• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA JEPANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA

DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA

JEPANG

A.Aris Munandar, Siswanti

Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan –BATAN, Babarsari Yogyakarta, 55281 E-mail :ptapb@batan.go.id

ABSTRAK

EVALUASI DAMPAK RADIOAKTIVITAS UDARA DI YOGYAKARTA PASCA KECELAKAAN PLTN FUKUSHIMA JEPANG. Telah dilakukan evaluasi dampak

tingkat radioaktivitas udara di Yogyakarta pasca kecelakaan PLTN Fukushima Jepang. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi dampak tingkat radioaktivitas udara di Indonesia khususnya Yogyakarta pasca kecelakaan PLTN Fukushima Jepang. Sampel diambil pada 4 tempat yang telah ditentukan seperti pada pengukuran-pengukuran sebelum terjadinya kecelakaan. Pengukuran dilakukan dengan metode penghisapan menggunakan alat pompa volume tinggi STAPLEX. Udara dihisap lewat filter selulose tipe TFA-2133 selama 20 menit dengan debit 1500 l/menit, selanjutnya filter digunting seukuran luas permukaan aktif detektor dan dicacah dengan alat cacah beta LBC dengan efisiensi 6,73 %. Dari hasil pengukuran diperoleh tingkat radioaktivitas udara berkisar antara (3,30 ± 0,30 )x10-4 Bq/l sampai dengan (17,90 ± 0,70 )x 10-4 Bq/l. Hasil ini masih dibawah tingkat yang diijinkan sesuai SK BAPETEN No 2/KA BAPETEN/1999 sebesar 4.10-3 Bq/l. Dibandingkan dengan pengukuran- pengukuran sebelum kecelakaan tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan. Dari data-data hasil pengukuran tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Jepang tidak menyebabkan dampak peningkatan radioaktivitas udara yang signifikan bagi lingkungan di Yogyakarta. Hal ini memberi keyakinan bahwa Indonesia tidak akan mengalami dampak yang berarti pasca terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima karena adanya faktor jarak, aliran udara dan arah angin yang mempengaruhinya.

Kata Kunci : Radioaktivitas, udara, gross beta

ABSTRACT

EVALUATION OF RADIOACTIVITY IN THE AIR AROUND YOGYAKARTA AFTER ACCIDENT NPP FUKUSHIMA JAPAN. The concentration of air radioactivity has

been evaluated around Yogyakarta after accident NPP Fukushima Japan. The purpose of this study was to evaluate the level of gross beta radioactivity in environmental air around in Yogyakarta Indonesia after Japan's Fukushima nuclear power plant accident. Samples taken from 4 places that have been determined before that accident. Measurements were taken by suction method using a high volume pump STAPLEX. The air passed through cellulose filter type TFA-2133 for 20 minutes with a debit 1500 l / min, then filter cut-size detector active surface area and counted by beta counting equipment LBC with 6.73% efficiency. From the results obtained by monitoring the air radioactivity levels ranged between (3.30 ± 0.30) x10-4 Bq / l to (17.90 ± 0.70) x 10-4 Bq / l. These results are still below the level allowed under Decree No. 2/KA BAPETEN/1999 BAPETEN of 4.10-3 Bq / l. Compared with measurements before the accident did not show significantly different. From these data indicate that Japan's Fukushima nuclear power plant accident has not caused a significant impact to air radioactivity in the environment of Yogyakarta. This gives confidence that Indonesia will not significantly affected by Fukushima nuclear power plant accident because of distance, air flow and wind direction.

(2)

PENDAHULUAN

ecelakaan Nuklir Fukushima 1 akibat terjadinya gempa dan tsunami di Jepang sudah berlangsung sejak tanggal 11 Maret dan hingga sekarang masih menyisakan potensi bahaya yang dapat menimbulkan dampak terhadap kesehatan manusia, baik bagi penduduk yang berada di sekitar PLTN maupun penduduk yang jauh dari dari wilayah PLTN Fukushima 1, bahkan mungkin dampak ke luar negara Jepang. Hal ini terjadi karena bahan radioaktif yang terlepas dari instalasi PLTN masuk ke udara dan membentuk awan radioaktif yang bergerak mengikuti arah angin. Awan radioaktif ini akhirnya akan turun ke permukaan bumi hingga sampai ke manusia.

Besarnya awan radioaktif yang tersebar di udara ini semakin bertambah seiring bertambahnya jumlah pelepasan dari reaktor yang mengalami kecelakaan yaitu Fukushima unit 1, unit 3, unit 2 dan unit 4 berturut-turut pada tanggal 12 Maret 2011, 14 Maret 2011dan diikuti kebakaran pada penyimpanan bahan bakar bekas yang berpotensi melepaskan bahan radioaktif. Dengan semakin besarnya paparan radioaktif yang terlepas ke udara akan semakin besar pula dampak radiologi yang mungkin mengenai penduduk di sekitar PLTN maupun di negara lain dengan jarak yang cukup jauh termasuk Indonesia.1)

Walaupun kecelakaan yang terlihat adalah dalam bentuk ledakan hidrogen, namun pengamatan menunjukkan adanya lepasan radioaktif yang menyebabkan naiknya laju dosis di lokasi. Tercatat pada tanggal 15 Maret pukul 00.00 laju dosis sebesar 11.9 milliSievert (mSv) per-jam dan enam jam kemudian yaitu pada tanggal 15 Maret pukul 06.00 tercatat dosis sebesar 0.6 mSv. Hal ini menunjukkan penurunan. Akan tetapi sebelumnya telah dilaporkan hasil pengamatan laju dosis sebesar 100 milliSievert dan 400 mSv di lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi pelepasan bahan radioaktif di PLTN Fukushima sangat fluktuatif sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di teras reaktor ke empat reaktor yang mengalami kecelakaan. Sampai pada tanggal 17 Maret 2011 Badan otoritas Jepang masih mengklasifikasikan kejadian di Fukushima Unit satu berada pada level 4 International Nuclear and Radiological Event Scale (INES) “Kecelakaan dengan konsekuensi lokal.” Akan tetapi pada tanggal 18 Maret 2011 Badan otoritas Jepang telah menetapkan klasifikasi kejadian Fukushima Unit 1 berada pada level 5 yaitu ”Kecelakaan dengan dampak yang lebih luas”. Artinya ada kemungkinan terjadi kerusakan berat pada teras reaktor dan disertai dengan peningkatan jumlah paparan yang significant mengenai penduduk.

Dengan semakin besarnya paparan radioaktif yang terlepas ke udara akan semakin besar pula dampak radiologi yang akan mengenai penduduk di sekitar PLTN maupun di negara lain yang cukup jauh akan terkena paparan termasuk ke Indonesia. Benarkah demikian? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan kajian tentang besarnya lepasan radioaktif yang telah menyebar di kota-kota di Jepang dan analisis kemungkinan dampaknya ke Indonesia.

Dampak radiologi terhadap manusia dan lingkungan (sebagai end-point) terjadi oleh adanya proses interaksi antara radiasi pengion yang berasal dari luar (external) maupun dalam tubuh (internal) dengan bahan sel biologi. Interaksi tersebut akan menyebabkan perubahan pada DNA sel biologi seperti kematian sel atau mutasi sel. Akan tetapi secara ilmiah setiap sel memiliki kemampuan untuk memperbaiki perubahan yang terjadi pada DNA. Hal ini berarti sebagian besar perubahan yang terjadi pada molekul tidak menimbulkan kerusakan, kecuali untuk sel yang gagal melakukan perbaikan 3).

Bila dampak radiasi terjadi secara langsung terhadap sel penerima disebut dampak somatik, akan tetapi bila dampak atau efek baru muncul pada keturunannya disebut juga akibat herediter atau genetik. Ditinjau dari sifatnya dampak biologi dibagi dalam dampak deterministik (non-stokastik) dan akibat stokastik. Akibat deterministik ditandai dengan adanya dosis minimum tertentu yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tingkat kerusakan bertambah oleh bertambahnya dosis, dan adanya keterkaitan yang jelas antara penyebab dan akibat. Akibat stokastik adalah akibat yang terjadi berdasarkan kemungkinan (probabilitas) yang dapat dialami oleh penerima, atau dalam hal genetik, yang dialami oleh salah satu keturunan. Probabilitas kejadian berbanding linier dengan dosis namun tingkat keparahannya tidak tergantung dari dosis, contoh efek karsinogenik dan hereditary 3). Efek stokastik umumnya dinyatakan dalam jumlah kasus kejadian kanker (morbidity) atau kanker fatal (mortality) per unit dosis.

Hingga tanggal 18 Maret 2011 tercatat dosis radiasi rata-rata tertinggi di kota di luar Fukushima adalah sebesar 0.204 μSv/jam yaitu di kota Mito, Ibaraki yang berjarak 153 km dari Fukushima dan pada bagian Selatannya. Sedang bagian yang terendah adalah sebesar 0.020 μSv/jam yaitu di kota Aomori dengan jarak 336 km di sebelah utara Fukushima. Besaran dosis ini memiliki trend menurun sejalan dengan semakin jauhnya jarak seperti yang terlihat pada Gambar 1 dibawah ini: 1)

(3)

Gambar 1. Dosis radiasi sebagai fungsi jarak yang diukur di berbagai kota di Jepang

Sesuai dengan peraturan internasional dan nasional, masyarakat tidak dibolehkan menerima dosis rata-rata 1 mSv per tahun atau 1000 μSv/tahun, sementara itu, pekerja di kawasan radiasi ditetapkan tidak boleh menerima lebih dari 50mSv per tahun atau 50000 μSv/tahun. Hal ini berarti dosis yang sampai ke lokasi sekitar PLTN Fukushima masih berada dibawah standard yang ditetapkan. Oleh karena itu belum secara nyata mendapat akibat dari paparan dosis radiasi yang sampai di setiap kota di Jepang.

Sesuai dengan catatan pengukuran bahwa di Fukushima pernah tercatat dosis sebesar 100 miliSv dan 400 miliSv di lokasi PLTN, hal ini telah diantisipasi dengan melakukan evakuai penduduk menjauhi radius 30 km. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa dosis radiasi rata-rata di Yamagata yang berjarak 55 km dari Fukushima adalah sebesar 0.044 μSv/jam, artinya dosis ini telah jauh manurun dibandingkan dengan catatan dosis di Fukushima itu sendiri.

Upaya penanggulangan (protective action) bagi penduduk dekat dengan Fuskushima telah diawali dengan mencari tempat perlindungan (sheltering) sementara kemudian diikuti dengan evakuasi dari jarak 3 km, 10 km, 20 km dan saat ini mencapai 30 km. Langkah ini adalah untuk

menghindarkan penduduk dari dampak segera radioaktif berdosis tinggi. Dalam waktu bersamaan juga kepada masyarakat disekitar Fukushima diberikan Tablet Iod untuk menangkap unsur Yodium yang masuk melalui sistem pernafasan sehingga terhindar dari kanker gondok. Bagaimana antisipasi penanggulangan dampak radiologi di Indonesia?

Walaupun kemungkinan terkena paparan langsung dari pelepasan radioaktif Fukushima sangat kecil sekali, namun langkah antisipatif harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui langkah evaluasi radioaktivitas lingkungan.

Langkah evaluasi terhadap lingkungan dilakukan dengan melakukan perkiraan dosis secara teoritik dan pengukuran (IAEA 1997). Kemudian hasil pengukuran ini dibandingkan terhadap dosis tingkat interfensi operational (Operational Intervention Level, OIL).

Evaluasi radioaktivitas lingkungan dilakukan untuk memonitor dosis yang sudah sampai ke lingkungan, sehingga dapat diketahui laju dosis ambang di sekitar lokasi pemantauan, konsentrasi radionuklida di udara, peta penyebaran unsur 131I dan 137Cs dan secara khusus Tritium (H-3), Carbon-14 dan Krypton-85, campuran isotop yang terdeposisi dan konsentrasi radionuklida pada

(4)

contoh makanan. Adapun lokasi pengukuran yang disarankan untuk dilakukan di wilayah-wilayah Indonesia yang relatif dekat dengan sumber pelepasan Fukushima yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan Irian Utara.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi dampak peningkatan radioaktivitas beta total sampel udara di 4 titik lokasi pengambilan yang telah ditentukan yaitu disekitar PTAPB BATAN Yogyakarta yang dilakukan pasca terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang. Hal ini berguna untuk mengetahui ada tidaknya dampak peningkatan radioadioakvitas yang berasal dari kecelakaan nuklir di Jepang tersebut terhadap kondisi lingkungan di Indonesia khususnya di Yogyakarta. Dari data hasil pengukuran yang diperoleh dapat dibandingkan dengan ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No.02/Ka BAPETEN/V-1999 tentang Baku Mutu Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan

4)

yaitu 4.10-3 Bq/l . Sedangkan pada kondisi normal disekitar PTAPB BATAN diperoleh data pengukuran tingkat radioaktivitas yang dilakukan sebelum terjadinya kecelakaan yaitu pengukuran pada tahun 2010, hasilnya antara 8,00.10-4 Bq/l sampai dengan 27,43.10-4 Bq/l.

Pengambilan sampel udara dilakukan pada 4 titik lokasi yang telah ditentukan seperti pada pengukuran-pengukuran sebelumnya yaitu dilakukan dengan menghisap udara di suatu lokasi dengan alat pompa vakum merek STAPLEX lewat filter udara. Setelah selesai penghisapan dalam waktu tertentu, filter udara yang telah mengandung partikel dipotong sesuai ukuran detektor alat cacah beta. Sedangkan pengukuran radioaktivitas beta secara kuantitatif dilakukan dengan alat cacah latar rendah ( Low Background Counter ) di Laboratorium Keselamatan dan Kesehatan PTAPB BATAN.

TATA KERJA Bahan dan alat Bahan

Kertas filter selulose tipe TFA-2133 untuk tempat menempelnya partikel- partikel pada cuplikan udara.

Alat

Pompa hisap udara merk Staplex digunakan untuk mengambil sampel udara, Transfomator step down untuk menurunkan tegangan listrik dari 220 volt ke 110 volt; Stop watch untuk pengukur waktu penghisapan udara; gunting kertas; petridisc; pinset; kabel listrik dan alat cacah beta Low Background Counter ( LBC ).

Cara kerja

1. Penghisapan cuplikan udara.

Pengambilan cuplikan udara dihisap lewat filter, menggunakan filter selulose tipe TFA - 2133 yang telah diketahui beratnya, dihisap dengan pompa vakum tinggi merk Staplex dengan debit (Q): 1500 l/menit. Penghisapan udara dilakukan di 4 titik pos pengambilan pada jarak ± 100 m dari reaktor Kartini dengan waktu penghisapan 20 menit. Setelah selesai secepatnya filter dipotong seluas planset atau seluas permukaan detektor dan dicacah dengan alat cacah LBC. Luas filter yang dicacah ini adalah 1/7 dari luas keseluruhan filter, sehingga faktor perkalian luasan filter (A): 6,612. Pencacahan cuplikan dalam filter udara menggunakan alat cacah beta LBC dengan efisiensi pencacahan 6,73 %, HV power supply 1,15 KV dengan waktu pencacahan 20 menit dan dilakukan pencacahan latar.2) Hasil pencacahan dihitung untuk menentukan tingkat radioaktivitas beta total sampel udara di lingkungan sekitar reaktor.

2. Menghitung kandungan radioaktivitas udara Perhitungan radioaktivitas di udara, digunakan persamaan empiris :

Keterangan:

X : radioaktivitas gross beta udara, dalam satuan Bq/l

C : netto cacah cuplikan filter perdetik = (cps cuplikan – cps latar )

A :faktor perbandingan luasan filter (total/dicacah) : 6,612

Q : kecepatan aliran udara (debit pompa) = 1500 l/menit

E : Efisiensi pencacahan = 6,73 % t : waktu pemompaan/penghisapan = 20

menit

60 : Konversi menit menjadi detik ( 1 menit = 60 detik )

σ

u : Simpangan / ralat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pemantauan radioaktivitas gross beta dari sampel udara di sekitar PTAPB BATAN Yogyakarta paska kecelakaan PLTN Fukushima Jepang adalah sebagai berikut:

l

Bq

t

Q

E

A

C

X

u

/

60

×

±

σ

×

×

×

=

(5)

Tabel 1. Data radioaktivitas udara sekitar PTAPB paska kelakaan PLTN Fukushima Jepang Tanggal pengambilan Lokasi dari reaktor Kartini

Koordinat Sampel Cacah (cpm) Cacah Ltr. (cpm) Cacah Netto (cpm) Aktivitas Udara (x 10-4 Bq/l) Ket. 31 Maret 2011 Barat 07o46.668’LS 110o24.784’BT 11,2 3,2 8.0 4,34 ± 0,34 Timur 07o46.687’LS 110o24.891’BT 12,5 3,2 8,3 5,05 ± 0,37 Utara 07o46.701’LS 110o24.786’BT 11,9 3,2 8,7 4,75 ± 0,36 Selatan 07o46.644’LS 110o24.831’BT 15,6 3,2 12,4 6,77±0,43 14 April 2011 Barat 07o46.668’LS 110o24.784’BT 9,7 3,0 6.7 3,66 ± 0,32 Timur 07o46.687’LS 110o24.891’BT 9,5 3,0 6,5 3,52 ± 0,31 Utara 07o46.701’LS 110o24.786’BT 9,1 3,0 6,1 3,30± 0,30 Terendah Selatan 07o46.644’LS 110o24.831’BT 9,2 3,0 6,2 3,38 ± 0,30 2 Mei 2011 Barat 07o46.668’LS 110o24.784’BT 26,9 3,1 23,8 13,02± 0,60 Timur 07o46.687’LS 110o24.891’BT 25,7 3,1 22,6 12,34± 058 Utara 07o46.701’LS 110o24.786’BT 24,9 3,1 21,8 11,90± 057 Selatan 07o46.644’LS 110o24.831’BT 25,5 3,1 22,45 12,25± 0,52 20 Mei 2011 Barat 07o46.668’LS 110o24.784’BT 31,9 3,2 28,7 15,64 ± 0,65 Timur 07o46.687’LS 110o24.891’BT 36,0 3,2 32,8 17,90 ± 0,70 Tertinggi Utara 07o46.701’LS 110o24.786’BT 19,6 3,2 16,4 8,98 ± 0,70 Selatan 07o46.644’LS 110o24.831’BT 31,2 3,2 29 15,31 ± 0,65

Pengambilan cuplikan udara dengan metode filtrasi menggunakan filter selulose tertentu tipe TFA-2133 dan pencacahan dilakukan dengan alat cacah Low Background Counter (LBC) untuk menentukan radioaktivitas beta totalnya. Metode filtrasi dipilih karena memiliki kelebihan yaitu lebih sederhana konsetrasi yang diambil lebih banyak dan dapat dicacah ditempat lain mengingat alat cacah yang digunakan terpisah dengan tempat pengambilan sampel.

Hasil filtrasi udara pada kertas filter dapat langsung ditentukan radioaktivitasnya setelah dikoreksi dengan pecacahan latar. Radioaktivitas gross beta diukur secara kuantitatif yaitu menentukan jumlah kandungan radionuklida pemancar beta. Untuk pengukuran ini cuplikan tidak memerlukan proses pemisahan, sehingga yang terukur adalah semua radioaktivitas β dari campuran radionuklida yang ada. 2)

Dilihat dari segi jarak antara lokasi kejadian di Fukushima Jepang dengan tempat terdekat di Indonesia yaitu Sulawesi Utara sekitar 4850 km, sedangkan di Yogyakarta sekitar 6000 km maka dengan perhitungan sederhana saja dapat

dikatakan dampak tersebut kemungkinan tidak ada. Apalagi dengan aliran udara yang harus melewati daerah tropis yang relatif lebih panas dan bertekanan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sub tropis di Jepang yang menyebabkan sulitnya awan radioaktif mencapai Indonesia. Demikian juga arah angin yang umumnya menuju ke Utara atau Timur membuat lepasan radioaktif menjauh dari arah Indonesia dan membuat pelepasan bahan radioaktif sampai ke Indonesia semakin sulit.1)

Demikian pula umumnya dispersi pelepasan bahan radioaktif di udara dibatasi hanya pada jarak 1000 km dari sumber emisi, sehingga dampaknya diperhitungkan untuk zona lokal ( < 100 km ) dan regional ( < 1000 Km ) 3) . Hanya sedikit bahan radioaktif seperti Tritium (H-3), Carbon-14 dan Krypton yang mungkin terdispersi melalui atmosfir dan laut global.

Walaupun kemungkinan terkena dampak langsung dari pelepasan radioaktif Fukushima sangat kecil sekali, namun langkah antisipasi harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia termasuk

(6)

PTAPB BATAN melalui langkah evaluasi radioaktivitas lingkungan.

Dari hasil pengukuran radioaktivitas udara lingkungan di sekitar PTAPB BATAN yang telah dilakukan diperoleh data yaitu data terendah (3,30 ± 0,30) 10-4 Bq /l dan data tertinggi (17,90 ± 0,70) 10-4 Bq/l. Dilihat dari data hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 20 Mei 2011, data yang diperoleh relatif lebih tinggi dari pada data-data pengukuran sebelumnya. Hal ini terjadi karena pada tanggal 20 Mei 2011 tersebut sudah masuk musim kemarau, sehingga pada pengukuran tersebut keadaan udara lebih kering dan banyak partikel debu radioaktif yang beterbangan yang tertangkap filter pada Staplex. Sedangkan pada pengukuran sebelumnya curah hujah masih tinggi, sehingga udara relatif bersih dan tidak banyak partikel debu yang tertangkap filter.

Dari semua data yang diperoleh ternyata masih di bawah ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No 02/Ka Bapeten/V-1999 yaitu 4x10-3 Bq/l. Tetapi bila hasilnya melebihi ambang batas maka perlu analisa lebih lanjut, misalnya dengan identifikasi radionuklidanya menggunakan Spektrometri gamma.

Dilihat dari data hasil pengukuran tersebut pada pengambilan pada hari yang sama data hasil radioaktivitas yang diperoleh relatif hampir sama atau tidak ada perbedaan data yang signifikan, sedangkan bila dibandingkan dengan data hasil pengukuran pada saat yang berbeda akan terjadi perbedaan hasil yang nyata. Contohnya: pengukuran di lokasi sebelah Barat reaktor pada tanggal 31 Maret 2001 Kartini yang diambil pada tanggal 31 Maret 2011 dalam kondisi curah hujan masih tinggi hasilnya 4,34 ± 0.34 Bq/l, dibandingkan pengambilan tanggal 24 Mei 2011 dalam kondisi udara kering hasilnya 15,64 ± 0,65 Bq/l. Dari hasil tersebut menunjukkan perbedaan hasil yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa radioaktivitas sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca dan musim.

Pada pengukuran radioaktivitas udara yang dilakukan secara rutin setiap bulan sebelum terjadinya kecelakaan PLTN Fukshima ( tahun

2010 ) hasilnya antara 8,00.10-4 Bq/l sampai dengan 27,43.10-4 Bq/l, sehingga data

pengukuran paska kecelakaan tersebut tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan relatif sama dengan pengukuran radioaktivitas sebelum kejadian. Sehingga dapat di simpulkan bahwa keadaan lingkungan alam di Indonesia khususnya Yogyakarta tidak terpengaruh dengan terjadinya kecelakaan PLTN Fukushima Jepang.

KESIMPULAN

Dari pengukuran radioaktivitas udara yang dilakukan diperoleh data tingkat radioaktivitas udara di 4 pos pengambilan sekitar PTAPB BATAN pasca kecelakaan PLTN Fukushima di Jepang seperti tabel 1, dengan data terendah (3,30 ± 0,30) 10-4 Bq /l dan data tertinggi (17,90 ± 0,70) 10-4 Bq/l. Data–data tersebut ternyata masih di bawah ambang batas yang diijinkan menurut SK BAPETEN No 02/Ka Bapeten/V-1999 yaitu 4x10

-3

Bq/l.

Data pengukuran radioaktivitas udara pasca kecelakaan Fukushima Jepang tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan, bahkan relatif sama dengan pengukuran radioaktivitas sebelum kecelakaan terjadi yang diukur tahun 2010 yang hasilnya antara 8,0.10-4 Bq/l sampai dengan 27,4.10-4 Bq/l. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecelakaan PLTN Fukushima Jepang tidak menyebabkan dampak peningkatan radioaktivitas udara yang signifikan bagi lingkungan di Indonesia khususnya Yogyakarta. Hal ini memberi keyakinan bahwa sampai penelitian ini dibuat di Indonesia tidak akan mengalami dampak yang berarti dengan adanya kecelakaan PLTN Fukushima karena dipengaruhi faktor jarak, aliran udara dan arah angin. Namun masih terus diperlukan kewaspadaan mengingat adanya perkembangan tingkat kecelakaan saat ini telah mecapai level 7, walaupun secara teoritis penyebaran bahan radioaktif tersebut tidak akan sampai ke Indonesia Langkah-langkah yang perlu dilakukan sebagai antisipasi adalah dengan melakukan pengukuran pengukuran lanjutan terutama terhadap radioaktivitas udara dan air laut di daerah-daerah terdekat dengan sumber kecelakaan nuklir Fukushima yaitu wilayah Sulawesi Utara dan Irian Utara.

DAFTAR PUSTAKA

1. Th.. A. Bambang Sucipto; Kecelakaan PLTN Fukushima dan dampaknya terhadap wilayah Indonesia; 2011.

2. Suratman; Pengukuran Radioaktivitas β; Pusat Penelitian Nuklir Yogyakarta,; BATAN; Yogyakarta; 1997.

3. Wiryosimin,S; Mengenal Azas Proteksi Radiasi; Penerbit ITB Bandung;1995.

4. SK BAPETEN No.02/Ka BAPETEN/V-1999; Baku Mutu Tingkat Radioaktivitas Di Lingkungan; 1999.

5. Markandya A, Taylor T; The External Cost of Nuclear Accidents; IAEA;Vienna; 1999. 6. IAEA; Generic Procedures For Determining

Protective Actions During Reactor Accidents; TECDOC-995; IAEA ; Vienna; 1997.

Gambar

Gambar 1. Dosis radiasi sebagai fungsi jarak yang diukur di berbagai kota di Jepang  Sesuai dengan peraturan internasional dan
Tabel 1.   Data radioaktivitas udara sekitar PTAPB paska kelakaan PLTN Fukushima Jepang  Tanggal  pengambilan  Lokasi dari  reaktor  Kartini  Koordinat  Cacah  Sampel (cpm)  Cacah Ltr

Referensi

Dokumen terkait