BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penataan Ruang
1. Tinjauan Umum Penataan Ruang
Ruang dapat diartikan sebagai wadah kehidupan manusia dan
makhluk hidup lainnya dan sebagai sumber daya alam. Ruang baik sebagai
wadah maupun sebagai sumber daya alam terbatas. Sebagai wadah ia
terbatas pada besaran wilayah, sedangkan sumber daya, ia terbatas daya
dukungnya. Oleh karena itu menurut.pemanfaatan ruang perlu ditata agar tidak terjadi pemborosan dan penurunan kualitas ruang.1 Ruang (space) diartikan pula sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan
biosfera, tempat hidup tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Ruang
dapat merupakan suatu wilayah yang mempunyai batas geografis yatu
batas menurut keadaan fisik, sosial atau pemerintahan yang terjadi dari
sebagian permukaan bumi dan lapisan tanah dibawahnya serta lapisan
udara diatasnya.
Kartasasmita mengemukakan bahwa Penataan Ruang secara
umum mengandung pengertian sebagai suatu proses yang meliputi proses
perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pelaksanaan atau
pemanfaatan ruang yang harus berhubungan satu sama lain.2
1 Kantaatmadja, M.K. 1994. Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang. Mandar Maju Bandung. hal. 115
2 Kartasasmita, G. 1997. Administrasi Pembangunan (Perkembangan Pemikiran dan Prakteknya di Indonesia). LP3ES. Jakarta). Hal. 51
Penataan ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya, hidup melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya3. Ruang sendiri terbagi dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak diatas dan dibawah
permukaan daratan, termasuk permukaan perairan darat dan sisi darat
dari garis laut terendah.
b. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut di mulai dari sisi laut dari sisi garis laut terendah
termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya, dimanan negara
Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
c. Ruang udara adalah ruang yang terletak di atas ruang daratan dan atau
ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada bumi, dimanan
negara Indonesia memiliki hak yuridiksinya.
Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (disingkat UUPR), ruang terdiri dari ruang wilayah dan ruang
kawasan. Pengertian wilayah dalam Pasal 1 butir 17 UUPR adalah ruang
yang merupakan kesatuan geografis beserta segenapnya unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administartif
dan/atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian kawasan dalam Pasal 1
3 Pasal 1 butir 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, selanjutnya disingkat UUPR.
butir 20 UUPR adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau
budi daya.
Ruang dalam wilayah nasional adalah wadah bagi manusia untuk
melakukan kegiatannya. Hal ini tidaklah berarti bahwa ruang wilayah
Nasional akan dibagi habis oleh ruang-ruang yang diperuntukan bagi
kegiatan manusia (fungsi budidaya) akan tetapi harus mempertimbangkan
pula adanya ruang-ruang yang mempunyai fungsi lindung dalam kaitannya
terhadap keseimbangan tata udara, tata air, konservasi flora dan fauna
serta satu kesatuan ekologi.
Pasal 1 butir 2 UUPR, menjelaskan yang dimaksud dengan tata
ruang adalah wujud struktural dan pola ruang. Struktur ruang dalam Pasal
1 butir 3 UUPR adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem
jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan
fungsional. Sedang pola ruang dalam Pasal 1 butir 4 adalah distribusi
peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang
untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang fungsi budi daya.
Pengertian penataan ruang dalam Pasal 1 butir 5 UUPR adalah
suatu sistem proses yang terdiri dari perencanan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Proses penataan ruang
tersebut merupakan satu kesatuan sistem yang tidak dapat terpisahkan
satu sama lainnya. Sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) yuridiksi dan wilayah
kedaulatan nasional yang mencakup ruang darat, ruang laut dan ruang
Hukum haruslah menjadi sarana pembangunan, artinya bahwa
hukum haruslah mendorong proses modernisasi, sejalan dengan fungsi
tersebut maka pembentuk Undang-Undang meletakkan berbagai dasar
yuridis dalam melakukan berbagai kegiatan pembangunan, sebagai salah
satunya yaitu dalam pembuatan undang-undang mengenai penataan
ruang.4 Sebagai keberlanjutan dari pengaturan dalam kosnstitusi, berbagai undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya telah dibentuk oleh
pemerintah, salah satunya adalah Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.
UUPR merupakan Undang-Undang pokok yang mengatur tentang
pelaksanaan penataan ruang. Keberadan undang-undang tersebut
diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan
perencanaan tata ruang juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan
acuan pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungna hidup.
Setiap pembangunan yang dilakukan dalam suatu negara harus terarah,
supaya terjadi keseimbangan, keserasian (keselarasan), berdaya guna,
berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Untuk perlu disusun suatu rencana
yang disebut rencana tata ruang.rencana tata ruang ada yang bersifat
Nasional, artinya meliputi bidang Nasional ada pula yang hanya berlaku
untuk wilayah, atau regional tertentu seperti RUTR.
4 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni Bandung, 2002 hal 104.
Tata ruang berarti susunan ruang yang teratur. Kata teratur
mencakup pengertian serasi dan sederhana sehingga mudah dipahami dan
dilaksanakan. Karena pada tata ruang, yang ditata adalah tempat berbagai
kegiatan serta sarana dan prasarananya dilaksanakan. Suatu tata ruang
yang baik dapat dilaksanakan dari segala kegiatan menata yang baik
disebut penataan ruang. Dalam hal ini penataan ruang terdiri dari tiga
kegiatan utama yakni perencanaan tata ruang, perwujudan tata ruang dan
pengendalian tata ruang.5.
Tata ruang merupakan instrument penting bagi pemerintah,
penetapan rencana harus mendapat kesepakatan dan penetapan oleh
legislative sebagai wakil rakyat dan dukungan masyarakat. Tata ruang
secara legal mempunyai kekuatan mengikat untuk dipatuhi baik oleh
masyarakat maupun pemerintah sendiri, sehingga diharapkan proses
pemanfatan ruang dapat dilakukan secara konsisten. Pemanfaatan ruang
dalam kegiatan pemanfaatan ruang, acuan yang digunakan adalah rencana
tata ruang yang diketahui mempunyai dimensi waktu tertentu, yang pada
suatu waktu sudah tidak dengan dinamika yang ada.
Secara geografis ruang wilayah Indonesia yang terdiri dari ruang
daratan, ruang lautan, dan ruang udara beserta seluruh sumber daya alam
yang terkandung di dalamnya merupakan aset besar bangsa Indonesia
yang harus dimanfaatkan secara terkoordinir, terpadu, dan seefektif
5 Silalahi, M. Daud. 2006. Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Alumni Bandung. hal 80.
mungkin dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan, serta kelestarian, pertahanan kemamanan, serta
kelestarian kemampuan lingkungan hidup.6 Semua pertimbangan-pertimbangan tersebut dimaksudkan agar sumber kekayaan bangsa
Indonesia itu semaksimal mungkin dapat menopang terlaksananya
pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi, sebagai tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, pada
dasarnya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan dengan hal
tersebut, dan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, Undang-Undang ini mengamanatkan perlunya
dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmoniskan lingkungan alam
dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan
penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta yang dapat
memberikan pelindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah
6 Ruang wilayah Indonesia berbentuk kepulauan dengan letak dan posisi yang sangat strategis, baik bagi kepentingan nasional maupun internasional. Secara ekosistem kondisi alamiahnya pun sangat khas karena menempati posisi silang di khatulistiwa antara dua benua dan dua samudera dengan cuaca, musim, dan iklim tropis (Penjelasan Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dalam Marsono, Ibid.,
Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan di Bidang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta:
penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap
proses perencanaan tata ruang wilayah7.
Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas
wilayah. Namun, untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara
dan Ketahanan Nasional, serta sejalan dengan kebijakan otonomi daerah
yang nyata, luas, dan bertanggung jawab, penataan ruang menuntut
kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi menjaga
keselarasan, keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan antardaerah,
antara pusat dan daerah, antarsektor, dan antarpemangku kepentingan.
Dalam Undang-Undang ini, penataan ruang didasarkan pada pendekatan
sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan,
dan nilai strategis kawasan8.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang oleh Pemerintah dan pemerintah daerah,
yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang, didasarkan pada pendekatan wilayah
dengan batasan wilayah administratif. Dengan pendekatan wilayah
administratif tersebut, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia terdiri atas wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah
kabupaten, dan wilayah kota, yang setiap wilayah tersebut merupakan
7 Angka 3 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
subsistem ruang menurut batasan administratif. Di dalam subsistem
tersebut terdapat sumber daya manusia dengan berbagai macam kegiatan
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dan dengan
tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda-beda, yang apabila tidak ditata
dengan baik dapat mendorong ke arah adanya ketidakseimbangan
pembangunan antarwilayah serta ketidaksinambungan pemanfaatan
ruang9.
Selanjutnya, Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama
kawasan terdiri atas penataan ruang kawasan perkotaan dan penataan
ruang kawasan perdesaan. Kawasan perkotaan, menurut besarannya,
dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, kawasan perkotaan sedang,
kawasan perkotaan besar, kawasan metropolitan, dan kawasan
megapolitan. Penataan ruang kawasan metropolitan dan kawasan
megapolitan, khususnya kawasan metropolitan yang berupa kawasan
perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional dan dihubungkan dengan jaringan
prasarana wilayah yang terintegrasi, merupakan pedoman untuk
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah administrasi di dalam
kawasan, dan merupakan alat untuk mengoordinasikan pelaksanaan
pembangunan lintas wilayah administratif yang bersangkutan. Penataan
ruang kawasan perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan
yang merupakan bagian wilayah kabupaten atau pada kawasan yang
secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup 2 (dua) atau lebih
wilayah kabupaten pada 1 (satu) atau lebih wilayah provinsi. Kawasan
perdesaan yang merupakan bagian wilayah kabupaten dapat berupa
kawasan agropolitan10.
Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan
dimaksudkan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau
mengoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis kawasan yang
bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan yang berhasil guna, berdaya
guna, dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis pada setiap
jenjang wilayah administratif didasarkan pada pengaruh yang sangat
penting terhadap kedaulatan negara, pertahanan, keamanan, ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk kawasan yang ditetapkan
sebagai warisan dunia11.
Pengaruh aspek kedaulatan negara, pertahanan, dan keamanan
lebih ditujukan bagi penetapan kawasan strategis nasional, sedangkan
yang berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan,
yang dapat berlaku untuk penetapan kawasan strategis nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota, diukur berdasarkan pendekatan ekternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi penanganan kawasan yang bersangkutan.
Harus disadari bahwa setiap manusia dan makhluk hidup lainnya
membutuhkan ruang sebagai wadah dan pusat kegiatannya, sementara
ketersediaan wadah dan pusat kegiatan tersebut sangat terbatas dan
bahkan tidak pernah bertambah luas, maka pemanfaatan ruang tersebut
10 ibid, hlm 3. 11 ibid, hlm 3-4
perlu diatur dengan sebaik-baiknya agar tidak terjadi pemborosan dan
penurunan kualitas ruang. Oleh karena itu, kehadiran berbagai kebijakan
penataan ruang harus dimaknakan sebagai upaya untuk mengatur
pemanfaatan ruang berdasarkan besaran kegiatan, jenis kegiatan, fungsi
lokasi, kualitas ruang, dan estetika lingkungan12.
Lebih lanjut, Kebijakan penataan ruang tersebut meliputi ruang
wilayah nasional, ruang wilayah provinsi, dan ruang wilayah
kabupaten/kota. Masing-masing ruang wilayah tersebut merupakan
subsistem ruang menurut batasan administrasi belaka, karena secara
alamiah ketiga wilayah tersebut merupakan suatu kesatuan dan tidak dapat
dipilah-pilah. Sebagai satu kesatuan wilayah ruang yang utuh maka dalam
kadar-kadar tertentu pengelolaan salah satu bagian (subsistem) jelas akan
berpengaruh pada subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi subsistem ruang secara keseluruhan. Oleh karena itu,
pengaturan ruang menuntut dikembangkannya suatu sistem keterpaduan
sebagai ciri utamanya. Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan
nasional penataan ruang yang dapat memadukan dan pengendalian
pemanfaatan ruang dalam satu kesatuan sistem, maka diperlukan
perangkat peraturan perundang-undangan yang dapat memberi dasar yang
jelas, tegas, dan menyeluruh dalam upaya pemanfaatan ruang13.
12 Edy Lisdiono. 2008. Legislasi Penataan Ruang (Studi tentang Pergeseran Kebijakan Hukum Tata Ruang dalam Regulasi Daerah di Kota Semarang). Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Universitas Diponegoro - Semarang. hal. 247. 13 Ibid, hlm. 247-248
Dalam sejarah penataan ruang, Indonesia pertama kali memiliki
Undang-Undang penataan ruang yaitu Undang-undang No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, yang disahkan pada tanggal 13 Oktober 1992,
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Perubahan tersebut didasarkan pada pertimbangan,
antara lain: (a) situasi nasional maupun internasional yang menuntut
penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi dan keadilan
dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik; (b)
pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang memberikan wewenang yang
semakin besar kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan
penataan ruang sehingga pelaksanaan kewenangan tersebut perlu diatur
demi menjaga keserasian dan keterpaduan antardaerah demi menghindari
kesenjangan antardaerah; dan (c) kesadaran dan pemahaman masyarakat
yang semakin tinggi terhadap penataan ruang yang memerlukan
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang
agar sesuai dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat.14
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, dalam mencapai
tujuan penyelenggaraan penataan ruang nasional, Undang-undang yang
baru ini memuat beberapa ketentuan pokok sebagai berikut:
a. Pembagian wewenang antara pemerintah (pusat), pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pemanfaatan ruang untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan;
b. Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalaui penetapan peraturan pewrundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang;
c. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja penyelengagaraan penataan ruang;
d. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat pemerintahan;
e. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang termasuk pengawasan terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal biodang penataan ruang melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan;
f. Hak, kewajiban, dan peraan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam setiap proses penyelenggaraan penataan ruang;
g. Penyelesaian sengketa, baik sengketa anatar daerah maupun antar pemangku kepentingan lain secara bermartabat;
h. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negari sipil beserta wewenang dan mekanisme tindakan yang dilakukan;
i. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang; dan
j. Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyelesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun untuk penyesuaian.15
2. Prinsip-prinsip dasar dan Tujuan Penataan Ruang
Penataan ruang wilayah Indonesia, baik untuk kepentingan
pemerintah maupun kepentingan masyarakat, pada dasarnya diletakkan di
atas beberapa prinsip dasar16, yakni:
(a) Prinsip keterpaduan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas sektor, lintas wilayah, dan lintas pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan, antara lain, adalah Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
15Angka 9 Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 16 Penjelasan Pasal 2 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
(b) Prinsip keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya, keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antardaerah serta antara kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan.
(c) Prinsip keberlanjutan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi mendatang.
(d) Prinsip keberdayagunaan dan keberhasilgunaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang yang berkualitas.
(e) Asas keterbukaan adalah bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang. (f) Prinsip kebersamaan dan kemitraan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. (g) Prinsip pelindungan kepentingan umum adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat. (h) Prinsip kepastian hukum dan keadilan adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan peraturan perundangundangan dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan jaminan kepastian hukum. (i) Prinsip akuntabilitas adalah bahwa penyelenggaraan penataan ruang
dapat dipertanggungjawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Selain prinsip-prinsip dasar penataan ruang sebagaimana dimaksud
di atas, penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan
Nasional dengan: (a) terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam
dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang17.
Makna aman dalam tujuan penyelenggaraan tata ruang tersebut
adalah situasi masyarakat dapat menjalankan aktivitas kehidupannya
dengan terlindungi dari berbagai ancaman. Nyaman adalah keadaan
masyarakat dapat mengartikulasikan nilai sosial budaya dan fungsinya
dalam suasana yang tenang dan damai. Produktif dimaksudkan sebagai
proses produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu
memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat,
sekaligus meningkatkan daya saing. Sedangkan berkelanjutan adalah
kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat
ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi
ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan18. Penataan ruang wilayah nasional meliputi ruang daratan, ruang laut,
ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan. Dalam
Pasal 6 Ayat (5) UUPR, bahwa ruang laut dan ruang udara pengelolaannya
diatur dengan undang-undang tersendiri. Penataan ruang untuk wilayah
Laut, diatur lebih lanjut dalam UUPWP3K, khususnya berkaitan dengan
Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Pasal 1 Angka
14, Pasal 7 Ayat (1) b, Pasal 9, 10 dan 11) dan UU Kelautan (Pengelolaan
Ruang Laut, Pasal 42 s.d. 49). Lebih lanjut mengenai penataan ruang laut
17 Pasal 3 UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(termasuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) diuraikan pada bagian lain
naskah ini.
B. Penataan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut 1. Pengertian Pesisir dan Wilayah Pesisir
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)19, pesisir diartikan sebagai tanah datar berpasir di pantai (di tepi laut); sedangkan pesisir
basah diartikan daerah antara garis pantai waktu (air) laut surut dan pantai
waktu (air) laut pasang; pasir kering diartikan daerah antara garis pantai
waktu (air) laut pasang dan garis pantai tertinggi yang dapat dicapai oleh
(air) laut pada waktu topan melanda.
Wilayah pesisir menurut Kay dan Alder20 “The band of dry land adjancent ocean space (water and submerged land) in wich terrestrial processes and land uses directly affect oceanic processes and uses, and vice versa”. Diartikan bahwa wilayah pesisir adalah wilayah yang
merupakan tanda atau batasan wilayah daratan dan wilayah perairan yang
mana proses kegiatan atau aktivitas bumi dan penggunaan lahan masih
mempengaruhi proses dan fungsi kelautan.
Sedangkan pengertian wilayah pesisir dikemukakan oleh
Suprihayono21, bahwa wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut
19 Tim Pembuat Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. hal. 762.
20 Kay R and Alder J, 1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon, an imprint of Routledge, London. hal. 5
21 Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hal. 7.
seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke
arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi
oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air
tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti
penggundulan hutan dan pencemaran.
Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir
internasional menurut Beatley et al., 1994, sebagaimana dikutip oleh
Dahuri dkk.22, merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air
laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua
(continental shelf).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat di tarik suatu kesimpulan
bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah yang unik karena merupakan
tempat percampuran antara daratan dan lautan, hal ini berpengaruh
terhadap kondisi fisik dimana pada umumnya daerah yang berada di
sekitar laut memiliki kontur yang relatif datar. Adanya kondisi seperti ini
sangat mendukung bagi wilayah pesisir dijadikan daerah yang potensial
dalam pengembangan wilayah keseluruhan. Hal ini menunjukan garis batas
nyata wilayah pesisir tidak ada. Batas wilayah pesisir hanyalah garis
khayalan yang letaknya ditentukan oleh kondisi dan situasi setempat. Di
daerah pesisir yang landai dengan sungai besar, garis batas ini dapat
berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam
22 Dahuri, Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9
dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan
sempit. Berikut perbandingan batas wilayah pesisir menurut beberapa
Negara atau Negara Bagian di Amerika Serikat .
Tabel 1 Batas ke arah darat dan ke arah laut wilayah pesisir yang telah dipraktekkan di beberapa Negara atau Negara Bagian
No. Negara/Negara Bagian
Batas ke arah Darat Batas ke arah Laut 1 Brazilia 2 km dari garis PTR 12 km dari garis PTR 2 California
- 1972 -1976 - 1977 - sekarang
- 1.000 m dari garis PTR - Batas Arbitrer tergantung isu pengelolaan
- 3 mil laut dari garis GD - 3 mil laut dari garis GD 3 Washington State
- Batas Perencanaan - batas Pengaturan
- Batas darat dari negara pantai
- 61 meter dari garis PTR
- 3 mil laut dari GD - 3 mil laut dari PTR 4 Costa Rica 200 meter dari garis PTR Garis pantai saat PRR
5 Cina 10 km dari PTR Sampai kedalaman laut/isobath
15 meter 6 Ekuador Batas arbitrer tergantung isu
pengelolaan
Belum ditetapkan (BL) 7 Israel 1 - 2 km tergantung jenis
sumberdaya dan lingkungan
500 m dari garis pantai saat PRR 8 Afrika Selatan 1 km dari garis PTR BL
9 Australia Selatan 100 km dari garis PTR 3 mil laut dari GD 10 Queensland 400 meter dari PTR 3 mil laut daro PTR
11 Spanyol 500 m dari garis PTR 12 mil laut/batas perairan teritorial
Sumber: Sorensen dan Mc. Creary (1990) dikutip dari Dahuri, dkk.23
Keterangan:
PTR : Pasang surut Tinggi Rata-rata (mean high tide) PRR : Pasang surut Rendah Rata-rata (mean low tide) GD : Garis Dasar
BL : Belum ditetapkan
Secara yuridis, wilayah pesisir diartikan Wilayah Pesisir adalah
daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut24. Dalam Pasal 2 UUPWP3K, disebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23 Dahuri, Rokhmin, dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan keempat. hal. 9
meliputi daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup
wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil
laut diukur dari garis pantai. Gambaran wilayah pesisir sebagai berikut.
Bagan - 1 Gambaran Wilayah Pesisir menurut UUPWP3K25
Keterangan: HWL= High Water Level LWL = Low Water Level
Selain pengertian wilayah pesisir sebagaimana dimaksud di atas,
secara teoritis, batasan pengertian wilayah pesisir dapat dijelaskan dengan
menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan ekologis, pendekatan
perencanaan dan pendekatan administratif. Pendekatan ekologis yaitu
wilayah pesisir merupakan kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh
proses-proses kelautan seperti pasang surut dan intrusi air laut dan
kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan, seperti
25 Yudha Arie Wibowo. 2012. Teknik Pantai (Coastal Engineering). https://oseanografi hanhtuah.wordpress.com.
Minimal 100 meter
sedimentasi dan pencemaran26. Berdasarkan pendekatan secara administrasi, wilayah pesisir adalah wilayah yang secara administrasi
pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari kecamatan atau
kabupaten atau kota yang mempunyai wilayah laut dan ke arah laut sejauh
12 mil dari garis pantai untuk propinsi atau sepertiganya untuk kabupaten
atau kota. Pendekatan dari segi perencanaan, wilayah pesisir merupakan
wilayah perencanaan pengelolaan sumber daya yang difokuskan pada
penanganan suatu masalah yang akan dikelola secara bertanggung
jawab27.
2. Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu
Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan
(integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM,
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPWP3K, pengelolaan wilayah
pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati
maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah.
26 Lazarus Tri Setyawanto, 2005. Masalah-Masalah Hukum di Wilayah Pesisir dan Laut, Syclosundip Semarang. hal. 84
27 Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001, Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, hal. 1-5
Pengelolaan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil secara
terpadu28 mengacu pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg 2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable
Development, 2002, dan Bali Plan of Action 2005. ICM merupakan
pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan.
Implementasi ICM dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam
pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, dan tumpang tindih
kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor29.
ICM merupakan suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan
laut yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai
pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan. Dalam
konteks demikian, ICM mengandung tiga dimensi yaitu sektoral, bidang
ilmu dan ekologis30.
Pengelolaan terpadu secara sektoral, berarti adanya koordinasi
antara tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor atau instansi
pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration), dan
28 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
29 Dina Sunyowati, 2008. Kerangka Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Berdasarkan Konsep Integrated Coastal Management dalam Rangka Pembangunan Kelautan Berkelanjutan. Ringkasan Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Airlangga.
Surabaya. hal. 16.
30 Rohmin Dahuri dkk. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Cetakan Keempat. hal. 12
antar tingkat pemerintahan (vertikal integration). Selanjutnya pengelolaan
terpadu secara keilmuan, berarti bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan laut dalam rangka penataan ruang menggunakan interdisiplin ilmu
(interdiclipinary approaches) yang melibatkan bidang ilmu ekonomi,
ekologi, teknik, sosiologi, hukum dan lainnya yang relevan. Pengelolaan
terpadu secara ekologis, yaitu keterpaduan antara ekosistem darat dan
ekosistem pesisir dan laut.31
Pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil yang
sangat kompleks, dilakukan dengan menerapkan prinsip keterpaduan
(integrated coastal management/ICM). Sesuai dengan prinsip-prinsip ICM,
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPWP3K, pengelolaan wilayah
pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati
maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara
menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga
pemerintah.
Pengelolaan sumber daya kelautan (termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil) secara terpadu, menurut Arifin Rudyanto32 difokuskan pada empat aspek, yaitu 1). Keterpaduan antara berbagai sektor dan swasta
yang berasosiasi; 2). Keterpaduan antara berbagai level pemerintahan,
mulai dari pusat sampai dengan kabupaten/kota, kecamatan dan desa; 3).
31 Ibid. hal 12.
32 Arifin Rudyanto. 2004. Kerangka Kerjasama dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFDCP, 22
integrasi antara pemanfaatan ekosistem darat dan laut; dan 4). Integrasi
antara sains/teknologi dan manejemen. Selanjutnya diatur dalam Pasal 6
UUPWP3K, bahwa keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil wajib dilakukan dengan cara mengintegrasikan kegiatan: a.
antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; b. antar-Pemerintah Daerah; c.
antarsektor; d. antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat; e. antara
Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan f. antara ilmu pengetahuan dan
prinsip-prinsip manajemen.
Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara menyeluruh
(comprehensive assessment), merencanakan tujuan dan sasaran,
kemudian merencanakan serta mengelola segenap kegiatan
pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan
berkelanjutan. Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara
kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek
sosial-ekonomis-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna wilayah pesisir (stakeholders)
serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada.
Keterpaduan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir secara
terpadu ini sebagaimana dikemukakan oleh Wahyu Hartomo33, mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: (1) keterpaduan wilayah/ekologis; (2) keterpaduan
33 Wahyu Hartomo. 2004. Perencanaan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir terpadu dalam Menunjang Pembangunan Daerah. Makalah disampaikan pada Matakuliah Pengantar ke
sektor; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholder.
Uraiannya sebagai berikut.
a. Keterpaduan Wilayah/Ekologis
Secara keruangan dan ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan
antara lahan atas (daratan) dan laut lepas, disebabkan karena wilayah
pesisir merupakan daerah pertemuan antara daratan dan laut. Dengan
keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan pesisir dan laut
tidak terlepas dari pengelolaanlingkungan yang dilakukan di kedua
kawasan tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang mengenai kawasan
pesisir dan laut adalah akibat dari dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
pembangunan yang dilakukan di lahan atas, seperti pertanian, perkebunan,
kehutanan, industri, pemukiman dan sebagainya, demikian juga dengan
kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak
lepas pantai dan perhubungan laut.
Penanggulangan pencemaran yang diakibatkan oleh industri dan
limbah rumah tangga, sedimentasi akibat erosi dari kegiatan perkebunan
dan kehutanan, dan limbah pertanian tidak dapat hanya dilakukan di
kawasan pesisir saja, melainkan harus dilakukan mulai dari sumber
dampaknya. Oleh karena itu, pengelolaan di wilayah ini harus
diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta Daerah Aliran Sungai
(DAS).
b. Keterpaduan Sektor
Sebagai konsekuensi dari besar dan beragamnya sumberdaya alam
pelaku pembangunan yang bergerak dalam pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut antar satu sektor dengan sektor lainnya. Agar
pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara
optimal dan berkesinambungan, maka dalam perencanaan pengelolaan
harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Kegiatan suatu
sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan kegiatan
sektor lain. Keterpaduan sektoral ini, meliputi keterpaduan secara
horisontal (antar sektor) dan keterpaduan secara vertikal (dalam satu
sektor). Oleh karena itu, penyusunan tata ruang dan panduan
pembangunan di kawasan pesisir sangat perlu dilakukan untuk
menghindari benturan antara satu kegiatan dengan kegiatan pembangunan
lainnya.
c. Keterpaduan Disiplin llmu
Wilayah pesisir dan laut memiliki sifat dan karakteristik yang unik,
baik sifat dan karakteristik ekosistem pesisir maupun sifat dan karakteristik
sosial budaya masyarakat pesisir. Sehingga dalam mengkaji wilayah
pesisir dan laut tidak hanya diperlukan satu disiplin ilmu saja, tetapi
dibutuhkan berbagai disiplin ilmu yang menunjang sesuai dengan
karakteristik pesisir dan lautan tersebut. Dengan sistem dinamika perairan
pesisir yang khas, dibutuhkan disiplin ilmu khusus pula seperti
hidrooseanografi, dinamika oseanografi dan sebagainya. Selain itu,
kebutuhan akan disiplin ilmu lainnya juga sangat penting. Secara umum,
adalah ilmu-ilmu ekologi, oseanografi, keteknikan, ekonomi, hukum dan
sosiologi.
d. Keterpaduan Stakeholder
Segenap keterpaduan di atas, akan berhasil diterapkan apabila
ditunjang oleh keterpaduan dari pelaku dan pengelola pembangunan di
kawasan pesisir dan laut. Seperti diketahui bahwa pelaku pembangunan
dan pengelola sumberdaya alam wilayah pesisir antara lain terdiri dari
pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat pesisir, swasta/investor dan
juga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang masing-masing memiliki
kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir.
Penyusunan perencanaan pengelolaan terpadu harus mampu
mengakomodir segenap kepentingan pelaku pembangunan sumberdaya
pesisir dan laut. Oleh karena itu, perencanaan pengelolaan pembangunan
harus menggunakan pendekatan dua arah, yaitu pendekatan top down dan
pendekatan bottom up.
3. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia
dipengaruhi oleh perkembangan hukum laut Internasional, diantaranya
adalah Konvensi Hukum Laut Internasional (United Nations Convention on
the Law of the Sea /UNCLOS), 1982. Berikut beberapa pengaturan hukum
pengelolaan wilayah pesisir dan laut menurut hukum nasional Indonesia34.
34 Dina Sunyowati. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut di Indonesia. https://www.scribd.com/doc/174723592/574-1661-1-PB.pdt.; Journal.lib.unair.ac.id/index. php/YRD/ articel.../573. Diakses tanggal 5 Januari 2015.
a. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on
the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak
mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada
di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsipprinsip
pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga
dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia.
b. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa
konsekuensi kepada NKRI untuk memperbarui ketentuan tentang Perairan
Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 4/Prp/1960 tentang
Perairan Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru
negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.
Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut
tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV
tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian
Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip
sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir
pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”.
Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam
di perairan Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa apabila
diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan,
dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan
dengan Keputusan Presiden.
c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025
Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan
bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah
sesuai RPJP Nasional Tahun 2005-2025, tertuang dalam Bab II – huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.
Dalam Bab II-huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan
hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan
sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa
lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon,
pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan
penopang kehidupan manusia.
Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya
kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP
sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan
multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik
dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya permasalahan
dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil,
pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi
prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial,
dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam
integrated coastal management.
d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi
dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini
dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada
eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian
sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor
penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan
UUPWP3K, bahwa norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun
dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan
pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem
pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan
tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya
pengelolaan wilayah pesisir.
Asas-asas yang terdapat dalam UUPWP3K, merupakan
implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated
coastal management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia.
Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah
pesisir sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan
evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders. Perencanaan wilayah
pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih
lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana
zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi (Pasal 7).
Keberadaan masyarakat adat yang telah memanfaatkan pesisir
secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap mereka sesuai
Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal
61 ayat (1) UUPWP3K. Untuk menghindari perbedaan penafsiran,
pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan
pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi
dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya
alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak
menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.
Ruang lingkup wilayah pesisir sesuai dengan Pasal 2 UUPWP3K
sangat terkait dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu
di daerah. Selanjutnya, untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di darat
dan dasar laut, maka Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara menyesuaikan dengan UUPWP3K.
Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir
menurut UUPWP3K ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar
pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui
pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai
pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu
yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa.
Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara
konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau
melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.
Salah satu instrumen penting dalam pengendalian pemanfaatan
sumberdaya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dengan
diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) kepada pengguna,
namun berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VIII/2010
terhadap yudicial review UU No. 27 tahun 2007, maka HP3 dianggap
bertentangan dengan konstitusi dan semua pasal-pasal terkait dinyatakan
dihapus35. Untuk itu berdasarkan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007, instrumen HP3 sebagaimana diatur dalam UU
No. 27 Tahun 2007 diganti menjadi instrumen perizinan, yaitu Izin Lokasi
35 Pasal 1 Angka 18; Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23 ayat 3 dan 5; Pasal 50, 51, 60 (1), 71 dan 75)) UU No. 27 Tahun 2007.
dan Izin Pengelolaan36 yang diatur dalam pasal Pasal 1 Angka 18 dan 18A; Pasal 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 22A, 22B, 22C, 23, 26A, Pasal 50, 51, 60,
71, 75, dan Pasal 75A UU No. 1 Tahun 2014.
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
Undang-undang ini adalah undang-undang pertama yang mengatur
mengenai kelautan secara komprehensif, meliputi pengaturan
penyelenggaraan kelautan Indonesia secara terpadu dan berkelanjutan
untuk mengembangkan kemakmuran negara. Dasar pertimbangannya
adalah a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara
kepulauan memiliki sumber daya alam yang melimpah yang merupakan
rahmat dan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi seluruh bangsa dan
negara Indonesia yang harus dikelola secara berkelanjutan untuk
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa
wilayah laut sebagai bagian terbesar dari wilayah Indonesia yang memiliki
posisi dan nilai strategis dari berbagai aspek kehidupan yang mencakup
politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan, dan keamanan merupakan
modal dasar pembangunan nasional; dan bahwa pengelolaan sumber daya
kelautan dilakukan melalui sebuah kerangka hukum untuk memberikan
36 Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil. Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil. (Pasal 1 Angka 8 dan 8A UU No. 1 tahun 2014).
kepastian hukum dan manfaat bagi seluruh masyarakat sebagai negara
kepulauan yang berciri nusantara37.
Dalam ketentuan umum undang-undang ini, yang dimaksud dengan
laut adalah ruang perairan di muka bumi yang menghubungkan daratan
dengan daratan dan bentuk-bentuk alamiah lainnya, yang merupakan
kesatuan geografis dan ekologis beserta segenap unsur terkait, dan yang
batas dan sistemnya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan
hukum internasional. Sedangkan Kelautan adalah hal yang berhubungan
dengan laut dan/atau kegiatan di wilayah laut yang meliputi dasar aut dan
tanah di bawahnya, kolom air dan permukaan laut, termasuk wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil Sedangkan Pembangunan Kelautan adalah
pembangunan yang memberi arahan dalam pendayagunaan sumber daya
Kelautan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan
kesejahteraan, dan keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan
laut38. Penyelenggaraan kelautan meliputi: a wilayah laut; b. pembangunan kelautan; c. pengelolaan kelautan; d. pengembangan kelautan; e.
pengelolaan ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; f. pertahanan,
keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di laut; dan g. tata kelola
dan kelembagaan.
Penyelenggaraan Kelautan bertujuan untuk: a. menegaskan
Indonesia sebagai negara kepulauan berciri nusantara dan maritim;
b. mendayagunakan sumber daya kelautan dan/atau kegiatan di wilayah
37 Konsiderans Menimbang UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 38 Pasal 1 Angka (1), (2) dan (6) UU Kelautan
laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
laut internasional demi tercapainya kemakmuran bangsa dan negara; c.
mewujudkan laut yang lestari serta aman sebagai ruang hidup dan ruang
juang bangsa Indonesia; d. memanfaatkan sumber daya kelautan secara
berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan bagi generasi
sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi mendatang; e.
memajukan budaya dan pengetahuan Kelautan bagi masyarakat; f.
mengembangkan sumber daya manusia di bidang kelautan yang
profesional, beretika, berdedikasi, dan mampu mengedepankan
kepentingan nasional dalam mendukung pembangunan kelautan secara
optimal dan terpadu; g. memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi
seluruh masyarakat sebagai negara kepulauan; dan h. mengembangkan
peran Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam percaturan kelautan
global sesuai dengan hukum laut internasional untuk kepentingan bangsa
dan negara39.
Wilayah laut terdiri atas wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi serta
laut lepas dan kawasan dasar laut internasional. Wilayah perairan meliputi:
a. perairan pedalaman; b. perairan kepulauan; dan c. laut teritorial.
Sedangkan Wilayah yurisdiksi meliputi: a. Zona Tambahan; b. Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia; dan c. Landas Kontinen. Negara Indonesia
memiliki: a. kedaulatan pada perairan pedalaman, perairan Kepulauan, dan
laut teritorial; b. yurisdiksi tertentu pada Zona Tambahan; dan c. hak
berdaulat pada Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Kedaulatan,
yurisdiksi tertentu, dan hak berdaulat di dalam wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksi dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan hukum internasional40.
Pengelolaan kelautan sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah
dan Pemerintah Daerah melakukan pengelolaan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya
kelautan dengan menggunakan prinsip ekonomi biru. Yang dimaksud
dengan ekonomi biru adalah sebuah pendekatan untuk meningkatkan
Pengelolaan Kelautan berkelanjutan serta konservasi Laut dan sumber
daya pesisir beserta ekosistemnya dalam rangka mewujudkan
pertumbuhan ekonomi dengan prinsip-prinsip antara lain keterlibatan
masyarakat, efisiensi sumber daya, meminimalkan limbah, dan nilai tambah
ganda (multiple revenue)41.
Pengelolaan ruang laut meliputi perencanaan, pemanfaatan,
pengawasan dan pengendalian. Perencanaan ruang laut, meliputi:
a. perencanaan tata ruang laut nasional; b. perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil; dan c. perencanaan zonasi kawasan laut.
Dalam penjelasan Pasal 43 disebutkan bahwa Perencanaan ruang laut
merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang laut
dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang laut dan pola
ruang laut. Struktur ruang laut merupakan susunan pusat pertumbuhan
Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi
40 Pasal 6 Ayat (1), Pasal 7 Ayat (1) dan (2) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan 41 Pasal 14 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2014, dan Penjelasannya
sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang laut meliputi kawasan
pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur laut, dan kawasan strategis
nasional tertentu. Perencanaan ruang laut dipergunakan untuk menentukan
kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya,
misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan laut, industri
maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi
kelestarian sumber daya kelautan; serta untuk menentukan perairan yang
dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah laut, dan migrasi
biota Laut. Perencanaan tata ruang laut nasional mencakup wilayah
perairan dan wilayah yurisdiksi42.
f. Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dalam kerangka otonomi daerah, Pemerintah Daerah Provinsi yang
memiliki wilayah laut diberi kewenangan untuk mengelola sumberdaya laut
di wilayahnya. Ketentuan ini tidak lagi memberikan kewenangan daerah
kabupaten/Kota untuk mengelola wilayah laut sebagaimana
undang-undang terdahulu. Namun, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat
menikmati bagi hasil dari sumberdaya laut dalam batas 4 mil laut. Dalam
undang-undang ini, urusan Kelautan dan Perikanan termasuk dalam
urusan pemerintahan pilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat (3)
UU Pemerintahan Daerah.
Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di
laut meliputi: a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan
kekayaan laut di luar minyak dan gas bumi; b. pengaturan administratif; c.
pengaturan tata ruang; d. ikut serta dalam memelihara keamanan di laut;
dan e. ikut serta dalam mempertahankan kedaulatan negara43. Kewenangan Daerah provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut
paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
dan/atau ke arah perairan kepulauan. Bagi daerah provinsi yang berciri
kepulauan, selain mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam
di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, juga mendapat penugasan
dari Pemerintah Pusat untuk melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat
di bidang kelautan berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
4. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan Tata Ruang Laut
Kewenangan pemerintah daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
dalam pengaturan tata ruang di wilayah pesisir adalah didasarkan pada
ketentuan dalam Pasal 10 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Pasal 18 UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya diubah terakhir dengan Pasal
27 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, dalam
Pasal 6 Ayat 5 UU Penataan Ruang, mengatur bahwa ruang laut dan udara
pengelolaannya diatur dengan undang-undang tersendiri.
Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang
Pemerintahan Daerah tersebut dan UU Penataan Ruang, maka dalam
Pasal 7, 9 dan 11 UUPWP3K mengatur mengenai perencanaan
pengelolaan ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan
nomenklatur Rencana Zonasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
yang wajib disusun oleh Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Rencana
Zonasi adalah salah satu dokumen perencanaan selain Rencana Strategis,
Rencana Pengelolaan dan Rencana Aksi. Lingkup kewenangan
pengelolaan meliputi kearah darat samapai batas administrasi kecamatan,
sedangkan ke arah laut sampai pada batas 12 mil laut. Dalam UUPWP3K
belum mengatur kewenangan Pemerintah Pusat dalam Penataan Ruang di
wilayah diluar batas 12 mil, termasuk Zona Tambahan, ZEE, ataupun
Landas Kontinen. Olehnya itu, dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun
2014 tentang Kelautan, kewenangan tersebut telah diatur dengan
komprehensif termasuk perencanaan tata ruang kawasan Selat dan Teluk.
Untuk terselenggaranya perencanaan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan mengeluarkan
Peraturan Menteri No. PER. 16/ MEN/2008 tentang Perencanaan
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang telah diubah
dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.
34/PERMEN-KP/2014 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah
penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang
memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta
kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin44.
Wilayah pesisir dan laut merupakan suatu sumberdaya alam yang
krusial bagi negara berkembang seperti Indonesia, dimana pihak
pemerintah memiliki hak dan menguasai lahan di bawah teritorial laut dan
sumberdayanya. Pemerintah, baik pusat maupun daerah memiliki tanggung
jawab untuk membuat peraturan, atau keputusan-keputusan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan umum. Dalam hal ini,
salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah adalah mengatur
pengalokasian ruang atau zona wilayah pesisir untuk dapat digunakan
dalam memaksimalkan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir.
Zonasi wilayah pesisir pada hakekatnya merupakan suatu bentuk rekayasa
teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai
dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses
ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.
Sebagai suatu upaya untuk menciptakan keseimbangan antara
kebutuhan-kebutuhan pembangunan dan konservasi, maka Rencana
Zonasi merupakan implikasi spasial (keruangan) untuk pelaksanaan
kebijakan-kebijakan dari Rencana Strategis. Sesuai dengan Pasal 7 Ayat
(3) UU No. 27 Tahun 2007, mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib
menyusun semua dokumen rencana (Rencana Strategis Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan
Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil).
Tujuan penyusunan rencana zonasi adalah untuk membagi wilayah
pesisir dalam zona-zona yang sesuai dengan peruntukan dan kegiatan
yang saling mendukung (compatible) serta memisahkannya dari kegiatan
yang saling bertentangan (incompatible). Penentuan zona difokuskan
berdasarkan kegiatan utama dan prioritas pemanfaatan sumberdaya pesisir
guna mempermudahkan pengendalian dan pemanfaatan. Rencana zonasi
menjelaskan fokus kegiatan dan nama zona yang dipilih berdasarkan
kondisi dan kegiatan yang diizinkan atau dapat dilakukan dengan
persyaratan tertentu. Penetapan rencana zonasi dimaksudkan untuk
memelihara keberlanjutan sumberdaya pesisir dalam jangka panjang serta
mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat
kegiatan yang tidak sesuai (incompatible)45.
Pasal 9 UUPWP3K mengatur bahwa Rencana Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K), merupakan arahan pemanfaatan
sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pemerintah provinsi
dan/atau pemerintah kabupaten/kota; diserasikan, diselaraskan, dan
diseimbangkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Perencanaan RZWP3K dilakukan
dengan mempertimbangkan: a. keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan dengan daya dukung ekosistem, fungsi pemanfaatan dan
45 Ihsan. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. http://ptmadanimulti kreasi.com/berita-4-rencana-zonasi-wilayah-pesisir- dan- pulaupulau-kecil.html. Diakses, 16 Agustus 2015.
fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial
budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; b. keterpaduan
pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan
kualitas lahan pesisir; dan c. kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan
akses Masyarakat dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.
RZWP3K Provinsi berisi arahan pemanfaatan ruang yang terdiri
atas46: a. mengalokasikan ruang dalam Kawasan Pemanfaatan Umum, Kawasan Konservasi, Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan alur laut;
b. keterkaitan antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut dalam suatu
Bioekoregion; c. penetapan pemanfaatan ruang laut; dan d. penetapan
prioritas Kawasan laut untuk tujuan konservasi, sosial budaya, ekonomi,
transportasi laut, industri strategis, serta pertahanan dan keamanan.
Sedangkan untuk RZWP3K Kabupaten berisikan arahan tentang47: a. alokasi ruang dalam Rencana Kawasan Pemanfaatan Umum, rencana
Kawasan Konservasi, rencana Kawasan Strategis Nasional Tertentu, dan
rencana alur; b. keterkaitan antarekosistem Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dalam suatu Bioekoregion. Selain itu, penyusunan RZWP3K diwajibkan
mengikuti dan memadukan rencana Pemerintah dan Pemerintah Daerah
dengan memperhatikan Kawasan, Zona, dan/atau Alur Laut yang telah
ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
46 Pasal 10 UU No. 27 Tahun 2007 47 Pasal 11 UU No. 27 Tahun 2007