1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam khazanah sastra Jawa Kuna (kawi) memang telah sejak lama memikat perhatian para peneliti, salah satunya adalah kakawin yang merupakan sastra Jawa Kuna yang berbentuk puisi.
Istilah puisi Jawa Kuna merupakan istilah modern untuk menyebut dan memberi nama kepada salah satu genre sastra Nusantara. Istilah puisi berasal dari sastra Barat, yakni ragam sastra yang menggunakan bahasa diikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait (Sudjiman, 1984: 61).
Istilah Jawa Kuna digunakan untuk menyebut dan memberi nama kepada suatu bahasa (termasuk sastranya) yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa sekitar abad ke-9 sampai abad ke-15 (Zoetmulder, 1985: 18-22). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa puisi Jawa Kuna adalah ragam sastra berbahasa Jawa Kuna yang diikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Dalam bahasa Jawa Kuna sendiri, ragam sastra yang disebut puisi Jawa Kuna tersebut dinamakan kakawin (Suarka, 2009: 1).
Kakawin adalah suatu karya sastra yang dibentuk oleh wirama atau
wirama-wirama dan masing-masing wirama diikat oleh beberapa syarat, seperti
wrĕtta dan matra. Wrĕtta adalah jumlah suku kata dalam tiap-tiap baris (satu bait kakawin biasanya terdiri dari empat baris); matra adalah letak guru-laghu (berat
2
Istilah kakawin berasal dari kata Sansekerta, yakni kata kawi. Pada mulanya, dalam bahasa Sansekerta, kata kawi berarti “seseorang yang mempunyai pengertian luar biasa, seseorang yang dapat melihat hari depan, orang bijak”. Akan tetapi, dalam sastra Sansekerta klasik, istilah kawi mempunyai arti khas, yakni “penyair”. Kata kawi yang berarti “penyair” ini kemudian diserap ke dalam bahasa Jawa Kuna. Kata kawi itu mengalami afiksasi, yaitu mendapat tambahan prefiks ka- dan sufiks –ĕn. Selanjutnya, vokal ĕ pada sufiks –ĕn luluh karena mengalami persandian dengan vokal i pada kata kawi sehingga terbentuk kata
kakawin, yang berarti “karya seorang penyair, syairnya” (Zoetmulder, 1985: 119).
Puisi Jawa Kuna atau kakawin dipengaruhi oleh tradisi kāvya di India. Akan tetapi, kakawin dalam banyak segi berbeda dengan kāvya. Kakawin mengembangkan satu bentuk dengan ciri-cirinya sendiri. Adapun puisi Jawa Kuna (kakawin) sebagai sebuah genre sastra mempunyai ciri-ciri sebagai berikut. 1)
kakawin terdiri atas beberapa bait yang berturut-turut memakai metrum yang sama
dalam satu pupuh. 2) satu bait kakawin umumnya terdiri atas empat baris. Akan tetapi, ada pula bait kakawin terdiri atas tiga baris yang lazim dinamakan
Rahitiga. 3) masing-masing baris disusun menurut perhitungan jumlah suku kata.
4) masing-masing baris disusun menurut pola metris, yakni kuantitas setiap suku kata panjang atau suku kata pendek ditentukan oleh tempatnya dalam baris beserta syarat-syaratnya. 5) umumnya kakawin merupakan buah hasil puisi kraton, sebuah syair yang pada pokoknya bersifat epis, yang coraknya agak dibuat-buat (Suarka, 2009: 5-6).
3
Penulisan karya sastra kakawin pertama kali dilakukan di Jawa pada periode Jawa Tengah dan Jawa Timur pada abad ke-9 hingga abad ke-15. Hasil karya sastra dalam bentuk kakawin yang sampai sekarang dianggap tertua ialah
Rāmāyana dari abad ke-9, satu-satunya kakawin yang diketahui berasal dari Jawa
Tengah dan yang pengarangnya sampai kini masih dipersoalkan. Kebanyakan
kakawin-kakawin merupakan epik wiracarita dengan menceritakan tokoh-tokoh
atau dewa yang berasal dari kalangan istana, seperti Rāmāyana yang telah disebut di atas (Pradotokusumo, 1984: 2). Kemudian karya kakawin pada periode Jawa Timur, antara lain : Kakawin Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa; Kakawin
Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh; Kakawin Hariwangsa dan Kakawin Ghatotkacasraya karya Mpu Panuluh; Kakawin Krsnayana karya Mpu
Triguna; Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja; Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguna; Kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca; Kakawin
Arjunawijaya dan Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular; Kakawin Lubdhaka
atau Kakawin Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (Zoetmulder, 1985: 277-489). Tradisi penulisan kakawin di Pulau Jawa mulai memudar sejak awal abad ke-16 dengan mundurnya kejayaan Kerajaan Majapahit yang sebetulnya sudah mulai pada awal abad ke-15. Keadaan ini mungkin menyebabkan banyak bangsawan Jawa dan rokhaniawan Hindu-Jawa menyingkir dari Majapahit, antara lain ke Pulau Bali. Pengarang-pengarang lokal meneruskan menulis karyanya menurut pola sastra Jawa Kuna di Bali. Hasil karya mereka kemudian disebut kesusastraan Jawa Kuna-Bali (Pradotokusumo, 1984: 4).
4
Kegiatan mengarang kakawin di Bali masih berlangsung, walaupun tidak seproduktif pada masa-masa sebelumnya. Terdapat beberapa karya sastra kakawin yang dihasilkan pada abad ke-21 ini, antara lain: Kakawin Nilacandra, Kakawin
Ekadasasiwa, dan Kakawin Candrabhanu karya Made Degung (dari Sibetan,
Karangasem); Kakawin Rawana, Kakawin Nilacandra, dan Kakawin Candrabhanu karya I Wayan Pamit (dari Kayumas, Denpasar); Kakawin Karnantaka karya I Wayan Seregeg (dari Pengastulan, Buleleng); Kakawin Kalakali; Kakawin Bali Sabha Lango, Kakawin Rajapatni Mokta, Kakawin Bali Dwipa karya I Nyoman Adiputra (dari Susut, Bangli) (Suarka, 2007: 43-45).
Karya sastra klasik seperti halnya kakawin merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dirasakan sangat penting dalam rangka ikut menunjang pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah khususnya dan kebudayaan nasional umumnya. Pemahaman karya sastra klasik (kakawin) di Bali ditandai dengan kegiatan mabebasan yang mentradisi. Istilah mabebasan digunakan dalam kegiatan makakawin, satu orang melagukan kakawin yang lainnya menerjemahkan dan kadang-kadang ada yang mengomentari (Jendra, 1979: 3). Tradisi ini sudah membudaya di masyarakat Bali, hingga sekarang masih aktif dilakukan terutama di desa-desa maupun di kota dalam satu wadah yang disebut pesantian.
Seni sastra kakawin di Bali mendapat perhatian yang cukup besar dari masyarakat. Beberapa jenis upacara keagamaan seni sastra kakawin ini dipakai sebagai pengiring jalannya upacara, juga dalam beberapa jenis kesenian seperti drama klasik, sendratari, wayang dan yang lainnya. Seni pewayangan dapat dilihat dari tema cerita yang disuguhkan yakni dengan mengambil cerita klasik Jawa
5
Kuna seperti epos Ramayana dan Bharatayudha. Demikian pula dalam sendratari. Hasil karya sastra Jawa Kuna (kakawin) merupakan warisan budaya bangsa Indonesia yang kaya nilai-nilai luhur. Nilai-nilai luhur tersebut, apabila digali dan direnungi, masih relevan untuk diterapkan sampai sekarang. Terlebih lagi masalah sastra Jawa Kuna yang tertuang dalam kitab Mahābharata dan Rāmāyana dianggap sebagai kitab suci agama Hindu yang selalu memancarkan nilai-nilai sosial budaya yang dianggap keramat, suci, luhur, dan mulia (Jendra, 1982: 127).
Dengan melihat kedudukan dan fungsi kakawin yang sangat penting di Bali, maka penulis mencoba meneliti dan mengkaji Kakawin Bali Dwipa (yang selanjutnya disingkat dengan KBD). KBD tergolong kakawin minor dan sepengetahuan penulis KBD belum ada yang meneliti.
Menurut pendapat Teeuw (1988: 32) karya sastra tidak hanya mengikuti konvensi sastra yang telah ada, tetapi seringkali menyimpang sekaligus melampaui bahkan merombak konvensi. Fenomena tersebut tidak hanya dialami dalam sastra modern, tetapi juga dalam sastra tradisional, sebagaimana terlihat dalam karya kakawin.
Pada prinsipnya pola aturan yang mengikat metrum kakawin seperti
wrêtta, matra, dan guru-laghu masih tetap sama dengan konvensi sebelumnya.
Akan tetapi, dari segi naratif terjadi penyimpangan yang signifikan. Berdasarkan hal tersebut periode pembaharuan lebih diartikan sebagai kebangkitan bagi suatu generasi pembaharu yang membawa arus kesusastraan Jawa Kuna menuju keorisinilitas, yaitu terciptanya suatu generasi Jawa Kuna yang asli (Suarka, 2002:
6
32). Sehingga KBD ini tergolong sebagai periode pembaharuan, karena berada pada tegangan antara konvensi dan kreasi (inovasi).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, dapat diungkapkan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konvensi bahasa, sastra, dan budaya KBD ?
2. Apakah KBD tergolong sebuah inovasi dalam karya sastra kakawin?
1.3 Tujuan
Tujuan merupakan maksud atau sesuatu yang hendak dicapai dan perlu di perjelas agar arah penelitian dapat mencapai sasaran yang diharapkan (Triyono, 1994: 35). Adapun tujuan yang hendak dicapai, penulis bedakan menjadi dua tujuan, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum kajian ini bertujuan untuk memberikan suatu informasi mengenai karya sastra Jawa Kuna secara umum. Penelitian ini juga bertujuan ikut serta dalam membina, melestarikan, dan mengembangkan karya-karya sastra tradisional sebagai akar kebudayaan nasional
7 1.3.2 Tujuan Khusus
Penelitian terhadap KBD ini secara khusus bertujuan :
1. Untuk mengetahi konvensi bahasa, sastra, dan budaya dalam KBD secara mendalam.
2. Untuk mengetahui apakah KBD tergolong sebuah inovasi dalam karya sastra kakawin.
1.4 Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi, sehingga dapat menambah informasi pengetahuan tentunya dalam bidang ilmu sastra, khususnya pada kakawin tersebut dalam struktur dan konvensi. Dan juga dapat melestarikan dan mengembangkan hasil kesusastraan Jawa Kuna tradisional itu sendiri.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini bermanfaat dapat memperdalam ilmu pengetahuan mengenai kakawin, sehingga masyarakat yang membacanya dapat mengetahui dan memahami tentang guru-laghu, wrêtta dan matra, gana dan
8
membuka wawasan mengenai konvensi bahasa, sastra, dan budaya dalam kakawin secara mendalam, sehingga dapat mengetahui suatu inovasi dalam kakawin.