• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL. Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio corruptus, dalam bahasa"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENGATURANNYA DALAM KONVENSI INTERNASIONAL

A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi

Korupsi dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.43

Korupsi menurut Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.44

Terlepas dari berbagai ragam pengertian korupsi diatas, secara yuridis, pengertian korupsi, baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001

Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai “perilaku tidak mematuhi prinsip”, dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik. Dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul, termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.

43

Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1996), hal 115. 44

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul, 1990.

(2)

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang sebelumya, yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971.

Dalam pengertian yuridis, pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).

Undang-undang No. 17 Tahun 2003 merumuskan pengertian keuangan negara sebagai berikut:

Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.45

Ruang lingkup keuangan negara sesuai dengan pengertian tersebut diuraikan sebagai berikut:46

a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c. Penerimaan Negara;

45

Pasal 1 angka 1 UU No. 17/2003. 46

(3)

d. Pengeluaran Negara; e. Penerimaan Daerah; f. Pengeluaran Daerah;

g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara atau daerah;

h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

i. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.47

B. Jenis-jenis Tindak Pidana Korupsi

Di dalam buku “Memahami Untuk Membasmi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ada setidaknya 7 jenis korupsi yakni:

1. Kerugian negara 2. Suap menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan 4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan 7. Gratifikasi

47

Kekayaan pihak lain ini meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara daerah.

(4)

C. Pengaturan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-undang Tindak Pidana Korupsi

Jika diperhatikan undang Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001, tindak pidana korupsi itu dapat dilihat dari 2 (dua) segi, yaitu korupsi aktif dan korupsi pasif.

Yang dimaksud dengan korupsi aktif adalah sebagai berikut:

a. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.48

b. Dengan tujuan mengutungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

49

c. Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut;50

d. Percobaan, pembantuan dan pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi;51

e. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;52 48 Pasal 2 UU 31/1999 49 Pasal 3 UU 31/1999 50 Pasal 4 UU 31/1999 51 Pasal 15 UU 31/1999

(5)

f. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya;53

g. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;54

h. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;55

i. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;56

j. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;57

k. Setiap orang yang bertugas menguasai penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia

52

Pasal 5 ayat (1) huruf UU 31/1999 UU 20/2001 53

Pasal 5 ayat (2) huruf b UU 20/2001 54

Pasal 6 ayat (1) huruf a UU 20/2001 55

Pasal 7 ayat (1) huruf a UU 20/2001 56

Pasal 7 ayat (1) huruf b UU 20/2001 57

(6)

dengan sengaja membiarkan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang;58

l. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan orang atau surat berharga tersebut;59

m. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi;60

n. Pegawai Negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau untuk membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar tersebut;61

o. Pegawai Negeri atau penyelenggara negara yang:

58

Pasal 7 ayat (1) huruf d UU 20/2001 59 Pasal 8 UU 20/2001 60 Pasal 9 UU 20/2001 61 Pasal 10 UU 20/2001

(7)

a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;62 b. Pada waktu menjalankan tugas meminta, menerima, atau memotong

pembayaran bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadaya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;63

c. Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seolah-olah merupakan utang pada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;64

d. Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;65

e. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya;66

62 Pasal 12 huruf e UU 20/2001 63 Pasal 12 huruf f UU 20/2001 64 Pasal 12 huruf g UU 20/2001 65 Pasal 12 huruf h UU 20/2001 66

(8)

p. Memberi hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;67

Adapun korupsi pasif adalah sebagai berikut:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;68

2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau mempengaruhi nasihat atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;69

3. Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI atau Kepolisian Negara Republik Indonesia yang membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001;70

4. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang

67 Pasal 13 UU 20/2001 68 Pasal 5 ayat (2) UU 20/2001 69 Pasal 6 ayat (2) UU 20/2001 70 Pasal 7 ayat (2) UU 20/2001

(9)

berhubungan dengan jabatannya, atau menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya;71 5. Pegawai negeri atau penyelenggara negarayang menerima hadiah atau

janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; atau sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;72

6. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;73

7. Advokat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasehat atau pendapat yang diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;74

8. Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya;75

Demikian pengertian tentang korupsi yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001. Lahirnya

71 Pasal 11 UU 20/2001 72 Pasal 12 huruf a UU 20/2001 73 Pasal 12 huruf c UU 20/2001 74 Pasal 12 huruf d UU 20/2001 75 Pasal 12 UU 20/2001 UU 20/2001

(10)

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 adalah menggantikan Undang-undang Nomor 3 tahun 1971, dan diharapkan mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara.

D. Sistem Pembebanan Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya, secara normatif bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes). Apabila dikaji dari pandangan doktrina, Romli Atmasasmita menekankan bahwa:

Dengan memperhatikan perkembangan tindak pidana korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Selanjutnya, jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan bangsa Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru sampai saat ini, jelas bahwa perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial rakyat Indonesia.76 Konsekuensi logis bahwa tindak pidana korupsi merupakan extra ordinary crimes, diperlukan penanggulangan dari aspek yuridis yang luas biasa (extra ordinary enforcement) dan perangkat hukum yang luar biasa pula (extra ordinary measures). Dari dimensi ini, salah satu langkah komprehensif yang dapat dilakukan dalam sistem peradilan pidana Indonesia adalah melalui sistem

76

Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di

Indonesia, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman HAM RI, 2002),

(11)

pembuktian yang relatif lebih memadai, yaitu diperlukan adanya “pembuktian terbalik” atau “pembalikan beban pembuktian”.77

Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam hukum pidana Indonesia, diadopsi dari hukum pembuktian perkara korupsi dari negara anglo saxon, seperti Inggris, Singapura, dan Malaysia. Sistem pembebanan pembuktian terbalik hanya diterapkan pada tindak pidana yang berkenaan dengan gratification yang berhubungan dengan suap.78

77

Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan

Masalahnya, (Bandung: Alumni, 2007), hal. 252-253.

78

Indriyanto Seno Adji, Sistem Pembuktian Terbalik: Meminimalisasi Korupsi di

Indonesia (artikel). Jurnal Keadilan Vo. I. No. 2 Juni 2002.

Jenis pembuktian dalam hukum pidana yang diperkenalkan dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 adalah pembuktian terbalik yang merupakan penyimpangan dari pembuktian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun demikian, pembuktian terbalik tersebut masih memiliki sifat terbatas dimana Jaksa Penuntut Umum masih diwajibkan untuk melakukan pembuktian atas dakwaan yang diajukannya. Jadi, kedua UU tersebut tidak semata-mata memberikan Terdakwa kesempatan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Perumusan pembuktian terbalik dalam pembuktian tindak pidana korupsi ini sendiri telah mengalami penyempurnaan dari rumusan semula pada UU No. 31 Tahun 1999 sampai dengan rumusan pada UU No. 20 Tahun 2001, sehingga menunjukkan sifat berimbang antara pembuktian yang dilakukan dengan akibat hukum dari pembuktian bagi si Terdakwa itu sendiri.

(12)

Pada Pasal 37 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 sebelumnya dinyatakan bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.”

Sementara setelah dilakukan perubahan terhadap Pasal 37 ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001 maka dengan lebih tegas dinyatakan bahwa:

“Dalam hal Terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.”

Tampaknya perubahan terhadap kekuatan pembuktian terbalik di satu sisi memberikan keseimbangan dalam pertarungan pembuktian di depan majelis hakim. Namun di lain sisi, perubahan atas pandangan kekuatan pembuktian terbalik memberikan pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk diselesaikan bagi Jaksa selaku Penuntut Umum. Patut untuk diketahui bahwa dengan terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 dan sebagaimana telah dituangkan pula ke dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 mengenai Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi oleh Jaksa akan diambil alih oleh KPTPK. Semua tugas tersebut terlepas dari segala pro dan kontra yang terbentuk di alam ide masyarakat mengenai pembentukan KPTPK.

Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengusut tindak pidana korupsi adalah sulitnya menemukan bukti atau membuktikan adanya tindak

(13)

pidana korupsi. Hukum pembuktian merupakan keseluruhan aturan hukum atau peraturan undang-undang mengenai kegiatan untuk rekonstruksi suatu kenyataan yang benar dari setiap kejadian masa lalu yang relevan dengan persangkaan terhadap orang yang diduga melakukan perbuatan pidana dan pengesahan setiap sarana bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana.

Jika dipandang dari semata-mata hak, maka ketentuan Pasal 37 ayat (1) tidaklah mempunyai arti apa-apa. Dalam sistem akusator seperti yang dianut dalam hukum acara pidana (KUHAP), hak yang demikian ditegaskan atau tidak - sama saja. Hak tersebut adalah hak dasar terdakwa yang demi hukum telah melekat sejak ia diangkat statusnya menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada ayat (1) merupakan penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang sudah ada. Justru, norma ayat (2) lah yang memiliki arti penting dalam hukum pembuktian. Norma ayat (2) inilah yang menunjukkan bahwa di sini inti sistem terbalik, walaupun tidak tuntas. Mengapa disebut tidak tuntas? Walaupun pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa tersebut dapat dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Namun, tidak mencantumkan seperti hal bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan apa standar pengukurannya hasil pembuktian terdakwa untuk dinyatakan sebagai berhasil membuktikan dan tidak berhasil membuktikan.79

79

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2008), hal. 115-116,

(14)

E. Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pengembalian kerugian keuangan negara antara lain diatur dalam Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Ketentuan-ketentuan tersebut memberikan dasar hukum bagi negara yang direpresntasikan oleh Jaksa Pengacara Negara atau pihak instansi yang dirugikan untuk melakukan gugatan perdata terhadap pelak tp korupsi dan atau ahli warisnya. Penggunaan instrumen perdata dalam pengembalian kerugian keuangan negara mengakibatkan prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materil maupun formal. Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah ia pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang masuk dalam wilayah hukum sipil atau hukum perdata.80

Pengajuan gugatan dengan menerapkan instrument hukum perdata sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Acara Perdata HIR/ RBg hanya berlaku sepanjang benda tersebut berada di wilayah Indonesia atau di atas kapal berbendera Indonesia. Dengan demikian, apabila benda tersebut berada di luar wilayah Indonesia, masalah kepeilikan dan hak kebendaan lainnya akan diatur menurut hukum perdata yang berlaku di negara tersebut. Undang-undang

80

Di Indonesia, hukum kebendaan diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Buku Kedua: tentang Kebendaan, Pasal 499 sampai dengan Pasal 1232. R. Subekti dan R. Tjitrosudinio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek dengan tambahan

Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan), (Jakarta: Pradnya Paramita,

(15)

Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 menganut strategi penegakan hukum represif. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan hal tersebut sekaligus mengatur tentang adanya pengembalian kerugian keuangan negara yangdilakukan melalui penuntutan terhadap pelaku. Pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrument pidana menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan melalui proses penyitaan, perampasan dan aturan pidana denda.81

81

Purwaning M. Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi, Berdasarkan Konvensi PBB

Anti Korupsi 2003 dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung, Alumni, 2007), hal. 150.

Pendekatan melalui jalur perdata ini dapat dilihat dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 32 ayat (1) menetapkan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untu kdiajukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Sedangkan ayat (2) nya menetapkan bahwa putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal 33 menetapkan bahwa dalamhal tersangka meninggal dunia saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.

(16)

Selanjutnya Pasal 38 C menetapkan apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut dduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya.

Di jalur lain, yakni pada jalur pidana, penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda begerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.82

Menurut Andi Hamzah, dalam definisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai penyitaan, ada kemungkinan menyita benda yang tidak berwujud. Dalam peundang-undangan lama (HIR) tidak dimungkinkan penyitaan benda yang tidak berwujud seperti tagihan piutang dan lain-lain. Ketentuan ini pertama kali diatur dalam Undang-undang tentang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1955) yang menyadur wet op de economische delicten di negeri Belanda.83

Lebih lanjut Hamzah mengatakan bahwa definisi ini masih terlalu panjang tetapi tetap terbatas pengertiannya, karena hanya untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. Pada 134 Ned. Sv menyatakan bahwa dengan penyitaan sesuatu benda diartikan pengambilalihan atau

82

Pasal 1 butir 16 KUHAP. 83

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 150.

(17)

penguasaan benda itu guna kepentingan acara pidana.84

Dengan demikian, berdasarkan penetapan hakim, benda tersebut dirampas dan kemudian dapat dirusak atau dibinasakan atau bahkan dapat dijadikan sebagai milik negara.

Pasal tersebut memberikan definisi penyitaan (inbeslagneming) yang lebih singkat tetapi lebih luas pengertiannya krena tidak dibatasi untuk kepentingan pembuktian. Dalam praktik, sering ditemukan sitilah “pembeslahan” dan perampasan atas benda atau barang yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Pengertian membeslah sama artinya dengan menyita, yaitu mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian. Perampasan benda atau barang memiliki arti yang lain dari pembeslahan atau penyitaan. Perampasan adalah tindakan hakim berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana diputuskan dalam paasl 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yaitu mencabut hak dari kepemilikan seseorang atas suatu benda.

85

Penyitaan harus dilakukan dengan izin dari ketua pengadilan kecuali dalam hal tersangka tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Dalam keadaan

Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka siding pengadilan, karena tanpa adanya barang bukti, perkara suit diajukan ke hadapan siding pengadilan. Barang yang disita ada kalanya adalah milik orang lain yang dikuasai tersangka atau merupakan barang milik tersangka yang diperolehnya secara melawan hukum. Menurut KUHAP, tata cara penyitaan adalah sebagai berikut:

84

Ibid, hal. 148. 85

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum

(18)

yang perlu dan mendesak, bilaman penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan penyitaan terhadap benda bergerak, dengan kewajiban untuk segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya. Sebelum melakukan penyitaan penyidik harus terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal. Penyitaan harus disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi. Penyidik harus membuat berita acara dan kemudian dibacakan, ditandatangani dan salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita, keluarganya dan kepala desa. Dalam hal tersangka atau keluarganya tidak mau membubuhkan tanda tangan, hal tersebut dicatata dalam berita acara dengan menyebutkan alasannya.

Benda sitaan harus dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan diberi cap jabatan. Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik member catatan yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, yaitu dalam Pasal 38 yang mengatur bahwa penyitaan hanya dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat sebagaimana ditentukan dalam ayat (1), dengan pengecualian sebagaimana ditetapkan dalam ayat (2) tanpa mengurangi ketentuan aya t (1); Pasal 39 tentang benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan; Pasal 42 tentang kewenangan penyidik untuk memerintahkan orang yang menguasai benda yang dapat disita, menyerahkan benda tersebut untuk kepentingan pemeriksaan; dan Pasal 273 ayat (3) yang mengatur jika putusan pengadilan jugamenetapkan bahwa barang bukti yang dirampas untuk negara, selain pengecualian

(19)

sebagaimana diatur dalam Pasal 46, jaksa menguasakan benda tersebut kepada kantor lelang negara dan dalam waktu tiga bulan untuk dijual lelang. Hasilnya dimasukkan ke kas negara untuk dan atas nama jaksa.

Berdasarkan uraian tentang ketentuan-ketentuan yang dapat digunakan dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara (pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi), dapat disajikan kajian sebagai berikut:

a. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP belum menganut alam berpikir pengembalian aset dari hasil tindak pidana korupsi sebagai elemen pokok pemidanaan. Karena itu, dalam kedua undang-undang tersebut tidak dikemukakan terminology “pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi” dan tidak secara spesifik mengatur masalah pengembalian hasil tindak pidana dengan segala mekanismenya, termasuk mekanisme hukum pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar yurisdiksi Negara Republik Indonesia.

b. Pada dasarnya, dalam ketentuan-ketentuan tersebut tersedia dua pendekatan dalam pengembalian aset, yakni melalui jalur pidana dan jalur perdata.

c. Terdapat instrument hukum untuk pengembalian aset melalui jalur pidana, yakni penyitaan dan perampasan. Instrument hukum penyitaan digunakan untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Instrument hukum perampasan digunakan hakim dalam

(20)

tindakannya berupa putusan tambahan pada pidana pokok berupa pencabutan hak kepemilikan seseorang atas suatu benda.86

Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan, mengandung kelemahan jika dilakuka n terhadap aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di luar yurisdiksi Negara Republik Indonesia, sebab umumnya negara-negara tempat penyembunyian aset-aset tersebut mensyaratkan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum (in kracht van gewijsde) untuk dilakukan penyitaan, pembekuan dan selanjutnya pengembalian aset tersebut.

F. Tindak Pidana Korupsi menurut Konvensi Internasional

Beberapa waktu lalu, tepatnya tanggal 9 Desember 2009, seluruh dunia memperingati Hari Pemberantasan Korupsi. Tanggal tersebut dipilih karena pada tanggal 9 Desember 2003 atau enam tahun yang lalu, tepatnya di Merida, Meksiko, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) atau disingkat dengan Konvensi Anti Korupsi (KAK). Kurang lebih 137 negara turut ambil bagian untuk menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia.87

Kehadiran KAK menandai sebuah momentum penting diakuinya praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling

86

Purwaning M. Yanuar, Op.cit, hal. 157-158. 87

(21)

menguntungkan antara satu negara dengan negara yang lain. Korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditandatangani dalam semangat kebersamaan.

Butir-butir semangat pemberantasan korupsi sebagaimana tercantum dalam KAK pada prinsipnya mengatur beberapa hal penting yang harus dipatuhi para peserta.

Pertama, para peserta konvensi harus menerapkan peraturan nasional mendasar tentang pencegahan korupsi dengan membangun, menerapkan, memelihara efektivitas, dan mengkoordinasikan kebijakan anti korupsi yang melibatkan partisipasi masyarakat, dan peraturan nasional yang menjamin penegakan hukum, pengelolaan urusan dan sarana publik yang baik, ditegakkannya integritas, transparansi dan akuntabilitas di sektor publik.

Kedua, membangun badan independen yang bertugas menjalankan dan mengawasi kebijakan anti korupsi yang diadopsi oleh Konvensi Anti Korupsi.

Ketiga, melakukan perbaikan dalam sistem birokrasi dan pemerintahan yang bersih dari korupsi.

Keempat, setiap peserta wajib meningkatkan integritas, kejujuran dan tangung jawab para pejabat publiknya, termasuk menerapkan suatu standar perilaku yang mengutamakan fungsi publik yang lurus, terhormat, dan berkinerja baik.

Kelima, membentuk sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah, manajemen keuangan publik dan sistem pelaporan untuk tujuan transparansi,

(22)

peran peradilan yang bersih dalam pemberantasan korupsi, serta melakukan pencegahan korupsi di sector swasta yang mengedepankan sistem akunting.

Selanjutnya, negara peserta konvensi antikorupsi juga harus melakukan usaha pencegahan pencucian uang, menerapkan kriminalisasi dan penindakan korupsi, termasuk pembekuan dan penyitaan harta hasil korupsi, memberikan perlindungan saksi, ahli dan korban, menerapkan sistem ganti rugi bagi korban korupsi, melaksanakan pembangunan kerja sama pemberantasan korupsi, termasuk dengan institusi-institusi keuangan, menerapkan sistem kerahasiaan bank yang tidak menghambat pemberantasan korupsi, mengatur yurisdiksi dalam penanganan perkara korupsi, melaksanakan kerja sama internasional memberantas korupsi, termasuk hal-hal yang terkait dengan pemberian bantuan hukum dan teknis, ekstradisi, pengembalian aset (asset recovery), dan sebagainya.

Pada hari selasa tanggal 21 Maret 2006, pemerintah Indonesia melalui DPR telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut. Konvensi internasional tersebut terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 71 (tujuh puluh satu) Pasal.88

Jika dilihat rumusan substansi undang-undang yang telah disahkan dan diberlakukan di negara Indonesia (UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001) belum memenuhi rumusan substansi standar internasional.89

United Nations Conventions Aggainst Corruption dalam Bab III memuat standar internasional mengenai kriminalisasi dan penegakan hukum (Criminalization and Law Enforcement) tindak pidana korupsi, yang terdiri atas:

88

www.temporaktif.com. Diakses tanggal 12 Maret 2010. 89

(23)

1. Penyuapan pejabat publik nasional sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja:

a. Janji kepada pejabat publik berupa tawaran atau pemberian baik secara langsung untuk suatu keuntungan tertentu, bagi dirinya sendiri atau orang lain atau kepada pihak lain, dengan tujuan agar pejabat tersebut bertindak sesuai dengan tugas atau kewajibannya yang resmi.

b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung bagi suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri atau orang lain kepada pihak lain dengan tujuan agar pejabat itu bertindak atau menahan diri untuk bertindak dengan sesuai dengan tugas atau kewajibannya yang resmi.90

2. Penyuapan pejabat publik asing dan pejabat publik organisasi internasional a. Sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja, janji berupa

penawaran atau pemberian kepada pejabat publik dari luar negeri atau pejabat publik dari organisasi internasional, secara langsung atau tidak langsung, untuk suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri atau orang lain atau kepada pihak lain, dengan tujuan agar pejabat tersebut bertindak atau menahan diri untuk bertindak sesuai dengan tugas atau kewajibannya yang resmi, agar supaya memperoleh atau mempertahankan bisnis atau keuntungan lain sehubungan dengan aktivitas bisnis internasional.

90

(24)

b. Sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja, permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik dari luar negeri atau pejabat publik dari organisasi internasional, secara langsung atau tidak langsung, untuk suatu keuntungan tertentu, bagi pejabat itu sendiri atau orang lain atau kepada pihak lain, yang bertujuan agar pejabat itu bertindak atau menahan diri untuk bertindak sesuai dengan tugas atau kewajibannya yang resmi.91

3. Penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain terhadap property oleh peiabat publik sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja, penggelapan, penyalahgunaan atau penyimpangan lain oleh pejabat publik untuk keuntungan dirinya atau orang lain atau pihak lain, berupa property, surat berharga atau dana publik atau swasta atau benda-benda berharga lainnya yang dipercayakan kepada pejabat publik dengan memanfaatkan posisi jabatannya.92

4. Memanfaatkan pengaruh jabatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja.

a. Janji berupa penawaran atau pemberian kepada pejabat publik atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung untuk suatu keuntungan tertentu yang bertujuan agar pejabat publik itu atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang sebenarnya atau orang yang seharusnya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan

91

Pasal 16 United Nations Convention Against Corruption 92

(25)

tertentu dari otoritas publik atau administrasi di negara tersebut bagi pelaku utama tindak pidana tersebut atau bagi pihak lain.

b. Permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik atau pihak lain, secara langsung atau tidak langsung, untuk suatu keuntungan tertentu bagi dirinya atau orang lain yang bertujuan agar pejabat publik atau orang tersebut menyalahgunakan pengaruhnya yang sebenarnya atau yang seharusnya dengan maksud untuk memperoleh keuntungan tertentu dari otoritas publik atau administrasi di negara tersebut.93

5. Penyalahgunaan fungsi jabatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja, berupa penyalahgunaan fungsi jabatan atau posisi, yang berarti mengerjakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dengan memanfaatkan fungsi jabatannya dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan tertenti bagi dirinya atao orang lain atau pihak lain.

94

6. Memperkaya diri secara illegal sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja berupa memperkaya diri secara illegal yang berarti peningkatan signifikan pada asset pejabat publik yang tidak dapat dijelaskan secara rasional sehubungan dengan pendapatannya yang sah.95 7. Penyuapan di sektor swasta sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan

sengaja di bidang perekonomian keuangan atau aktivitas komersial:

a. Janji berupa penawaran atau pemberian hak secara langsung atau tidak langsung untuk suatu keuntungan tertentu bagi orang yang memimpin 93

Pasal 18 United Nations Convention Against Corruption 94

Pasal 19 United Nations Convention Against Corruption 95

(26)

atau bekerja dalam kapasitas tertentu di pihak sektor swasta bagi dirinya sendiri atau orang lain yang bertujuan agar ia melanggar kewajibannya, bertindak atau menahan diri untuk berbuat sesuai dengan tugasnya.

b. Permintaan atau penerimaan baik secara langsung atau tidak langsung, untuk suatu keuntungan tertentu bagi orang yang memimpin atau bekerja dalam kapasitas tertentu untuk pihak sektor swasta baik untuk dirinya sendiri atau orang lain, yang bertujuan agar ia melanggar kewajibannya, bertindak atau menahan diri untuk berbuat sesuai dengan tugasnya.96

8. Penggelapan properti di sektor swasta sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja di bidang perekonomian, finansial atau aktivitas komersial, penggelapan oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam kapasitas tertentu di pihak sektor swasta terhadap properti, dana atau surat berharga swasta atau benda-benda berharga lain yang dipercayakan kepadanya dengan memanfaatkan posisinya.97

9. Mencuci hasil harta kejahatan sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja:

a. 1) Konvensi atau transfer properti tersebut berasal dari kejahatan, untuk tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul yang ilegal dari properti tersebut atau membantu orang yang terlibat di

96

Pasal 21 United Nations Convention Against Corruption 97

(27)

dalam melakukan perbuatan tersebut untuk menghindari konsekuensi hukum dan tindakannya.

2) Penyembunyian atau penyaluran sifat, sumber, lokasi, penempatan perpindahan atau kepemilikan yang sesungguhnya atau hak-hak yang terkait dengan properti tersebut adalah merupakan hasil dari kejahatan.

b. Subjek dari konsep dasar pada sistem hukumnya:

1) Akuisisi, kepemlikan atau pemanfaatan properti, mengetahui, pada waktu menerima bahwa properti itu adalah merupakan hasil dari kejahatan

2) Berpartisipasi, bekerja sama atau bersekongkol untuk berbuat, berusaha untuk melakukan dan membantu, mendukung, melancarkan dan mengkonsultasikan setiap kejahatan yang disebut dalam Pasal ini.

Untuk tujuan implementasi atau penerapan dari Pasal ini:

1) Setiap negara anggota akan berusaha untuk menerapkan Pasal ini untuk bermacam-macam tindak pidana.

2) Setiap negara anggota akan menggolongkan tindak pidana pada level minimum dari rangkaian tindak pidana yang secara komprehensif ditetapkan di dalam konvensi ini.

3) Untuk tujuan memenuhi (b) di atas, tindak pidana akan termasuk pelanggaran yang dilakukan di dalam dan di luar yurisdiksi atau wilayah hukum negara anggota yang diselidiki, tetapi kejahtan

(28)

yang dilakukan di luar wilayah hukum negara anggota akan menjadi tindak pidana hanya jika tindak pidana yang relevan tersebut menurut hukum domestik di negara anggota yang memberlakukan atau menerapkan Pasal ini untuk perbuatan yang dilakukan di sana.

4) Setiap negara anggota akan memberikan jaminan undang-undangnya yang berhubungan dengan Pasal ini dan perubahan-perubahan selanjutnya pada undang-undang tersebut atau penjelasannya kepada Sekretaris Jenderal PBB.

5) Jika diperlukan oleh prinsip-prinsip yang mendasar dari hukum domestik di negara anggota, dapat diatur bahwa kejahatan yang disebutkan di dalam Pasal ini tidak berlaku bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana.98

10. Penyembunyian tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja setelah melakukan pelanggaran yang ditetapkan menurut konvensi ini tanpa ikut serta di dalam kejahatan tersebut, penyembunyian atau terus mempertahankan properti ketika seseorang yang terlibat mengetahui bahwa properti itu tersebut adalah merupakan hasil dari kejahatan yang ditetapkan konvensi ini.99

11. Pelanggaran hukum (obstruction of justice) sebagai tindak pidana, jika dilakukan secara sengaja:

98

Pasal 23 United Nations Convention Against Corruption 99

(29)

a. Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji, menawarkan atau memberikan keuntungan tertentu untuk memberikan kesaksian palsu atau mengganggu dalam memberikan bukti di dalam suatu persidangan sehubungan dengan membantu kejahatan yang dilakukan seperti yang disebutkan menurut konvensi ini. Dalam Pasal ini tidak berisikan ketentuan-ketentuan yang bermaksud membeda-bedakan hak negara anggota untuk memiliki legislasi yang melindungi kategori lain dari pejabat publik.100

Dengan rumusan substansi tindak pidana korupsi dalam konvensi ini, yang menganjurkan dan menekankan kepada setiap negara anggota, mengadopsi tindakan legislatif dan upaya lain yang diperlukan untuk menetapkan menjadi substansi dalam undang-undang atau hukum nasional mengenai tindak pidana korupsi memenuhi standar internasional.

Oleh karena itu, undang-undang tentang pemberantasan korupsi harus segera diamandemen sesuai dengan substansi United Nations Convention Against Corruption, agar undang-undang tersebut memenuhi standar internasional dan memudahkan memperlancar negara Indonesia dalam melakukan proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam lingkup tindak pidana korupsi di luar batas yurisdiksi (internasional).101

100

Pasal 25 United Nations Convention Against Corruption 101

(30)

BAB IV

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PEMANFAATAN SARANA PERJANJIAN EKSTRADISI

A. Perjanjian Ekstradisi Ditinjau dari Hukum Internasional

Pembuatan perjanjian-perjanjian mengikuti suatu prosedur yang kompleks dan kadang-kadang memakan waktu yang cukup lama. Dikatakan kompleks karna terutama harus ditentukan siapa yang mempunyai wewenang di suatu negara di bidang pembuatan perjanjian (treaty making powers), lalu ditunjuklah wakil atau wakil-wakil negara untuk berunding atas nama pihak yang berwenang dengan dilengkapi suatu surat penunjukan resmi yang dinamakan surat kuasa penuh (full powers).102

Pembuatan perjanjian internasional biasanya melalui beberapa tahap, yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), dan pengesahan (ratification). Ada perjanjian yang dapat berlaku hanya melalui dua tahap saja, yaitu perundingan dan penandatanganan, dan ada pula perjanjian, biasanya perjanjian yang penting sifatnya yang berlaku harus melalui tiga tahap tersebut.103

Perjanjian ekstradisi adalah salah satu bentuk dari perjanjian internasional yang bersifat bilateral, yakni antara dua pihak, maupun multilateral, yakni beberapa pihak.104

102

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, (Bandung: Alumni, 2001), hal. 83.

103 Ibid 104

Mochtar Kusumaatmadja, Pengangar Hukum Internasional, (Bandung, Binacipta, 1976), hal. 86.

Perjanjian ekstradisi merupakan perjanjian yang mengatur mengenai masalah politik, pertahanan dan keamanan. Oleh karena itu, diperlukan tiga tahap dalam pembuatannya.

(31)

Setelah berakhirnya perundingan, maka pada teks perjanjian yang disetujui oleh wakil-wakil berkuasa penuh dibubuhkan tanda tangan. Fungsi tanda tangan (signature) adalah memberikan persetujuan terhadap teks perjanjian dan belum merupakan suatu perjanjian yang mengikat negara-negara penanda tangan.105

Tindakan selanjutnya setelah penandatanganan oleh wakil berkuasa penuh (full powers) adalah para delegasi meneruskan naskah perjanjian tersebut kepada pemerintahnya untuk meminta persetujuan. Untuk ini dibutuhkan penegasan oleh pemerintah, penegasan tersebut dinamakan denan ratifikasi atau pengesahan.106

Dalam Pasal 2 (dua) konvensi wina 1969, ratifikasi didefinisikan sebagai tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional.107

Selanjutnya berdasarkan Pasal 26 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, yang menyatakan salah satu tugas dan wewenang DPR adalah membantuk undang-undang yang harus dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan

Berdasarkan Pasal 10 huruf a Undnag-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara. Maka perjanjian ekstradisi harus disahkan melalui undang-undang.

105

Rosmi Hasibuan, Op. cit, hal. 16. 106

Ibid, hal. 17. 107

(32)

bersama.108

B. Pemanfaatan Perjanjian Ekstradisi dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Oleh karena itu, ratifikasi perjanjian ekstradisi harus mendapat persetujuan DPR.

Kehadiran konvensi anti korupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu negara dengan negara lain.

Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat kebersamaan. Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, social, dan politik ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun ekonomi.109

Setelah Indonesia menandatangani konvensi anti korupsi (United Nation Convention Against Corruption) dan meratifikasinya, maka pertama, Indonesia telah menunjukkan komitmen dan keseriusan yang tinggi kepada masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas korupsi. Kedua, Indonesia dapat menerapkan standar internasional dalam memberantas korupsi, baik menyangkut legal flamework dan strateginya. Ketiga, Indonesia dapat mendesak dunia internasional untuk melakukan pemberantasan korupsi menyangkut isu-isu yang

108

Pasal 26 (1) huruf a Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003. 109

(33)

berkaitan dengan upaya ekstradisi para koruptor, penerapan Mutual Legal Assistance (MLA), asset recovery, dan sebagainya.

Banyaknya kasus tindak pidana korupsi di Indonesia, di mana kemudian pelaku menyembunyikan hasil kejahatannya di negara tetangga. Hal in mengakibatkan, Indonesia menghadapi kesulitan di dalam melakukan penelusuran dan pengembalian aset hasil tindak pidana tersebut. Sebenarnya, salah satu jalan keluar untuk memecahkan masalah tersebut adalah membuat kerja sama Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) atau Bantuan Hukum Timbal Balik di bidang pidana dengan berbagai negara sebelum meratifikasi dan menerapkannya. Mutual Legal Assistance (MLA) merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara yang diminta. Bantuan yang dimaksud tersebut dapat menidentifikais dan mencari orang, mendapatk pernyataan lainnya, menunjukan dokumen atau bentuk lainnya, mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan, menyampaikan surat, melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan, perampasan hasil tindak pidana, memperoleh kembali sanksi denda, berupa uang sehubungan dengan tindak pidana, melarang transaksi kekayaan, dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai undang-udang No 1 tahun 2006.110

Mutual Legal Assistance (MLA) ini sangat dianjurkan dalam berbagai pertemuan internasional dan Konvensi PBB, misalnya, dalam United Nations Convention Against Cooruption (UNCAC). Negara penandatangan dianjurkan untuk memiliki kerja sama intemasional; antara lain, dalam bentuk MLA guna memberantas

110

(34)

korupsi. Indonesia sudah mempunyai undang-undang yang merupakan payung dari MLA, yaitu UU No 1 Tahun 2006 yang berlaku sejak 3 Maret 2006. UU ini mengatur ruang lingkup MLA, prosedur Mutual Assistance Request (MAR) dan pembagian hasil tindak pidana yang disita kepada negara yang membantu. Di samping itu, di dalam UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagaimana telah diubah dengan UU No 25 Tahun 2003 (UUTPPU), diatur juga masalah MLA pada Pasal 44 dan 44A.

MLA pada intinya dapat dibuat secara bilateral atau multilateral. MLA bilateral ini dapat didasarkan pada perjanjian MLA atau atas dasar hubungan baik timbal balik (resiprositas) dua negara. Sejauh ini, Indonesia sudah memiliki beberapa perjanjian kerja sama MLA Bilateral dengan Australia, China, Korea, dan AS. Sementara itu, MLA Multilateral terangkum pada MLA regional Asia Tenggara yang sudah ditandatangani hampir semua negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia . Objek MLA, antara lain, pengambilan dan pemberian barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara peminta bantuan MLA.

Pada pelaksanaan MLA, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai otoritas sentral (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama MLA dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau

(35)

berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama MLA dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur Central Authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama MLA hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia. Kurang Progresif kalau dilihat dari jumlah perjanjian MLA yang dimiliki Indonesia , yaitu hanya tiga perjanjian, tampak kesan Indonesia kurang progresif. Di samping itu, Indonesia sering kali lambat di dalam melakukan ratifikasi terhadap perjanjian MLA yang sudah ditandatangani. Dari ketiga perjanjian tersebut, ada satu perjanjian MLA yang walaupun sudah ditandatangani beberapa tahun yang lalu, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi, yaitu perjanjian MLA dengan Korea.

Perjanjian MLA dengan Republik Rakyat China yang ditandatangani tahun 2000 baru saja diratifikasi DPR pada 2006. Sedangkan perjanjian MLA Multilateral dengan hampir seluruh negara anggota ASEAN sudah ditandatangani November 2004, tetapi sampai hari ini belum diratifikasi. Sementara itu, Singapura dan Malaysia sudah mencatatkan dokumen ratifikasinya masing-masing sejak April dan Juni 2005. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang memiliki perjanjian MLA dengan sekitar 50 negara, seperti dengan Filipina dan Thailand. Sementara itu, Republik Rakyat China memiliki 39 perjanjian MLA dengan negara lain.

Baru-baru ini, Indonesia sudah sepakat dengan Hong Kong tentang substansi yang akan ditandatangani dalam perjanjian MLA. Mutlak Perlu Sebagaimana diketahui, globalisasi berjalan begitu cepat dan perkembangan teknologi dan pelayanan nasabah bank semakin meningkat dengan modus operandi lebih rumit dan canggih. Di samping itu, mengingat tindak pidana tertentu memiliki karakteristik

(36)

lintas batas negara (transnational organized crime), seperti korupsi dan TPPU, kerja sama dengan negara lain mutlak diperlukan untuk memperoleh alat bukti dan aset yang merupakan hasil tindak pidana. Indonesia harus lebih progresif lagi mengupayakan peningkatan kerja sama MLA dengan negara lain. Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengadakan kerja sama MLA dengan negara lain. Jangan sampai Indonesia memiliki UU MLA atau Perjanjian MLA justru karena dipengaruhi atau ditekan negara lain atau lembaga internasional.

Sharing profit Asset merupakan salah satu aspek dari MLA. Aset yang disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. Ini meruakan suatu masalah baru. Indonesia memiliki ketentuan yang mengatur mengenai hal ini dalam Pasal 57 UU No. 1 Tahun 2006, namun beberapa Negara, seperti Thailand, tidak ada pengaturannya. Di Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam MLA. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapat memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya, negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya (facilitating assistance) misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank, akan memperoleh bagian sampai 40%.

Indonesia perlu mengundangkan dan membuat peraturan pelaksanaan soal ketentuan Pasal 57 mengenai masalah sharing profit asset ini. Ini menjadi membuka

(37)

peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM, yang sudah barang tentu dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut.

Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu instrumen yang sangat penting bagi Indonesia. Sebab, beberapa penjahat ekonomi, terutama koruptor Indonesia kelas kakap melarikan uang hasil kejahatan tersebut ke luar Indonesia dan bersembunyi di sana. Dengan perjanjian ekstradisi ini, diharapkan dapat mempersempit ruang gerak mereka dan akhirnya dapat ditangkap dan diproses secara hukum.

Perjanjian ekstradisi ini sebaiknya mengatur bentuk pelanggaran hukum yang dapat diekstradisi, di antaranya korupsi, pemalsuan surat-surat, pencurian, peng, pencucian uang, perompakan kapal laut dan pesawat, terorisme, dan sebagainya.

Perjanjian ekstradisi sangat penting bagi Indonesia dalam upaya memulihkan citra negara. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia, sehingga negara-negara investor merasa enggan untuk melakukan investasi di Indonesia. Dengan adanya perjanjian ekstradisi, maka di mata internasional, Indonesia tampak lebih serius untuk menangani berbagai tindak pidana yang berdampak luas pada perekonomian negara, khususnya tindak pidana korupsi. Selain itu, dengan adanya perjanjian ekstradisi, aset-aset yang dibawa lari oleh pelaku tindak pidana korupsi dapat dikembalikan sekaligus menangkap para koruptornya.

(38)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Perjanjian merupakan salah satu bentuk dari perjanjian internasional yang memuat tentang kepentingan para pihak yang melakukan perjanjian. Di Indonesia, perjanjian baru dapat memiliki kekuatan hukum mengikat dan dapat dijalankan apabila perjanjian ekstradisi tersebut telah diratifikasi menjadi undang-undang oleh instansi yang berwenang, yang dalam hal ini adalah Presiden dan DPR.

2. Dalam hukum internasional, tindak pidana korupsi telah diatur melalui United Nation Convention Against Corruption yang disahkan PBB pada 9 Desember 2003, maka korupsi secara resmi diakui sebagai kejahatan global yang serius, yang membutuhkan kerja sama internasional dalam upaya pemberantasannya.

3. Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu instrumen penting bagi Indonesia dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi. Melalui perjanjian ekstradisi ini, Pertama Indonesia dapat mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, hal ini disebabkan bahwa sudah tidak ada lagi tempat yang mana bagi para pelaku tindak pidana korupsi untuk melarikan diri dari hukum dan yurisdiksi Indonesia. Kedua, perjanjian ekstradisi ini juga berperan bagi perbaikan citra Indonesia di mata dunia, bahwa melalui perjanjian ekstradisi, Indonesia telah mewujudkan upaya yang serius dalam penanganan tindak pidana korupsi. Ketiga, dengan

(39)

adanya perjanjian ekstradisi, maka kepercayana investor dalam berinvestasi di Indonesia akan kembali puluh, dan keempat, dengan perjanjian ekstradisi ini, diharapkan aset-aset negara yang dilarikan oleh para koruptor dapat dikembalikan, dan para pelakunya dapat ditangkap dan diadili.

B. Saran

1. Ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional, termasuk perjanjian ekstradisi mutlak diperlukan agar dapat diterapkan secara legal, namun dalam upaya ratifikasi tersebut harus benar-benar diperhatikan aspek positif dan negatif dari perjanjian ekstradisi, khususnya bagi bangsa Indonesia, agar perjanjian tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi bangsa dan negara.

2. Indonesia harus berperan aktif di dunia internasional dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Peran ini dapat diimplementasikan dalam keikutsertaan Indonesia dalam forum-forum internasional yang mengagendakan pembahasan tentang tindak pidana korupsi serta pemberantasannya. Selanjutnya Indonesia harus aktif menerapkan hasil-hasil pembahasan tersebut di dalam negeri dengan tetap memperhatikan aspek positif dan negatifnya bagi Indonesia.

3. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia, oleh karenanya perjanjian ekstradisi mutlak diperlukan dengan negara-negara yang mungkin menjadi tujuan para koruptor untuk bersembunyi dan mencari perlindungan. Pemerintah harus berupaya agar

(40)

perjanjian ekstradisi ini dapat diwujudkan dengan negara-negara internasional, sehingga tidak ada lagi tempat yang aman bagi pelaku kejahatan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

dengan skala ini dapat ditentukan apakah dua kejadian berbeda terjadi pada tahun yang. sama atau tidak atau kejadian yang satu mendahului kejadian

On condition that both household members work on the family farm, estimation of the labor supply functions (6) can be done by substituting the marginal product of family farm labor

• Menjelaskan masalah-masalah penandingan yang berkaitan dengan: sediaan, fasilitas fisis, tanah, aset takberwujud, dan sumber alam.. • Menyusun statemen laba-rugi dengan

KD: Menguasai bahasa Inggris lisan dan tulisan, reseptif dan produktif dalam segala aspek komunikatifnya (linguistik,wacana,sosiolinguistik dan

Este número está dedicado al Alfabetismo transmedia, propuesta que abarcaba tanto la formación crítica para el consumo mediático como la creación de un periódico o

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa campur kode pada judul berita dalam surat kabar harian Kompas edisi 22 Februari-22 Maret 2013 berjumlah 38 data, terdiri atas campur

Instrumen yang digunakan dalam penilitian ini adalah kuisioner berbasis daftar pertanyaan yang akan disebar terkait partisipasi dalam penyusunan anggaran terhadap