• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pikirannya sangat brilian. Para pendiri negara tersebut saling melontarkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pikirannya sangat brilian. Para pendiri negara tersebut saling melontarkan"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

1. Permasalahan

Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai para pendiri yang buah pikirannya sangat brilian. Para pendiri negara tersebut saling melontarkan gagasannya demi mencari dasar yang kuat bagi berdirinya bangsa ini pada saat mempersiapkan kemerdekaan. Salah satu tokoh yang gagasannya dipakai sebagai pondasi negara yaitu Soekarno. Soekarno pernah mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara (Notosusanto, 1977:17). Soekarno bahkan merangkum Pancasila dalam satu nilai: “gotong-royong” atau yang disebutnya sebagai Ekasila.

“Sebagai tadi telah saya katakan, kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! - Semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan „gotong-royong.‟ Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!“ (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82.)

Refleksi bahwa masyarakat Indonesia di berbagai tempat menjunjung tinggi nilai kebersamaan membuat Soekarno merangkum Pancasila menjadi nilai gotong-royong itu sendiri.

(2)

Praktek dan nilai gotong-royong sebenarnya bukan hanya dimiliki bangsa Indonesia. Korea juga mempunyai praktek gotong-royong yang bernama Semaul Undong. Saemaul Undong secara harfiah berasal dari kata “se” yang berarti baru, “maeul” yang berarti desa/komunitas, dan “undong” yang berarti gerakan. (Pelayanan Informasi Korea, 1993:20). Saemaul Undong merupakan suatu gerakan perubahan dan reformasi pedesaan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Ada beberapa perbedaan mendasar antara gotong-royong dan Semaul Undong, meskipun tetap bisa disejajarkan sebagai bentuk kerja dan usaha bersama. Praktek kerja sama dan saling bantu dengan demikian menjadi milik bangsa lain juga. Hal yang menarik adalah Soekarno ternyata menjadikan gotong-royong sebagai praktek saling bantu khas Indonesia sebagai ringkasan dari Pancasila. Hal ini memberi penegasan bahwa ada yang unik dalam gotong-royong, dan hanya Soekarno yang secara tegas memuji “alangkah hebatnya negara gotong-royong“ (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82).

Praktek gotong-royong sudah ada sejak tahun 400 Masehi. Suwarno (1993:17) mencatat bahwa pada tahun tersebut Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai memerintahkan rakyatnya untuk bergotong-royong dalam bentuk kenduri. Bintarto (1980:9) dalam karyanya menulis bahwa istilah “gotong-royong” untuk pertama kali tampak dalam tulisan-tulisan mengenai hukum adat dan juga dalam aneka karangan tentang aspek sosial pertanian. Notonagoro (1975:129) mengatakan bahwa gotong-royong adalah amal dari semua untuk kepentingan semua, atau jerih payah dari semua untuk kebahagiaan bersama.

(3)

Soekarno mengumandangkan negara gotong-royong dalam pidato 1 Juni 1945. Soekano hendak menawarkan dasar negara yang mengakomodasi semua elemen bangsa dalam bingkai kebersamaan. Pidato Soekarno ketika merangkum Pancasila menjadi Ekasila yang berisi nilai gotong-royong di satu sisi dengan demikian amat bernuansa politis. Gotong-royong sebagai sebuah rangkuman dari Pancasila di sisi lain juga merupakan sebuah nilai. Pancasila itu sendiri pun berisi rangkain nilai, yakni: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Pidato yang bernuansa politis tersebut ternyata tetap memiliki dimensi aksiologis.

Pancasila dan nilai gotong-royong yang diusulkan Soekarno seharusnya menjadi jiwa dan nilai dasar dari masyarakat Indonesia, karena Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya akan menentukan orientasi, tujuan, dan menjadi nafas hidup bersama dan berbangsa (Kartodirjo 1990: 32-33). Soekarno mengatakan bahwa nilai-nilai dalam Pancasila berasal dari bumi Indonesia sendiri. Jika merujuk kembali kepada alur pikir Kartodirjo di atas, seharusnya nilai gotong-royong ini juga menjadi pijakan, orientasi nilai, dan nafas hidup berbangsa dan bernegara.

Pertanyaan yang kemudian relevan untuk diajukan sekarang yaitu: bagaimana realitas penghayatan nilai gotong-royong dewasa ini? Jika dahulu di berbagai tempat (terutama di daerah pedesaan) nilai gotong-royong amat dijunjung tinggi, apakah hal tersebut masih terjadi dewasa ini? Apakah globalisasi dan individualisme yang menghebat dewasa ini turut mengikis nilai

(4)

gotong-royong dan sebagai imbasnya ikut juga merongrong nasionalisme Indonesia sebagai sebuah bangsa?

Abdurrahman (2007:1) mengatakan bahwa dewasa ini nilai untuk mengutamakan kepentingan masyarakat dan negara dalam semangat gotong-royong serta kebersamaan diletakkan di tempat yang jauh lebih rendah daripada kepentingan individual dan golongan. Rochmadi (2011:5) dalam penelitiannya juga menemukan bahwa dewasa ini nilai gotong-royong yang pernah didengungkan Soekarno mulai memudar di perkotaan, tetapi secara kasuistik masih ada di wilayah pedesaan:

“Pada saat sekarang ini, perilaku gotong royong mengalami banyak perubahan di Indonesia. Di daerah perkotaan perilaku gotong royong sudah semakin jarang dilakukan….. Sebaliknya di daerah pedesaan, pinggiran kota, masih banyak ditemukan perilaku gotong royong yang ditampilkan oleh warganya, baik itu untuk kepentingan umum maupun kepentingan pribadi. Di daerah pedesaan masih mudah ditemukan orang gotong royong pada acara “hajatan” pengantin atau sunatan, selain gotong royong untuk kepentingan umum masyarakat yang lain, apalagi bila terjadi musibah atau bencana, sedangkan di daerah perkotaan, tidak lagi bisa ditemukan orang gotong royong pada acara sunatan atau pernikahan, semuanya dikerjakan oleh panitia dan ada biayanya” (Rochmadi, 2011:5).

Keprihatinan akan penghayatan nilai gotong-royong dewasa ini dalam lingkup bernegara juga diungkapkan oleh Sudjito dalam kutipan berikut:

“Menelisik kondisi bangsa kini, sepantasnya kita cemas. Nilai-nilai bangsa yang semestinya menjadi pijakan etis kian luntur sementara arus tantangan begitu kuat menerjang segala aspek budaya, politik, dan ekonomi….. Karena itu, kita harus kembali ke nilai-nilai luhur bangsa kita. Gotong-royong adalah salah satu

(5)

nilai luhur utama bangsa yang seharusnya dijadikan roh dalam segala aspek bertindak, namun dilupakan. Gotong-royong merupakan tindakan bersama, kekeluargaan, adanya trust, dan bahu-membahu untuk kemajuan bangsa. Nilai itu harus dijalankan agar menjadi landasan pijak dan tindak dalam membangun bangsa yang lebih baik. Lubang pembenahan bangsa adalah alpanya menjadikan spirit gotong-royong sebagai sumber nilai….” (Sudjito, 2014:4)

Abdillah (2011:8) dalam penelitiannya menemukan bahwa memudarnya nilai gotong-royong disebabkan antara lain oleh globalisasi. Nilai kebersamaan mulai luntur dan berganti dengan penghormatan secara berlebihan kepada individu:

“Dalam perjalanan bangsa terjadi perubahan dalam sikap budaya bangsa Indonesia. Sikap budaya gotong royong yang semula menjadi sikap hidup bangsa telah mengalami banyak gempuran yang terutama bersumber pada budaya global yang mementingkan kebebasan individu…. Masyarakat menjadi cenderung individualis, konsumeris, dan kapitalis sehingga rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan senasib sepenanggungan antar sesama manusia mulai hilang” (Abdillah, 2011:8-9)

Selamat (2009:2) pun mencatat bahwa krisis kegotong-royongan menemukan bentuknya yang lebih besar dalam aneka konflik. Kerusuhan Ambon, Poso, Sambas, konfilk Aceh, Papua, dan pelbagai aksi anarkis menjadi tantangan bersama bagi terwujudnya nilai gotong-royong (Selamat, 2009:2). Hal ini menjadi ancaman bagi penghayatan nilai kegotong-royongan dan sekaligus membahayakan konsep nasionalisme Indonesia. Situasi semacam ini diperparah pula oleh munculnya kasus intoleransi agama oleh berbagai kelompok dan ormas di berbagai tempat. Haryatmoko (2010:82-83) bahkan mengatakan bahwa agama

(6)

justru kerap kali memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi aneka konflik yang membahayakan semangat persatuan dan nilai gotong-royong itu sendiri. Nilai gotong-royong Soekarno yang menjadi rangkuman dari filosofi Bangsa Indonesia seakan-akan menemui ujian dan tantangan ketika diterapkan dalam kehidupan bersama dewasa ini (Dewantara, 2010:77).

Indonesia diwarnai oleh kemajemukan di segala bidang. Tilaar (2004:114) mengatakan bahwa ada enam ratus suku bangsa yang hidup dan mendiami wilayah Indonesia. Letak Indonesia yang strategis membuat banyak agama dan kepercayaan masuk sejak berabad-abad yang lampau. Kemajemukan bangsa seharusnya menjadi modal dan potensi yang luar biasa bagi kemajuan bersama, akan tetapi dewasa ini mengemuka justru aneka fenomena yang menjadi penghambat bagi pemekaran nilai kegotong-royongan di tengah kemajemukan itu (Wahyono, 2006:17-18). Hal tersebut menurut Imaningrum (2009:61) menjauhkan bangsa Indonesia dari filosofi aslinya (Pancasila), UUD 1945, Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai gotong-royong itu sendiri. Sutarto (2004:163) merangkum semua permasalahan di atas dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami dua macam ancaman, yakni: ancaman dari luar berupa globalisasi, dan ancaman dari dalam berupa krisis pemaknaan terhadap nilai-nilai khas Indonesia itu sendiri, termasuk nilai gotong-royong.

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang besar, tetapi apa yang sebenarnya mempersatukan rakyat Indonesia menjadi sebuah bangsa? Renan (1996: 52) mengatakan bahwa suatu bangsa ada karena diikat oleh jiwa yang

(7)

sama, yakni: masa lalu yang sama (yaitu persamaan nasib yang sama ketika mengalami masa penjajahan) dan hasrat untuk bersatu. Pendapat Renan inilah yang kemudian digunakan Soekarno untuk menggelorakan semangat nasionalisme untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Nasionalisme Indonesia dibahasakan Soekarno dengan berkata bahwa “Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua!” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82). Soekarno selanjutnya berkata bahwa “negara semua buat semua” ini merupakan negara gotong-royong. Nasionalisme Indonesia ternyata tidak bisa dilepaskan dari nilai gotong-royong.

Wacana mengenai nasionalisme Indonesia selalu berkembang dengan dinamis, apalagi jika dikaitkan dengan aneka permasalahan yang dewasa ini mengemuka. Sudiar (2010:17-19) mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang menyebabkan isu nasionalisme menjadi sensitif, yakni: ketidakmampuan masing-masing kelompok yang tergabung dalam sebuah naungan nasionalisme untuk menjaga keutuhan hidup bersama dan berdampingan, pembangunan yang tidak merata sehingga menghasilkan struktur masyarakat yang timpang, kinerja pemerintah yang tidak baik, dan globalisasi yang menjadi faktor pemerkeruh keadaan. Suatu bangsa seperti Indonesia tersusun dari aneka kelompok yang kemudian melebur ke dalam suatu kewargaan, oleh karena itu Indonesia membutuhkan nilai-nilai yang dapat mengatasi aneka perspektif yang melemahkan sendi hidup bersama (Sutarto, 2004:198). Sutarto (2004:199) kemudian menambahkan bahwa Pancasila dengan nilai kegotong-royongannya

(8)

dapat memberikan sumbangan yang dapat dijadikan sebagai nilai dan pilar utama bagi mekarnya nasionalisme di Indonesia.

Pendalaman akan nilai gotong-royong, sebagaimana dikatakan Sudjito berikut ini, amat diperlukan bagi pemekaran semangat nasionalisme di tengah pluralitas Indonesia:

“Gotong-royong mengandaikan leburnya benteng ego personal ke dalam ego kolektif untuk saling menopang demi kemajuan bangsa…. Para founding fathers meletakkannya sebagai prinsip nilai bangsa yang tidak lagi bisa ditawar… Karena itu sudah saatnya kita kembali menyemai nilai gotong-royong untuk menjawab ancaman yang dapat meruntuhkan pondasi berbangsa kita (Sudjito, 2014:4).”

Semua hal di atas mendorong peneliti untuk meneropong apakah nilai gotong-royong yang dahulu didengungkan oleh Soekarno bisa dipertanggungjwabkan secara objektif dalam perspektif teori nilai Max Scheler serta tahan uji menghadapi tantangan zaman ini dalam bingkai keindonesiaan. Sebagai sebuah nilai khas Indonesia, gotong-royong perlu dan layak diteliti secara aksiologis. Pendekatan Max Scheler diperlukan untuk meneropong segi objektif dari nilai gotong-royong. Aneka fenomena kemerosotan dan tantangan dalam memekarkan nilai gotong-royong akan mendapat mendapat pemaknaan baru ketika ditemukan bahwa nilai gotong-royong sungguh ada secara objektif di tengah bangsa Indonesia, apalagi penelitian yang secara khusus meneliti nilai gotong-royong dari sudut pandang Max Scheler sejauh ini belum ditemukan.

(9)

2. Rumusan Masalah

Soekarno mengatakan bahwa gotong-royong adalah nilai yang bersal dari bumi Indonesia sendiri (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82.), lalu permasalahan yang dapat diajukan dalam kerangka teori objektivisme Max Scheler untuk penelitian ini adalah:

a. Apa makna gotong-royong menurut Soekarno?

b. Apa makna nilai gotong-royong Soekarno dalam perspektif aksiologi Max Scheler?

c. Apa sumbangan pemikiran gotong-royong Soekarno dalam perspektif aksiologis bagi nasionalisme Indonesia?

3. Keaslian Penelitian

Dahm (1987:424) dalam penelitiannya mengatakan bahwa Soekarno amat mendalami kearifan dalam filsafat Jawa yang mengatakan bahwa ”semua hal sejatinya ialah satu” ketika merangkum Pancasila menjadi prinsip gotong-royong. Gotong-royong adalah nilai khas dalam masyarakat Jawa yang amat identik dengan harmoni, kebersamaan, dan keselarasan. Nilai semacam inilah yang diangkat Soekarno dan diusulkan sebagai nilai khas Indonesia merdeka.

Suwarno (1993:5) di tempat lain pernah melakukan penelitian mengenai Pancasila dari sudut pandang historis dan sosio yuridis. Suwarno (1993:5-6) mengatakan bahwa penyederhanaan Pancasila ke dalam nilai gotong-royong ini

(10)

dilakukan untuk menghindari pihak-pihak yang tidak setuju dengan Pancasila. Soewarno (1993:6) berpendapat bahwa Soekarno menawarkan alternatif lain, yakni Trisila dan Ekasila, meski Soekarno sendiri pada akhir pidatonya menekankan lagi agar Pancasilalah yang diterima.

Sunoto (2000:93) pada kesempatan lain mengatakan bahwa memang gotong-royong adalah prinsip yang berasal dari bumi Indonesia dan amat luhur maknanya, akan tetapi amat tidak logis untuk memeras Pancasila menjadi royong. Pancasila menurut Sunoto tidak dapat diperas ke dalam prinsip gotong-royong, karena satu persatu sila dengan demikian harus dapat diperas pula menjadi royong. Faktanya tidak semua sila dapat diperas menjadi gotong-royong, misalnya bagaimana memeras sila ketuhanan menjadi gotong-royong? (2000:93).

Dewantara (2010) juga pernah menggali tema ini dalam tesis yang berjudul ”Negara Gotong Royong menurut Soekarno” dalam perspektif Filsafat Politik, tetapi tidak dengan objek formal teori nilai Max Scheler. Penelitian tersebut antara lain mengatakan bahwa filosofi gotong-royong merupakan usulan Soekarno ketika terjadi perdebatan di antara para pendiri negara yang hendak mencari dasar bagi Indonesia merdeka. Soekarno sebenarnya hendak mengatakan bahwa gotong-royong merupakan cerminan masyarakat Indonesia yang bersatu dalam keberagaman, dan itu pula yang harusnya menjadi nilai fundamental bagi berdirinya Indonesia.

(11)

Wacek dalam Jurnal Philosophy Today XIII pada tahun 1979, pernah menyajikan penelitian mengenai Max Scheler dari sudut pandang antropologi. Wacek mengatakan bahwa pemikiran Scheler memberi pendasaran yang kuat ketika menghadapi relativisme nilai. Nilai tidak bersifat relatif, melainkan menemukan maknanya dalam dirinya sendiri. Wahana pada tahun 2004 secara khusus meneliti mengenai peranan nilai bagi manusia modern ditinjau dari etika aksiologis Max Scheler dalam sebuah buku populer yang sebetulnya merupakan ringkasan dari hasil penelitian ilmiahnya. Penelitian tersebut memberikan pendasaran bagi manusia modern tentang bagaimana mengerti nilai, serta kemampuan untuk mengatasi krisis nilai di era dewasa ini.

Semua penelitian di atas ternyata tidak menggali Ekasila (gotong-royong) sebagai sebuah nilai. Pendekatan Ekasila dari sudut teori Max Scheler juga belum muncul. Penelitian ini dengan demikian hendak menggali gotong-royong cetusan Soekarno sebagai sebuah nilai. Sudut tinjauan akan lebih difokuskan dengan menggunakan kacamata teori nilai Max Scheler yang diarahkan kepada penghayatan nasionalisme Indonesia.

4. Manfaat Penelitian

a. Manfaat bagi Ilmu Pengetahuan

Penggalian akan tema ini tentu akan bermanfaaat bagi ilmu-ilmu khusus, misalnya bagi sosiologi dan antropologi budaya ketika memahami masyarakat

(12)

Indonesia, terutama dari sudut keroyongannya. Penggalian nilai gotong-royong yang hendak digali dalam penelitian ini memberi pendasaran filosofis ketika hendak dilanjutkan oleh sosiologi, budaya, antropologi, psikologi, dan ilmu khusus lainnya.

b. Manfaat bagi Bangsa Indonesia

Penelitian akan nilai gotong-royong tentu juga bermanfaat dalam bingkai keindonesiaan. Fenomena merosotnya kegotong-royongan akan mendapat jawaban dari penelitian ini, dan intisari Pancasila menjadi tergali lagi supaya terjadi proses revitalisasi penghayatan hidup bersama sebagai bangsa yang majemuk.

Segi positif dari elaborasi ini adalah ditemukannya kembali dasar objektif dari nilai kegotong-royongan. Segi negatif yang mungkin muncul dari penelitian ini adalah kurang dielaborasinya segi subjektivitas dari setiap manusia Indonesia ketika berhadapan dengan nilai gotong-royong.

c. Manfaat bagi Penelitian itu Sendiri

Tema ini menjadi masukan baru bagi elaborasi Pancasila. Dimensi kebaruan muncul ketika perspektif Max Scheler digunakan untuk mendalami Pancasila. Filsafat Pancasila harus terus digali dan didalami, supaya sistematisasi nilai-nilai yang ada di dalamnya makin terkuak. Penggalian tema ini juga

(13)

bermanfaat bagi penelitian filsafat berikutnya. Pendekatan lain dari sudut kefilsafatan (misalnya dari sudut subjektivisme aksiologis) tentu akan diperlukan supaya di kemudian hari kajian mengenai kegotong-royongan dan mengenai Pancasila itu sendiri semakin lengkap.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menggali gagasan awali pendirian bangsa ini, terutama ide Soekarno mengenai nilai gotong-royong ditinjau dari teori nilai Max Scheler. Secara khusus, pembahasan tema ini diharapkan dapat menyumbang sesuatu bagi kehidupan manusia Indonesia dewasa ini yang seakan-akan hidup dalam kemerosotan nilai (terutama nilai kegotong-royongan) di segala bidang. Tujuan penelitian akan dijabarkan secara skematis dalam poin-poin berikut:

a. Penelitian ini hendak menemukan makna gotong-royong menurut Soekarno.

b. Penelitian ini hendak menemukan secara analitis makna objektif dari nilai gotong-royong Soekarno dalam perspektif aksiologi Max Scheler.

c. Penelitian ini hendak menemukan secara reflektif sumbangan dari peneropongan gotong-royong Soekarno dalam perspektif objektivisme aksiologis Max Scheler bagi penghayatan nasionalisme di Indonesia.

(14)

C. Tinjauan Pustaka

Pancasila diusulkan Soekarno sebagai philosofische Gronslag (dasar, filsafat, atau jiwa) dari Indonesia merdeka. Setelah selama tiga hari beberapa anggota BPUPKI berpidato dan menawarkan aneka gagasan mengenai dasar apa yang dipakai bagi Indonesia merdeka nanti, tiba saatnya bagi Soekarno untuk menyampaikan hal yang sama (Soemarno, 1990:39). Meski sudah menyatakan lima sila (Pancasila), tetapi Soekarno kemudian mengajukan usul untuk merangkum lima dasar tersebut menjadi Trisila, yaitu: socio-nationalism (rangkuman dari kebangsaan dan kemanusiaan), socio-democratie (rangkuman dari keadilan sosial dan kerakyatan), dan Ketuhanan (Poespowardojo, 1998:4). Tidak berhenti di situ, Soekarno merangkum lagi Trisila tersebut ke dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Argumentasi yang dikemukkan adalah karena Soekarno menginginkan Indonesia buat semua. (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82). Soekarno bahkan lebih lanjut mengatakan: “Alangkah hebatnya! Negara Gotong-Royong” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:82)

Suwarno (1993:5) menggarisbawahi adanya tindakan meringkas Pancasila ke dalam Ekasila oleh Soekarno. Suwarno (1993:5-6) berpendapat bahwa kelima sila itu berasal dari prinsip yang terkandung dalam nilai Indonesia yang khas, yakni gotong-royong. Suwarno (1993:6) mengatakan bahwa formulasi ini hendak menghindari pihak-pihak yang tidak setuju dengan Pancasila, sehingga Soekarno

(15)

merasa perlu untuk menawarkan alternatif lain, yaitu Trisila dan Ekasila. Soekarno sendiri pada akhir pidatonya menekankan lagi agar Pancasilalah yang diterima.

Pancasila mempunyai akar pada kegotong-royongan masyarakat Indonesia. Akar inilah yang kemudian disebut sebagai Pancasila material oleh Notonagoro (1962:7) dan kemudian diformalkan. Pancasila formal dengan demikian merupakan cetusan rasional (lewat penggalian bertahun-tahun) dari Pancasila material yang hidup dan berkembang dalam sejarah, peradaban, agama, hidup ketatanegaraan, lembaga sosial dan lain sebagainya yang bercirikan nilai gotong-royong.

Soekarno dengan prinsip gotong-royongnya mau mengatakan bahwa tidak boleh ada lagi klaim-klaim golongan, pribadi, dan kelompok apapun yang hendak memperjuangkan kepentingan mereka sendiri di atas kepentingan bersama. Artinya, sebenarnya tidak boleh ada klaim mayoritas atas minoritas! Tidak boleh ada klaim warga pribumi atas peranakan! Tidak boleh ada klaim kaum kaya atas kaum miskin! Mengapa? Karena, kalau ada klaim-klaim tersebut, untuk apa ada Indonesia merdeka? Bukanlah semua itu bentuk dominasi dan penjajahan baru? (Kroef, 1966: 206). Lebih dari itu, dengan mengatakan gotong-royong sebagai nilai dasar negara Indonesia, Soekarno hendak mengatakan bahwa Indonesia didirikan untuk menjamin kepentingan semua warga Indonesia, apapun agamanya, golongannya, sukunya, dan keadaan ekonominya (Soekarno, 1957:435). Soekarno mengecam individualisme yang lahir dari liberalisme Barat.

(16)

Individualisme itu melahirkan egoisme, dan ini terutama dicerminkan oleh pertarungan antarpartai. Argumentasi tersebut membawa Darmaputera (1989:291) kepada satu kesimpulan bahwa Indonesia merdeka haruslah diwarnai oleh kegotong-royongan.

Gotong royong bukanlah sikap kekurangberanian, kurang percaya diri, atau sikap tidak mandiri (Krishna, 2005:8). Gotong royong tidak selalu berarti orang-orang sekampung menyumbang ketika terkena musibah. Gotong royong berarti bahu-membahu dan saling bergandengan tangan (Suseno, 1991:57). Gotong-royong berisi kesadaran bahwa semua warga adalah putra-putri ibu pertiwi, memiliki hak dan kewajiban yang sama, walaupun aplikasi, pelaksanaan, penerjemahannya dalam hidup sehari-hari dapat berbeda. Gotong royong merupakan nilai yang dinamis, bahkan lebih dinamis dari kekeluargaan. Gotong royong menggambarkan satu usaha bersama dan saling bantu demi kepentingan bersama (Krishna, 2005:10).

Nilai gotong-royong dan semangat kekeluargaan merupakan nilai potensial yang ada di bumi Indonesia (Darmodiharjo, 1979:76). Nilai kegotong-royongan ada karena terdorong oleh panggilan dan kodrat manusia Indonesia yang dibalut oleh pengalaman sejarah yang sama. Gotong-royong merupakan keseimbangan antara kebutuhan/kepentingan individu dalam hubungannya dengan kebutuhan masyarakat yang terjadi secara timbal balik (Darmodiharjo, 1979:76). Mengapa demikian? Karena hidup manusiawi (terutama manusia Indonesia) mengalami kepenuhannya dalam relasi dengan masyarakatnya. Hal demikian tercermin secara

(17)

mengagumkan lewat mekanisme musyawarah untuk mencapai mufakat dalam mengatasi setiap masalah supaya tidak terjadi benturan antarindividu (Suseno, 1991:57).

Kesepakatan atas nilai Gotong-Royong ini sendiri pun sebenarnya sudah tampak ketika BPUPKI bersidang untuk membahas Undang-undang Dasar. Kesepakatan ini dimunculkan sendiri oleh Ketua Sidang, yakni Radjiman Wedyodiningrat demi mengikis paham individualisme:

”...Itu saya ajukan di sini lagi, karena kita harus insyaf sedalam-dalamnya bahwa menurut Ketua Panitia tadi, Undang-undang Dasar berasas gotong-royong atau berazas falsafah hidup bersama-sama di dunia ini, manusia yang satu dengan manusia yang lain... Itu saya kira tidak usah saya tanyakan lagi” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995: 261).

Hal yang sama juga dikatakan oleh Hatta ketika memberi tanggapan atas pidato Soekarno dan Radjiman:

”Memang kita harus menentang individualisme dan saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar gotong-royong dan hasil usaha bersama... Dasar yang kita kemukakan ialah dasar gotong-royong dan usaha bersama. Pendek kata dasar collectivisme.” (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:262-263).

Undang-undang Dasar yang merupakan produk turunan dari pernyataan kemerdekaan dan dasar negara itu sendiri pun sepakat untuk dipondasikan pada nilai gotong-royong demi mengikis habis paham individualisme. Meskipun di kemudian hari muncul perdebatan yang menyatakan apakah benar Ekasila ini benar-benar perasan, kompromi, atau hanya simbolisasi Soekarno (Adams,

(18)

1966:35), namun fakta yang tidak dapat ditolak ialah kesepakatan bahwa nilai gotong-royong ini merupakan ciri khas masyarakat Indonesia. Soepomo, Hatta, dan Yamin bahkan mengatakan hal yang sama (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995:262-263).

Negara Indonesia hendak didirikan di atas dasar nilai khas Indonesia. Soekarno tidak mengimpor paham asing dan mengendaki agar Indonesia didirikan buat semua warga serta dimiliki oleh semua warga Indonesia ketika mengetengahkan nilai gotong-royong. Nilai ini mencakup kerjasama, musyawarah untuk mufakat, dan rasa saling menghargai. Negara gotong-royong dengan demikian ialah negara yang dipondasikan atas semangat kerjasama dan saling bantu khas Indonesia. Gotong-royong bagi Soekarno menjadi saripati, ringkasan, dan jiwa Pancasila itu sendiri (Darmaputera, 1989: 132).

Gotong-royong bukan istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia. Koentjaraningrat (1974:61) mengatakan bahwa sebenarnya kata “gotong-royong” tidak ditemukan dalam kesusasteraan Jawa Kuno, prasasti masa lalu, dan sejarah kebudayaan suku bangsa lainnya di Indonesia. Lebih lanjut Koentjaraningrat (1974:56) menjelaskan bahwa meskipun istilah gotong-royong adalah istilah yang relatif baru, namun sebenarnya hakikat dari konsep gotong-royong telah berakar cukup lama dalam kehidupan masyarakat di pedesaan Indonesia, terutama di pedesaan Jawa. Sejak ratusan tahun lalu masyarakat pedesaan di Jawa mengenal berbagai istilah yang mengacu kepada prinsip gotong-royong ini.

(19)

Kata “gotong royong” terutama mulai dikenal pada masa pendudukan Jepang, yaitu ketika Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pertama kali mengunakan istilah tersebut (Koentjaraningrat, 1974:61). Gotong-royong menjadi istilah yang populer ketika Soekarno memperkenalkannya sebagai nilai khas Indonesia yang harus menjadi jiwa dan mendasari kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan pada masa Soekarno ada kabinet pemerintahan yang diberi nama Kabinet Gotong Royong.

Koentjaraningrat (1974:60) mendefinisikan gotong-royong sebagai pengerahan tenaga manusia tanpa bayaran untuk suatu proyek atau pekerjaan yang bermanfaat bagi umum atau yang berguna bagi pembangunan. Kehidupan gotong-royong banyak ditemukan pada masyarakat yang berakar pada tradisi pertanian pedesaan atau agraris. Tradisi pertanian mengharuskan masyarakat petani untuk saling bekerja sama sejak mulai menyemai bibit, menanam, merawat, hingga memanennya. Gotong royong menjadi cara hidup dalam masyarakat agraris yang berbentuk paguyuban, atau dalam istilah Tonnies disebut dengan gemeinschaft (Soekanto, 1982: 116).

Bintarto (1980:11) mengatakan bahwa gotong royong merupakan perilaku sosial yang konkrit. Prinsip tersebut dalam istilah Scott disebut sebagai prinsip moral timbal balik antarindividu yang tidak dilandasi oleh uang dan materi, melainkan pada harapan untuk memperoleh pertolongan balik di saat kelak mereka memerlukannya (Scott, 1988:255). Prinsip ini menurut Scott dilandasi sebuah gagasan yang sederhana, yakni semua orang harus membantu mereka yang

(20)

pernah membantunya (Scott, 1988:255). Lebih lanjut Scott (1988:255) mengemukakan bahwa prinsip moral resiprositas dalam masyarakat pedesaan Jawa inilah yang disebut dengan gotong royong. Geertz (1983:154) dalam The Javanese Family mengatakan bahwa nilai gotong-royong dalam masyarakat Jawa dipengaruhi oleh dua nilai besar yang menjadi jiwa dalam kehidupan kesehariannya, yaitu nilai “urmat” (hormat) dan “rukun”. Nilai “urmat” dan “rukun” inilah yang akhirnya membentuk manusia Jawa sebagai pribadi yang mengutamakan harmoni, keselarasan sosial, serta menghindari konflik.

Kata “gotong-royong” bernuansa budaya Jawa, akan tetapi praktek hidup masyarakat yang diresapi oleh semangat kerjasama ini terdapat pula di berbagai tempat di Indonesia. Masyarakat Aceh mengenal nilai gotong royong yang terwujud dalam tradisi “khanduri,” yaitu ritual yang dilakukan secara kolektif untuk memohon berkah, keselamatan, serta mengucap syukur kepada Tuhan (Prasetyo, 2009:83). Masyarakat Bali melakukan aktivitas gotong-royong dalam berbagai upacara keagamaan dan subak (Bintarto, 1980:15). Subak merupakan lembaga tradisional yang memiliki fungsi untuk mempersatukan para petani dalam upaya mengurus pengairan sawah dan memanfaatkannya secara bersama-sama. Bintarto (1980:16) juga mengatakan bahwa tradisi gotong royong terdapat pula pada masyarakat Dayak di Kalimantan ketika mereka membuka ladang. Gotong royong juga dapat ditemukan dalam tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan dalam sebuah pranata sosial yang disebut sebagai minawang (Ahimsa, 2007:2). Aneka praktik kebersamaan (dengan berbagai nama yang berbeda) di

(21)

berbagai lapisan tersebut memberi ciri khas tertentu pada masyakat Indonesia. Masyarakat Indonesia ternyata dijiwai oleh nilai kegotong-royongan.

Penelitian ini juga hendak memberikan perhatian kepada nasionalisme. Nasionalisme sering dikaitkan sebagai paham tentang kecintaan terhadap keberadaan sebuah bangsa. Halliday (2001: 524) mengatakan bahwa”nationalism is all above a moral principle which claims that nations do exist, that they should coincide with i.e. cover the same people as political communities and that they should be self ruling.” Nasionalisme merupakan sebuah gagasan moral yang berisi pernyataan tentang keberadaan suatu bangsa, pembentukan sebuah entitas politik, dan bagaimana mengelolanya. Renan (1996:52) mengatakan bahwa nasionalisme diwujudkan dalam kehendak untuk bersatu dalam negara, yang di dalamnya memuat persatuan karakter yang timbul karena perasaan senasib.

Hutchinson dan Smith (1994:5) mengatakan bahwa ada tiga unsur yang terkadung dalam nasionalisme, yakni: otonomi, kesatuan, dan identitas. Unsur otonomi menjelaskan bahwa negara adalah satu entitas yang mampu berdiri sendiri secara utuh dan menjalankan pemerintahan sendiri. Unsur kesatuan menjelaskan adanya faktor pemersatu dalam negara yang bisa berwujud dalam persamaan sejarah dan nasib. Identitas adalah unsur yang membedakan bangsa tersebut dengan komunitas lainnya.

Bagaimana dengan nasionalisme Indonesia? Dalam versi yang paling awal, nasionalisme Indonesia ditandai oleh semangat untuk mengangkat harkat dan martabat kaum pribumi dengan membebaskan diri dari kaum penjajah

(22)

(Jahroni, 2005:17). Nasionalisme semacam ini mengemuka dalam berbagai perlawanan terhadap penjajah di berbagai daerah, dan semakin mengental pada era 1908 ketika Boedi Oetomo dan organisasi pergerakan lainnya merintis visi kebangsaan dalam Sumpah Pemuda. Pada perkembangan berikutnya beberapa tokoh seperti Soekarno dan Hatta menjadikan proklamasi sebagai puncak dari nasionalisme Indonesia ketika menyatakan diri sebagai bangsa yang merdeka.

Nasionalisme Indonesia diberi warna khusus oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 di depan BPUPKI. Soekarno mengetengahkan kebangsaan sebagai salah satu sila. Sila kebangsaan ini membuat semua golongan dipersatukan dalam perjuangan yang sama. Negara kebangsaan ini akan ditempatkan lebih tinggi dari kepentingan golongan-golongan. Tidak ada golongan politik atau status ekonomi tertentu yang diistimewakan lebih dari yang lain. Nasionalisme di sini tidak dimaksudkan sebagai nasionalisme sempit yang memandang rendah bangsa lain, melainkan tumbuh dan berkembang bersama negara-negara lain.

D. Landasan Teori

Teori nilai Max Scheler menjadi objek formal dari penelitian ini. Pandangan Scheler dalam dunia aksiologi sangat berpengaruh. Max Scheler menggunakan pendekatan fenomenologi terhadap aksiologi dan nilai pada umumnya, sehingga membuatnya tahan terhadap kritik kaum relativis dan

(23)

subjektivis. Frondizi bahkan mengatakan bahwa teori Scheler berisi penolakan terhadap paham subjektivisme aksiologis:

“Scheler rejects, one by one, the subjectivist axiological theories. The dilemmas involved in the contemporary manner of looking at the philosophical problem are so inadequate, he states, that if one does not admit the reduction of value to what ought to be, the norm of the imperative, one ends up by believing that the value essence of an object depends upon the relationship which it bears to our pleasurable experiences (Frondizi, 1963:.83).”

Nilai dan emosi (yang katanya amat subjektif) sebenarnya memiliki acuan objektif. Max Scheler kemudian menggeser pandangan Kant ke dalam suatu objektivisme aksiologis yang didasarkan pada fakta yang bisa diobservasi secara fenomenologis.

Imanensi hakikat pada subjek ditolak oleh Scheler. Hakikat itu disajikan dan diberikan dari luar subjek, merupakan realitas otonom, yang tidak diasalkan dari aktivitas subjek. Hakikat nilai pun tidak bergantung pada subjek. Scheler berpendapat bahwa nilai itu pun bukan soal persepsi sentimental subjektif pada umumnya:

“The phenomenological is that precisely in the sentimental perception of a value there appears that very same value, as distinguished from its perception-all of which is valid in every possible case involving a sentimental perception- and consenquently, the disappearance of sentimental perception does not eradicate the essence of value” (Scheler, 1954:259).

Nilai secara esensial bersifat apriori dan ditemukan mendahului pengalaman indrawi manusia. Scheler berpendapat bahwa nilai merupakan suatu kualitas yang

(24)

tidak tergantung kepada pembawanya. Kualitas suatu nilai tidak akan berubah jika pembawanya berubah, dan juga tidak rusak ketika pembawanya dihancurkan. Nilai keindahan tidak ditarik dari pemandangan yang indah, karena nilai keindahan sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya pemandangan tersebut. Selain tidak bergantung pada objek yang terlihat (misalnya patung, lukisan, dan lain sebagainya), nilai juga tidak bergantung kepada subjek yang menilai.

“We are familiar with cases in which the value of a thing is presented to us clearly and evidently, without being confronted by the carriers of that value. Thus, for example, an individual may be unpleasant and repulsive in our eyes, or else, pleasant and charming, without our being able to show just what consist of.” (Scheler, 1954:40)

Scheler berpendapat bahwa nilai merupakan kualitas yang tidak bergantung kepada hal apapun, tidak berubah seiring perubahan barang, bukan hal yang relatif, dan bersifat absolut. Objektivisme aksiologis Scheler dengan demikian sangat bernuansa absolutis.

“Nothing can ever become an end without first having been an objective. The end is based on the objective. Objectives can be given without ends, bunt ends can never be stated without objectives which antecede them. We cannot create an end out of nothingness, nor can we „propose‟ one without a „tendency toward something‟ which precedes it” (Scheler, 1954:61)

Scheler juga menolak pandangan kaum subjektivis yang berpendapat bahwa keberadaan nilai bergantung kepada faktor psikis dan psikofisis manusia.

“….reject any theory which tries to limit the very essence of value to men and to their make-up whether this be „psisic‟ (antropoligically or psychologically centered), or „psychological‟ (antropologically-oriented); that is to say, any theory which

(25)

attempts to place the essence of value in relation to man or his constitution.” (Scheler, 1954: 275)

Nilai juga tidak bergantung kepada zaman. Nilai kesucian dengan demikian sama tingginya baik pada zaman dulu maupun sekarang dan tidak bergantung kepada siapa manusia yang menghayatinya. Memang dunia terus berubah dan sejarah dunia terus bergulir, tetapi bagi Scheler suatu nilai tidak berubah seturut perubahan zaman.

E. Metode Penelitian 1. Bahan/Materi Penelitian

Model penelitian yang akan digunakan dalam menggali tema ini ialah penelitian kualitatif bidang filsafat. Data secara khusus dikumpulkan melalui sumber kepustakaan. Sumber primer yang diacu yakni pidato Soekarno saat berpidato tentang Pancasila di depan BPUPKI (yang berisi tentang cetusan kegotong-royongan-Ekasila). Sumber primer ini diterbitkan oleh Sekretariat Negara Republik Indonesia (1995) yang berjudul “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.”

Sumber sekunder dalam penelitian ini ialah buku karangan Max Scheler, terbitan tahun 1954, yang berjudul Der Formalismus in de Ethik und die materiale Wertethik. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1973 menjadi Formalism in Ethics and Non-formal Ethics of Values oleh Manfred S. Frings & Roger C. Funk, terbitan Bern, Francke, Verlag. Sumber sekunder lain

(26)

yang bisa menjadi pendukung yaitu: Scheler, Max., (1961), Men‟s Place in Nature, (translated by. Hans Meyerhoff), New York, The Noonday Press, serta Frondizi, Risieri (1963), What is Value, an Introduction to Axiology, (translated by Solomom Lipp) Lasalle, Illinois

Data yang didapat melalui sumber-sumber tersebut kemudian dicari maknanya. Hermeneutika di titik ini berperan besar untuk mencari makna di balik aneka data pustaka tersebut. Pidato Soekarno secara khusus diteliti dengan mengikuti alur hermeneutika Dilthey. Hasil dari analisis hermeneutis Dilthey tersebut kemudian akan menjadi materi yang akan diteropong dari sudut pandang teori nilai Max Scheler, supaya ditemukan sumbangannya bagi nasionalisme Indonesia.

2. Jalan Penelitian a. Pengumpulan Data

Peneliti pada penelitian ini harus membaca dan mencatat informasi yang terkandung dalam sumber primer dan sekunder, karena model studi yang diambil merupakan suatu penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data melalui kepustakaan. Membaca semua data tentu bukan pekerjaan mudah, maka peneliti harus mencatat dalam kartu data pokok-pokok penting yang ada dalam data tersebut. Uraian Scheler mengenai nilai sangat panjang, sehingga yang dilakukan pertama-tama ialah membuat kerangka (garis besar) dari buku ini. Peneliti dengan demikian harus membuat kerangka dari tiap bab (dari bab pertama sampai ke bab

(27)

terakhir) dari buku ini untuk memudahkan dalam menemukan inti tiap bab sehingga nanti berguna dalam proses pemahaman secara keseluruhan.

b. Klasifikasi Data

Peneliti pada tahap berikutnya akan membuat kode-kode tertentu dari setiap bab berdasarkan temanya. Catatan ini dibuat dalam bentuk parafrase (alenia tertentu atau bab tertentu bicara mengenai tema apa) pada kartu data. Peneliti secara khusus juga akan membuat catatan quotasi sebagai pelengkap data. Catatan quotatif ini dilakukan ketika Scheler mengungkapkan gagasan pokok atau kata-kata kunci yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan nilai. Data quotatif ini nanti diperlukan dalam tahap pengolahan dan menjadi dasar kutipan. Hal yang sama juga dilakukan ketika menggali pidato Soekarno mengenai nilai gotong-royong.

Peneliti adalah instrumen utama dalam penelitian dengan sumber data kepustakaan seperti ini. Peneliti tentu harus menggunakan instrumen tertentu untuk memudahkan jalannya penelitian. Sejauh ini sumber primer dan sekunder sudah didapatkan. Ada beberapa buku tertentu yang memang sudah ada di perpustakaan. Beberapa buku yang sudah tidak terbit ternyata bisa digandakan dengan menggunakan fasilitas fotocopy. Kendalanya ialah ternyata tidak semua buku bisa didapatkan dan digandakan, maka kartu data dalam hal ini bisa digunakan sebagai instrumen pendukung untuk melakukan penelitian ini. Data

(28)

digital yang didapat dari internet bisa disimpan dalam disc dan flashdisc, dan nantinya digunakan dalam proses pengolahan.

c. Pengolahan Data

Peneliti akan memusatkan perhatian terlebih dahulu kepada tokoh Scheler pada proses pengumpulan data. Segala yang berhubungan dengan Scheler (segi historis, latar belakang, karya, garis besar pemikiran, dan lain sebagainya) akan dihimpun pada tahap pertama. Data mengenai hal ini bisa berasal dari tulisan Scheler langsung atau tulisan orang lain mengenainya.

Pada tahap kedua, peneliti akan menghimpun gagasan mengenai objektivisme nilai. Pemikiran mengenai objektivisme nilai memang termuat dalam sumber primer, akan tetapi gagasan dalam sumber lain juga harus diakomodasi sehingga nanti bisa disandingkan. Peneliti pada tahap ketiga akan menghimpun segala sesuatu yang berhubungan dengan nilai gotong-royong, terutama dari apa yang dicetuskan Soekarno. Peneliti pada tahap ini menghimpun data yang berhubungan dengan Soekarno (segi historis, latar belakang, garis besar pemikiran, dan lain sebagainya) selain menggali pidato Soekarno dalam Risalah Sidang BPUPKI.

3. Analisis Hasil

Pidato Soekarno dalam penelitian ini diteliti dengan menggunakan alur hermenutika Dilthey. Penggalian ekspresi (yang dalam terminologi Dilthey

(29)

disebut dengan ausdruck) akan diuraikan menjadi verstehen, analisis semantik, analisis simbolis, dan sintaksis. Unsur-unsur metodis yang dipakai dalam penelitian ini adalah: verstehen, analisis historis, analitika bahasa, hingga sampai kepada heuristika.

Hermenutika Dilthey dipakai untuk menganalisis pidato Soekarno. Dilthey adalah salah satu filosof penting yang bergelut dengan hermeneutika. Hermeneutika Dilthey berangkat dari manusia dan sejarah. Dilthey berpendapat bahwa manusia adalah an historical being, sehingga manusia mengalami dan memahami dirinya lewat dan dalam sejarah. Dilthey berargumentasi bahwa hakikat manusia bukanlah sesuatu yang sekali jadi. Aneka produk pengalaman dan ekspresi kehidupan batin manusia dengan demikian boleh dipandang sebagai suatu teks, sehingga harus diinterpretasi.

Pertama, hermeneutika Dilthey berangkat dari pengalaman. Terminologi yang dipakai Dilthey dalam hal ini adalah “erlebnis” (pengalaman hidup):

“Apa yang terdapat dalam arus waktu satu kesatuan pada masa sekarang karena makna kesatuannya itu merupakan entitas paling kecil yang dapat kita tunjuk sebagai sebuah pengalaman. Lebih jauh, seseorang dapat menyebut setiap kesatuan menyeluruh dari bagian-bagian hidup terikat secara bersama melalui makna umum bagi keseluruhan hidup sebagai suatu pengalaman, bahkan jika bagian-bagian lainnya terpisah antara satu dengan yang lain oleh adanya gangguan berbagai peristiwa (Dilthey, 1967:194).”

Sebuah pengalaman dengan demikian menyangkut pula waktu, tempat, dan konteks historis. Semua itu membentuk pengalaman yang mempunyai makna tertentu. Pengalaman dengan demikian bukanlah hal yang statis, sebaliknya

(30)

pengalaman menjangkau baik rekoleksi masa lalu dan antisipasi masa depan dalam konteks makna keseluruhan. Dilthey ini mengatakan bahwa pengalaman tidak dapat dipahami dalam kategori sains, melainkan harus menempatkannya dalam historisitas manusia.

Kedua, hermeneutika Dilthey menggali ausdruck (ekspresi). Dilthey berpendapat bahwa ekspresi bukan saja berbicara tentang pembentukan perasaan seseorang, melainkan lebih kepada ide, hukum, bentuk sosial, bahasa, teks, dan segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan manusia (Palmer, 2005: 126). Ekspresi dengan demikian adalah objektivasi pemikiran, pengetahuan, dan perasaan manusia. Ekspresi mengundang pendengar atau pembaca untuk memahaminya ketika suatu hal diucapkan atau ditulis dengan menggunakan bahasa.

Ketiga, hermeneutika Dilthey mengedepankan pemahaman. Pemahaman tidak semata tindakan pemikiran, namun merupakan transposisi dan pengalaman dunia kembali sebagaimana yang ditemui orang di dalam pengalaman hidupnya (Palmer, 2005:130). Pemahaman dengan demikian bukan hanya sekedar eksplanasi, tetapi memasuki kedalaman historisitas manusia dengan segala ekpresi dan pengalamannya untuk menemukan makna. Makna dengan demikian bukan sesuatu yang berada di atas ataupun di luar sejarah, namun merupakan bagian dari lingkaran hermeneutis yang selalu bermakna secara historis, sehingga makna sebenarnya bersifat kontekstual.

(31)

Penelitian ini dengan demikian menggunakan unsur-unsur metodis berikut ini:

a. Verstehen

Penggalian ekspresi (yang dalam terminologi Dilthey disebut dengan ausdruck) akan diuraikan menjadi verstehen. Peneliti pada tahap ini memahami tulisan Soekarno mengenai Pancasila pada tahap verstehen. Peneliti akan menyimak dan memahami gagasan Soekarno mengenai nilai gotong-royong. Tulisan Scheler juga akan dipahami pada tahap verstehen ini. Ada godaan besar untuk bersifat alergis atas pandangan Scheler dan jatuh kepada pandangan subjektivisme, tetapi hal itu sejauh mungkin harus dihindari supaya ditemukan hal yang mendasar dari gagasan Scheler yang bisa dipakai untuk meneropong nilai gotong-royongan secara objektif.

b. Analisis Historis

Penggalian dimensi historis Dilthey dalam bab ini dijabarkan dalam analisis konteks. Penggalian historistias akan dilengkapi dengan objektivasi sumber dalam analisis teks yang hendak meneliti dimensi kesejarahan teks pidato Soekarno. Penggalian akan kesejarahan juga mendapat tempat pada penelitian ini. Aspek historisitas dari teks dan tokoh juga akan didalami supaya ditemukan pemahaman yang komprehensif mengenai isi teks jika dikaitkan dengan konteksnya. Gagasan Ekasila tentu tidak muncul begitu saja, melainkan menjawab tuntutan dan situasi zaman itu. Sejarah hidup Soekarno pada bagian ini akan

(32)

didalami supaya ditemukan latar belakang pemikirannya. Analisis historis diperlukan untuk meletakkan teks tersebut pada konteksnya.

c. Analitika Bahasa

Penelitian berlanjut kepada analisa bahasa (teks) yang menyangkut peneropongan akan struktur bahasa sampai ke tingkat semantik dan mengusahakan diri sejauh mungkin untuk melihat dari sudut pandang Soekarno ketika bahasa tersebut dipakai pada saat itu. Teks pidato Soekarno pada tahap ini amat dimungkinkan untuk dianalisa bahasanya (mengingat teks ini penuh retorika dan simbolisasi), supaya makna dibalik cetusan “gotong-royong” bisa ditemukan.

d. Interpretasi Makna

Interpretasi dari makna gotong-royong yang dikemukakan Soekarno dalam kacamata objektivisme nilai Scheler menjadi unsur metodis pada tahap ini. Semua langkah tersebut akhirnya bermuara pada tahap penafsiran dan direfleksi secara kritis. Penggalian ekspresi yang telah melewati tahap verstehen (dengan analisis semantik, simbolik, teks, dan konteks) kemudian diinterpretasi maknanya dalam kacamata aksiologi Max Scheler.

e. Heuristika

Heuristika ialah metode untuk menemukan suatu jalan baru secara ilmiah untuk memecahkan masalah (Peursen 1985; 103). Kaelan (2005:175) di tempat

(33)

lain mengatakan bahwa heuristika adalah metode untuk menemukan jalan baru, dan cara baru. Muara dari semua ini tentu adalah ditemukannya hal yang baru setelah teks tersebut dianalisis. Heuristika dengan demikian merupakan cara berfilsafat untuk menemukan inovasi baru secara ilmiah yang bisa saja membongkar teori yang sudah mapan. Anton Bakker (1994:52) di titik ini mengatakan bahwa heuristika sebagai “logika kreativitas.” Relevansi kritis bagi nasionalisme Indonesia akan dicari dan diulas dalam bagian ini, sehingga ditemukan beberapa refleksi kritis, kesimpulan penting, dan juga kontekstualisasinya bagi Indonesia dewasa ini.

F. Sistematika Penulisan

Bab pertama menguraikan latar belakang permasalahan yang mendasari penyusunan disertasi ini. Latar belakang permasalahan memuat permasalahan, rumusan masalah, keaslian penelitian baik itu yang menyangkut gotong-royong Soekarno maupun aksiologi Max Scheler, manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan, filsafat, dan juga bagi bangsa Indonesia. Bab ini juga memuat tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Metode penelitian secara khusus akan menguraikan bagaimana jalannya penelitian, materi penelitian, dan analisis hasil.

Bab kedua berisi teori nilai menurut Max Scheler. Bingkai aksiologi pertama-tama akan dijabarkan terlebih dahulu dengan menjelaskan apa itu

(34)

aksiologi, persoalan dasar dalam aksiologi yang diwarnai oleh perbedaan pandangan antara penganut subjektivisme aksiologis dan objektivisme aksiologis. Hal tersebut akan memberi gambaran di mana posisi Max Scheler. Scheler digolongkan sebagai filosof yang mengedepankan soal objektivisme nilai. Riwayat hidup Max Scheler kemudian akan diuraikan secara ringkas pada bagian berikutnya. Pemikiran Max Scheler ada dalam suatu konteks, maka perlu diuraikan juga konteks pemikiran Max Scheler yang amat dipengaruhi oleh fenomenologi Husserl dan pandangan Immanuel Kant. Pandangan objektivisme Max Scheler tentang nilai juga akan didalami. Bagian ini akan mengulas bagaimana Max Scheler mengerti nilai, hakikat nilai, bagaimana manusia mengerti serta menangkap nilai, dan bagaimana sebenarnya nilai yang beraneka ragam ini disusun dalam suatu hierarki.

Bab ketiga menjabarkan penggalian makna gotong-royong Soekarno. Pertama-tama akan diuraikan bahwa gotong-royong itu adalah sebuah nilai. Soekarno kemudian menekankan akan bermaknanya nilai gotong-royong ini ketika merangkum Pancasila menjadi Ekasila. Bagian ini akan menjelaskan secara singkat bagaimana riwayat hidup Soekarno. Pembahasan kemudian akan dilanjutkan dengan meneliti gagasan gotong-royong dalam pidato Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang BPUPKI. Penelitian akan makna gotong-royong Soekarno ini selanjutnya akan memakai alur hermeneutika Dilthey dengan melewati beberapa analisis. Analisis teks pidato Soekarno dilakukan untuk menemukan otentisitas dari pidato ini sendiri. Analisis konteks kemudian

(35)

dilakukan untuk meneliti bingkai dari pidato Soekarno. Penemuan makna akan menjadi lebih mudah jika konteks pidato ini diteliti. Suasana, perdebatan, dan situasi perang dalam sidang BPUPKI ini menjadi konteks yang harus diteliti supaya ditemukan makna sebenarnya. Analisis semantik tentang gotong-rotong selanjutnya akan menjadi bagian penting untuk menemukan makna ketika gotong-royong ditinjau dari asal-usul katanya, kesamaannya dengan terminologi lain, etimologi, dan lain sebagainya. Analisis simbolis tentang gotong-royong juga akan dilakukan pada bagian ini. Analisis simbolis menjadi penting dalam pencarian makna ini mengingat Soekarno banyak mengemukakan simbolisasi dalam pidatonya. Analisis filosofis tentang gotong-royong kemudian menjadi penutup dari aneka analisis tersebut untuk menemukan segi filosofis dari gotong-royong. Aneka langkah di atas bermuara pada penemuan makna gotong-royong Soekarno.

Bab keempat menguraikan refleksi dan relevansi aksiologis dari penemuan makna yang telah dijabarkan dalam bab ketiga. Gotong-royong sebagai sebuah nilai yang secara objektif ada di bumi Indonesia akan diuraikan perkembangannya dari zaman ke zaman. Penjelasan tersebut akan memuat pula pemaknaan beberapa tokoh akan nilai gotong-royong tersebut beserta hasil-hasil penelitian terkini mengenai realitas gotong-royong. Refleksi dan relevansi pada bab ini akan menonjolkan segi bagaimana sebenarnya gotong-royong menjadi nilai objektif bangsa, natura objektif bangsa, dan bahkan menjadi nilai vital dari bangsa

(36)

Indonesia. Bab ini juga akan menguraian beberapa analisis kritis akan nilai gotong-royong ini.

Bab kelima menjelaskan beberapa hal baru (penemuan baru) sebagai konsekuensi dari penelitian yang sudah dilakukan dalam bab-bab sebelumya. Hal baru tersebut akan difokuskan pada apa sumbangan nilai gotong-royong bagi nasionalisme Indonesia. Ada beberapa penemuan yang diharapkan muncul pada bab ini, yaitu: pertama, nilai gotong-royong sebenarnya bisa sebagai landasan nasionalisme Indonesia. Kedua, nasionalisme Indonesia yang berlandaskan nilai gotong-royong tersebut ternyata harus dibangun bersama. Gotong-royong sebagai sebuah nilai dengan demikian membutuhkan pendidikan untuk meminatinya jika hendak dijadikan sebagai landasan nasionalisme Indonesia, maka diperlukan pendidikan nilai untuk meminati gotong-royong. Ketiga, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang khas, karena di dalamnya termuat kebhinekaan yang amat kaya. Gotong-royong di titik ini sebenarnya bisa menjadi basis nasionalisme khas Indonesia yang berbhinneka dan sekaligus ika ini. Keempat, nasionalisme Indonesia tidak sama dengan chauvinisme Jerman. Gotong-royong membuat nasionalisme berdimensi internasionalisme juga. Gotong-royong pasti mengakui juga nilai kemanusiaan. Hal inilah yang kemudian bisa disumbangkan dalam rangka internasionalisme nilai gotong-royong. Persaudaraan sebangsa menjadi persaudaraan antarbangsa dimungkinkan dalam semangat gotong-royong ini. Kelima, gotong-royong ternyata kerap memiliki dimensi negatif ketika ada pemberitaan mengenai korupsi berjamaah, tawuran massal,

(37)

kerjasama/bergotong-royong dalam perampokan, dan lain sebagainya. Apakah gotong-kerjasama/bergotong-royong sebagai sebuah nilai yang menjadi intisari dari Pancasila memiliki dimensi negatif? Kalau gotong-royong itu negatif, mengapa ia menjadi intisari dari Pancasila? Aneka pertanyaan ini hendak dijawab dengan mengetengahkan sub bab yang bertema Gotong-Royong sebagai Keutamaan Bangsa, dan relevansinya bagi pelaksanaan Trisakti dalam pemerintahan dewasa ini.

Bagian keenam berisi penutup. Bab ini berisi kesimpulan dan saran. Kesimpulan memuat jawaban atas berbagai pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah. Saran berisi berbagai masukan bagi kemajuan ilmu, dan penggalian Pancasila yang makin mendalam di masa kini dan masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

Dari basis ekonomi yang berbeda, struktur sosial dari masyarakat tersebut juga berbeda (Bachri, 2005: 28-29). Peranan Sungai Brantas. Kalau kita bicara tentang perdagangan di

Pentingnya pemahaman konsep reproduksi virus yang bertujuan agar siswa mampu mengaplikasikan konsep tersebut dalam kehidupan sehari-harinya tanpa miskonsepsi dan gambar

Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami isi cerita, terutama untuk memahami keadaan psikologi dari tokoh Takako Otomichi dan untuk dapat memahami

sisa dana desa di RKD tahun anggaran sebelumnya masih lebih besar dari 30% (tiga puluh persen) penyaluran dana desa yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat

Kelemahan apabila kriteria tunggal digunakan untuk mengukur kinerja yaitu orang akan cenderung memusatkan usahanya pada kriteria pada usaha tersebut sehingga

Bila salah satu berkeberatan membayar biaya administrasi, maka pihak lawan harus melunasi keseluruhan biaya agar persidangan dapat dimulai.Dalam Permohonan arbitrase

Bapak Radit selaku pihak Sekretariat Perwakilan Kementrian Gedung Keuangan Negara Yogyakarta yang pertama kali kami temui dan yang sudah memperkenankan kami untuk

Sekarang menerima aja, menerima dengan sedih sih tapinya hehe, tapi lamakelamaan dalam berdoa itu rasa beda sih keadaan anak-anak normal dengan anak yang istimewa ini lain