• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bulu (Puspita, 2007). Daunnya berwarna hijau smpai hijau kecoklatan, bau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bulu (Puspita, 2007). Daunnya berwarna hijau smpai hijau kecoklatan, bau"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Uraian Tumbuhan Ruku-ruku

Tumbuhan ruku-ruku merupakan tumbuhan semak, tingginya 30 cm sampai 150 cm. Berakar tunggang, batangnya berkayu, bercabang dan mempunyai bulu (Puspita, 2007). Daunnya berwarna hijau smpai hijau kecoklatan, bau aromatik, khas dan rasa agak pedas. Helain daun bentuk jorong memanjang, pangkal daun tumpul sampai membundar dan tulang daun menyirip. Panjang daun 2,5 cm sampai 7,5 cm dan lebar 1 cm sampai 2,5 cm (DepKes, 1995).

2.1.1. Sinonim

Sinonim dari tumbuhan ruku-ruku (Ocimum sanctum L.) adalah Ocimum

tenuiflorum L., Ocimum americanum L. (O. canum Sims), Ocimum gratissimum

L., Ocimum basilicum L. (Anonim, ), dengan nama daerah lute (Maluku), lampes (Sunda), Kemangi (Jawa), kemangek (Madura), uku-uku (Nusa Tenggara dan Bali), lufe-lufe (Ternate) (Puspita, 2007).

2.1.2. Klasifikasi

Menurut Sharma (1993) dan Tjitrosoepomo (2002), tumbuhan ruku-ruku dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Subkelas : Sympetalae Bangsa : Tubiflorae

(2)

Suku : Labiatae Marga : Ocimum

Spesies : Ocimum sanctum L. 2.1.3. Kandungan dan Khasiat

Tumbuhan ruku-ruku mengandung minyak atsiri (1% golongan estragol, linalool, eugenol, cineole, methyl chavicol dan sejumlah kecil methyl cinnamate, serta golongan terpen lainnya), flavonoid (apigenin, luteolin, orientin, vicenin) triterpenoida seperti asam urolic, alkaloid, glikosida, saponin, dan tanin (Ganasoundari, 1997). Selain itu juga mengandung asam lemak seperti stearat, palmitat, oleat, linoleat dan linolenat (Ntezurubanza, et al., 1985), mineral-mineral seperti Zn, Mn dan Na juga ditemukan pada tumbuhan ruku-ruku (Samudralwar, 1996).

Berdasarkan kandungan kimianya, tumbuhan ruku-ruku dapat mengobati gangguan pada bronkus, lambung, hati, saluran pernafasan dan saluran pencernaan, selain itu juga mengobati penyakit diabetes mellitus. Sebagai obat luar, masyarakat umumnya menggunakan daun ruku-ruku sebagai anthelmentik, antiinflamasi, gangguan pada kulit, antipiretik terutama untuk demam akibat malaria (Sethi, et al., 2004).

Berkaitan dengan penelitian saya, kandungan kimia dari tumbuhan ruku-ruku seperti triterpenoida, flavonoid dan tanin dapat bermanfaat sebagai antiinflamasi. Sesuai dengan penelitian Simon dan Kerry (2000) yang menyatakan bahwa senyawa kimia seperti flavonoid (golongan flavon atau flavonol) dan tanin dalam bentuk bebas dan kompleks tanin-protein berkhasiat sebagai antiinflamasi.

(3)

2.2. Metode ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida, dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemisahan senyawa dan pemilihan cara ekstraksi yang tepat (Anonim, 2000).

Salah satu metode ekstraksi adalah maserasi, yang berasal dari bahasa Latin macerare, yang artinya merendam. Dalam proses maserasi, simplisia yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah atau bejana yang bermulut lebar dan ditutup rapat (Ansel, 1989). Maserasi dilakukan menggunakan cairan penyari, dapat berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Kemudian zat aktif akan larut karena adanya perbedaaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, larutan yang lebih pekat akan didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi kesetimbangan konsentrasi antara laritan di luar sel dengan di dalam sel (Anonim, 2000). Keuntungan dari metode ini adalah peralatannya sederhana, dapat digunakan untuk sampel bertekstur lunak dan tidak tahan pemanasan. Sedangkan kerugiannya antara lain waktu yang diperlukan untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan lebih banyak, tidak dapat digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai tekstur keras (Dinda, 2008).

Metode ekstraksi lainnya yaitu sokhletasi yaitu penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan

(4)

penyari terkondensasi menjadi molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah melewati pipa sifon. Keuntungan metode ini adalah pelarut yang digunakan lebih sedikit, dapat digunakan untuk sampel bertekstur lunak dan tidak tahan pemanasan langsung. Kerugiannya yaitu akibat pelarut yang didaur ulang, ekstrak yang terkumpul pada wadah di sebelah bawah terus-menerus dipanaskan sehingga dapat menyebabkan reaksi peruraian oleh panas (Dinda, 2008).

Selain itu dikenal juga metode ekstraksi lainnya yaitu perkolasi. Penyarian zat aktif dilakukan dengan cara serbuk simplisia dimaserasi selama 3 jam, kemudian simplisia dipindahkan ke dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori, cairan penyari dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dalam sel-sel simplisia yang dilalui sampai keadan jenuh. Gerakan ke bawah disebabkan oleh karena gravitasi, kohesi, dan berat cairan di atas dikurangi gaya kapiler yang menahan gerakan ke bawah. Perkolat yang diperoleh dikumpulkan, lalu dipekatkan. Metode ini dapat digunakan untuk sampel bertekstur keras. Kerugian dari metode ini adalah kontak antara sampel padat tidak merata sehingga selama proses perkolasi tidak melarutkan komponen secara efisien (Dinda, 2008).

Refluks juga merupakan metode ekstraksi. Penarikan komponen kimia yaitu dengan cara sampel dimasukkan ke dalam labu alas bulat bersama-sama dengan cairan penyari lalu dipanaskan, uap-uap cairan penyari terkondensasi pada kondensor bola menjadi molekul-molekul cairan penyari yang akan turun kembali menuju labu alas bulat, akan menyari kembali sampel yang berada pada labu alas

(5)

bulat, demikian seterusnya berlangsung secara berkesinambungan sampai penyarian sempurna, penggantian pelarut dilakukan sebanyak 3 kali setiap 3-4 jam. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan dipekatkan. Keuntungan metode ini adalah dapat digunakan untuk sampel bertekstur keras. Sedangkan kerugiannya yaitu tidak dapat digunakan untuk sampel yang tidak tahan pemanasan dan dibutuhkan jumlah pelarut yang banyak (Dinda, 2008).

2.3. Nata de coco

Nata de coco merupakan selulosa yang dibentuk oleh bakteri Acetobacter

xylinum yang memanfaatkan air kelapa sebagai media pertumbuhannya, dengan

kandungan kalori rendah, kadar serat 2,5 %, dan memiliki kadar air 98 %. Nata de coco menghasilkan selulosa bakteri yang identik dengan selulosa tanaman, tetapi selulosa yang dihasilkan lebih murni dibandingkan selulosa tanaman yang mengandung lignin dan hemiselulosa (Klemm et al, 2001). Serat yang ada dalam selulosa bakteri tersebut sangat penting dalam proses fisiologis, bahkan dapat membantu para penderita diabetes dan memperlancar pencernaan makanan, oleh karena itu dapat dipakai sebagai sumber makanan (Anonim, 2009).

Nata de coco menghasilkan selulosa bakteri yang identik dengan selulosa tanaman, tetapi selulosa yang dihasilkan lebih murni dibandingkan selulosa tanaman yang mengandung lignin dan hemiselulosa (Klemm et al, 2001)

Nata de coco juga merupakan alernatif sumber selulosa yang bermanfaat sebagai adsorban pada adsorpsi kromium(III) dalam medium air dalam rangka pencarian metode yang efektif untuk menghilangkan logam berat. Ion logam tersebut telah menyebabkan masalah kesehatan dalam kehidupan manusia dan

(6)

hewan. Salah satu logam berat tersebut adalah ion kromium yang dapat meyebabkan kerusakan ginjal, hati, sistem imunitas, dan kulit (dermatitis). Pemanfaatan nata de coco sebagai alternatif bahan baku selulosa memiliki beberapa keuntungan, yaitu pemanfaatan limbah buangan air kelapa, dan bersifat biodegradable yaitu dapat diuraikan oleh mikroba (Afrizal, 2007).

2.4. Tiourea

Struktur tiourea hampir serupa dengan urea, bersifat sebagai basa berasam satu; merupakan serbuk hablur, tidak berwarna, larut dalam air dan tidak larut dalam alkohol,mempunyai titik lebur 176-1800 C. Tiourea sering dipakai sebagai zat pembawa dalam pembentukan dispersi padat dalam formulasi obat, karena kesanggupannya membentuk kristal Channel complex atau kompleks clathrates (Aiache dan Devissaquet, 1993).

Pada pembuatan nata de coco secara komersial sering dipakai ammonium sulfat, amonium fosfat atau urea sebagai sumber nitrogen. Redpath dan kawan-kawan menunjukkan bahwa spektra NMR dari kristal urea dan tiourea adalah sesuai, dengan protonasi pada atom oksigen atau atom sulfur. Tiourea biasanya digunakan sebagai obat anti tiroid. Senyawa ini dioksidasi oleh kelenjar tiroid peroksidase dengan adanya iodium atau iodida dan hidrogen peroksida membentuk formamidin disulfida (NH2(NH)CSSC(NH)NH2). Formamidin

disulfida ini tidak stabil dan terdekomposisi pada pH diatas 3,0 membentuk sianamida, sulfur dan tiourea (Ziegler, 2003).

(7)

Kesuma (2004) telah melakukan sintesis senyawa benzoiltiourea dengan melakukan reaksi asilasi antara salah satu gugus amina dari tiourea dengan gugus benzoil dari benzoil klorida. Menurut Siswandono (2000), senyawa hasil sintesis mempunyai aktivitas yang lebih baik sebagai senyawa penekan sistem saraf pusat bila dibandingkan dengan senyawa induknya, sebab terjadi peningkatan sifat lipofilik dan elektronik sehingga aktivitas senyawanya meningkat.

2.5. Senyawa Jeratan

Senyawa jeratan terbentuk karena adanya interaksi bahan makromolekuler dan bahan obat. Penjeratan/pemerangkapan hanya terjadi jika makromolekul sebagai molekul tuan rumah merupakan molekul beruang rongga besar yang ke dalamnya dapat dijerat molekul bahan aktif sebagai molekul tamu. Ukuran ruang rongga menentukan jumlah bahan aktif yang dapat dijerat. Struktur molekul bahan aktif yang berperan sebagai molekul tamu juga menentukan apakah pemerangkapan mungkin terjadi.

Ada 3 jenis senyawa jeratan yaitu : 1. Senyawa jeratan kisi

Pada senyawa jeratan kisi molekul tamu dijerat dalam rongga kisi kristal molekul tuan rumah. Molekul yang dapat dijerat adalah molekul panjang, tidak bercabang atau bercabang sedangkan molekul berukuran besar tidak dapat dijerat.

2. Senyawa jeratan molekul

Molekul tamu diperangkap dalam ruang rongga yang terbentuk melalui penimbunan molekul-molekul tuan rumah.

(8)

3. Senyawa berisi

Pembentukan untuk senyawa jenis ini harus terjadi pembengkakan makromolekul yang relatif sukar larut. Molekul tamu akan dijerat dalam ruang yang terjadi karena pembengkakan makromolekul (Voigt, 1994).

2.6. Radang (Inflamasi)

Inflamasi merupakan mekanisme pertahanan tubuh sebagai respon jaringan terhadap pengaruh-pengaruh merusak baik bersifat lokal maupun yang masuk ke dalam tubuh. Ketika proses inflamasi berlangsung, terjadi reaksi

vascular dimana cairan elemen-elemen darah, sel darah putih (leukosit) dan

mediator kimia berkumpul pada tempat cedera jaringan atau infeksi. Oleh tubuh melalui proses inflamasi berusaha untuk menetralisir dan membasmi agen-agen yang berbahaya pada tempat cedera dan mempersiapkan keadaan untuk perbaikan jaringan (Kee dan Evelyn, 1996).

Proses terjadinya inflamasi ini dapat diamati secara makroskopis dari tanda-tanda utama inflamasi yaitu :

a. Kemerahan (rubor)

Kemerahan terjadi pada tahap pertama dari inflamasi, darah terkumpul pada daerah cedera jaringan akibat pelepasan mediator kimia tubuh seperti kinin, prostaglandin dan histamin.

b. Pembengkakan (tumor)

Pembengkakan merupakan tahap kedua dari inflamasi. Plasma merembes ke dalam jaringan interstial pada tempat cedera. Kinin mendilatasi arteriol, meningkatkan permeabilitas kapiler.

(9)

c. Peningkatan panas (kalor)

Panas pada tempat inflamasi dapat disebabkan oleh bertambahnya pengumpulan darah dan mungkin juga karena pirogen (substansi yang menimbulkan demam) yang mengganggu pusat pengatur panas pada hipotalamus.

d. Nyeri (dolor)

Nyeri disebabkan oleh pembengkakan dan pelepasan mediator-mediator kimia tertentu seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang syaraf. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang mengakobatkan peningkatan tekanan lokal yang juga dapat menimbulkan rasa nyeri.

e. Gangguan fungsi jaringan (fungsio laesa)

Gangguan fungsi jaringan disebabkan karena penumpukan cairan pada tempat cedera jaringan dan karena rasa nyeri yang mengurangi mobilitas pada daerah cedera.

Gejala-gejala ini merupakan akibat dari gangguan aliran darah yang terjadi akibat kerusakan jaringan pembuluh darah, gangguan keluarnya plasma darah ke dalam ruang ekstrasel akibat meningkatnya permeabilitas kapiler dan perangsangan reseptor nyeri (Mutschler, 1999).

2.6.1. Mekanisme terjadinya radang

Proses terjadinya inflamasi dapat dibagi dalam dua fase : 1. Perubahan vaskular

Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah. Perubahan aliran darah

(10)

karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing Mansjoer, 1999).

2. Pembentukan cairan inflamasi

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan. Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).

Mediator Radang

Banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator inflamasi diantaranya adalah histamin, bradikinin, kalidin, serotoin, prostaglandin dan leukotrien. Histamin merupakan mediator pertama yang dilepaskan dari sekian banyaknya mediator lain dan segera muncul dalam beberapa detik yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler (Mansjoer, 1999).

Histamin bekerja dengan cara berikatan dengan reseptor histamin di sel. Ada 4 jenis reseptor histamin yang telah diidentifikasi, yakni: Reseptor Histamin H1. Reseptor ini ditemukan di jaringan otot, endotelium, dan sistem syaraf pusat.

(11)

Bila histamin berikatan dengan reseptor ini, maka akan mengakibatkan vasodilatasi, bronkokonstriksi, nyeri, gatal pada kulit. Reseptor ini adalah reseptor histamin yang paling bertanggungjawab terhadap gejala alergi. Reseptor Histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Reseptor Histamin H3, jika reseptor ini aktif akan menyebabkan penurunan penglepasan neurotransmitter, seperti histamin, asetilkolin, norepinefrin, dan serotonin. Reseptor Histamin H4 Paling banyak terdapat di sel basofil dan sumsum tulang. Juga ditemukan di kelenjar timus, usus halus, limfa, dan usus besar. Perannya sampai saat ini belum banyak diketahui. Beberapa fungsi pengaturan di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin. Histamin dilepaskan sebagai neurotransmitter. Aksi penghambatan reseptor histamin H1 (antihistamin H1) menyebabkan mengantuk. Pasien penderita schizophrenia ternyata memiliki kadar histamin yang rendah dalam darahnya. Hal ini mungkin disebabkan karena efek samping dari obat antipsikotik yang berefek samping merugikan bagi histamin, contohnya quetiapine. Ditemukan pula bahwa ketika kadar histamin kembali normal, maka kesehatan pasien penderita schizophrenia tersebut juga ikut membaik (Anonim, 2009).

Asam arakhidonat merupakan prekursor dari sejumlah besar mediator inflamasi. Senyawa ini merupakan komponen utama lipid seluler dan hanya terdapat dalam keadaan bebas dengan jumlah kecil yang sebagian besar berada dalam bentuk fosfolipid membran sel. Bila membran sel mengalami kerusakan oleh suatu rangsangan kimiawi, fisis atau mekanis, maka enzim fosfolipase A2

(12)

Sebagai penyebab inflamasi, prostaglandin (PG) bekerja lemah, berpotensi kuat setelah bergabung dengan mediator atau substansi lain yang dibebaskan secara lokal seperti histamin, serotinin, atau leukotrien. Prostaglandin mampu menginduksi vasodilatasi pembuluh darah dalam beberapa menit dan terlibat pada terjadinya nyeri, inflamasi dan demam (Mansjoer, 1999).

Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002). Rangsangan

Gangguan membran sel

Fosfolipida Dihambat kortikosteroid Asam arakhidonat Fosfolipase Lipooksigenase Siklooksigenase Leukotrien

LTB4 LTC4/D4/E4 Prostaglandin Tromboksan Prostasiklin

Atraksi/ aktivasi fagosit

Perubahan permeabilitas vaskuler, kontriksi bronchial,

peningkatan sekresi Modulasi leukosit Inflamasi Bronkospasme, kongesti, penyumbatan mukus Inflamasi

(13)

2.7 Obat-obat antiinflamasi

Obat-obat antiinflamasi adaah golongan obat yang memiliki aktivitas menekan atau mengurangi peradangan. Aktivitas ini dapat dicapai melalui berbagai cara, yaitu menghambat pembentukan mediator radang prostaglandin, menghambat migrasi sel-sel leukosit ke daerah radang maupun menghambat pelepasan prostaglandin dari sel-sel tempat pembentukannya.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat antiinflamasi dibagi menjadi dua golongan utama yaitu golongan steroida dan non-steroida (Katzung, 2002). 2.7.1. Obat Antiinflamasi dari Golongan Steroid (Glukokortikoida)

Efek antiinflamasi golongan steroid (glukokortikoid) berhubungan dengan kemampuan untuk merangsang biosintesis protein lipomodulin, yang dapat menghambat kerja enzimatik fosfolipase A2 sehingga mencegah pelepasan

mediator seperti asam arakhidonat dan metabolitnya seperti prostaglandin (PG), leukotrien (LT), tromboksan dan prostasiklin. Glukokortikoid dapat memblok jalur siklooksigenase dan lipooksigenase, sedangkan AINS hanya memblok enzim siklooksigenase. Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah kortison, hidrokortison, deksametason, prednison dan sebagainya (Kee dan Evelyn, 1996).

2.7.2 Obat Antiinflamasi Non-Steroida (AINS)

AINS merupakan kelompok obat-obat yang bekerja dengan aktivitas menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin menjadi terganggu. AINS cocok digunakan untuk mengurangi pembengkakan, nyeri dan kekakuan sendi (Kee dan Evelyn, 1996).

(14)

Contoh senyawa yang termasuk dalam kelompok ini adalah :

1. Turunan asam salisilat, contoh : aspirin, diflusinal, sulfasalazin, olsalazin 2. Turunan para-aminofenol, contoh : asetaminofen

3. Indol dan asam indene asetat, contoh : indometasin, sulindak, etodolak 4. Asam heteroalil asetat, contoh : tolmetin, diklofenak, ketorolak

5. Asam arilpropionat, contoh : ibuprofen, naproksen, feniprofen, ketoprofen 6. Asam antranilat (fenamat), contoh : asam mefenamat, asam meklofenamat 7. Asam enolat, contoh : oksikam (piroksikam, tenoksikam), pirazolidin

(fenilbutazon, oksifentatrazon) (Foye, 1996).

2.8 Indometasin

Indometasin mulai dikenal pada tahun 1963 dimana lebih efektif daripada aspirin atau AINS lainnya dan di laboratorium merupakan penghambat sintesis prostaglandin yang terkuat. Indometasin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian per oral, waktu paruh dalam plasma selama 4–5 jam. Dosis antiinflamasi yang dianjurkan adalah 50-70 mg tiga kali sehari. Efek samping indometasin pada dosis terapi meliputi gangguan saluran cerna berupa nyeri abdomen, diare ulser, pendarahan lambung dan pankreatitis. Juga menyebabkan pusing, depresi, rasa binggung, halusinasi, agranulositosis, anemia aplastik dan trombositopenia. Karena toksisitasnya, indometasin tidak dianjurkan diberikan pada anak-anak, wanita hamil, penderita gangguan psikiatri dan penderita penyakit lambung (Wilmana, 1995; Singh dkk., 1996).

Pada dosis yang lebih tinggi, paling sedikit sepertiga dari pasien bereaksi terhadap indometasin dan memerlukan penghentian pengobatan. Efek-efek

(15)

samping gastrointestinal bisa meliputi nyeri perut, diare, pendarahan gastrointestinal dan pankreatitis. Sakit kepala dialami oleh 15-25% pasien dan bisa dikaitkan dengan pusing, kebingungan dan depresi. Pemakaian indometasin harus dihindari pada pasien dengan polip hidung atau angioedema, pada pasien-pasien ini asma bisa terpicu (Katzung, 2002).

Gambar

Gambar 1. Bagan mekanisme terjadinya inflamasi (Katzung, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Perangkat kebijakan yang dapat mendorong pengembangan Industri antara lain adalah yang terkait dengan penyediaan Tenaga Kerja Industri yang kompeten, penggunaan konsultan Industri

Foto singkapan, litologi, petrografi dan mineragrafi LP 33 (Alterasi Advance Argilik) ..... Foto singkapan, litologi, petrografi dan mineragrafi LP

Agitasi tidak memberikan perbedaan hasil terhadap produksi biogas yang dihasilkan oleh limbah cair tapioka dan limbah cair tahu dalam digester anaerob.

Interaksi antara infeksi, status gizi mikro, dan respons imun terilustrasikan dalam: (1) Pada kondisi defisiensi: vitamin A maka terjadi penurunan konsentrasi retinol serum

juga berarti bahwa pengaruh laba per lembar saham dan deviden yang dibagikan terhadap harga pasar saham sebesar 6.4% ditentukan oleh variabel- variabel lain yang

Tinggi atau rendahnya hubungan motivasi kerja dan produktivitas kerja karyawan diduga kuat berbeda pada pengalaman karyawan dalam bekerja dan tingkat penghasilan yang

Penerapan kurikulum berbasis lingkungan hidup nampak pada: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang memuat upaya pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Tenaga pendidik

teori informasi atau pesan yang ditayangkan oleh suatu media televisi. harus melewati beberapa syarat, yakni: Fakta, Terkini,