• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI. Oleh: Nina Ivana Satmaka F DEPAR RTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI. Oleh: Nina Ivana Satmaka F DEPAR RTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

MEMPELAJARI STABILITAS TERMODIFIKASI HEAT

EKONOMI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

SKRIPSI

STABILITAS KANDUNGAN PATI RESISTAN BIHUN SAGU

HEAT-MOISTURE TREATMENT DAN ASPEK TEKNO

EKONOMI DARI USAHA KECIL BIHUN SAGU

Oleh:

Nina Ivana Satmaka F24061851

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

N BIHUN SAGU DAN ASPEK

(2)

TEKNO-Nina Ivana Satmaka. F24061851. Study on Resistant Starch Content Stability of Bihon prepared from Heat-Moisture Treatment Modified Sago Starch and Its Techno-Economic Aspect for Small Business. Supervised by Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc and Ir. Endang Y. Purwani, M.Si.

ABSTRACT

The objectives of this research were: (a) to study the resistant starch stability of processed bihon prepared from HMT (Heat-Moisture Treatment) modified sago starch upon cooking process which were boiling and frying, (b) to evaluate the financial and tecnological feasibility study on small scale industry of bihon prepared from HMT sago starch with four options, namely (1) 30% equity (personal funding) – 1 shift, (2) 30% equity– 2 shift, (3) 100% bank loan (credit) – 1 shift, and (4) 100 % bank loan (credit) - 2 shift.

Unprocessed (raw) bihon contained 0.73 g RS / g bihon. The RS content increased into 130.79 % upon boiling process and decreased into 95.72 % upon frying process. Different test using one-way anova method showed that there was no significant difference between the two samples’ RS content. The RS content was relatively stable upon the cooking process. This stability achieved from HMT process was likely due to interactions between amylose and amylose-amylopectin which allowed changes in the granule structure leading to reduced susceptibility of its chain towards amylase hydrolysis.

The small-scale industry feasibility study showed that it needed Rp 52.725.000,- for investation capital. The operational capital was about Rp 119.437.967,- for 1 shift production and Rp 229.602.767,- for 2 shifts production. The best option which yielded the highest NPV and IRR was the second option with 30% personal funding and production rate at 2 shifts daily. Its NPV was Rp 163,161,354,- and its IRR was 27 %. It had the fastest payback period in less than a year (0.97 year). This good condition could be achieved because the condition lessened the deffered payment of the loan while the production cost could be reduced by increasing the production capacity. This option had Net B/C value about 1.58 with BEP about Rp 133.032.813,-. According to this feasibility study result, small-scale business of bihon derived from HMT-modified sago starch was likely to be developed, using the second option.

(3)

Nina Ivana Satmaka. F24061851. Mempelajari Stabilitas Kandungan Pati Resistan Bihun Sagu Termodifikasi Heat-Moisture Treatment dan Aspek Tekno-Ekonomi dari Usaha Kecil Bihun Sagu. Dibimbing oleh Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Ir. Endang Y. Purwani, M.Si.

RINGKASAN

Tujuan penelitian ini adalah (a) mempelajari stabilitas kandungan pati resistan dari bihun sagu HMT terhadap proses pemasakan yang umum diberikan pada bahan pangan bihun, yaitu rebus dan goreng, serta (b) menyusun kajian tekno-ekonomi untuk studi kelayakan usaha kecil produksi bihun sagu HMT dengan 4 pilihan, yaitu (1) equity - 1 shift, (2) equity– 2 shift, (3) credit – 1 shift, dan (4) credit, 2 shift. Struktur pembiayaan pada opsi 1 dan 2 (equity) menyertakan 30% modal pribadi, sedangkan pada opsi 3 dan 4 hanya terdiri dari modal kredit (100%). Penelitian dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan bihun sagu HMT, pengujian stabilitas kandungan pati resistan bihun sagu HMT dan studi kelayakan usaha kecil produksi bihun sagu HMT ditinjau dari aspek teknologi dan ekonomi.

Pembuatan bihun kering berbasis sagu HMT mengikuti metode pembuatan bihun oleh Ramadhan (2009) dengan peningkatan skala produksi, yaitu 2.5 kg per

batch. Bihun kemudian diberi perlakuan pemasakan dan diuji kandungan pati resistannya. Bihun kering yang tidak diberi perlakuan mengandung 0.73 g RS per g bihun kering. Kandungan pati resistan bihun meningkat menjadi 130.79 % setelah direbus, dan menurun menjadi 95.72 % setelah digoreng. Uji beda menggunakan metode one-way anova menunjukkan bahwa kedua rata-rata kandungan RS sampel tidak berbeda nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa kandungan RS bihun relatif stabil terhadap proses pemasakan. Kestabilan ini diperoleh dari proses HMT yang menimbulkan interaksi antar rantai amilosa-amilosa maupun amilosa-amilosa-amilopektin pada pati, sehingga rantai pati berkurang kemampuannya untuk dapat dihidrolisis oleh amylase. Adanya gelatinisasi selama perebusan dan retrogradasi setelah perebusan dapat meningkatkan jumlah pati resistan setelah perlakuan pemasakan.

Studi kelayakan tekno-ekonomi usaha produksi bihun sagu HMT mempelajari teknologi proses produksi bihun sagu HMT yang meliputi mesin, alat bahan, dan proses yang dibutuhkan untuk produksi. Proses produksi dapat dijalankan 4 batch (10 kg bahan baku pati) dalam 1 shift (8 jam per shift) atau 2 shift (2 x 10 kg) per hari. Bahan baku bihun terdiri dari pati sagu alami (Metroxylon sp.), pati sagu HMT, STPP, guar gum dan air. Mesin dan alat yang dibutuhkan untuk produksi antara lain mixer, multifunctional noodle machine, pengukus, pengering, sealer, kompor, panci, pengaduk, dan lainnya. Tata letak area produksi telah ditentukan membentuk aliran proses tipe tapal kuda atau menyerupai huruf U.

Studi ekonomi menunjukkan bahwa usaha bihun sagu memerlukan biaya investasi sebesar Rp 52.725.000,- dengan biaya operasional sebesar Rp 119.437.967,- untuk operasi 1 shift per hari dan Rp 229.602.767,- untuk operasi 2 shift per hari. Perhitungan ekonomi usaha memberi hasil bahwa opsi kedua, yaitu struktur pembiayaan dengan modal pribadi 30% serta tingkat produksi dengan

(4)

jumlah 2 shift per hari memberi tingkat keuntungan yang paling tinggi. Dengan nilai NPV tertinggi sebesar Rp 163,161,354,- dan IRR terbesar yaitu 27 persen, dapat dikatakan bahwa opsi ini memberi keuntungan terbesar serta tingkat pengembalian yang paling tinggi. Payback Period opsi ini pun merupakan yang paling singkat, yaitu kurang dari satu tahun (0.97 tahun). Selain itu, nilai Net B/C opsi ini sebesar 1.58 dengan BEP sebesar Rp. 133.032.813,- per tahun. Berdasarkan hasil tersebut, usaha kecil bihun sagu HMT layak untuk dikembangkan.

(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

MEMPELAJARI STABILITAS KANDUNGAN PATI RESISTAN BIHUN SAGU TERMODIFIKASI HEAT-MOISTURE TREATMENT DAN ASPEK

TEKNO-EKONOMI DARI USAHA KECIL BIHUN SAGU

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Oleh: Nina Ivana Satmaka

F24061851 Bogor, Oktober 2010

Disetujui oleh:

Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc Ir. Endang Yuli Purwani, M.Si Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Mengetahui

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen ITP

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis memiliki nama lengkap Nina Ivana Satmaka dilahirkan di Jakarta pada tanggal 15 Juni 1988, merupakan puteri pertama dari Bapak Sudianto Satmaka dan Ibu Veronika So. Penulis menyelesaikan pendidikan fomal dimulai pada tahun 1992-1994 di TK Kristen Batanghari Jakarta, tahun 1994-2000 di SD Kristen Triana Jakarta, tahun 2000-2003 di SMP Kristen 2 Penabur Jakarta, tahun 2003-2006 di SMA Kristen 2 Penabur Jakarta.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) sebagai mahasiswa TPB dan diterima menjadi mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian pada tahun 2007. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB sebagai anggota dan pengurus Komisi Pembinaan Pemuridan (2008-2009). Penulis juga turut aktif sebagai asisten mata kuliah Pendidikan Agama Kristen untuk mahasiswa TPB (2007-2009).

Penulis berpartisipasi dalam perlombaan bisnis Trust by Danone tahun 2010 dan berhasil mencapai tahap final untuk Trust Indonesia. Penulis juga meraih pemenang pertama dalam perlombaan National Student Paper Competition tahun 2010 yang diselenggarakan oleh HIMITEPA IPB. Penulis menyelesaikan tugas akhir dengan menulis skripsi berjudul ‘Mempelajari Stabilitas Kandungan Pati Resistan Bihun Sagu Termodifikasi Heat-Moisture Treatment dan Aspek Tekno-Ekonomi Dari Usaha Kecil Bihun Sagu’ di bawah bimbingan Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc dan Ir. Endang Yuli Purwani, M.Si.

(7)

i

KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan segala puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih karunia

dan tuntunan-Nya yang memampukan penulis untuk menyusun dan menyelesaikan tugas akhir

penulis dengan judul ‘Mempelajari Kestabilan Kandungan Pati Resisten Bihun Sagu

Termodifikasi Heat-Moisture Treatment dan Aspek Tekno-Finansial dari Usaha Kecil Bihun

Sagu’. Pada kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1.

Dr. Ir. Budiatman Satiawihardja, M.Sc. selaku Dosen Pembibing Akademik dan

Pembimbing I Skripsi, atas kesediaan dan kesabarannya dalam membimbing tugas

akhir saya.

2.

Ir. Endang Yuli Purwani, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II Skripsi, atas kesempatan

penelitian, bimbingan, arahan, dan bantuan yang diberikan.

3.

Ir. Darwin Kadarisman, MS selaku dosen penguji, atas koreksi dan pesan moral yang

diberikan.

4.

Dian Herawati, STP, M.Si. atas kesempatan penelitian, serta arahan yang diberikan.

5.

Keluargaku yang terkasih di rumah, Papa, Mama dan Nikki, atas kasih sayang,

dukungan, dorongan dan kesabarannya untuk membimbing penulis.

6.

Ivan Suwandi, untuk kasih sayang, dukungan, bantuan, dorongan dan kesabarannya.

7.

Keluarga Perwira 52, untuk CiKez, Mega, Lusi, Lele, Steph, Daisy, Stella, dan Cing2,

atas kebersamaan dan setiap bantuan yang diberikan.

8.

Staf Teknisi Laboratorium dan Administrasi ITP IPB, atas setiap bantuan dan arahan

yang diberikan.

9.

Keluarga besar ITP 43, atas setiap kebersamaan, semangat dan bantuan yang diberikan.

10.

Semua pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Penulis menyadari

bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,

kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Bogor, 20 September 2010

Penulis

(8)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI………... ii

DAFTAR TABEL………..

iv

DAFTAR GAMBAR………... v

DAFTAR LAMPIRAN……….……. vi

I.

PENDAHULUAN……….……

1

A.

LATAR BELAKANG……….. 1

B.

TUJUAN PENELITIAN……….. 3

II.

TINJAUAN PUSTAKA……… 4

A.

SAGU……… 4

B.

GELATINISASI PATI………. 5

C.

HEAT-MOISTURE TREATMENT……….. 8

D.

BIHUN………. 10

E.

PATI RESISTAN (RESISTANT STARCH)……….. 13

F.

USAHA KECIL………... 14

G.

STUDI KELAYAKAN PRODUKSI DARI ASPEK TEKNO-FINANSIAL……. 14

a

Net Present Value……… 15

b

Internal Rate Return……… 16

c

Net Benefit Cost Ratio……… 17

d

Payback Period………... 17

e

Break Even Point

18

III.

METODOLOGI PENELITIAN………. 19

1.

Bahan dan Alat Penelitian………. 19

2.

Metode Analisis Stabilitas Kandungan Pati Resistan……….

19

3.

Metode Studi Tekno-Ekonomi………. 21

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 22

A.

Uji Stabilitas Kandungan Pati Resistan dalam Bihun Sagu pada

Beberapa Perlakuan Pemasakan………...

22

(9)

iii

1.

Proses Produksi Bihun Sagu……….. 25

2.

Kebutuhan Mesin dan Alat……… 26

3.

Penentuan Tata Letak Ruang Produksi……….. 30

C.

Aspek Finansial……… 33

1.

Asumsi-asumsi……… 33

2.

Modal Investasi……….. 34

3.

Biaya Operasional……….. 34

4.

Sumber Dana dan Struktur Pembiayaan………. 35

5.

Proyeksi Laba Rugi………. 36

6.

Kriteria Kelayakan Investasi………... 36

V.

KESIMPULAN DAN SARAN……… 39

A.

KESIMPULAN……… 39

B.

SARAN………. 39

DAFTAR PUSTAKA………

40

(10)

iv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan………

5

Tabel 2. Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992………..

11

Tabel 3. Hasil Uji Kandungan Pati Resistan dalam Produk………..

23

Tabel 4. Kebutuhan Luas Ruang………

30

Tabel 5. Rekapitulasi Biaya Investasi………

34

Tabel 6. Rekapitulasi Biaya Operasional………..

35

Tabel 7. Struktur Pembiayaan Usaha Kecil Mi Sagu HMT………..

35

Tabel 8. Perincian Laba Bersih per Tahun……….

36

(11)

v

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Struktur Kimia Amilosa………. 6

Gambar 2. Struktur Kimia Amilopektin………..

6

Gambar 3. Mekanisme Pengembangan Granula Pati dengan Adanya Molekul-Molekul

Air……….

7

Gambar 4. Skema Molekul Amilosa dan Amilopektin pada Proses Pengembangan

Granula Pati………..

8

Gambar 5. Representasi skema perbedaan hubungan antara suhu dan kelembaban

antara gelatinisasi dengan Heat moisture Temperature (HMT)………

9

Gambar 6. Proses pembuatan bihun kering……….

12

Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Bihun Kering Sagu………..

25

Gambar 8. Timbangan……….

27

Gambar 9. Molen Pengaduk Adonan………..

27

Gambar 10. Mesin Pencetak Bihun……….

28

Gambar 11. Mesin Pengukus Bihun………

28

Gambar 12. Mesin Pengering Bihun………...

29

Gambar 13. Mesin Pengemas (Sealer)………. 29

(12)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Analisis Kestabilan Pati Resistan……… 45

a

Kurva Standar Glukosa……….. 45

b

Uji Kandungan RS Sampel Bihun Kering………. 46

c

Uji Kandungan RS Sampel untuk perlakuan Rebus……….. 47

d

Uji Kandungan RS Sampel untuk perlakuan Goreng……… 48

e

Hasil Pengolahan Data Stabilitas Kandungan RS ………..……….. 49

f

Uji Beda Kandungan RS terhadap Perlakuan Pemasakan………. 50

Lampiran 2. Perincian Modal Investasi Bihun Sagu HMT……….. 52

Lampiran 3. Perincian Biaya Operasional Usaha Kecil Bihun Sagu HMT (1 shift)………… 54

Lampiran 4. Perincian Biaya Operasional Usaha Kecil Bihun Sagu HMT (2 shift)………… 55

Lampiran 5. Kebutuhan Dana Usaha Kecil……….. 56

Lampiran 6. Perhitungan Pelunasan Kredit (Opsi 1/equity-1shift)……….. 57

Lampiran 7. Perhitungan Pelunasan Kredit (Opsi 2/equity-2shift)……….. 58

Lampiran 8. Perhitungan Pelunasan Kredit (Opsi 3/credit-1shift)……….……….. 59

Lampiran 9. Perhitungan Pelunasan Kredit (Opsi 4/credit-2shift)……….……….. 60

Lampiran 10. Asumsi Penjualan………... 62

Lampiran 11. Proyeksi Laba Rugi (Opsi 1/equity-1shift)……… 63

Lampiran 12. Proyeksi Laba Rugi (Opsi 2/equity-2shift)……… 64

Lampiran 13. Proyeksi Laba Rugi (Opsi 3/credit-1shift)………

65

Lampiran 14. Proyeksi Laba Rugi (Opsi 4/credit-2shift)………

66

Lampiran 15. Proyeksi Arus Kas (Opsi 1/equity-1shift)………

68

Lampiran 16. Proyeksi Arus Kas (Opsi 2/equity-2shift)………

70

Lampiran 17. Proyeksi Arus Kas (Opsi 3/credit-1shift)………

72

(13)

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Diversifikasi pangan dapat diterapkan lewat aplikasi sumber pati lokal sebagai bahan baku pangan olahan seperti mi, bihun, kue, dan lain-lain. Salah satu sumber pati lokal adalah sagu. Pati sagu banyak dipergunakan sebagai bahan baku pangan olahan ekstruksi seperti mi (dikenal dengan nama mi golosor). Penelitian terdahulu (Ramadhan, 2009) menunjukkan bahwa pembuatan bihun berbahan baku sagu dapat ditingkatkan kualitasnya dengan mensubstitusi sebagian bahan bakunya dengan pati sagu yang telah dimodifikasi dengan metode Heat Moisture Treatment (HMT). Jurnal-jurnal maupun beberapa studi ilmiah telah menunjukkan adanya keuntungan dari pati yang dimodifikasi dengan metode ini.

Heat Moisture Treatment (HMT) merupakan metode modifikasi pati yang digolongkan ke dalam metode modifikasi secara fisik. Modifikasi dilakukan dengan memanaskan pati pada suhu di atas suhu gelatinisasinya dengan kadar air yang terbatas, yakni di bawah jumlah air yang diperlukan untuk proses gelatinisasi. Perubahan yang terjadi pada sifat pati yang telah dimodifikasi bervariasi tergantung sumber pati yang dimodifikasi. Beberapa sifat menonjol dari pati hasil modifikasi HMT adalah memiliki indeks glikemik yang lebih rendah, maupun meningkatnya kadar pati resistan (Resistant Starch atau RS) yang dikandung pangan. (Chung, Liu dan Hoover, 2009)

Penelitian terdahulu terhadap bihun sagu menunjukkan bahwa substitusi sagu HMT mampu meningkatkan kualitas bihun. Penelitian Purwani et al. (2006) dan Herawati (2009) menyimpulkan bahwa penggunaan pati sagu termodifikasi dengan metode HMT sebagai bahan baku mi (100%) dapat meningkatkan kekerasan dan elastisitas mi, serta menurunkan tingkat kelengketan dan KPAP (Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan) dari mi. Uji organoleptik yang dilakukan juga menunjukkan adanya peningkatan penerimaan panelis terhadap mi sagu HMT dibandingkan dengan mi sagu alami.

(14)

2 Chung, Liu dan Hoover (2009) menyebutkan salah satu kelebihan pangan yang dimodifikasi dengan metode HMT adalah meningkatnya kadar pati resistan atau resistant starch (RS) yang telah diketahui manfaatnya dalam menyehatkan saluran pencernaan, khususnya dapat bersifat sebagai prebiotik dalam kolon. Menurut Haliza et al. (2006), mi sagu tergolong ke dalam jenis pangan dengan nilai IG rendah yaitu 28 serta memiliki kadar RS 3-4 kali lipat lebih tinggi dibanding kadar RS dari mi terigu. Tingginya kadar RS dalam bihun sagu termodifikasi HMT tentunya memiliki kelebihan dalam sifat fungsionalnya bagi kesehatan. Namun, perlu diuji apakah kandungan RS dipengaruhi oleh proses pemasakan yang dialami oleh produk pangan. Stabilitas kandungan RS dalam bahan pangan setelah diproses merupakan faktor yang cukup penting, karena kandungan tersebut yang akan masuk ke dalam tubuh kita untuk dicerna lebih lanjut.

Dengan adanya kelebihan-kelebihan dari bihun sagu tersubstitusi HMT ini, perlu ditinjau potensi produksi pangan ini untuk dikembangkan dalam industri kecil. Pengembangan usaha kecil yang berbasis agroindustri merupakan hal yang penting bagi perkembangan industri di Indonesia. Namun sebelum mengambil keputusan untuk pengembangan suatu produk dalam usaha kecil, perlu dipertimbangkan beberapa aspek usaha seperti ekonomi, teknologi proses, pasar, manajemen, dan lain-lain. Hal ini akan berguna untuk menentukan tingkat pengembalian dari suatu usaha sebelum dijalankan, dan menghindarkan pemilik usaha dari kemungkinan pailit. Aspek usaha produksi bihun sagu dapat dikaji melalui studi kelayakan.

Studi kelayakan bisnis merupakan dasar untuk menilai apakah kegiatan investasi atau suatu bisnis layak untuk dijalankan (Nurmalina, Sarianti dan Karyadi, 2002). Studi kelayakan atau yang sering disebut dengan feasibility

study telah menjadi tolak ukur dan bahan pertimbangan dalam mengambil suatu keputusan, apakah menerima atau menolak dari suatu rencana bisnis.

(15)

3 B. TUJUAN PENELITIAN

1. Menganalisa nilai tambah produk bihun sagu tersubstitusi sagu HMT. Hal ini dilakukan dengan mengevaluasi stabilitas kandungan pati resistan di dalamnya akibat beberapa proses pemasakan, yakni rebus dan goreng. Ketiga proses ini dipilih karena merupakan proses yang sudah umum.

2. Melakukan studi kelayakan tekno-ekonomi terhadap produksi bihun sagu tersubstitusi sagu HMT.

(16)

4 II. TINJAUAN PUSTAKA

A. SAGU (Metroxylon sp.)

Pati sagu (Metroxylon sp.) mempunyai beberapa kelebihan dibanding tepung dari tanaman umbi atau serealia. Menurut Matsumoto, et al. (2007), beberapa varietas sagu di sekitar Danau Sentani, Papua memiliki kadar pati yang tinggi, seperti jenis para, yepha, osukul, dan folo. Sagu dapat digunakan sebagai komoditas substitusi beras. Beberapa varietas sagu asal Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Bukit Tinggi (Sumatera Barat) mampu memproduksi pati lebih dari 300 kg per pohon. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki cukup modal untuk mengembangkan industri pengolahan sagu.

Granula pati sagu berukuran lebih besar daripada ukuran granula pati pada umumnya, yaitu dapat mencapai 65 mikron (International Starch Institute, 2010). Bentuk granula pati sagu adalah ovoidal dengan secara jelas terdapat bagian yang terpotong. Pati sagu mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi, yaitu sekitar 69oC jika dibandingkan dengan pati lainnya (Cecil et

al., 1982).

Swinkels (1985) mengemukakan bahwa perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati sagu 27 berbanding 73. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air.

Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 1.

(17)

5 Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 gram bahan

Komponen Jumlah Kalori (kkal) 353 Protein (g) 0.7 Lemak (g) 0.2 Karbohidrat (g) 84.7 Air (g) 14.0

Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)

B. GELATINISASI PATI

Pati merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam biji-bijian atau umbi-umbian. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari. Energi surya akan dikonversikan menjadi energi kimia pada substansi atau zat yang dapat dimakan oleh manusia atau pun hewan pada umumnya (Hodge dan Osman, 1976).

Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphous. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin serta material antara (intermediate), seperti lipid dan protein (Banks dan Greenwood, 1975). Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorphous dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman, 1976).

Amilosa merupakan komponen dari pati berupa polimer yang tersusun dari unit-unit glukosa yang berjumlah 500-1000 unit. Polimer glukosa ini terikat satu dengan yang lain dengan ikatan glikosida α 1-4. Amilosa memiliki bobot molekul 80000-240000 Dalton. Struktur amilosa berupa helix yaitu untaian lurus yang membentuk spiral (Gambar 1).

(18)

6 Gambar 1. Struktur Kimia Amilosa (Tharanathan, 2003)

Amilopektin merupakan salah satu komponen dari pati. Serupa dengan amilosa, amilopektin terdiri dari unit-unit glukosa sebagai komponen penyusunnya. Perbedaan mendasar antara amilosa dan amilopektin ialah amilopektin memiliki percabangan karena unit-unit glukosanya terjalin dengan ikatan glikosida α 1-6 selain ikatan α 1-4 (Gambar 2). Polimer ini merupakan salah satu polimer terbesar yang terdapat di alam. Bobot molekul amilopektin berkisara antara 107-5x108 Dalton (Fennema, 1996).

Gambar 2. Struktur Kimia Amilopektin (Rudnik, 2008)

Granula pati yang dimasukkan ke dalam air dingin tidak dapat larut, tetapi mampu mengembang dalam air panas atau hangat. Jika suatu polimer dalam keadaan kontak dengan sejumlah pelarut yang terbatas, maka fase interaksi yang pertama adalah melarutnya bahan menjadi bentuk gel. Apabila pelarut berlebih maka struktur gel akan terdispersi kembali menjadi bentuk sol (Greenwood dan Munro, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat

reversible jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan irreversible jika telah mencapai suhu gelatinisasi.

Meyer (1983) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi terbentuk suspensi. Pengembangan granula pati ini disebabkan karena molekul-molekul air

(19)

7 berpenetrasi masuk ke dalam granula dan terperangkap pada susunan molekul amilosa dan amilopektin.

Menurut McCready (1970), dengan semakin meningkatnya suhu suspensi pati dalam air maka semakin besar pula pengembangan granulanya. Pengembangan tersebut terjadi karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisik hanya dipertahankan oleh adanya ikatan-ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil lain. Suhu suspensi yang semakin meningkat akan menyebabkan ikatan hidrogen semakin lemah, sedangkan di lain pihak molekul-molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga dengan mudah berpenetrasi ke dalam granula. Pada akhirnya jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecahan sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk ke dalam sistem larutan. Kejadian ini akan menyebabkan terjadinya perubahan kekentalan. Pengembangan granula digambarkan secara skematis pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Pengembangan Granula Pati dengan Adanya Molekul-Molekul Air (Meyer, 1982)

(20)

8 Gambar4. Skema Molekul Amilosa dan Amilopektin pada Proses

Pengembangan Granula Pati (McCready, 1970)

C. HEAT MOISTURE TREATMENT

Heat–moisture treatment (HMT) merupakan proses pemberian kondisi panas terhadap pati pada suhu tinggi (di atas suhu gelatinisasi) dalam kondisi semi kering (kandungan airnya lebih rendah dibandingkan dengan jumlah yang dibutuhkan untuk mengalami gelatinisasi) (Lorenz dan Kulp., 1981, 1982; Kulp dan Lorenz, 1981) (Gambar 5). HMT pada kelembaban 18-30% dan suhu 100oC telah dibuktikan dapat merubah sifat fisiko-kimia (seperti pelarutan amilosa, kepasitas pengembangan, pola dan intensitas difraksi X-ray,kerentanan terhadap serangan enzim atau asam) dari pati jagung normal, jagung berlilin, jagung tinggi amilosa, gandum, oat, barley, kentang, ketela, kacang polong dan pati laird lentil.

Besarnya perubahan-perubahan ini juga dipengaruhi oleh kelembaban selama perlakuan pemanasan selain dipengaruhi oleh sumber patinya. Pengaruh HMT terhadap sifat-sifat yang telah disebutkan berkaitan dengan

(21)

9 interaksi antar beberapa faktor berikut: (i) perubahan struktur pada daerah kristal dan amorphous dari granula pati; dan (ii) modifikasi fisik pada permukaan granula pati, yang terjadi selama HMT berjalan. (Sair dan Fetzer, 1944; sair, 1967; Donovan et al., 1983; Hagiwara et al., 1991; Stute, 1992; Franco et al., 1995).

Gambar 5. Representasi skema perbedaan hubungan antara suhu dan kelembaban antara gelatinisasi dengan Heat moisture Temperature

(HMT) (Manuel, 1996)

Sejumlah perubahan struktur terjadi selama proses HMT pada granula pati, termasuk: (i) pembentukan formasi kristal baru dan/atau reorientasi kristal (Donovan et al., 1983); (ii) konversi pati tipe-B menjadi tipe A + B (Sair dan Fetzer, 1944; Sair, 1967; Kulp dan Lorenz, 1981; Lorenz dan Kulp, 1982; Stute, 1992; Donovan et al., 1983); (iii) peningkatan asosiasi antar komponen-komponen pati (amilosa-amilosa, amilosa-lemak, dan/atau amilosa-amilopektin) (Hoover dan Vasanthan, 1994; Hoover dan Manuel, 1996); dan (iv) konversi amilosa tidak beraturan menjadi bentuk heliks (Banks dan Greenwood, 1975).

Penelitian terhadap penggunaan beberapa jenis pati dalam pembuatan mie oleh Lii dan Chang (1981) dan Galvez et al. (1994) menggunakan pati yang berasal dari tanaman kacang-kacangan, serta Collado dan Corke (1997) dan Collado et al. (2001) menggunakan pati dari ubi manis, menunjukkan bahwa untuk pati yang tidak mengandung gluten harus menggunakan pati yang dipregelatinisasi (gelatinisasi awal) sebagai pengikat baru kemudian dicampur dengan pati yang tidak digelatinisasi untuk mendukung proses

(22)

10 ekstrusi dalam rangka memproduksi mie berkualitas. Telah diketahui bahwa kualitas mi tergantung pada profil brabender amylogram/ visco amylogram

pasting-nya yang memiliki karakteristik viskositas yang konstan atau bahkan meningkat selama proses pemanasan dan pemotongan. Untuk memproduksi pasta panas yang stabil, pati dapat diproses dengan metode heat moisture

treatment (HMT). Pada dasarnya, HMT mengekspos pati pada suhu yang lebih tinggi (umumnya di atas suhu gelatinisasi pada kelembaban yang terbatas (<35%) (Collado et al. 2001). HMT diunggulkan lebih natural dan aman dibandingkan dengan perlakuan yg menggunakan bahan kimia.

D. BIHUN

Bihun yang berbahan baku tepung beras merupakan makanan yang berasal dari china (bie = beras, hun = tepung). Bihun tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di Negara-negara lain dengan berbagai sebutan seperti

bihon, bijon, bifun, mehon, dan vermicelli. Ada produk olahan beras lain yang mempunyai bentuk hampir sama dengan bihun yaitu soun. Namun keduanya mempunyai perbedaan misalnya, bihun terbuat dari bahan dasar amilosa dan dalam pembuatannya dikukus atau direbus, sedangkan soun terbuat dari bahan dasar amilopektin dan dalam pembuatannya harus direbus. (Astawan, 2000).

Di pasaran dikenal dua jenis bihun, yaitu bihun kering dan bihun instan. Bihun kering merupakan suatu bahan makanan yang dibuat dari tepung beras dengan/tanpa bahan tambahan dan berbentuk benang-benang. Sedangkan bihun instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung beras dengan/tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk benang-benang dan matang setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 3 menit. (Koswara, 2006).

Menurut SNI 01-2975-1992, bihun adalah produk pangan kering yang dibuat dengan beras dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan pangan yang diizinkan dan berbentuk khas bihun. Standar bihun menurut SNI 01-2975-1992 dapat dilihat pada Tabel 2. Hasbullah (2001), menyatakan bahwa bihun dibuat dari beras melalui proses ekstrusi sehingga memperoleh bentuk seperti benang.

(23)

11 Tabel 2. Standar bihun menurut SNI 01-3742-1995

No Kriteria uji Satuan Persyaratan

1 1.1 1.2 1.3 Keadaan Bau Rasa Warna Normal Normal Normal

2 Benda asing Tidak boleh ada

3 Daya tahan Tidak hancur jika

direndam dengan air panas suhu kamar selama 10 menit 4 Uji Kematangan (bihun:air 1:5) b/b Maks 3 5 Air % b/b Maks 11 6 Abu % b/b Maks 2 7 Protein (N x 6,25) % b/b Min 6

8 Derajat Asam Mg KOH /

100 g bahan Maks 3 9 Bahan Tambahan Makanan Sesuai SNI 01-0222-1995 10 10.1 10.2 10.3 10.4 Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Raksa (Hg) Mg/kg Mg/kg Mg/kg Mg/kg Maks 1.0 Maks 10.0 Maks 40.0 Maks 0.05

11 Arsen (As) Mg/kg Maks 0.5

12 Cemaran mikroba:

12.1 Angka lempeng total Koloni/gram Maks 1.0 x 106

12.2 E. coli APM/gram < 3

12.3 Kapang Koloni/gram Maks 1.0 x 104

Bahan baku bihun terdiri atas bahan baku utamanya adalah tepung beras. Jenis beras yang baik untuk digunakan adalah jenis beras yang baik untuk digunakan adalah beras pra misalnya beras PB (5, 36, 42), IR (26 36), Semeru, Asahan, beras Birma, beras Siram dan beras Hongkong. Beras pera akan menghasilkan bihun yang tidak lengket bila dimasak, juga memperingan kerja mesin penggiling dan pencetak bihun, sedangkan penggunaan beras pulen akan menghasilkan bihun yang lembek dan lengket. Bahan baku tambahan yang digunakan adalah sodium disulfit, air, tawas dan air kansui (untuk membuat bihun instan) (Koswara, 2006).

(24)

12 Pengepresan

Pemasakan tahap pertama selama 1 jam Pembentukan lembaran

Pencetakan bihun dengan extruder Pemasakan tahap kedua selama 1,5 jam

Penjemuran Pengemasan

Gambar 6. Proses pembuatan bihun kering (Koswara, 2006)

Proses pembuatan bihun dari pati adalah sebagai berikut: sebanyak 5% pati dari total pati untuk adonan dicampur air dengan perbandingan 1:7 lalu dipanaskan sehingga tergelatinisasi. Gelatinisasi sebagian pati (pre-gelatinisasi) dengan porsi yang lebih besar dapat memudahkan proses pematangan akhir lebih cepat. Adonan dengan tingkat pre-gelatinisasi 10 hingga 20% dapat menghasilkan bihun yang baik. Pati yang telah tergelatinisasi tersebut digunakan sebagai binder adonan. Binder berfungsi sebagai perekat pati sehingga dapat membentuk adonan dengan baik. Binder dicampurkan dengan pati kering dan diadon hingga merata. Jika jumlah binder kurang dari jumlah yang seharusnya, dapat berakibat kurangnya pengikatan adonan sehingga bihun rapuh dan mudah patah. Sedangkan jika binder terlalu banyak dapat menyebabkan adonan terlalu lengket. Adonan selanjutnya dicetak menjadi untaian bihun dengan alat pencetak bihun atau extruder. Untaian bihun direbus dalam air mendidih selama 2 hingga 3 menit, kemudian direndam air dingin dan ditiriskan. Bihun dikeringkan pada suhu 40oC di dalam convection drier (Kim et al, 1996; Collado et al, 2001; Susilawati, 2007).

Bihun kering (biasa) Tepung beras 100 mesh + air

(25)

13 E. PATI RESISTAN (RESISTANT STARCH / RS)

Menurut Berry (1986), pati dapat diklasifikasikan menjadi 3 jenis berdasarkan respon pati tersebut ketika diinkubasi dengan enzim. Jenis pati pertama adalah Rapidly Digestible Starch (RDS). RDS adalah jenis pati yang dapat dihidrolisis sepenuhnya oleh enzim amilase menjadi molekul-molekul glukosa dalam waktu 20 menit. Jenis kedua adalah Slowly Digestible Starch (SDS). Seperti juga RDS, SDS dapat sepenuhnya dihidrolisis oleh enzim amilase, namun karena satu dan lain hal, hidrolisisnya memakan waktu lebih lama.

Jenis pati ketiga adalah pati resistan yaitu fraksi kecil dari pati yang resistan (tahan) terhadap hidrolisis oleh enzim α-amilase dan enzim pululanase yang diberikan secara in vitro. RS tidak terhidrolisis setelah 120 menit inkubasi (Englyst, et al., 1992). Pati yang sampai ke usus besar akan difermentasi oleh mikroflora usus. Oleh karena itu, sekarang RS didefinisikan sebagai fraksi dari pati yang dapat lolos dari pencernaan pada usus halus. Secara kimia, RS adalah selisih dari kadar pati total dengan RDS dan SDS (Sajilata et al., 2006).

Menurut Gonzales et al. (2004), RS dibagi menjadi 4 tipe berdasarkan keberadaan pati secara alami dan keberadaannya dalam makanan. RS tipe I adalah jenis pati yang secara fisik terperangkap di dalam matriks sel, seperti pada biji polong-polongan. RS tipe II adalah granula pati yang secara alami tahan terhadap enzim pencernaan seperti pati pisang mentah dan pati kentang mentah. RS tipe III adalah pati hasil retrogradasi yang terbentuk akibat pemanasan suhu tinggi yang disusul dengan penyimpanan pada suhu rendah. RS tipe IV adalah pati yang dimodifikasi secara kimia.

Beberapa penelitian in vivo menunjukkan bahwa RS memiliki potensi sebagai bahan prebiotik. Fermentasi RS dalam usus besar akan menghasilakn

short chain fatty acid (SCFA) khususnya asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asupan RS berkorelasi negatif dengan resiko kanker kolorektal sementara hubungan tersebut tidak dijumpai pada masyarakat yang asupan serat makanan (termasuk NSP)-nya tinggi (Topping dan Clifton, 2001; Hylla et al., 1998).

(26)

14 Selain potensi prebiotiknya, RS juga telah diteliti memiliki beberapa sifat fungsional lainnya seperti mengurangi respon glikemik, mengurangi asupan energi, meningkatkan penyerapan dari mikronutrien terutama kalsium, bersifat protagonis terhadap kultur sehat sehingga menyehatkan pencernaan dan mencegah kanker usus besar (Brown, 2004).

F. USAHA KECIL

Menurut UU No 9 tahun 1995 tentang Usaha kecil telah memberikan batasan yang jelas, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan ketentuan memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000,-; milik WNI, berdiri sendiri, berbentuk usaha orang perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi. Pengelompokkan usaha kecil yang semula berdasarkan jumlah pekerja, besarnya tenaga listrik yang dipakai dan besarnya modal yang ditanam sudah tidak lagi digunakan.

Pengusaha kecil telah disadari di seluruh dunia memiliki peran yang besar dalam menopang tingkat ekonomi Negara. Di Indonesia sendiri, jumlah usaha kecil sangan mengesankan. Menurut BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM, 99,8 % lebih usaha yang ada di Indonesia termasuk usaha kecil. Usaha kecil juga dapat menyerap tenaga kerja yang banyak, contohnya pada periode tahun 2000-2003, usaha kecil telah mampu memberikan lapangan kerja baru bagi 7,4 juta orang (Wibowo, 2002).

Selain banyak menyerap tenaga kerja dan ikut melancarkan perekonomian Negara, usaha kecil mampu hidup berdampingan dengan perusahaan besar. Usaha kecil memegang peranan penting dan menopang usaha besar.

G. STUDI KELAYAKAN PRODUKSI DARI ASPEK TEKNO-EKONOMI Studi kelayakan merupakan suatu kajian terhadap kelayakan suatu proyek sebelum dilaksanakan. Kajian dan analisis dilakukan terhadap berbagai aspek pelaksanaan proyek tersebut. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu tujuan, yaitu memperoleh manfaat, dengan melakukan pengukuran pokok terhadap biaya maupun hasilnya (Gray, 1992).

(27)

15 Adapun pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil studi kelayakan adalah investor, kreditor/bank, analis, masyarakat dan pemerintah. Studi kelayakan bisnis adalah suatu konsep yang penting bagi masyarakat secara luas, karena itu agar studi kelayakan bisnis ini dapat mencapai sasaran dari berbagai pihak, tentu saja harus memenuhi persyaratan.

Adapun persyaratannya yaitu sebagai berikut (Nurmalina et al. 2002) : 1. Studi harus dilakukan dengan teliti dan penuh kehati-hatian.

2. Studi harus dilakukan dengan dukungan data yang lengkap dan akurat 3. Studi harus dilakukan secara jujur dan objektif

4. Studi harus dilakukan dengan adil, tidak memihak kepentingan tertentu 5. Studi harus dapat diuji ulang jika diperlukan untuk menguji kebenaran

hasil studi

Berbagai aspek yang harus dipersiapkan dalam pendirian proyek tidak hanya menyangkut perencanaan fisik, melainkan juga dari aspek teknis, manajemen, pemasaran dan ekonomi. Penelitian ini akan difokuskan terhadap aspek ekonomi dan teknis.

Aspek teknis dapat dinilai berdasarkan penetapan kapasitas produksi, pemilihan mesin dan alat produksi, pemilihan teknologi proses produksi, penentuan layout pabrik yang dibutuhkan, dll.

Beberapa kriteria yang diperlukan dalam penilaian kelayakan suatu proyek adalah Net Present Value (NPV), Internal Rate Return (IRR), Net Benefit Cost

Ratio (Net B/R), Gross Benefit Cost Ratio (Gross B/R), Analisis Sensitivitas dan Profitability Ratio. Penilaian pengembalian ditunjukkan oleh kriteria

Payback Period.

a. Net Present Value (NPV)

NPV merupakan nilai sekarang (Present Value) dari selisih antara penerimaan dan biaya pada tingkat diskonto tertentu. Ukuran ini bertujuan untuk mengurutkan alternative yang dipilih karena adanya kendala biaya modal, dimana proyek ini memberikan NPV biaya yang sama atau NPV penerimaan yang kurang lebih sama setiap tahun.

Proyek dinyatakan layak jika memiliki nilai NPV lebih besar atau sama dengan satu. Nilai 0 dari NPV dapat diartikan biaya dapat

(28)

16 dikembalikan persis sebesar nilai proyek, yang berarti mencapai titik impas (tidak untung dan tidak rugi).

NPV memiliki rumus sebagai berikut (Nurmalina, et al. 2009): Keterangan:

Bt = manfaat (benefit) pada tahun ke-t Ct = biaya pada tahun ke-t

i = tingkat suku bunga (%)

t = periode investasi (t= 0, 1, 2, …, n)

n = umur proyek

Pada prakteknya, NPV bisa dihitung dengan menjumlahkan present

value (PV) dari net benefit yang bersifat positif (dari tahun ke-1 sampai tahun ke-5), kemudian dikurangi dengan nilai mutlak dari PV yang bernilai negatif (tahun ke-0). PV merupakan arus kas net benefit (inflow -

outflow) yang telah dikalikan dengan discount factor (DF).

b. Internal Rate Return (IRR)

IRR adalah tingkat diskonto pada saat NPV sama dengan nol dan dinyatakan dalam persen. IRR menggambarkan persentase dari keuntungan proyek tiap tahunnya dan menunjukkan kemampuan proyek dalam mengembalikan bunga pinjaman. Investasi dikatakan layak jika IRR lebih besar atau sama dengan tingkat diskonto, sedangkan jika IRR lebih kecil dari tingkat diskonto maka proyek tersebut tidak layak.

Tingkat IRR mencerminkan bunga maksimal yang dapat dibayar oleh proyek untuk sumber daya yang digunakan. Kriteria IRR mempunyai beberapa keuntungan, yaitu tidak tergantung pada tingkat discount rate

social yang berlaku (Gittinger, 1986). Sebaliknya, NPV dan IRR mempunyai hubungan terbalik, yaitu bila IRR mendekati nol, makan NPV mendekati maksimum. Titik potong antara NPV dan IRR disebut titik impas, dimana biaya proyek sama dengan manfaat yang dihasilkan.

 =   1 + − 

 /

(29)

17 Penghitungan IRR dapat menggunakan fungsi formula IRR pada Microsoft Excel menggunakan data dari present value (PV) tahun ke-0 sampai tahun ke-5.

c. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net B/C merupakan angka perbandingan antara jumlah Present Value yang bernilai positif dengan jumlah Present Value yang bernilai negatif. Perhitungan ini digunakan untuk melihat berapa kali lipat penerimaan yang akan diperoleh dari biaya yang dikeluarkan. Proyek dinyatakan layak jika Net B/C lebih besar dari satu. Sedangkan jika Net B/C lebih kecil dari satu, maka proyek tidak layak untuk dilaksanakan (Gray et al., 1993).

Net B/C memiliki rumus sebagai berikut: (Nurmalina, et al. 2009)

Keterangan:

Bt = Pendapatan proyek pada tahun tertentu Ct = Biaya proyek pada tahun tertentu

n = umur proyek

i = tingkat suku bunga

t = 1, 2, …, n

Penghitungan nilai Net B/C dapat dilakukan dengan membagi antara jumlah PV positif (tahun ke-1 sampai tahun ke-5) dengan PV negatif (tahun ke-0).

d. Payback Period

Penilaian proyek tidak dapat hanya ditujukan pada masa awal karena biasanya pada masa awal proyek akan menunjukkan nilai yang negatif. Untuk itu, perlu dilakukan analisis untuk melihat jangka waktu dalam pelaksanaa proyek yang dapat menutupi nilai yang negatif pada awal proyek tersebut, yaitu analisis tingkat pengembalian investasi (Payback

Period).  / = ∑  1 +    ∑  1 +   

(30)

18 Tingkat pengembalian investasi adalah umur dimana pada tingkat diskonto tertentu, penerimaan bersih kumulatif sama dengan nol dan menunjukkan pada umur proyek berapa investasi dapat dikembalikan. Perhitungan tingkat pengembalian investasi dilakukan dengan metode

discounted payback period, dimana nilai manfaat bersih yang terdapat pada cashflow didiskontokan dan dikumulatifkan.

Payback Period memiliki rumus sebagai berikut: (Hafling, 2009)

Keterangan :

n = tahun terakhir di mana arus kas masih belum bisa menutupi initial

investment

a = nilai mutlak cumulative net benefit pada tahun n di mana jumlah ini bernilai negatif

b = jumlah arus kas pada tahun ke-n+1

e. Break Even Point

Break Even Point atau Keadaan Pulang Pokok merupakan keadaan di mana penerimaan pendapatan perusahaan (total revenue – TR) sama dengan biaya yang ditanggungnya (total cost – TC).

  = −  Keterangan :

FC = biaya tetap

VC = biaya variabel per unit P = harga produk per unit

Selanjutnya, BEP dalam rupiah dapat dihitung dengan mengalikan BEP dalam unit dengan harga jual produk.

(31)

19 III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi 2 tahapan penelitian. Tahap pertama adalah mempelajari stabilitas kandungan pati resistan bihun terhadap beberapa proses pemasakan. Tahap kedua dari penelitian ini adalah mempelajari kelayakan usaha kecil bihun sagu HMT dari aspek tekno-ekonomi.

1. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pati sagu sukabumi (Metroxylon sp.), pati sagu sukabumi yang telah dimodifikasi dengan metode HMT, STPP, guar gum, air, enzim pepsin, α-amylase dan amiloglukosidase, fenol, H2SO4, KCl, HCl, KH2PO4, NaOH, CH3COOH, CH3COONa, glukosa, aquades, dan KOH.

Sedangkan peralatan yang digunakan meliputi mixer, multifunctional noodle

machine, steam blancher, tray drier, waterbath dengan shaker, sentrifus, soxhlet, vortex, spektrofotometer, dan alat memasak (sendok, panci, dan lain-lain). Pengolahan data dan perhitungan data menggunakan software komputer antara lain SPSS 15.0 dan Microsoft Excel.

2. Metode Analisis Stabilitas Kandungan Pati Resistan

Pada penelitian stabilitas kandungan pati resistan, bihun kering diberi perlakuan pemasakan yang sering dikenakan pada bahan pangan bihun sebelum dihidangkan (pemasakan), yaitu rebus dan goreng.

a. Perlakuan terhadap sampel bihun kering HMT

Perlakuan yang menyerupai pemasakan tersebut adalah:

1) Perlakuan rebus dilakukan dengan memanaskan 500 ml air sampai mendidih, lalu merebus sebanyak lima gram sampel di dalam air mendidih selama 5 menit. Setelah sampel ditiriskan, ditimbang sampel sebanyak 50 mg untuk uji kandungan RS.

2) Perlakuan goreng merupakan lanjutan dari perlakuan rebus. Setelah direbus dan ditiriskan, selanjutnya sampel dipanaskan dalam wajan dengan sedikit minyak dan api yang kecil selama 2 menit. Setelah penggorengan, sampel dihilangkan lemaknya dengan alat soxhlet menggunakan pelarut

(32)

20 heksana. Setelah proses soxhlet selesai, ditimbang sampel sebanyak 50 mg untuk uji kandungan RS.

b. Uji Kandungan Pati Resistan (Goni, 2006)

Sampel yang diujikan berupa sampel bihun kering, sampel bihun rebus dan sampel bihun goreng. Sampel diuji kandungan pati resistannya dalam 3 kali ulangan dan setiap ulangan dianalisis triplo.

Sampel kering (50 mg) dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambah 5 ml buffer KCl-HCl 0.2 M, pH 1.5 (penepatan pH menggunakan HCl 2M atau NaOH 0.5M). Sampel ditambahkan 0.1 ml larutan pepsin (1 g pepsin/10 ml buffer KCl-HCl), divortex lalu dimasukkan ke dalam water bath (40oC, 60 menit) dengan pengadukan konstan. Kemudian sampel didinginkan pada suhu ruang dan ditambahkan 4.5 ml buffer fosfat 0.1M, pH 6.9 serta 0.5 ml larutan α-amilase (40 mg alfa-amilase per ml buffer fosfat). Setelah itu, tabung divortex lalu diinkubasi dalam water bath (37oC, 16 jam) dengan pengadukan yang konstan.

Selanjutnya, sampel disentrifus (15 menit, 3000g), supernatan dibuang dan residu dicuci minimal sekali dengan 5 ml air distilasi. Sentrifus diulangi dan supernatan dibuang. Lalu ditambahkan 1.5 ml air distilasi ke residu untuk melembabkan sampel secara perlahan. Residu ditambahkan 1.5 ml KOH 4M, divortex dan didiamkan selama 30 menit (suhu ruang) dengan pengadukan yang konstan. Kemudian, ke dalam tabung ditambahkan 2.75 ml HCL 2M dan 1.5 ml buffer sodium asetat 0.4M, pH 4.75 (tepatkan pH), serta 0.5 ml amiloglukosidase (AMG); lalu divortex dan diinkubasi dalam waterbath (60oC, 45 menit) dengan pengadukan yang konstan.

Selanjutnya, sampel disentrifus (15 menit, 3000g), supernatan dikumpulkan dalam erlenmeyer, dan residu dicuci minimal sekali dengan 5 ml air distilasi. Sentrifus diulangi dan supernatan dikumpulkan dalam erlenmeyer (Total 12,75 ml). Supernatan diencerkan dengan faktor pengenceran 100 x. Selanjutnya dilakukan uji kandungan pati resistan dengan metode fenol sulfat.

(33)

21 c. Metode Fenol-Sulfat

Pertama-tama dibuat kurva standar dari larutan glukosa (10-60 ppm). Uji dilakukan dengan menambahkan 0.5 ml supernatan yang telah diencerkan dengan 0.5 ml fenol 5%, lalu divortex. Kemudian ditambahkan 2.5 ml H2SO4 dengan cepat dan tegak lurus. Setelah didiamkan 10 menit pada suhu ruang, larutan divortex lalu diinkubasi selama 15 menit pada suhu 27oC.

Absorbansi sampel dan standar dapat dibaca pada panjang gelombang 490 nm. Absorbansi harus dibaca pada menit ke-5 sampai ke-45 setelah waktu inkubasi. Selanjutnya, kadar glukosa sampel dapat dihitung dari kurva standar dan konsentrasi pati resistan didapat dengan mengalikan kadar glukosa dengan 0.9.

3. Metode Studi Tekno-Ekonomi

Dalam Penelitian ini dilakukan pengkajian terhadap aspek teknologi dan ekonomi produksi bihun kering sagu di Bogor. Kajian teknologinya meliputi penentuan jenis mesin yang digunakan atau peralatan lainnya yang sesuai dengan kapasitas produksi bihun sagu kering, lay out, dan pemilihan teknologi yang sesuai.

Kajian ekonomi produksi bihun kering sagu di Bogor disusun dengan empat opsi yang merupakan kombinasi antara jenis struktur pembiayaan dengan jumlah shift produksi per hari, yaitu (1) 30% modal pribadi-1 shift, (2) 30% modal pribadi-2 shift, (3) 100% kredit-1 shift, dan (4) 100% kredit-2 shift. Kajian meliputi kapasitas produksi dan total penerimaan, struktur permodalan, sumber dana, biaya produksi, dan analisis kriteria investasi. Struktur permodalan meliputi modal investasi dan modal kerja. Analisis kriteria investasi meliputi Net Present

Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Break Even Point (BEP). Rumus-rumus perhitungan untuk setiap kriteria investasi seperti yang tercantum dalam Bab Tinjauan Pustaka.

(34)

22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Stabilitas Kandungan Pati Resistan dalam Bihun Sagu pada Beberapa Perlakuan Pemasakan

Gelencsér (2009) dalam tesisnya menyatakan bahwa dapat terjadi penurunan kandungan pati resistan pada bahan pangan pati yang mendapatkan proses pemasakan. Namun produk pangan yang dicobakan pada tesisnya berupa produk (roti atau pasta) yang ke dalamnya ditambahkan pati resistan. Pada produk bihun sagu ini, pati resistan berasal dari pati sagu yang telah dimodifikasi, yang menjadi 50% bahan baku utama dari bihun sagu tersebut.

Peningkatan kandungan pati resistan yang signifikan dalam pati yang dimodifikasi dengan metode HMT telah diteliti oleh Chung, Hoover dan Liu (2009). Peningkatan yang signifikan ini disebabkan oleh adanya pemanasan pada suhu tinggi di atas suhu gelatinisasi pada proses HMT. Pemanasan memberikan energi kepada rantai amilosa maupun amilopektin untuk bermobilisasi dan berinteraksi. Peningkatan pati resistan terjadi sebagai hasil dari panas yang menyebabkan terjadinya interaksi antara rantai amilosa-amilosa maupun amilosa-amilosa-amilopektin, serta adanya peningkatan jumlah dari lemak yang terkompleks dengan rantai amilosa.

Sebelum dilakukan pengujian kandungan pati resistan pada produk yang mendapatkan perlakuan pemasakan, dilakukan pengujian kandungan pati resistan pada sampel bihun kering. Didapatkan bahwa dalam 1 gram sampel bihun kering terdapat 0.73 gram pati resistan. Selanjutnya jumlah tersebut berubah akibat proses pemasakan. Proses pemasakan yang diujikan adalah proses merebus dan proses menggoreng (direbus lalu ditumis). Kandungan RS dalam gram yang didapat dari sampel setelah perlakuan (rebus atau goreng) dibandingkan dengan jumlah RS dalam gram yang terdapat pada sampel keringnya (sebelum diberi perlakuan) dan dihasilkan angka dalam persen sebagai parameter tingkat stabilitas kandungan RS bahan. Hasil uji yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 3.

(35)

23 Tabel 3. Hasil Uji Kandungan Pati Resistan dalam Produk

Sampel Ulangan RS sampel bihun asal (g) RS sampel bihun perlakuan (g) Peningkatan RS (%) Rata-rata (%) Rebus 1 3.77 5.09 135.23 130.79 2 3.67 4.06 110.72 3 3.64 5.33 146.41 Goreng 1 3.64 5.18 142.34 95.72 2 3.65 3.21 87.72 3 3.69 2.11 57.09

Tabel di atas menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan sampel keringnya, bihun sagu HMT yang telah direbus mengalami peningkatan kadar pati resistan menjadi 130.79 %. Sedangkan kadar pati resistan turun sebesar 4.28 % pada perlakuan bihun yang digoreng. Penurunan ini dapat dikategorikan tidak signifikan dan dapat dikatakan bahwa kandungan pati resistan tergolong stabil terhadap proses tersebut. Uji beda kandungan RS dari kedua perlakuan menggunakan metode one-way ANOVA (Lampiran 1 F) menunjukkan bahwa kedua sampel tidak berbeda secara nyata.

Stabilitas kandungan pati resistan pada sampel bihun HMT dapat disebabkan oleh perubahan sifat pati yang dialami setelah mengalami proses HMT, yaitu perubahan struktur ikatan antar amilosa maupun amilopektin yang membuat struktur pati tidak dapat dipecah oleh amylase. Pati yang mengalami HMT memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi. Selama gelatinisasi terjadi, struktur kristalin dan double helix akan meleleh. Hal ini dibantu oleh hidrasi dan pengembangan dari bagian amorphous dari granula pati. Pengembangan granula pati ini akan memberi tekanan pada bagian kristalin dan melepas rantai polimer dari kristalin. Namun, pati hasil HMT yang telah berubah struktur fisiknya, membatasi mobilitas dari bagian amorphous dari granula pati, sehingga dibutuhkan suhu yang lebih tinggi dari biasanya supaya pengembangan (yang dapat merusak bagian kristalin) dapat terjadi.

(36)

24 Pada proses perebusan terjadi satu kali pemanasan, dan hasil uji kandungan pati resistan menunjukkan stabilitas serta peningkatan kandungan pati resistan yang cukup signifikan. Peningkatan ini dapat disebabkan oleh terjadinya gelatinisasi dan retrogradasi sehingga terjadi reasosiasi rantai polimer, distabilisasi oleh rantai hidrogen. Sedangkan untuk proses goreng yang mendapatkan dua kali pemanasan (rebus dan tumis), mengalami sedikit penurunan kandungan pati resistan. Hal ini dapat disebabkan oleh sampel perlakuan goreng mendapat panas yang lebih banyak proses rebus dan proses penggorengan dapat merusak struktur pati resistan dalam bihun yang mungkin disebabkan oleh suhu penggorengan yang tinggi.

Perlakuan pemasakan pada bihun sagu HMT dapat dikatakan tidak mempengaruhi kandungan pati resistan secara negatif. Interaksi antara amilosa-amilosa yang terbentuk dari proses HMT tidak dapat dirusak oleh gelatinisasi. Hal ini menurunkan kemudahan rantai pati untuk mengalami hidrolisis dan menurunkan nilai prediksi indeks glikemik (Chung, Liu dan Hoover, 2009).

Brown (2004) juga menyatakan bahwa jumlah pati resistan yang dibutuhkan untuk memperlihatkan peningkatan kesehatan pencernaan adalah sekitar 15-20 gram per hari. Melalui uji stabilitas ini, dapat dikatakan bahwa konsumsi bihun sagu HMT dapat mencukupi kebutuhan pati resistan harian bagi tubuh. Selain meningkatkan kesehatan sistem pencernaan, konsumsi bihun sagu HMT ini juga baik bagi penderita diabetes karena memiliki estimasi indeks glikemik yang lebih rendah dan nilai kalori yang lebih rendah sebagai akibat dari tingginya kandungan pati resistannya.

(37)

25 B. Aspek Keteknikan

1. Proses Produksi Bihun Sagu

Proses produksi bihun sagu tersubstitusi sagu HMT merupakan modifikasi metode dari Ramadhan (2009) yaitu peningkatan skala produksinya dari 100 gram bahan baku pati menjadi 1.25 kg bahan baku pati. Tahapan dari proses produksi dapat dilihat pada Gambar 7.

Adonan binder dipanaskan sampai adonan tergelatinisasi

Dicampurkan dengan bagian adonan yang lain Diadon sampai homogen

Dicetak

Dikukus pada suhu 95oC selama 2 menit Dikeringkan selama 1 jam

Gambar 7. Diagram Alir Pembuatan Bihun Kering Sagu

a. Penimbangan dan Pembuatan Binder

Berdasarkan Ramadhan (2009), Formula binder yang menghasilkan adonan terbaik yaitu dengan perbandingan pati dengan air sebesar 1:2. Pembuatan binder dilakukan dengan mencampurkan pati sagu alami (0.5 kg), STPP (5 g) dan air (1 liter) dalam panci besar dan dipanaskan di atas kompor hingga pati tergelatinisasi sempurna. Untuk memperoleh adonan bihun yang menghasilkan bihun dengan kualitas terbaik adalah dengan menggunakan binder

Bahan baku ditimbang

Binder Adonan

Bihun Kering Sagu Untaian Bihun

(38)

26 sebanyak 20% dari total pati untuk adonan. Penimbangan bagian pati yang lain adalah pati sagu alami (0.75 kg), pati sagu HMT (1.25 kg) dan guar gum (25 g).

b. Pencampuran Adonan Bihun

Adonan dibuat dengan mencampurkan binder dengan pati kering di dalam mixer selama 10 menit dan terjadi proses merata dan dapat menyatu saat digenggam.

c. Pencetakan Bihun

Adonan dicetak menjadi bihun dengan menggunakan

multifunctional noodle machine. Lubang cetakan (die) yang digunakan berukuran kecil sehingga ukuran untaian bihun yang dihasilkan menyerupai dengan produk bihun yang umum beredar di pasaran. Hasil cetakan diusahakan keluar secara vertikal untuk mencegah menempelnya antar untaian bihun. Proses pencetakan bihun ini bersifat kontinyu. Adonan yang keluar dari die diletakkan di atas tray.

d. Proses Pengukusan Bihun

Adonan yang telah menjadi untaian bihun dikukus dengan menggunakan steam blancher yang bersuhu sekitar 90oC. Bihun dengan alas tray yang berlubang dimasukkan ke dalam steam

blancher selama dua menit. e. Pengeringan Bihun

Setelah pengukusan, bihun kemudian dikeringkan dalam tray

dryer selama 1 jam (suhu 75oC). Setelah kering, bihun didiamkan beberapa saat di suhu ruang untuk menurunkan suhunya. Setelah suhu mendekati suhu ruang, bihun dapat dikemas di dalam kemasan plastik.

2. Kebutuhan Mesin dan Alat

Mesin yang dibutuhkan dalam proses produksi mi sagu antara lain: timbangan, mesin pengaduk adonan, mesin pencetak mie, pengukus, mesin pengering dan sealer.

(39)

a. Timbangan

Timbangan akan dipakai untuk menimbang bahan baku ya pati sagu, pati sagu termodifikasi, air untuk pembuatan binder, STPP dan guar gum.

Timbangan ini memiliki umur pemakaian 5 tahun dan kapasitas maksimalnya adalah 5 kg dengan satuan terkecil 0.1 g.

tenaga timbangan ini adal b. Mesin Pencampur Adonan

Mesin ini sering disebut m

bahan-bahan menjadi adonan yang dapat dicetak. Molen terbuat dari stainless steel yang terdiri dari bak pengaduk, kaki penyangga, dan motor penggerak impel

Timbangan

Timbangan akan dipakai untuk menimbang bahan baku ya pati sagu, pati sagu termodifikasi, air untuk pembuatan binder, STPP dan guar gum.

Gambar 8. Timbangan

Timbangan ini memiliki umur pemakaian 5 tahun dan kapasitas maksimalnya adalah 5 kg dengan satuan terkecil 0.1 g.

tenaga timbangan ini adalah 1 batere 9V. Mesin Pencampur Adonan

Mesin ini sering disebut molen, berfungsi untuk mencampur bahan menjadi adonan yang dapat dicetak. Molen terbuat dari stainless steel yang terdiri dari bak pengaduk, kaki penyangga, dan motor penggerak impeller.

Gambar 9. Molen Pengaduk Adonan

27 Timbangan akan dipakai untuk menimbang bahan baku yaitu pati sagu, pati sagu termodifikasi, air untuk pembuatan binder, STPP

Timbangan ini memiliki umur pemakaian 5 tahun dan kapasitas maksimalnya adalah 5 kg dengan satuan terkecil 0.1 g. Sumber

olen, berfungsi untuk mencampurkan bahan menjadi adonan yang dapat dicetak. Molen terbuat dari stainless steel yang terdiri dari bak pengaduk, kaki penyangga, dan

(40)

28 Ukuran keseluruhan molen yaitu 1.2 x 0.7 x 1 m3, dimana ukuran bak pengaduk 90 x 45 x 50 cm3. Daya listrik yang dibutuhkan untuk molen adalah sebesar 2 HP dengan tegangan 110/220 V. Kecepatan putar impellernya sebesar 420 RPM.

c. Mesin Pencetak Bihun

Mesin pencetak ini merupakan Multifunctional Noodle Machine tipe MS 9. Dimensi mesin ini adalah 660x330x430mm dengan berat 60 kg. Kapasitas mesin adalah 9 kg/jam dengan tegangan 220v, 50Hz dan daya 1.10 kW.

Gambar 10. Mesin Pencetak Bihun d. Mesin Pengukus Bihun

Pengukusan adonan bihun yang telah dicetak dilakukan di atas tray dengan pengukus tipe tray. Dalam 1 batch (selama 2 menit), dapat dikukus 2-3 tray bihun.

(41)

e. Mesin Pengering Bihun Mesin p

mencapai suhu pengeringan 90

daya sebesar 3 PH, tegangan 110/220 Volt dan dapat mencapai suhu tertinggi 120

Gambar 12

f. Sealer

Sealer untuk membungkus kemasan bihun memiliki daya sebesar 400 W. Berat alat ini adalah 3,2 kg dengan dimensi 8,5 x 45 x 18 cm.

Gambar 13

g. Peralatan Lainnya

Pembuatan bihun juga memerlukan peralatan lain seperti kompor, baskom, sendok pengaduk, pisau, dan lap.

Mesin Pengering Bihun

Mesin pengering bihun merupakan tray drier yang dapat mencapai suhu pengeringan 90oC. Mesin ini memiliki spesifikasi daya sebesar 3 PH, tegangan 110/220 Volt dan dapat mencapai suhu tertinggi 120oC. Volume dari mesin ini adalah 4,94 m3.

Gambar 12. Mesin Pengering Bihun

Sealer untuk membungkus kemasan bihun memiliki daya sebesar Berat alat ini adalah 3,2 kg dengan dimensi 8,5 x 45 x 18 cm.

Gambar 13. Mesin Pengemas (Sealer)

Peralatan Lainnya

Pembuatan bihun juga memerlukan peralatan lain seperti kompor, baskom, sendok pengaduk, pisau, dan lap.

29 engering bihun merupakan tray drier yang dapat Mesin ini memiliki spesifikasi daya sebesar 3 PH, tegangan 110/220 Volt dan dapat mencapai suhu

Sealer untuk membungkus kemasan bihun memiliki daya sebesar Berat alat ini adalah 3,2 kg dengan dimensi 8,5 x 45 x 18 cm.

(42)

30 3. Penentuan Tata Letak Ruang Produksi

a. Kebutuhan Luas Ruang

Luas area pabrik ditentukan berdasarkan perhitungan luas produksi dan luas ruang non produksi. Luas ruang produksi yang dibutuhkan disesuaikan dengan kebutuhan ruang untuk mesin, peralatan, tenaga kerja, serta sarana lain yang mendukung kegiatan proses produksi.

Ruang produksi terdiri dari area pencampuran adonan, pencetakan, pengukusan dan pengeringan. Sementara ruang non produksi tersusun atas ruang penyimpanan bahan baku, ruang penjualan, dapur, ruang karyawan, area tempat tinggal pemilik, toilet dan area pembuangan sampah.

Tabel 4. Kebutuhan Luas Ruang

No Fasilitas Dimensi (m) Kebutuhan Luas Area / Ruang (m) 1 Ruang Penyimpanan 2 x 2.5 5 2 Area Mixing 2 x 2.5 5 3 Area Pencetakan 2 x 3 6 4 Area Pengukusan 5 x 2 10 5 Area Pengeringan 2 x 4 8

6 R. Pengemasan dan Penjualan 2 x 2.5 5

7 Area Dapur 2 x 4 8

8 R. Karyawan 2 x 2 4

9 Toilet 1.5 x 2 3

b. Perancangan Tata Letak Pabrik

Rancangan tata letak pabrik dibuat berdasarkan diagram alir proses produksi mi sagu dan diagram keterkaitan antar aktifitas yang telah ditentukan. Perancangan tata letak pabrik dibuat secara efektif dan efisien dengan meminimalkan jarak perpindahan bahan, keteraturan tempat kerja, dan aliran proses yang beruntun.

(43)

31 Pola umum aliran bahan dalam proses produksi merupakan salah satu perencanaan fasilitas yang harus ditentukan dengan matang. Menurut Hadiguna dan Setiawan (2008), pola umum aliran bahan untuk proses produksi umumnya dibedakan atas 5 pola, yaitu garis lurus, bentuk U, pola zig-zag, melingkar, dan pola tak tentu.

Pada proses produksi bihun sagu, digunakan bentuk U untuk mengantisipasi keterbatasan luas lantai yang tersedia untuk keperluan produksi. Pola aliran bentuk U akan diterapkan jika akhir proses produksi akan berada pada lokasi yang sama dengan awal proses produksinya karena keadaan fasilitas transportasi maupun ruangan yang berdekatan.

Pada denah ruang produksi, dapat dilihat bahwa ruang gudang berdekatan dengan ruang persiapan distribusi / penjualan. Hal ini terkait dengan kemudahan alirang barang untuk masuk/keluar dari area pabrik.

(44)

32 Gambar 14. Denah Bangunan Usaha Produksi Mi Sagu HMT

Gambar

Gambar 2. Struktur Kimia Amilopektin (Rudnik, 2008)
Gambar 3. Mekanisme Pengembangan Granula Pati dengan Adanya  Molekul-Molekul Air (Meyer, 1982)
Gambar 5. Representasi skema perbedaan hubungan antara suhu dan  kelembaban antara gelatinisasi dengan Heat moisture Temperature
Gambar 6. Proses pembuatan bihun kering (Koswara, 2006)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Evaluasi alternatif dilakukan oleh konsumen jika mereka telah memiliki informasi yang cukup tentang hal-hal yang berhubungan dengan produk/jasa yang akan dibelinya

Dari hasil penggambaran profil vertikal suhu potensial di Pulau Pramuka pada siang hari terlihat adanya ML atau stabilitas atmosfer yang merepresentasikan kondisi

Pada pembuatan formula gel, bahan-bahan yang tetap digunakan dalam satu formulasi adalah larutan CMC 0.5%, pewarna makanan 0.04% dan sukrosa 12% dari total volume

U j i ketahanan panas yang dilakukan secara organuleptik menunjukkan bahwa ekstrak warna dari bahan segar terdegradasi iebih cepat dibandingkan dengan pewarna

Untuk menyelesaikan studinya dan mendapatkan gelar sarjana, penulis melakukan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemanasan dengan Oven Gelombang Mikro terhadap

Oleh karena itu pada penelitian ini akan dipelajari pengamh komponen bioaktif jahe terhadap proses fagositosis, yaitu dengan mengukur produksi radikal bebas makrofag

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu pengukusan dan penambahan sejumlah minyak goreng tidak berpengaruh terhadap peningkatan kadar likopen sari buah

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dengan judul