• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Finishing PT. X di Proyek Apartemen Serpong Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Finishing PT. X di Proyek Apartemen Serpong Tahun 2014"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Pelindung Diri pada Pekerja Bagian Finishing PT. X di Proyek Apartemen Serpong Tahun 2014

Iis Yustrianita1 dan Robiana Modjo2

1. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 2. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok

Email : iis.yustrianita@ymail.com,bian71@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang penggunaan alat pelindung diri (APD) pada pekerja bagian

finishing PT. X di Proyek Apartemen Serpong pada tahun 2014. Faktor-faktor yang diteliti yaitu

faktor internal meliputi sikap dan pengetahuan, faktor eksternal meliputi ketersediaan APD, kenyamanan APD, pengawasan dan peraturan APD. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara umum penggunaan alat pelindung diri pada pekerja Bagian finishing PT. X masih kurang, dari 50 responden didapatkan 36 responden (72%) tidak menggunakan APD. Hasil uji statistik dengan

Chi Square, menunjukan pada faktor internal: tidak terdapat hubungan yang bermakna antara

pengetahuan (p=0,623 > 0,05) dan sikap (p=0,311 > 0,05) dengan penggunaan APD. Faktor eksternal : terdapat hubungan yang bermakana antara ketersediaan APD (p=0,026 < 0,05), kenyamanan APD (p=0,039 < 0,05) dan pengawasan (p=0,036 < 0,05) dengan penggunaan APD dan tidak terdapat hubungan yang bermakna (p=0,607 > 0,05) antara penggunaan APD dengan peraturan APD.

Kata Kunci : Alat Pelindung Diri (APD), perilaku, faktor internal dan faktor eksternal.

The Factors assosiated with The Use Personal Protective Equipment (PPE) of PT. X Finishing Workers in Apartemen Serpong Site, 2014

ABSTRACT

This study discusses the use personal protective equipment of PT. X finishing workers in Apartement Serpong site, 2014. The variables studied were internal factor (knowledge and attitude) and external factor (availability of PPE, comforbility of PPE, supervision and regulation PPE). The result of this study show that 36 of 50 workers (72%) don’t use PPE. The result of chi square test show that internal factor : there are no significant relationship between knowledge (p=0,623 > 0,05) and attitude (p=0,311 > 0,05) with the use personal protective equipment. External factor : there are significant relationship between availability of PPE (p=0,026 < 0,05), comfortability of PPE (p=0,039 < 0,05) and supervision (p=0,036 < 0,05) with the use personal protective equipment but there are no significant relationship between regulation PPE (p=0,607 > 0,05) with the use personal protective equipment.

(2)

Pendahuluan

Keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia masih sering terabaikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja.Trend kecelakaan kerja selama 6 tahun terakhir mengalami peningkatan. Data sepanjang tahun 2012 menyatakan bahwa terjadi 103.000 kasus kecelakaan kerja dimana setiap hari terdapat 9 orang peserta Jamsostek yang meninggal akibat kecelakaan kerja (Pos Kota, 2013).

Peningkatan angka kecelakaan kerja di Indonesia berdasarkan data Jamsostek dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2011 terjadi dikalangan perusahaan peserta program Jamsostek. Pada tahun 2007 terjadi 83.714 kasus kecelakaan kerja, tahun 2008 terjadi 94.736 kasus kecelakaan kerja, tahun 2009 terjadi 96.314 kasus kecelakaan kerja, tahun 2010 terjadi 98.711 kasus kecelakaan kerja dan pada tahun 2011 terjadi 99.491 kasus kecelakaan kerja atau rata-rata 414 kasus per hari (Dalimunthe, 2012).

Salah satu sektor yang menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi adalah sektor jasa konstruksi. Pada tahun 2009, sektor jasa konstruksi menempati urutan tertinggi dalam kecelakaan kerja, yakni sebesar 32% berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI. Sektor jasa konstruksi merupakan salah satu sektor industri yang paling berisiko terhadap kecelakaan kerja diantara sektor utama lain seperti : pertanian, perikanan, perkayuan, dan pertambangan. Tenaga kerja di sektor jasa konstruksi mencakup sekitar 7-8% dari jumlah tenaga kerja di seluruh sektor di Indonesia. Karakteristik proyek konstruksi yang bersifat unik, lokasi kerja yang berbeda-beda, terbuka dan dipengaruhi cuaca, waktu pelaksanaan yang terbatas, dinamis dan menuntut ketahanan fisik yang tinggi, serta banyak menggunakan tenaga kerja yang tidak terlatih merupakan penyebab utama kecelakaan kerja pada sektor jasa konstruksi. Selain itu, 53% diantara tenaga kerja di sektor jasa konstruksi hanya mengenyam pendidikan sampai dengan tingkat Sekolah Dasar, bahkan sekitar 1.5% dari tenaga kerja ini belum pernah mendapatkan pendidikan formal apapun. King and Hudson (1985) menyatakan bahwa pada proyek konstruksi, tingkat kematian di negara - negara berkembang tiga kali lipat dibandingkan dengan di negara – negara maju (Wirahadikusumah, 2005).

Pekerjaan – pekerjaan dalam pelaksanaan proyek konstruksi memiliki risiko yang cukup banyak. Kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara serta tertimpa atau benturan dengan benda – benda berat, tertusuk benda tajam pada area kaki merupakan risiko yang dapat terjadi pada proyek kostruksi. Kecelakaan kerja yang

(3)

ditimbulkan dari risiko seperti ini sering kali terjadi akibat tenaga kerja mengabaikan keselamatan dan kesehatan kerja, salah satunya penggunaan alat pelindung diri selama bekerja. Berdasarkan Permenaker No 8 Tahun 2010, Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang memiliki kemampuan untuk melindungi seseorang dan berfungsi untuk mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. APD merupakan garis pertahanan akhir yang digunakan ketika metode pengendalian engginering dan administrative tidak dapat mengurangi risiko, padahal risiko dari bahaya masih tergolong tinggi.

PT. X merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa konstruksi. Salah satu proyek konstruksi yang sedang berjalan saat ini yaitu pembangunan apartemen yang berlokasi Serpong dan memasuki pekerjaan finishing. Pekerjaan finishing dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pekerjaaan finishing bagian dalam dan pekerjaan finishing bagian luar bangunan. Finishing bagian dalam meliputi pekerjaan plester, pekerjaan tegel untuk lantai dan pekerjaan plafon sedangkan pekerjaan finishing bagian luar meliputi pekerjaan lapisan dinding bagian luar seperti pengecatan, pekerjaan panel dinding luar. Menurut safety officer pada proyek tersebut, salah satu pelanggaran yang sering dilakukan oleh pekerjabagian finishing adalah tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat berkerja.

Tinjauan Teoritis A. Perilaku

Perilaku adalah segala tindakan atau perbuatan yang dilakukan mahluk hidup. Perilaku pada dasarnya dapat diamati melalui sikap dan tindakan, namun tidak berarti bahwa bentuk perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi, dan persepsi. Perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi, dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio, dan budaya (Notoatmodjo, 2003).

B. Teori Perubahan Perilaku

Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor utama, yakni faktor perilaku (behavior

(4)

causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Green menganalisis bahwa faktor

perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor, antara lain :

1. Predisposing factors (faktor dari diri sendiri) adalah faktor-faktor yang mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran ataupun motivasi yang terdiri dari pengetahuan, sikap, persepsi, nilai, keyakinan, dan variabel demografi.

2. Enabling factors (faktor pemungkin) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku selamat, misalnya penyediaan APD, peraturan dan kemampuan sumber daya.

3. Reinforcing factors (faktor penguat) adalah faktor yang menentukan apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan. Pada program pendidikan keselamatan kerja dilakukan oleh teman kerja, pengawas, pimpinan, dan keluarga, pemberian reward dan

punishment.

Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi perilaku adalah persepsi, nilai, peralatan, sikap, keyakinan, perasaan, pemikiran dan kepribadian. Sedangkan faktor eksternal mencakup pelatihan, pengakuan, pengawasan dan kepatuhan terhadap peraturan. Selanjutnya Geller juga menyatakan bahwa perubahan perilaku sebaiknya menggabungkan pendekatan-pendekatan perilaku atau dengan kata lain memperbaiki aspek internal pekerja dan aspek eksternal pekerja. Jika hanya menggunakan satu pendekatan, tetap kemungkinan terjadi perubahan perilaku lebih maksimal dengan menggabungkan kedua aspek tersebut.

C. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perilaku 1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2003).

Penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan.

(5)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003).

2. Sikap

Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi, kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan situasisituasi dengan siapa ia berhubungan. Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan mudah terpengaruh terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen cognitive,

affective dan behaviour (Achmadi, 1985).

3. Ketersediaan Alat Pelindung Diri

Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan untuk mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012, pada lampiran II Pedoman penilaian penerapan SMK3, bagian A Kriteria Audit SMK3, poin 6 Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3, menyatakan bahwa alat pelindung diri disediakan sesuai kebutuhan dan digunakan secara benar serta selalu dipelihara dalam kondisi layak pakai. Selain itu, pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI nomor 8 Tahun 2010 pasal 2 ayat (1, 2 dan 3) menyatakan bahwa pengusaha wajib menyediakan APD sesuai dengan standar nasional Indonesia untuk seluruh pekerja/buruh di tempat kerja secara cuma – cuma.

4. Kenyamanan Alat Pelindung Diri

Menurut C.S.Lam and Y.K.Kam, alasan pekerja merasa tidak nyaman dalam menggunakan alat pelindung diri antara lain :

• Kondisi helm yang longgar sehingga ketika menengok kebawah, helm selalu terlepas. • Penggunaan kacamata membuat pandangan menjadi kabur

• Mobilisasi tubuh yang terbatas sebagai kendala dari penggunaan sabuk pengaman • Berkeringat dan masalah pernapasan ketika memakai masker di tempat kerja

(6)

• Ketidaknyamanan dalam kanal telinga

• Para pekerja juga mengeluhkan menghadapi masalah stres dalam memakai APD khususnya pada kondisi cuaca yang panas, terbatas dan ruangan yang berventilasi buruk .

Menurut Tanko and N.A. Anigbogu (2012), Sebagian besar pekerja merasa bahwa APD tidak nyaman. Hal ini disebabkan karena ukuran APD yang kebesaran/kekecilan, tidak dirancang untuk cuaca panas, berat ketika dipakai, memperlambat pekerjaan dan membatasi pergerakan.

5. Pengawasan

Pengawasan adalah kegiatan manajer yang mengusahakan agar pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan atau hasil yang dikehendaki. Agar pengawasan berhasil maka manajer harus melakukan kegiatankegaiatan pemeriksaan, pengecekan, pengcocokan, inspeksi, pengendalian dan pelbagai tindakan yang sejenis dengan itu, bahkan bilamana perlu mengatur dan mencegah sebelumnya terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya yang mungkin terjadi (Sarwoto, 1991).

Perilaku pekerja terhadap penggunaan APD sangat dipengaruhi oleh perilaku dari manajemen. Pengawas harus menjadi contoh yang pertama dalam menggunakan APD. Harus ada program pelatihan dan pendidikan ke pekerja dalam hal menggunakan dan merawat APD dengan benar (Wentz, 1998).

6. Peraturan APD

Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). Peraturan terkait APD di tempat kerja telah diatur melalui Undang-Undang, peraturan pemerintah dan Permenakertrans. Peraturan – peraturan beserta pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD, antara lain:

1. Undang-undang No. 1 tahun 1970

• Pasal 3 ayat (1) butir f menyatakan bahwa dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat untuk memberikan APD.

• Pasal 9 ayat (1) butir c menyatakan bahwa pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap pekerja baru tentang APD.

(7)

• Pasal 12 butir b menyatakan bahwa dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak pekerja untuk memakai APD.

• Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.

• Pasal 14 butir c menyatakan bahwa kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi pekerja untuk menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja.

2. Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012

Pada lampiran II Pedoman penilaian penerapan SMK3, bagian A Kriteria audit SMK3, poin 6 Keamanan Bekerja Berdasarkan SMK3, menyatakan bahwa alat pelindung diri disediakan sesuai kebutuhan dan digunakan secara benar serta selalu dipelihara dalam kondisi layak pakai. Alat pelindung diri yang digunakan dipastikan telah dinyatakan layak pakai sesuai dengan standar dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Permenaker RI nomor PER.08/MEN/VII/2010

• Pasal 2 ayat (1, 2 dan 3) menyatakan bahwa pengusaha wajib menyediakan APD sesuai dengan standar nasional Indonesia untuk seluruh pekerja/buruh di tempat kerja secara cuma – cuma.

• Pasal 5 menyatakan bahwa pengusaha atau pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja

• Pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa pekerja/buruh dan orang lain yang memasuki tempat kerja wajib memakai atau menggunakan APD sesuai dengan potensi bahaya dan risiko; ayat (2) menyatakan bahwa pekerja/buruh berhak menyatakan keberatan untuk melakukan pekerjaan apabila APD yang disediakan tidak memenuhi ketentuan dan persyaratan.

• Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa pengusaha atau Pengurus wajib melaksanakan manajemen APD di tempat kerja

(8)

§ Ayat (1) menyatakan bahwa APD yang rusak, retak atau tidak dapat berfungsi dengan baik harus dibuang dan/atau dimusnahkan.

§ Ayat (2) menyatakan bahwa APD yang habis masa pakainya/ kadaluarsa serta mengandung bahan berbahaya, harus dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan.

§ Ayat (3) menyatakan bahwa pemusnahan APD yang mengandung bahan berbahaya harus dilengkapi dengan berita acara pemusnahan.

D. Konstruksi

Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain (UU No.18 Tahun 1999). Menurut Asiyanto (2008) pekerjaan arsitektur dan finishing dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu pekerjaaan finishing bagian dalam dan pekerjaan finishing bagian luar bangunan. Finishing bagian dalam meliputi pekerjaan plester, pekerjaan tegel untuk lantai, pekerjaan plafon, dan yang lainnya sedangkan pekerjaan finishing bagian luar meliputi pekerjaan lapisan dinding bagian luar seperti pengecatan, pekerjaan panel dinding luar. Pekerjaan arsitektur dan finishing, antara lain :

1. Pekerjaan pemasangan bata/hebel (pekerjaan dinding)

Setelah pekerjaan struktur selesai, maka pekerjaan dinding dapat segera dimulai. Pekerjaan dinding yaitu pekerjaan pemasangan bata atau hebel untuk membentuk dinding sebagai penyekat atau pembatas ruangan.

2. Pekerjaan Plesteran

Pekerjaan plesteran dilakukan setelah pekerjaan dinding dilakukan atau dapat juga dilakukan sehari setelah dinding dipasang. Proses pelaksanaan pekerjaan plesteran yaitu : permukaan dinding di plester dengan campuran semen, air dan pasir kemudian diratakan. Setelah proses plesteran selesai dilakukan baru dilakukan proses pengacian dengan menggunakan campuran semen dan air.

3. Pekerjaan Lantai

Pekerjaan lantai yang dilakukan dalam proyek ini meliputi pekerjaan cor lantai,pekerjaan Plint keramik, pekerjaan pemasangan keramik lantai, pekerjaan pemasangan keramik dinding dan pemotongan keramik.

(9)

4. Pekerjaan  Pengecatan

Pekerjaan pengecatan dengan cat air dengan terlebih dahulu membersihkan permukaan dari kotoran – kotoran, dinding – dinding diratakan/dihaluskan dengan plamir, sebelum dicat dengan cat air dilakukan pengecatan dengan cat dasar.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan pendekatan semi kuantitatif dengan metode cross sectional. Penelitian ini dilakukan di proyek apartemen Serpong PT. X yang berlokasi di Serpong. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan April Tahun 2014. Populasi penelitian adalah pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong. Total populasi pekerja bagian finishing sebanyak 86 pekerja. Jumlah sampel yang diteliti dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis beda dua proposi dengan rumus sebagai berikut :

! = {!!!!/! !"  (! − !) + !!!! !! ! − !! + !!(! − !!} ! (!!− !!)!

Keterangan :

n = Jumlah sampel yang diteliti

Z1-α/2 = Derajat kepercayaan, CI 95% = 1,96, α = 5 %

Z 1-β = Kekuatan uji = 90%

P1 = Proporsi pekerja yang tidak menggunakan APD berdasarkan penelitian terdahulu = 81,1% (Tankoand N.A. Anigbogu, 2012)

P2 = Proporsi perilaku pekerja dilingkungan sekitar (karena tidak diketahui maka = 50%) (Ariawan, 1998)

Berdasarkan hasil perhitungan diatas, maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 47 orang. Untuk menghindari terjadinya missing, maka jumlah responden ditambahkan 3 orang sehingga jumlah sampel sebanyak 50 orang.

(10)

Hasil Penelitian

Tabel 1. Hubungan Antara Faktor Risiko yang Diteliti dengan Penggunaan APD Variabel Penggunaan APD Total OR (95% CI) Nilai p Menggunakan Tidak Menggunakan N % N % N % Pengetahuan Baik 5 27,8 13 72,2 18 36,0 0,983 (0,271-3,562) 0,623 Kurang Baik 9 28,1 23 71,9 32 64,0 Sikap Positif 6 23,1 20 72,0 26 52,0 0,600 (0,173-2,086) 0,311 Negatif 8 33,3 16 66,7 24 48,0 Ketersediaan APD Memadai 10 71,4 13 36,1 23 46,0 4,423 (1,153-16,964) 0,026 Kurang Memadai 4 28,6 23 63,9 27 54,0 Kenyamanan APD Nyaman 10 41,7 14 58,3 24 48,0 3,929 (1,029-14,992) 0,039 Kurang Nyaman 4 15,4 22 84,6 26 52,0 Pengawasan Baik 8 57,1 9 25,0 17 34,0 4,000 (1,090-14,675) 0,036 Kurang Baik 6 42,9 27 75,0 33 66,0 Ketersediaan APD Baik 4 28,6 10 71,4 14 28,0 1,040 (0,264 -4,092) 0,607 Kurang Baik 10 27,8 26 72,2 36 72,0 Pembahasan A. Penggunaan APD

Berdasarkan Permenaker No. 8 Tahun 2010, APD (Alat Pelindung Diri) adalah suatu alat yang memiliki kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensial bahaya di tempat kerja. Hasil penelitian yang dilakukan pada pekerjaa bagian finishing PT. X menunjukan bahwa dari 50 responden terdapat 36 responden (72%) yang tidak menggunakan APD dan 14 responden (28%) yang menggunakan APD. Jenis APD yang digunakan dari 14 responden (28%) antara lain : sepatu

(11)

bot sebanyak 5 responden (35,7%), helm sebanyak 4 responden (28,6%), helm dan sepatu bot sebanyak 4 responden (28,6%) serta body harness sebanyak 1 responden (7,1%).

Secara umum penggunaan APD pada sektor konstruksi masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa persentase penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di Proyek Apartemen Serpong pada tahun 2014 tergolong rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya komitmen pihak manajemen dan pihak Safety terhadap keselamatan dan kesehatan kerja khususnya dalam penggunaan APD.

B. Hubungan Antara Faktor Risiko yang Diteliti dengan Penggunaan APD 1. Pengetahuan dengan Penggunaan APD

Pengetahuan pekerja bagian finishing PT. X di proyek Apartemen Serpong tentang APD tergolong kurang baik. Tidak adanya pelatihan atau penyuluhan pada pekerja tentang APD merupakan salah satu penyebab rendahnya tingkat pengetahuan pekerja. Namun, jika dilihat dari data analisis statistik pada tabel 6.6, sebagian besar pekerja yang menggunakan APD memiliki pengetahuan kurang baik lebih banyak yaitu 28,1% dibanding pekerja yang memiliki pengetahuan baik. Hal ini menujukan walaupun pekerja memiliki pengetahuan baik tentang APD, tidak menyebabkan pekerja menggunakan APD.

Menurut Green dkk (1980), peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan sikap pada diri seseorang. Pengetahuan adalah sesuatu yang perlu, tetapi bukan merupakan faktor yang cukup untuk merubah sikap yang baik. Perlu ada “isyarat” yang cukup kuat untuk seseorang untuk bertindak sesuai dengan pengetahuannya.

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan pengetahuan pekerja bagian finishing pada tabel 6.6 menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,623 > 0,05) dengan nilai OR = 0,983 (95%CI : 0,271-3,562), OR : 0,983 = 1 artinya tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan penggunaan APD. Penelitian lain menyatakan hal yang berbeda, Ruhyandi dan Evi Candra (2008) yaitu terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan pengetahuan sedangkan penelitian Arifin, A. Bustanul dan Arif Susanto (2012) dan Sumarna, dkk (2013) menyatakan hal yang sejalan dengan penelitian ini bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dan pengetahuan.

Notoatmodjo (1983) mengatakan bahwa perilaku yang didasari pada pengetahuan akan lebih langgeng (long lasting) dibandingkan dengan perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin tinggi pengetahuan seseorang diharapkan perilakunya juga akan

(12)

semakin baik. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku seseorang, bila pekerja mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap potensi ataupun sumber bahaya yang ada dilingkungan kerjanya, maka individu tersebut akan cenderung membuat suatu keputusan yang salah.

Pada dasarnya pekerja bagian finishing mengetahui bahaya yang ada ditempat kerja tetapi mereka cenderung mengabaikan keselamatan dan keselamatan di tempat kerja sehingga mereka merasa sudah terbiasa tidak menggunakan APD dengan lengkap dan benar serta menaruh alat pelindung diri sembarangan. Hal ini dikarenakan pekerja merasa mengenal dengan baik area kerjanya sehingga belum menyadari pentingnya APD serta mengganggap bahwa terjadinya kecelakaan atau penyakit akibat kerja memang sudah risiko dari pekerjaan.

2. Sikap dengan Penggunaan APD

Sikap pekerja bagian finishing PT. X di proyek Apartemen Serpong mengenai APD tergolong positif. Hasil data statistik pada tabel 6.6 menunjukan bahwa pekerja yang menggunakan APD memiliki sikap negatif yaitu 33,3% lebih banyak dibanding dengan pekerja yang menggunakan APD memiliki sikap positif. Hal ini menunjukan walaupun pekerja memiliki sikap positif tentang APD, tidak menyebabkan pekerja menggunakan APD.

Sikap positif dan negatif terhadap suatu nilai tidak selalu terwujud dalam suatu tindakan nyata, sikap akan terwujud di dalam suatu tindakan tergantung pada situasi tertentu, pengalaman orang lain dan pengalaman dirinya, serta nilai-nilai yang berlaku di masyarakat (Notoatmodjo,2003).

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan sikap pekerja bagian finishing pada tabel 6.6 menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,311 > 0,05) dengan nilai OR = 0,6 (95%CI : 0,173-2,086), artinya responden yang menyatakan sikap negatif mengenai APD cenderung 0,6 kali untuk tidak menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap positif. OR = 0,6 <1 bersifat protektif, berarti sikap memiliki sifat melindungi yaitu semakin positif sikap pekerja maka diharapkan semakin menurun pekerja yang tidak menggunakan APD. Penelitian lain menyatakan hal yang berbeda, Ruhyandi dan Evi Candra (2008) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan sikap.

(13)

Sarwono (1997) memaparkan sikap secara umum dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek, atau situasi tertentu. Sikap tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya.

3. Ketersediaan APD dengan Penggunaan APD

Ketersedian APD menurut pekerja bagian finishing tergolong kurang memadai. Hasil data statistik tabel 6.6 menunjukan bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD menyatakan ketersedian kurang memadai yaitu 63,9% lebih banyak dibanding pekerja yang menyatakan memadai. Hal ini berbanding terbalik dengan pekerja yang menggunakan APD menyatakan memadai yaitu 71,4% lebih banyak daripada pekerja yang menyatakan kurang memadai. Hal ini menunjukan bahwa pekerja yang menyatakan ketersediaan APD memadai cenderung menggunakan APD. Begitupula sebaliknya, pekerja yang menyatakan ketersediaan APD kurang memadai cenderung tidak menggunakan APD.

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan ketersediaan APD pada tabel 6.6 menunjukan ada hubungan yang bermakna (p=0,026 < 0,05) dengan nilai OR = 4,42 (95%CI : 1,153-16,964), artinya responden yang menyatakan ketersediaan APD kurang memadai cenderung 4,42 kali untuk tidak menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan ketersediaan APD yang baik.

Penelitian lain menyatakan hal yang sama, Arifin, A. Bustanul dan Arif Susanto (2012) dan Sumarna, dkk (2013) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pengunaan APD dengan ketersediaan APD. Berbeda dengan penelitian dari Ruhyandi dan Evi Candra (2008) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara penggunaan APD dengan ketersediaan APD. Ketersediaan APD merupakan salah satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana menurut Notoadmodjo (2003), suatu perilaku belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan jika tidak terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku tersebut.

Secara umum perusahaan telah menyediakan APD sesuai dengan peraturan yang diwajibkan pemerintah yaitu UU No. 1 tahun 1970 pada pasal 14 butir c menyatakan bahwa kewajiban pengurus menyediakan alat pelindung diri dan wajib bagi pekerja untuk

(14)

menggunakannya untuk pencegahan penyakit akibat kerja serta Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 menyatakan bahwa alat pelindung diri disediakan sesuai kebutuhan dan digunakan secara benar serta selalu dipelihara dalam kondisi layak pakai. Alat pelindung diri yang digunakan dipastikan telah dinyatakan layak pakai sesuai dengan standar dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan petugas safety officer, APD yang disediakan, antara lain : helm, masker, sarung tangan, kacamata dan body harness khusus untuk pekerja di gondola, sedangkan sepatu (sepatu bot atau sepatu safety) disediakan oleh mandor. APD yang disediakan oleh perusahaan telah diberikan kepada pekerja. Namun pada prosesnya, pekerja tidak dapat menjaga dan menyimpan APD dengan baik seperti hilang dan rusak. Jika hal ini sering berlanjut maka stok APD akan semakin berkurang dan akan terjadi pemborosan yang dapat menyebabkan kerugian pada perusahaan sehingga APD seperti helm hanya diberikan satu kali pada pekerja dan apabila rusak atau hilang menjadi tanggung jawab mandor atau pekerja itu sendiri. Oleh karena itu, pekerja sebaiknya menggunakan dan menjaga APD dengan sebaik mungkin agar APD tetap berada dalam kondisi yang layak untuk digunakan. Selain itu, menurut safety officer di proyek tersebut, waktu pengadaan yang lama dan jumlah ketersediaan helm yang terbatas menjadi salah satu faktor ketersediaan APD kurang memadai.

4. Kenyamanan APD dengan Penggunaan APD

Kenyamanan APD menurut pekerja bagian finishing tergolong kurang nyaman. Hasil data statistik pada tabel 6.6 menunjukan bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD merasa kurang nyaman yaitu 84,6% lebih banyak dibanding pekerja yang merasa nyaman. Hal ini berbanding terbalik dengan pekerja yang menggunakan APD merasa nyaman yaitu 41,7% lebih banyak dibanding pekerja yang merasa kurang nyaman. Pekerja yang merasa APD kurang nyaman cenderung tidak menggunakan APD sedangkan pekerja yang merasa APD nyaman cenderung menggunakan APD.

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan kenyamanan APD pekerja bagian finishing pada tabel 6.6 menunjukan ada hubungan yang bermakna (p=0,039 <0,05) dengan nilai OR = 3,92 (95%CI : 1,029-14,992), artinya responden yang merasa APD kurang nyaman digunakan cenderung 3,92 kali untuk tidak menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang merasa APD nyaman digunakan. Penelitian

(15)

lain menyatakan hal yang sejalan, Arifin, A. Bustanul dan Arif Susanto (2012) dan Sumarna, dkk (2013) yaitu terdapat hubungan antara penggunaan APD dengan kenyamanan APD.

Hasil wawancara dengan pekerja mengenai kenyamanan APD, alasan pekerja bagian finishing merasa APD kurang nyaman, antara lain : helm yang digunakan terasa kebesaran dan tidak ada tali yang menahan ke dagu. Ketika mereka bekerja dengan posisi menunduk, terkadang helm terlepas dan terjatuh dari kepala sehingga sebaiknya helm yang disediakan perusahaan memiliki tali pengait ke dagu. Selain itu, penggunaan Body

harness ketika bekerja di gondola membuat pekerja yang bekerja di area terbatas semakin

menjadi terbatas karena sulit bergerak. Sepatu bot yang digunakan ketika bekerja jongkok terasa tidak nyaman dan menggganggu. Selain itu, pekerjaan yang dilakukan di dalam ruangan membuat penggunaan APD terasa panas atau gerah jika digunakan.

5. Pengawasan dengan Penggunaan APD

Pengawasan APD menurut pekerja bagian finishing tergolong kurang baik. Hasil data statistik pada tabel 6.6 menunjukan pekerja yang tidak menggunakan APD menyatakan pengawasan kurang baik yaitu 75% lebih banyak dibanding pekerja yang menyatakan pengawasan baik. Hal ini berbanding terbalik dengan pekerja yang menggunakan APD menyatakan pengawasan baik yaitu 57,1% lebih banyak daripada pekerja yang menyatakan pengawasan kurang baik. Hal ini menunjukan pekerja yang menyatakan pengawasan kurang baik cenderung tidak menggunakan APD sedangkan pekerja yang menyatakan pengawasan baik cenderung menggunakan APD.

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan pengawasan pada table 6.6 menunjukan ada hubungan yang bermakna (p=0,036 < 0,05) dengan nilai OR = 4 (95%CI : 1,090-14,675) artinya responden yang menyatakan pengawasan yang kurang baik cenderung 4,000 kali untuk tidak menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan pengawasan yang baik.

Perilaku pekerja terhadap penggunaan APD sangat dipengaruhi oleh perilaku dari manajemen. Pengawas harus menjadi contoh yang pertama dalam menggunakan APD. Harus ada program pelatihan dan pendidikan ke pekerja dalam hal menggunakan dan merawat APD dengan benar (Wentz, 1998).

(16)

Berdasarkan hasil wawancara dengan safety officer, pengawasan APD di proyek Apartemen Serpong jarang dilakukan dan tidak rutin. Selain itu, pengawasan APD hanya dilakukan oleh petugas safety saja. Hal ini menunjukan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja dalam penggunaan APD hanya menjadi tanggung jawab petugas safety saja. Padahal jika pengawasan juga dibantu oleh beberapa pihak seperti petugas keamanan (security) dan mandor membuat penggunaan APD menjadi lebih efektif dan efisien. Kurangnya koordinasi antara petugas keamanan (security) pada pintu gerbang membuat pekerja dapat masuk tanpa menggunakan APD serta mandor yang membiarkan pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja. Selain itu, tidak adanya teguran jika tidak menggunakan APD menjadi salah satu faktor pekerja banyak yang tidak menggunakan APD. Padahal dengan adanya pengawasan beserta teguran secar akonsisten dan tegas, diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran dan motivasi para pekerja.

6. Peraturan APD dengan Penggunaan APD

Peraturan APD menurut pekerja bagian finishing tergolong kurang baik. Hasil data satistik pada tabel 6.6 menunjukan bahwa pekerja yang tidak menggunakan APD menyatakan peraturan APD kurang baik yaitu 72,2% lebih banyak dibanding pekerja yang menyatakan peraturan APD baik. Hal ini sama dengan pekerja yang menggunakan APD menyatakan peraturan kurang baik yaitu 27,8% lebih banyak dibanding pekerja yang menyatakan peraturan APD baik.

Hasil analisis statistik hubungan antara penggunaan APD dengan peraturan APD menunjukan ada hubungan yang bermakna (p=0,607 > 0,05) dengan nilai OR = 1,04 (95%CI : 0,264 -4,092), artinya responden yang menyatakan peraturan APD kurang baik cenderung 1,040 kali untuk tidak menggunakan APD dibandingkan dengan responden yang menyatakan peraturan baik. OR : 1,04 = 1, berarti tidak ada hubungan antara peraturan dengan penggunaan APD

Penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyatakan bahwa salah satu strategi perubahan perilaku dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Hal ini dikarenakan pekerja mematuhi peraturan dengan tidak dilandasi oleh kesadaran pada dirinya sendiri. Dalam hal ini, perubahan perilaku yang tidak disadari oleh kesadaran sendiri tidak akan berlangsung lama.

(17)

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970, pemerintah mewajibkan perusahaan untuk menyelenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja pasal 13 menyatakan “Barangsiapa yang memasuki tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan menggunakan alat pelindung diri yang diwajibkan” sedangkan Berdasarkan Permenaker RI nomor PER.08/MEN/VII/2010 pada pasal 5 menyatakan bahwa “pengusaha atau pengurus wajib mengumumkan secara tertulis dan memasang rambu-rambu mengenai kewajiban penggunaan APD di tempat kerja”.

Hasil wawancara dengan petugas safety officer menyatakan bahwa perusahaan telah menyelenggarakan upaya wajib menggunakan APD ketika memasuki area kerja. Namun, pada pelaksanaannya hal tersebut tidak berjalan dengan baik dikarenakan kurang koordinasi antara petugas keamanaan (security) di pintu gerbang dengan petugas safety sehingga pekerja yang tidak menggunakan APD dapat memasuki area kerja. Perusahaan juga telah mengumumkan kewajiban penggunaan APD ditempat kerja dengan melakukan sosialisasi ketika safety talk pada pekerja yang dilaksanakan setiap minggu pada hari Jumat oleh petugas safety. Namun dari hasil observasi peneliti, perusahaan tidak memasang rambu-rambu atau tanda-tanda mengenai wajib APD baik di pintu gerbang maupun didaerah yang berisiko atau daerah wajib APD. Hasil wawancara dengan safety

officer mendukung pernyataan tersebut karena lokasi pintu gerbang yang berubah – ubah

sejak awal pembangunan sampai saat ini sehingga ketika terakhir pintu gerbang berubah maka tidak dipasang lagi karena waktu pembangunan yang sebentar lagi akan berakhir sehingga rambu atau tanda mengenai wajib APD tidak lagi dipasang. Selain itu, tidak ada peringatan tertulis baik lisan maupun tulisan serta sanksi atau hukuman jika pekerja tidak menggunakan APD selama bekerja sehingga tidak memberikan efek jera terhadap pekerja yang tidak menggunakan APD.  

(18)

Kesimpulan

Dari hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan alat pelindung diri pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014, dapat disimpulkan antara lain :

1. Secara umum penggunaan alat pelindung diri pada pekerja Bagian finishing PT. X masih kurang, dari 50 responden didapatkan 36 responden (72%) tidak menggunakan APD. 2. Hubungan antara penggunaan APD dengan faktor internal menunjukan bahwa :

a. Tidak terdapat hubungan yang bermakna (p=0,623 > 0,05) antara pengetahuan dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014.

b. Tidak terdapat hubungan yang bermakna (p=0,311 > 0,05) antara sikap dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014.

3. Hubungan antara penggunaan APD dengan faktor eksternal menunjukan bahwa :

a. Terdapat hubungan yang bermakana (p=0,026 < 0,05) antara ketersediaan APD dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014.

b. Terdapat hubungan yang bermakna (p=0,039 < 0,05) antara kenyamanan APD dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014.

c. Terdapat hubungan yang bermakna (p=0,036 < 0,05) antara pengawasan dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014.

d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna (p=0,607 > 0,05) antara peraturan APD dengan penggunaan APD pada pekerja bagian finishing PT. X di proyek apartemen Serpong tahun 2014

Saran

A. Bagi Perusahaan

1. Pemasangan rambu/tanda wajib menggunakan APD pada pintu gerbang dan area yang berisiko tinggi yang mewajibkan pekerja menggunakan APD yang sesuai potensi bahaya.

(19)

2. Meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan APD secara rutin.

3. Sebaiknya petugas safety berkoordinasi dengan mandor dan petugas keamanan (security) di pintu gerbang mengenai pemeriksaan dan pengawasan penggunaan APD pada pekerja sehingga pekerja yang tidak menggunakan APD secara lengkap dapat disaring di pintu depan.

4. Mengadakan pelatihan/penyuluhan bagi pekerja tentang APD atau memberikan safety

induction tentang APD pada pekerja yang baru, untuk meningkatkan pengetahuan pekerja

sehingga diharapkan menumbuhkan kesadaran pekerja menggunakan APD.

5. Memberikan teguran, peringatan dan sanksi kepada pekerja yang tidak menggunakan APD sehingga memberikan efek jera pada pekerja.

B. Bagi Pekerja

Sebaiknya pekerja menyimpan dan menjaga APD yang diberikan oleh perusahaan dengan baik dan benar, menaati peraturan dan prosedur yang berlaku mengenai penggunaan APD.

Referensi

Achmadi, Umar Fahmi. 1985. Strategi Pengamanan Keracunan Pestisida. Jakarta : UI.

Arifin, A. Bustanul dan Arif Susanto. 2012. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kepatuhan Pekerja Dalam Pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) Di Bagian Coal Yard Pt X Unit 3 & 4 Kabupaten Jepara Tahun 2012. Jurnal Kesehatan Masyarakat 2013,

Volume 2, Nomor 1, Tahun 2013. Online di http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm Asiyanto. 2008. Metode Konstruksi Gedung Bertingkat. UI-Press: Jakarta.

C.S. Lam and Y.K. Kam. Safety Training to Improve Construction Worker Behaviour dalamhttp://158.132.155.107/oess/POSH/conferences/ANZAOHSE/ANZAOHSEProceed ings/Hyperlinks/Full%20Proceedings/Lam%20&%20Kam.PDF diakses tanggal 24 Maret 2014.

Dalimunthe, M.E. 2012. Analisis Trend Kecelakaan Kerja Dari Tahun 2007 Sampai Dengan

Tahun 2011 Berdasarkan Data PT Jamsostek (Persero) Kantor Cabang Gatot Subroto I.

Tesis Program Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja Universitas Indonesia. Geller, E Scoot. 2001. The Pshychology Of Safety Handbook. USA : Lewis Publisher

Green, Lawrence, dkk. 1980. Diterjemahkan oleh Zulazmi hamdy, Zarfiel Tafal, dan Sudarti Kresno. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Sebuah Pendekatan Diagnostik.. Jakarta:

(20)

Proyek Pengembangan Fakultas Kesehatan Masyarakat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Pos Kota. 2013. Setiap Hari Ada 9 Peserta Jamsostek Tewas Kecelakaan Kerja dalam

http://www.jamsostek.co.id/content/news.php?id=3957 di akses tanggal 15 Maret 2014. Ruhyandi dan Evi Candra. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Kepatuhan

Penggunaan APD Pada Karyawan Bagian Press Shop Di PT. Almasindo II Kabupaten Bandung Barat Tahun 2008.Jurnal Kesehatan Kartika Stikes A. Yani.

Sarwoto. 1991. Dasar-Dasar Organisasi Dan Manajemen. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Suma’mur. 1996. Keselamatan Kerja dan pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT Toko Gunung Agung

Sumarna, Diah Pithaloka, M. Furqaan Naiem dan Syamsiar S. Russeng. 2013. Determinan Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) Pada Karyawan Percetakan Di Kota Makassar. Junal Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM Unhas, Makassar

Tanko, Bruno L. dan N.A. Anigbogu. 2012. The Use of Personal Protective Equipment (PPE)

on Construction Sites in Nigeria. Department of Building, University of Jos, Jos, Nigeria

dalam www.waberconference.com/index.php? Diakses tanggal 26 Maret 2014.

Wentz, Charles A. 1998. Safety Health And Environmental Protection. International Editions 1999. Penerbit McGraw-Hill Book Co Singapore.

Wirahadikusumah, Reini D. 2005. Tantangan Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada

Proyek Konstruksi di Indonesia. Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi

Bandung dalam http://www.ftsl.itb.ac.id/kk/manajemen_dan_rekayasa _konstruksi/wp-content/uploads/2007/05/makalah-reini-d-wirahadikusumah.pdf di akses tanggal 26 Maret 2014.

Gambar

Tabel 1. Hubungan Antara Faktor Risiko yang Diteliti dengan Penggunaan APD

Referensi

Dokumen terkait

Seluruh pihak independen anggota komite pemantau risiko tidak memiliki hubungan keuangan, kepengurusan, kepemilikan saham, dan atau hubungan keluarga dengan dewan

Pada hari ini, Senin tanggal Dua bulan Mei tahun Dua Ribu Enam Belas (02-05-2016) dimulai pukul 09.00 WIB, Kami yang bertanda tangan di bawah ini Kelompok Kerja

Proses Pembentukan Parameter Karateristik Citra bertujuan untuk menentukan parameter-parameter karateristik citra darah tersebut dan merupakan tahap yang paling

Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam proses Implementasi Program Pembangunan Insfrastruktur Pedesaan Oleh Aparatur Pemerintah Desa di Desa Darmacaang Kecamatan Cikoneng

Giovani Juli Adinatha VARIASI BENTUK PENAMAAN BADAN USAHA BERBAHASA JAWA: STRATEGI PEMERTAHANAN BAHASA JAWA DI KOTA SEMARANG Maklon Gane THE COMPLEXITY OF LOLODA PRONOMINAL

Tetapi kalau konsepsi siswa bertentangan dengan konsepsi para fisikawan, maka kita menggunakan istilah miskonsepsi ( misconception ). Banyak konsepsi dan miskonsepsi

Tulisan ini adalah skripsi yang disusun berdasarkan hasil penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan Produksi Bawang Merah ( Allium cepa L.) Lokal Samosir Pada Berbagai Ukuran

semua elemen yang dibutuhkan seperti gambar, teks dan icon. –