• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PROSES PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PROSES PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

55

KEPARIWISATAAN DI PANTAI KEDONGANAN

Data yang diolah untuk pembahasan Bab ini diperoleh dari keterangan para informan. Selain itu, data juga diperoleh dari studi dokumentasi terhadap beberapa dokumen yaitu: Keputusan Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan, LPM Kedonganan Nomor 02 Tahun 2008 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Pembuatan Perarem Café di Sepanjang Pantai Kedonganan tertanggal 11 Agustus 2008 dan Peraturan Desa Adat Kedonganan tentang Café di Sepanjang Pantai Kedonganan Tertanggal 1 April 2009. Dokumen lainnya berupa Keputusan Bendesa Adat Kedonganan Nomor 01 Tahun 2010 tentang Penataan Pantai Kedonganan dan Penunjukan Panitia Pelaksana Penataan Pantai Kedonganan Tahap II Tertanggal 5 Januari 2010. Selain itu, Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/01/HK/2010 tentang Persetujuan Pelaksanaan Penataan dan Pengelolaan Kawasan Pantai Kedonganan Kabupaten Badung Oleh Desa Adat Kedonganan Tertanggal 13 April 2010, dan Keputusan Bendesa Adat Kedonganan Nomor 01 Tahun 2012 tentang Perarem Pantai dan Café Tertanggal 1 April 2012 juga merupakan sumber data sekunder untuk dianalisis dalam Bab ini.

Berdasarkan data yang terkumpul, disimpulkan bahwa sampai saat tesis ini disusun, proses penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan Pantai Kedonganan telah dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu

(2)

penataan Pantai Kedonganan Tahap I dan Tahap II. Penjelasan dari tahapan-tahapan penataan tersebut adalah sebagai berikut:

5.1 Penataan Pantai Kedonganan Tahap I

5.1.1 Tahapan Penataan Pantai Kedonganan Tahap I

Penataan Pantai Kedonganan Tahap I dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Munculnya Kesadaran dan Inisiatif Untuk Menata Pantai Kedonganan

Proses penataan tahap pertama atau yang juga dikenal sebagai penataan tahap I oleh masyarakat Desa Adat Kedonganan dimulai pada tahun 2005. Pada saat itu, sebanyak 67 café telah berdiri di sepanjang garis Pantai Kedonganan. Delapan puluh persen (80%) dari jumlah tersebut milik orang luar Kedonganan. (Bapak I Wayan Mertha, wawancara tanggal 29 Desember 2014).

Banyaknya jumlah café menimbulkan berbagai masalah sosial-budaya, lingkungan dan ekonomi. Selain itu, manfaat keberadaan café secara ekonomi dirasakan sangat kurang oleh warga Desa Adat Kedonganan karena café tersebut akhirnya berpindah kepemilikan kepada warga yang bukan warga Desa Adat Kedonganan.

Fenomena tersebut memunculkan kesadaran di antara pemuda Kedonganan bahwa jika permasalahan yang ada dibiarkan maka kondisi Pantai Kedonganan akan semakin memburuk. Pemahaman tersebut selanjutnya disebarkan oleh para pemuda dengan dikoordinir oleh Bapak I Wayan Mertha yang pada saat itu sedang menjabat sebagai Ketua

(3)

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kelurahan Kedonganan, serta pernah pula menjabat sebagai ketua pemuda Kedonganan. Para pemuda Kedonganan berfungsi sebagai agen perubahan (agent of change) yang menyebarluaskan gagasan kepada warga Desa Adat Kedonganan untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi Pantai Kedonganan. Usaha para pemuda diapresiasi oleh para tokoh adat Desa Adat Kedonganan maupun Kelurahan Kedonganan sehingga akhirnya dibentuk kepanitiaan untuk melakukan penataan ulang kepariwisataan di Pantai Kedonganan.

Pariwisata berbasis masyarakat merupakan jenis kepariwisataan dari, oleh dan untuk rakyat. Terkait hal tersebut Asker et al (2010) menyatakan sebagai berikut:

“CBT is a tourism that is planned, developed, owned and managed by the community for the community, guided by collective decision-making, responsibility, access, ownership and benefits”

Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pariwisata berbasis masyarakat direncanakan oleh masyarakat. Hal tersebut mengandung makna bahwa inisiatif untuk mengembangkan pariwisata berasal dari masyarakat. Sejalan dengan pernyataan Asker et al (2010), Tasci et al (2013) menyatakan sebagai berikut:

“Sustainability also guides all policies and actions in CBT; the difference, however, is CBT‟s bottom-up approach in outlining and executing tourism development plans”

Pernyataan Tasci et al menunjukkan bahwa inisiatif untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat berasal dari masyarakat, bukan dari pihak lain. Dikaitkan dengan pengembangan kepariwisataan di Pantai

(4)

Kedonganan, inisiatif juga berasal dari masyarakat Desa Adat Kedonganan, khususnya para pemuda. Inisiatif tersebut menjadi dasar pelaksanaan langkah selanjutnya dalam perencanaan penataan Pantai Kedonganan yaitu pembentukan panitia penataan Pantai Kedonganan. 2. Pembentukan Panitian Penataan Pantai Kedonganan

Panitia penataan dibentuk untuk mempersiapkan rencana penataan hingga melaksanakan penataan Pantai Kedonganan. Panitia tersebut dibentuk melalui sinergi antara 3 Lembaga, yaitu Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kedonganan. Anggota panitia penataan adalah warga Desa Adat Kedonganan yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan untuk melakukan perencanaan di bidang pariwisata, seperti misalnya ilmu perencanaan, arsitektur dan ilmu lingkungan. Kepanitiaan tersebut bekerja dengan baik karena dukungan penuh dari 3 tokoh masyarakat yaitu Jro Bendesa Adat Kedonganan yang waktu itu dijabat oleh Bapak I Ketut Mudra, S.Ag., Lurah Kedonganan (Bapak Drs. I Wayan Sandi) dan Ketua LPM Kedonganan (Bapak I Wayan Mertha). Kepemimpinan dan ketokohan dari 3 tokoh masyarakat serta jajarannya dan dukungan pemuda mengakibatkan sebagian besar warga Desa Adat Kedonganan memberikan dukungan terhadap adanya rencana penataan ulang Pantai Kedonganan. 3. Melakukan Penelitian Dengan Melibatkan Lembaga Pendidikan

Tinggi Pariwisata

Langkah pertama yang diambil oleh panitia penataan adalah mengusahakan adanya penelitian mengenai potensi serta aspek sosial

(5)

budaya masyarakat Kedonganan, penataan fisik Pantai Kedonganan dan aspek pemasarannya. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2005, dan dapat terwujud melalui sinergi antara Desa Adat Kedonganan dengan dua lembaga pendidikan tinggi Pariwisata yaitu Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali dan STP Bandung. Penelitian- penelitian yang dilakukan oleh 2 sekolah tinggi pariwisata tersebut, menghasilkan beberapa rekomendasi yaitu Pantai Kedonganan akan ditata sebagai sebuah kawasan pariwisata, kawasan akan terdiri dari zona sosial-budaya, zona keagamaan dan zona ekonomi, jumlah café akan dikurangi menjadi 12, dan konsep penataan adalah pariwisata berkelanjutan dengan pendekatan pariwisata berbasis masyarakat. (Penjelasan Ketua BPKP2K, I Wayan Mertha pada studi lapangan mahasiswa STP Bali di Kedonganan, tanggal 24 Juni 2014). Dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, melaksanakan penelitian dalam rangka perumusan rencana (planning) merupakan hal yang sangat penting (Mill & Morrison, 2012:131 – 145). Sejalan dengan Mill dan Morrison, Tasci et al (2013: 22) menyatakan sebagai berikut:

“The civil society (educational institutions, NGOs, trade associations, organizations, journalists) are also instrumental in increasing awareness, offering awards, providing training and information, conducting research, bringing the stakeholders together, and assisting locals in voicing their issues and opinion”.

Tasci et al menggarisbawahi pentingnya melibatkan institusi pendidikan untuk melakukan penelitian. Penelitian tersebut diperlukan untuk menyediakan berbagai informasi untuk penyusunan rencana penataan,

(6)

sekaligus untuk mengidentifikasi berbagai isu yang harus diperhatikan terkait dengan rencana pengembangan yang akan disusun.

Dalam konteks Kedonganan, penelitian yang dilakukan oleh 2 sekolah tinggi pariwisata telah memberikan berbagai informasi yang sangat penting. Informasi tersebut berkaitan dengan potensi wisata yang dimiliki Kedonganan serta konsep penataan yang sesuai dengan kondisi Kedonganan. Hasil-hasil penelitian tersebut selanjutnya menjadi dasar bagi Panitia Penataan Pantai Kedonganan Tahap I untuk menyusun rencana penataan kepariwisataan Pantai Kedonganan berbasis masyarakat.

4. Sosialisasi Hasil Penelitian Kepada Seluruh Warga Desa Adat Kedonganan

Proses sosialisasi hasil penelitian dilakukan mulai tanggal 26 November 2005 kepada seluruh warga yang tersebar di 6 banjar yaitu Banjar Kertayasa, Kubu Alit, Pengenderan, Anyar Gede, Ketapang dan Banjar Pasek. (www.balipost,co.id). Sosialisasi dilakukan pada paruman dan sangkep (rapat) di tingkat banjar yang dihadiri oleh seluruh warga banjar. (Wawancara Bapak I Wayan Mertha, 29 Desember 2014). Sosialisasi penting untuk dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai keinginan dan harapan warga Desa Adat Kedonganan terkait café yang ada serta membangun kesamaan visi sehingga seluruh warga Desa Adat Kedonganan diharapkan bersepakat untuk melakukan langkah-langkah perbaikan demi kebaikan mereka bersama. Bapak I Wayan Mertha, Ketua Panitia Penataan Pantai Kedonganan Tahap I menyatakan sebagai berikut:

(7)

“Warga di tiap banjar menyetujui rencana penataan ulang Pantai Kedonganan dengan syarat bagaimana caranya agar setiap banjar di Desa Adat Kedonganan memiliki 4 café, sehingga jumlah total café yang diharapkan adalah 24 buah café. Setelah itu semua disepakati, Jro Bendesa Desa Adat Kedonganan mengumpulkan seluruh warga Desa Adat Kedonganan di Pura Dalem Desa Adat Kedonganan untuk menyatakan sikap persetujuan terhadap penataan ulang Pantai Kedonganan, sekaligus memohon petunjuk dan tuntunan dari Tuhan Yang Maha Esa agar proses penataan dapat dilalui dengan lancar” (wawancara tanggal 29 Desember 2014)

Dari hasil sosialisasi, warga menyetujui rencana penataan Pantai Kedonganan karena menganggap penataan dapat memperbaiki kondisi yang ada. Selain menyetujui rencana penataan, warga memutuskan secara bersama-sama agar jumlah café yang dibangun ditambah menjadi 24 buah dengan pertimbangan 12 café (yang merupakan rekomedasi penelitian) terlalu sedikit. Rencana penataan termasuk perubahan jumlah café menjadi 24 disampaikan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Badung untuk memperoleh persetujuan. Dalam konteks pariwisata berbasis masyarakat, fenomena tersebut merupakan hal yang sangat penting karena pelibatan warga dalam membuat perencanaan dan memutuskan yang terbaik bagi mereka sendiri merupakan karakteristik penting dari pariwisata berbasis masyarakat yang dapat menjamin keberlanjutan dari rencana tersebut. Sesuai dengan hal itu, Asker et al (2010) menyatakan sebagai berikut:

“involving communities in tourism planning, on-going decision making, development and operations”

Pernyataan Asker et al sejalan dengan pernyataan Tasci et al (2013) yang menyatakan sebagai berikut:

“Community participation is imperative for tourism development where tourist attractions are within the living environment of the

(8)

community and sometimes community (culture) is the part of the attraction for tourists”

Pernyataan tersebut menggarisbawahi pentingnya melibatkan masyarakat dalam pengembangan pariwisata mengingat sebuah daya tarik wisata ada di sekitar warga dan pengelolaannya sangat berpengaruh kepada warga tersebut. Dikaitkan dengan Kedonganan, adanya permintaan warga untuk menambah jumlah café menjadi 24 pada dasarnya merupakan perwujudan dari prinsip partisipasi masyarakat yang merupakan salah satu karakteristik utama dari pariwisata berbasis masyarakat, dimana warga Desa Adat Kedonganan ikut menentukan dan memutuskan apa yang menurut mereka lebih baik untuk dilaksanakan.

Meskipun sebagian besar warga mendukung rencana penataan, ada sebagian kecil warga yang merupakan pemilik café yang telah beroperasi yang menolak penataan ulang. Penolakan ini didasari oleh keengganan mereka untuk menutup usaha yang telah mereka rintis. Warga yang menolak merasa menjadi pionir/pelopor pembangunan café di Kedonganan, sehingga mereka merasa sangat dirugikan jika harus menutup usahanya. Penolakan juga diakibatkan pemahaman mereka bahwa mereka berhak membangun café di atas tanah Pantai Kedonganan. Dengan pendekatan dari para tokoh adat, melalui mekanisme penyelesaian masalah secara adat, penolakan tersebut tidak berlangsung lama. Warga yang menolak akhirnya menyetujui penataan ulang terhadap kepariwisataan dan café di Pantai Kedonganan.

(9)

5. Usaha Memperoleh Dukungan Dari Pemerintah Kabupaten Badung Berdasarkan hasil sosialisasi, panitia penataan selanjutnya melakukan penyesuaian terhadap rencana penataan. Setelah penyesuaian rencana penataan dirampungkan, para tokoh masyarakat Kedonganan dan Panitia Penataan Pantai Kedonganan melakukan kunjungan kepada Pemerintah Kabupaten Badung. Tujuan dari kunjungan itu adalah untuk menyampaikan aspirasi warga Desa Adat Kedonganan yang ingin menata Pantai Kedonganan sebagai sebuah kawasan pariwisata yang berbasis masyarakat. Melalui kunjungan tersebut diharapkan diperoleh persetujuan Pemerintah Kabupaten Badung untuk mengizinkan Desa Adat Kedonganan melakukan penataan terhadap Pantai Kedonganan berdasarkan gambar rencana penataan yang telah disiapkan oleh Panitia Penataan. Melalui serangkaian pertemuan, Pemerintah Kabupaten Badung menyetujui rencana penataan ulang Pantai Kedonganan oleh Desa Adat Kedonganan. Persetujuan tersebut ditandai dengan terbitnya Rekomendasi Bupati Badung Nomor 603 Tahun 2006. Rekomendasi tersebut menyatakan bahwa Desa Adat Kedonganan merupakan lembaga adat yang ditunjuk untuk melakukan penataan Pantai Kedonganan dengan tetap melakukan sosialisasi kepada seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Rekomendasi tersebut juga menyatakan agar rencana Penataan Pantai Kedonganan mengacu kepada Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta sesuai dengan konsep Tri Hita Karana dengan pembagian zona tertentu, dan pengurangan café yang ada menjadi 24 café sesuai

(10)

persetujuan seluruh warga Desa Adat Kedonganan berdasarkan asas pemerataan dan keadilan. (Peraturan Desa Adat Kedonganan Tentang Café di Sepanjang Pantai Kedonganan). Dukungan pemerintah sangat penting untuk memastikan pariwisata berbasis masyarakat dapat diimplementasikan dengan baik. Terkait hal tersebut, Tasci et al (2013) menyatakan sebagai berikut:

“Governments provide the supportive policy framework for community involvement and participation in CBT visioning, planning, development, managing and sharing of the benefits and costs”

Pernyataan Tasci et al menunjukkan bahwa peran pemerintah sangat penting dalam menyediakan perangkat kebijakan yang memungkinkan rencana pengembangan pariwisata berbasis masyarakat dapat diimplementasikan. Dalam konteks pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan, dukungan dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung dalam bentuk terbitnya Rekomendasi Nomor 603 Tahun 2006 telah memberikan kepercayaan diri bagi warda Desa Adat Kedonganan untuk melakukan penataan terhadap wewidangan (wilayahnya) untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh warga. Dukungan dan kebijakan Pemerintah Kabupaten Badung juga menjadi landasan dan pedoman bagi Desa Adat Kedonganan untuk melanjutkan pelaksanaan penataan Pantai Kedonganan.

6. Melaksanakan Penataan Pantai Kedonganan

Penataan Pantai Kedonganan tahap I pada dasarnya merupakan proses pengalokasian area Pantai Kedonganan ke dalam zona-zona tertentu, yaitu

(11)

zona café, zona ekonomi dan zona sosial-budaya dan keagamaan berdasarkan gambar rencana yang telah disetujui. Penataan tahap I juga merupakan usaha untuk mengurangi jumlah café yang sudah berdiri sebelumnya dari sejumlah 67 menjadi 24 dimana kepemilikannya diserahkan kepada seluruh warga Desa Adat Kedonganan yang tersebar di 6 banjar sesuai Rekomendasi Bupati Badung Nomor 603 Tahun 2006 Proses pembongkaran 67 café ditetapkan untuk terlaksana paling lambat tanggal 31 Desember 2006 (www.balipost.co.id). Pada saat pembongkaran, sempat terjadi penolakan dari beberapa pemilik café yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Pesisir Pantai Kedonganan (PMP2K). Pemilik café yang menolak merebut peralatan yang dibawa oleh prajuru adat Desa Adat Kedonganan dan melakukan penghinaan. Hal tersebut mendorong Desa Adat Kedonganan untuk melaporkan kejadian itu ke Poltabes Denpasar, sehingga pelaksanaan penataan bisa kembali dilanjutkan. Setelah 76 café dibongkar, di atas lokasi yang telah ditentukan dibangun kembali 24 café baru. Proses pembangunan dimulai pada bulan Januari 2007 dan rampung pada bulan Pebruari 2007. Biaya yang dibutuhkan untuk penataan ulang sebesar 12 milyar Rupiah, diperoleh dari pinjaman lunak yang disediakan oleh Lembaga Perkreditan Desa Adat Kedonganan. (Penjelasan Ketua BPKP2K Bapak I Wayan Mertha, pada studi lapangan mahasiswa STP Bali di Kedonganan, tanggal 24 Juni 2014). Pada bulan Maret 2007, 24 café sudah mulai beroperasi.

(12)

7. Pembentukan Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K)

Pada tanggal 19 Pebruari 2007, dibentuk sebuah organisasi yang akan melaksanakan fungsi pengelolaan kepariwisataan termasuk café di Pantai Kedonganan. Organisasi tersebut bernama Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Bersama Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan Nomor 03/2007. BP-KP2K bertugas sebagai pelaksana kebijakan 3 Lembaga pembentuk terkait penataan Pantai Kedonganan, serta sebagai pengawas Kawasan Pantai Kedonganan. Badan Penataan Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BP-KP2K) kini telah berubah nama menjadi Badan Pengelola Kawasan Pariwisata Pantai Kedonganan (BPKP2K).

UU Kepariwisataan Nomor 10 Tahun 2009 pasal 7 dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang RIPPARNAS menyatakan sebagai berikut:

“Pembangunan kepariwisataan mencakup pembangunan a). industry wisata, b). destinasi wisata, c). pemasaran, dan d). kelembagaan pariwisata”

Dalam konteks Kedonganan, pembentukan BPKP2K sebagai lembaga pengelola kepariwisataan di Pantai Kedonganan telah sesuai dengan amanat 2 produk perundang-undangan tersebut. BPKP2K diharapkan mampu memastikan agar pariwisata berbasis masyarakat di Kedonganan mampu berjalan dalam kaidah-kaidah keberlanjutan, serta memberikan berbagai dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan .

(13)

8. Penyusunan Perarem (Peraturan Desa Adat Kedonganan) Tentang Café di Sepanjang Pantai Kedonganan.

Setelah dibentuk badan pengelola (BPKP2K), Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan serta BPKP2K menyadari bahwa perangkat aturan bagi café dalam menjalankan usaha belum ada. Hal tersebut mendorong Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan Ketua LPM Kedonganan untuk membentuk Panitia Pelaksana Pembuatan perarem (Peraturan Desa Adat) tentang café di Pantai Kedonganan. Pembentukan panitia dilakukan berdasarkan Keputusan Bendesa Adat Kedonganan, Lurah Kedonganan dan LPM Kedonganan Nomor 02 Tahun 2008. Pembuatan perarem dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi café dalam melaksanakan operasionalnya sehingga café yang ada dapat beroperasi dalam iklim berusaha yang baik dan mampu mencegah persaingan tidak sehat akibat penetapan harga yang berbeda serta perbedaan dalam hal pemberian komisi kepada sopir angkutan wisata dan pramuwisata. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam perarem harus diikuti oleh 24 café.

Pada tanggal 1 April 2009, penyusunan Peraturan Desa Adat Kedonganan tentang café di Sepanjang Pantai Kedonganan terselesaikan dan ditetapkan oleh Jro Bendesa Adat Kedonganan, Bapak I Wayan Yasmika. Peraturan (perarem) tersebut mengatur beberapa hal penting, yaitu penggolongan warga (krama) sebagai pemilik café, pembagian lokasi café masing-masing banjar, spesifikasi bangunan serta kepemilikan bangunan café dan lahannya. Perarem juga mengatur mengenai kompensasi yang harus

(14)

dibayarkan oleh café kepada Desa Adat Kedonganan serta jangka waktu pembayarannya, hak dan kewajban lembaga pengelola BPKP2K, serta beberapa keharusan dan larangan. Perarem mengatur dengan jelas mengenai operasional café khususnya mengenai larangan kecurangan terhadap timbangan ikan. Selain itu perarem juga mengatur besaran komisi untuk sopir kendaraan wisata dan pramuwisata maksimal 25% dari harga paket ditambah makan dan minum. Selain itu, dalam perarem juga tercantum aturan mengenai hiburan, larangan terhadap pedagang acung, ketentuan bagi para pedagang jagung, ketentuan bagi para pemusik, ketentuan mengenai limbah café dan ketentuan mengenai waktu-waktu tutup bagi café di Kedonganan. Selain 9 hal tersebut, perarem juga mengatur mengenai prosedur penanganan pelanggaran, ketentuan mengenai sanksi-sanksi, dan ketentuan mengenai masa berlakunya perarem.

Dalam pelaksanaannya, aturan-aturan mengenai operasional café tidak sepenuhnya diikuti. Perang harga serta pemberian komisi terhadap tour guide dan driver melebihi 25% dari harga makanan tetap terjadi. Hal tersebut terjadi karena café di Kedonganan merasa khawatir kehilangan pelanggan yang dibawa oleh para tour guide dan driver tersebut sehingga mereka berani memberikan harga yang lebih murah serta komisi yang berlebihan. Perang harga dapat berimbas kepada kualitas makanan dan pelayanan yang diberikan. Pemberian komisi juga menekan keuntungan café. Jika hal ini dibiarkan, akan dapat mengancam keberlanjutan dari

(15)

wisata kuliner dan café di Pantai Kedonganan. Karena itu, penegakan aturan-aturan dalam perarem termasuk pemberian sanksi harus lebih dimaksimalkan. Hal ini memerlukan komitmen dan dukungan dari BPKP2K, 3 lembaga serta seluruh stakeholder kepariwisataan di Pantai Kedonganan.

Pembentukan perarem dilakukan dengan tujuan untuk memastikan keberlanjutan kepariwisataan di Pantai Kedonganan, melalui perangkat peraturan untuk mengatur pengelolaan café dan kawasan Pantai Kedonganan. Isu keberlanjutann (sustainability) dianggap sangat penting dalam meminimalisir dampak negatif pengembangan pariwisata. UNWTO (2005) dalam Asker et al (2010) menyatakan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah:

“1). Makes optimal use of environmental resources that constitute a key element in tourism development, maintaining essential ecological processes and helping to conserve natural heritage and biodiversity, 2). Respects the socio-cultural authenticity of host communities, conserves their built andliving cultural heritage and traditional values, and contributes to inter-cultural understanding and tolerance, 3). Ensures viable, long-term economic operations, providing socio-economic benefits to all stakeholders that are fairly distributed, including stable employment and income earning opportunities and social services to host communities, and contributing to poverty alleviation, 4). Maintains a high level of tourist satisfaction and ensures a meaningful experience for the tourists, raising their awareness about sustainability issues and promoting sustainable tourism practices amongst them”

Pariwisata berkelanjutan pada dasarnya merupakan pariwisata yang memanfaatkan sumber daya alam dengan bijaksana dengan tetap mengupayakan pelestariannya, menghormati kekayaan dan keaslian

(16)

kehidupan sosial dan budaya setempat dengan mengedepankan toleransi dan pemahaman terhadap aspek sosial-budaya tersebut, serta memastikan agar manfaat ekonomi dapat dinikmati oleh masyarakat lokal dan berkontribusi dalam mengentaskan kemiskinan, dengan tetap berupaya memberikan pengalaman berwisata yang memuaskan bagi wisatawan. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pembangunan kepariwisataan harus mampu berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan alam/lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi dimana ketiganya merupakan pilar-pilar keberlanjutan atau biasa disebut sebagai “the three pillars of sustainability” (Asker et al, 2010).

Pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya merupakan turunan dari pariwisata berkelanjutan meskipun dengan pendekatan berbeda (Asker et al, 2010 dalam Tasci et al, 2013). Pariwisata berkelanjutan diimplementasikan dengan pendekatan top-down, sedangkan pariwisata berbasis masyarakat mengunakan pendekatan bottom-up, dimana hal ini sebenarnya menunjukkan prinsip utama dari pariwisata berbasis masyarakat yaitu partisipasi masyarakat. Tasci et al (2013) memberikan penjelasan mengenai pariwisata berbasis masyarakat sebagai berikut:

”CBT is a tourism that is planned, developed, owned and managed by the community for the community, guided by collective decision-making, responsibility, access, ownership and benefits”

Sejalan dengan penjelasan tersebut, Hausler & Strasdas (2002) menyatakan sebagai berikut:

(17)

“CBT is a form of tourism in which a significant number of local people has substantial control over, and involvement in its development and management. The major proportion of the benefits remains within the local economy”

Tasci et al dan Hausler & Strasdas berpendapat bahwa pariwisata berbasis masyarakat mengedepankan peran serta/parisipasi masyarakat sebagai prinsip utamanya. Peran serta partisipasi tersebut terwujud dari tersedianya kesempatan (access) bagi masyarakat untuk terlibat penuh mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan rencana sampai evaluasi rencana, serta sebagai penikmat dari manfaat yang ditimbulkan.

Lebih lanjut, Hausler & Strasdas menyatakan bahwa selain mengedepankan peran/partisipasi/keterlibatan masyarakat, pelestarian terhadap aspek lingkungan dan sosial-budaya masyarakat lokal juga merupakan hal yang sangat penting. Terkait hal tersebut Hausler & Strasdas menyetakan sebagai berikut:

“Some further general characteristics of CBT are: 1) Includes education and interpretation as part of the tourism service, 2) Increases local and visitor awareness of conservation, 3) Is generally, but not exclusively, organized for small groups by small, specialized and locally owned businesses, 4) Minimises negative impacts on the natural and socio-cultural environment, 5) Supports the protection of natural areas by generating economic benefits for the management of these areas”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat diharapkan mampu memberikan kesadaran bagi penduduk lokal maupun pengunjung menggenai pentingnya pelestarian lingkungan, sosial dan budaya. Karena itu adalah sangat penting untuk memastikan agar produk pariwisata berbasis masyarakat yang ditawarkan adalah untuk grup-grup

(18)

kecil serta memiliki unsur himbauan/penyadaran bagi masyarakat maupun penduduk lokal tetang pentingnya usaha pelestarian. Hal tersebut penting untuk meminimalkan tekanan dan dampak buruk dari pariwisata terhadap lingkungan.

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ada 4 buah prinsip yang harus diterapkan. Prinsip-prinsip tersebut adalah Prinsip-prinsip konservasi lingkungan/alam, Prinsip-prinsip partisipasi masyarakat, prinsip ekonomi lokal dan prinsip konservasi sosial budaya. Empat (4) prinsip pariwisata berbasis masyarakat tersebut berkesesuaian dengan 3 pilar pariwisata berkelanjutan, seperti yang dinyatakan oleh Asker et al (2010) bahwa:

“Adopting good practice in Community Based Tourism contributes to each of the „three pillars of sustainability‟ delivering social, environmental and economic benefits”

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa penerapan pariwisata berbasis masyarakat dalam pengembangan pariwisata berarti telah berkontribusi terhadap pencapaian keberlanjutan (sustainability) di bidang lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi.

Empat prinsip pariwisata berbasis masyarakat pada dasarnya telah dijabarkan ke dalam Peraturan Desa Adat (perarem) Tentang Café di Sepanjang Pantai Kedonganan yang menjadi pedoman pengelolaan kepariwisataan di Pantai Kedonganan. Dengan menerapkan peraturan yang bernafaskan konsep keberlanjutan (sustainability) dan prinsip pariwisata berbasis masyarakat tersebut, masyarakat Desa Adat Kedonganan telah

(19)

melakukan usaha untuk meminimalisir kerusakan lingkungan serta berbagai masalah sosial-budaya, dengan mengupayakan agar manfaat dapat dirasakan seoptimal mungkin oleh warga Kedonganan sehingga mampu meningkatkan taraf hidup warga secara umum. Ditetapkannya Peraturan Desa Adat (Perarem) Tentang Café di Sepanjang Pantai Kedonganan menandakan bahwa penataan Pantai Kedonganan tahap I telah diselesaikan.

5.1.2 Prinsip-Prinsip Pariwisata Berbasis Masyarakat Yang Diimplementasikan Dalam Penataan Pantai Kedonganan Tahap I Dalam penataan Pantai Kedonganan tahap I, ada 4 prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prinsip Konservasi Alam/Lingkungan

Penataan Pantai Kedonganan tahap I dilakukan dengan penekanan pada penataan fisik, penyiapan model kepemilikan dan pengelolaan café dan pembentukan lembaga pengelola. Penataan fisik Pantai Kedonganan merupakan usaha untuk menerapkan prinsip konservasi lingkungan dari konsep pariwisata berbasis masyarakat. Dalam penataan fisik, area Pantai Kedonganan dibagi menjadi beberapa zona, yaitu zona untuk bangunan café yang terbagi menjadi 5 area café dengan jumlah total café dikurangi dari 67 buah café menjadi 24, zona sosial-budaya yang melestarikan 2 tempat penambatan perahu (bangsal) nelayan tradisional Kedonganan, serta menyediakan tempat bagi warga Kedonganan untuk mandi dan berenang, serta zona keagamaan yang mengalokasikan daerah Pantai

(20)

Kedonganan khusus untuk upacara melasti dan upacara nganyut. Selain itu, disediakan pula area khusus untuk parkir kendaraan pengunjung, area untuk perkantoran badan pengelola dan area untuk pasar ikan tradisional dan pasar ikan modern. Penataan fisik memiliki beberapa tujuan, yaitu: mengurangi jumlah café, mengurangi pencemaran langsung maupun tidak langsung melalui pengurangan jumlah café dan pengelolaan limbah, menjaga fungsi Pantai Kedonganan sebagai kawasan konservasi, kawasan suci dan kawasan sempadan pantai dan menjaga daya tarik wisata utama kawasan Pantai Kedonganan. Beberapa hal penting terkait penerapan prinsip konservasi alam/lingkungan dalam penataan Pantai Kedonganan adalah adanya usaha dari BPKP2K untuk mengalokasikan sebagian pendapatannya untuk menjaga kualitas lingkungan, misalnya dalam bentuk membangun area penetasan telur penyu, menyediakan tempat-tempat sampah, serta membayar tenaga kebersihan untuk menjaga kebersihan di sekitar Pantai Kedonganan, seperti yang terlihat pada Gambar 5.

(21)

Hal tersebut menunjukkan bahwa keuntungan (prinsip ekonomi) bukanlah satu-satunya yang mendorong dilakukannya penataan Pantai Kedonganan. Selain itu ada pula usaha dari BPKP2K untuk melibatkan seluruh café dan karyawannya untuk melakukan bersih pantai setiap bulan sekali (pada hari Sabtu), sehingga dari hal ini terlihat adanya bentuk partisipasi warga yang terlibat langsung dalam kepariwisataan di Pantai Kedonganan dalam menjaga kualitas lingkungannya.

Penerapan prinsip konservasi alam/lingkungan mampu mengurangi tekanan terhadap lingkungan Pantai Kedonganan. Namun penerapan prinsip konservasi alam/lingkungan di Pantai Kedonganan menimbulkan sebuah masalah yaitu adanya pelanggaran terhadap Keputusan Bupati Badung Nomor 638 Tahun 2003 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta, khususnya ketentuan dalam Pasal 10 Ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Pantai Kedonganan yang termasuk dalam wilayah Kelurahan Kedonganan diarahkan untuk menjadi fasilitas penunjang akomodasi wisata dengan bangunan semi permanen berupa café di pinggir pantai yang dilengkapi dengan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) untuk masyarakat setempat/nelayan yang ditata dengan baik sekaligus sebagai obyek wisata”.

Ketentuan tersebut mengggariskan agar bangunan-bangunan café dibangun sebagai bangunan semi permanen. Namun dalam kenyataannya, bangunan-bagunan café di Pantai Kedonganan merupakan bangunan permanen, sehingga hal tersebut menyalahi ketentuan. Mengenai pelanggaran tersebut, Bapak I Wayan Mertha, Ketua BPKP2K menyatakan bahwa setelah berjalan sekian lama, ada kebutuhan untuk

(22)

menjadikan bangunan-bangunan tersebut permanen dengan pertimbangan cuaca dan musim. Setiap bulan Pebruari, Pantai Kedonganan mengalami fenomena Angin Barat, berupa angin kencang yang dapat merusak bangunan yang tidak kokoh. Dengan pertimbangan untuk memberikan rasa nyaman bagi pengunjung yang sedang makan, akhirnya bangunan café dibuat menjadi lebih permanen, seperti yang terlihat pada Gambar 6. Meskipun demikian, hal tersebut tetaplah merupakan pelanggaran yang perlu dicari solusinya demi kebaikan bersama.

Gambar 6. Bangunan salah satu café di Pantai Kedonganan

2. Prinsip Partisipasi Masyarakat

Selain berkontribusi dalam pelestarian lingkungan, penataan Pantai Kedonganan tahap I juga berkontribusi dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat dan memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-besarnya bagi masyarakat Desa Adat Kedonganan. Partisipasi masyarakat dalam

(23)

penataan Pantai Kedonganan terlihat dari adanya usaha untuk melibatkan warga Desa Adat Kedonganan dalam memutuskan langkah yang harus diambil dalam rangka memperbaiki kondisi Pantai Kedonganan. Bapak I Wayan Mertha menyatakan sebagai berikut:

“Sosialisasi-sosialisasi yang dilakukan terhadap warga 6 banjar di Desa Adat Kedonganan pada dasarnya adalah untuk mengetahui harapan warga banjar terhadap 67 café yang berdiri di Pantai Kedonganan, akan diapakan café tersebut….” (wawancara tanggal 29 Desember 2014)

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa hampir seluruh warga Desa Adat Kedonganan menyatakan bahwa Pantai Kedonganan harus ditata ulang, dimana pernyataan sikap seluruh warga dilakukan di Pura Dalem Desa Adat Kedonganan. Dari penjelasan tersebut diketahui bahwa masyarakat berpartisipasi dalam penataan Pantai Kedonganan mulai dari tahap awal. Setelah dibentuk panitia penataan, warga berperan dalam mengawasi kegiatan panitia, sampai akhirnya pada saat pelaksanaan penataan ulang, seluruh wara Desa Adat Kedongaan termasuk pemilik café yang sebelumnya menolak akhirnya ikut membongkar bangunannya. Persetujuan para pemilik café yang telah berdiri sebelum penataan tahap I terhadap rencana penataan juga menunjukkan partisipasi mereka dalam penataan ulang Pantai Kedonganan.

Setelah dibentuknya BPKP2K, warga tetap mengawasi pengelolaan dan pengembangan kepariwisataan melalui mekanisme perwakilan, dimana setiap Kepala Lingkungan dan Kepala Adat (Kelihan Banjar) duduk sebagai anggota dewan pengawas BPKP2K. Dewan pengawas tersebut

(24)

memperoleh laporan dari BPKP2K setiap bulan melalui mekanisme rapat bulanan. Laporan tersebut akan diteruskan kembali ke seluruh krama (warga) banjar pada saat sangkep ataupun paruman (rapat) sehingga seluruh warga mengetahui perkembangan kepariwisataan Pantai Kedonganan termasuk perkembangan café yang mereka miliki.

Penataan kepariwisataan di Pantai Kedonganan menunjukkan bahwa partisipasi seluruh warga Desa Adat Kedonganan yang diwujudkan melalui kepemilikan mereka terhadap 24 café yang ada telah mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka.

Hausler dan Strasdas (2002) menyatakan bahwa penerapan prinsip partisipasi masyarakat dapat berbeda di setiap daerah ataupun masyarakat. Lebih lanjut, Hausler dan Strasdas menyatakan sebagai berikut:

“Options for community involvement in CBT include the following: 1). Local individuals selling produce and handicrafts to visitors directly or through tourism businesses. This has often proved to be a good way of spreading benefits within a community. 2). Private tourism businesses (usually owned by outsiders) being granted a concession to operate in the community, in return for a fee and/or a share of revenue. 3). Individuals, with links to the broader community, running their own small tourism businesses in the informal sector. Success can vary and lack of skills and tourism knowledge has often proved a weakness. 4). Communaly owned and run enterprises. Sometimes these suffer from lack of organisation and incentives, but this can be overcome with time. 5). Joint ventures between community and a private operator. This includes shared ownership of or tight contractual agreements concerning guesthouse and/or tour operations”

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 5 model implementasi prinsip partisipasi masyarakat. Dalam konteks pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan,

(25)

model yang diterapan jika dilihat berdasarkan pendapat Hausler dan Strasdas adalah model 4, yaitu bahwa masyarakat berpartisipasi dalam memiliki suatu usaha sebagai sebuah komunitas. Dalam hal ini, 24 café yang ada di Pantai Kedonganan setelah penataan ulang dimiliki oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan yang terbagi dalam 24 kelompok pemilik café.

3. Prinsip Ekonomi Lokal

Penataan tahap pertama telah mampu melibatkan seluruh warga Desa Adat Kedonganan untuk ikut merencanakan arah pengembangan, ikut melaksanakan rencana, ikut mengawasi, ikut memiliki serta menjadi pihak yang menerima manfaat ekonomi dari keberadaan 24 café di wilayah tempat tinggalnya. Karena itu, saat ini seluruh warga Desa Adat Kedonganan adalah pemilik café yang tergabung dalam kelompok-kelompok, yang memperoleh pembagian keuntungan dari café yang ada. Selain penghasilan yang diterima warga Desa Adat Kedonganan sebagai pemilik café, manfaat ekonomi lain yang dirasakan berupa tersedianya lapangan kerja. Selain itu, banyak warga yang memilih untuk bekerja misalnya sebagai pemasok bahan baku café, penyedia transportasi bagi pengunjung, penyedia jasa kuras limbah café dan pekerjaan lain yang tidak terkait langsung dengan café.

Keberadaan café mampu meningkatkan kondisi perekonomian warga Desa Adat Kedonganan. Menurut Ketua BPKP2K, Bapak I Wayan Mertha,

(26)

investasi awal setiap café yang sebesar 500 juta rupiah telah kembali dalam waktu 1-2 tahun. Lebih lanjut beliau menjelaskan sebagai berikut:

“Kini yield investasi di Kedonganan berkisar antara 5 – 12% dalam 1 bulan. Misalnya jika kita punya uang 1 juta Rupiah dan diinvestasikan di bank, bunganya sekitar 0,8% per bulan. Tapi jika 1 juta tersebut diinvestasikan di Kedonganan, maka setiap bulan mendapat keuntungan antara 5 – 12%”(Wawancara tanggal 29 Desember 2014)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa perkembangan bisnis café di Pantai Kedonganan sangat menjanjikan. Hal tersebut dimungkinkan karena ramainya Pantai Kedonganan dikunjungi oleh pengunjung, dimana menurut Bapak I Wayan Mertha, jumlah pengunjung per hari bisa mencapai 3000 orang (data jumlah pengunjung Kawasan Pantai Kedonganan terlampir).

Tingginya tingkat pengembalian investasi café di Pantai Kedonganan mampu meningkatan kondisi keuangan Desa Adat Kedonganan sehingga mampu memberikan banyak manfaat bagi warganya. Manfaat tersebut terutama berkaitan dengan meningkatnya kemampuan Desa Adat Kedonganan sebagai lembaga adat untuk melaksanakan berbagai aktivitasnya tanpa harus memungut urunan biaya dari warga. Seorang warga Desa Adat Kedonganan bernama Bapak I Ketut Sudena memberikan pernyataan sebagai berikut:

“dampak café di Kedonganan adalah ngaben tidak keluar biaya, tiap galungan dapat bagian daging babi, dan tidak ada pesu-pesuan” (wawancara tanggal 29 Mei 2014)

(27)

Sejalan dengan hal tersebut, mantan Bendesa Adat Kedonganan Bapak I Ketut Mudra, menyatakan dampak penataan ulang Pantai Kedonganan adalah sebagai berikut:

“odalan di tingkat Dewa Hyang disubsidi oleh LPD Kedonganan sebesar 1 juta Rupiah, biaya penguburan jenazah diberikan bantuan sebesar 2 juta Rupiah, Pemangku Adat diberikan tunjangan beras. (wawancara tanggal 1 Juli 2014)

Setiap café di Pantai Kedonganan menyerahkan kompensasi kepada Desa Adat Kedonganan setiap 5 tahun. Besarnya kompensasi tersebut diatur dalam paruman adat (rapat) dan telah tercantum dalam perarem dimana besarnya adalah seratus juta Rupiah. Dana kompensasi merupakan sejumlah uang yang dibayarkan oleh warga Desa Adat Kedonganan melalui café masing-masing kepada Desa Adat Kedonganan atas izin yang diberikan kepada mereka dalam memanfaatkan lahan (wewidangan) Desa Adat Kedonganan sebagai tempat berusaha, juga sebagai semacam biaya sewa bagi bangunan yang mereka gunakan sebagai bangunan café yang dimiliki oleh Desa Adat Kedonganan. Dana kompensasi tersebut disetor setiap 5 tahun oleh café ke rekening Desa Adat Kedonganan di LPD Kedonganan.

Peningkatan taraf hidup warga Desa Adat Kedonganan serta meningkatnya asset yang dimiliki Desa Adat Kedonganan berkontribusi dalam menyehatkan LPD Kedonganan, baik melalui simpanan warga, simpanan café maupun simpanan Desa Adat Kedonganan. Terkait hal tersebut, Ketua LPD Kedonganan, Bapak I Ketut Madra menyatakan sebagai berikut:

(28)

”Jumlah uang yang disimpan di LPD Kedonganan meningkat pesat. Pada tahun 2006, jumlah dana yang dikelola sebesar 60 Milyar Rupiah, meningkat menjadi 236 Milyar Rupiah tahun 2014 ini. Dan peningkatan tersebut terkait dengan keberadaan café di Pantai Kedonganan” (Wawancara tanggal 14 Juli 2014)

Sehatnya kondisi keuangan LPD Kedonganan serta besarnya aset yang dikelola oleh Desa Adat Kedonganan mengakibatkan mereka mampu menyediakan dan memberikan berbagai fasilitas bagi kesejahteraan warga Desa Adat Kedonganan, seperti misalnya pembangunan area Pemelisan, di Pantai Kedonganan yang dialokasikan khusus sebagai tempat untuk melaksanakan upacara Melasti, seperti yang terlihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Area Pemelisan di Pantai Kedonganan

4. Prinsip Konservasi Sosial-Budaya

Pembagian area Pantai Kedonganan menjadi beberapa zona juga telah melindungi tradisi keagamaan warga Desa Adat Kedonganan yaitu melasti dan nganyut yang sebelum penataan sempat terganggu pelaksanaannya. Di bidang budaya, tari Bali menjadi sering ditampilkan oleh warga

(29)

Kedonganan untuk menghibur pengunjung café yang sedang makan malam. Hal tersebut dapat membantu terlestarikannya tari Bali sebagai kesenian tradisional Bali. Selain itu, penampilan Tari Bali sebagai hiburan di café berontribusi dalam menyediakan sumber penghasilan tambahan bagi warga. Para penari adalah muda-mudi dan memperoleh bayaran atas penampilannya, seperti yang terlihat dalam Gambar 8.

Gambar 8. Hiburan tari Bali di café

Di bidang sosial, adanya zona sosial mengakibatkan warga kembali dapat melakukan aktifitas seperti misalnya berenang maupun berolahraga di pantai. Hal ini sangat penting mengingat sebelum dilakukan penataan, warga sempat mengalami rasa tidak nyaman dalam melakukan kegiatan tersebut karena rasa malu karena menjadi tontonan pengunjung yang sedang makan, ataupun karena khawatir aktifitas mereka akan mengganggu pengunjung.

(30)

Setiap daerah memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan daerah lain. Begitu pula dengan daerah tujuan wisata, masing-masing memiliki keunikan yang menjadi pembeda di antara mereka. Keunikan tersebut utamanya terletak pada masyarakatnya maupun stakeholder lainnya. Hal tersebut mengakibatkan tidak ada satu model pariwisata berbasis masyarakat yang akan cocok diaplikasikan di semua destinasi. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Tasci et al (2013) sebagai berikut:

“Therefore, there is no one-fits-all framework or blueprint applicable to all destinations. Each CBT case is unique in terms of its destination characteristics, phase of development, and thus, stakeholders, their roles, responsibilities and steps of action” Lebih lanjut, Tasci et al juga menyatakan bahwa:

“Since each case has unique destination characteristics and stakeholders involved, there are no rigid CBT models that can be applied indiscriminately to all communities”

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa konsep pariwisata berbasis masyarakat adalah sebuah konsep yang sangat dinamis. Konsep pariwisata berbasis masyarakat sangat memungkinkan dilakukannya berbagai penyesuaian dalam implementasinya. Penyesuaian tersebut didasarkan pada keunikan masyarakat maupun daerah dimana konsep tersebut akan diimplementasikan.

Dalam konteks implementasi konsep pariwisata berbasis masyarakat di Pantai Kedonganan, 4 prinsip yang diterapkan adalah prinsip konservasi alam/lingkungan, prinsip partisipasi masyarakat, prinsip ekonomi lokal dan prinsip konservasi sosial-budaya. Empat prinsip tersebut mewakili 4

(31)

bidang penataan dan pengelolaan yang perlu mendapatkan perhatian di Pantai Kedonganan. Empat bidang penataan tersebut adalah penataan dan pengelolaan lingkungan, perlindungan terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat Desa Adat Kedonganan, optimalisasi manfaat ekonomi bagi seluruh warga, yang ketiganya dapat tercapai melalui partisipasi seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Hal ini sesuai dengan yang disarankan oleh Hausler dan Strasdas (2012) yang menyatakan bahwa beberapa hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan pariwisata berbasis masyarakat, yaitu:

“1). Income Generation: equal and fair distribution within the village, contribution to positive village development, improved standard of living through income generation in a way that does not harm the environment or culture, or that causes social problems. 2). Cultural and Social Impacts: contribution to the preservation of the cultural heritage of participating communities, the amount of time some families in the village spend on other important and traditional economic activities. 3). Conservation: contribution to conservation: negative environmental impacts, including trail erosion, improper waste dumping, littering, water pollution, illegal collection of plants and animals, feeding of wildlife. 4). Community Participation: training of local village people to effectively manage CBT”

Dari pernyataan tersebut dapat kita lihat ada 4 hal yang menurut Hausler dan Strasdas sangat penting untuk diperhatikan. Empat hal tersebut berkaitan dengan pendapatan, dampak pengembangan pariwisata terhadap sosial dan budaya, konservasi/pelestarian lingkungan dan partisipasi masyarakat. Empat bidang tersebut sangat penting sehingga apabila 4 bidang tersebut tidak dikelola dengan baik, maka keberlanjutan yang

(32)

dicita-citakan tidak akan tercapai. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Tasci et al (2013) yang menyatakan sebagai berikut:

“When CBT principles are overlooked, the results may be more dramatic than the typical costs of tourism since the groups involved in CBT projects are usually marginalized, poor, and disadvantaged groups

Pariwisata berbasis masyarakat banyak diterapkan di daerah dengan penduduk yang biasanya miskin dan tidak memiliki berbagai kelebihan yang menjadi keunggulan mereka. Karena itu, menerapkan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat dengan baik sangat penting untuk dilakukan. Apabila prinsip-prinsip tersebut diimplementasikan dengan baik, maka berbagai hal yang positif akan dapat dirasakan. Hal ini dinyatakan oleh Tasci et al (2013), sebagai berikut:

“Ideally speaking, when CBT is conducted effectively, the results are supposed to be minimal costs and maximum benefits of tourism”

Penerapan 4 prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam penataan Pantai Kedonganan diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi Desa Adat Kedonganan. Dampak positif yang diharapkan adalah dalam bentuk peningkatan kesejahteraan bagi seluruh warga Desa Adat Kedongaan. Selain itu, melalui penataan lingkungan diharapkan kualitas lingkungan Pantai Kedonganan dapat dijaga tetap dalam keadaan baik, dengan tidak mengurangi kemampuannya untuk memenuhi fungsinya sebagai daerah konservasi serta kawasan suci. Melalui penataan lingkungan, diharapkan berbagai aspek sosial serta praktek-praktek keagamaan dapat dilaksanakan dengan baik.

(33)

5.2 Penataan Pantai Kedonganan Tahap II

5.2.1 Tahapan Penataan Pantai Kedonganan Tahap II

Penataan Pantai Kedonganan tahap II dilaksanakan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Pembentukan Panitia Penataan Pantai Kedonganan Tahap II

Setelah penataan tahap I diselesaikan, Desa Adat Kedonganan, Kelurahan Kedonganan dan LPM Kedonganan kembali mencanangkan penataan Pantai Kedonganan tahap II. Melalui Keputusan Bendesa Adat Kedonganan Nomor 01 Tahun 2010 Tertanggal 5 Januari 2010 dibentuk Panitia Pelaksana Penataan Pantai Kedonganan Tahap II. Adapun tugas dan tanggung jawab panitia tersebut adalah untuk menyiapkan rencana penataan, menyusun rencana anggaran biaya (RAB) penataan Pantai Kedonganan tahap II, melaksanakan penataan Pantai Kedonganan tahap II berdasarkan tahapan-tahapan yang telah ditentukan, melaksanakan evaluasi, dan melaporkan perkembangan penataan Pantai Kedonganan tahap II secara berkala kepada Bendesa Adat Kedonganan.

Menurut Bapak I Wayan Mertha, penataan tahap II dilakukan dengan penekanan untuk menata area di luar area café, serta memperbaiki iklim berusaha di antara 24 café yang ada. Rencana penataan disiapkan oleh Panitia Penataan Pantai Kedonganan Tahap II. Seperti halnya anggota Panitia Penataan Tahap I, anggota Panitia Penataan Tahap II juga dipilih dari warga Desa Adat Kedonganan yang memiliki pengetahuan mengenai perencanaan wilayah, ilmu lingkungan dan arsitektur.

(34)

Panitia Penataan Pantai Kedonganan Tahap II berhasil membuat sebuah blue print penataan Pantai Kedonganan. Bue print penataan tersebut (Gambar terlampir) dijadikan pedoman dalam melakukan penataan Pantai Kedonganan Tahap II, dimana di dalamnya tercantum rencana zonasi Pantai Kedonganan, ketentuan bentuk bangunan café dan ketentuan lainnya.

2. Permohonan Izin Oleh Desa Adat Kedonganan Kepada Bupati Badung Untuk Melakukan Pengelolaan Terhadap Pantai Kedonganan Setelah rencana (blue print) penataan tahap II disiapkan oleh panitia, Bendesa Adat Kedonganan bersurat kepada Bupati Badung pada tanggal 12 Januari 2010. Surat tersebut merupakan permohonan izin dari Desa Adat Kedonganan kepada Bupati Badung untuk melakukan pengelolaan Pantai Kedonganan. Selain bersurat, Panitia Penataan bersama Desa Adat Kedonganan juga melakukan serangkaian audiensi dengan Bupati Badung untuk membahas rencana penataan yang telah disiapkan.

Permohonan dan rencana penataan tersebut disetujui oleh Pemerintah Kabupaten Badung sehingga Bupati Badung, Bapak Anak Agung Gde Agung menerbitkan Keputusan Bupati Badung Nomor 1238/1/HK/2010 (dapat dilihat pada Lampiran 6) yang isinya menyetujui permohonan Desa Adat Kedonganan untuk melakukan penataan dan pengelolaan Pantai Kedonganan dengan berdasarkan rencana penataan Pantai Kedonganan yang telah disetujui.

Penataan dan pengelolaan tersebut dievaluasi setiap 10 tahun terhitung mulai dari tanggal berlakunya keputusan. Seluruh biaya yang diperlukan

(35)

untuk melaksanakan penataan dan pengelolaan ditanggung oleh Desa Adat Kedonganan.

3. Penyusunan Perarem (Peraturan Desa Adat) Kedonganan Tentang Pantai Kedonganan dan 24 Café

Penataan Pantai Kedonganan tahap II, selain menekankan kepada penataan fisik di luar kawasan café, juga bertujuan untuk memperbaiki aspek pengelolaan café dan pengelolaan kawasan. Berkaitan dengan hal tersebut, panitia penataan menyusun perarem sebagai panduan dalam mengelola café dan Kawasan Pantai Kedonganan.

Perarem yang disusun dalam penataan tahap II merupakan penegasan dan penambahan isi perarem yang dihasilkan pada saat penataan tahap I. Penambahan tersebut yaitu pembagian warga banjar yang sebelumnya dibagi 3 dirubah menjadi 4, dimana penambahannya adalah adanya Krama Ngarep Baru sebagai penambahan terhadap Krama Ngarep Aktif, Krama Ngarep Pasif dan Krama Ngarep Biasa yang berhak memiliki café. Perarem tersebut selesai disusun pada tanggal 29 Maret 2012 dan mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2012 berdasarkan Keputusan Bendesa Adat Kedonganan Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Perarem Pantai Dan Café.

Penataan Pantai Kedonganan Tahap II berhasil menyempurnakan perarem sebagai panduan pengelolaan café dan kawasan Pantai Kedonganan. Selain itu, penataan tahap II juga menghasilkan rencana penataan (blue print) yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Badung. Dihasilkannya perarem dan rencana penataan ternyata tidak mampu

(36)

menjamin pengelolaan café dan Kawasan Pantai Kedonganan berjalan seperti yang diharapkan. Bapak I Wayan Mertha, Ketua BPKP2K menyatakan sebagai berikut:

“Masih ada beberapa hal yang belum berjalan sesuai perarem, blue print dan kebijakan BPKP2K sebagai pengelola kawasan. Hal-hal tersebut diantaranya masih terjadinya pemberian komisi yang berlebihan oleh café terhadap pramuwisata maupun sopir angkutan wisata yang mengakibatkan suasana persaingan tidak sehat serta harga produk menjadi lebih mahal, munculnya bangunan-bangunan yang tidak sesuai dengan blue print seperti misalnya SPBU dan pembangunan pemecah ombak di laut Kedonganan, sehingga perlu dilakukan penataan tahap III yang perencanaannya sedang disiapkan”. (Wawancara tanggal 29 Desember 2014)

Penyempurnaan perarem dan penyusunan blue print penataan ternyata masih belum mampu mengatasi permasalahan yang telah dihadapi kepariwisataan Kedonganan semenjak penataan tahap I yaitu mengenai perang harga dan pemberian komisi yang berlebihan kepada tour guide dan driver, serta kecurangan terhadap timbangan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa efektifitas aturan pengelolaan dan rencana penataan (blue print) sangat dipengaruhi oleh faktor lain yaitu lembaga penegak peraturan dan lembaga yang melakukan pengawasan (supervisi) terhadapnya, dan pemangku kepentingan lainnya termasuk pengelola 24 café. Dalam konteks Kedonganan, disusunnya perarem yang mengatur tata-kelola café dan kawasan Pantai Kedonganan serta rencana penataan sebagai pedoman penataan merupakan sebuah terobosan yang besar nilainya. Namun dibalik itu, peran BPKP2K sebagai lembaga pengelola yang menegakkan perarem juga sangat penting. BPKP2K sebagai lembaga

(37)

pengelola kepariwisataan Pantai Kedonganan harus mampu menjaga netralitas serta independensinya dalam melaksanakan kewajibannya. Selain itu, 3 lembaga (Desa Adat, Kelurahan dan LPM Kedonganan) harus memegang komitmen dalam mendukung BPKP2K dalam melaksanakan tugasnya. Apabila 3 lembaga ini konsisten dan memegang komitmen, maka penegakan aturan dapat dilakukan dengan lebih baik sesuai yang telah diatur dalam perarem. Dukungan juga harus ditunjukkan oleh 24 café dengan cara mematuhi sepenuhnya aturan dalam perarem serta tidak mencari celah dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Hal ini sangat penting mengingat kepariwisataan di Pantai Kedonganan adalah kepariwisataan berbasis masyarakat yang dimiliki oleh seluruh warga Desa Adat Kedonganan. Karena itu, suasana persaingan di antara 24 café semestinya bisa diminimalkan. Suasana yang harus didorong untuk tumbuh dan berkembang adalah kolaborasi antara seluruh stakeholder kepariwisataan Kedonganan, termasuk 24 café dalam memberikan pengalaman berwisata kuliner terbaik bagi pengunjung. Hal ini penting agar image Kawasan Pantai Kedonganan beserta 24 café yang ada dapat ditingkatkan.

Masih terjadinya perang harga di antara café dan pemberian komisi yang menyalahi ketentuan perarem menunjukkan bahwa langkah-langkah perbaikan masih perlu dilakukan. Hal tersebut mendorong Bendesa Adat Kedonganan mengeluarkan keputusan untuk melakukan penataan Pantai Kedonganan tahap selanjutnya, dimana penataan tersebut akan bertujuan

(38)

untuk lebih menegakkan perarem serta mengimplementasikan rencana penataan (blue print) dengan lebih baik. (Bapak I Wayan Mertha, wawancara tanggal 29 Desember 2014).

5.2.2 Prinsip-Prinsip Pariwisata Berbasis Masyarakat Yang Diimplementasikan Dalam Penataan Pantai Kedonganan Tahap II Penataan Pantai Kedonganan tahap II merupakan kelanjutan dari penataan tahap I. Adapun prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang diimplementasikan pada tahap ini sama dengan yang diimplementasikan pada penataan tahap I. Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip konservasi alam, prinsip partisipasi masyarakat, prinsip ekonomi lokal dan prinsip konservasi budaya. Implementasi prinsip-prinsip tersebut dalam penataan tahap II meneruskan hal-hal yang belum terimplementasikan dengan baik dalam tahap penataan sebelumnya.

Penerapan prinsip Konservasi Alam/Lingkungan ditandai dengan dihasilkannya rencana penataan (blue print) yang merupakan pedoman bagi pengelolaan kawasan Pantai Kedonganan. Rencana penataan tersebut diharapkan mampu mengayomi dan menjadi acuan dalam pengembangan kawasan Pantai Kedonganan selanjutnya dengan terencana, bahkan dengan kekuatan hukum, karena rencana penataan tersebut telah mendapatkan persetujuan Bupati Badung.

Penerapan prinsip partisipasi masyarakat dalam penataan tahap II ditandai dengan pembaharuan pembagian warga yang berhak memiliki café (krama ngarep). Ketentuan mengenai kelompok warga yang berhak memiliki café diatur dalam perarem. Penegasan aturan tersebut menjamin akses

(39)

kepemilikan yang lebih luas bagi seluruh warga Desa Adat Kedonganan terhadap café yang ada sehingga manfaat ekonominya akan semakin dirasakan. (Prinsip Ekonomi).

Bentuk lain penerapan prinsip partisipasi masyarakat adalah pelibatan warga yang memiliki kompetensi khusus untuk menjadi anggota panitia penataan yang bertugas menghasilkan rencana penataan.

Penerapan prinsip konservasi sosial-budaya dalam penataan tahap II semakin mampu melindungi pelaksanaan Melasti dan Nganyut bagi warga Desa Adat Kedongaan di Pantai Kedonganan. Hal ini tercapai melalui pembangunan lokasi Pemelisan di area yang telah direncanakan (Zona Keagamaan), serta menyiapkan area khusus untuk prosesi Nganyut di zona yang telah ditentukan.

Perencanaan merupakan sebuah proses yang penting karena pengembangan pariwisata membawa dampak positif maupun negatif. Pariwisata telah menjadi industri yang semakin kompetitif dan kompleks serta berpengaruh terhadap seluruh anggota suatu komunitas sehingga perencanaan pariwisata penting untuk dilakukan demi memastikan keterlibatan komunitas dalam pengembangan pariwisata (Gunn, 1994, dalam Mill & Morrison, 2012). Dari pernyataan Gunn dapat digarisbawahi hal yang sangat penting yaitu bahwa perencanaan pengembangan pariwisata sangat perlu dilakukan agar pariwisata mampu memberikan dampak positif secara optimal serta mampu berkontribusi dalam mencegah rusaknya alam dan budaya serta mampu meningkatkan kualitas hidup

(40)

masyarakat di tempat pariwisata tersebut dikembangkan, melalui partisipasi seluruh anggota masyarakatnya.

Proses perencanaan merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara bertahap dan berkelanjutan. Gunn (1994) menyatakan bahwa proses perencanaan dapat dilakukan melalui 7 tahapan yaitu mengidentifikasi sponsor dan pemimpin, menetapkan tujuan, melakukan identifikasi kekuatan dan kelemahan, menghasilkan rekomendasi, mengidentifikasi sasaran dan strategi pencapaian, menentukan prioritas dan penanggung jawab, serta melakukan pengawasan. Sejalan dengan pendapat Gunn (1994), Mill & Morrison (2012) menyatakan bahwa proses perencanaan merupakan sebuah proses bertahap yang terdiri atas identifikasi faktor internal dan eksternal, pengembangan pariwisata di suatu tempat, penelitian yang lebih mendalam mengenai sumber daya, aktivitas wisata, pasar wisata dan persaingan, formulasi kondisi aktual dan ideal, penetapan tujuan, strategi dan sasaran, formulasi rencana, penerapan dan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana dan evaluasi.

Dalam penataan dan pengelolaan Pantai Kedonganan, penerapan prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat telah dilaksanakan berdasarkan proses perencanaan (planning process) yang terdiri atas 2 tahap. Penataan Pantai Kedonganan tahap I terdiri atas 8 tahapan sedangkan penataan Tahap II terdiri atas 3 tahapan. Tahapan-tahapan tersebut sesuai dengan pernyataan Gun (1994) maupun Mill & Morrison (2012) yang menyatakan bahwa perencanaan merupakan sebuah proses yang berarti bahwa dalam

(41)

proses tersebut ada tahapan-tahapan yang harus dilalui. Dalam implementasi rencana penataan Pantai Kedonganan, terlihat bahwa prinsip-prinsip pariwisata berbasis masyarakat diterapkan dalam setiap tahapannya, dengan penekanan pada partisipasi seluruh warga Desa Adat Kedonganan seperti misalnya ikut mengambil keputusan serta ikut mengawasi pelaksanaan rencana kegiatan.

Penerapan 4 prinsip pariwisata berbasis masyarakat dalam penataan Pantai Kedonganan terhambat oleh beberapa faktor. Adanya beberapa faktor pendukung mampu membuat proses implementasi berjalan dengan cukup lancar. Faktor-faktor pendukung dan penghambat tersebut dipaparkan dengan lebih terperinci pada Bab VI.

Referensi

Dokumen terkait

Meningkatkan sosialisasi pengembangan kawasan perbatasan sebagai pintu gerbang negara, khususnya bagi instansi pelaksana program pengembangan kawasan perbatasan

pengesahan, lembar pernyataan, kata pengantar, daftar isi, daftar gambar / tabel / lampiran serta ringkasan), spasi antara sub bab dengan sub bab yang lain 1 spasi,

Pewarna sintetis yang terdapat dalam sampel krupuk rengginang dengan warna sampel merah mengandung pewarna sintetis ponceau 4R, sampel berwarna kuning mengandung pewarna

Dari hasil penelitian identifikasi deksametason dalam jamu pegal linu yang beredar di Pasar-Pasar Kota Bandar Lampung secara Kromatografi Lapis Tipis dapat

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara pelatihan wamatik dengan persentase House Index pada rumah siswa. Ada hubungan yang

LAKUKAN KROMATOGRAFI TERHADAP LARUTAN BAKU, REKAM TINGGI PUNCAK SEPRTI YANG TERTERA PADA PROSEDUR: RESOLUSI , R , ANTARA PUNCAK ANALIT DAN BAKU INTERNAL TIDAK KURANG DARI 1,7

Berangkat dari situasi ini, penulis bermak- sud untuk menelaah lebih lanjut tiga pertanyaan mendasar seputar enneagram dalam konteks pembi- naan formasi spiritual

Durasi adalah rentang waktu lamanya suatu peristiwa dapat berlangsung yang biasanya dihitung dalam satuan waktu. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang