• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Strategi Perubahan Sosial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Strategi Perubahan Sosial"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI STRATEGI

PERUBAHAN SOSIAL : UPAYA PENGEMBANGAN

TINDAKAN KOMUNIKATIF DALAM MEMBANGUN POLA

DEMOKRASI DELIBERATIF DENGAN MODEL PEOPLE

CENTERED DEVELOPMENT

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEBAGAI STRATEGI PERUBAHAN SOSIAL : UPAYA PENGEMBANGAN TINDAKAN KOMUNIKATIF DALAM MEMBANGUN POLA DEMOKRASI DELIBERATIF DENGAN MODEL PEOPLE CENTERED DEVELOPMENT

Oleh : Iwan Ismi Febriyanto

Abstraksi

Demokrasi akhir-akhir ini memang sedang menjadi sorotan berbagai ilmuwan tentang

eksistensinya dalam menjawab berbagai permasalahan, terutama di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bahwasannya demokrasi kita hari lebih mengarah pada demokrasi yang sifatnya prosedural ketimbang substansial. Demokrasi hari ini mengalami pemahaman yang dangkal dibalik tujuan awalnya yang baik dalam upaya peningkatan kesejahteraan bangsa. Demokrasi yang esensinya adalah dengan

mengedepankan masyarakat, hari telah banyak ternodai oleh berbagai oknum elit politik yang

pemikirannya dangkal. Ini semua dibuktikan dengan meningkatnya korupsi, bukan hanya meningkat, tapi juga menyebar keberbagai daerah dan lebih terstruktur. Ini semua sejatinya bisa diselesaikan atau diminimalisir jika masyarakat kita sudah terberdayakan dengan baik dalam segi wacana maupun pemikirannya.

Langkah konkret yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip

people-centered-development yang bisa diimplementasikan dalam bentuk membangun tindakan komunikatif di seluruh elemen masyarakat dalam upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan terbentuknya pola pemikirannya yang komunikatif antara pemerintah dan masyarakat, maka akan tumbuh apa yang disebut Habermas sebagau Demokrasi Deliberatif.

Kata Kunci : Demokrasi Deliberatif, People-Centered-Development, Tindakan Komunikatif, Pemberdayaan Masyarakat.

Pendahuluan

Dewasa ini, tentunya kita sering mendengar demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Banyak elemen-elemen masyarakat yang ikut turut andil dalam beberapa aksi turun jalan, mulai dari kaum intelektual (mahasiswa) sampai pada tataran buruh yang bekerja di berbagai perusahaan. Selain dari pada itu, masih banyak sekali kasus-kasus yang terjadi yang muncul karena berbagai polemik pada bidang kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah selaku pemegang kendali kebijakan publik. Padahal, ketika menelisik dari sistem demokrasi yang telah diterapkan oleh Indonesia hal semacam ini harusnya bisa diminimalisir. Karena seperrti yang kita ketahui bahwasannya, demokrasi adalah sistem yang mengatasnamakan rakyat dalam pemegang penuh kebijakan yang ada di Indonesia. Yang kemudian ditransformasikan semboyan “dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh

rakyat”. Inilah yang seharusnya menjadi patokan dari suatu negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia. Dimana penentu arah kebijakan adalah terpusat pada kebutuhan rakyatnya, bukan hanya elit atau para ekonom-ekonom yang bergerak dibidang swasta.

(2)

Kita bisa ambil contoh di Malang, bagaimana relokasi pasar dinoyo yang banyak kalangan dinilai sepihak dan menguntungkan investor besar. Peran yang kemudian harus dilakukan oleh pemerintah kota setempat harusnya melakukan proses hearing terlebih dahulu terhadap para pedagang yang ada disana untuk kemudian melakukan proses penerapan kebijakan yang benar-benar sesuai untuk kesejahteraan rakyat kecil. Inilah salah satu dari banyak kasus yang terjadi di Indonesia saat ini, bagaimana

pengesampingan peran masyarakat kalangan menengah kebawah yang memang kurang terakomodasi akibat sentralisasi ekonomi pada kalangan menengah keatas.

Dalam tulisan, setidaknya penulis akan mengajak para pembaca untuk kemudian meregulasi ulang proses pengambilan kebijakan publik yang ada di Indonesia. Yaitu dengan memasukkan nilai demokrasi deliberatif yang telah dicetuskan oleh Juergen Habermas dengan proses pembangunan yang berpusat pada kebutuhan masyarakat atau people-centered development. Karena jika kita lihat sekilas dari kedua istilah ini, banyak keterkaitan yang harus kita teliti secara bersama-sama untuk kemudian memunculkan ide sebagai solusi atas segala permasalahan yang ada di Indonesia. pertanyaan yang kemudian muncul sekarang adalah apakah sebenarnya pengertian dari demokrasi deliberatif tersebut ? bagaimana skema deliberative ini dalam hal kebijakan publik ? apa yang menajdi penghubung antara demokrasi deliberatif dengan model pembangunan yang berpusat pada kebutuhan masyarakat ? dan yang terakhir adalah apakah hambatan-hambatan yang akan ditemui untuk merealisasikan kedua sistem ini ?

Pertanyaan-pertanyaan diatas akan menjadi pertanyaan pokok yang kemudian akan penulis coba untuk membedah dan menjawab berbagai masalah yang tadi coba penulis utarakan diatas.

Pembahasan Kerangka Teoritis

Sebelum kita menginjak pada tataran pembahasan mengenai konsep pemberdayaan masyarakat melalui tindakan komunikatif dalam membentuk sistem demokrasi yang deliberatif tersebut, maka

sebelumnya penulis akan terlebih dahulu melakukan pembedahan mengenai kerangka teoritis yang akan kita pergunakan sebagai pisau analisis dalam upaya membentuk dan mengembangkan masyarakat sebagai strategi perubahan sosial di Indonesia.

- Ruang Publik dan Demokrasi Deliberatif

Kebijakan deliberatif merupakan bentuk derivasi dari demokrasi deliberatif. Sementara demokrasi deliberatif berakar pada konsepsi ―ruang publik‖ (public sphere) dari Habermas (2007a, 2007b, 2008). Demokrasi deliberatif mengutamakan penggunaan tata cara pengambilan keputusan yang menekankan musyawarah dan penggalian masalah melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para pihak dan warga negara (stakeholder).

[1]

Tujuannya untuk mencapai mufakat melalui musyawarah berdasarkan hasil-hasil diskusi dengan mempertimbangkan berbagai kriteria. Keterlibatan warga (citizen engagement) merupakan inti dari demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif berbeda dengan demokrasi perwakilan, yang menekankan keterwakilan (representation), prosedur pemilihan perwakilan yang ketat, dan

mengenal istilah mayoritas dan minoritas. Demokrasi deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide dan antarpihak, sedangkan kata kunci demokrasi perwakilan adalah kompetisi antar-ide dan antarkelompok.

Jika demokrasi perwakilan ditandai oleh kompetisi politik, kemenangan, dan kekalahan satu pihak, maka demokrasi deliberatif atau demokrasi musyawarah lebih menonjolkan argumentasi, dialog, saling menghormati, dan berupaya mencapai titik temu dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang dan kekuasaan), dan elite-elite politik, sedangkan demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi dan keterlibatan langsung warga negara. Menurut

(3)

Pierre & Peters (2000), munculnya ide pemikiran demokrasi deliberatif tidak lepas dari cara berpikir komunitarian. Lebih lanjut menurut mereka:

In some ways ideas about deliberative democracy comprise a subset of communitarian thinking. The basic idea of creating a locus for making decisions at a low level of aggregation appears compatible with communitarian thinking. What is most fundamental to the practice of deliberative democracy, however, is a process of involving the public in making decisions through open debate and dialogue. This process is in contrast to representative democracy in which the public is involved only as voters selecting the elites who will later make the decisions. It is also in contrast to direct democracy in which the public make decisions themselves, but do so with little or no collective deliberation or confrontation of alternative views on the issues.

[2]

Sejalan dengan pemikiran Pierre & Peters tadi, secara lebih spesifik dalam kaitannya dengan kebijakan publik deliberatif, pengertian demokrasi deliberatif diuraikan Hardiman (2004) sebagai berikut: Apa itu demokrasi deliberatif? Kata ―deliberasi‖ berasal dari kata latin deliberatio yangartinya ―konsultasi‖, ―menimbang-nimbang‖ atau ―musyawarah‖. Demokrasi bersifatdeliberatif, jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebihdahulu lewat konsultasi publik atau lewat – dalam kosakata teoretis Habermas –―diskursus publik‖. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasiwarga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini (oefentlicher

Meinungs-undWillensbildungsprozess) agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkanoleh pihak

yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah.[3]

Kemudian untuk dapat mengidentifikasi sebuah proses pengambilan keputusan dapat dikategorikan sebagai proses yang memenuhi kriteria sebagai proses demokrasi deliberatif, maka menurut Carson & Karp (2005:122) haruslah memenuhi tiga kriteria tertentu. Mereka mengungkapkan sebagai berikut:

These can be thought of as three criteria for a fully democratic deliberative process: (1) Influence: The process should have the ability to influence policy and decision making;(2) Inclusion: The process should be representative of the population and inclusive to diverse viewpoints and values, providing equal opportunity for all participate; (3) Deliberation: The process should provide open dialogue, access to information, respect, space to understand and reframe issues, and movement toward consensus.

[4]

Ketiga kriteria: influence, inclusion dan deliberation di atas dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengidentifikasi sejauh mana sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu lembaga atau komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif. Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas dapat dikategorikan ke dalam proses demokrasi deliberatif yang berkualitas, Fishkin (2009) mengemukakan dibutuhkannya lima kondisi:

By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered on the merits regardless of which participants offer

them (Fishkin 2009:33-34,126,160).

[5]

Teori demokrasi deliberatif tidak memfokuskan pandangannya dengan aturan-aturan tertentu yang mengatur warga, tetapi sebuah prosedur yang menghasilkan aturan-aturan itu.Teori ini membantu

(4)

untuk bagaimana keputusan-keputusan politis diambil dan dalam kondisi bagaimanakah aturan-aturan tersebut dihasilkan sedemikian rupa sehingga warganegara mematuhi peraturan-peraturan

tersebut.Dengan kata lain, demokrasi deliberatif meminati kesahihan keputusn-keputusan kolektif itu.Secara tidak langsung, opini-opini publik di sini dapat mengklaim keputusan-keputusan yang membuat warga mematuhinya.

Di dalam demokrasi deliberatif, kedaulatan rakyat dapat mengkontrol keputusan-keputusan mayoritas.Kita sebagai rakyat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh orang-orang yang memegang mandat.Jika kita berani mengkritisi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, maka secara tidak langsung kita sudah menjadi masyarakta rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi memiliki fungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika kita berani mengkritik kebijakan-kebijakan yang legal itu, secara tidak langsung kita sudah tunduk terhadap sistem.

Konsepan yang seperti inilah yang memang sekiranya patut untuk kemudian dipraktekan dalam rangka merekonstruksi kondisi politik dinegara kita. Artinya, ketika mungkin suatu opini publik sudah mulai banyak berkembang, tentunya mereka akan secara otomatis melakukan kontrol terhadap segala jenis kebijakan yang akan maupun telah ditetapkan oleh birokrasi pemerintahan. Dan inilah yang akan menjadikan upaya untuk mendemokratitasi negara Indonesia menjadi lebih baik untuk kedepannya. Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bagaimana nantinya kita harus senantiasa mencoba untuk kemudian merubah pola berpikir masyarakat yang memang masih terkesan konservatif dan belum mampu untuk berfikir jauh kedepan. Kita bisa mencoba menarik ini dengan menggunakan paradigm teori tindakan komunikatif Jurgen Habermas.

Tindakan komunikatif memiliki 2 aspek, aspek teleologis yang terdapat pada perealisasian tujuan seseorang (atau dalam proses penerapan rencana tindakannya) dan aspek komunikatif yang terdapat dalam interpretasi atas situasidan tercapainya kesepakatan. Dalam tindakan komunikatif, partisipan menjalankan rencananya secara kooperatif berdasarkan definisi situasi bersama. Jika definisi situasi bersama tersebut harus dinegosiasikan terlebih dahulu atau jika upaya untuk sampai pada kesepakatan dalam kerangka kerja definisi situasi bersama gagal, maka pencapaian konsensus dapat menjadi tujuan tersendiri., karena konsensus adalah syarat bagi tercapainya tujuan. Namun keberhasilan yang dicapai oleh tindakan teleologis dan konsensus yang lahir dari tercapainya pemahaman merupakan kriteria bagi apakah situasi tersebut telah dijalani dan ditanggulangi dengan baik atau belum. Oleh karen itu, syarat utama agar tindakan komunikatif bisa terbentuk adalah partisipan menjalankan rencana mereka secara kooperatif dalam situasi tindakan yang didefiniskan bersama. Sehingga mereka bisa menghindarkan diri dari dua resiko, resiko tidak tercapainya pemahaman (ketidaksepakatan atau ketidaksetujuan) dan resiko pelaksanaan rencana tindakan secara salah (resiko kegagalan).

- People Centered Development

Peran serta masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan daerah merupakan salah satu syarat mutlak dalam era kebebasan dan keterbukaan ini. Pengabaian terhadap faktor ini, terbukti telah

menyebabkan terjadinya deviasi yang cukup signifikan terhadap tujuan pembangunan itu sendiri yaitu keseluruhan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemborosan keuangan negara merupakan implikasi lain deviasi tersebut. Proses pelibatan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasi proyek-proyek pembangunan di tingkat kabupaten/kota, terbukti telah berhasil membawa perubahan-perubahan mendasar dalam peningkatan kesejahteraan keluarga-keluarga pedesaan (John Clark:1995; John Friedmann:1992).

[6]

Lebih lanjut Gunawan Sumodiningrat (1996) mengemukakan bahwa pemihakan dan pemberdayaan masyarakat—dalam keseluruhan rangkaian penyusunan program-program

(5)

pembangunan, perlu diyakini oleh aparatur pemerintah (daerah) sebagai strategi yang tepat untuk menggalang kemampuan ekonomi nasional, sehingga mampu berperan secara nyata dalam

meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, keyakinan itu juga perlu terus ditanamkan dalam diri aparatur yang secara fungsional menangani proses-proses penyusunanan program pada kabupaten/kota untuk selanjutnya ditingkatkan serta dimasyarakatkan, kemudian yang terpenting dan juga menjadi tantangan utama adalah bagaimana menerjemahkannya dalam usaha-usaha yang nyata.

[7]

Upaya-upaya ke arah tersebut tidak secara serta merta dapat terwujud dan tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan, melainkan harus melalui proses berliku-liku yang akan

menghabiskan banyak waktu serta tenaga, dan tampaknya harus dilakukan oleh aparatur yang memiliki integritas dan hati nurani yang jernih, karena dalam pelaksanaannya dalam masyarakat akan banyak mempergunakan mekanisme komunikasi timbal balik, mendengar dan menampung dengan penuh kesabaran, dan sikap toleransi dalam menghadapi pandangan yang berbeda (community approach).

Dimasa depan, masyarakat sendirilah yang akan memainkan peran utama dalam

pengimplementasian program-program pembangunan didaerahnya, sedangkan kelompok luar yaitu NGOs akan bertindak sebagai fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator, serta peran pemerintah (daerah) lebih merupakan pelengkap dan penunjang termasuk menentukan aturan dasar permainannya. Bagi aparatur pemerintah, NGOs maupun masyarakat, implementasi program-program pembangunan harus dianggap sebagai suatu proses belajar sosial (John Clark : 1995; John Friedmann : 199), melalui proses evaluasi terhadap segala hal yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek, serta mempelajari berbagai kendala yang dihadapi. Perubahan mendasar tampaknya sangat perlu dilakukan disini, oleh karena existing condition yang terjadi pada hampir seluruh pemerintah daerah, peran-peran kontributor, fasilitator, dinamisator, katalisator, mediator dan komunikator penyusunan konsep-konsep dan ide-ide pembangunan seperti yang sering kita baca pada media-massa, seringkali dominan berada pada pemerintah (daerah). Proses belajar sosial yang seyogyanya terjadi pada implementasi proyek-proyek pembangunan—khususnya di desa-desa—tersebut tidak pernah terjadi, bahkan jika kita pandang secara ekstrim maka yang terjadi adalah hal sebaliknya yaitu dengan apa yang dinamakan dengan upaya pembodohan masyarakat.

Jika kita perhatikan dengan seksama, aturan main proses penyusunan program-program pembangunan yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi masyarakat (desa). Proses penyusunan program pembangunan, dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari tingkat desa yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan, demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Namun mengapa mekanisme yang cukup baik tersebut tetap dianggap kurang dapat mengakomodasikan hal-hal yang sesungguhnya diinginkan masyarakat ? Seperti yang telah dikemukakan di atas, kesalahan tentu akan dialamatkan kepada tidak dilakukannya secara sungguh-sungguh participant observation atau grounded research oleh aparatur yang terlibat secara fungsional dalam proses penyusunan program-program pembangunan, kepada masyarakat desa dimana proyek-proyek pembangunan tersebut berlokasi. Jika dilakukan secara benar, penerapan mekanisme tersebut memastikan terjadinya identifikasi yang menyeluruh dan mendalam hingga ke

tingkat grassroots terhadap yang sesungguhnya dibutuhkan masyarakat, walaupun harus melalui proses-proses yang akan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.

Lebih jauh, David C. Korten mengidentifikasikan banyaknya faktor yang ditemukan dan turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), antara lain yang

(6)

dianggap dominan adalah faktor kekurang-keterbukaan aparatur pemerintah (daerah) terhadap masyarakat dalam proses penyusunan program-program pembangunan, akumulasi kondisi seperti ini selama berpuluh-puluh tahun telah menyebabkan perasaan apriori masyarakat menumpuk dan

membatu, sehingga seperti yang kita lihat, telah mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kepada kurangnya intensitas peran serta masyarakat dalam penyusunan program-program

pembangunan.

[8]

Jika kita tidak bercermin, belajar dan mengantisipasi keadaan ini sedini mungkin, maka setelah mencapai titik jenuh dikuatirkan pada saatnya akan berkembang menjadi gerakan yangdestruktif sebagai reaksi terhadap dominasi yang berlebihan dari pemerintah (daerah) serta dianggap merupakan pemaksaan program-program pembangunan di tingkat desa.

Adanya kekhawatiran pemerintah (daerah) dengan alasan akan sulitnya mengakomodasikan keinginan masyarakat yang begitu banyak—jika dilakukan transparansi seluas mungkin kepada masyarakat, harus sudah mulai ditinggalkan dan harus dianggap sebagai suatu konsekuensi logis dan buah dari kekurangtepatan orientasi implementasi program-program pembangunan yang dilakukan selama ini. Langkah bijaksana yang dilakukan oleh aparatur pemerintah terhadap kondisi-kondisi yang telah terlanjur terjadi tersebut, pertama-tama tentu harus dimaknai sebagai suatu rangkaian dari keseluruhan belajar sosial.

Proses pemberdayaan masyarakat secara implisit mengandung makna, terdapatnya faktor inisiatif yang berasal dan berkembang dari masyarakat sendiri, sedangkan peranan pemerintah bertindak sebagai penampung dan mempertimbangkan keluhan masyarakat. Dalam hal ini aparatur pemerintah (daerah) sangat dituntut agar memiliki kepekaan serta kemampuan untuk dapat memberi respon, terhadap inisiatif dan keluhan yang berasal dari tingkat bawah daripada menonjolkan kepentingan mereka sendiri atau berdalih pada menjaga kewibawaan pemerintah. Dalam kenyataan, inisiatif dan keluhan masyarakat bawah seringkali diabaikan, dan untuk memperoleh perhatian dan tanggapan mereka terpaksa mengambil jalan pintas walaupun kadang-kadang merupakan pelanggaran hukum, yaitu dengan melakukan pengrusakan ataupun pembakaran.

Pada hakikatnya partisipasi sosial mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses pembangunan, mengusahakan penyusunan program-program pembangunan melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan obyek pembangunan. Hal ini dipertegas oleh Philip J. Eldridge (1995) “participation means a shift in decision making power from more powerful to poor, disadvantages, and less influential

groups.”

[9]

Keberdayaan rakyat merupakan kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan-pilihan, baik yang menyangkut penentuan nasib sendiri maupun perubahan diri sendiri atas dasar kekuatan sendiri sebagai faktor penentu.

Faktor-faktor yang turut memperburuk citra kinerja penyusunan program-program pembangunan (daerah), juga tidak terlepas dari terjadinya perbedaan pemahaman tentang pembangunan dan

partisipasi masyarakat, yang dapat ditinjau dari dua sudut pandang (Goulet, D.:1989 dalam Yosef P. Widyatmadja :1992): Pertama, dari perspektif pemerintah, partisipasi yang dikehendaki adalah yang lebih menekankan pada pengorbanan dan kontribusi rakyat dari pada hak rakyat untuk ikut menikmati manfaat pembangunan itu sendiri. Kedua, dari perspektif rakyat, partisipasi merupakan praktek dari keadilan. Oleh karena itu, pemahaman partisipasi sebagai pemberdayaan rakyat atau empowering people, meliputi praktek keadilan dan hak untuk menikmati hasil pembangunan yang mungkin dapat menimbulkan konflik antara pihak-pihak yang berkepentingan.

People-centered Development sebagai tahapan menuju kebijakan yang deliberatif

Berdasarkan asumsi bahwa demokrasi ibarat suatu pola dengan titik gravitasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, maka terdapat tiga proses pentahapan yang perlu dilalui (Onny S.Prijono dan

(7)

A.M.W. Pranarka : 1996), sebagai berikut : a) tahap inisial : dari pemerintah, oleh pemerintah, dan untuk rakyat; b) tahap partisipatoris : dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama

masyarakat, untuk rakyat; dan c) tahap emansipatif : dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, dan didukung oleh pemerintah bersama masyarakat. Pada umumnya, dapat dikatakan bahwa kita sudah mencapai tahap kedua, dengan mengecualikan beberapa wilayah yang mungkin sudah memasuki tahap ketiga. Tantangan di masa depan menuntut terjadinya proses akselerasi gerak kita memasuki tahap emansipatif : dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.

[10]

Dalam kerangka ini, pemberdayaan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, merupakan langkah yang amat penting bagi gerak akselerasi tahap ketiga dalam pembangunan demokrasi kita. Dalam proses pembangunan manusia yang berkesinambungan, hendaknya tidak hanya difokuskan pada peningkatkan pertumbuhan ekonomi saja, namun pengembangan sumber daya manusia dan

pemberdayaan masyarakat yang kaum miskin, petani, pekerja, wanita, dan

pro-demokrasi juga perlu mendapat perhatian. Pendekatan pemberdayaan baik individu maupun kelompok masyarakat (to empower people) merupakan salah satu prasyarat pembangunan sosial.

Sejalan dengan pendapat tersebut, lebih lanjut Laode M. Kalamuddin (2000), mengemukakan bahwa selama ini kita—bangsa Indonesia telah salah dalam memandang atau dalam mempersepsikan pembangunan selama ini, yaitu karena pembangunan hanya dilihat sebagai output, sebagai hasil-hasil yang nyata dari jerih payah dan usaha yang dijalankan oleh manusia baik secara pribadi, kelompok maupun masyarakat. Melihat hasil-hasil pembangunan dengan kacamata fisikal tersebut, misalnya dengan melihat kenyataan bahwa hasil-hasil pembangunan fisik selama 10 tahun terakhir, telah

menyebabkan kita mengabaikan (over looking) akan arti, arah dan tujuan pembangunan itu sendiri. Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru adalah dengan memfokuskan kepada pembangunan sosial. Sosial dalam pengertian ini lebih dimaksudkan sebagai perspektif global atau holistik yang memfokuskan penekanannya kepada keseluruhan masyarakat manusia (civil society), dimana aspek pembangunan fisik dan ekonomi hanya merupakan salah satu aspek pengamatan terhadap realitas sosial itu sendiri. Tujuan-tujuan strategis seperti ini, akan selalu dapat dikoreksi pada setiap tahap kemajuan atau proses pembangunan atau perubahan sosial yang direncanakan secara terus menerus. Sehingga pembangunan dengan demikian merupakan upaya yang sadar dan terus menerus, dalam perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik dan lebih maju.

Dari berbagai pendapat para ahli (Onny S. Prijono:1996; A.M.W. Prranarka:1996; Daoed Joesoef: 1996; J. Babari:1996; Vidyandika Moeljarto:1996; Murwatie B. Rahardjo:1996; Sukardi Rinakit:1996; Medelina K. Hendytio:1996), salah satu kunci utama dari keseluruhan upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminasi permasalahan tersebut adalah bagaimana memperkuat kemampuan masyarakat lapisan bawah, yang masih berada dalam kondisi tidak mampu melepaskan diri dari perangkap kemiskinan, keterbelakangan, dan membutuhkan pertolongan agar lebih berdaya dalam kemandirian, keswadayaan, partisipasi dan demokratisasi.

[11]

Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat mengandung makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan, dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Di samping itu, juga mengandung arti melindungi dan membela dengan berpihak pada yang lemah, untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. Masyarakat yang perlu diberdayakan antara lain kaum buruh, petani, nelayan, orang miskin di kota dan di desa, kelompok masyarakat dalam kondisi yang marginal, dan dalam posisi lemah, serta pinggiran. Pemberdayaan rakyat merupakan proses yang tidak dapat dilakukan secara partial, tetapi membutuhkan strategi pendekatan yang menyeluruh.

(8)

pinggiran (peripheris), dan pedesaan (rural communities)sebagai kelompok sasaran, tetapi juga meliputi NGOs sebagai pelaku dan kelompok organisasi juga perlu diberdayakan. Selain masyarakat sebagai kelompok sasarannya, NGOs pun perlu mempertahankan kemandirian dan keswadayaannya, serta diberi kebebasan untuk berkembang, agar memiliki kekuatan sendiri tanpa perlu dibina dan dikontrol oleh pemerintah.

Kebijakan Publik Deliberatif dan upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berpusat pada masyarakat

Situasi ‗demokrasi‘ yang tidak sehat ini perlu segera disembuhkan. Rakyat sudah jengah dengan kebijakan yang tidak rasional demi untuk kepentingan elitis. Perlu penelaahan ulang tentang ‗demokrasi‘ yang berlaku di Indonesia. Adalah seorang Jurgen Habermas, seorang ilmuwan sosial kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua, menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas mengkritik

pendahulunya yang memahami rasionalisasi (marxian) hanya sebagai praksis kerja. Padahal, Hegel sendiri membagi praksis jadi dua bagian: kerja dan komunikasi.

Latar belakang pemikirannya adalah pesimisme rasionalisme Barat dalam masyarakat kapitalisme-renta. Dalam kapitalisme-renta, rasio hanya bermakna dominatif melalui kerja yang

berharsrat ekonomik dan naluris. Meminjam istilah Lyotard dalam kondisi postmodern, yang bisa menjadi jalan keluar kejengahan manusia modern dalam kapitalisme-renta adalah komunikasi yang

mengemansipasikan manusia. Komunikasi yang bukan tuan-budak, tapi setara-sejajar; bebas dari dominasi menjadi landasan demokrasi deliberatifnya. Kemudian ia mengkrongkitkan komunikasi kemanusiaan itu dalam konsep ruang publik (public sphere). Demokrasi deliberatif adalah derivasi konsep ruang publik dalam teori politiknya.

Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk curhat, usul, atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu, agar segala sisi kemanusiaan dapat diserap sistem politik-ekonomi atau ekonomi-politik. Sehingga apa yang dicita-citakan Habermas, kekuasaan komunikatif melalui jaring-jaring komunikasi publik masyarakat sipil tercipta. Kebijakan tidak lagi dimonopoli oleh kaum elitis, baik itu negara atau bahkan pemilik modal, diskursus-diskursus ―liar‖ yang terjadi dalam masyarakat dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik.

Penutup Kesimpulan

Dari berbagai argumen yang telah penulis jelaskan diatas, maka penulis disini akan memberikan kesimpulan mengenai pemberdayaan masyarakat dengan membangun pola tindakan komunikatif sebagai berikut :

1. Dari awal komunikasi antar masyarakat inilah yang kemudian menjadi kolerasi antara kebijakan deliberatif dengan pembangunan yang berpusat pada masyarakat. Bagaimana kebijakan yang memang seharusnya terpusat pada kebutuhan masyarakatnya itu bisa terealisasikan secara harfiah dan

menyeluruh. Artinya, dalam upaya membangun demokrasi deliberatif yang sangat mengedepankan peran serta masyarakatnya untuk turut serta dalam pembangunan dapat tercapai dengan pemberdayaan masyarakat yang komunikatif.

2. Disini masyarakat juga ikut andil dalam melakukan monitoring evaluasi terhadap kebijakan yang telah ditetap oleh pemerintahan. Ruang publik yang menjadi cirri utama dari demokrasi deliberatif akan bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh masyarakat yang dapat turun langsung kedalamnya. Itulah yang kemudian menjadi titik temu antara pemberdayaan masyarakat dengan pola tindakan komunikatif dengan tujuan membangun demokrasi yang deliberatif.

(9)

3. Dengan adanya pemberdayaan masyarakat melalui penerapan pola tindakan komunikatif, diharapkan adanya keseimbangan dan kesinambungan antara peran pemerintah dan peran masyarakat dalam berbagai hal. Dan ini juga sebagai sarana pembangunan demokrasi yang lebih substansial. Rekomendasi

Dari kesimpulan tersebut, maka ada beberapa rekomendasi yang akan penulis sampaikan melalui tulisan ini, yaitu :

1. Pemerintah harus memperbanyak ruang publik bagi masyarakat secara keseluruhan, baik itu pada masyarakat yang bersegmentasi di wilayah pedesaan maupun yang ada di perkotaan.

2. Pembangunan demokrasi deliberatif harus segera diaktualisasikan sebagai upaya perubahan sosial yang berdampak pada kedewasaan politik masyarakat Indonesia.

3. Kegiatan-kegiatan seperti Musrenbang dan lain sebagainya harus senantiasa dilakukan secara kontinuitas dan konsisten demi meningkatkan daya kritis masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

- Rachman, Fadjroel. 2007. Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat : Tentang Kebebasan, Demokrasi, dan Negara Kesejahteraan. Jakarta : Koeskoesan

- De Tocqoueville, Alexis. 2005. tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

- Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta : CSIS

- Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in Indonesia. Oxvord University Press.

- Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat(terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua.

- Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto? Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004

- Pierre, J & Peters, BG. 2000. Governance, Politics and The State. New York: St. Martin‘s Press. - Levine, J & Levine, P. 2005. The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for Effective Civic

Engagement in the 21st Century. San Francisco: Jossey-Bass.

- Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press.

[1] Habermas, J (2007a) Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat(terjemahan: Nurhadi). Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ke dua. Hlm 78

[2] Pierre, J & Peters, BG (2000) Governance, Politics and The State. New York: St. Martin‘s Press

. Hlm

150

[3]

Hardiman, FB (2004) Demokrasi deliberatif: model untuk Indonesia pasca-Soeharto? Majalah Basis Nomor 11-12, Tahun ke 53, November-Desember 2004. Hlm 18

[4]

Levine, J & Levine, P (eds) (2005) The Deliberative Democracy Handbook: Strategies for Effective Civic Engagement in the 21st Century. San Francisco: Jossey-Bass. Hlm 122

(10)

[5]

Fishkin, JS (2009) When the People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation. New York: Oxford University Press. Hlm 33-34

[6]

Pratikno (2005) Good governance dan governability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIPOL UGM 8(3): 231-248.

[7]

Ibid

[8]

Korten, David. 1984. People-Centered Development. Kumarian Press. Hlm 152

[9] Eldridge J, Philip. 1995. Non-government organizations and democratic participation in Indonesia.Oxvord University Press. Hlm 87

[10]

Onny S. Prijono dan A.M.W Pranarka. 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi, CSIS, Jakarta, hal.44-46

Referensi

Dokumen terkait

--Kemudian limit bandwidth ip yang anda inginkan pada jam 6 sore sampai jam 6 pagi nya lagi,contoh untuk ip 192.168.77.2 bandwidth 256 Kb untuk jam 6 sore sampai jam 6

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelarut terhadap ekstrak kulit kayu bakau, kemudian mengetahui pengaruh ekstrak kulit kayu bakau terhadap

Endang Evacuasiany, Dra., Apt., MS., A.F.K selaku pembimbing utama, atas segala bimbingan, pengarahan, perhatian, dukungan moril, kesabaran dan waktu yang telah disediakan

Dari hasil uji-coba terhadap sistem pengenalan individu berbasis warna iris dengan dukungan algorima yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa sistem yang dikembangkan

Sebab jika kyai abai terbadap pcrmasalahan tersebut, maka pesantren tidak lagi memiliki keberpihakan kepada umat yang lemah dan hal tersebut berdampak pada para sifat para santri

Mendorong kehidupan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua, dan membangun institusi yang

dalam menghambat pertumbuhan MDR-A baumannii, dan mengetahui Minimum Inhibitory Concentration (MIC) filtrat Streptomyces sp.. dalam menghambat MDR-A

Tingkat kepuasan nasabah terhadap pelayanan umum dapat dilihat pada Tabel Dari Tabel terlihat bahwa tingkat kepuasan tertinggi adalah tingkat pelayan- an