• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jalan

2.1.1. Pengertian dan Peranan Jalan

Dalam Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, disebutkan bahwa jalan mempunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, serta dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Jalan sebagai prasarana distribusi barang dan jasa merupakan urat nadi kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara sehingga akan mendorong pengembangan semua sarana wilayah, pengembangan dalam usaha mencapai tingkat perkembangan antar daerah yang semakin merata. Artinya infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah, hal ini disebabkan perannya dalam menghubungkan serta meningkatkan pergerakan manusia, dan barang.

Jalan raya adalah jalan utama yang menghubungkan satu kawasan dengan kawasan yang lain. Biasanya jalan besar ini mempunyai ciri-ciri berikut: (Wikipedia Indonesia, 2011).

1. Digunakan untuk kendaraan bermotor 2. Digunakan oleh masyarakat umum 3. Dibiayai oleh perusahaan Negara

(2)

Keberadaan infrastruktur jalan yang baik serta lancar untuk dilalui penting perannya dalam mengalirkan pergerakan komoditas yang selanjutnya akan mampu menggerakkan perkembangan peri kehidupan sosial dan meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat.

7

Peran dari pentingnya sarana jalan tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan yang diatur dalam Bab II Pasal 3 ayat 2 disebutkan bahwa: Pengadaan jalan diarahkan untuk memperkokoh kesatuan wilayah nasional sehingga menjangkau daerah terpencil. Berdasarkan isi pasal tersebut diartikan bahwa pembangunan jalan diarahkan serta dimaksudkan untuk membebaskan daerah tertentu dari keterisoliran, yang bertujuan untuk memberikan kesempatan pergerakan manusia, barang dan jasa semakin tinggi intensitasnya.

Kondisi jalan yang lancar merupakan ukuran yang dapat menggambarkan baik buruknya operasional lalu lintas berupa kecepatan, waktu tempuh (efisiensi waktu), kebebasan bermanuver, kenyamanan, pandangan bebas, keamanan dan keselamatan jalan.

Menurut Indonesia Higway Capacity Manual/IHCM Part-II Road, tingkat kelancaran dan keselamatan lalu lintas tersebut dipengaruhi oleh berapa faktor yaitu: (1) kondisi kegiatan penduduk dan pola penggunaan lahan sekitar ruas jalan, (2) kondisi persimpangan sepanjang jalan, (3) kondisi trase jalan, (4) kondisi volume lalu lintas, dan (5) kondisi kecepatan kenderaan (Sofyan, 2004).

(3)

Disamping itu perlu diperhatikan pengaliran air yang merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam pembangunan jalan raya. Air yang berkumpul di permukaan jalan raya setelah hujan tidak hanya membahayakan pengguna jalan raya, malahan akan mengikis dan merusakkan struktur jalan raya. Karena itu permukaan jalan raya sebenarnya tidak betul-betul rata, sebaliknya mempunyai landaian yang berarah ke selokan di pinggir jalan (kemiringan sebesar sekitar 2%). Dengan demikian, air hujan akan mengalir kembali ke selokan.

Jalan mempunyai peranan untuk mendorong pengembangan dan pertumbuhan suatu daerah. Artinya, infrastruktur jalan merupakan urat nadi perekonomian suatu wilayah karena perannya dalam menghubungkan antar lokasi aktivitas penduduk. Keberadaan infrastruktur jalan yang lancar penting perannya untuk mengalirkan pergerakan komoditas dan orang, selanjutnya dapat menggerakkan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Oleh karena itu pengadaan jalan sangat penting dilakukan untuk menunjang pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dan perekonomian.

Pengadaan jalan tersebut dilaksanakan dengan mengutamakan pembangunan jaringan jalan di pusat produksi serta jalan jalan yang menghubungkan pusat-pusat produksi dengan daerah pemasaran. Selain upaya pembangunan jalan juga dilakukan penanganan jalan dengan pemeliharaan rutin dan berkala yang ketiga upaya penanganan tersebut ditujukan untuk menjaga kondisi jalan dalam keadaan lancar dan mantap.

(4)

2.1.2. Konsep Jalan di Indonesia

Jalan merupakan salah satu prasarana transportasi yang sangat vital bagi pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakatnya. Transportasi darat yang didukung oleh jaringan jalan, berfungsi sebagai fasilitas fisik infrastruktur bagi kepentingan masyarakatnya.

Sumber: Departemen PU dan Japan International Cooperation Agency, 2005

Gambar 2.1. Struktur Lapisan Perkerasan Jalan 2.1.1.1. Sistem jaringan jalan

Jaringan jalan merupakan suatu sistem yang mengikat dan menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berbeda dalam pengaruh pelayanannya dalam suatu hirarki. Menurut peran pelayanan jasa distribusinya, sistem jaringan jalan terdiri dari:

1. Sistem jaringan jalan Primer, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan jasa  distribusi untuk pengembangan semua wilayah di tingkat nasional dengan semua simpul  jasa distribusi yang kemudian berwujud kota. 

(5)

2. Sistem jaringan jalan sekunder, yaitu sistem jaringan jalan dengan peranan yang menghubungkan pelayanan jasa distribusi untuk masyarakat di dalam Kota.

Pengelompokan jalan berdasarkan peranannya dapat digolongkan menjadi: 1. Jalan Arteri, yaitu jalan yang melayani angkutan jarak jauh dengan kecepatan

rata-rata tinggi dan jumlah masuk dibatasi secara efisien.

2. Jalan Kolektor, yaitu jalan yang melayanai angkutan pengumpulan dan pembagian dengan ciri-ciri merupakan perjalanan jarak dekat dengan kecepatan rata-rata rendah dan jumlah jalan masuk dibatasi.

3. Jalan Lokal, yaitu jalan yang melayani angkutan setempat dengan ciri-ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-ratanya rendah dengan jumlah jalan masuk dibatasi.

Sedangkan klasifikasi jalan berdasarkan peranannya terbagi atas: A. Sistem Jaringan Jalan Primer:

1. Jalan arteri primer yaitu ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu yang berdampingan atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua yang berada dibawah pengaruhnya

2. Jalan kolektor primer ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang kedua yang lain atau ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga yang ada dibawah pengaruhnya

3. Jalan lokal primer ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga lainnya, kota jenjang kesatu dengan persil, kota jenjang kedua

(6)

dengan persil serta ruas jalan yang menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota jenjang yang ada di bawah pengaruhnya sampai persil.

B. Sistem Jaringan Jalan Sekunder:

1. Jalan arteri sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu degan kawasan sekunder kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder kedua

2. Jalan kolektor sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kedua, yang satu dengan lainnya, atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder ketiga.

3. Jalan lokal sekunder ruas jalan yang menghubungkan kawasan-kawasan sekunder kesatu dengan perumahan, kawasan sekunder kedua dengan perumahan, atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan sekunder ketiga dan seterusnya sampai ke perumahan.

Klasifikasi Jalan berdasarkan peranannya ini, kewenangan pengelolaannya terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengelolaan sistim jaringan jalan perimer berupa jalan nasional dan jalan propinsi, sedangkan pemerintah daerah memiliki kewenangan pengelolaan sistim jaringan jalan sekunder berupa jalan kabupaten/kota.

(7)

Wewenang pengelolaan jaringan jalan dapat dikelompokkan menurut:

1. Jalan Nasional adalah Menteri Pekerjaan Umum (dulu Menteri Kimpraswil) atau pejabat yang ditunjuk;

2. Jalan Propinsi adalah Pemerintah Daerah atau instansi yang ditunjuk;

3. Jalan Kabupaten adalah Pemerintah Daerah Kabupaten atau instansi yang ditunjuk;

4. Jalan Kota adalah Pemerintah Daerah Kota atau instansi yang ditunjuk; 5. Jalan Desa adalah Pemerintah Desa/Kelurahan;

6. Jalan Khusus adalah pejabat atau orang yang ditunjuk.

Selain kriteria tersebut terdapat sejumlah jalan Kabupaten/kota yang berada di dalam wilayah Desa atau permukiman yang pada kenyataannya jalan tersebut umumnya lebih banyak digunakan oleh lalulintas lokal. Hal ini dapat digunakan untuk melakukan pembagian beban pendanaan jalan dengan desa/pemukiman yang lebih banyak menggunakan ruas jalan tersebut.

2.1.1.2. Konsep pengelolaan pemeliharaan jalan

Pengelolaan pemeliharaan jalan bukanlah pekerjaan mudah, lebih-lebih pada saat kondisi anggaran yang terbatas serta beban kendaraan yang cenderung jauh melampaui batas dan kondisi cuaca yang kurang bersahabat. Menurut hasil studi Bank Dunia, disebutkan bahwa setiap pengurangan US$ 1 terhadap biaya pemeliharaan jalan akan mengakibatkan kenaikan biaya operasional kendaraan sebesar US$ 2 sampai US$ 3 karena jalan menjadi lebih rusak.

(8)

Wewenang penyelenggaraan umum ada pada pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sedangkan penguasaan atas jalan ada pada Negara dan dengan tujuan agar peran jalan dalam melayani kegiatan masyarakat dapat tetap terpelihara dan keseimbangan pembangunan antar wilayah dapat terjaga, maka negara mengadakan pengaturan tentang pemberian kewenangan penyelenggaraan jalan. Negara memberi wewenang kepada pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan penyelenggaraan jalan. Pada UU No. 38 tahun 2004 tentang jalan juga menyebutkan bahwa masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan jalan.

Khusus untuk pemerintah kabupaten, negara memberikan wewenang penyelenggaraan jalan meliputi penyelengggaraan jalan kabupaten dan jalan desa. Selanjutnya sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia wewenang tersebut dilimpahkan kepada instansi yang ditunjuk di daerah. Wewenang penyelenggaraan jalan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang meliputi seluruh siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pembangunan dan pengawasan jalan. Perumusan kebijakan penyelenggaraan jalan di kabupaten meliputi hal-hal sebagai berikut (Departemen PU & Japan International Cooperation Agency, 2005):

1) Pemantapan kondisi jalan yang ada melalui pemeliharaan dan rehabilitasi, 2) Pembangunan ruas jalan merupakan kegiatan mewujudkan ruas jalan baru

agar jaringan jalan dapat segera berfungsi melayani angkutan sebagai salah satu sistim jaringan transportasi,

(9)

3) Penyerasian sistim jaringan jalan terkait pengembangan wilayah agar terpadu dalam membentuk struktur ruang dan memberikan pelayanan jasa distribusi dalam konteks pemberian layanan yang handal dan prima serta berpihak kepada kepentingan masyarakat,

4) Pengembangan alternatif pembiayaan melalui sistim kontribusi langsung pengguna jalan dan reformasi penyelenggaraan jalan.

5) Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta dunia usaha dalam masyarakat dalam penyelenggaraan prasarana dan sarana jalan.

b. Manajemen Pemeliharaan Jalan

Secara fisik pemeliharaan jalan bisa berarti suatu kesatuan kegiatan langsung untuk menjaga suatu struktur agar tetap dalam kondisi mampu melayani. Menurut NAASRA (1978) dalam Ali (2006), definisi pemeliharaan adalah semua jenis pekerjaan yang di butuhkan untuk menjaga dan memperbaiki jalan agar tetap dalam keadaan baik atau pekerjaan yang berkaitan dengan keduanya, sehingga mencegah kemunduran atau penurunan kualitas dengan laju perubahan pesat yang terjadi segera setelah konstruksi dilaksanakan.

Aktifitas pemeliharaan jalan yang diklasifikasikan terhadap frekuensi dan efeknya terhadap jalan terlihat pada Gambar 2.2.

(10)

Sumber: Dinas Bina Marga, 2003.

Gambar 2.2. Pengertian Umum Tentang Kondisi Jalan

Klasifikasi program pemeliharaan yang dipakai dalam Sistem Manajemen Pemeliharaan Jalan adalah sebagai berikut:

a) Pemeliharaan Rutin

Merupakan pekerjaan yang skalanya cukup kecil dan dikerjakan tersebar diseluruh jaringan jalan secara rutin. Dengan pemeliharaan rutin, tingkat penurunan nilai kondisi struktural perkerasan diharapkan akan sesuai dengan kurva kecenderungan kondisi perkerasan yang diperkirakan pada tahap desain b) Pemeliharaan periodik

Pemeliharaan periodik dilakukan dalam selang waktu beberapa tahun dan diadakan menyeluruh untuk satu atau beberapa seksi jalan dan sifatnya hanya fungsional dan tidak meningkatkan nilai struktural perkerasan. Pemeliharaan

(11)

periodik dimaksud untuk mempertahankan kondisi jalan sesuai dengan yang direncanakan selama masa layanannya.

c) Rehabilitasi atau Peningkatan

Peningkatan jalan secara umum diperlukan untuk memperbaiki integritas struktur perkerasan, yaitu meningkatkan nilai strukturalnya dengan pemberian lapis tambahan struktural. Peningkatan jalan dilakukan, apakah karena masa layanannya habis, atau karena kerusakan awal yang disebabkan oleh factor-faktor luar seperti cuaca atau karena kesalahan perencanaan atau pelaksanaan rekonstruksi.

d) Rekonstruksi

Dalam hal perkerasan lama sudah dalam kondisi yang sangat jelek, maka lapisan tambahan tidak akan efektif dan kegiatan rekonstruksi biasanya diperlukan. Kegiatan rekonstruksi ini juga dimaksud untuk penanganan jalan yang berakibat meningkatkan kelasnya.

c. Klasifikasi Jalan dan Tingkat Pelayanan

Secara objektif baik desain perkerasan maupun pemeliharaan berguna untuk menjamin atau memastikan bahwa suatu perkerasan dapat memberikan pelayanan yang cukup memuaskan bagi pengguna jalan. Untuk kerja dari perkerasan diukur dalam kaitannya dengan kualitas yang disediakan dan pelayanan yang diberikan sampai pada suatu tingkat dimana pelayanan masih bias ditolerir. Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat pelayanan, ditentukan sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003).

(12)

a. Jalan dengan tingkat pelayanan mantap adalah ruas-ruas jalan dengan umur rencana yang dapat diperhitungkan serta mengikuti suatu standar perencanaan teknis. Termasuk kedalam tingkat pelayanan mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi baik dan sedang.

b. Jalan tidak mantap adalah ruas-ruas jalan yang dalam kenyataan sehari-hari masih berfungsi melayani lalu lintas, tetapi tidak dapat diperhitungkan umur rencananya serta tidak mengikuti standar perencanaan teknik. Termasuk ke dalam tingkat pelayanan tidak mantap adalah jalan-jalan dalam kondisi rusak ringan.

c. Jalan kritis adalah ruas-ruas jalan sudah tidak dapat lagi berfungsi melayani lalu lintas atau dalam keadaan putus. Termasuk kedalam tingkat pelayanan kritis adalah jalan-jalan dengan kondisi rusak berat.

Klasifikasi jalan berdasarkan tingkat kondisi jalan adalah sebagai berikut (Dinas Bina Marga, 2003):

a. Jalan dalam kondisi baik adalah jalan dengan permukaan yang benar-benar rata, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan permukaan jalan.

b. Jalan dalam kondisi sedang adalah jalan dengan kerataan permukaan perkerasan sedang, tidak ada gelombang dan tidak ada kerusakan.

c. Jalan dalam kondisi rusak ringan adalah jalan dengan permukaan sudah mulai bergelombang, mulai ada kerusakan permukaan dan penambalan.

(13)

d. Jalan dalam kondisi rusak berat adalah jalan dengan permukaan perkerasan sudah banyak kerusakan seperti bergelombang, retak-retak buaya dan terkelupas yang cukup besar, disertai kerusakan pondasi seperti amblas, dsb.

2.2. Pengembangan Wilayah

Pada hakekatnya pengembangan (development) merupakan upaya untuk memberi nilai tambah dari apa yang dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup. Menurut Zein (1999) pengembangan lebih merupakan motivasi dan pengetahuan daripada masalah kekayaan. Tetapi bukan berarti bahwa kekayaan itu tidak relevan. Pengembangan juga merupakan produk belajar, bukan hasil produksi; belajar memanfaatkan kemampuan yang dimiliki bersandar pada lingkungan sekitar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada dasarnya proses pengembangan itu juga merupakan proses belajar (learning process). Hasil yang diperoleh dari proses tersebut, yaitu kualitas hidup meningkat, akan dipengaruhi oleh instrumen yang digunakan (Kartono,Ragardjo dan Sandy, 1989).

Mengacu pada filosofi dasar tersebut maka pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan stake holders (masyarakat, pemerintah, pengusaha) di suatu wilayah, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah tersebut dengan instrument yang dimiliki atau dikuasai, yaitu teknologi. Dengan lebih tegas Zein (1999) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumberdaya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri.

(14)

Tujuan utama dari pengembangan wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumber daya yang ada didalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosial budaya dan dalam alam lingkungan yang berkelanjutan (Ernan, Sunsun dan Diah, 2011).

Konsep pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil kesenjangan pertumbuhan dan kesenjangan kesejahteraan antar wilayah. Untuk itu pengertian wilayah menjadi penting dalam pembahasan ini. Menurut PP Nomor 47 Tahun 1997 wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional.

2.2.1. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori kutub pertumbuhan yang terkenal dikembangkan oleh Francois Perraoux seorang ahli ekonomi Perancis yang berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industri, adalah bahwa pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak, pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub perkembangan dengan intensitas yang berubah-ubah dan perkembangan itu menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beraneka ragam terhadap keseluruhan perekonomian (Adisasmita, 2005).

(15)

Lebih spesifik lagi Boudeville mendefenisikan kutub pertumbuhan regional sebagai sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut keseluruh daerah pengaruhnya. Konsep-konsep yang dikemukakan di dalam teori pusat pertumbuhan antara lain:

1. Konsep leading industries dan perusahaan propulsif, menyatakan bahwa di pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan besar yang bersifat propulsif yaitu perusahaan yang relatif besar, menimbulkan dorongan dorongan pertumbuhan nyata terhadap lingkungannya, mempunyai kemampuan inovasi tinggi, dan termasuk ke dalam industri-industri yang cepat berkembang. Dalam konsep ini leading industries adalah:

a. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang mendorong iklim pertumbuhan kondusif ke dalam suatu daerah permintaan terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi dan biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.

b. Mempunyai kaitan-kaitan antara industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya sehingga terbentuk forward linkages dan backward linkages.

2. Konsep polarisasi. Konsep ini mengemukakan bahwa pertumbuhan leading industries yang sangat cepat (propulsive growth) akan mendorong polarisasi dari unit-unit ekonomi lainnya ke kutub pertumbuhan.

3. Konsep spread effect. Konsep ini mengemukakan bahwa pada suatu waktu kualitas propulsif dinamis dari kutub pertumbuhan akan memencar dan

(16)

memasuki ruang-ruang di sekitarnya. Menurut Myrdal dan Hirschman, spread effect atau trickling down effect merupakan lawan dari back wash effect atau polarization effect.

Dalam penerapannya, teori kutub pertumbuhan digunakan sebagai alat kebijakan dalam perencanaan pembangunan daerah. Banyak negara telah menerima konsep kutub pertumbuhan sebagai alat tranformasi ekonomi dan sosial pada skala regional. Namun demikian konsep ini banyak mendapat kritik para ahli, yang pada umumnya berpendapat bahwa penerapan konsep ini cenderung semakin meningkatkan disparitas wilayah negara sedang berkembang, terutama antara daerah pusat atau kutub dengan daerah pengaruhnya. Gejala ini disebabkan karena pusat pertumbuhan yang umumnya adalah kota-kota besar ternyata sebagai pusat konsentrasi penduduk dan berbagai kegiatan ekonomi dan sosial adalah cukup kuat, sehingga terjadi tarikan urbanisasi dari desa-desa wilayah pengaruh ke pusat pertumbuhan (kota besar), atau terjadi dampak polarisasi yaitu daerah pusat atau kutub cenderung lebih banyak menarik sumber daya dari daerah belakang daripada spread effect yang ditimbulkannya, akibatnya daerah pusat yang lebih maju akan bertambah maju, sedangkan daerah belakang akan semakin tertinggal.

2.2.2. Teori Tempat Pusat

Teori tempat pusat (Central Place Theory) pertama kali diperkenalkan oleh Walter Christaller seorang ahli geografi berkebangsaan Jerman. Teori ini timbul dari perhatian Christaller terhadap penyebaran permukiman, desa, dan kota-kota yang berbeda-beda ukuran luasnya di Jerman Selatan. Penyebaran tersebut kadang

(17)

bergerombol atau berkelompok, kadang juga terpisah jauh antara satu dengan yang lainnya. Menurut Christaller dalam Jayadinata (1999), pusat-pusat pelayanan cenderung tersebar di dalam wilayah menurut pola berbentuk heksagon (segi enam). Keadaan seperti itu akan terjadi secara jelas di wilayah yang mempunyai syarat : (1) topografi yang seragam sehingga tidak ada bagian wilayah yang mendapat pengaruh dari lereng dan pengaruh alam lain dalam hubungan dengan jalur pengangkutan, (2) kehidupan ekonomi yang homogen dan tidak memungkinkan adanya produksi primer, yang menghasilkan padi-padian, kayu atau batubara.

Menurut proses yang sama, jika perkembangan wilayah meningkat akan berkembang hierarki jenjang ketiga, yaitu salah satu kampung akan tumbuh menjadi kota yang dikelilingi oleh enam kampung yang dilayaninya. Pada hierarki jenjang keempat terdapat kota besar yang dikelilingi oleh enam kota yang dilayaninya. Karena perkembangan tersebut, dapat dikatakan bahwa kota-kota umumnya timbul sebagai akibat perkembangan potensi wilayah (alam dan manusia), dan kemudian kota sebagai pusat pelayanan berperan dalam mengembangkan wilayah.

Sedangkan ide dasar yang dikemukakan oleh Losch (1954) adalah bahwa ukuran relatif wilayah pemasaran suatu perusahaan, digambarkan sebagai tempat penjualan produk perusahaan dipengaruhi oleh biaya-biaya transportasi dan skala ekonomi. Jika pengaruh skala ekonomi relatif lebih besar dari biaya transportasi maka seluruh produksi akan terkumpul pada satu tempat. Sedangkan jika pengaruh biaya transportasi relatif lebih besar dari skala ekonomi maka perusahaan akan menyebar keseluruh wilayah.

(18)

Pembagian hierarki pusat-pusat pelayanan di suatu wilayah sering tidak merata sehingga mengakibatkan ketidakmerataan di dalam pelayanan kepada masyarakat. Selain itu kadang akses untuk mencapai pusat pelayanan sulit, sehingga mengakibatkan wilayah belakang (Hinterland) menjadi terbelakang karena tidak ditunjang dengan jumlah fasilitas yang memadai untuk dapat meningkatkan produktivitasnya maupun pelayanannya kepada masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut maka dibutuhkan suatu usaha untuk meningkatkan peran pusat-pusat pelayanan, termasuk dengan meningkatkan akses kemudahan pencapaian dari wilayah belakang (hinterland) menuju pusat pelayanan yang terdekat. Di dalam sistem pelayanan yang baik harus memiliki keseimbangan antara pola kebutuhan dan jasa pelayanan sehingga dalam peningkatan kebutuhan akan diikuti dengan jasa pelayanan yang semakin besar.

Apabila jumlah penduduk di suatu wilayah dengan satu pusat telah melebihi ambang batas dan terus meningkat hingga mencapai jumlah tertentu, kemungkinan penduduk yang berada jauh dari pusat telah melebihi jarak ekonomi, sehingga mereka akan mencari pelayanan di pusat-pusat lainnya yang terdekat. Dalam melakukan strategi pengembangan wilayah di pusat-pusat pelayanan memiliki beberapa keuntungan:

a) Adanya penghematan terhadap investasi yang dikeluarkan, karena strategi yang bersifat desentralisasi konsentrasi sehingga tidak semua wilayah mendapatkan investasi tetapi hanya wilayah yang berpotensi saja.

(19)

b) Adanya perkembangan pusat-pusat pelayanan hingga ke wilayah belakang (hinterland) melalui akses pencapaian yang memadai untuk mengatasi kesenjangan wilayah.

c) Terselenggaranya pengembangan antara kota dan desa dengan baik karena saling menguntungkan.

Selain itu Fisher dan Rushton menyatakan bahwa jaringan pusat-pusat pelayanan yang memiliki hierarki akan menguntungkan penduduk di sekitar pusat tersebut (Rezeki, 2007). Keuntungan tersebut adalah:

a) Membuat efisiensi bagi konsumen karena pemenuhan terhadap kebutuhan yang berbeda-beda akan didapatkan dengan sekali bepergian keluar dari desa. b) Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan

antar desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai cara alternatif terhadap jalur hubungan sehingga jalur yang paling penting dan kemampuan pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan secara optimal.

c) Mengurangi panjang jalan yang harus ditingkatkan karena sudah diketahui jalur yang paling penting bagi setiap desa sehingga dapat ditentukan prioritas dalam pengembangan jalan.

d) Mengurangi biaya untuk penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan bagi fasilitas-fasilitas yang ada, karena biaya tersebut ditanggung secara bersamasama.

(20)

e) Pengawasan lebih efektif dan ekonomis karena berbagai aktivitas bergabung menjadi satu di pusat pelayanan.

f) Memudahkan adanya pertukaran informasi antar berbagai aktivitas yang saling berhubungan.

g) Lokasi-lokasi dengan keunggulan lokasi sumberdaya akan berkembang secara spontan sebagai respon terhadap kebutuhan di wilayah belakangnya (hinterland).

Berdasarkan uraian tersebut jelas bahwa wilayah dalam perkembanganya memiliki pusat dan sub pusat sebagai wilayah pengaruhnya. Pusat dapat diartikan sebagai kota yang menjadi pusat pelayanan dan terkonsentrasinya kegiatan. Besarnya wilayah kota dipengaruhi oleh jarak pelayanan bagi penduduknya, sehingga dalam satu pusat dapat memberikan pelayanan maksimalnya. Penduduk yang belum menerima pelayanan, akan dilayani oleh pusat lainnya sehingga hubungan antar pusat tersebut akan membentuk pola heksagonal dimana masing-masing wilayah pengaruh memiliki pusat sendiri.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pembangunan jaringan jalan dalam hubungannya dengan pengembangan wilayah dapat dilihat berdasarkan indicator: 1. Kelancaran aksesibilitas antar daerah, dimana dengan pembangunan dan

penanganan jaringan jalan maka aksesibilitas antar daerah akan semakin lancar.

2. Peningkatan hubungan antar daerah, dengan kelancaran aksesibilitas maka hubungan antar daerah juga akan semakin berkembang.

(21)

3. Kelancaran transportasi barang dan orang, infrastruktur jalan sangat dibutuhkan dalam transportasi barang dan orang, termasuk transportasi hasil-hasil pertanian ke daerah-daerah pemasaran. Kelancaran transportasi akan mengurangi biaya transportasi hasil-hasil produksi pertanian.

4. Penghematan waktu tempuh, kondisi jalan yang lancar akan menghemat waktu tempuh, yang kemudian akan mengurangi biaya transportasi hasil-hasil produksi, khususnya produksi pertanian.

2.3. Metode Analytic Hierarchy Process (AHP)

Proses hirarki analitis atau disingkat AHP (Saaty, 2000) adalah suatu pendekatan pengambilan keputusan yang dirancang untuk membantu pencarian solusi dari berbagai permasalahan multikriteria yang kompleks dalam sejumlah ranah aplikasi. Metoda ini telah didapati sebagai pendekatan yang praktis dan efektif yang dapat mempertimbangkan keputusan yang tidak tersusun dan rumit (Partovi, 1994). Hasil akhir AHP adalah suatu ranking atau pembobotan prioritas dari tiap alternatif keputusan atau disebut elemen. Secara mendasar, ada tiga langkah dalam pengambilan keputusan dengan AHP, yaitu: membangun hirarki, penilaian; dan sintesis prioritas.

(22)

Gambar 2.3. Cakupan Model AHP

2.3.1. Pembentukan Hirarki Struktural

Langkah ini bertujuan memecah suatu masalah yang kompleks disusun menjadi suatu bentuk hirarki. Suatu struktur hirarki sendiri terdiri dari elemen-lemen yang dikelompokan dalam tingkatan-tingkatan (level). Dimulai dari suatu sasaran pada tingkatan puncak, selanjutnya dibangun tingkatan yang lebih rendah yang mencakup kriteria, sub kriteria dan seterusnya sampai pada tingkatan yang paling rendah. Sasaran atau keseluruhan tujuan keputusan merupakan puncak dari tingkat hirarki. Kriteria dan sub kriteria yang menunjang sasaran berada di tingkatan tengah. Alternatif atau pilihan yang hendak dipilih berada pada level paling bawah dari struktur hirarki yang ada.

Menurut Saaty (2000), suatu struktur hirarki dapat dibentuk dengan menggunakan kombinasi antara ide, pengalaman dan pandangan orang lain. Karenanya, tidak ada suatu kumpulan prosedur baku yang berlaku secara umum dan absolut untuk pembentukan hirarki. Struktur hirarki tergantung pada kondisi dan kompeksitas permasalahan yang dihadapi serta detail penyelesaian yang dikehendaki.

(23)

Karenanya struktur hirarki kemungkinan berbeda antara satu kasus dengan kasus yang lainnya.

2.3.2. Pembentukan Keputusan Perbandingan

Apabila hirarki telah terbentuk, langkah selanjutnya adalah menentukan penilaian prioritas elemen-elemen pada tiap level. Untuk itu dibutuhkan suatu matriks perbandingan yang berisi tentang kondisi tiap elemen yang digambarkan dalam bentuk kuantitaif berupa angka-angka yang menunjukan skala penilaian (1 – 9). Tiap angka skala mempunyai arti tersendiri seperti yang ditunjukan dalam Tabel 2.1. Penentuan nilai bagi tiap elemen dengan menggunakan angka skala bisa sangat subyektif, tergantung pada pengambil keputusan. Karena itu, penilaian tiap elemen hendaknya dilakukan oleh para ahli atau orang yang berpengalaman terhadap masalah yang ditinjau sehingga mengurangi tingkat subyektifitasnya dan meningkatkan unsur obyektifitasnya.

Tabel 2.1. Skala Penilaian Antara Dua Elemen

Bobot/Tingkat Signifikan

Pengertian Penjelasan 1 Sama penting Dua faktor memiliki pengaruh yang sama terhadap

sasaran

3 Sedikit lebih penting Salah satu faktor sedikit lebih berpengaruh dibanding faktor lainnya

5 Lebih penting Salah satu faktor lebih berpengaruh dibanding faktor lainnya

7 Sangat lebih penting Salah satu faktor sangat lebih berpengaruh dibanding faktor lainnya

9 Jauh lebih penting Salah satu faktor jauh lebih berpengaruh dibanding faktor lainnya

2,4,6,8 Antara nilai yang di atas Diantara kondisi di atas

Kebalikan Nilai kebalikan dari kondisi di atas untuk pasangan dua faktor yang sama

(24)

2.3.3. Sintesis Prioritas dan Ukuran Konsistensi

Perbandingan antar pasangan elemen membentuk suatu matriks perankingan relatif untuk tiap elemen pada tiap level dalam hirarki. Jumlah matriks akan tergantung pada jumlah tingkatan pada hirarki. Sedangkan, ukuran matriks tergantung pada jumlah elemen pada level bersangkutan. Setelah semua matriks terbentuk dan semua perbandingan tiap pasangan elemen didapat, selanjutnya dapat dihitung matriks eigen (eigenvector), pembobotan, dan nilai eigen maksimum.

Nilai eigen maksimum merupakan nilai parameter validasi yang sangat penting dalam teori AHP. Nilai ini digunakan sebagai indeks acuan (reference index) untuk memayar (screening) informasi melalui perhitungan rasio konsistensi (Consistency Ratio (CR)) dari matriks estimasi dengan tujuan untuk memvalidasi apakah matriks perbandingan telah memadai dalam memberikan penilaian secara konsisten atau belum (Saaty, 2000).

Nilai rasio konsistensi (CR) sendiri dihitung dengan urutan sebagai berikut: 1) Vektor eigen dan nilai eigen maksimum dihitung pada tiap matriks pada tiap

level hirarki

2) Selanjutnya dihitung indeks konsistensi untuk tiap matriks pada tiap level hirarki dengan menggunakan rumus: CI = (emaks – n) / (n – 1)

3) Nilai rasio konsistensi (CR) selanjutnya dihitung dengan rumus: CR = CI/RI, dimana RI merupakan indeks konsistensi acak yang didapat dari simulasi dan nilainya tergantung pada orde matriks. Untuk matriks dengan ukuran kecil,

(25)

Tabel 2.2 menampilkan nilai RI untuk berbagai ukuran matriks dari orde 1 sampai 10.

Tabel 2.2. Indeks Konsistensi Acak Rata-rata Berdasarkan Orde Matriks

Ukuran Matriks Indeks Konsistensi Acak (RI)

1 0 2 0 3 0,52 4 0,89 5 1,11 6 1,25 7 1,35 8 1,40 9 1,45 10 1,49 Sumber: Saaty, 2000

Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya, sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR = 0,08 dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000,). Jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut, maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan karenanya proses AHP perlu diulang kembali.

Tabel 2.3. Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR

Ukuran Matriks Indeks Konsistensi Acak (RI)

≤ 3 x 3 0,03

4 x 4 0,08

> 4 x 4 0,1

(26)

2.4. Penelitian Sebelumnya

Pamoto (2004) melakukan penelitian dengan judul: Penentuan Prioritas Penanganan Jalan Antarkota di Daerah Perkotaan Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan AHP, maka diperoleh rangking prioritas penanganan jalan antarkota pada daerah perkotaan Sumatera Utara secara berurutan sebagai berikut: prioritas pertama adalah ruas jalan lingkar Rantau Prapat; prioritas kedua adalah ruas jalan Panyabungan Bypass; prioritas ketiga adalah ruas jalan Pancur Batu Bypass; prioritas keempat adalah Aek Nabara Bypass; prioritas kelima adalah ruas jalan Sei Rampah; prioritas keenam adalah ruas jalan Perbaungan Bypass; dan prioritas ketujuh adalah ruas jalan Padang Sidempuan Bypass.

Lubis (2007) melakukan penelitian untuk menganalisis pengaruh pembangunan jalan penghubung terhadap pengembangan wilayah (studi kasus Jalan Industri Kecamatan Medan Sunggal). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh pembangunan jalan penghubung terhadap perubahan harga lahan, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara pembangunan jalan dengan tenaga kerja. Dengan dibangunnya jalan penghubung maka terbukalah kesempatan berusaha masyarakat disekitarnya yang berarti pembangunan jalan penghubung mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kesempatan berusaha. Kondisi ini pada akhirnya akan mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat.

Depari (2009) melakukan penelitian untuk mengkaji kebutuham jaringan jalan untuk menunjang pengembangan wilayah Kecamatan Tigapanah Kabupaten Karo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua ruas jalan memiliki kapasitas yang

(27)

mencukupi, namun tingkat kecepatan laju angkutan umum hanya ruas jalan Tigapanah – Sukadame yang memenuhi standard.

2.5. Kerangka Berpikir  

Proses pembangunan dipengaruhi oleh kelancaran transportasi di suatu wilayah, dimana kelancaran transportasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi jalan-jalan yang ada di daerah dimaksud. Dari seluruh jalan yang terdapat di suatu daerah terdapat beberapa jalan strategis yang mempengaruhi secara signifikan terhadap pengembangan wilayah, baik secara ekonomi maupun sosial.

Dalam upaya meningkatkan pelayanan umum, pemerintah bertanggung jawab dalam penanganan jalan-jalan tersebut, khususnya jalan-jalan yang bersifat strategis. Namun keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah, khususnya Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan, menyebabkan perlunya skala prioritas penanganan jalan-jalan terutama jalan-jalan strategis. Skala prioritas ini bertujuan agar penanganan jalan-jalan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien dalam mendukung pengembangan wilayah. Dalam penelitian ini, penetapan prioritas penanganan jalan-jalan strategis di Kabupaten Humbang Hasundutan dilakukan dengan dengan metode AHP (Analytical Hierarchy Process) sebagai alat analisis dalam teknik pengambilan keputusan.

Selanjutnya penetapan prioritas penanganan jalan-jalan strategis tersebut akan berimplikasi terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Humbang Hasundutan. Secara umum kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah seperti yang disajikan

(28)

pada Gambar 2.4 berikut ini.

Keterbatasan Dana Penanganan Jalan

Rencana Tata Ruang Kabupaten Ruas Jalan di Kabupaten

Humbang Hasundutan

Jaringan Jalan Strategis untuk Ditangani Analytical Hierarchy Process (AHP) Prioritas Penanganan Jalan-jalan Strategis Pengembangan Wilayah

Gambar 2.4. Kerangka Berpikir Penelitian

2.6. Hipotesis

Berdasarkan permasalahan penelitian, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: penanganan jaringan jalan strategis berimplikasi signifikan terhadap pengembangan wilayah di Kabupaten Humbang Hasundutan.

Gambar

Gambar 2.1. Struktur Lapisan Perkerasan Jalan  2.1.1.1. Sistem jaringan jalan
Gambar 2.2.  Pengertian Umum Tentang Kondisi Jalan
Gambar 2.3. Cakupan Model AHP
Tabel 2.2 menampilkan nilai RI untuk berbagai ukuran matriks dari orde 1  sampai 10.
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dari kumpulan hasil penelitian-penelitian di atas, maka dapat saya simpulkan bahwa penelitian yang akan saya teliti ini belum pernah ada judul Tugas Akhir yang

Tujuan penelitian dalam penelitian ini meliputi: (1) untuk menguji apakah proporsi kepemilikan saham yang masih dipertahankan oleh pemilik lama (ownership

Oleh karena itu, perlu peningkatan pengetahuan dan keterampilan guru dalam pengembangan bahan ajar yang kreatif dan inovatif, menarik, kontekstual dan sesuai

Ketimpangan tingkat pengetahuan masyarakat terjadi pada butir pertanyaan pengetahuan masyarakat mengenai pengaruh eksplorasi terhadap kondisi ekonomi jika dibandingkan dengan

MENYIAPKAN BAHAN ADVOKASI KATA KUNCI : Bahan akurat, tepat, lengkap, menarik Meliputi 5 W dan 1 H Sesuai kelompok sasaran Dikemas menarik, ringkas, jelas, mengesankan Ada data

Setelah peserta memahami peta proyeksi iklim di wilayah mereka dan berdasarkan hasil kegiatan ‘’Sub Pokok Bahasan 4.1 Tabel Perubahan Iklim’’, mintalah masing-masing

Hasil yang diperoleh dari keseluruhan sampel uji dari kulit kayu alaban (Vitex pubescens Vahl) dengan pengujian senyawa aktif yang bereda yaitu flavanoid, tanin,

Bahan bahan konstruksi yang biasa dipakai di Indonesia banyak ragamnya, terutama untuk bahan bangunan rumah ataupun gedung maupun bidang infrastruktur lainnya.Seperti yang