• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI RIZKI AMELIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI RIZKI AMELIA"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI

RIZKI AMELIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Peranan Reforma Agraria dalam Meningkatkan Kapasitas dan Kesejahteraan Petani adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013

RIZKI AMELIA

(3)

ABSTRAK

RIZKI AMELIA. Peranan Reforma Agraria dalam Meningkatkan Kapasitas dan Kesejahteraan Petani. Dibimbing oleh MARTUA SIHALOHO.

Tujuan penelitian ini yaitu: (1) menganalisis peran reforma agraria dalam meningkatkan kapasitas petani, (2) menganalisis peran reforma agraria dalam meningkatkan kesejahteraan petani, dan (3) menganalisis peran kapasitas petani dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Sebanyak 32 responden dipilih secara acak untuk mendapatkan data mengenai pelaksanaan reforma agraria dengan bantuan kuesioner dan wawancara mendalam. Data diolah dengan uji korelasi Rank

Spearman, hasilnya menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kapasitas dan kesejahteraan petani, serta tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kapasitas petani dengan peningkatan kesejahteraan petani. Artinya, reforma agraria berperan sangat kecil dalam meningkatkan kapasitas penerimanya untuk menjadi petani mandiri yang akan mendorongnya untuk meningkatkan taraf hidupnya.

Kata kunci: tanah, aset reforma, akses reforma

ABSTRACT

RIZKI AMELIA. The Role of Agrarian Reform in Increasing Capacity and The Welfare of Farmers. Supervised by MARTUA SIHALOHO.

The objectives of this research are: (1) to analyze the role of agrarian reform in improving the capacity of farmers, (2) to analyze the role of agrarian reform in improving the welfare of farmers, and (3) to analyze the role of farmers’ capacity in improving their welfare. This research using quantitative and qualitative method. Total 32 respondents were chosen purposefully to obtain data about the implementation of agrarian reform by using questionnaire and in-depth interview. The data processed with Spearman Rank correlation test, the results showed that no significant relationship exists between the implementation of agrarian reform with the level of capacity and the welfare of farmers, and there is no significant relationship between the capacity with the welfare of farmers. It means that agrarian reform plays very small in improving the capacity of recipients to become independent farmers and encouraging to improve their life. Keywords: land, asset reform, access reform

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PERANAN REFORMA AGRARIA DALAM MENINGKATKAN

KAPASITAS DAN KESEJAHTERAAN PETANI

RIZKI AMELIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Peranan Reforma Agraria dalam Meningkatkan Kapasitas dan Kesejahteraan Petani

Nama : Rizki Amelia

NIM : I34090022

Disetujui oleh

Martua Sihaloho, SP, MSi Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(6)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2012 sampai Desember 2012 ini adalah reforma agraria dengan judul Peranan Reforma Agraria dalam Meningkatkan Kapasitas dan Kesejahteraan Petani.

Penulis mengucapkan terima kasih dan hormat yang mendalam kepada Martua Sihaloho, SP, MSi selaku dosen pembimbing, Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS, dan Ir Richard W. E. Lumintang, MSEA selaku dosen penguji yang telah memberi banyak ilmu, kritik, saran, dan inspirasi. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada ayah, ibu, adik, serta sahabat dan teman-teman yang telah mencurahkan kasih sayang, dukungan, serta doa untuk penulis setiap harinya. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Kepala Desa Sipak beserta stafnya dan juga seluruh warga Sipak yang telah banyak membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2013

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK iv

PRAKATA vii

DAFTAR ISI viii

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 3 Tujuan Penelitan 4 Kegunaan Penelitian 4 TINJAUAN PUSTAKA 5

Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah 5

Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani 6

Konsep Reforma Agraria 6

Pengembangan Kapasitas Petani 7

Konsep Kesejahteraan Rakyat 8

Indikator Kesejahteraan Rakyat 9

Kerangka Pemikiran 11

Hipotesis Penelitian 12

Definisi Konseptual 13

Definisi Operasional 13

METODE PENELITIAN 16

Lokasi dan Waktu Penelitian 16

Teknik Pengambilan Informan dan Responden 16

Teknik Pengumpulan Data 17

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 17

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 19

Kondisi Geografi 19

Kondisi Demografi 20

Kondisi Sosial-Ekonomi 21

Agama 21

(8)

Mata Pencaharian 22

Ketersediaan Fasilitas Umum 23

Pranata Sosial dan Kelembagaan 24

PELAKSANAAN REFORMA AGRARIADI KECAMATAN JASINGA 26

Riwayat Status Tanah di Jasinga 26

Pelaksanaan Reforma Agraria di Jasinga 27

Latar Belakang 27

Riwayat Penyelesaian Tanah 28

Program Pembaruan Agraria Nasional 29

REFORMA AGRARIA DAN PENINGKATAN KAPASITAS PETANI 32

Reforma Agraria di Desa Sipak 32

Penyediaan Asset Reform 32

Penyediaan Access Reform 35

Tingkat Kapasitas Petani 38

Kemampuan Mengidentifikasi Potensi 38

Kemampuan Memanfaatkan Peluang 39

Kemampuan Mengatasi Masalah 40

Pelaksanaan Reforma Agraria dan Hubungannyadengan Tingkat Kapasitas

Petani 41

Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan

Mengidentifikasi Potensi 42

Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan

Memanfaatkan Peluang 42

Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Tingkat Kemampuan

Mengatasi Masalah 43

Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Tingkat Kapasitas

Petani 44

REFORMA AGRARIADAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

PETANI 46

Kesejahteraan Petani 46

Tingkat Kepemilikan Aset 46

Kemampuan Menyekolahkan Anak 51

Peningkatan Kesejahteraan 52

Pelaksanaan Reforma Agraria dan Hubungannya dengan Peningkatan

Kesejahteraan Petani 53

Hubungan Reforma Agraria dengan Tingkat Kepemilikan Aset 53

Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Kemampuan

(9)

Hubungan Pelaksanaan Reforma Agraria dengan Peningkatan

Kesejahteraan Petani 55

HUBUNGAN TINGKAT KAPASITAS PETANI

DENGAN KESEJAHTERAAN PETANI 57

SIMPULAN DAN SARAN 59

Simpulan 59

Saran 59

DAFTAR PUSTAKA 60

LAMPIRAN 62

(10)

DAFTAR TABEL

1. Jumlah penduduk Desa Sipak menurut kelompok umur dan jenis kelamin 21 2. Komposisi penduduk Desa Sipak berdasarkan tingkat pendidikan 22

3. Komposisi penduduk Desa Sipak berdasarkan mata pencaharian 23

4. Uraian hasil kegiatan PPAN di Kecamatan Jasinga 30

5. Jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan tanah

redistribusi di Desa Sipak tahun 2012 32

6. Jumlah dan persentase responden berdasarkan penerimaan sertifikat

tanah di Desa Sipak tahun 2012 33

7. Jumlah dan persentase responden berdasarkan penyediaan access reform

di Desa Sipak tahun 2012 35

8. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pelaksanaan program

reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 37

9. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan

mengidentifikasi potensi di Desa Sipak tahun 2012 38

10. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan

memanfaatkan peluang di Desa Sipak tahun 2012 39

11. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kemampuan

mengatasi masalah di Desa Sipak tahun 2012 40

12. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kapasitas di Desa

Sipak tahun 2012 41

13. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara

pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengidentifikasi

potensi di Desa Sipak tahun 2012 42

14. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan memanfaatkan

peluang di Desa Sipak tahun 2012 43

15. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan mengatasi

masalah di Desa Sipak tahun 2012 44

16. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kapasitas petani di Desa

Sipak tahun 2012 44

17. Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas kepemilikan lahan

sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 46

18. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kondisi tempat tinggal

sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 47

19. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan kendaraan

bermotor sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 48 20. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan barang

elektronik sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun

2012 49

21. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kepemilikan hewan ternak, tabungan, dan emas sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak

(11)

22. Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat kepemilikan aset

di Desa Sipak tahun 2012 50

23. Jumlah dan persentase responden berdasarkan kemampuan

menyekolahkan anak di Desa Sipak tahun 2012 51

24. Jumlah dan persentase responden berdasarkan peningkatan kesejahteraan

sebelum dan sesudah reforma agraria di Desa Sipak tahun 2012 52

25. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kepemilikan aset di Desa

Sipak tahun 2012 53

26. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara pelaksanaan reforma agraria dengan tingkat kemampuan menyekolahkan

anak 54

27. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara

pelaksanaan reforma agraria dengan peningkatan kesejahteraan 55

28. Jumlah dan persentase responden menurut hubungannya antara tingkat kapasitas petani dengan peningkatan kesejahteraan petani di Desa Sipak

tahun 2012 57

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 12

2. Salah satu lahan perkebunan warga Sipak 20

3. Akses jalan menuju areal lahan perkebunan 24

4. Skema status tanah di Jasinga 27

5. Sertifikat tanah 34

DAFTAR LAMPIRAN

1. Denah Desa Sipak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa

Barat 62

2. Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2012-2013 63

3. Kerangka sampel rumah tangga penerima program reforma agraria di

Desa Sipak 64

4. Hasil uji korelasi Rank Spearman dengan SPSS 16.0 74

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sepanjang sejarah penguasaan tanah di Indonesia selalu “diwarnai” dengan berbagai macam kebijakan yang justru menyengsarakan kaum petani. Lepas dari sistem feodal1 yang telah berabad-abad “mencengkram” masyarakat petani, kemudian masuk ke dalam sistem kolonial yang sama sekali tidak menunjukkan perbaikan sedikitpun. Kaum kolonial tidak merombak sistem feodal, tetapi mempertahankan sistem itu dengan memberikan kekuasaan kepada para bupati dan raja untuk memungut hasil-hasil yang diminta pihak kolonial seperti tanaman untuk ekspor dan membiarkan para petani hidup dalam garis batas hidup (subsistensi) berdasarkan pola pertanian tradisional (Fauzi 1999:21).

Tidak berhenti sampai di sana, pada masa orde baru mulai berkembang sistem kapitalis yang ditandai oleh dua ciri transformasi: (a) kekayaan alam diubah menjadi modal dalam ekonomi produksi kapitalis, dan (b) kaum petani diubah menjadi buruh upahan (Fauzi 1999:5). Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 yang biasa dikenal dengan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang salah satu tujuannya meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur2.

Masalah-masalah yang berkaitan dengan agraria, dalam hal ini tanah, sepanjang zaman pada hakikatnya adalah masalah politik. Siapa yang menguasai tanah, ia menguasai pangan, atau, ia menguasai sarana-sarana kehidupan, dan siapa yang menguasai sarana kehidupan, maka ia menguasai manusia (Wiradi 2009). Masalah agraria tersebut tidak hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan tanah (hubungan teknis), tetapi juga merupakan hubungan antar manusia (hubungan sosial) dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber-sumber agraria (Sitorus 2002).

Masalah agraria yang sering terjadi sebenarnya merupakan implikasi dari adanya hubungan teknis dan hubungan sosial tersebut. Ketika seseorang berkata, “ini adalah tanahku”, maka makna yang terkandung bukan hanya sebatas seseorang itu dengan tanahnya, melainkan juga terkandung makna, “kamu tidak boleh menggarap di atas tanahku” atau “jika kamu menggarap di tanahku maka sebagian hasilnya harus diserahkan kepadaku.” Masalah inilah yang paling krusial, yaitu berupa ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah yang pada akhirnya memicu konflik antara masyarakat dengan penguasa (pemerintah) dan pengusaha (pemilik modal).

Gambaran umum mengenai kondisi ketimpangan penguasaan sumber-sumber agraria di tingkat makro dapat ditemukan dalam berbagai sektor, seperti kehutanan, perkebunan, dan pertanian tanaman pangan (Wiradi 2009). Di sektor kehutanan, sebesar 74% merupakan kawasan hutan yang dikuasai oleh negara.

1

Feodalisme yang dimaksud adalah suatu cara berekonomi atau suatu sistem ekonomi di mana raja, keluarganya dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat sebagai abdi (Fauzi 1999:15).

2

(13)

Dari total 30.5 juta ha hutan konversi yang diklaim pemerintah, pada tahun 1984 hanya tersisa 8.4 juta ha karena sebagian telah dikonversi menjadi kawasan non-hutan, terutama untuk areal perkebunan dan lokasi program transmigrasi. Data per Desember 1983 menunjukkan bahwa areal yang dikuasai oleh 570 HPH sudah mencapai 62.29 juta ha dengan 52% di antaranya dikuasai oleh hanya 20 orang konglomerat sedangkan yang dikuasai oleh BUMN, yakni Perhutani dan Inhutani hanya mencapai 8.9 juta ha (Wiradi 2009).

Sektor perkebunan merupakan yang paling banyak menyebabkan konflik. Penelitian Bahari (2004) mengungkapkan konflik agraria yang terjadi di seluruh pelosok tanah air sebagian besar berada di sekitar wilayah perkebunan, baik perkebunan swasta maupun negara. Data yang dikeluarkan Dirjen Bina Produksi Perkebunan menyebutkan sampai dengan Agustus 2003 terdapat 575 kasus di wilayah perkebunan. Sejumlah 225 kasus terjadi pada perkebunan swasta dan 350 kasus pada PTPN. Kasus-kasus tersebut terjadi di 20 provinsi, terbanyak di Provinsi Sumatera Utara dengan 298 kasus atau 52% dari total kasus yang ada. Dari semua kasus tersebut, sebanyak 544 kasus (95%) terkait dengan sengketa lahan dan 31 kasus (5%) menyangkut penjarahan produksi dan perusakan tanaman.

Sensus pertanian BPS 2003 menunjukkan di sektor pertanian pangan cenderung terjadi peningkatan dalam hal ketimpangan penguasaan tanah pertanian di sektor pertanian pangan antara tahun 1993 dan 2003 yang mengakibatkan proporsi jumlah rumah tangga petani kecil dan gurem cenderung meningkat. Hasil sensus pertanian menyebutkan bahwa pada tahun 1993 jumlah petani gurem dengan penguasaan lahan kurang dari 0.5 ha berjumlah 10.8 juta jiwa, sedangkan pada tahun 2003 bertambah menjadi 13.7 juta jiwa.

Penyelesaian mengenai masalah ketimpangan penguasaan tanah sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) 1960. Hal tersebut tercermin di dalam pasal 17 ayat (1) UUPA 1960 yang mengatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai oleh satu keluarga atau badan hukum. Pada pasal 17 ayat (3) dinyatakan tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum tersebut diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, implementasi dari pasal tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik.

Ketimpangan dalam penguasaan tanah tidak membuat petani tinggal diam. Mereka menuntut sebuah pembaruan yang dapat mengantarkan mereka kepada keadilan sosial dan kesejahteraan. Beragam upaya dilakukan petani, mulai dari aksi protes sampai melakukan pengorganisasian untuk melawan ketidakadilan yang menimpa mereka. Muncul istilah land reform by leverage (reforma agraria dari bawah) sebagai hasil dari perlawanan mereka. Ada juga tuntutan mereka yang disambut baik oleh pemerintah dengan mengadakan program reforma agraria dari atas (land reform by grace). Hal ini seperti yang disampaikan oleh Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya sebagai berikut.

“Program Reforma Agraria … secara bertahap akan dilaksanakan mulai tahun 2007 … dilakukan dengan mengalokasikan tanah bagi rakyat termiskin … inilah yang

(14)

saya sebut sebagai prinsip Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat … [yang] saya anggap mutlak untuk

dilakukan.”3

Upaya-upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengimplementasikan program reforma agraria, salah satunya dengan melaksanakan program reforma agraria yang dilaksanakan di sepuluh desa di Kecamatan Jasinga dengan cara membagikan lahan bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT. PP. Jasinga. Awalnya lahan bekas HGU itu dibiarkan terlantar, kemudian warga sekitar perkebunan berinisiatif memanfaatkan lahan tersebut untuk digarap. Melihat hal itu, akhirnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor bekerja sama dengan pemerintah Kecamatan Jasinga mengadakan program sertifikasi lahan gratis untuk mengesahkan kepemilikan lahan bekas HGU yang digarap warga tersebut. Salah satu desa yang dijadikan lokasi reforma agraria adalah Desa Sipak, Kecamatan Jasinga. Mengingat reforma agraria erat kaitannya dengan peningkatan kesejahteraan, maka penting untuk dikaji bagaimana peranan program tersebut

dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Desa Sipak. Akan tetapi, kesejahteraan petani tidak serta-merta meningkat akibat reforma agraria tersebut, perlu juga melihat kapasitas petani dalam rangka memanfaatkan lahan hasil redistribusi tersebut hingga dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.

Perumusan Masalah

Latar belakang penelitian ini mengemukakan bahwa perlunya suatu upaya untuk mengatasi ketimpangan dalam penguasaan tanah, yakni dengan mengimplementasikan program reforma agraria. Reforma agraria tidak hanya berupa redistribusi lahan dan sertifikasi (penataan aset reforma agraria), tetapi juga diperlukan program-program penunjang agar land reform bisa mencapai peningkatan kesejahteraan kaum tani.

Reforma agraria yang berupa penataan aset dan program penunjangnya secara rasional akan berdampak pada kesejahteraan petani. Oleh sebab itu, penelitian ini mencoba melihat sejauh mana reforma agraria berperan dalam

meningkatkan kesejahteraan petani? Akan tetapi, reforma agraria tidak

serta-merta dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Diperlukan adanya kapasitas petani yang dapat dilakukan dalam bentuk pemberian akses terhadap sumber-sumber agraria, pembinaan kelembagaan ekonomi (produksi dan distribusi), maupun pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan penyuluhan). Secara ringkas, pertanyaan yang akan dikaji lebih lanjut adalah sejauh mana reforma

agraria berperan dalam meningkatkan kapasitas petani?

Kapasitas petani diharapkan berperan dalam peningkatan kesejahteraan petani yang menjadi penerima program karena adanya aset dan akses reforma dapat mendukung kegiatan mereka untuk meningkatkan produktivitas lahannya.

3

Pidato Politik Presiden Republik Indonesia (31 Januari 2007) dalam keynote speech Joyo winoto pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional di Institut Pertanian Bogor November 2011.

(15)

Hal tersebut sudah sewajarnya memberikan dorongan bagi masyarakat untuk meningkatkan taraf hidupnya. Uraian di atas memunculkan sebuah pertanyaan

sejauh mana peran kapasitas petani dalam peningkatan kesejahteraan petani?

Tujuan Penelitan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan umum yang telah dikemukakan sebelumnya, yakni menganalisis pemanfaatan lahan hasil reform agraria di Desa Sipak oleh petani, selain itu juga untuk menjawab pertanyaan khusus lainnya, antara lain:

1. Menganalisis peran reforma agraria dalam meningkatkan kapasitas petani. 2. Menganalisis peran reforma agraria dalam meningkatkan kesejahteraan petani. 3. Menganalisis peran kapasitas petani dalam meningkatkan kesejahteraan

petani.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak, di antaranya: 1. Akademisi. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan referensi dan

kajian untuk penelitian selanjutnya, serta dapat menambah khasanah dalam kajian ilmu pengetahuan agraria.

2. Pemerintah. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menyusun dan mengambil kebijakan mengenai pengelolaan lahan pertanian agar tidak terjadi lagi ketimpangan penguasaan lahan oleh pemilik modal sehingga tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak positif bagi masyarakat, khususnya untuk menambah pengetahuan mengenai manfaat program reforma agraria.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanah dan Ketimpangan Penguasaan Tanah

Tanah merupakan salah satu sumber agraria selain perairan, hutan, bahan tambang, dan udara (UUPA 1960). Sebagai negara agraris yang memiliki jumlah tenaga kerja sekitar 42.47 juta jiwa di sektor pertanian4, sudah tentu tanah dijadikan sebagai salah satu sumber daya terpenting untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat Indonesia. Akan tetapi, Wiradi (2009) mengungkapkan di satu sisi rakyat menganggap tanah adalah tumpuan kehidupannya sementara di sisi lain negara membutuhkan pengorbanan rakyat untuk menyerahkan tanahnya demi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Tanah dalam arti land mempunyai aspek ruang dan aspek hukum. Aspek ruang berkaitan dengan tempat pemukiman dan kegiatan manusia di atasnya maupun di bawahnya, sedangkan aspek hukum berkaitan dengan hak memiliki dan menggunakan. Hubungan saling terkait itu dikenal dengan istilah pertanahan. Pertanahan merujuk pada sistem yang saling terkait antara suatu subjek hak atas tanah (individu, kelompok masyarakat atau badan hukum pemerintah dan swasta) dengan suatu objek hak atas tanah pada lokasi, luas dan batas-batas tertentu melalui hubungan penguasaan pemilikan dan penggunaan pemanfaatan. Kekuatan hubungan itu, diindikasi dari tingkat hubungan secara yuridis dalam bentuk jenis hak atas tanah yang dipunyai maupun hubungan secara fisik dalam bentuk penggunaan dan pengambilan manfaat. Kekuatan hubungan itulah yang menjadikan tanah mempunyai nilai hak kepemilikan atau dapat disebut property

right (Risnarto 2007).

Tanah bukan sekedar aset, melainkan juga merupakan basis bagi teralihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial, dan politik. Ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan corak sebuah masyarakat dan dinamika hubungan antar lapisan di dalam masyarakat tersebut (Wiradi 2009:56). Masalah mengenai ketimpangan struktur penguasaan tanah bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Jika dilihat secara makro, ketimpangan tersebut terdapat di tiga sektor, yakni kehutanan, perkebunan, dan pertanian pangan (Wiradi 2009). Struktur penguasaan tanah menurut Wiradi (2009) adalah susunan sebaran atau distribusi, baik mengenai pemilikan (penguasaan formal) maupun penguasaan efektif (garapan/operasional), atas sumber-sumber agraria; juga sebaran alokasi atau peruntukannya. Ketimpangan agraria (khususnya tanah yang dikaji) merupakan ketidaksesuaian dalam hal penguasaan formal (pemilikan) maupun penguasaan efektif, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragtisme dan kebijakan sektoral terhadap sumber-sumber agraria, khususnya tanah (Wiradi 2009).

Ketimpangan struktur penguasaan tanah terjadi ketika tanah dijadikan sebagai komoditas. Proses perencanaan kota, pengembangan wilayah perumahan, kawasan industri, dan lain-lain, pasti membutuhkan tanah untuk pelaksanaannya, ketika itulah tanah menjadi komoditas. Padahal, wakil presiden Bung Hatta

4

(17)

pernah berpesan dalam pidatonya di Yogyakarta pada tahun 1946, mengenai masalah pertanahan. Isi pesan beliau adalah sebagai berikut (Wiradi 2009).

1. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan seseorang untuk menindas dan memeras hidup orang banyak.

2. Pemilikan tanah yang sangat luas oleh seseorang dimana terdapat sejumlah penggarap yang besar adalah bertentangan dasar perekonomian yang adil. 3. Tanah tidak boleh menjadi “objek perniagaan” yang diperjualbelikan

semata-mata untuk mencari keuntungan (dalam bahasa sekarang: tanah tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas).

4. Seharusnya tidak terjadi pertentangan antara masyarakat dengan Negara karena negara itu alat masyarakat untuk menyempurnakan keselamatan umum.

Ketimpangan struktur penguasaan tanah yang telah dikemukakan tersebut memicu adanya perbaikan mengenai kepemilikian maupun penguasaan terhadap tanah agar sesuai dengan yang diamanatkan di dalam UUPA 1960.

Reforma Agraria dan Peningkatan Kesejahteraan Petani

Konsep Reforma Agraria

Kata agraria secara etimologis berasal dari bahasa Latin ager yang berarti sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural. Kata reform menunjuk kepada “perombakan”, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu untuk menuju perbaikan. Dengan demikian, hakikat makna reforma agraria adalah: “Penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah dengan prinsipnya “Tanah untuk Penggarap!” (Wiradi 2009).

Penataan ulang struktur penguasaan tanah (land reform) bukan saja akan memberikan kesempatan kepada sebagian besar penduduk yang masih menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Lebih dari itu, land reform bukan hanya akan menjadi suatu dasar yang kokoh dan stabil bagi pembangunan ekonomi dan sosial, melainkan juga menjadi dasar bagi pengembangan kehidupan masyarakat yang demokratis. Program ini akan membuka kesempatan untuk terjadinya proses pembentukan modal (capital formation) di perdesaan yang akan menjadi dasar bagi proses industrialisasi yang kokoh. Selain itu, ia juga akan memberikan sejumput kekuasaan pada kelompok-kelompok petani miskin di pedesaan di dalam ikatan-ikatan sosial pada masyarakatnya. Memberikan tanah kepada para petani miskin yang selama ini terpinggirkan (Bachriadi 2007).

Masa sebelum Perang Dunia II sampai dekade 1960-an, reforma agraria dikenal dengan istilah land reform. Secara sederhana, land reform adalah program untuk mengatasi masalah-masalah struktur agraria yang timpang. Praktik land

(18)

berhasil mencapai tujuannya, yaitu peningkatan kesejahteraan kaum tani karena mereka banyak yang tidak mampu mengusahakan tanah yang diperolehnya. Sampai akhir abad XIX, kebijakan land reform pada dasarnya lebih merupakan kebijakan sosio-politik dibandingakan dengan kebijakan ekonomi karena yang dipentingkan adalah keadilan dan pemerataan (Wiradi 2009).

Beberapa literatur penelitian mengenai reforma agraria telah ditelusuri. Hasilnya menunjukkan bahwa kebanyakan reforma agraria yang dijalankan di Indonesia belumlah berupa land reform plus program penunjang yang mencakup (1) tersedianya kredit yang terjangkau, (2) akses terhadap jasa-jasa advokasi, 3) akses terhadap informasi baru dan teknologi, (4) pendidikan dan latihan, serta (5) akses terhadap berbagai macam sarana produksi dan sarana pemasaran, seperti yang diungkapkan Wiradi (2009). Sementara access reform yang dimaksud BPN yakni (a) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, (b) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, (c) dukungan permodalan, dan (d) dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya (BPN-RI 2007).

Reforma agraria yang dijalankan di Indonesia baru berupa pendistribusian tanah tanpa didukung program penunjang tersebut. Menurut Wiradi (2009), diperlukan program-program penunjang agar land reform bisa mencapai peningkatan kesejahteraan kaum tani. Jadi, pada intinya reforma agraria merupakan program land reform plus program penunjang yang telah disebutkan itu. Reforma agraria ini perlu dilakukan karena menurut kalangan yang mendukung reforma agraria menyatakan bahwa reforma agraria adalah “merombak struktur” bukan semata-mata “membagi-bagi tanah”. Perombakan diperlukan karena adanya ketimpangan distrbusi kepemilikan tanah.

Suhendar (2002) menyatakan reforma agraria yang dijalankan saat ini masih merupakan kelanjutan dari zaman orde baru, yaitu peran pemerintah sangat dominan dalam menentukan kebijakan-kebijakan agraria sehingga masih jauh dari harapan bahwa kebijakan-kebijakan agraria akan lebih menguntungkan petani. Kebijakan-kebijakan, baik dalam bentuk redistribusi melalui program transmigrasi dan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) ini yang kemudian diklaim sebagai land reform maupun kebijakan peningkatan produktivitas pertanian lainnya, lebih mencerminkan kepentingan pemerintah daripada sebagai upaya menyejahterakan petani sehingga program tersebut tidak bisa mempertahankan keeksistensiannya dalam menyejahterakan petani. Karena itu, petani bukannya sejahtera malah semakin menderita. Berdasarkan kondisi tersebut, Suhendar (2002) menekankan

land reform by leverage merupakan satu-satunya jalan mewujudkan keadilan

agraria di Indonesia. Menurutnya, petani harus menjadi aktor utama yang mendorong perubahan kebijakan agraria dengan dibantu aktor lain yang mampu mendesakkan perubahan kepada pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah.

Pengembangan Kapasitas Petani

Kata kapasitas secara harfiah berasal dari bahasa Inggris (capacity) yang artinya kemampuan, daya tampung yang ada. Subagio (2008) menyebutkan bahwa kapasitas adalah segala daya yang dimiliki oleh individu, organisasi, atau

(19)

masyarakat untuk dapat menetapkan tujuan yang dikehendaki secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan tersebut secara tepat pula. Tingkat kapasitas yang dimiliki tersebut menyangkut perilaku tentang pengetahuan, sikap, dan keterampilan dalam mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi masalah, dan menjaga agar tetap berkelanjutan.

Kapasitas petani diartikan oleh Subagio (2008) sebagai daya-daya yang melekat pada pribadi seseorang sebagai pelaku utama pengelola sumber daya pertanian untuk dapat menetapkan tujuan usaha tani secara tepat dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara tepat pula. Setiap individu memiliki kapasitas yang melekat pada dirinya. Perbedaan tingkat kapasitas itu ditunjukkan dari pengetahuan, sikap, dan keterampilan berusaha di bidang pertanian dalam memperoleh dan memanfaatkan informasi dan inovasi serta kondisi lingkungan yang melingkupi seseorang tersebut.

Pengembangan kapasitas dapat diartikan sebagai upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka sehingga memperoleh hak yang sama tehadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka. Melalui pengembangan kapasitas, masyarakat akan lebih berdaya dan mandiri dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraannya (Alfurqon 2009). Pengembangan kapasitas merupakan gambaran kemampuan dari individu ataupun masyarakat untuk menghadapi permasalahan mereka untuk mencapai tujuan pembangunan secara berkesinambungan (OECD 1996).

Program reforma agraria yang dicanangkan pemerintah merupakan suatu program yang terdiri dari kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas subjek reforma agraria (masyarakat miskin). Pengembangan kapasitas dapat dilakukan dalam bentuk pemberian akses terhadap sumber-sumber agraria, pembinaan kelembagaan ekonomi (produksi dan distribusi), dan pengembangan sumber daya manusia (pelatihan dan penyuluhan). Pengembangan kapasitas petani miskin merupakan suatu proses penguatan petani agar mereka dapat mengenali masalah-masalah yang dihadapinya dan secara mandiri dapat menyelesaikan masalah-masalahnya sendiri. Subagio (2008) menjelaskan tingkat kapasitas ditunjukkan dengan mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, mengatasi permasalahan, serta menjaga keberlanjutan sumber daya usaha tani.

Konsep Kesejahteraan Rakyat

Kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Suharto (2006) menyintesiskan konsep kesejahteraan yang sering diartikan berbeda oleh orang dan negara yang berbeda. Hasil sintesisnya menyimpulkan bahwa sedikitnya ada empat makna yang terkandung dalam konsep kesejahteraan, sebagai berikut.

(20)

1. Sebagai kondisi sejahtera (well-being). Pengertian ini biasanya menunjuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya.

2. Sebagai pelayanan sosial, yakni mencakup jamian sosial, pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan, dan pelayanan sosial personal.

3. Sebagai tunjangan sosial.

4. Sebagai proses atau usaha terencana yang dilakukan oleh perorangan, lembaga-lembaga sosial, masyarakat maupun badan-badan pemerintah untuk meningkatkan kualitas kehidupan (pengertian pertama) melalui pemberian pelayanan sosial (pengertian kedua) dan tunjangan sosial (pengertian ketiga).

Indikator Kesejahteraan Rakyat

Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu. Menurut BPS (2006), indikator kesejahteraan yaitu:

1. Kependudukan

Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu, untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia. Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.

2. Kesehatan dan gizi

Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi.

3. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pendidikan yang dicapai

(21)

suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera.

4. Ketenagakerjaan

Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan kesejahteraan seluruh masyarakat.

5. Taraf dan pola konsumsi

Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan.

6. Perumahan dan lingkungan

Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).

7. Sosial dan budaya

Semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.

Kesejahteraan petani dipaparkan oleh Novrian et al. (2010) sebagai hasil dari Reforma Agraria diukur melalui empat indikator. Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat, yaitu: (1) tingkat pendapatan; (2) kepemilikan aset berupa sawah, rumah, dan kendaraan; (3) peningkatan produktivitas lahan; dan (4) tingkat pendidikan. Hasil penelitian Novrian et al. (2010) menunjukkan adanya perubahan yang signifikan terhadap keempat indikator tersebut pasca terjadinya reklaiming lahan pada Organisasi Tani Lokal Kajarkajar di Tasikmalaya. Kondisi kesejahteraan petani yang tadinya tidak memiliki tanah ternyata meningkat signifikan setelah memiliki tanah. Pasca reklaiming, didapatkan bahwa standar kelompok yang disebut kaya terjadi peningkatan luas penguasaan sawah yang cukup tinggi, dari 30-50 bata sebelum reklaiming menjadi 120 bata sesudah reklaiming. Di bidang pendidikan bahkan bagi kelompok kaya ada yang sanggup menyekolahkan anaknya hingga ke

(22)

perguruan tinggi. Peningkatan pendapatan pascareklaiming diilustrasikan oleh Novrian et al. (2010) dengan hasil penghitungan usaha tani untuk sebuah rumah tangga petani yang beranggotakan empat orang. Hasilnya adalah pengelolaan usaha tani yang dilakukan pasca reklaiming itu lebih memberikan sumbangan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan dan kelangsungan ekologis daripada usaha tani yang dilakukan oleh perusahaan dengan skala besar.

Yusuf et al. (2010) melihat indikator atau ukuran kesejahteraan petani secara partisipatif di dua desa yang menjadi lokasi penelitiannya, yaitu Desa Dangiang dan Desa Sukatani. Berdasarkan hasil kajian kesejahteraan warga secara partisipatif (participatory poverty assesment/PPA) di Desa Dangiang terdapat tiga lapisan masyarakat berdasarkan tingkat kesejahteraan, yaitu golongan mampu, sedang, dan tidak mampu. Indikator atau ukuran kesejahteraan petani sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, tingkat partisipasi sekolah, kemampuan akses kesehatan, keterlibatan pada organisasi tani lokal, serta kemampuan membayar tenaga buruh upahan. Sedangkan di Desa Sukatani, indikator kesejahteraan petani juga sangat ditentukan oleh luas penggarapan lahan, selain itu juga sumber tenaga kerja, jenis bangunan rumah, kemampuan akses terhadap fasilitas kesehatan, dan kemampuan untuk menyumbang dalam kegiatan sosial-keagamaan.

Kerangka Pemikiran

Ketimpangan penguasaan tanah memang kerap kali menjadi hal yang krusial dalam menyebabkan permasalahan agraria di Indonesia, padahal dalam pasal 7 UUPA 1960 tercantum bahwa tidak memperkenankan pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas maksimum agar tidak merugikan kepentingan umum. Selanjutnya, dalam pasal 17 UUPA 1960 ditegaskan bahwa luas tanah yang boleh dimiliki oleh satu orang, keluarga, maupun suatu badan, diatur batas minimum dan/atau maksimumnya.

Kehadiran perkebunan di Jasinga membuat warga kehilangan tanah sebagai tempat bertumpunya hidup mereka hingga pada tahun 1998, HGU perkebunan tersebut habis dan mulai saat itu warga mengusahakan lahan bekas HGU tersebut dengan bertanam hortikultura. Hal tersebut dilakukan pada saat kondisi perekonomian mereka sedang sulit sehingga tidak ada pilihan lain selain menanami lahan tersebut meskipun secara tumpangsari. Melihat hal tersebut, pemerintah bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor membuat kebijakan berupa pendistribusian lahan bekas HGU tersebut untuk warga di sepuluh desa di Kecamatan Jasinga, salah satunya di Desa Sipak. Reforma agraria yang dilaksanakan diharapkan berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas petani. Hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di desa tersebut. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1.

(23)

X. Pelaksanaan Reforma Agraria X.1 Asset reform: X.1.1 redistribusi lahan X.1.2 sertifikasi lahan X.2 Akses Reform: X.2.1 penyediaan infrastruktur dan sarana produksi X.2.2 pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat X.2.3 dukungan permodalan X.2.4 dukungan distribusi pemasaran

Y.1 Tingkat Kapasitas Petani: Y.1.1 Identifikasi potensi Y.1.2 Memanfaatkan peluang Y.1.3 Mengatasi masalah Y.2 Tingkat Kesejahteraan Petani: Y.2.1 Kepemilikan aset Y.2.2 Kemampuan menyekolahka n anak Keterangan: : berhubungan

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Program reforma agraria ini diperuntukkan bagi para petani miskin yang tidak memiliki lahan atau yang memiliki lahan sedikit. Program ini diharapkan dapat meningkatkan kapasitas petani yang menerimanya. Selain itu, baik secara langsung maupun tidak, reforma agraria diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani. Meningkatnya kapasitas petani juga diharapkan agar petani dapat memanfaatkan sumber daya alam secara optimal yang kemudian hal ini akan mendorong peningkatan hasil produksi sehingga akan berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan petani.

Hipotesis Penelitian

1. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam mengidentifikasi potensi.

2. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam memanfaatkan peluang.

3. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan petani dalam mengatasi masalah.

(24)

4. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kapasitas petani.

5. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kepemilikan aset.

6. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kemampuan menyekolahkan anak.

7. Diduga pelaksanaan reforma agraria berhubungan dengan tingkat kesejahteraan petani.

8. Diduga tingkat kapasitas petani berhubungan dengan peningkatan kesejahteraan petani.

Definisi Konseptual

1. Reforma Agraria adalah program pemerintah yang melingkupi pemberian

asset refom dengan melakukan redistribusi tanah dan menyediakan access reform untuk meningkatkan kesejahteraan serta membentuk struktur

penguasaan yang baru.

2. Peningkatan kapasitas petani adalah upaya meningkatkan

kemampuan petani untuk dapat mengatasi keterbatasan yang membatasi kesempatan hidup mereka, sehinga memperoleh hak yang sama terhadap sumber daya dan menjadi perencana pembangunan bagi diri mereka.

3. Kesejahteraan petani adalah kondisi kehidupan di mana kebutuhan moril dan materil dapat terpenuhi dengan baik.

Definisi Operasional

1. Reforma agraria adalah program pemerintah yang melingkupi pemberian asset

reform dengan melakukan redistribusi tanah dan menyediakan access reform

untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Terdapat enam indikator yang termasuk dalam variabel reforma agraria, yaitu:

1) Redistribusi lahan, yaitu ada lahan bekas HGU yang dibagikan kepada petani. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

2) Sertifikasi lahan, yaitu ada sertifikat yang diberikan secara gratis untuk lahan yang dibagikan. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

3) Penyediaan infrastruktur dan sarana produksi, yaitu ada alat-alat produksi atau media penunjang lainnya yang menjadi nilai tambah untuk keberlanjutan pengolahan lahan. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

4) Pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, yaitu ada usaha, tindakan, atau kegiatan dari instansi tertentu untuk mengarahkan responden dalam pengolahan tanah yang berkelanjutan dan mengolah hasil produksi pertanian yang lebih baik. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

(25)

5) Dukungan permodalan, yaitu ada dukungan berupa uang yang dipinjamkan atau diberikan oleh instansi tertentu untuk keberlanjutan pengolahan tanah yang didapat oleh responden. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

6) Dukungan distribusi pemasaran, yaitu ada dukungan penyaluran nilai jual hasil produksi pertanian dari tanah hasil redistribusi. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak.

Jumlah pernyataan untuk variabel pelaksanaan reforma agraria sebanyak enam pernyataan dengan akumulasi skor terendah 6 dan tertinggi 12. Pelaksanaan reforma agraria dikategorikan menjadi tinggi dan rendah.

1. Rendah jika akumulasi skor 6-9 2. Tinggi jika akumulasi skor 10-12

2. Tingkat kapasitas petani adalah tingkat kemampuan petani dalam mempertahankan kegiatan usaha taninya. Tingkat kapasitas petani diukur berdasarkan tinggi rendahnya kemampuan mengidentifikasi potensi, memanfaatkan peluang, dan mengatasi masalah.

1) Kemampuan mengidentifikasi potensi, yaitu tingkat pengetahuan terhadap keberadaan program reforma agraria. Terdapat sembilan pertanyaan untuk variabel kemampuan mengidentifikasi potensi. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan mengidentifikasi potensi dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 9-13 2. Tinggi jika akumulasi skor 14-18

2) Kemampuan memanfaatkan peluang, yaitu tingkat kemampuan petani dalam mengakses program reforma agraria yang tersedia serta sumber-sumber perkreditan, pasar, informasi, dan teknologi yang ada. Terdapat sembilan pertanyaan untuk variabel kemampuan memanfaatkan peluang. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan memanfaatkan peluang dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 9-13 2. Tinggi jika akumulasi skor 14-18

3) Kemampuan mengatasi masalah, yaitu tingkat kemampuan penggunaan informasi dan inovasi dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Terdapat tujuh pertanyaan untuk variabel kemampuan mengatasi masalah. Skor 2 untuk jawaban ya, dan skor 1 untuk jawaban tidak. Kemampuan mengatasi masalah dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 7-10 2. Tinggi jika akumulasi skor 11-14

Jumlah pernyataan untuk variabel tingkat kapasitas petani sebanyak 25 pernyataan dengan akumulasi skor terendah 25 dan tertinggi 50. Tingkat kapasitas petani dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 25-37 2. Tinggi jika akumulasi skor 38-50

3. Tingkat kesejahteraan adalah tingkat kualitas hidup masyarakat berdasarkan pandangan masyarakat itu sendiri. Tingkat kesejahteraan yang diukur dalam penelitian ini terdiri dari tingkat kepemilikan aset dan kemampuan menyekolahkan anak.

(26)

1) Tingkat kepemilikan aset yaitu jumlah barang berharga yang dimiliki responden sebelum dan sesudah diadakannya reforma agraria. Terdiri dari luas kepemilikan lahan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan kendaraan bermotor, kepemilikan barang elektronik, kepemilikan hewan ternak, kepemilikan tabungan, dan investasi berupa emas. Akumulasi skor terendah adalah 7 dan tertinggi adalah 18. Tingkat kepemilikan aset dikategorikan ke dalam:

1. Rendah jika akumulasi skor 7-12 2. Tinggi jika akumulasi skor 13-18

2) Kemampuan menyekolahkan anak yaitu lama jenjang pendidikan yang mampu ditempuh oleh anak-anak petani dengan biaya dari sebelum program reforma agraria dan sesudah program reforma agraria.

1. SD/sederajat sampai SMP diberi skor 1, kategori rendah.

2. SMA/sederajat sampai perguruan tinggi diberi skor 2, kategori tinggi Akumulasi skor untuk tingkat kesejahteraan petani terendah yaitu 8 dan tertinggi yaitu 20. Tingkat kesejahteraan petani dikategorikan:

1. Rendah jika akumulasi skor 8-14 2. Tinggi jika akumulasi skor 15-20

(27)

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksplanatori, yaitu penelitian yang menelaah hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun 1989). Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1) pelaksanaan reforma agraria, 2) tingkat kapasitas petani, dan 3) tingkat kesejahteraan petani.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif yang didukung oleh metode kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan dengan metode survai. Metode survai adalah suatu metode yang menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner terstruktur untuk mengumpulkan informasi dari responden (Singarimbun 1989). Metode kualitatif dilakukan untuk memberikan penguatan terhadap data kuantitatif. Metode yang digunakan adalah dengan wawancara mendalam kepada responden dan informan menggunakan panduan wawancara.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Sipak, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan lokasi penelitian merupakan salah satu desa di Kecamatan Jasinga yang menerima program reforma agraria berupa redistribusi tanah dan sertifikasi tanah secara gratis dari pemerintah. Selanjutnya, Desa Sipak ini masih dipimpin oleh kepala desa yang sama dengan saat dilaksanakannya program reforma agraria tersebut sehingga berpeluang memberikan informasi yang sesuai dengan topik yang dikaji.

Kegiatan penelitian yang akan dilakukan meliputi penyusunan proposal dan kolokium, studi lapangan, penulisan laporan, dan ujian skripsi. Kegiatan tersebut berlangsung dari bulan Mei 2012 hingga Januari 2013. Waktu pelaksanaan peneltian disajikan dalam Lampiran 2.

Teknik Pengambilan Informan dan Responden

Penelitian ini memiliki dua subjek penelitian, yaitu informan dan responden. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkungannya. Pemilihan informan dilakukan secara

purposive, informan kunci yang dipilih adalah aparatur desa, petugas Badan

Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bogor, dan tokoh masyarakat. Pemilihan aparatur desa sebagai salah satu informan kunci didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam hal ini pihak pemerintah desa mengetahui tentang perkembangan masyarakat di desanya. Petugas BPN Kabupaten Bogor dilibatkan atas dasar bahwa dalam hal ini pihak-pihak tersebut berpotensi untuk memberikan informasi terkait pelaksanaan reforma agraria. Tokoh masyarakat juga dilibatkan sebagai informan kunci didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam hal ini mereka mengetahui tentang kondisi lingkungan desa sekaligus terlibat dalam pelaksanaan

(28)

reforma agraria di Desa Sipak. Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberi keterangan tentang diri sendiri dan kegiatan yang dilaksanakannya.

Populasi sampling dalam penelitian ini adalah seluruh rumah tangga di Desa Sipak yang menjadi penerima tanah hasil redistribusi, sedangkan populasi sasaran adalah seluruh rumah tangga petani di desa ini. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Pengambilan sampel sebanyak 32 orang dilakukan dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling, yaitu sampel diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel (Mantra dan Kasto 1989). Metode ini dipilih karena populasi yang digunakan untuk dasar pemilihan sampel telah terdata oleh BPN dan memiliki keseragaman dalam hal penerimaan redistribusi tanah.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian yang dilakukan menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui observasi langsung di lapangan serta dari hasil kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden melalui wawancara. Wawancara mendalam juga digunakan untuk memperoleh data primer dari informan dengan menggunakan panduan pertanyaan. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen yang terkait dengan data-data bentuk kegiatan reforma agraria berupa redistribusi tanah. Data-data tersebut akan diperoleh dari BPN dan kantor desa, serta organisasi lain yang memiliki dokumen terkait redsitribusi lahan di lokasi. Data sekunder juga didapatkan melalui literatur yang berkaitan dengan penelitian seperti yang seperti buku penelitian, bab dalam buku penelitian, skripsi, tesis serta karya ilmiah yang dipublikasikan melalui internet.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS for windows versi 16.0. Data primer yang diperoleh secara kuantitatif kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis deskriptif dan korelasi. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk menyajikan semua data yang telah diolah, sedangkan tabulasi silang digunakan untuk menganalisis hubungan antar variabel. Analisis korelasi menggunakan uji statistik yaitu uji korelasi Rank

Spearman dengan nilai signifikansi sebesar α (0.05), artinya hasil penelitian

mempunyai kesempatan untuk benar atau tingkat kepercayaan sebesar 95% dan tingkat kesalahan sebesar 5%. Apabila nilai koefisien korelasi lebih besar dari tabel r, Ha diterima. Sebaliknya, apabila nilai koefisien korelasi lebih kecil dari tabel r, Ho diterima. Apabila nilai signifikansi lebih besar dari nilai kritis (0.05), berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan di antara kedua variabel, sedangkan apabila nilai signifikansi lebih kecil dari nilai kritis (0.05), berarti terdapat hubungan yang signifikan di antara kedua variabel yang diuji.

Analisis data kualitatif dilakukan untuk mendukung data kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan melalui dua tahap, yaitu reduksi data dan penyajian data.

(29)

Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang berupa catatan-catatan tertulis di lapangan selama penelitian berlangsung. Reduksi data ditujukan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan data, dan membuang data yang tidak perlu. Selanjutnya, penyajian data dilakukan dengan cara menyusun sekumpulan informasi agar mudah dalam penarikan kesimpulan yang disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapang.

(30)

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografi

Desa Sipak merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor dengan luas wilayah 558 194 ha. Desa Sipak secara geografis terletak pada ketinggian 455-500 m di atas permukaan laut dan memiliki curah hujan sebesar 1.55 m3. Secara administratif, Desa Sipak terdiri dari 6 dusun, yakni Dusun Sipak, Pasir Randu, Parung Sapi, Muncang, Margaluyu, dan Margasari. Keseluruhan dusun terbagi menjadi 10 Rukun Warga (RW) dan 41 Rukun Tetangga (RT). Dusun Sipak sendiri terbagi menjadi Dusun Sipak 1 dan Sipak 2. Kondisi topografi Desa Sipak ini terdiri dari dataran dan perbukitan, serta dilalui juga oleh sungai yang cukup panjang dan deras alirannya, yaitu Sungai Cidurian yang memisahkan antara Sipak 1 dengan Sipak 2, Pasir Randu, Margasari, dan Margaluyu. Untuk menyebrangi sungai tersebut tersedia jembatan beton yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda dua dan roda empat.

Wilayah Desa Sipak sebelah utara berbatasan dengan Desa Setu, sebelah timur berbatasan dengan PTP Cikasungka, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Pangradin, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pamagersari. Jarak dari Desa Sipak ke ibukota Kecamatan Jasinga yaitu 1 km dengan akses jalan raya beraspal yang dapat ditempuh dengan angkutan umum, sedangkan jarak dari desa ke ibukota Kabupaten Bogor yaitu 40 km, ke ibukota Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 175 km, dan ke ibukota negara yaitu sekitar 165 km.

Pemanfaatan lahan pada desa terluas di Kecamatan Jasinga ini antara lain untuk pemukiman warga seluas 18 ha, sawah seluas 379 ha, jalan raya sepanjang 3 km, pemakaman seluas 4 ha, dan sisanya untuk perkantoran, lapangan olahraga, bangunan pendidikan, dan bangunan peribadatan. Kondisi tanah di Desa Sipak ini dikatakan sangat subur oleh masyarakat. Mereka mengibaratkan menanam apapun di tanah ini akan tumbuh, tanpa harus disiram dan dipupuk, cukup dibiarkan terkena hujan saja. Buktinya di kebun-kebun warga terdapat bermacam-macam tanaman seperti durian, manggis, kecapi, sengon, albasia, jabon, afrika.

(31)

Gambar 2 Salah satu lahan perkebunan warga Sipak

Suburnya lahan di Sipak menjadikan desa ini sebagai sentra manggis ternama di Jasinga dengan alasan manggis yang berasal dari desa ini, khususnya di Kampung Parung Sapi, walaupun buahnya kecil, rasanya tetap manis. Manggis ini setiap kali panen dibawa ke berbagai daerah, seperti Jakarta, Bandung, dan daerah Puncak.

Kondisi Demografi

Desa Sipak memiliki jumlah penduduk sebanyak 12 334 jiwa hingga akhir Desember 2008, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 6 546 jiwa dan perempuan sebanyak 5 778 jiwa. Jumlah kepala keluarga (KK) di desa ini sebanyak 2 546 jiwa. Mayoritas warga Desa Sipak ini merupakan warga negara Indonesia (WNI) dan asli dari Desa Sipak. Adapun yang merupakan warga pendatang biasanya datang tidak jauh, masih dari Kecamatan Jasinga, ada juga yang dari Kabupaten Lebak dan dari Jakarta. Jumlah penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin disajikan dalam Tabel 1.

(32)

Tabel 1 Jumlah penduduk Desa Sipak menurut kelompok umur dan jenis kelamin Kelompok umur Jumlah jiwa Jumlah Laki-laki Perempuan 0-4 422 587 1 009 5-9 398 561 959 10-14 547 379 926 15-19 383 479 862 20-24 404 504 908 25-29 467 467 934 30-34 330 338 668 35-39 474 502 976 40-49 411 445 856 50-54 326 517 843 55-59 402 500 902 60-64 209 306 515 65-69 215 209 424 70-ke atas 175 186 361 Jumlah 5 163 5 980 11 143

Sumber: Profil Desa Sipak Tahun 2010

Tabel 1 menunjukkan jumlah penduduk Desa Sipak menurut kelompok umur. Dapat dilihat dari tabel tersebut bahwa jumlah penduduk yang berada di usia produktif antara 15-64 tahun tergolong besar, yaitu sekitar 7 464 jiwa, sedangkan jumlah penduduk yang berada di usia nonproduktif sebesar 3 679 jiwa. Angka-angka ini menunjukkan bahwa Desa Sipak memilik rasio beban ketergantungan yang kecil. Hal ini berarti penduduk usia produktif di Desa Sipak sangat potensial sebagai modal dasar yang besar bagi pembangunan.

Kondisi Sosial-Ekonomi 1. Agama

Mayoritas penduduk Desa Sipak beragama Islam, yaitu sebanyak 9 194 jiwa, sisanya beragama Katolik dan Protestan. Terlihat sekali nuansa Islam yang masih kental di Desa Sipak, seperti pengajian yang masih rutin dijalankan oleh ibu-ibu setiap Kamis sore dan bapak-bapak malam harinya. Pengajian anak-anak yang diasuh oleh tokoh agama Desa Sipak juga banyak berjalan. Biasanya anak-anak mengaji setiap sore hari selepas mereka pulang sekolah. Bangunan-bangunan masjid dan musholla yang mencirikan nuansa islami juga banyak ditemui di Desa Sipak, hampir di setiap dusun terdapat masjid. Karena penduduknya mayoritas beragama Islam dan masih kental sekali nuansa islaminya, setiap peringatan hari besar Islam selalu dirayakan dengan penuh suka cita oleh warga di masjid-masjid yang berada di Desa Sipak.

(33)

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh sebagian besar penduduk Desa Sipak dapat dikatakan tergolong rendah. Biaya pendidikan yang relatif tinggi menurut sebagian besar warga serta rendahnya minat untuk bersekolah menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan di desa ini.

Tabel 2 Komposisi penduduk Desa Sipak berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan Jumlah

Tidak tamat SD/sederajat 749

Tamat SD/sederajat 1 233

Tamat SLTP/sederajat 954

Tamat SLTA/sederajat 507

Tamat Diploma 32

Tamat Perguruan Tinggi (S1) 68

Tamat Perguruan Tinggi (S2) 2

Tamat Perguruan Tinggi (S3) 0

Jumlah 3 545

Sumber: Profil Desa Sipak Tahun 2010

Hasil wawancara peneliti dengan responden menunjukkan sebagian besar dari mereka hanya mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SD atau paling tinggi SMP karena tidak mampu membiayai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, sedangkan untuk rumah tangga yang tergolong mampu, ketika diwawancarai apakah anaknya nanti akan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau tidak, jawaban mereka “tergantung” anaknya mau bersekolah atau tidak.

3. Mata Pencaharian

Pemanfaatan lahan terluas di Desa Sipak adalah untuk sawah sebesar 379 ha sehingga mayoritas penduduk Desa Sipak bermatapencaharian sebagai petani, yaitu sebanyak 504 orang, tetapi tidak semua petani di desa ini menggarap lahan mereka sendiri, sebagian besar hanyalah buruh tani yang menggarap lahan orang lain. Selain menggarap di sawah, mereka juga menggarap lahan perkebunan mereka yang merupakan hasil dari lahan bekas HGU yang dibagi-bagikan. Rutinitas warga Desa Sipak, khususnya kaum laki-laki, setiap pagi mereka pergi ke sawah atau ke kebun untuk menggarap lahan mereka, kemudian baru pulang menjelang azan Zuhur atau sekitar pukul 12.00 untuk istirahat makan siang dan ibadah shalat Zuhur. Beberapa ada yang kembali lagi ke sawah, sisanya tetap di rumah mengerjakan aktifitas lain.

Berdagang juga merupakan mata pencaharian yang banyak dilakukan oleh penduduk Desa Sipak. Warung-warung sembako, warung-warung kecil, usaha dagang bensin eceran, terdapat hampir di setiap dusun di Desa Sipak. Beberapa juga ada yang menjadi pedagang makanan keliling. Berdagang juga dijadikan pekerjaan sampingan selain bertani. Setiap musm panen tiba, para petani di Desa Sipak membuka lapak di depan rumahnya atau di pinggir-pinggir jalan raya untuk menjual hasil panennya. Buah-buahan yang dijual ada berbagai macam, di

(34)

antaranya manggis, rambutan, durian, dan kecapi. Selain membuka lapak, ada juga yang menjualnya keliling kampung.

Tabel 3 Komposisi penduduk Desa Sipak berdasarkan mata pencaharian

Mata pencaharian Jumlah

Petani 504 Pedagang 391 Pegawai Negeri 84 TNI/Polri 8 Pensiunan/Purnawirawan 12 Swasta 142 Buruh pabrik 235 Pengrajin 45 Tukang bangunan 114 Penjahit 45 Tukang las 24 Tukang ojek 155 Bengkel 14 Sopir angkutan 65 Lain-lain 428

Sumber: Profil Desa Sipak Tahun 2010

Tabel 3 membuktikan bahwa sejumlah besar penduduk Desa Sipak bermatapencaharian sebagai petani dan pedagang karena potensi desa yang memungkinkan hal tersebut. Mata pencaharian lainnya yang dilakukan oleh penduduk Desa Sipak relatif beragam seperti yang telah disebutkan dalam tabel. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, banyak penduduk yang juga melakukan migrasi ke kota dan bekerja sebagai buruh proyek.

4. Ketersediaan Fasilitas Umum

Letak Desa Sipak yang berada 1 km dari ibukota Kecamatan Jasinga ini sebenarnya sangat menguntungkan karena hal tersebut mempengaruhi ketersediaan sarana dan prasarana di desa. Desa Sipak dapat dikatakan memiliki sarana dan prasarana yang memadai, di antaranya transportasi, peribadatan, pendidikan, dan olahraga, dan kesehatan.

Sarana dan prasarana transportasi di antaranya tersedia angkutan umum dengan trayek Bogor-Cipanas yang melalui Jasinga, Bogor-Jasinga, dan Jasinga-Leuwiliang. Selain itu, terdapat bus dengan trayek Pandeglang-Rangkas-Bogor yang juga melalui Jasinga. Jalan yang ditempuh pun merupakan jalan raya beraspal yang cukup besar dan berkelok. Jasa angkutan ojek tersedia untuk bisa mengakses wilayah pedalaman desa.

(35)

Gambar 3 Akses jalan menuju areal lahan perkebunan

Sarana dan prasarana peribadatan yang terdapat di Desa Sipak hanya masjid sebanyak 8 buah dan musholla sebanyak 10 buah karena mayoritas penduduk Desa Sipak beragama Islam. Sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia di antaranya Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 3 buah, Sekolah Dasar (SD) sebanyak 5 buah, Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 1 buah. Sekolah Menengah Atas (SMA) belum tersedia di desa ini. Selain sarana pendidikan umum, terdapat juga sarana pendidikan Islam, di antaranya TK Alqur’an sebanyak 2 buah, Madrasah Ibtidaiyah (MI) sebanyak 2 buah, Madrasah Tsanawiyah (MTs) sebanyak 1 buah, pondok pesantren sebanyak 22 buah dan majlis taklim sebanyak 10 buah.

Sarana dan prasarana di bidang olahraga yang dimiliki oleh Desa Sipak di antaranya 3 buah lapangan sepak bola, 4 buah lapangan badminton, 2 buah lapangan voli, dan 7 buah lapangan tenis. Di bidang kesehatan, Desa Sipak memiliki 12 posyandu dengan 50 orang kader yang masih aktif setiap bulannya, seorang dokter praktik swasta, seorang bidan desa, seorang bidan praktik swasta, dan 3 orang dukun beranak terlatih. Sarana dan prasarana lainnya yang tersedia di desa ini yaitu kantor desa, 12 buah pos kamling, dan pasar Jasinga yang terletak di Desa Sipak.

5. Pranata Sosial dan Kelembagaan

Kondisi sosial dan politik serta ketenteraman dan ketertiban di wilayah Desa Sipak terbilang cukup aman terkendali. Mayoritas masyarakat Desa Sipak adalah orang Sunda dan beragama Islam sehingga sehingga tatanan kehidupan mereka tidak terlalu beragam. Setiap masyarakat masih memegang teguh norma-norma

(36)

dan etika yang berlaku. Itulah sebabnya mereka hidup dengan rukun satu sama lain.

Desa Sipak memiliki kelembagaan berupa kelompok tani yang berjumlah 13 buah tetapi yang baru dilegalisir hanya 5 buah, yaitu kelompok tani Tulus Rahayu, Wargi Mekar, Tunas Harapan, Bondol, dan Warisan, dan 3 buah gapoktan. Selain itu, terdapat juga 10 buah majlis taklim yang merupakan lembaga keagamaan di Desa Sipak.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran
Gambar 2  Salah satu lahan perkebunan warga Sipak
Tabel 1  Jumlah penduduk Desa Sipak menurut kelompok umur dan jenis kelamin  Kelompok  umur  Jumlah jiwa  Jumlah Laki-laki Perempuan  0-4    422    587  1 009  5-9    398    561     959  10-14    547    379     926  15-19    383    479     862  20-24    40
Tabel 2  Komposisi  penduduk Desa Sipak berdasarkan tingkat pendidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hakikat dari pembentukan portofolio yang efisien dan optimal adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi saham, yaitu mengalokasikan sejumlah dana investor pada

Untuk fungsi tertentu yang kelakuan fungsinya memenuhi kesimetrisan, nilai integral yang didapat adalah eksaks walaupun menggunakan metode titik te- ngah, metode trapesium,

Langkah-langkah yang harus ditempuh warga masyarakat untuk memperoleh kepastian hak atas tanah terkait kepemilikan tanah di pemukiman adat yang termasuk dalam

Hasil tersebut sama dengan penelitian terdahulu (No et al: 2001) yang menyatakan asosiasi merek yang terdiri dari dimensi garansi dan identifikasi pribadi

Analisis tekstur, karakteristik sedimen, dan dinamika oseanografi di wilayah penelitian menunjukkan bahwa wilayah pantai bagian timur Pulau Maitara memiliki karakter

Karyawan tidak tetap di PT PLN (Persero) UID Jateng & DIY hanya menerima 1/3 dari gaji yang diterima oleh karyawan tetap disana, mereka menganggap ini sebagai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi hama wereng hijau Nephoettix virescens pada tanaman padi sawah di Kecamatan Tomohon Barat Kota Tomohon, tertinggi

Beberapa penelitian yang telah ada sebagian besar meneliti tentang hubungan antara persepsi mengenai konflik orang tua dengan regulasi emosi secara umum, bukan