menganalisis implementasi budaya religius sebagai upaya mewujudkan pendidikan karakter di sekolah, maka setting penelitian dalam penelitian ini adalah SMP Negeri 2 Pemalang.

Pemilihan setting ini didasarkan pada observasi peneliti sebelum melaksanakan penelitian bahwa SMP Negeri 2 Pemalang adalah sekolah yang telah menerapkan berbagai budaya religius dalam kehidupan di sekolah seperti budaya senyum, salam, sapa,dan salim (S4), budaya salat Zuhur berjamaah di sekolah, kantin kejujuran, budaya berbusana muslim/muslimah di sekolah pada hari Jum’at. Sehingga masyarakat di kabupaten Pemalang sangat antusias mendaftarkan anaknya ke SMP Negeri 2 Pemalang, hal ini terlihat peserta didik yang mendaftar setiap tahunnya melebihi dari yang diterimanya.

3. Subjek dan informan penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah semua personal yang terlibat dalam implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter. Personal tersebut adalah:

a. Kepala Sekolah, Mohamad Raharjo, S.Pd., M.Pd. b. Wakil Kepala Sekolah, Endang Suswati, S.Pd.

39

(20)

c. PPur Kesiswaan, Tri Bangun F, S.Pd, M.Pd d. PPur kurikulum, Drs. Ides Fidiatno

e. Guru,

1) Zaenuri, S.Ag.

2) Akrom Khasani, S.Ag. 3) Imam Subagyo, S.Pd. 4) Ririn Zakiyah, S.Pd. f. Peserta didik, 1) Hilda Maulida 2) Fahrul Muhadik 3) M. Nurus Shobah

Adapun yang dijadikan obyek dalam penelitian ini adalah segala hal yang berkaitan dengan tempat yaitu SMP Negeri 2 Pemalang, pelaku (Kepala Sekolah, Wakil Kepala Sekolah, PPur Kurikulum, PPur Kesiswaan, Guru, dan Peserta Didik) dan pelaksanaan budaya religius yang dilakukan warga sekolah dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

4. Metode pengumpulan data

Menurut Sugiyono dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting (kondisi yang alamiah), sumber data

(21)

primer, dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam dan dokumentasi.40

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Observasi

Alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut.41

Teknik observasi yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian ini adalah observasi pasif atau pengamatan pasif. Dengan teknik ini berarti peneliti datang dan mengamati orang yang sedang melakukan kegiatan tetapi tidak ikut aktif dalam kegiatan tersebut.42 Peneliti mengadakan pengamatan dan mendengarkan sampai pada hal atau peristiwa yang paling kecil sekalipun. Semua hal atau peristiwa yang berkaitan dengan subjek dan objek penelitian diamati atau diobservasi dengan sangat teliti. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh melalui teknik ini benar-benar lengkap dan akurat. Tidak ada hal atau peristiwa penting yang berkaitan dengan subjek dan objek penelitian yang terlewatkan. Teknik ini peneliti gunakan untuk

40

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, Cet. Ke-18, 2013), hln.225

41

Hamid Darmadi, Dimensi-dimensi Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial Konsep

Dasar dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2013), hlm. 290

42

(22)

memperoleh data yang berkaitan dengan situasi umum obyek penelitian, data tentang implementasi budaya religius sebagai upaya mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang Kabupaten Pemalang Provinsi Jawa Tengah. Selanjutnya, hasil dari observasi ini akan digabungkan dengan hasil wawancara dan dokumentasi untuk dicermati dan di analisis.

b. Wawancara

Metode wawancara ini digunakan untuk mendapatkan informasi yang akurat dan mendalam dari pihak-pihak yang memiliki wewenang dalam implementasi budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, mulai dari 1) kepala sekolah, 2) wakil kepala sekolah, 3) PPur kesiswaan, 4) PPur kurikulum, 5) guru 6) peserta didik. Dengan metode wawancara diharapkan agar dapat diketahui hal-hal yang lebih mendalam tentang partisipan dalam menginterpretasikan situasi dan fenomena yang terjadi, dimana hal ini tidak dapat diketahui melalui observasi. Selanjutnya dalam wawancara ini peneliti menggunakan jenis wawancara dengan pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara. Peneliti melakukan wawancara dengan informan peneliti berpatokan pada garis besar wawancara yang dibuat sebelumnya yang tidak terikat dengan urutan pertanyaan ataupun kata-kata yang dibuat. Adapun langkah-langkah wawancaranya adalah sebagai berikut: 1) Menetapkan informan yang akan diwawancarai, 2) Menyiapkan pokok-pokok permasalahan yang akan dijadikan

(23)

permasalahan dalam wawancara, 3) Mengawali atau membuka alur pembicaraan, 4) Melangsungkan wawancara, 5) Mengkonfirmasi ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya, 6) Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan, dan 7) Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh.43

c. Dokumentasi

Pertimbangan peneliti menggunakan metode ini, bahwa dokumentasi adalah sumber data yang stabil, menunjukkan suatu fakta yang telah berlangsung dan mudah didapatkan. Dokumentasi sebagai sumber data yang kaya untuk memperjelas keadaan atau identitas subyek penelitian, sehingga dapat mempercepat proses penelitian.

Teknik ini biasanya digunakan untuk mengumpulkan data yang berupa data sekunder (data yang telah dikumpulkan orang lain). Metode ini sangat praktis sebab menggunakan benda-benda mati, yang seandainya terdapat kesalahan bisa dilihat kembali data aslinya.44 Dalam upaya menjaga tingkat akurasi serta validasi data, peneliti melakukan studi dokumentasi yakni dengan melakukan penggalian data-data yang terkait dengan gambaran umum (kondisi) sekolah selama waktu penelitian berlangsung di SMP Negeri 2 Pemalang Kabupaten Pemalang Adapun dokumen yang dimaksud adalah dokumen-dokumen tentang implementasi budaya religius sebagai

43

Sugiyono, Metodologi Penelitian ..., hlm. 235

44

(24)

upaya mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang Kabupaten Pemalang.

5. Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk mengecek keabsahan data penelitian ini digunakan uji kredibilitas (validitas internal) dengan teknik: perpanjangan pengamatan, triangulasi, menggunakan bahan referensi, dan mengadakan membercheck. a. Perpanjangan Pengamatan

Teknik ini digunakan dengan cara peneliti terjun ke lapangan lagi melakukan pengamatan lagi. Peneliti juga menemui informan yang pernah diwawancarai maupun informan baru dan melakukan wawancara lagi untuk memastikan bahwa data yang diperoleh dalam wawancara dan pengamatan sebelumnya adalah benar dan dapat dipercaya.45 Peneliti kembali lagi ke SMP Negeri 2 Pemalang untuk melakukan observasi dan wawancara kembali dengan sumber data (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, PPur kesiswaan, 4) PPur kurikulum, guru, dan peserta didik). Dengan tujuan untuk menguji kredibilitas data penelitian, apakah data yang diperoleh setelah dicek kembali ke lapangan benar atau tidak, berubah atau tidak.

b. Triangulasi

Triangulasi diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian

45

(25)

terdapat trianggulasi sumber, trianggulasi teknik pengumpulan data, dan waktu.46

Peneliti melakukan pengecekan data dengan menggunakan beberapa sumber untuk data yang sama. Peneliti juga menggunakan waktu yang berbeda-beda dalam melakukan wawancara dan pengamatan sehingga data yang diperoleh lebih valid dan kredibel. c. Menggunakan Bahan Referensi

Yang dimaksud dengan bahan referensi disini adalah adanya pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti.47 Untuk mengecek validitas data hasil wawancara peneliti menggunakan bahan pendukung berupa rekaman hasil wawancara, dan catatan hasil wawancara. Sedangkan untuk mengecek data hasil observasi digunakan foto-foto dan catatan observasi.

d. Mengadakan Membercheck

Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh

peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh para pemberi data. Apabila data yang ditemukan disekapati oleh para pemberi data berarti datanya data valid, tetapi jika tidak disepakati maka perlu adanya diskusi dengan pemberi data, dan jika

46

Sugiyono, Metodologi Penelitian ..., hlm. 273

47

(26)

perbedaannya tajam, maka peneliti harus menyesuaikan dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.48

6. Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik analisis deskriptif yang dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sebagaimana menurut Miles dan Hubermen dalam Sugiyono, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing/verification (penarikan kesimpulan).49

a. Data Reduktion (Reduksi Data)

Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya dan membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya.50

Reduksi data berlangsung secara terus menerus sejalan pelaksanaan penelitian berlangsung. Dalam mereduksi data peneliti akan dipandu oleh tujuan yang akan dicapai, yaitu adanya temuan yang

48

Sugiyono, Metodologi Penelitian ..., hlm. 276

49

Sugiyono, Metodologi Penelitian ..., hlm. 246

50

(27)

berkaitan dengan fokus penelitian, yaitu upaya mewujudkan pendidikan karakter melalui pengembangan budaya religius di SMP Negeri 2 Pemalang.

b. Data Disply (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah penyajian data. Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Dengan penyajian data ini maka akan ditemukan suatu makna dari data yang diperoleh, kemudian disusun secara sistematis dari bentuk informasi yang kompleks menjadi bentuk sederhana yang selektif sehingga makin mudah dipahami.51

c. Conclusion Drawing/Verification (Penarikan Kesimpulan)

Penarikan kesimpulan dilakukan berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara. Kesimpulan awal tersebut dapat berubah apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan awal tersebut ternyata didukung oleh bukti-bukti yang kuat yang ditemukan pada tahap pengumpulan data berikutnya maka kesimpulan awal tersebut akan menjadi kesimpulan yang kredibel.52

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak

51

Sugiyono, Metodologi Penelitian ..., hlm. 249

52

(28)

awal, tetapi mungkin juga tidak, karena dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti berada di lapangan. Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu obyek.53

H. Sistimatika Penulisan

Bab Pertama pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab Kedua: Budaya Religius di Sekolah dan Pendidikan Karakter, yang terdiri dari pertama: budaya religius meliputi: pengertian budaya, wujud dan fungsi budaya, pengertian religius, pengertian budaya religius, bentuk atau wujud budaya religius, proses terbentuknya budaya religius, indikator pencapaian budaya religius, evaluasi terhadap program budaya religius kedua: pendidikan karakter, meliputi: pengertian pendidikan karakter, tujuan dan fungsi pendidikan karakter, nilai-nilai pendidikan karakter, komponen dan desain pendidikan karakter, model dan metode pendidikan karakter, indikator keberhasilan pendidikan karakter serta evaluasi program budaya religius.

Bab Ketiga: Pelaksanaan Budaya Religius dalam Mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang yang terdiri dari: Pertama tentang gambaran umum SMP Negeri 2 Pemalang; Kedua, perencanaan pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP

53

(29)

Negeri 2 Pemalang; Ketiga, tentang pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang; Keempat, tentang sistem evaluasi pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang; Kelima tentang faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan budaya religus dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang

Bab Keempat: Budaya Religius: Analisis atas Implementasinya dalam Mewujudkan Pendidikan Karakter di SMP Negeri 2 Pemalang meliputi: perencanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, sistem evaluasi terhadap pelaksanaan budaya religius dalam mewujudkan pendidikan karakter, dan faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan budaya religus dalam mewujudkan pendidikan karakter di SMP Negeri 2 Pemalang.

Bab Kelima: penutup yang terdiri dari kesimpulan yang merupakan hasil kajian penelitian dan permasalahan, saran dan penutup.

Referensi

Dokumen terkait

Radioisotop 198Au yang dihasilkan dikarakterisasi dengan mengukur aktivitas, waktu paruh, energi, yield, kemurnian radionuklida dan kemurnian radiokimia serta ukuran

Dalam kasus closed globe eye injury, zona I meliputi luka yang hanya melibatkan konjungtiva , sklera atau kornea , cedera zona II meliputi kerusakan pada bilik mata

menjadi sesuatu masalah yang penting adalah, karena wajah merupakan perhatian utama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang memiliki fungsi untuk mengenali

DESKRIPSI UNIT : Unit kompetensi ini mencakup pengetahuan, keterampilan dan sikap perilaku yang diperlukan untuk mampu menerapkan Keahlian dalam Manajemen.. Mutu

Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan (PSAK), yang merupakan pedoman dalam melakukan transaksi akuntansi baik dalam praktik maupun teori juga menjelaskan bahwa murabahah

Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang

155 Dengan tidak meninggalkan pantangan-pantangan yang sejak dulu sudah ada, maka salah satu permasalahan yang dihadapi oleh etnis Dayak Ot Danum di Desa Tumbang