• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara yang berdasarkan atas hukum memiliki makna bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini memiliki arti penting dalam setiap aspek kehidupan, pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan manusia yang lain, dan hukum telah mengatur segala kehidupan masyarakat Indonesia.

Bahder Johan Nasution memaparkan bahwa sebagai sebuah negara hukum terdapat ciri-ciri sebagai berikut:

1. Adanya Undang-Undang Dasar atau Konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara pengusaha dan rakyat.

2. Adanya pemisahan kekuasaan Negara, yang meliputi: kekuasaan pembuat undang-undang yang berada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka, kekuasaan ini tidak hanya menangani sengketa antar individu rakyat, akan tetapi juga dalam hubungan antara rakyat dengan penguasa dan pemerintah mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetwatig bestuur).

3. Diakuinya dan dilindunginya hak-hak rakyat yang sering disebut sebagai vrijheidsrechten van burger. 1

Tindak pidana yang menjadi salah satu sorotan di Indonesia adalah korupsi. Korupsi di Indonesia merupakan extra-ordinary crime atau kejahatan luar biasa karena telah merusak setiap sendi kehidupan dan keuangan negara, juga meluluhkan pilar sosio budaya, moral, poltik

1Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Jakarta, 2014, hlm.

(2)

dan tatanan hukum keamanan nasional. Korupsi mampu melumpuhkan pembangunan bangsa. Dalam masyarakat, praktik korupsi ini dapat ditemukan berbagai macam modus operandi dan dapat dilakukan oleh siapa saja baik dari strata sosial dan ekonomi.

Ada beberapa cara yang dilakukan dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, yaitu bersifat substantif berupa penyiapan instrumen aturan hukum korupsi, namun secara umum upaya penanggulan tindak pidana korupsi di Indonesia masih mengandalkan upaya penal yang lebih menitikberatkan pada sifat represif.2 Penanggulan tindak pidana korupsi melalui upaya penal atau upaya penegakan hukum dengan penerapan hukum pidana (criminal law application) dilakukan melalui proses peradilan pidana dengan 3 (tiga) tahapan utama, yaitu:

1. Sebelum persidangan perkara pidana atau pra ajudikasi, 2. Tahapan pada saat persidangan pidana atau ajudikasi, 3. Tahapan sesudah persidangan atau purna ajudikasi. 3

Salah satu output dari tahapan pra-ajudikasi dan ajudikasi adalah dengan dikenakan sanksi pidana terhadap pelaku/terdakwa tindak pidana korupsi, dan diantara sanksi pidana tersebut adalah pidana pembayaran uang pengganti yang dieksekusi pada saat tahapan purna ajudikasi.

Di Indonesia terdapat aturan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sejak tahun 1971, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan telah diperbaharui karena tidak mampu lagi mengikuti perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat maka terbitlah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

2Wendy, Wendy, And Andi Najemi. “Pengaturan Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi”. PAMPAS: Journal of Criminal Law 1, no. 1 (February 7, 2020): 23-37. Accessed

March 5, 2021. https://online-journal.unja.ac.id/ Pampas/articlE/view/8535.

3Basir Rohrohmana, Pidana Pembayaran Uang Pengganti Sebagai Pidana Tambahan Dalam Tindak

(3)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada beberapa pasalnya.4

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 pada Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan bahwa: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor menyebutkan:

setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah. Pasal 3 Undang-Undang tersebut juga menjelaskan tentang perilaku koruptif melalui penyalahgunaan wewenang. Pasal 3 menyebutkan:

setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Hasil Penelitian Masyarakat Transparansi Internasional yang merilis tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau disebut juga Corruption Perception Index (CPI) memang menunjukkan adanya perbaikan dari tahun ke tahun, namun sangat lambat. Peringkat dinegara-negara yang diteliti oleh lembaga tersebut masih terbilang rendah, terutama jika dibandingkan dengan negara- negara tetangga seperti Singapura dan Brunei Darussalam. Singapura dan Brunei Darussalam memiliki IPK tinggi yakni 8,6 dan 6,0. Skor IPK pada tahun 2013 masih merujuk pada angka 3,2. Skor yang sama dengan perolehan pada tahun 2012.

4Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

(4)

Kendati begitu, peringkat Indonesia naik dari posisi 118 pada tahun 2012 menjadi 114 pada tahun 2013.5

Selanjutnya Organisasi Transparansi Internasional mengeluarkan laporan Tahunan Indeks Persepsi Korupsi pada Januari 2017 yang menunjukkan bahwa meski perolehan skor Indonesia naik namun berdasarkan laporan tahunan atas hasil upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan 176 negara, rangking Indonesia turun pada peringkat ke 90.6

Di dunia internasional, tindak pidana korupsi merupakan masalah yang sangat serius, karena tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat serta negara, membahayakan pembangunan sosial dan ekonomi masyarakat, politik, bahkan dapat pula merusak nilai-nilai demokrasi serta moralitas bangsa karena dapat berdampak membudayanya tindak pidana korupsi tersebut.7

Salah satu perwujudan kepedulian dunia internasional terhadap dampak dari korupsi adalah disepakatinya United Nations Convention Against Corruption pada tahun 2003 atau Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Salah satu poin dari konsideran undang-undang tersebut adalah: Bahwa tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian sehingga perlu adanya kerjasama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi.8

5Imam Anshori Saleh. Korupsi, Terorisme, dan Narkoba (Upaya Melawan Kejahatan Luar Biasa yang

Sistematis), Setara Press, Malang, 2017, hlm. 2.

6https://www.voaindonesia.com/amp/indeks-persepsi-korupsi-ri-turun-/3692750.html, diakses pada 11

Oktober 2020 pada pukul 15.00 WIB.

7Ibid, hlm. 2.

8Dinda, Claudia Permata, Usman, and Tri Imam Munandar. 2020. “Praperadilan Terhadap Penetapan Status Tersangka Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ”. PAMPAS: Journal

of Criminal Law 1 (2):82-103. https://onlinejournal.unja.ac.id/Pampas/article/view/9568. Diakses pada 11 Oktober 2020 pukul 18.00 WIB.

(5)

Salah satu upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia telah dibuktikan oleh pemerintah dengann memberlakukan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan juga dibentuknya sebuah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang KPK). Status hukum komisi ini secara tegas ditentukan sebagai lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Pembentukan komisi ini bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang sudah berjalan sejak sebelumnya.9

Pasal 1 butir 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bahwa “Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”, dilihat lebih lanjut mengenai tindak pidana korupsi tidak akan terlepas terhadap pelaku tindak pidana korupsi, mulai dari tahap penyelidikan dan penyidikan dengan mengumpulkan bukti guna menemukan tersangka selanjutnya tahap penuntutan yang menghadapkan terdakwa kemuka persidangan untuk diperiksa dan diadili. Keseluruhan proses tersebut akan berujung pada status terpidana dan narapidana dengan putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku tersebut terbukti bersalah.

Karakteristik Undang-Undang Tipikor sebagai Undang-Undang yang mengatur pidana khusus yang merumuskan ancaman pidana secara kumulatif ini pada hakikatnya adalah pentuk penyimpangan Undang-Undang Tipikor sebagai lex specialis terhadap KUHP lex generali,

9Jimly Asshidiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformas, Sinar Grafika,

(6)

karena salah satu prinsip penjatuhan pidana menurut KUHP adalah hakim dilarang menjatuhkan lebih dari satu jenis pidana pokok. Selain itu, salah satu penyimpangan lainnya adalah KUHP mengenal pengancaman pidana denda secara “minimum umum” dan “maksimum khusus”, sedangkan Undang-Undang Tipikor mengenal pengancaman pidana denda secara “minimum khusus” dan “maksimum khusus”.10

Undang-Undang Tipikor mengatur 30 jenis tindak pidana korupsi, serta 6 jenis tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dengan jenis-jenis sanksi pidana yakni pidana mati, pidana penjara dan pidana denda, dan untuk korporasi, pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda sejumlah maksimum ancaman pinda denda untuk orang ditambah 1/3 (satu pertiga). Pidana tambahan diatur di dalam Pasal 18 Undang-Undang Tipikor sebagai perluasan terhadap ketentuan Pasal 10 KUHP, yaitu:

1) Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

2) Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

3) Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; 4) Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau

sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Undang-Undang Tipikor tidak mengenal pemisahan kualifikasi pidana tambahan untuk subjek hukum orang dan subjek hukum korporasi. Setelah Undang-Undang Tipikor disahkan, terdapat beberapa masalah hukum terkait penerapan dari Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang ini. Persoalan yang timbul diakibatkan dari penafsiran dari aparat penegak hukum terkait unsur kerugian Negara daripada unsur memperkaya diri sendiri.

Cara membuktian pada perkara pidana korupsi seharusnya menggunakan cara pembuktian terbalik, yakni membuktikan unsur perbuatan memperkaya diri sendiri terlebih

10Abidin, A.Z. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan

(7)

dahulu, baru membuktikan unsur kerugian Negara. Kesalahpahaman tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum. Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Hamzah menegaskan bahwa “tindakan yang dilarang bukanlah merugikan keuangan negara atau melawan hukum, melainkan memperkaya diri sendiri”. Selanjutnya “merugikan keuangan negara” dan “melawan hukum”, hanya sebatas sarana atau cara bagi pelaku untuk melakukan tindakan korupsi’’.11

Luhut Pangaribuan juga menjelaskan bahwa “Keberadaan dari dua pasal tersebut merupakan bentuk dari Legislatif Error”, menurutnya Pasal 3 merupakan bentuk dari pemberatan Pasal 2. Lebih lanjut, ahli hukum pidana Muzzakir mengatakan bahwa: “Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor tidak bisa digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang tidak memiliki kewenangan langsung dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan negara”.12

Pada kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh KPK RI terhadap pejabat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi kaitannya dengan suap ketok palu RABPD 2018, hakim mengindari pemberian putusan pidana yang berbeda-beda terhadap para terpidana, sebab pemberian putusan yang berbeda-beda merupakan salah satu bentuk disparitas dari pemidanaan mengingat para terpidana berada dalam perkara yang sama serta memiliki peran yang sama pula dalam meminta/menerima uang suap ketok palu. Majelis hakim dalam pertimbangannya pada putusan No. 37/Pid.sus-TPK/2019/PN.Jmb atas nama terdakwa Zainal Abidin, Effendi Hatta, dan Muhammadiyah agar tidak terjadi disparitas putusan yang terlalu mencolok diantara terdakwa perkara RAPBD Provinsi Jambi tahun 2017-2018 melakukan pertimbangan dengan memperhatikan hukuman dalam putusan-putusan terdahulu yang memiliki keterkaitan dengan perkara ini.

11https://leip.or.id/cara-menafsir-pasal-2-dan-pasal-3-uu-tipikor/, diakses pada 11 Oktober 2020 Pukul

18.15 WIB.

12

(8)

Fenomena disparitas pemidanaan tidak hanya sebatas pada pidana pokok, tetapi juga meliputi pidana uang pengganti. Sebagaimana kita ketahui, pidana uang pengganti menjadi kekhasan dari tindak pidana korupsi. Disparitas pemidanaan yang terjadi dalam pemidanaan korupsi mendorong Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang Tipikor. Hal ini secara implisit menyatakan bahwa Mahkamah Agung mengakui terjadinya disparitas pemidanaan dalam putusan korupsi. Substansi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor bertujuan untuk menghindari permasalahan disparitas hukuman dan disproposionalitas pemidanaan, kedua masalah tersebut harus direspon karena dapat menimbulkan ketidakadilan, baik bagi terpidana maupun masyarakat.

PERMA Nomor 1 Tahun 2020 menetapkan bahwa terdakwa perkara tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara lebih dari Rp. 100 miliar dapat dipidana penjara seumur hidup, untuk rentang hukuman pidana kategori paling berat dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan level tinggi dapat dipidana penjara 16 tahun-20 tahun/seumur hidup dan denda Rp 800 juta sampai dengan Rp 1 miliar. Kemudian, hukuman pidana kategori paling berat dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan level sedang dapat dipidana penjara 13 tahun-16 tahun dan denda Rp 650 juta sampai dengan Rp 800 juta. Serta hukuman pidana kategori paling berat dengan kesalahan, dampak, dan keuntungan level rendah dapat dipidana penjara 10 tahun-13 tahun dan denda Rp 500 juta sampai dengan Rp 650 juta.

Pedoman pemidanaan dianggap tidak melanggar prinsip independensi hakim dan dikenal di banyak negara serta dianggap konstitusional. Adanya kemungkinan ketidakadilan dalam adanya sebuah pedoman pemidanaan bukan berdasarkan adanya pembatasan diskresi hakim dalam menjatuhkan pidana, tapi tergantung pada substansi yang terdapat dalam

(9)

pedoman pemidanaan tersebut. Pedoman pemidanaan ini nyatanya memperkecil resiko ketidakadilan dalam pemidanaan.

Secara garis besar PERMA Nomor 1 Tahun 2020 ini mengatur mengenai rentang hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yang didasarkan oleh dua faktor utama, yakni yang pertama adalah besar kerugian keuangan/perekonomian negara yang diakibatkan dari perbuatan korupsi Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Korupsi, berkaitan dengan perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang, dalam kasus, seperti pengadaan barang/jasa, penganggaran atau penyaluran bantuan. Yang kedua, tinggi-rendahnya yakni Kesalahan (pelaku), Dampak (perbuatannya) serta Keuntungan (yang diperolehnya).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Perundang-Undang-Perundang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan bahwa jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undang di atas sesuai dnegan hierarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidka boleh bertentang dengan peraturan perundang-undang yang lebih tinggi sebagaiman asas lex superior derogat legi inferior.

(10)

Kemudian jenis peraturan perundang-undnag selain yang dimaksud di ats mencakup peraturan yang ditetapkan oleh:

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”); 2. Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”);

3. Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”); 4. Mahkamah Agung;

5. Mahkamah Konstitusi (“MK”); 6. Badan Pemeriksa Keuangan; 7. Komisi Yudisial;

8. Bank Indonesia; 9. Menteri;

10. Badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang (“UU”) atau pemerintah atas perintah UU;

11. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“DPRD”) Provinsi dan DPRD kabupaten/kota; 12. Gubernur, bupati/walikota, kepala desa atau yang setingkat.

PERMA sebagaimana merupakan produk hukum Mahkamah Agung sesuai dengan jenis peraturan yang disebutkan diatas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Salah satu putusan hakim setelah adanya PERMA ini adalah putusan dalam perkara asuransi Jiwasraya yakni vonis seumur hidup yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap empat orang terdakwa korupsi pengelolaan keuangan dan dana invetasi PT Asuransi Jiwasraya, Hakim menyebutkan terdakwa dinilai telah dinilai telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55

(11)

Ayat (1) ke-1 KUHP.13 Salah satunya terhadap terpidana Joko Hartono Tirto dengan nomor

putusan perkara 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN Jkt.Pst.14

Selain putusan tersebut terdapat beberapa putusan lain semenjak diberlakukannya PERMA Nomor 1 Tahun 2020 yang menjadi sorotan atas keberlakuan PERMA tersebut, Putusan No. 9/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Kdi atas nama terdakwa Erik Zulkarnaen yang merupakan Direktur PT Rafa Unggul Sejahtera dengan nilai kerugian negara sebesar Rp. 6.622.854.588,- divonis sebanyak 1 tahun penjara divonis berbeda dengan Putusan 23/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Bjm atas nama terdakwa Sukirno Prasetyo yang merupakan Direktur PT Mutiara Indah Sejati dengan kerugian negara sebesar Rp. 2.000.000.000,- dengan vonis 6 tahun penjara walaupun di vonis atas pasal putusan yang sama yakni Pasal 3.

Putusan No. 20/Pid.SusTPK/2019/PN Tte atas nama terdakwa Anas Abd. Raja selaku Kepala Desa Koli dengan nilai kerugian Rp. 217.178.925 dengan vonis 6 tahun penjara juga divonis berbeda dengan Putusan No. 111/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Sby atas nama terdakwa Bambang Nuryanto selaku Ketua Badan Pemusyawaratan Desa dengan kerugian negara sebesar Rp. 1.450.000.000 yang divonis 4 tahun penjara walaupun dari kedua putusan ini sama-sama divonis atas pasal putusan Pasal 2.

Dari beberapa contoh putusan diatas masih terdapat ketimpangan atas putusan hakim, tujuan adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2020 untuk mengatasi permasalah disparitas masih tetap terjadi hal ini dapat diilihat dari kesamaan nilai kerugian keuangan negara maupun latar belakang pekerjaan serta pasal yang menjerat. Terdapat beberapa catatan adanya PERMA Nomor 1 Tahun 2020, yakni mengenai kewenangan hakim dalam memvonis suatu perkara serta beberapa masalah lainnya. Atas dasar latar belakang permasalahan diatas penulis tertarik untuk meneliti Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tersebut dengan judul

13

https://nasional.kontan.co.id/news/eks-direksi-jiwasraya-dituntut-18-tahun-sampai-seumur-hidup-ini-tuntutan-lengkapnya, Diakses pada 18 Februari 2021 Pukul 19.00 WIB.

14https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/zaeb55d240b03acea993303230353038.html

(12)

“Peraturan Mahkamah Agung Nomor Tahun 2020 sebagai Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, permasalahan yang hendak dibahas adalah: A. Bagaimana kekuatan mengikat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun

2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

B. Apakah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengikat hakim dalam menjatuhkan pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan menganalisis kekuatan mengikat Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis apakah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengikat hakim dalam menjatuhkan pidana. 2. Manfaat Penelitian

a. Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis maupun pembaca berkenaan dengan pemidanaan korupsi setelah adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020.

b. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dan menambah khasanah keilmuwan kepada praktisi hukum, mahasiswa hukum dan masyarakat mengenai

(13)

pemidanaan korupsi setelah adanya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020.

D. Kerangka Konseptual

Agar lebih mudah untuk memahami maksud penulis, maka perlu kirannya penulis memberikan definisi atau batasan terhadap konsep yang terdapat dalam judul skripsi ini, di mana definisi ini berguna bagi penulis sebagai pengantar pada pengertian awal. Adapun konsep yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020

Mahkamah Agung resmi mengeluarkan Peraturan MA (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Uundang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Perma ini dibuat untuk menghindari disparitas hukum yang mencolok bagi satu koruptor dengan koruptor lainnya. Perma ini ditandatangani oleh Ketua MA Syarifuddin dan diundangkan pada 24 Juli 2020.

Pedoman pemindanaan ini mengatur antara lain mengenai penentuan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, sehingga hakim tipikor dalam menetapkan berat ringannya pidana harus mempertimbangkan kategori keuangan negara, tingkat kesalahan terdakwa, dampak dan keuntungan, rentang penjatuhan pidana, keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, dan lain-lain.

2. Tindak Pidana Korupsi

Menurut Fockema Andreae, kata Korupsi berawal dari bahasa latin corruptio atau corruptus.15 Corruptio berasal dari kata corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris yaitu corruption, corrupt;

15 Muhammad Azhar, Pendidikan Antikorupsi, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, LP3

(14)

Prancis yaitu corruption; dan Belanda yaitu corruptie, korruptie. Dari Bahasa Belanda inilah kata itu turun ke Bahasa Indonesia yaitu korupsi.16

Pada Black’s Law Dictionary juga terdapat pengertian dari tindak pidana korupsi, yakni:

Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.17

3. Pedoman Pemidanaan

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

Terhadap Orang yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi a) Pidana Mati

b) Pidana Penjara

c) Pidana Tambahan Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang- barang tersebut.

Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak- banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.

Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.

Pada hakikatnya pedoman pemidanaan merupakan dasar, arah atau pegangan/petunjuk untuk menentukan pemidanaan. Hakikat pedoman pemidanaan merupakan dimensi dari kebijakan legislatif dalam menentukan aturan/norma hukum pidana materiil. Pedoman

16 Ridlwan Nasir, Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, IAIN Press, Surabaya, 2006, hlm.

281.

17 Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum

(15)

pemidanaan merupakan suatu istilah yang masih terbuka untuk dikaji ulang, karena bisa mengandung berbagai macam istilah. Bahkan keseluruhan aturan hukum pidana yang terdapat di dalam KUHP dan Undang-Undang lainnya di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan bentuk pedoman untuk menjatuhkan pidana.18

E. Landasan Teoretis

Untuk menguraikan masalah dalam penelitian ini harus disertai kajian teoritis, karena terdapat hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan pengumpulan data, konstruksi, pengolahan data dan analisis data. Sedangkan data adalah berdasarkan fakta-fakta yang ada di lapangan. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.19 Teori yang digunakan untuk menjadi dasar dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Teori Pemidanaan

Pada teori pemidanaan, dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori tujuan atau teori relatif, dan teori gabungan. Perkembangan teoritis tentang dasar dan tujuan pemidanaan berkembang seiring dengan pemikiran pada masanya. Diawali dengan munculnya teori pembalasan, yang menjadikan kejahatan atau pembalasan sebagai dasar pemidanaan.20

a. Teori Absolut

Teori ini disebut juga dengan teori absolut atau teori pembalasan. Menurut teori ini, pidana dijatuhkan semata-mata dasar hukuman harus dicari dari kejahatan itu sendiri

18Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman Pemidanaan (Perspektif Pembaharuan & Perbandingan

Hukum Pidana), Semarang, Pustaka Magister, 2011, hlm. 44.

19Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hlm.

122.

20Usman, Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, 2011,

Jambi. https://www.neliti.com/publications/43258/analisis-perkembangan-teori-hukum-pidana. Diakses pada 18

(16)

karena kejahatan itu telah menimbulkan penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus diberi penderitaan.21 Dasar pijakan dari teori ini adalah pembalasan berupa penderitaan pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan umum (pribadi, masyarakat atau negara) yang telah dilindungi. Penjatuhan pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.22

b. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori ini disebut juga dengan deterrence/utilitarian. Menurut pandangan teori ini, pemidaan itu harus dilihat dari segi manfaatnya. Artinya, pemidanaan harus dilihat pula manfaatnya bagi terpidana di masa yang akan datang. Oleh karena itu, teori ini melihat dasar pembenaran pemidanaan itu ke depan, yakni pada perbaikan para pelanggar hukum (terpidana) di masa yang akan datang.23

Pidana adalah suatu reaksi atas delik (punishment) dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan (sifat negatif) oleh negara atau lembaga negara terhadap pembuat delik. Nestapa hanya merupakan suatu tujuan yang terdekat saja, bukan tujuan terakhir yang dicita-citakan sesuai dengan upaya pembinaan (treatment).24 Negara atau lembaga yang ditunjuk oleh negara untuk menjatuhkan pidana mempunyai tujuan tertentu. Berbagai variasi tujuan pidana tumbuh sesuai dengan perkembangan ilmu hukum pidana, ilmu tentang pemidanaan dan teori-teori dasar tujuan pidana. Selama ini tujuan pidana dan pemidanaan tidak pernah dirumuskan dalam UU. Perumusan tujuan pemidanaan baru terlihat dalam Pasal 55 Ayat (1) RUU KUHP, yaitu:

21Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105. 22Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 187.

23Ibid., hlm. 106.

24Putri Hikmawati, Pidana Pengawasan Sebagai Pengganti Pidana Bersyarat Menuju Keadilan

Restoratif, Jurnal Negara Hukum: Vol. 7 (1), 59, 2016.

(17)

a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat,

b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,

c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat,

d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana.25

Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif adalah sebagai berikut: 1) Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention).

2) Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat.

3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja yang memenuhi syarat untuk adanya pidana.

4) Pidana harus ditetapkan berdasarkan tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan.

5) Pidana melihat ke depan (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.26

c. Teori Integratif atau Teori Gabungan

Pada dasarnya merupakan gabungan dari teori absolut dan teori relatif. Gabungan teori itu mengajarkan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.27 Munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan masyarakat.28 Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:

a. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu 25Pasal 55 Ayat (1) RUU KUHP.

26Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992,

hlm. 17.

27Ibid., hlm. 107.

(18)

tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b. Teori gabungan yang mengutamakan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. 29

2. Teori Disparitas Pemidanaan

Pada sebuah kasus dengan perkara yang sama, hukum tidak diperbolehkan memberlakukan peraturan yang berbeda, hal ini dikenal dengan disparitas. Disparitas pidana disebut sebagai the disturbing disparity of sentencing yang mengundang lembaga pembuat legislatif serta lembaga lain yang terlibat dalam sistem penyelenggaraan hukum pidana untuk memecahkankannya.30 Adanya disparitas juga dapat menimbulkan diskriminasi yang dirasakan oleh para pelaku yang membuat hal ini terkesan tidak memberikan keadilan dan kepastian hukum yang terdapat di tengah masyarakat.

Permasalahan disparitas pemidaan tidak terlepas dari kewenangan penuh yang dimiliki oleh hakim itu sendiri dalam menangani kasus sehingga hakim bisa menekankan pada pidana apa saja yang ingin diterapkannya. Selain itu disparitas berpeluang terjadi ketika hakim bebas menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sebab sebuah Undang-Undang hanya mengatur ketentuan pidana maksimum dan minumum dalam sebuah perkara, bukan patokan yang pas dalam memvonis sebuah perkara pidana.

Harkrituti Harkrisnowo berpendapat bahwa “disparitas pidana dipersepsi oleh publik sebagai sebuah bukti ketiadaan keadilan (societtal justice)”.31 Secara yuridis formal, keadaan seperti ini tidak dapat dipandang sudah bertentangan dengan hukum. terkadang sering kali orang tidak ingat bahwa elemen keadilan pada pokoknya harus melekat pada

29Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori

Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 2002, hlm. 166.

30Muladi, Dampak Disparitas Pidana dan Usaha Mengatasinya, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 52. 31 Harkrituti Harkrisnowo, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan Terhadap Proses

(19)

putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Menurutnya, disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori, yaitu:

1) Disparitas antara tindak pidana yang sama;

2) Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama; 3) Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh pelaku yag sama;

4) Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. 32

Masyarakat tentu akan membandingan putusan hakim secara umum dan menemukan bahwa disparitas telah terjadi dalam penegakkan hukum di Indonesia. Disparitas pidana ini pun mmebawa problematika tersendiri dalam penegakan hukum di Indonesia. Selain itu pemidanaan yang berbeda merupakan bentuk dari diskresi hakim dalam menjatuhkan putusan, tapi di sisi lain pemidanaan yang berbeda atau disparitas pidana ini pun membawa ketidakpuasan bagi terpidana serta masyarakat pada umumnya.

F. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dilakukan bagi skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif meliputi pengkajian mengenai: (a) Asas-asas hukum; (b) Sistematika hukum; (c) Taraf sinkronisasi hukum; (d) Perbandingan hukum; (e) Sejarah hukum.33 Objek kajian utama dari penelitian ini adalah Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 1 Tahun 2020. 2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian memiliki peran yang penting dalam penulisan sebuah karya tulis ilmiah hukum. Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari

32Rahmi Zilvia, and Haryadi Haryadi, 2020, “Disparitas Pidana Terhadap Pelaku Kasus Tindak Pidana Penganiayaan”, PAMPAS: Journal of Criminal Law 1 (1):96-109. https://online-journal.unja.ac.id/Pampas/article/view/8271, Diakses pada 18 Februari 2021 Pukul 23.00 WIB.

(20)

berbagai aspek mengenai isu-isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.34 Dalam

skripsi ini akan digunakan berbagai pendekatan, yaitu a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)

Pendekatan perundangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Secara sederhana, pendekatan ini digunakan untuk menelaah instrumen-instrumen hukum terkait isu yang dibahas dengan tujuan untuk mendapatkan pemahaman terhadap kandungan filosofis dari instrumen hukum.

b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.35 Hal tersebut yang akan menjadi dasar bagi penulis untuk membangun dan mengembangkan argumen untuk menyelesaikan isu yang dibahas dalam skripsi ini.

3. Pengumpulan Bahan Hukum

Sumber-sumber penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut.

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas.36 Adapun yang termasuk kedalam bahan hukum primer bagi skripsi ini adalah peraturan tentang tindak pidana korupsi maupun pemidanaan. Untuk keperluan penulisan lebih lanjut, penulis juga akan menganalisa ketentuan di dalam Undang-Undang TIPIKOR, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 m pengertian diatas, maka pengertian dari bahan hukum sekunder dapat ditarik

34Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Prenadamedia Group, Jakarta 2015, hlm 133. 35Ibid., hlm 135.

(21)

secara kontraposisi, yaitu bahan hukum yang tidak bersifat autoritatif. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan petunjuk dan arahan lebih lanjut bagi peneliti untuk melakukan penelitiannya, serta membantu peneliti dalam menganalisa bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam skripsi ini adalah buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis, disertasi, jurnal-jurnal dan kamus-kamus hukum serta berbagai publikasi hukum terkait isu yang dibahas.

4. Analisa bahan hukum.

Analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: 1) Mengumpulkan dan menginventarisasi berbagai ketentuan Hukum Internasional yang

berkaitan dengan permasalahan. 2) Menganalisa bahan-bahan hukum;

3) Melakukan analisa dan intepretasi terhadap ketentuan pemidanaan dengan melihat pada teori dan konsep yang diperoleh dari analisa bahan hukum.

G. Sistematika Penulisan

Hasil penelitian ini akan penulis susun dengan menggunakan sistematika sebagai berikut:

Bab. I Pendahuluan, Bab ini adalah bab pertama yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, landasan teoretis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab. II Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi, Bab ini berisi tinjauan secara teoretis mengenai Tindak Pidana Korupsi, Sanksi Pidana Korupsi, dan Pedoman Putusan Hakim pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(22)

Bab. III Pembahasan, Bab ini berisi pembahasan mengenai kekuatan mengikat dari Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta membahas apakah PERMA tersebut mengikat hakim dalam menjatuhkan pidana.

Referensi

Dokumen terkait

Nilai produksi biogas yang dihasilkan selama 15 hari pemantauan dilakukan tabulasi data dalam bentuk tabel dan diplotkan dalam bentuk grafik dimana pada sumbu x

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah perbedaan yang signifikan antara pemahaman membaca teks recount siswa kelas VIII MTs Nurul Ulum Welahan

Namun Hasil penelitian dari Rahayu (2009) yang menunjukkan bahwa sistem administrasi perpajakan modern tidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib

Pengumpulan informasi sangat dibu- tuhkan dalam proses pengembangan perangkat pembelajaran kompetensi teks anekdot bertemakan konflik sosial di ka- langan remaja

Dalam proses menganalisis metode hisab perlu melihat data yang dipakai serta rumus dalam proses perhitungannya. Data yang dipakai dalam kitab Tibyanul Murid „Ala Ziijil Jadid

Masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan hasil pembelajaran dengan pendekatan bermain menolak bola berpasangan, melempar bola kebelakang ( shoken ), menolak

Jadi, sumber naskah dan dokumen ANI mencatat data yang sama sepeninggal Raden Adipati Surianata, pada tahun 1829 kedudukan Bupati Karawang ditempati oleh adiknya yang bemama

Notosusanto. Jakarta: Balai Pustaka.. Peranan Gabungan Politik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1939-1941. Kontribusi Gabungan Politik Indonesia