• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM DESA TONGKOH. Desa Tongkoh berada diantara jalan raya Berastagi-Medan, jarak dari Ibukota

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM DESA TONGKOH. Desa Tongkoh berada diantara jalan raya Berastagi-Medan, jarak dari Ibukota"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA TONGKOH

2.1 Letak Geografis

Desa Tongkoh berada diantara jalan raya Berastagi-Medan, jarak dari Ibukota Kabupaten ke desa ini lebih kurang sekitar 26 km, sedangkan dari kota Berastagi hanya berkisar 5 km, sebaliknya jika berangkat dari Ibukota Propinsi menuju lokasi ini jarak yang harus ditempuh berkisar lebih kurang 59 km. Letak wilayah desa ini dikelilingi dan dibatasi oleh beberapa desa serta pegunungan. Berikut ini batas-batas wilayah desa Tongkoh adalah sebagai berikut:

 Sebelah Barat berbatasan dengan desa Peceren Kecamatan Berastagi.

 Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Gunung Barus yang dikelola oleh Dinas Kehutanan sebagai hutan lindung Bukit Barisan.

 Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Basam Kecamatan Barus Jahe.

 Sebelah Utara desa ini dibatasi oleh Gunung Singkut yang juga merupakan hutan lindung Bukit Barisan dan dikelola oleh Dinas Kehutanan.

Sebelum luas wilayah desa ini dipaparkan lebih lanjut, ada baiknya dibahas sekilas tentang pemerintahan desa Tongkoh ini. Desa Tongkoh tidak bisa terlepas dari desa Lau Gendek sebagai daerah induk dari kedua desa ini. Hal ini terjadi karena berkaitan dengan latar belakang berdirinya desa Lau Gendek yang kemudian disusul dengan munculnya desa Tongkoh sendiri. Pemerintahan desa sepenuhnya dipegang

(2)

oleh desa Lau Gendek dengan desa Tongkoh sebagai dusun atau kesain dalam budaya Karo. Jadi desa Lau Gendek memegang peranan utama, namun penduduk kedua desa ini akan selalu bekerja sama dalam segala hal. Mengenai latar belakang kedua desa ini akan dipaparkan lebih lanjut dalam latar belakang historis desa Tongkoh nantinya.

Mengenai luas wilayah kedua desa ini secara keseluruhan lebih kurang seluas 500 ha yang masing-masing dapat diperinci sebagai berikut: dipakai sebagai tempat pemukiman penduduk seluas 5 ha, lokasi perusahaan swasta seluas 14,5 ha termasuk 5 ha untuk lokasi perkebunan inti rakyat. Sedangkan kawasan industri swasta dipakai seluas 4 ha, serta lokasi yang digunakan oleh Hortikultura adalah seluas 7 ha dijadikan sebagai lokasi penelitian dari Dinas Pertanian.

Keadaan iklimnya berada pada suhu minimum 16 sampai dengan 20 derajat celsius dengan kelembaban udara rata-rata 28%. Pada bulan September hingga Desember mulai turun hujan dan pada rentang bulan yang lain mulai terjadi kemarau serta turun hujan sekali-kali. Keadaan yang demikian menyebabkan keadaan tanahnya sangat subur untuk lahan pertanian maupun perkebunan yang mendukung berkembangnya perindustrian di sekitarnya dengan pesat. Sebelum adanya Investasi Modal Swasta, dan lokasi penelitian dari Dinas Pertanian, pemakaian tanah masih sangat terbatas (lihat pada tabel1).

(3)

Tabel 1 Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta

No. Penggunaan Tanah Luas/Ha

1. Pemukiman 3 ha 2. Kebun campuran 3 ha 3. Sawah - 4. Tegalan/lahan kering - 5. Hutan lebat 3 ha 6. Belukar - 7. Perkebunan rakyat 1 ha 8. Dan lain-lain 500 ha

Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Tetapi setelah mulai beroperasi usaha perkebunan dan industri swasta, serta penelitian pertanian yang dikelola oleh Pemerintah, terjadi perubahan dimana pemanfaatan tanah di kedua desa ini semakin meluas, malahan menyewakan tanah mereka kepada kalangan non pribumi. Lahan dari desa Lau Gendek di pakai sebagai perusahaan PT. Bibit Baru, Industri Gitar dan Pengalengan Makanan, sedangkan lahan dari desa Tongkoh digunakan sebagai lokasi Penelitian Pertanian dari Dinas Pertanian. Luasnya pemanfaatan tanah dapat dilihat dari perkembangan penggunaan tanah yang dipakai dan berkembangnya perusahaan-perusahaan swasta, (lihat tabel 2).

(4)

Tabel 2 Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta

No. Penggunaan Tanah Luas/Ha

1 Pemukiman 5 ha 2. Kebun campuran 5 ha 3.. Perkebunan 14,5 ha 4. Pabrik 4 ha 5. Lokasi penelitian 12 ha 6. Hutan lebat 2 ha 7. Perkebunan rakyat 3 ha 8. Dan lain-lain 454 ha

Sumber: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1986)

Pemanfaatan tanah yang demikian luas tidak hanya diusahakan oleh penduduk setempat saja, akan tetapi telah mulai banyak disewakan oleh penduduk kepada pendatang dan kalangan non pribumi, terutama kepada kaum Tionghoa dan ada pula yang telah menjualnya kepada petani non pribumi.

Selain itu, sejak tahun 1980 desa Lau Gendek telah mulai dibuka menjadi Pasar Tradisional untuk transaksi hasil-hasil pertanian dengan para pedagang, dan semakin berkembang lagi setelah pedagang-pedagang jenis kebutuhan lain turut berdagang ke pasar yang terletak di desa Lau Gendek. Perkembangan pasar ini

(5)

memang sangat memungkinkan jika dilihat dari sarana transportasi dimana jalur yang dilalui sangat strategis, yaitu terletak diantara jalan raya Medan-Berastagi. Jaringan penerangan listrik juga telah dimulai sejak tahun 1985 oleh Perusahaan Listrik Negara, sehingga jaringan komunikasi melalui televisi sudah dapat dinikmati oleh masyarakat ini.

Kebutuhan akan perawatan kesehatan bagi masyarakat telah diperhatikan pula. Sejak tahun 1979 atas swadaya masyarakat dengan pihak Perusahaan PT. Bibit Baru telah mendirikan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan menyarankan berobat ke Puskesmas ini yang dilakukan oleh petugasnya. Kegiatan lain di prakarsai masyarakat setempat, seperti mendirikan Jambur (tempat pertemuan desa), demikian juga halnya dengan membuat kamar mandi umum, balai desa, kantor agama Islam serta Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibiayai atas swadaya masyarakat serta bantuan yang di peroleh dari pihak Pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang terdapat di kedua desa ini, semuanya dibangun di desa Lau Gendek sebagai wilayah induk.

2.2 Latar Belakang Historis Desa Tongkoh

Menurut legendanya secara oral historis atau cerita turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dataran tinggi Karo mulai dihuni oleh masyarakat Melayu Tua yang datang kedaerah pegunungan Karo, kemudian menjadi suku bangsa Haru. Salah satu sub-marganya adalah Karo Sekali yang bermukim di kampung

(6)

Capah, sekarang dinamai Seberaya.8 Disinilah pertama sekali bangsa Haru menyebut Karou dan menjadi Karo oleh marga Karo Sekali. Sebelum kampung Sicapah bernama Seberaya, kampung ini masih terbagi dalam empat kesain yang berpencar-pencar, yaitu Kesain Rumah Juluun, Kesain Rumah Seribu, Kesain Rumah Karo, dan Kesain Rumah Sinuraya. Kemudian setelah orang-orang Hindu Tamil bermukim di daerah tersebut kira-kira tahun 1200-an, mereka berasimilasi dengan penduduk setempat dan mendapat keturunan sampai beberapa generasi, maka kampung Sicapah berubah nama menjadi Seberaya. Seberaya berasal dari kata sabe-sabe yang berarti pemujaan dan raya yang berarti besar, karena di kampung inilah pertama sekali diadakan sebuah musyawarah besar umat Hindu Perbegu, kira-kira pada permulaan abad ke-14 sebelum legenda Putri Hijau lahir di kampung itu pada abad ke-16.

Kampung Sicapah dengan ibukotanya Kerajaan Haru Sicapah berasal dari kata Capah yang artinya piring. Terjadinya nama kampung dan kerajaan Haru Sicapah adalah karena pada mulanya nenek moyang suku Karo melahirkan bayi kembar lima berselaput dan dibedah diatas piring besar. Sejak saat itulah tempat kediaman nenek moyangnya yang kembar lima itu dinamai kampung Sicapah yang awalnya dinamai burung Sicapah. Kelima nenek moyangnya itu melahirkan keturunan yang bermarga Karo Sekali, karo Kemit, karo Samura, Karo-karo Bukit, dan Karo-Karo-karo Sinuhaji dan Sinuraya.

8

(7)

Penduduk desa Seberaya ini biasanya dengan bangga mengatakan bahwa merekalah penduduk asli di Tanah Karo.9 Setelah beberapa generasi mendiami desa Seberaya sebagai Pemantek Kuta (kelmpok pendiri desa), akhirnya sebahagian dari pada kelompok marga Karo Sekali semakin terdesak oleh pendatang kelompok marga yang lain sehingga lahan pertanian sebagai sarana pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup semakin sempit. Hal ini mendorong sebahagian kelompok marga Karo Sekali mencari tempat pemukiman yang baru untuk mengatasi tantangan tersebut.

Sebelum pemerintahan Kolonial Belanda berkuasa di Tanah Tinggi Karo pada tahun 1901, yang dimulai dengan pecahnya Perang Garamata, timbullah perselisihan paham diantara sesama marga Karo Sekali di desa Seberaya untuk memperebutkan masalah pembagian warisan tanah yang ada di desa tersebut. Karena pertikaian tidak dapat diselesaikan, maka sekelompok dari kelompok yang bertikai tersebut mencari alternatif dengan mencari pemukiman yang baru, untuk menghindarkan diri dari kemungkinan terjadinya perang saudara. Akhirnya kelompok ini pergi meninggalkan desa Seberaya menuju kearah daerah sebelah selatan yang jaraknya kira-kira 18 km dari desa Seberaya, kemudian di tempat yang baru tersebut mereka mendirikan sebuah perkampungan baru sebagai tempat tinggal yang baru. Desa yang baru ini kemudian dinamakan oleh mereka dengan nama Taneh Jawa. Tidak ada asal usul nama tempat yang baru ini, namun awalnya bernama “Perawa-rawa” yang artinya

9

Martin L. Perangin-angin, Orang Karo Diantara Orang Batak, Jakarta: Pustaka Sora Mido, 2004, hlm. 9.

(8)

pemarah, dibuat seperti itu agar tidak ada kelompok lain yang mengusik keberadaan mereka.

Dalam waktu yang relatif singkat daerah tersebut mengalami perkembangan. Berhubung komunikasi dengan daerah sekitarnya sangat sulit serta adanya ancaman binatang buas sehingga keamanan mereka terganggu, pada akhirnya mereka pindah ke pinggir jalan raya Medan-Berastagi yang waktu itu masih berupa jalan setapak, di dekat pemukiman yang baru ini terdapat sebuah aliran sungai yang kecil dan gendek.10 Perkembangan selanjutnya, pada dekade awal tahun 1970-an, sebagaimana halnya dengan nama-nama desa yang lain, desa Lau Gendek dirubah namanya menjadi desa Daulat Rakyat sesuai dengan musyawarah masyarakatnya, dan merupakan nama gabungan dari desa Lau Gendek dengan Desa Tongkoh.

Latar belakang berdirinya desa Tongkoh sendiri adalah karena perpindahan kaum pendatang marga Karo-karo Bukit dari desa Sampun, sebelum Belanda berkuasa di Tanah Karo. Sama seperti perpindahan submarga lainnya yang ingin mencari lahan baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, marga Karo-karo Bukit juga demikian. Namun tidak seperti marga Karo Sekali yang datang secara berkelompok, marga Karo-karo Bukit datang justru hanya dengan sebuah keluarga saja, kemudian beberapa tahun berikutnya diikuti oleh kedatangan marga Karo-karo Gurusinga yang masih saudara dekat dengan keluarga Karo-karo Bukit. Singkat cerita Karo-karo Bukit yang pertama datang menyerahkan lahan-lahan kosong kepada

10

Dalam Bahasa Karo kata “gendek” sama dengan pendek. Desa tempat pemukiman tersebut akhirnya diberi nama Lau Gendek. Lau artinya air atau sungai, sehingga pengertiannya menadi sungai yang pendek.

(9)

Karo-karo Gurusinga. Pendatang yang terakhir muncul adalah kelompok marga Sembiring yang menghuni di daerah perbatasan desa Tongkoh dengan desa Lau Gendek. Jadi hanya ketiga marga inilah yang mendiami desa Tongkoh secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Asal mula nama desa Tongkoh sendiri tidak terlepas dari cerita terkenal Tanah Karo tentang legenda Putri Hijau versi orang Karo. Putri Hijau br Sembiring Meliala lahir di Seberaya dari seseorang yang bermarga Sembiring Meliala keturunan Hindu Tamil.11 Ia pergi meninggalkan Seberaya disebabkan terjadinya salah paham di dalam keluarganya. Dari Seberaya Putri Hijau pergi ke daerah Lau Kawar berharap akan ada yang akan menyusulnya, namun belum juga ada Anak Berunya yang menyusulnya, kemudian ia pergi kedaerah Lau Gendek yang ketika itu masih berupa lahan yang kosong, Anak Berunya belum juga kelihatan menyusul, hingga sampailah Putri Hijau di suatu tempat persinggahan, yaitu sebuah lahan yang kosong dengan hutan lebat dipinggirannya. Ia mulai beristirahat dan berpikir di tempat itu, timbul tanda tanya dalam dirinya mengapa Anak Berunya tidak juga datang menyusulnya. Sambil menyunyah daun sirih, pikirannyapun menjadi “Tongkoh”,12 apakah ia harus kembali ke Seberaya atau pergi ke tempat saudara ayahnya yang berada di daerah Deli Tuwa.

11

Ibid., hlm. 20.

12

Dalam Bahasa Karo kata “Tongkoh” dapat diartikan sebagai bercabang-cabang dan juga dapat diartikan juga sebagai tunggal atau satu. Pengertiannya tergantung kata-kata yang mengikutinya, kata “Tongkoh” dalam kalimat tersebut diatas memiliki arti bercabang, dengan kata lain pikiran Putri Hijau tidak menentu. Pada zaman sekarang, penggunaan kata “Tongkoh” tidak pernah lagi

(10)

Hubungan desa Tongkoh sendiri dengan desa Lau Gendek adalah tidak lain atas hubungan tanah, karena marga Karo Sekali yang pertama sekali mendiami desa Lau Gendek sampai ke daerah pinggiran desa Tongkoh, maka marga Karo Sekali dianggap sebagai tuan tanah seluruh daerah tersebut. Walaupun pada mulanya daerah desa Tongkoh hanya berupa lahan yang kosong dan tak berpenghuni. Hingga sampai sekarang marga Karo Sekali tetap dianggap sebagai “Pemantek Kuta” kedua desa

ongkoh yang seluruh lahan pada mulanya dikuasai oleh marga

pada rima

tersebut, walaupun sebenarnya marga Karo-karo Bukit yang pertama mendiami daerah itu.

Seperti halnya dengan desa-desa lain di Tanah Karo, karena kedua desa ini didirikan oleh marga Karo Sekali, secara otomatis jabatan Penghulu atau Kepala Desa di pegang oleh kelompok marga tersebut secara turun-temurun. Demikian juga halnya dengan pemilikan tanah dimana sebagian besar dikuasai oleh kelompok marga tersebut kecuali desa T

Karo-karo Bukit, kemudian diberikan sebagian kepada marga Karo-karo Gurusinga dan marga Sembiring.

Sampai Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Atuk Karo Sekali, kemudian sejak tahun 1945-1975, jabatan tersebut diserahkan kepada keturunannya yang bernama Lias Karo Sekali. Sedangkan pada periode 1975-2002, jabatan Kepala Desa dipegang oleh Cengken Hasan Karo Sekali. Saat ini jabatan Kepala Desa diserahkan ke Te Karo Sekali yang merupakan adik kandung dari Cengken Hasan Karo Sekali. Dengan demikian desa ini dapat dikatakan sebagai desa yang sifatnya homogen.

(11)

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pemanfaatan tanah semakin bertambah karena berdirinya beberapa perusahaan dan perkebunan serta adanya penjualan tanah kepada para pendatang, sehingga dengan sendirinya desa ini berubah wajahnya. Kalau pada awalnya bersifat homogen sekarang mulai bersifat eterogen. Perubahan ini juga disebabkan adanya pendatang baru, yaitu suku lainnya

awa dan lain-lain.

laki-laki rjum

latif singkat atau lebih kurang selama tiga tahun, jumlah

ut, akan tetapi adalah akibat dari h

seperti Simalungun, toba, J

2.3 Distribusi Penduduk

Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Pemerintahan desa Daulat Rakyat pada tahun 1984, dapat diketahui bahwa jumlah keseluruhan penduduk yang bermukim di desa ini adalah sejumlah 715 jiwa dari 149 rumah tangga. Jumlah tersebut dapat diperinci berdasarkan kelompok jenis kelamin, yaitu

be lah 324 jiwa dan perempuan berjumlah 391 jiwa. Tetapi pada tahun 1966 dan tahun 1976, sensus penduduk tidak dilaksanakan menurut para informan.

Pada tahun 1984, jumlah rumah tangga tercatat 149 kepala keluarga, jika dibandingkan dengan tahun 1987, sudah berjumlah lebih kurang 300 rumah tangga. Dalam rentang waktu yang re

penduduk di desa ini sudah hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan sensus penduduk pada tahun 1984.

Meningkatnya jumlah penduduk tersebut bukanlah karena disebabkan meningkatnya angka kelahiran anak di desa terseb

(12)

m katnya jumlah pendatang untuk mencari lapangan pekerjaan kemudian menetap menjadi penduduk di desa Daulat Rakyat.

Pada umumnya masyarakatnya memiliki sifat yang terbuka dan tidak bersifat sukuisme dan itulah sebabnya para pendatang betah tinggal di desa ini. Sifat keterbukaan yang dimiliki masyarakat desa ini membentuk sifat heterogen, bukan hanya dari segi etnis saja tetapi juga dalam hal kepercayaan yang dianut. Walaupun kepercayaan mereka umumnya berbeda, namun dengan suatu kesadaran yang tinggi, kepercayaan yang mereka anut bukan dija

ening

dikan sebagai benih-benih yang nim

melaksanakan upacara tradisional tara

me bulkan konflik melainkan mereka saling bertoleransi dan tidak menjadikannya sebagai penghalang dalam pergaulan sehari-hari.

Disamping agama yang sudah ada sekarang ini, namun sebagian masyarakatnya masih ada yang menganut kepercayaan tradisional. Mereka menganggap kepercayaan tradisional identik dengan adat istiadat yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, sehingga meskipun mereka sudah menganut kepercayaan seperti Agama Islam dan Kristen, mereka masih

an lain, “Erpangir Kulau”, memberi sesajen di tempat-tempat yang dianggap keramat agar roh nenek moyang memberi rejeki.

Menurut informasi yang di peroleh lapangan, unsur-unsur Agama Kristen mulai masuk ke desa ini sekitar tahun 1981, sedangkan unsur-unsur Agama Islam mulai berkembang pada tahun 1983. Kedua ajaran agama ini berkembang bukanlah atas bantuan misi-misi tertentu, melainkan kedua ajaran agama ini masing-masing dibawa oleh para pendatang yang memang telah menganut agama tersebut.

(13)

Unsur-unsur yang dibawa oleh para pendatang ini kemudian diserap oleh penduduk setempat sesuai dengan keyakinan dan keinginan masing-masing tanpa adanya unsur-unsur

erdiri dari Agama Islam, Kristen dan Budha.

Dari daftar distrib tnya berdasarkan

data sensus tahun 1984 (lihat tabel 3).

Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Ag

. Jenis Agama Jum wa

paksaan, sehingga penduduk yang pada mulanya masih menganut kepercayaan tradisional mulai menganut agama yang telah ada yaitu Kristen dan Islam.

Berdasarkan distribusi penduduk menurut agama, penulis membuat suatu kesimpulan bahwa agama yang ada t

usi berikut ini akan dapat dilihat jumlah penganu

ama No lah/Ji 1. Islam 500 2. Kristen 115 3., Budha 25 4. Lain-lain 75 Jumlah 715

Su r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Berdasarkan tabel diatas jumlah masyarakat desa ini bisa diklarifikasikan bahwa Agama Islam merupakan jumlah mayoritas yang dianut oleh p

mbe

enduduk, atau mlah

ju nya dua kali lipat dari pada keseluruhan agama yang ada, walaupun Agama Islam belakangan berkembang jika dibandingkan dengan agama lain.

(14)

Sebagaimana halnya dengan masyarakat lain, penduduk desa ini juga taat menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut. Hal ini dapat dilihat dari adanya rumah ibadah yang mereka bangun dengan hasil swadaya sendiri, yaitu dua buah Mesjid yang di bangun masing-masing sebuah di desa

uduk

h dianggap memiliki berpenghasilan. ada saat sensus diadakan, hasilnya menunjukkan lebih banyak jumlah usia muda ari pada jumlah yang produktif (lihat tabel 4).

Tongkoh dan Desa Lau Gendek, serta sebuah bangunan Gereja yang terletak di desa Lau Gendek.

Selain dari pada itu, di bawah ini akan dipaparkan pula tabel klasifikasi penduduk desa berdasarkan kelompok usia sesuai dengan sensus jumlah p-end pada tahun 1984, sehingga dari tabel ini nantinya akan dapat diketahui klasifikasi penduduk yang dianggap produktif sebagai penghasil perekonomian di desa ini.

Selain itu, berdasarkan produktif atau tidaknya, penduduk desa Daulat Rakyat dapat dibagi menjadi dua, yaitu penduduk yang tidak produktif berdasarkan usia muda, yaitu dibawah 25 tahun. Kelompok ini dianggap masih dalam taraf pendidikan. Dengan demikian tidak dapat dilibatkan dalam peningkatan sosial ekonomi. Kelompok yang lainnya adalah yang produktif berdasarkan usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Dalam usia 25 tahun suda

P d

(15)

Tabel 4 Distribusi Penduduk Menurut Umu

. Kelom Usia Juml sia

r No pok ah/U 1. 0-1 31 2. 2-5 80 3. 6-7 170 4. 8-14 135 5. 15-24 136 6. 25-54 108 7. 55 ke atas 55 Jumlah 715

S r: Kantor Balai Desa Daulat Rakyat (Tahun 1984)

Pada saat sensus ini dilakukan, jumlah usia muda jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah yang dianggap potensial sebagai produktif penghasil ekonomi, yaitu berusia 25 tahun ke atas. Usia yang dianggap tidak produktif disini adalah usia anak-anak yang berusia 14 tahun ke bawah, sedangkan yang dianggap sangat produktif adalah usia 25 tahun ke atas dan tidak bersekolah lagi. Jadi penduduk yang berusia 25 tahun ke atas dianggap sangat produktif, karena pada usia demikian dianggap telah mampu berper

umbe

Gambar

Tabel 1  Pemakaian Tanah Sebelum Adanya Investasi Modal Swasta
Tabel 2 Pemakaian Tanah Setelah Berkembangnya Investasi Modal Swasta
Tabel 3 Distribusi Penduduk Berdasarkan Ag
Tabel 4 Distribusi Penduduk Menurut Umu

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan ini bertujuan untuk memanfaatkan limbah sagu hasil pengolahan pati sagu oleh masyarakat petani di Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, Kalimantan

tahun terakhir ini memperlihatkan bahwa penelitian bahan alam tidak menghasilkan keanekaragaman molekul yang sejajar dengan usaha penemuan dan pengembangan obat baru termasuk

Kebanyakan konsumen akan menjadi konsumen apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, untuk itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu

Kedua , para pemimpin yang berada baik di jajaran manajemen tingkat bawah dan jajaran manajemen tingkat atas perlu meningkatkan kepemimpinan transaksional dengan cara: Capable

bahwa sesuai ketentuan Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, Retribusi Pengujian Mutu Hasil Perikanan

Dibuat website ini berdasarkan dibutuhkannya informasi dan media promosi mengenai perumahan untuk meningkatkan penjualan, dimana pada website ini berisi tentang informasi

[r]

Once you’ve initialized a repository, you still need to add and commit the files using git add (see Task 6, Staging Changes to Commit, on page 34) and git commit (see Task 7,