• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. sejarah manusia, kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. sejarah manusia, kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Persoalan kepemimpinan selalu memberikan kesan yang menarik, oleh sebab itu permasalahan kepemimpinan merupakan topik yang menarik dan dapat dimulai dari sudut mana saja bahkan dari waktu ke waktu menjadi perhatian manusia. Ada yang berpendapat masalah kepemimpinan itu sama halnya dengan sejarah manusia, kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan, tetapi pada manusia di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin. Disinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.

Kalau ditelusuri lebih lanjut, betapa pentingnya pemimpin dan kepemimpinan dalam suatu kelompok organisasi jika terjadi suatu konflik atau perselisihan antara orang-orang dalam kelompok tersebut, maka organisasi mencari alternative pemecahannya supaya terjamin keteraturan dan dapat ditaati bersama, dengan demikian terbentuklah aturan-aturan, norma-norma atau kebijakan untuk ditaati agar konflik tidak terulang lagi. Ketika itulah orang-orang mulai mengidentifikasikan dirinya pada kelompok, dalam hal ini peranan pimpinan sangat dibutuhkan.

Melihat pentingnya sudut situasi dan waktu yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja organisasi, maka dipandang perlu pemimpin yang melihat kondisi dan lingkungan berdasarkan gaya kepemimpinan yang diperannya. Para pemimpin yang melihat situasi dalam mengembangkan karyawannya, dimana

(2)

meningkatkan prestasi kerja (kinerja) dapat didukung secara informal oleh pemimpin yang bersifat melihat situasi kecenderungan karakteristik sifat dan tingkat prestasi karyawannya.

Studi kepemimpinan yang pada awal perkembangannya cenderung bersifat indukt if murni menempati posisi sentral dalam literatur menajemen dan perilaku keorganisasian pada beberapa dekade terakhir. Secara umum, kajian perkembangan riset dan teori kepemimpinan dapat dikategorikan menjadi tiga tahap penting (Ogbonna dan Harris, 2000 : 25). Pertama, tahap awal studi tentang kepemimpinan menhasilkan teori-teori sifat kepemimpinan (trait theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang membedakannya dari mereka yang bukan pemimpin. Kedua, karena muncul kritik terhadap sulitnya mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul teori-teori perilaku kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini, penekanan yang semula diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku dan gaya yang dianut oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori ini, agar organisasi dapat berjalan secara efektif, terhadap penekanan suatu gaya kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan anggapan bahwa baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku kepemimpinan memiliki kelemahan yang sama, yaitu mengabaikan peranan penting faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situasional theories). Dari pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi perubahan orientasi dari one best way leading menjadi context-sensitive leadership. Jika

(3)

ditelusuri lebih lanjut, perkembangan ketiga teori kepemimpinan tersebut tidak dapat dipisahkan dari paradigma riset kepemimpinan.

Perilaku kepemimpinan situasional yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam membangun kemajuan perusahaan dengan melihat factor situasi dan kondisi diperlukan adanya peningkatan mutu sumber daya manusia yang menjadi landasan suatu organisasi untuk menunjukkan output dalam bekerja menjadi maksimal. Peningkatan sumber daya manusia ini dapat dilihat oleh pimpinan menjadi suatu bagian yang utuh yaitu, adanya kualitas pencapaian hasil kerja karyawan dalam perusahaan, serta kuantitas dari segi efisiensi dan efektivitas yang dilakukan karyawan. Menurut Pamungkas (2005 : 38) bahwa yang dimaksud dengan kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan sesuatu hasil yang diperoleh dengan aktifitas yang dicapai dengan suatu unjuk kerja. Maka dengan demikian dibutuhkan kinerja dalam suatu perusahaan atau organisasi yang dapat mengukur seberapa besar tingkat kemampuan pelaksanaan-pelaksaan tugas organisasi dalam rangka pencapaian tujuan.

Peningkatan kinerja karyawan secara perorangan akan mendorong peningkatan kinerja karyawan secara keseluruhan pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan. Hal ini tidak terlepas dari peranan perilaku seorang pemiimpin yang situasional yang menggunakan tehnik waktu, kondisi dan situasi dalam meningkatkan mutu kualitas karyawannya. Dengan demikian, penilaian kinerja sangat dibutuhkan sebagai faktor penting untuk memberikan feed back kepada pimpinan untuk memberikan kapasitas lebih kepada karyawan dalam meningkatkan kinerja mereka. Maka, seorang karyawan juga akan dibantu oleh

(4)

Bukopin Cabang Medan, dimana para Staff seperti Customer service, Teller,

Human Resourse Departement dan lain sebagainya, membantu dan saling bekerja

sama untuk dapat dinilai dalam meningkatkan kinerja karyawannya.

Bank Syariah Bukopin Cabang Medan yang sudah berdiri sejak tahun 2006 ini memeiliki kaedah system prosedur pelayanan yang baik. Mulai dari pimpinan cabang yang menerapkan kepemimpinan yang efektik dengan melihat situasi kondisi lingkup kerja karyawan Bank Syariah Bukopin Cabang Medan. Pimpinan cabang yang berperan aktif dan cekatan yang selalu mementingkan persahabatan yang ideal kepada bawahannya. Pimpinan cabang dan manager pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan tidak heran memberikan kepemimpinan yang efektif dalam membina karyawannya. Dari hasil pengamatan sementara yang dilakukan oleh penulis dalam pra penelitian, belum terdapat permasalahan yang krusial dalam penerapan kinerja karyawan oleh pimpinan, dalam permasalahan kepemimpinan yang diterapkan oleh Pimpinan Cabang Bank Syariah Bukopin Cabang Medan dalam membangun kinerja karyawannya tidak lain adanya gaji karyawan di Bank Syariah Bukopin Cabang Medan kurang mencukupi.

Adanya masalah yang dihadapi Bank Syariah Bukopin Cabang Medan merupakan hambatan bagi para karyawan dalam memacu kinerja mereka. Dengan demikian peran kepemimpinan yang dituangkan Pimpinan Cabang Bank Syariah Bukopin Cabang Medan sangat dibutuhkan dalam meningkatkan kinerja mereka. Apalagi Bagian Customer Service yang berhubungan langsung dengan masyarakat, dimana masyarakat akan timbul kepercayaan yang negatif kepada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan dalam mengelola pelayanan kepada nasabah.

(5)

Kurang meningkatnya kualitas kinerja karyawan pada staff Bank Syariah Bukopin Cabang Medan yang menjadi pandangan buruk oleh segelintir karyawan yang bekerja baik sebagai pegawai tetap maupun honorer. Hal ini dipicu oleh kepemimpinan situasional yang harus diterapkan oleh Manager Bank Syariah Bukopin Cabang Medan dalam mengelola kinerja karyawannya yaitu seluruh karyawan yang berada di Bank Syariah Bukopin Cabang Medan ini.

Hubungan antara kepemimpinan situasional dengan kinerja karyawan jelas sangat terkait pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan, dimana seorang pimpinan cabang menggunakan gaya kepemimpinan dengan melihat kondisi waktu baik informal maupun formal dan dengan melihat kondisi situasi dari seorang karyawan. Kepemimpinan situasional terjadi jika pimpinan melihat berbagai kondisi dari seorang karyawan, dimana dengan menggunakan 4 perilaku kepemimpinan situasional yaitu tindakan mengarahkan (telling) dengan peran directive yang tinggi, perilaku pimpinan yang menjual (selling) dengan mengajukan beberapa alternatif, perilaku pimpinan menggalang partisipasi (participation) dengan memberi keyakinan kepada karyawan, dan kemudian mendelegasikan (delegating) kemampuan pimpinan kepada karyawan untuk bertanggung jawab. Beberapa perilaku kepemimpinan situasional inilah yang membuat pimpinan cabang Bank Syariah Bukopin Cabang Medan selalu mengutamakan karyawannya untuk meningkatkan kinerja mereka.

Kepemimpinan situasional yang dijalankan oleh Pimpinan Cabang Bank Bukopin Syariah Cabang Medan mengharuskan bahwa seorang pemimpin dapat dengan tegas mengatur dalam mendorong kinerja karyawannya. Hal ini,

(6)

situasional. Maka hal ini membuat penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai “Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Situasional Terhadap Kinerja

Karyawan pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan.”

1.2 Perumusan Masalah

Suatu masalah dapat diartikan sebagai kesenjangan atau diskongruensi antara kenyataan dengan harapan. Perumusan masalah dalam penelitian adalah suatu pernyataan yang mengidentifikasikan fenomena yang diteliti berpatok pada proses dan tindakan. (Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 2003 : 27)

Dengan sistematika uraian latar belakang diatas, maka penulis melihat yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Seberapa Besar

Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Situasional Terhadap Kinerja Karyawan pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan?”

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi fokus tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui perilaku Pimpinan Cabang Bank Syariah Bukopin Cabang Medan.

2. Untuk mengetahui kinerja karyawan Bank Syariah Bukopin Cabang Medan

3. Untuk mengetahui pengaruh perilaku kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan pada Bank Syariah Bukopin Cabang Medan.

(7)

Adapun manfaat dari penelitian yang penulis teliti adalah:

1. Penelitian ini diharapkan mampu melatih dalam menerapkan teori-teori yang telah di dapat dan meningkatkan kemampuan berfikir dalam penulisan karya ilmiah tentang perilaku kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan.

2. Secara Teoritis/Akademis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang baik secara langsung maupun tidak langsung bagi akademisi untuk khasanah kepustakaan Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, serta memberikan informasi yang bermanfaat bagi kalangan penulis lain yang ingin mengeksplor penelitian ini dengan metode dan responden yang lebih baik lagi.

3. Secara Praktis, hasil penelitian ini sangat diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran, saran dan sebagai bahan pertimbangan bagi Pimpinan Cabang dan karyawan Bank Syariah Bukopin Cabang Medan tentang perilaku kepemimpinan situasional terhadap kinerja karyawan.

1.5 Kerangka Teori

Sebagai tolak ukur dalam memecahkan masalah, perlu digunakan pedoman teoritik. Adanya landasan teoritik yang digunakan peneliti dalam menjelaskan fenomena social yang menjadi objek penelitian. Menurut Sugiyono (2006 : 55) teori adalah seperangkat konsep, asumsi, dan generalisasi yang logis yang dapat digunakan untuk mengungkapkan dan menjelaskan perilaku dalam

(8)

1.5.1 Perilaku Kepemimpinan

1.5.1.1 Definisi Perilaku Kepemimpinan

Pendekatan perilaku kepemimpinan adalah suatu pendekatan yang menekankan pada apa yang dilakukan secara nyata oleh seorang pemimpin di dalam jabatannya. Pendekatan ini muncul setelah pendekatan berdasarkan cirri-ciri keperibadian mengalami kegagalan. Pendekatan perilaku pemimpin menggunakan factor bawaan dan faktor situasional yang berkombinasi menjadi konsep perilaku pemimpin yang merupakan deskripsi dari perilaku pemimpin.

Mengingat beragamnya fungsi-fungsi kegiatan pemimpin, maka tujuan utama penelitian perilaku kepemimpinan adalah untuk mengidentifikasi efektifitas perilaku kepemimpinan dengan menggunakan konsep yang konsiderasi dan struktur inisiasi dalam pemimpin.

Kemampuan manajerial seorang pemimpin yang tampak dalam merencanakan, menggerakkan, mengkordinasikan, dan mengawasi serta mengendalikan kegiatan di lingkungan organisasi/perusahaan sangat dipengaruhi oleh perilaku (behaviour) pemimpin sebagai kegiatan nyata yang dilakukannya dalam jabatannya. Konsep Yulk (dalam J. Kaloh 2009 : 9) tentang perilaku kepemimpinan yaitu menyebarkan informasi (informing); merencanakan (planning); mengorganisir (organizing); memecahkan masalah (problem solving); merumuskan peranan dan tujuan (clarifying); memonitoring (controlling); memotivasi (motivating); mencegah konflik dan mengembangkan kelompok (managing conflict and team building); serta membuat jaringan (networking), telah dijadikan acuan untuk mengetahui perilaku kepemimpinan manakah yang sering digunakan dan perilaku mana yang jarang digunakan.

(9)

Rensis Likert (dalam J. Kaloh 2009 : 9) pakar perilaku kepemimpinan, membagi gaya atau perilaku kepemimpinan menjadi 4 (empat) sistem, yaitu

system exploitative authoritative (otokrasi pemerasan), system benevolent authoritative (otokratis bijak), system consultative leadership (kepemimpinan

konsultatif) dan system participative group leadership (kepemimpinan partisipatif, kelompok). Perilaku kepemimpinan merupakan suatu tindakan yang dilakukan pemimpin secara terus menerus yang karena kemampuannya dapat menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu dalam rangka pencapaian tujuan. Perilaku kepemimpinan yang efektif yaitu tindakan nyata yang dilakukan pemimpin di dalam pekerjaannya, sehingga kegiatan organisasi berlangsung secara efektif.

1.5.1.2 Jenis-jenis Perilaku Kepemimpinan

Penjabaran menurut Yuk (dalam J. Kaloh 2009 : 150) adanya indikator perilaku kepemimpinan dituangkan dalam alat ukur baku yang digunakan untuk mengetahui profil perilaku pemimpin dan kategori perilaku kepemimpinan sehingga dapat digunakan pemimpim untuk mengetahui aspek-aspek kepemimpinan dituangkan dalam jenis-jenis kepemimpinan, yaitu:

1. Perilaku Menyebarkan Informasi (Informating)

Penyebaran informasi merupakan alat organisasi dalam rangka pengembangan organisasi maupun untuk membina hubungan kerja antara para anggota organisasi. Perilaku menyebarkan informasi, yaitu perilaku atau tindakan pemimpin dalam menyebarkan informasi yang relevan seperti keputusan dan rencana, memberikan informasi teknis yang dibutuhkan bawahan dalam melakukan pekerjaannya, menginformasikan

(10)

kepada bawahan tentang kemajuan yang dicapai organisasi secara keseluruhan.

2. Perilaku Konsultasi dan Delegasi (Consulting and Delegating)

Perilaku konsultasi dan delegasi, yaitu perilaku atau tindakan pemimpin untuk membahas bersama pihak lain sebelum membuat keputusan, memberikan saran yang dapat mendorong kemajuan, memberikan kesempatan atau keluesan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan secara mandiri, menampung ide dan saran dari bawahan sebelum mengambil keputusan serta memberi kesempatan kepada bawahan untuk melaksanakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas pokok. Dengan perilaku ini, keputusan yang diambil pemimpin didukung oleh semua pihak dan pada akhirnya bobot keberhasilannya akan lebih besar.

3. Perilaku Perencanaan dan Pengorganisasian (Planning and Organizing) Perilaku perencanaan dan pengorganisasian yaitu perilaku atau tindakan pemimpin dalam wujud merumuskan tujuan dan strategi untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan lingkungan, merumuskan bagaimana mengalokasikan dan memanfaatkan sumber daya manusia dalam rangka pencapaian tujuan, merumuskan bagaimana mengembangkan efesiensi dalam pelaksanaan kegiatan dan bagaimana melakukan koordinasi yang baik dengan pihak lain.

4. Perilaku Pemecahan Masalah (Problem Solving)

Perilaku pemecahan masalah yaitu perilaku atau tindakan pemimpin dalam mengidentifikasikan masalah-masalah yang berhubungan dengan

(11)

pekerjaan, menganalisis masalah secara sistematis dan terus-menerus guna mengidentifikasi penyebab dan menemukann pemecahannya. Konsekuen melaksanakan keputusan dan tugas dalam mengatasi atau krisis yang dihadapi organisasi.

5. Perilaku Merumuskan Peranan dan Tujuan (Clarifying)

Perilaku merumuskan peranan dan tujuan, yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin dalam mewujudkan perumusan tugas-tugas, menetapkan arah pekerjaan, memberi pengertian tentang tanggung jawab yang diemban sehubungan dengan jabatan, merumuskan tujuan yang akan dicapai, menentukan batas waktu penyelesaian tugas dan mengarahkan bawahan dalam penyelenggaraan tugas-tugas organisasi. Perilaku merumuskan peranan dan tujuan dari pemimpin akan membentuk persepsi staf terhadap tugas organisasi serta meningkatkan kapabilitas pimpinan terhadap pelaksanaan tugas organisasi.

6. Perilaku Pemantauan (Monitoring)

Perilaku pemantauan yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin guna memperoleh informasi tentang kegiatan kerja, melakukan pengecekan tentang kemajuann dan kualitas pekerjaan, evaluasi kinerja bawahan dan unit instansi di lingkungan organisasi dan melakukan pengamatan untuk mengetahui berbagai peluang dan hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas-tugas dan program organisasi. Pemantauan dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kegiatan kerja, pengamatan dan evaluasi terhadap kemajuan dan kualitas pekerjaan

(12)

serta menjadi masukan bagi pemimpin dalam melanjutkan dan mengembangkan apa yang telah dicapai.

7. Perilaku Motivasi

Perilaku motivasi yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin untuk mempengaruhi emosi bawahan dengan menggunakan nilai-nilai serta logika guna mendorong antusiasme atau semangat kerja karyawan, menumbuhkan komitmen terhadap tujuan dan tugas, bersedia melakukan kerjasama, memberi bantuan dan dukungan. Pemberian motivasi dimaksudkan untuk mempengaruhi emosi bawahan dan menumbuhkan komitmen terhadap tugas dan tujuan serta mengembangkan hubungan kerjasama, yang diharapkan dapat meningkatkan semangat dan kegairahan bawahan dalam menjalankan tugasnya.

8. Perilaku Pengakuan dan Penghargaan

Perilaku pengakuan dan penghargaan, yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin untuk menyediakan hadiah, pengakuan dan penghargaan kepada bawahan yang kecakapannya baik dan yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan pelaksanaan tugas-tugas dilingkungan organisasi. Pemgakuan dan penghargaan erat kaitannya dengan motivasi. Pengakuan dan penghargaan diberikan kepada karyawan dengan harapan agar tindakan tersebut tercipta semangat kerja yang tinggi. Dalam organisasi pemerintah pengakuan dan penghargaan terhadap karyawan yang berprestasi biasanya dalam bentuk pujian yang kadang-kadang disertai dengan pemberian piagam penghargaan dan hadiah lainnya.

(13)

9. Perilaku Dukungan (Supporting)

Perilaku dukungan yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin yang terungkap dalam bentuk sifat bersahabat, baik budi, suka membantu, selalu menunjukkan dukungan dan simpati kepada bawahannya dan melakukan sesuatu untuk mendorong bawahan agar skill-nya meningkat dan kariernya berkembang.

10. Perilaku Mencegah Konflik dan Mengembangkan Kelompok (Managing

Conflict and Team Building)

Perilaku mencegah konflik dan mengembangkan kelompok kerja yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin untuk mendorong dan menyediakan fasilitas yang konstruktif dalam pemecahan masalah dan mendorong atau mengembangkan kerjasama kelompok yang cocok dalam penyelenggaraan tugas-tugas atau program organisasi. Perran pemimpin dalam pencegahan konflik adalah untuk mendorong dan menyediakan fasilitas yang sifatnya konstruktif yang dapat membantu proses pemecahan masalah. Demikian pula perilaku pemimpin dalam mengembangkan kelompok hanya digunakan pada situasi dan kondisi tertentu.

11. Perilaku Membuat Jaringan

Perilaku membuat jaringan yaitu perilaku atau sikap dan tindakan pemimpin dalam wujud membaur secara informal, membangun hubungan dengan orang yang memiliki sumber informasi dan dukungan, memantapkan hubungan dengan semua pihak yang terkait secara periodic

(14)

melalui kunjungan, telepon, surat-menyurat dan kehadiran dalam rapat-rapat serta kegiatan social.

1.5.2 Kepemimpinan

1.5.2.1 Definisi Kepemimpinan

Secara etimologi kepemimpinan bersal dari kata dasar “pimpin” yang artinya bimbing atau tuntun. Dari kata pimpin lahirlah kata kerja “memimpin” yang artinya membimbing atau menuntun dan kata benda “pemimpin” yaitu orang yang berfungsi memimpin atau orang yang membimbing atau menuntun.

Kepemimpinan menurut John C. Maxwel (1997 : 7) yaitu:“inilah definisi

menurut saya tentang kepemimpinan, yakni suatu deskripsi satu kata, singkat, dan sederhana, yang menempatkan kepemimpinan dalam jangkauan setiap orang. Semua dari kita dapat melatih sejumlah pengaruh pada seseorang, pada masalah yang sama dan ditempat yang sama. Kepemimpinan bukan jabatan, posisi atau bagan alir (flowchart). Kepemimpinan adalah suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan orang lain”.

Penguasaan seni dan ilmu kepemimpinan menurut J. Kaloh (2009 : 9) merupakan syarat utama bagi seorang pimpinan karena:

1. Kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti keperibadian (personality), kemampuan (ability), dan kesanggupan (capability)

2. Kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan (activity) pemimpin yang terkait dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri.

3. Kepemimpinan adalah sebagai proses antar hubungan atau interaksi antar pemimpin, bawahan dan situasi.

Kepemimpinan juga merupakan aspek penting dalam organisasi khususnya lingkup administrasi pemerintahan daerah. Menurut Jyuji Misumi

(15)

(dalam J. Kaloh, 2009 : 12) bahwa kepemimpinan merupakan subjek penting di dalam manajemen dan ilmu administrasi karena kepemimpinan terkait dengan langsung saling berhubungan antara atasan dengan bawahan dalam sebuah organisasi.

Menurut Slamet (2002 : 29) menyebutkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan, proses atau fungsi pada umumnya untuk mempengaruhi orang-orang agar berbuat sesuatu dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Selanjutnya dikemukakan oleh Slamet (2002 : 30) bahwa kepemimpinan penting dalam kehidupan bersama dan kepemimpinan itu hanya melekat pada orang dan kepemimpinan itu harus mengena kepada orang yang dipimpinnya. Hal ini berarti harus diakui secara timbale balik, misalnya sasaran yang dipimpin harus mengakui bahwa orang tersebut adalah pemimpinnya.

Selain itu, kepemimpinan menurut Stogdill (dalam J. Kaloh, 2009 : 10) mengandung pengertian sebagai berikut:

1. Kepemimpinan sebagai titik pusat proses-proses kelompok

2. Kepemimpinan adalah suatu keperibadian yang mempunyai pengaruh 3. Kepemimpinan adalah seni untuk menciptakan kesesuaian paham atau

kesetiaan, kesepakatan

4. Kepemimpinan adalah pelaksaan pengaruh 5. Kepemimpinan adalah tindakan atau perilaku 6. Kepemimpinan adalah suatu bentuk persuasi

7. Kepemimpinan adalah suatu hubungan kekuatan/kekuasaan 8. Kepemimpinan adalah suatu hasil dari interaksi

(16)

10. Kepemimpinan sebagai inisiasi (permulaan) dari struktur

Kepemimpinan menurut Sunarto (2005 : 34) adalah proses memberi inspirasi kepada seluruh karyawan agar bisa bekerja sebaik-baiknya untuk mencapai hasil yang diharapkan. Kepemimpinan adalah cara mengajak karyawan agar bertindak secara benar, mencapai komitmen dan memotivasi untuk mencapai tujuan bersama. Kepemimpinan memiliki dua peran penting, yaitu:

1. Menyelesaikan tugas, artinya tujuan utama dibentuknya kelompok dibawah pemimpin. Para pemimpin harus memastikan bahwa tujuan kelompok akan tercapai.

2. Menjaga hubungan yang efektif, yaitu hubungan pemimpin dengan anggota kelompoknya maupun hubungan antar kelompok.

Selain itu pemimpin harus memiliki: pertama, intuisi yaitu keterlibatan pemimpin dalam menatap situasi, mengantisipasi perubahan, mengambil resiko dan membangun kejujuran. Kedua, pandangan yaitu keterlibatan pemimpin dalam mengimajinasikan suatu kondisi untuk memperbaiki lingkungan organisasi. Ketiga, nilai keselarasan yaitu kemampuan pemimpin untuk mengetahui dan memahami nilai-nilai yang berkembang dalam organisasinya, nilai-nilai yang dimiliki bawahannya, serta dapat memadukan kedua nilai tersebut menuju organisasi yang efektif. Keempat, kepastian akan maksud dan arah tujuan.

Stone dan Sachs (dalam J. Kaloh, 2009 : 11) mengemukakan, empat hal stategis bagi pemimpin dalam memimpin organisasi, yaitu: (1) memberdayakan anggota organisasi; (2) menciptakan lingkungan pelatihan; (3) mengupayakan agar visi misi dan nilai-nilai organisasi menjadi milik anggota organisasi; (4)

(17)

membuka diri terhadap perkembangan dan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan.

1.5.2.2 Teori Kepemimpinan

Teori-teori kepemimpinan pada umumnya berusaha menerangkan factor-faktor yang memungkinkan munculnya kepemimpinan dan sifat dari kepemimpinan (Pramudji, 1992 : 145).

Study tentang kepemimpinan bisa dikelompokan menjadi 4 (empat) pendekaten. Fiedler (dalam Nawawi, 2003 : 44), menyatakan keempat teori kepemimpinan tersebut, yaitu:

1. Teori “Great Man” dan Teori “Big Bang”

Teori ini mengemukakan kepemimpinan merupakan bakat atau bawaan sejak seseorang lahir dari kedua orang tuanya. Bennis dan Nannus (dalam Nawawi, 2003 : ), menyatakan pemimpin dilahirkan bukan diciptakan. Teori ini melihat kekuasaan berada pada sejumlah orang tertentu, yang melalui peroses pewarisan memiliki kemampuan memimpin atau karena keberuntungan memiliki bakat untuk menempati posisi sebagai pemimpin. Teori Big-Bang mengintegrasikan antara situasi dan pengikut anggota organisasi sebagai jalan yang dapat mengantarkan seseorang menjadi pemimpin. Situasi yang dimaksud adalah peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian besar seperti revolusi, kekacauan/kerusuhan, pemberontakan, reformasi dan lain-lain.

2. Teori Sifat atau Karakteristik Keperibadian

(18)

oleh seorang pemimpin, meskipun orang tuanya khususnya ayah bukan seorang pemimpin. Teori ini bertolak dari pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimipin ditentukan oleh sifat-sifat/karakteristik kepribadian yang dimiliki.

3. Teori Perilaku

Teori ini bertolak dari pemikiran bahwa kepemimpinan untuk mengefektifkan organisasi, tergantung pada perilaku atau gaya bersikap atau gaya bertindak seorang pemimpin. Dengan demikian berarti teori ini juga memusatkan perhatiannya pada fungsi-fungsi kepemimpinan. Dengan kata lain, keberhasilan seorang pemimpin dalam mengefektifkan organisasi, sangat tergantung dari perilakunya dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan di dalam strategi kepemimpinannya.

4. Teori Kontingensi atau Teori Stuasional.

Teori situasional dapat disimpulkan bahwa seorang peminpin yang efektif memperhatikan faktor-faktor situasional yang terdapat di dalam organisasi. Karena faktor-faktor situasi tersebut tidak selalu tetap, maka diperlukan kemampuan dari peminpin untuk mengadaptasi kepeminpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

1.5.2.3 Fungsi – fungsi kepeminpinan

Fungsi kepeminpinan menurut Sondang P. Siagian (2003 : 48) sebagai fungsi manajemen mencakup beberapa tugas kewajiban dan dalam rangaka kepeminpinan menjalankan pemerintahan, yang diantaranya :

(19)

Peminpin mampu mengarahkan strategi dan taktik keputusan organisasi yang hendak di tempuh menuju tujuan sehingga mengoptimalkan pemanfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia. Pengambilan keputusan yang diungkapkan S. Pramudji (1992 : 127) ialah kewajiban sorang peminpin dalam organisasi ialah mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kekuasaan atau dalam rangka memecahkan masalah -masalah dalam organisasinya. Dikemukakan oleh John. D millet (dalam Pramudji, 1992 : 127) bahwa salah satu kemapuan peminpin ialah kemampuan berani mengambil keputusan.

2. Pimpinan Sebagai Wakil Dan Juru Bicara Organisasi

Peminpin puncak organisasi yang menjadi wakil dan juru bicara resmi akan mampu mncapai tujuannya tanpa memelihara hubungan yang baik dengan berbagi pihak diluar organisasi yang bersangkutan sendiri. Sebagai wakil dan juru bicara organisasi fungsi pimpinan tidak terbatas hanya pemeliharaan hubungan baik saja tetapi harus membuahkan perolehan dukungan yang diperlukan untuk pencapaian tujuan organisasi. Pemeliharaan hubungan yang baik agar pihak yang berkepentingan mempunyai persepsi yang baik terhadap organisasi.

3. Pimpinan Sebagai Komunikator yang Efektif

Adanya pemeliharaan hubungan yang baik dilakukan dengan proses komunikasi. Keputusan yang telah diambil disampaikan kepada para pelaksana melalui jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi. Adanya interaksi pesan yang terjadi antara atasan dengan bawahan, antara

(20)

operasional dengan serasi berkat terjadinya komunikasi yang efektif sehingga dimungkinkan terjadi umpan balik yang bermanfaat bagi organisasi.

4. Pimpinan Sebagai Mediator

Fungsi pimpinan sebagai mediator difokuskan pada penyelesaian situasi konflik yang mungkin timbul dalam satu organisasi, tanpa mengurangi pentingnya situasi konflik yang mungkin timbul dalam hubungan keluar harus dihadapi dan diatasi oleh pimpinan.

5. Peranan Pimpinan Selaku Integrator

Pemimpin selaku integrator haruslah meletakkan sikap yang objektif dan netral sebagai pimpinan. Dalam situasi berfikir dan bertindak para anggota organisasi dapat bersikap negatif maupun positif. Untuk mencapai keberhasilan satu kelompok organisasi secara utuh dan bukan terkotak-kotak, peranan integrator diutamakan dimana menghasilkan menhasilkan keberhasilan yang tidak merugikan kecenderungan bagi kelompok-kelompok tertentu.

Fungsi kepemimpinan tidak luput dari ciri-ciri kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Analisis kepemimpinan berdasarkan ciri kepemimpinannya yang diungkapkan oleh Sondang P. Siagian (2003:75) memberikan petunjuk bahwa ciri-ciri kepemimpinan ideal yaitu :

1. Pengetahuan yang luas

2. Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang 3. Sifat inkuisitif

(21)

5. Daya ingat yang kuat 6. Kapasitas integrative

7. Keterampilan berkomunikasi secara efektif 8. Keterampilan mendidik

9. Rasionalisme dan objektivitas 10. Pragmmatisme

11. Kemampuan menentukan skala prioritas

12. Kemampuan membedakan yang urgen dan yang penting 13. Rasa tepat waktu

14. Rasa kohesi yang tinggi 15. Naluri relevasi

16. Keteladanan

17. Kesediaan menjadi pendengar yang baik 18. Adaptabilitas

19. Fleksibelitas

20. Ketegasan dan keberanian 21. Orientasi

22. Sikap yang antisipatif

1.5.2.4 Tipologi Kepemimpinan

Seseorang yang menduduki jabatan pimpinan mempunyai kapasitas untuk ”membaca” situasi yang dihadapinya secara tepat dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya agar sesuai dengan tuntutan situasi yang dihadapinya meskipun penyesuaian itu mungkin hanya bersifat sementara.

(22)

Karena penyesuaian-penyesuaian tersebut memang merupakan kehidupan manajerial seseorang yang menduduki posisi jabatan pimpinan. Adanya penyesuaian yang dilakukan seseorang manajerial terhadap tempat ia melakukan pekerjaan, perlu kiranya seorang manajerial terhadap tempat ia melakukan pekerjaan, perlu kiranya seorang pemimpin memiliki tipe-tipe kepemimpinan yang perlu melakukan perubahan terhadap penyesuaian situasi yang berada di lingkup kerjanya.

Tipologi kepemimpinan yang secara luas banyak diterapkan oleh kepemimpinan dewasa ini, Prof. Dr. Sondang P. Siagian (2003: 27) memandang sebelum meletakkan tipe-tipe dalam kepemimpinan dalam situasi pemimpin perlu melihat kategori dari berbagai karakter yaitu :

1. Persepsi seorang pimpinan tentang peranannya selaku pimpinan 2. Nilai – nilai yang di anut

3. Sikap dalam mengemudikan jalannya organisasi 4. Perilaku dalam memimpin

5. Gaya kepemimpinan yang dominan

Dari kelima karakteristik tersebut haruslah dimiliki seorang pemimpin dari berbagai tipe kepemimpinan yang memberdakan antara yang satu dengan yang lainnya. Ada lima tipe kepemimpinan yang diakui keberadaannya diantaranya :

1. Tipe Ototkratik

Segi kepemimpinan yang otokratik memiliki serangkaian karakteristik yang dapat dipandang sebagai karakteristik yang negatif. Dilihat dari segi persepsinya, seorang pemimpin yang otokratik adalah seseorang yang sangat egois besar akan mendorongnya memutarbalikkan kenyataan yang

(23)

sebenarnya. Sehingga peranannya sebagai sumber segala sesuatu dalam kehidupan organisasional seperti kekuasaan, serta memiliki nilai kepemimpinan organisasional yang membenarkan segala cara yang ditempuh untuk mencapai tujuannya. Seorang pemimpin yang otoriter akan menunjukkan sikapnya yang menonjol ”keakuan” dalam berbagai bentuk seperti :

a) Cenderung memperlakukan para bawahan sama dengan alat – alat lain dalam organisasi dan kurang menghargai harkat dan martabat mereka. b) Pengutamaan oerientasi terhadap pelaksanaan dan penyelesaian tugas

tanpa mengkaitkan pelaksanaan tugas ini dengan kebutuhan dan kepentingan para bawahan

c) Pengabaian peranan para bawahan dalam proses pengambilan keputusan dengan cara hanya menginformasikan kepada bawahannya dan menuntut mereka untuk melakukan pekerjaan.

Sikap pemimpin demikian akan mewujudkan diri pada perilaku pemimpin kepada bawahannya. Karena baginya tujuan organiisasi identik dengan tujuan pribadinya, maka perilakunya akan sedemikian rupa sehingga orang lain akan memperoleh kesan bahwa pemimpin tersebut memandang organisasi sebagai milik pribadinya yang dapat diperlakukan sekehendak hati. Dengan demikian ia tidak mau menerima saran dan kritik dai para bawahannya. Pemimpin yang otokratik dalam prakteknya akan menggunakan gaya kepemimpinan yang :

(24)

c) Bernada keras dalam pemberian perintah atau instruksi

d) Menggunakan pendekatan punitif dalam hal terjadi penyimpangan oleh bawahan.

2. Tipe Paternalistik

Tipe pemimpin yang paternalistik banyak terdapat di lingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya di masyarakat agraris. Popularitas pemimpin yang paternalistik disebabkan oleh beberapa faktor seperti:

a) Kuatnya ikatan primordial b) Extended family system

c) Kehidupan masyarakat yang komunalistik

d) Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan bermasyarakat

e) Masih dimungkinkannya hubungann pribadi yang intim antara seseorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lain.

Persepsi seorang pemimpin paternalistik tentang peranannya dalam kehidupan organisasional dapat dikatakan diwarnai oleh harapan pada umumnya berwujud keinginan agar pemimpin mereka mampu beperan sebagai bapak yang bersifat melindungi dan yang layak dijadikan sebagai tempat bertanya dan memperoleh petunjuk. Legitimasi kepemimpinannya dipandang sebagai hal yang wajar dan normal, dengan implikasi organisasionalnya seperti kewenangan memerintah dan mengambil keputusan tanpa harus berkonsultasi dengan para bawahannya.

(25)

Ditinjau dari segi nilai-nilai organisasional yang dianut, biasanya seorang pemimpin yang paternalistik mengutamakan kebersamaan. Artinya pemimpin yang bersangkutan berusaha memperlakukan semua orang dan semua satuan kerja yang terdapat didalam organisasi seadil dan serata mungkin. Dimata seorang pemimpin yang paternalistik para bawahannya belum dewasa dalam cara bertindak dan berfikir sehingga memerlukan bimbingan dan tuntutan terus menerus. Konsekuensi dari perilaku seorang pimpinan yang paternalistik demikian ialah para bawahannya tidakk dimanfaatkan sebagai sumber informasi, ide dan saran.

3. Tipe Kharismatik

Kepemimpinan yang kharismatik memiliki karekteristik yang khas yaitu daya tariknya yang sangat memikat sehingga mampu memperoleh pengikut yang jumlahnya kadang-kadang sangat besar. Seorang pemimpin yang kharismatik adalah seseorang yang dikagumi oleh banyak pengikut meskipun para pengikutnya tersebut tidak selalu dapat menjelaskan secara konkret mengapa orang tertentu dikagumi.

Mungkin pula seorang pemimpin yang kharismatik menggunakan gaya yang paternalistik, tetap ia tidak kehilangan daya demokratik atau partisipatif.pemimpin yang tergolong kharismatik ini jumlahnya tidak besar dan mungkin jumlah yang sedikit ini pulalah yang menyebabkan sehingga tidak cukup data empiris yang dapat digunakan untuk menganalisis secara ilmiah karakter pemimpin yang kharismatik.

(26)

Persepsi seorang pemimpin yang laissez faire tentang peranannya sebagai seorang pemimpin berkisar pandangannya bahwa pada umumnya organisasi akan berjalan lancar dengan sendirinya karena para anggota organisasi terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa yang mengetahui apa yang menjadi tujuan organisasi, sasaran-sasaran apa yang ingin dicapai, tugas apa yang harus dijalankan oleh masing-masing anggota dan seorang pimpinan tidak perlu sering melakukan intervensi dalam kehidupan organisasional. Seorang pemimpin yang Laissez faire melihat peranannya sebagai ”polisi lalu lintas”. Dengan anggapan bahwa para anggota organisasisudah mengetahui dan cukup dewasa untk taat kepada peraturan permainan yang berlaku, seorang pemimpin yang laissez faire cenderung memilih peranan yang pasif dan membiarkan organisasi berjalan sesuai dengan temponya sendiri tanpa harus banyak mencampuri bagaimana organisasi harus dijalankan. Nilai-nilai yang dianut oleh seorang pemimpin yang laisses faire dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya sangat bertolak dari filsafat hidup manusia pada dasarnya memiliki rasa solidaritas dalam kehidupan bersama, mempunyai kesetiaan kepada sesama dan kepada organisasi, taat kepada norma-norma dan peraturan yang telah disepakati bersama, mempunyai tanggungjawab yang besar terhadap tugas yang harus diembannya. Karena demikian, pemimpin yang memiliki tipe laissez faire memiliki nilai yang tepat dalam hubungan atasan – bawahan adalah nilai yang saling mempercayai yang besar. Melihat dari karakteristik dari pimpinan bertipe laissez faire ini memiliki gaya kepemimpinan yang digunakan yakni :

(27)

a) Pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif

b) Pengambilan keputusan diserahkan kepada para pejabat pimpinan yang lebih rendah dan kepada para petugas oerasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyatanya menuntut keterlibatan secara langsung c) Status quo organisasional tidak terganggu

d) Penumbuhan dan pengembangan kemampuan berfikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif didasarkan kepada para anggota organisasi yang bersangkutan sendiri.

e) Sepanjang dan selama paran anggota organisasi menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pimpinan dalam perjalanan organisasi berada pada tingkatan yang minimum.

5. Tipe Demokratik

Bagi kebanyakan seseorang dalam menjalankan organisasinya cenderung menerima perlakuan demokratik dari pimpinannya. Tipe kepemimpinan yang demokratik adalah tipe ideal yang sangat diinginkan oleh para bawahannya. Ditinjau dari persepsinya, seorang pemimpin yang demokratik biasanya memandang peranannya selaku kordinator dan integrator dari berbagai unsur dan komponen organisasi sehingga bergerak sebagai suatu titik tolak. Pendekatan dalam menjalankan fungsi kepemimpinannya adalah pendekatan holistik dan integralistik. Seorang pimpinan yang demokratik dihormati dan disegani dan bukan ditakuti karena perilakunya dalam kehidupan organisasional.

(28)

faktor. Faktor-faktor itu berasal dari diri kita sendiri, pandangan kita terhadap manusia, keadaan kelompok dan situasi waktu kepemimpinan kita laksanakan. Orang yang memandang kepemimpinan sebagai status dan hak unntuk mendapatkan fasilitas, uang, barang, jelas akan menunjukkan praktek kepemimpinan yang tidak sama dengan orang yang mengartikan kepemimpinan sebagai pelayanan kesejahteraan orang yang dipimpinnya.

1.5.3 Kepemimpinan Situasional

15.3.1 Defenisi Kepemimpinan Situasional

Menyangkut konsistensi gaya kepemimpinan seseorang bersifat ”fixed” sehingga tidak berubah meskipun dihadapkan dengan kondisi yang berlainan dengan gaya kepemimpinannya. Kepemimpinan seseorang tidaklah berubah dalam menghadapi situasi yang bagaimanapun. Jika seseorang pada hakikatnya memiliki ciri-ciri kepemimpinan otokratik, gaya kepemimpinannya pun akan otokratik pula, terlepas dari situasi organisasional yang dihadapinya. Sebaliknya, jika seseorang yang berpandangan demokratik akan secara konsisten memiliki peran partisipatif meskipun situasi organisasonal yang dihadapinya sesungguhnya menunut gaya kepemimpinannya yang lain.

Gaya kepemimpinan seseorang yang bersifat situasional, dalam prakteknya pandangan ini berarti bahwa tidak ada seorang pemimpin yang sangat konsisten menggunakan satu gaya kepemimpinan tertentu terlepas dari situasi yang dihadapinya. Artinya efektifitas seseorang sangat tergantung pada kemampuannya membaca situasi yang dihadapinya dan menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan situasi tertentu, sehingga pemimpin yang efektif akan menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya.

(29)

Menurut teori situasional, seorang pemimpin yang paling otokratik sekalipun akan mengubah gaya kepemimpinannya yang otokratik itu dengan gaya lain, misalnya gaya yang agak demokratik, apabila situasi tertentu menurutnya untuk dipakai. Adanya sejarah yang memberikan banyak bukti mengenai pimpinan di Indonesia yang bersifat otokratik dan pada akhirnya mengalah pada tuntutan rakyat. Kepemimpinan situasional mengatakan seseorang yang biasanya mennggunakan gaya kepemimpinan yang demokratik mungkin saja bertindak otoriter apabila situasi menghendakinya, seperti pelanggaran kepada pegawai terhadap disiplin organisasi, mengoreksi penyelewengan atau sangat didesak oleh situasi krisis.

1.5.3.2 Teori Situasional

Belajar dari konsep Hersey and Blancard, perilaku dan gaya kepemimpinan bersifat situasional. Pemimpinan atau manajer harus menyesuaikan responnya menurut kondisi atau tingkat perkembangan kematangan, kemampuan dan minat karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Dalam hal ini, respon seorang manajer dalam perilaku kepemimpinannya memberikan sejumlah pengarahan dan dukungan yang bersifat sosioemosional. Sementara itu manajer harus menyesuaikan tingkat kematangan karyawan.

Tingkat kematangan karyawan (maturity), diartikan sebagai tingkat kemampuan karyawan untuk bertanggung jawab dan mengarahkan perilaku dalam bentuk kemauan. Berdasarkan tingkat kematangannya, menurut Hersey dan Blancard (www.edymartin.wordpress.com) ada empat jenis karyawan, yaitu: (1) karyawan yang tidak mampu dan tidak mau, (2) karyawan yang tidak mampu,

(30)

tetapi mau, (3) karyawan yang mampu, tetapi tidak mau, (4) karyawan yang mampu dan mau.

Teori situasi dalam kepemimpinan pemerintahan menurut Inu Kencana Syafe’I (2003 : 21) adalah teori dimana pemimpin memanfaatkan situasi dan kondisi bawahannya dalam kepemimpinannya. Ada empat respon kepemimpinan dalam mengelola kinerja berdasarkan tingkat kematangan karyawan, yaitu mengarahkan, menjual, menggalang partisipasi dan mendelegasikan dengan memperhatikan dukungan (supportif) dan pengarahan (directif), sebagai berikut :

1. Mengarahkan (telling)

Gaya kepemimpinan yang mengarahkan, merupakan respon kepemimpinan yang perlu dilakukan oleh manajer pada kondisi karyawan lemah dalam kemampauan, minat dan komitmennya. Sementara itu, organisasi menghendaki penyelesaian tugas-tugas yang tinggi. Dalam situasi seperti ini Hersey dan Blancard menyarankan agar manajer memainkan peran directive yang tinggi, memeberi saran bagaimana menyelesaikan tugas-tugas itu tanpa mengurangi intensitas hubungan sosial dan komunikasi antara pimpinan dan bawahan.

2. Menjual (selling)

Pada kondisi karyawan menghadapi kesulitan menyelesaikan tugas-tugas, takut untuk mencoba melakukannya, manajer juga memproporsikan struktur tugas dengan tanggung jawab karyawan. Selain itu, manajer harus menemukan hal-hal yang menyebabkan karyawan tidak termotivasi serta masalah-masalah yang dihadapi karyawan. Pada kondisi ini, karyawan sudah mulai mampu mengerjakan tugas-tugas dengan lebih baik, akan

(31)

memicu perasaan timbulnya over confident. Kondisi ini, memungkinkan karyawan menhadapai permasalahan baru yang muncul. Oleh karena itu, setelah memberikan pengarahan, manajer harus memerankan gaya menjual dengan mengajukan beberapa alternatif pemecahan masalah.

3. Menggalang Partisipasi (participation)

Perilaku kepemimpinan partisipasi, adalah respon manajer yang harus diperankan ketika tingkat kemampuan karyawan akan tetapi tidak memiliki kemauan untuk melakukan tanggung jawab, karena ketidakmauan atau ketidakyakinan mereka untuk melakukan tugas/tanggung jawab seringkali disebabkan karena kurang keyakinan. Dalam kasus seperti ini pemimpin perlu membuka komunikasi dua arah dan secara aktif mendengarkan mendukung usaha – usaha yang dilakukan para bawahan.

4. Mendelegasikan (delegating)

Selanjutnya, untuk tingkat karyawan dengan kemampuan dan kemauan yang tinggi, maka gaya kepemimpinan yang sesuai adalah gaya ”delegasi”. Dengan gaya delegasi ini pimpinan sedikit memberi pengarahan maupun dukungan, karena dianggap sudah mampu dan mau melaksanakan tugas/tanggungjawabnya. Mereka diperkenankan untuk melaksanakan sendiri dan memutuskan tentang bagaimana, kapan dan dimana pekerjaan mereka harus diselesaikan. Pada gaya delegasi ini tidak terlalu diperlukan komunikasi dua arah.

(32)

Seorang pemimpin sama halnya dengan seorang pembimbing. Seorang pembimbing sebagai conseler pelatih yang selalu membimbing orang-orang ketika ia memberikan instruksi. Sama halnya seperti seorang manajer atau pimpinan yang selalu mengembangkan karyawannya dalam memberikan instruksi kepada mereka. Perilaku seorang pemimpin haruslah diberikan bawahan/karyawan sesuai dengan perilaku yang dimiliki karyawan. Hal ini dimaksudkan untuk dapat meningkatkan kinerja karyawan, perilaku kepemimpinan situasional haruslah melihat bagaimana karakteristik perilaku karyawannya. Jack Cullen dan Len D’Innopcenzo (2005 : 25) seorang pembimbing harus mengetahui tipe-tipe yang menggambarkan seorang karyawan bekerja. Ada dua tipe yang efektif yang digunakan oleh pemimpin situasional untuk menyesuaikan pendekatan kepada karyawan dalam meningkatan kinerja karyawan.

1. Tipe Dominan (High D)

Kebiasaan yang paling mudah dilihat seorang pemimpin adalah karyawan yang memiliki tipe dominan. Tipe dominan tampak tegas dan suka memaksa. Mereka biasanya berbicara, membuat keputusan, memulai tidakan, dan membuahkan hasil dengan cepat dan memiliki pendapat yang sudah jelas serta gemar membuat sesuatu yang nyata. Mereka berkembang dan membentuk lingkungan sekitarnya dengan mengalahkan lawan mereka dan berusaha mewujudkan hasil yang mereka capai. Beberapa dari tipe dominan ini menyukai pekerjaan lapangan yang memberikan mereka kesempatan untuk mendapatkan otoritas, prestasi, dan pengakuan. Mereka mempunyai kemauan yang kuat untuk mencapai tujuan mereka dan mereka akan mengatasi segala rintangan.

(33)

2. Tipe Pengaruh (High i)

Tipe kebiasaan kedua ini, seorang karyawan yang dibutuhkan bimbingan seorang pemimpin dalam meningkatkan kinerjanya yaitu tipe pengaruh. Karyawan yang memiliki karakter seperti ini membentuk lingkungannya dengan mengajak orang lain menjadi sekutunya untuk mendapatkan hasil. Karyawan bertipe ini menginginkan hasil, sama halnya dengan mereka yang bertipe dominan. Namun, mereka juga menaruh pada orang-orang disekitar mereka. Meraka mempengaruhi publik melihat dari sesuatu apa yang mereka lihat dan menikmati pengakuan publik atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan sesuatu. Tipe seperti ini menikmati hubungan dengan orang lain, mengobrol dan menciptakan suasana motivasional, dan melihat orang lain dan situasi dengan optimis.

1.5.4 Kinerja Karyawan 1.5.4.1 Definisi Kinerja

Seorang pemimpin yang memiliki visi dan misi dari situasi ke masa depan, harus memahami mengenai kinerja dan bagaimana mengukur serta bagaimana strategi atau perilaku pemimpin yang dapat meningkatkan kinerja pegawai dan organisasinya. Kinerja (Mahsun, 2006 : 25) merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi yang tertuang dalam strategi planning suatu organisasi. Istilah kinerja sering digunakan untuk menyebutkan prestasi atau tingkat keberhasilan individu maupun kelompok individu. Kinerja bisa diketahui hanya jika individu atau kelompok tersebut

(34)

mempunyai kriteria keberhasilan yang telah ditetapkan. Kriteria keberhasilan ini berupa tujuan-tujuan atau target tertentu yang hendak dicapai.

Kinerja berasal dari akar kata ”to performance”, menurut Joko Widodo (2005 : 78) kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Sedang kinerja menurut Suryadi Prawirosentono (dalam Widodo, 2005 : 78) kinerja yaitu hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika.

Kinerja individu perorangan (individual performance) dan organisasi (organizational performance) memiliki keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa dilepaskan dari sumber daya yang dimiliki oleh organisasi yang digerakkan atau dijalankan oleh sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku dalam upaya mencapai tujuan organisasi.

Kinerja sumber daya manusia merupakan istilah yang berasal dari kata

Job Performance atau Actual Performance (prestasi kerja atau prestai

sesungguhnya yang dicapai seseorang). Defenisi kinerja yang dikemukakan oleh Bambang Kusriyanto (dalam Mangkunegara, 2006 : 9) adalah: ”perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja persatuan waktu (per jam)”.

Menurut Faustino Cardosa Gomes (dalam Mangkunegara, 2006 : 9) mengemukakan defenisi kinerja pegawai sebagai: ”ungkapan seperti output, efisiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktivitas”.

(35)

Menurut John Whitmore (dalam situs wikipedia, 1997 : 104) ”kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseornag, kinerja adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.

Defenisi kinerja menurut Anwar Prabu Mengkunegara (2000 : 67) bahwa ”kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuatitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.

Dapat disimpulkan bahwa kinerja karyawan adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai sumber daya manusia persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

1.5.4.2 Evaluasi / Penilaian Kinerja

Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi pegawai dikemukakan oleh Leon C. Mengginson (dalam Mangkunegara, 2000 : 69), ”penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya”. Andrew E. Sikula (dalam Mangkunegara, 2000 : 69) mengemukakan ”penilaian karyawan merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu (barang)”.

Dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja karyawan adalah penilaian yang dilakukan secaa sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan pegawai dan

(36)

pelatihan kerja secara tepat. Memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa prinsip dasar evaluasi kinerja karyawan adalah :

1. Fokusnya adalah membina kekuatan untuk menyelesaikan setiap persoalan yang timbul dalam pelaksanaan evaluasi kinerja setiap saat.

2. Selalu didasarkan atas suatu pertemuan pendapat, misalnya dari hasil diskusi anatara pegawai dengan penyelia langsung, suatu diskusi yang konstruktif untuk mencari jalan yang terbaik dalam meningkatkan mutu. 3. Suatu proses manajemen yang alami, jangan merasa dan menimbulkan

kesan terpaksa, namun dimasukkan secara sadar ke dalam corporate planning, dilakukan secara periodic, terarah dan terprogram.

1.5.4.3 Pengukuran Kinerja Karyawan

Menurut Bernandin dan Russel (dalam Gomes 1993 : 135) mengemukakan ukuran-ukuran dari kinerja karyawan yaitu sebagai berikut:

1. Quantity of work yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan.

2. Quality of work yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.

3. Job Knowledge yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.

4. Creativeness yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

5. Cooperation yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi.

6. Dependability yaitu kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.

7. Initiative yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya.

(37)

8. Personal qualities yaitu menyangkut keperibadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

Sedangkan Agus Dharma (2003 : 355) mengatakan hampir semua cara pengukuran kinerja mempertimbangkan beberapa hal. Pertama kuantitas, yaitu jumlah yang harus diselesaikan atau dicapai. Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan keluaran dari proses atau pelaksanaan kegiatan. Kedua kualitas, yaitu mutu yang harus dihasilkan (baik tidaknya). Ketiga, ketepatan waktu yaitu sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan. Pengukuran ketepatan waktu merupakan khusus dari pengukuran kuantitatif yang menentukan ketepatan waktu penyelesaian pekerjaan.

Menurut Malayu S.P Hasibuan (2002 : 56) kinerja dapat dikatakan baik atau dapat dinilai dari beberapa hal, antara lain:

1. Kesetiaan 2. Prestasi kerja 3. Kedisiplinan 4. Kreativitas 5. Kerjasama 6. Kecakapan 7. Tanggungjawab

8. Efektifitas dan efisiensi

Kesetiaan karyawan dapat dilihat dari tekad dan kesanggupan menaati, melaksanakan, dan mengamalkan sesuatu yang ditaati dengan penuh kesadaran dan tanggungjawab. Sehingga menghasilkan prestasi kerja yang maksimal. Prestasi kerja merupakan kinerj yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya.

Kinerja karyawan dinilai berdasarkan kedisiplinannya dalam menjalankan tugasnya sebagai karyawan yaitu kesadaran dan kesediaan seorang karyawan

(38)

untuk menghormati, menghargai, mematuhi dan menaati peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankanya.

Selain kreativitas karyawan juga perlu dibangun. Kreativitas ini berupa kemampuan pengetahuan yang dimiliki klarywan dan juga kemampuan untuk mengemukakan atau menciptakan suatu program kerja baru dalam menghadapi tantangan kerja, baik secara individu maupun dalam tim. Sehingga karyawan juga dituntut untuk mempunyai kemampuan bekerjasama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas dan pekerjaan yang telah ditetapkan, sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Pekerjaan yang dilakukan karyawan harus berjalan secara efektif dan efisien agar dapat meningkatkan kinerjanya, dan yang terpenting dalam menyelesaikan tugas dan pekerjaan yang dieserahkan kepadanya karyawan terseut mempunyai kesanggupan untuk menyelesaikan dengan sebaik-baiknya dan tepat waktu sert berani memikul resiko atas keputusan yang telah diambilnya.

1.5.4.4 Tujuan Penilaian / Evaluasi Kinerja

Tujuan evaluasi kinerja karyawan adalah untuk memperbaiki atau meningktkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari sumber daya manusia organisasi. Selain itu, Agus Sunyoto (dalam Mangkunegara, 2006 : 10) menjelaskan tujuan dari evaluasi kinerja adalah:

1. Meningkatkan saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.

2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.

(39)

3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dalam meningkatkan kepedulian terhadap karier atau terhadap pekerjaan yang diembannya sekarang.

4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.

5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusu rencana diklat dan kemudian menyetuji rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.

Adapun kegunaan dari penilaian prestasi kerja (kinerja) karyawan adalah: 1. Sebagai dasar dalam pengambilan keputusan yang digunkan untuk

prestasi, pemberhentian dan besarnya balas jasa.

2. Untuk mengukur sejauh mana seorang karyawan dapat menyelesaikan pekerjaannya

3. Sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas seluruh kegiatan dalam perusahaan

4. Sebagai dasar untuk mengevaluasi program latihan dan keefektivan jadwal kerja, metode kerja, struktur organisasi, gaya pengawasan, kondisi kerja dan pengawasan.

5. Sebagai indicator untuk menentukan kebutuhan akan latihan bagi karyawan yang berada di dalam organisasi

6. Sebagai alat untuk meningkatkan motivasi kerja karyawan sehingga dicapai performance yang baik.

(40)

8. Sebagai criteria menentukan, seleksi dan penempatan karyawan

9. Sebagai alat untuk memperbaiki atau mengembangkan kecakapan karyawan.

10. Sebagai dasar untuk memperbaiki atau mengembangkan uraian tugas (job description).

1.5.4.5 Sasaran Penilaian/Evaluasi Kinerja

Evaluasi kinerja karyawan merupakan sarana/alat untuk memperbaiki karyawan yang tidak melakukan tugasnya dengan baik di dalam organisasi. Banyak organisasi berusaha mencapai sasaran suatu kedudukan yang terbaik dan terpercaya dalam bidangnya. Oleh karena itu, sangat tergantung para pelaksanaannya, yaitu para karyawan agar mereka mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi dalam corporate planning-nya. Fokusnya adalah kepada kegiatan bagaimana usaha untuk slalu meningkatkan kinerja dalam melaksakan kegiatan sehari-hari.

Agus sunyoto (dalam Mangkunegara, 2006 : 11) mengembangkan adanya sasaran-sasaran dalam evaluasi kinerja karyawan yaitu:

1. Membuat kinerja dari waktu yang lalu secara berkesinambungan dan periodic, baik kinerja pegawai maupun kinerja organisasi.

2. Membuat evaluasi kebutuhan penelitian dari para pegawai melalui audit keterampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya.

3. Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk analisis periode

(41)

selanjutnya jelas apa yang harus diperbuat oleh pegawai, mutu dan sarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja pegawai.

4. Menentukan potensi pegawai yang berhak memperoleh promosi dan imbalan dari hasil evaluasi pimpinan dan pegawainya.

1.5.4.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja

Factor kinerja karyawan adalah kecenderungan apa yang membuat pegawai dalam menghasilkan produktivitas kerja yang baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan.

Menurut Keith Davis (dalam Mangkunegara, 2000 :67) ada beberapa factor yang mempengaruhi pencapaian kinerja pegawai yaitu:

a. Faktor Kemampuan (Ability)

Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill). Artinya pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai hasil kinerja maksimal.

b. Faktor Motivasi (Motivation)

Motivasi diartikan sebagai sikap (attitude) pimpinan yang terhadap situasi keja di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersikap positif terhadap situasinya akan mewujudkan motivasi yang tinggi sebaliknya jika mereka mewujudkan sikap negative maka redahlah motivasinya. Situasi kerja dimaksud adalah hubungan kerja, fasilitas kerja, kebijakan pimpinan, pola

(42)

Menurut A. Dale Timple (dalam Mangkunegara, 2006 : 15) fakor-faktor kinerja terdiri dari factor internal dan factor eksternal. Factor internal (disposisional) yaitu factor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang, misalnya kinerja seseorang baik disebabkan kemampuan tinggi dan pekerja keras atau sebaliknya. Factor eksternal yaitu factor-faktor seseorang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku,sikap,tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi.

Factor penentu prestasi kerja yang mempengaruhi karyawan menurut Anwar Prabu Mangkunegara (2006 : 16) ada dua yaitu:

1. Factor Individu

Individu yang memiliki kinerja yang baik terlihat dari integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi yang baik dalam dirinya. Konsentrasi yang baik dalam dirinya merupakan modal utama untuk mengelola potensi diri secara optimal. 2. Faktor Lingkungan Organisasi

Factor lingkungan kerja organisasi yang mempengaruhi prestasi kerja adalah jabatan yang jelas, autoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja respek dan dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yang memadai.

1.6 Hipotesis

Adanya permasalahan yang akan diteliti masih perlu pembuktiannya dengan pengujian. Hipotesis menurut Earl Babbie (2006 : 75) merupakan

(43)

kumpulan penelitian yang belum sempurna, sehingga perlu disempurnakan dengan membuktikan kebenaran hipotesis itu melalui penelitian. Pembuktian itu hanya dapat dilakukan dengan menguji hipotesis dimaksud dengan data di lapangan.

Dari uraian di atas, makapenelitian membuat hipotesis untuk penelitian ini adalah:

1. Hipotesis Alternatif (Ha), yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara variable independent (X) dengan variable dependen (Y); maka adanya pengaruh yang positif antara perilaku kepemimpinan situasional dengan kinerja karyawan.

2. Hipotesis Nol (Ho), yaitu adanya hubungan yang mempengaruhi antara variable independent (X) dengan variable dependen (Y); adanya pengaruh negative antara perilaku kepemimpinan situasional dengan kinerja karyawan.

1.7 Defenisi Konsep

Konsep menurut Singarimbun (1995 : 37) merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu social. Untuk mendapatkan batasan yang jelas dari variable yang akan diteliti, maka penulis mengungkapkan definisi konsep sebagai berikut:

1. Perilaku Kepemimpinan Situasional

(44)

sesuai dengan posisi dan peran yang dimainkan pemimpin kepada bawahannya serta meletakkannya sesuai dengan kondisi karyawan untuk memotivasi mereka dalam pencapaian tujuan organisasi pemerintah. 2. Kinerja Karyawan

Kinerja karyawan merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai tamggung jawab yang diberikan kepadanya.

1.8 Definisi Operasional

Operasionalisasi secara sederhana mengacu paada langkah-langkah, prosedur-prosedur atau operasi-operasi yang akan melalui pengukuran dan identifikasi variable-variable yang akan di observasi. Definisi operasional menurut Singaribun (1995 : 46) ialah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variable. Dengan kata lain bahwa definisi operasional adalah sebagai petunjuk pelaksanaannya. Hal ini dimaksudkan untuk operasionalisasi kerangka teori yang dituangkan menjadi indicator-indikator agar mempermudah operasionalisasi dari suatu penelitian.

Penelitian ini terdiri atas dua variable, yaitu:

1. Variable bebas atau Independent Variable (X), yaitu perilaku kepemimpinan situasional dengan menggunakan indicator sebagai berikut: 1. Perilaku mengarahkan (telling)

a. Menjelaskan kepada bawahan tentang apa yang harus dikerjakan, bagaimana, dimana dan kapan

(45)

c. Membuat keputusan

d. Mengawasi dengan ketat pelaksanaan tugas 2. Perilaku Menjual (selling)

a. Menggunakan komunikasi dua arah b. Meminta saran dari bawahan

c. Memberi dukungan yang besar kepada bawahan karena beberapa gagasan yang disarankan bawahan adalah baik

d. Selalu mengukuhkan inisiatif dan pengambilan resiko e. Mengajarkan bawahan menilai pekerjaannya sendiri 3. Perilaku Mendukung (participation)

a. Mendukung usaha-usaha bawahan b. Mendengarkan saran dari bawahan

c. Memudahkan interaksi bawahan dengan orang lain d. Mendorong dan memuji bawahan

e. Mengajukan pertanyaan yang memperluas pemikiran bawahan f. Mendorong keberanian mengambil resiko

4. Perilaku Mendelegasikan (delegating)

a. Menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya kepada bawahan b. Menyerahkan pengambilan keputusan kepada bawahan

c. Menyerahkan pemecahan masalah sehari-hari kepada orang yang melaksanakan tugas

2. Variabel Terikat atau dependent variable (Y), yaitu kinerja pegawai yang indikatornya ialah:

(46)

1. Quantity of work yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode yang ditentukan.

2. Quality of work yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-syarat kesesuaian dan kesiapannya.

3. Job Knowledge yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya.

4. Creativeness yaitu keaslian gagasan-gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul.

5. Cooperation yaitu kesediaan untuk bekerja sama dengan orang lain atau sesama anggota organisasi.

6. Dependability yaitu kesadaran untuk dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja.

7. Initiative yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya.

8. Personal qualities yaitu menyangkut keperibadian, kepemimpinan, keramahtamahan dan integritas pribadi.

9. Efektivitas dan efisiensi yaitu menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya dan mempergunakan waktu yang efisien.

1.9 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, hipotesis, definisi konsep, definisi operasional dan sistematika penulisan.

(47)

BAB II METODE PENELITIAN

Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sample, teknik pengumpulan data, teknik penentuan skor dan teknik analisa data

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan gambaran umum lokasi penelitian yang relevan dengan topic penelitian

BAB IV PENYAJIAN DATA

Bab ini menguraikan hasil data dari kajian dan analisa data yang diperoleh dari lapangan dan menyajikannya.

BAB V ANALISA DATA

Bab ini berisikan uraian data-data yang diperoleh setelah penelitian dari lapangan

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran dari sebuah penelitian yang dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

perancangan kebijakan tentang kegiatan kemitraan masih didasarkan pada perspektif kepolisian. Pengkajian kembali hal-hal yang terkait dengan implementasi kemitraan antara Polri

Ciri dari domba priangan ini antara lain: berat domba jantan hidup dapat mencapai 60-80 kg dan berat domba betina sekitar 30-40 kg, domba betina tidak bertanduk sementara

Berdasarkan uraian di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa perlu adanya pengembangan media pembelajaran yang lebih baik dalam proses belajar mengajar pada sekolah yang

Cara seorang pemimpin memimpin dalam organisasi tersebut karena pemimpin yang berkompeten akan sangat berpengaruh kepada kinerja karyawan sehingga organisasi

Hak Ulayat, adalah kewenangan menurut hukum adat yang di punyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk

menggunakan permainan/tidak antri, petugas bertindak cepat dalam memberikan pelayanan, petugas mampu dan cepat untuk menyelesaikan keluhan, petugas terampil dalam memberikan

Oleh karena itu, dari hasil uraian di atas hal-hal yang menyebabkan siswa melakukan kesalahan dan merasa kesulitan dalam menyelesaikan soal materi BRSD adalah (1) kurangnya

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa metode fuzzy merupakan salah satu metode yang telah banyak digunakan dalam pembangunan perangkat lunak untuk diagnosis suatu