• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa penyandang cacat merupakan. salah satu kelompok yang mengalami kondisi ketidakberuntungan dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa penyandang cacat merupakan. salah satu kelompok yang mengalami kondisi ketidakberuntungan dan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa penyandang cacat merupakan salah satu kelompok yang mengalami kondisi ketidakberuntungan dan termasuk dalam kategori kelompok ketidakberuntungan secara khusus. Ketidakberdayaan yang dialami penyandang cacat sebagai dampak dari kecacatan dikemukakan oleh Adam dan Soifer dalam Browne (1982:48) sebagai berikut ini :

a. Seseorang yang mengalami kecacatan secara pasti akan dihadapkan kepada suatu kehilangan, yaitu kehilangan fungsi pengendalian diri, kehilangan peranan, dan kesabaran emosional.

b. Dampak dari kecacatan sangat besar baik yang berasal dari kecacatan yang dialami secara tepat ataupun karena perubahan-perubahan yang berangsur-angsur karena penyakit kronis.

c. Penyandang cacat akan mengalami kehilangan selama periode yang panjang atau secara permanen kedudukannya dalam rumah, pekerjaan dan dalam masyarakat.

d. Merasakan perubahan-perubahan pada diri dan kemampuan, mendapatkan dukungan emosional dari keluarga dan teman-teman yang kurang. Perubahan-perubahan ini seringkali menghancurkan mereka.

e. Secara umum, kita berharap diri kita sehat dan dapat menggerakkan seluruh tubuh sesuai dengan fungsinya. Ketika kecacatan terjadi, goncangan, penolakan, kemarahan, kesedihan sering mengikuti

(2)

kenyataan bahwa seseorang mempunyai baik secara tetap ataupun sementara kehilangan kemampuan untuk menjadi apa yang sebelumnya mereka dapat kerjakan.

Sementara itu Feriel dan Slamet (1998:2-3), memandang dampak kecacatan tidak hanya melihat dari sisi individu penyandang cacat, melainkan mencakup keluarga dan masyarakat. Dari aspek individualnya seseorang yang mengalami kecacatan dapat mengalami perubahan tingkah laku seperti meminta perhatian yang berlebihan, sensitive dan cepat marah, merasa terhukum, tidak seperti yang lain, hilang kepercayaan diri, terganggu tidurnya, sulit menerima kecacatan yang dihadapinya dan sebagainya. Dari aspek keluarga dan masyarakat, terlihat bahwa beberapa keluarga percaya bahwa mempunyai anak cacat adalah suatu hukuman atau gangguan dari makhluk halus. Keyakinan itu membuat mereka menerima dengan pasrah dan tidak mau berupaya membantu kemandirian penyandang cacat.

Handojo (2001: 19) mengemukakan adanya pemahaman dan pengetahuan yang salah dan kurang dari keluarga dan masyarakat dalam memandang penyandang cacat sebagai berikut:

Masyarakat setempat dimana penyandang cacat tinggal tidak memahami tentang kecacatan. Penanganan kecacatan masih dilakukan dengan cara-cara tradisional antara lain berupa pengobatan pada “orang pintar” yang tidak jarang mengeluarkan biaya besar namun tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Masyarakat dan keluarga juga masih menganut paham bahwa kecacatan berkaitan dengan kutukan, dosa dan aib keluarga yang harus disembunyikan.

(3)

Kondisi ketidakberdayaan yang dihadapi penyandang cacat, sebagaimana dikemukakan Hayes dan Cuskelly dalam Bowes dan Hayes (1999:29-38) merupakan pengaruh dari hubungan/konteks yang terjadi diantar individu penyandang cacat, keluarga dan masyarakat sebagai suatu system, sehingga memunculkan konsekuensi-konsekuensi yang dihadapi penyandang cacat. Konsekuensi-konsekuensi tersebut meliputi:

a. Konsekuensi untuk penyandang cacat, meliputi ada tidaknya kesempatan yang mereka peroleh dari keluarga dan masyarakat dalam bidang pendidikan, pengembangan, pekerjaan, dan dalam menjalin hubungan dengan rekan sebaya.

b. Konsekuensi untuk keluarga, meliputi beberapa aspek sebagai berikut: 1) Dilihat dari pengaruh kecacatan terhadap keluarga, pada sebagian keluarga dan anggotanya kecacatan merupakan suatu masalah aib yang sangat besar karena menyangkut “kehormatan keluarga”, namun sebagian lainnya menganggap bahwa kecacatan adalah suatu masalah potensial yang harus dikembangkan oleh keluarga dan anggotanya. Dalam konteks yang terakhir ini, terdapat suatu proses “akomodasi keluarga”, dimana keluarga membantu penyandang cacat untuk menciptakan rutinitas kehidupan sehari-hari meliputi perawatan diri, tugas-tugas rumah tangga, dukungan sosial, sumber keuangan dan peranan orang tua.

(4)

2) Dilihat dari respon keluarga terhadap kecacatan, hampir semua keluarga mengalami proses duka cita yang mendalam. Proses ini dapat berlarut-larut dan tidak berakhir sehingga berakibat pada penyangkalan yang mengganggu proses penerimaan, tapi ada juga keluarga yang tidak menjadi rentan malah semakin kuat/tabah dalam menghadapi kecacatan.

3) Keluarga akan dihadapkan pada pandangan masyarakat baik yang bersifat menolak atau menerima penyandang cacat.

4) Keluarga yang anggotanya mengalami kecacatan akan mengalami keterasingan dengan dunia luar karena disibukan dalam mengurus penyandang cacat, tapi sebaliknya keterasingan itu tidak akan terjadi bila keluarga tetap memelihara jaringan sosial diluar rumah yang telah ada.

5) Konsekuensi bagi saudara kandung (sibling) dari penyandang cacat, disatu sisi ada yang menolak dan tidak mengacuhkan, namun disisi lain ada anggapan bahwa penyandang cacat akan hidup lebih lama dari orang tuanya, sehingga saudara kandung harus dipersiapkan untuk menggantikan posisi orang tua mereka. c. Konsekuensi untuk masyarakat, menyangkut pada dua kutub yang

berbeda yaitu antara sikap toleransi dan penerimaan terhadap penyandang cacat yang berlawanan dengan prasangka buruk dan penolakan terhadap penyandang cacat.

(5)

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa hubungan/konteks yang negative diantara penyandang cacat, keluarga dan masyarakat, berdampak pada konsekuensi negatif yang dihadapi oleh penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. Keadaan inilah yang akhirnya menimbulkan kondisi ketidakberdayaan penyandang cacat.

Pembahasan selanjutnya mengenai pemberdayaan, dapat dipahami bagaimana kondisi berdaya (powerfull), sebagai suatu kondisi yang hendak dicapai. Sharlow dalam Adi (2001:33) menjelaskan bahwa kondisi yang hendak dicapai adalah suatu kondisi dimana individu mampu menentukan masa depannya sendiri sesuai yang diinginkan. Hal ini berarti bahwa setiap individu mencapai kondisi berdaya jika mampu memahami kondisi sendiri, mampu menentukan kebutuhan sesuai prioritas pilihan-pilihannya.

Tujuan pemberdayaan penyandang cacat dalam Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) adalah diarahkan agar penyandang cacat dapat memiliki kemampuan dan kemandirian sesuai dengan tingkat kecacatannya, melalui kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kemampuan fungsional, vokasional, pendidikan dan kemampuan sosial atau keberfungsional sosialnya (Ferial dan Slamet, 1998:2). Konsep ini mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1998 yang menjelaskan bahwa rehabilitasi penyandang cacat meliputi rehabilitasi medis, rehabilitasi pendidikan, rehabilitasi pelatihan, dan rehabilitasi sosial.

(6)

Rehabilitasi medis dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai kembali kemampuan fungsional secara maksimal, sebagai dampak dari kecacatan fisik dan mental yang dialaminya. Kemampuan fungsional ini meliputi kemampuan dalam menggerakkan tangan dan tungkai kaki (gangguan gerak), kemampuan dalam pendengaran dan bicara (gangguan d bicara), kemampuan dalam penglihatan (gangguan penglihatan), kemampuan untuk mengembangkan kapasitas belajar (gangguan balajar), dan kemampuan dalam mengendalikan prilaku secara wajar dan normal, gangguan tingkah laku.

Rehabilitas pendidikan, dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mengikuti pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan yang dimiliki. Penyandang cacat diharapkan mempunyai kesempatan bersama dengan yang lain untuk mendapatkan pelayanan pendidikan umum maupun pendidikan khusus yang disesuaikan dengan tingkat kecacatan yang dimiliki.

Rehabilitas pelatihan, dimaksudkan agar penyandang cacat dapat memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya. Rehabilitasi ini diarahkan untuk memberikan pelatihan keterampilan kepada penyandang cacat sesuai bakat dan keinginannya, yang di sesuaikan dengan tingkat kecacatan yang dihadapi.

Rehabilitas sosial, dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang cacat agar dapat

(7)

melaksanakan fungsi sosial secara optimal dalam kehidupan masyarakat. Tujuan rehabilitasi sosial sebagaimana dikemukakan Soenaryo (1995 : 118) adalah : pertama memulihkan kembali rasa harga diri, percaya diri, kesadaran serta tanggung jawab terhadap masa depan diri, keluarga maupun masyarakat atau lingkungan sosialnya, kedua memulihkan kembali kemauan dan kemampuan untuk dapat dilaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.

Terkait dengan keberfungsian sosial, DuBois dan Miley (1992 ;223) menyatakan keberfungsian indvidu lebih berkaitan dengan upaya mencapai gaya hidup yang mampu memenuhi kebutuhan dasar, membangun relasi yang positif dan menekankan pada pertumbuhan dan menyesuaikan personal yang baik dalam keluarga maupun masyarakat.

Keempat unsur rehabilitas sebagaimana diuraikan diatas, dalam program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) sebagaimana dalam konsep WHO (Gautan,1995 :154) dilaksanakan dengan memanfaatkan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat serta melibatkan peran serta penuh dari penyandang cacat anggota keluarga, dan anggota masyarakat. Masyarakat sendiri pada gilirannya harus terlibat dalam proses perencanaan, pembuatan keputusan dan evaluasi program.

Program pemberdayaan penyandang cacat melalui Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakt (RBM), selain meningkatkan kemampuan dan kemandirian penyandang cacat juga didasarkan pada kemampuan dari masyarakat baik sebagai penggerak utama kegiatan atau kader RBM

(8)

maupun sebagai anggota masyarakat lainnya yang turut terlibat secara penuh. Kader RBM sebagai penggerak utama kegiatan program dilapangan memiliki peran penting yang harus dilaksanakan. Ife (1995 : 201-203) menyebutkan berbagai peran yang harus dilakukan oleh seorang pendamping kegiatan masyarakat, yakni sebagai representator, edukator, fasilitator dan tehnical.

Keterlibatan masyarakat pada umumnya dalam kegiatan RBM, harus terlibat secara aktif baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Etziomi dalam poloma (1994 : 356) mengemukakan yang dimaksudkan dengan masyarakat aktif adalah masyarakat yang menguasai kehidupan sosial mereka serta mampu mengendalikan diri. Indikator masyarakat aktif mencakup tiga komponen yaitu kesadaran diri, berkaitan dengan pengetahuan komunitas atau kondisi kehidupannya, permasalahannya dan pengetahuan cara merencanakan pemecahan masalah tersebut, komitmen pada tujuan yang harus dicapai, yaitu adanya komitmen masyarakat dapat mencapai tujuan kegiatan yang dilaksanakan, dan peluang terhadap kekuasaan untuk mengubah tatanan yaitu adanya daya dan akses dari masyarakat untuk dapat mengendalikan.

Tinjuan tentang kondisi berdaya yang akan digunakan untuk melakukan analisis dalam penelitin ini adalah pendapat Ife mengenai dimensi-dimensi power, sebagai bagian dari pembahasan pemberdayaan. Selain itu untuk melengkapi dan memperjelas, digunakan tinjauan kondisi

(9)

berdaya penyandang cacat dalam konsep rehabilitasi kemampuan dan kemandirian pendamping, dan keterlibatan masyarakat aktif untuk memperjelas ketiga hal tersebut, dapat terlihat pada skema berikut:

Gambar 2 : Skema Kondisi Berdaya (Powerfull)

Sumber : olahan dari PP No. 43 1998, DuBois & Miley (1992:223) Etzioni dalam Poloma (1994 : 356) Ife (1995 : 201-223)

. KONDISI BERDAYA (POWERFULL) PENYANDANG CACAT • Mencapai kemampuan fungsional (Rehabilitas Medis) • Mengikuti Pendidikan (Rehabilitas pendidikan ) • Memiliki Keterampilan (Rehabilitas Pelatihan) • Kemampuan melakasanakan fungsi social (Rehabilitas Sosial) KADER RBM • Fasilitator • Edukator • Representator • Tehnikal MASYARAKAT • Kesadaran Diri • Komitmen pada

tujuan yang akan di capai.

• Peluang terhadap kekuasaan untuk mengubah tatanan

(10)

2. Proses Pemberdayaan

Proses pemberdayaan dalam pandangan Ife dikelompokkan dalam policy and planning, Education and Consciousness raising. Pemberdayaan melalui Policy and Planning dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melakukan perubahan struktural dan lembaga-lembaga pelayanan sosial yang ada dalam masyarakat termasuk mekanisme pelayanan baru yang dibutuhkan. Pemberdayaan melalui education and consciousness raising lebih menekankan pentingnya proses pengajaran dan pendidikan (meluasnya pemahaman) dalam melengkapi masyarakat/orang untuk meningkatkan power mereka (1995: 63 – 64). Sesuai dengan tujuan penelitian, pembahasan secara lebih luas akan difokuskan pada proses pemberdayaan melalui pendidikan dan penumbuhan kesadaran.

Pemberdayaan pada aspek pendidikan dan penumbuhan kesadaran secara lengkap dijelaskan Ife (1995: 208-213, 240), bahwa pendidikan secara jelas menunjukkan melakukan pelatihan kepada masyarakat, dengan mengutamakan keleluasaan masyarakat untuk menyusun agenda belajar yang mereka butuhkan. Proses pemberdayaan dalam aspek ini meliputi kegiatan penumbuhan kesadaran, penginformasian, pengorganisasian, konfrontasi dan pelatihan.

Penumbuhan kesadaran, sebagai hal yang penting dalam proses pendidikan, selalu berupaya membangun kesadaran dan dialog dengan

(11)

masyarakat. Tujuan kegiatan ini menempatkan permasalahan, harapan-harapan dan mimpi-mimpi, kekecewaan, penderitaan masyarakat dalam perspektif sosial politik yang lebih luas. Pemisahan konvensional individu dengan politik adalah penyebab utama terjadinya kekecewaan yang berakibat kegagalan dan korban serta memperkuat struktur penekan yang dominan. Sehingga mereka yang tidak berdaya perlu diberi kemampuan untuk membangun hubungan individu dengan politik, dengan mengidentifikan sumber dan potensi agar masyarakat mampu memanfaatkannya.

Pengorganisasian, secara sederhana digambarkan sebagai orang

yang membuat sesuatu terjadi. Ini mencakup untuk dapat berfikir bagaimana kebutuhan dapat terpenuhi. Masyarakat harus dibantu dalam memberikan dukungan dan penguatan yang memadai. Dalam proses dialog anggota masyarakat harus didukung untuk berpartisipasi dan terlibat dalam pertemuan.

Penginformasian, yakni kegiatan menyediakan informasi yang

relevan bagi masyarakat sesuai dengan kebutuhan dari kegiatan yang dilaksanakan. Informasi ini sangat penting bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan cara yang terbaik sebanyak mungkin melibatkan masyarakat.

Konfrontasi, Kegiatan ini kadang-kadang perlu dilakukan sebagai

proses belajar komunitas yang harus memilih konsekwensi suatu tindakan. Pada saat-saat berkaitan dengan dinamika internal komunitas, individu

(12)

menjadi kacau menghalangi consensus atau mengganggu dan membuat frustasi anggota yang lain. Komunitas harus dikonfrontasikan atas tindakan anggotanya jika kelompok ingin bertahan. Keefektifan tertinggi, integritas, dan kelangsungan hidup dari struktur dan proses komunitas merupakan alasan pokok diperlukannya konfrontasi

Pelatihan, Kegiatan pelatihan paling efektif ketika dilakukan atas

permintaan masyarakat sendiri. Pelatihan lebih produktif jika masyarakat mengidentifikasikan sendiri apa yang dibutuhkan. Pelatihan adalah peran pendidikan yang sangat khusus, yang mengajarkan bagaimana orang melakukan sesuatu. Misalnya pengetahuan tentang prosedur pertemuan, consensus tentang prosedur pembuatan keputusan, pembukuan sederhana. Pada akhirnya kegiatan pelatihan lebih spesifik dilakukan dalam pemberdayaan untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja secara produktif, atau keterampilan yang dapat digunakan untuk memulai suatu program pemberdayaan. Pemberdayaan melalui pendidikan selanjutnya dapat dijelaskan dalam gambar berikut ini :

(13)

Gambar 3 : Skema Pemberdayaan melalui Pendekatan Education and Consciousness Raising

Sumber : Olahan Penulis dari Ife (1995:208 – 214

Terkait dengan proses pemberdayaan dalam aspek pendidikan sebagaimana dikemukakan Ife di atas, Pranarko dan Vidhyandika dalam Priyono dan Pranarka menjelaskan proses pemberdayaan mengandung kecenderungan sebagaimana yang dikemukakan sebagai berikut :

Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses

memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya.

Kedua, proses pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi,

mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (1996: 56)

Kecenderungan atau proses yang pertama disebut kecenderungan primer dari makna pemberdayaan, sementara kecenderungan kedua disebut

Organising Informing Confronting Training Consciousness Raising Education and Consciousness Raising

(14)

kecenderungan sekunder. Kedua kecenderungan tersebut saling terkait, dimana seringkali agar kecenderungan primer dapat terwujud harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu. Kecenderungan kedua dalam proses pengembangan idenya banyak dipengaruhi karya Freire yang memperkenalkan istilah conscientization. Freire menjelaskan pengertian conscientization sebagaimana dikutip oleh Hikmat berikut :

Every human being, no matter how ignorant of submerged in the culture of the silence he maybe, is capble of looking critically at his world a dialogical encounter with others. Provided with the proper tools for such an encounter, he can gradually perceive his personal and social reality as well as contradiction ini it, became conscious of his own perception of that reality, and deal critically with it…, The stimulation of self-reflected critical awareness in people of their social reality and of their ability to transform that reality by their conscious collective action. (2001: 9)

Setiap manusia mampu melihat secara kritis terhadap dirinya dalam suatu dialog dengan orang lain. Melalui pertemuan tersebut secara berangsur-angsur dia dapat memandang realitas personal dan sosialnya serta kontradiksi diantara keduanya, memiliki kesadaran akan persepsi dirinya terhadap realitas sosialnya dan terhadap kemampuannya untuk mengubah realitas tersebut melalui tindakan secara kolektif.

23 Kriteria kemandirian yang menjadi tujuan utama RBM yaitu Hidup wajar bersama keluarga, Aktivitas Makan Minum, Aktivitas Mandi, Aktivitas Menggosok Gigi, Buang air besar/kecil, Berpakaian, Mengerti perkataan orang lain, Mengutamakan kemauan/pendapat, Dimengerti perkataannya, Gangguan Mati Rasa dan merawat diri, Bangkit dari posisi

(15)

baring, Menggerakkan tangan, Menggerakkan tungkai, Bergerak sekitar rumah, Bergerak sekitar kampong, Penyandang cacat gangguan gerak mengerti cara mengurangi nyeri sendi, Penca bayi disusui, Dapat bermain, Bersekolah, Berperan dalam kehidupan keluarga, Berperan dalam masyarakat, Mengerjakan pekerjaan rumah tangga, Mencari Nafkah

D. Kerangka Pikir

Ketidakberdayaan penyandang cacat dilihat dalam empat perspektif yaitu melihat permasalahan ketidakberuntungan sebagai permasalahan individu yang bersumber dari individu itu sendiri, kedua menempatkan ketidakberuntungan sebagai masalah yang terkait dengan struktur kelembagaan dalam masyarakat, ketiga memahami permasalahan ketidakberuntungan sebagai akibat tekanan dan ketidakadilan struktur sosial serta keempat lebih berfokus pada wacana dan pemahaman baru yang akumulatif terhadap permasalahan. Beragam hal yang mempengaruhi ketidakberdayaan penyandang cacat diantaranya kondisi sosial ekonomi, hubungan dengan keluarga dan masyarakat serta keterlibatan berbagai komponen, langkah-langkah Pemberdayaan.

Pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial. Tujuan pemberdayaan penyandang cacat dalam

(16)

Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) adalah diarahkan agar penyandang cacat dapat memiliki kemampuan dan kemandirian sesuai dengan tingkat kecacatannya, melalui kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kemampuan fungsional, vokasional, pendidikan dan kemampuan sosial atau keberfungsional sosialnya

Gambar 4 Skema Kerangka Pikir

Permasalahan dalam penelitian ini dikembangkan secara terinci dalam indikator penelitian berdasakan tujuan penelitian disajikan dalam matriks sebagai berikut :

Pemberdayaan Penyandang Cacat di Kab. TanaToraja

Latar Belakang dan Karakteristik Kecacatan Kondisi Ketidakberdayaan Penyandang Cacat Pemberdayaan Penyandang Cacat

Latar Belakang Kecacatan, Kondisi Sosial Ekonomi

Hubungan dengan Keluarga/Masyarakat Keterlibatan berbagai komponen, Langkah-langkah Pemberdayaan REHABILITASI BERSUMBERDAYA MASYARAKAT (RBM)

Gambar

Gambar 2 : Skema  Kondisi Berdaya (Powerfull)
Gambar 3 : Skema  Pemberdayaan melalui Pendekatan Education  and    Consciousness Raising
Gambar 4 Skema Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Dari teks tersebut tampak bahwa Bujang Jaya memiliki kesaktian supranatural, yaitu Bujang Jaya mampu mengubah dirinya menjadi perempuan, padahal semua manusia

Dari teks tersebut tampak bahwa Awang Salenong mempunyai kesaktian supranatural, yaitu mampu mengubah bentuk tubuh menjadi kayu dan dari pantat Salenong tumbuh

Perancangan Sistem Pengolahan Data Nilai Berbasis Web di SMK Negeri 1 Badegan oleh Binti Sholikhah (2015) dimaksudkan untuk mempermudah dalam pengolahan data

Awak kapal level III (elite crew) adalah level dimana seorang anggota Maritime Challenge yang memiliki kualifikasi anggota level II dan telah terpilih melalui seleksi ketat

Dan penggunaan beberapa bagian dari IP address tersebut yang digunakan untuk tidak terhubung langsung ke internet. Alamat IP ini digunakan untuk

Menurut /, ge1ala klinis sa1a tidak dapat menegakkan diagnosis malaria karena pada daerah yang endemis ge1ala klinis tidak selalu muncul. 2ura demam  pada permulaan

Pembelajaran dilanjutkan dengan memgumpulkan setiap kelompok untuk persentasi hasil pengamatan yang mereka lakukan, ditambah dengan sesi diskusi tanya jawab antar kelompok,

Pengamatan dilakukan selama 10 hari secara bertumt-turut setiap musim, dimana penentuan kepadatan ikan (ekor) dan biomassa yang dapat ditangkap dilakukan pada setiap