• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur dan"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan adalah pedoman untuk bertindak. Pedoman itu bisa saja amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas atau sempit, kabur dan jelas, longgar atau terperinci, bersifat kualitatif dan titatif, publik atau privat. Kebijakan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktiviats-aktivitas tertentu, atau suatu rencana ( United Nation, 1975 )

Kebijakan pada dasarnya menitik beratkan pada “ publik dan masalah-masalahnya“. Kebijakan membahas bagaiman isu-isu dan persoalan tersebut disusun ( Constructed ), didefinisikan serta bagaimana semua persoalan tersebut diletakkan dalam agenda Kebijakan. Charles L. Cochran mengemukakan inti dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah adalah “ Policy consistent of political

decision for implementating program to achieve social goal “. ( kebijakan terdiri

dari keputusan politis untuk mengimplementasikan program dalam mencapai tujuan demi kepentingan masyarakat). ( Cochran, 1999 : 2)

Menurut W.J Jenkins dalam bukunya Pubic Analisy mengemukakan bahwa “ Kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang saling terkait yang ditetapkan oleh seorang aktor politik atau sekelompok aktor politik berkenaan dengan tujuan yang dipilih beserta cara-cara untuk mencapainya dalam situasi dimana keputusan-keputusan itu pada dasarnya masih berada dalam batas-batas

(2)

kewenangan kekuasaan dari para aktor “ ( Jenkins, 1978 : 2 ). Berdasarkan pendapat tersebut menjelaskan bahwa kebijakan publik merupakan suatu keputusan ditetapkan pemerintah yang saling berhubungan satu sama lain dengan mempunyai tujuan untuk mencapai keerhasilan satu kebijakan tentunya dengan memiliki kewenangan – kewenangan yang mempunyai batas-batas tertentu.

Sedangkan definisi yang diberikan Thomas R. Dye yang mengatakan bahawa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai

“whatever government choose to do or to do “. Artinya, kebijakan publik adalah

apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan ( Budi Winarno, 2014 : 15 ). Definisi yang diberikan oleh Hogwood dan Gunn yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu ( Winarno, 2014:15 ). Lain halnya definisi yang diberikan yang diberikan oleh Hogwood dan Gunn yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu ( Suharto, 2008;3). Disamping itu Hogwood dan Gunn menyebutkan sepuluh penggunaan istilah “ kebijakan” dalam pengertian modern yakni sebagai label untuk sebuah bidang aktifitas, sebagai ekspresi tujuan umum atau aktifitas Negara yang diharapkan, sebagai proposal spesipik, sebagai keputusan pemerintah, sebagai otoritas formal, sebagai sebuah program, sebagai output, sebagai hasil, sebagai teori atau model dan juga sebagai proses ( Parsons, 2014;15).

Menurut Landau, kebijakan publik sebagai bentuk lain dari analisis politik yang menggunakan metafora atau model sebagai perangkat untuk menjajahi

(3)

dunia yang tidak dikenal dan mungkin yang tidak diketahui secara politik “ Public

policy, as other forms of political analysis, uses metaphors or models as devices to explore the unknown and possibly world of politics. ( Soeharto, 2004 : 23 )

Menurut Eystone kebijakan publik ialah the relationship unit its

environment (antar hubungan yang berlangsung di antara unit/satuan

pemerintahan dengan lingkungannya). Sedangkan menurut Charles O. Jones, istilah kebijakan (policy term) digunakan dalam praktek sehari–hari namun digunakan untuk mengantikan kegiatan atau keputusan yang sangat berbeda. Istilah ini sering ditukarkan dengan tujuan (goals), program, keputusan

(decisions), standard, proposal, dan grand design. Secara umum, istilah

kebijakan atau policy digunakan untuk menunujuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Winarno, 2012:37–38). Istilah kebijakan dalam kehidupan sehari-hari sering digunakan untuk menunujuk suatu kegiatan yang mempunyai maksud berbeda. Para ahli mengembangkan berbagai macam definisi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan kebijakan publik. Masing-masing definisi memberikan penekanan yang berbeda-beda, namun suatu definisi dianggap tepat adalah suatu definisi yang menekankan tidak hanya apa yang diusulkan pemerintah, tetapi juga mencakup pula arah tindakan atau apa yang dilakukan oleh pemerintah (Winarno, 2012:37– 38).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat atau dipilih untuk diambil oleh suatu lembaga pemerintah, baik pejabat maupun instansi pemerintah yang merupakan pedoman pegangan

(4)

ataupun petunjuk bagi setiap usaha dan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam pencapaian tujuan kebijakan dalam kenyataan, kebijakannya, kebijakan seringkali diartikan dengan peristilahan lain seperti tujuan, program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan, usulan-usulan dan rancangan-rancangan besar.

2.2. Tahap–tahap Kebijakan Publik

Dalam melaksanakan sebuah kebijakan, tentunya diperlukan suatu proses yang tepat dalam pembuatannya. Pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks kerena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses – proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tujuan pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan dalam mengkaji kebijakan publik (Lindblom, 1986:35). Tahap – tahap kebijakan publik menurut Dunn dalam Winarno (2012: 36–37) adalah sebagai berikut:

a. Tahap Formulasi Kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pemuat kebijakan. Masalah – masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan ( policy alternatives/policy options ) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing – masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan

(5)

masalah. Pada tahap ini masing – masing akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

b. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadobsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus, antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

c. Tahap Implementasi Kebijakan

Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan – catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun, beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

d. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih

(6)

dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu , ditentukanlah ukuran – ukuran atau kriteria – kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

2.3. Pengertian Evaluasi Kebijakan Publik

Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, tanpa dilakukan evaluasi. Evaluasi kebijakan dilakukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggung jawabkan kepada publiknya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Evaluasi dibutuhkan untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Menurut Winarno (2012: 225) bila kebijakan dipandang sebagai suatu pola kegiatan yang berurutan, maka evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan. Namun demikian, ada beberapa ahli yang mengatakan sebaliknya bahwa evaluasi bukan merupakan tahap akhir dari proses kebijakan publik. Pada dasamya, kebijakan publik dijalankan dengan maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi, kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan. Secara sederhana evaluasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk menilai “manfaat” suatu kebijakan.

(7)

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, Implementasi dan dampak. Evaluasi kebijakan dalam hal ini, dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Evaluasi kebijakan dengan demikian,bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

Peneliti mengutip beberapa definisi mengenai evaluasi kebijakan menurut beberapa ahli. Salah satunya menurut Jones (Santosa, 2008: 43) menyatakan bahwa evaluasi adalah judging the merit of government processes and program. Artinya adalah evaluasi kebijakan adalah penilaian terhadap kemampuan pemerintah dalam proses dan programnya.

Menurut Thomas Dye (Parsons. 2008: 547) mengatakana bahwa evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang objektif, sistematis, dan empiris terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menurut Anderson dalam Putra, evaluasi kebijakan adalah aktivitas atau kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi, dan dampak. Karena itu, evaluasi kebijakan merupakan kegiatan fungsional, yang meliputi: perumusan masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi maupun dampak kebijakan.

(8)

Dari beberapa definisi mengenai evaluasi kebijakan tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa evaluasi kebijakan merupakan suatu tahap akhir yang berupa pengukuran serta penilaian terhadap hasil dan dampak dari suatu kebijakanyang telah dilaksanakan oleh pemerintah, sehingga mampu menentukan kebijakan yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang.

2.4 Tipe-tipe Evaluasi Kebijakan Publik

Tipe-tipe Evaluasi Kebijakan Publik merupakan pembagian dan macam-macam dari penilaian suatu kebijakan. Beberapa ahli telah membagi evaluasi kebijakan menjadi beberapa penggolongan seperti menurut Menurut Finsterbusch dan Motz (Wibawa dkk, 1994: 74-75) terdapat 4 (empat) tipe evaluasi yaitu : 1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program.

2. Single program before-after, merupakan penyempurnaan dari jenis pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum dan setelah program berlangsung.

3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran bukan sasarannya.

(9)

4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga informasi yang diperoleh adalah efek program terhadap kelompok sasaran.

Menurut Parsons (2008: 543), menyatakan bahwa terdapat dua tipe dalam evaluasi, yakni:

1. Evaluasi formatif merupakan evaluasi yang dilaksanakan pada saat sebuah kebijakan atau program sedang dilaksanakan yang didalamnya terdapat analisis yang meluas terhadap program yang dilaksanakan dan kondisi-kondisi yang mendukung bagi suksesnya implementasi tersebut. Rossi dan Freeman dalam Parsons (2008: 547) menjelaskan bahwa tipe evaluasi ini diarahkan pada tiga jenis issue pertanyaan, yaitu :

a. Apakah program telah mengarah pada kelompok sasaran yang telah ditentukan. Hal ini menyangkut apakah suatu kebijakan/program dapat mencapai wilayah atau kelompok sasaran (target groups) program yang bersangkutan.

b. Apakah pelayanan didistribusikan sesuai dengan desain program. Hal ini menyangkut, apakah usaha-usaha yang diambil dalam interfensi dan prakteknya telah sesuai dengan apa yang dirinci dalam rancangan program. Dengan kata lain apakah pelaksanaan program telah memberikan sumber-sumber pelayanan dan keuntungan pada kelompok sasaran sebagaimana yang diharapkan.

(10)

c. Sumberdaya apa saja yang telah dikeluarkan dalam melaksanakan program tersebut.

2. Summative Evaluation digunakan untuk mengukur bagaimana sebuah kebijakan atau program telah memberikan dampak terhadap masalah yang telah ditujukan di awal. Evaluasi summatif masuk dalam tahap post-implementations, yakni dilakukan ketika kebijakan program sudah selesai digunakan, dan dengan mengukur/melihat dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan kebijakan atau program tertentu. Tipe evaluasi summatif ini menekankan pada hasil yang telah dicapai dalam rangka pencapaian tujuan organisasi.

Anderson dalam Winarno (2008: 227) membagi evaluasi kebijakan ke dalam tiga tipe. Masing-masig tipe evaluasi yang diperkenalkan ini didasarkan pada pemahaman para evaluator terhadap evaluasi:

1) Tipe pertama, evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional.

Tipe evaluasi pertama, bila evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan fungsional, maka evaluasi kebilakan dipandang sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri. Para pembentuk kebijakan dan administrator selalu membuat pertimbangan-pertimbangan mengenai manfaat atau dampak dari kebijakan-kebijakan, program-program dan proyek-proyek. Pertimbangan-pertimbangan ini banyak memberi kesan bahwa pertimbangan-pertimbangan tersebut didasarkan pada bukti yang terpisah-pisah dan dipengaruhi oleh ideologi, kepentingan para pendukungnya dan kriteria-kriteria lainnya. Dengan demikian, suatu program kesejahtaraan misalnya, oleh suatu kelompok tertentu mungkin akan dipandang sebagai program yang sangat sosialistis, terlepas

(11)

dari pertimbangan apa dampaknya yang sebenarnya. Oleh karena itu, program seperti ini tidak diharapkan untuk dilaksanakan tanpa melihat dampak yang sebenarnya dari program tersebut. Atau contoh yang lain misalnya, penjualan saham perusahaan-perusahaan pemerintah (BUMN) akan dipandang sebagai proses kapitalisasi dan dianggap akan mengancam kepentingan rakyat.

2) Tipe kedua, merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program tertentu.

Tipe kedua merupakan tipe evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut:

1. Apakah program dilaksanakan dengan semestinya? 2. Berapa biayanya?

3. Siapa yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan), dan berapa jumlahnya?

4. Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain? 5. Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur-prosodur secara sah diikuti?

Dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan seperti ini dalam melakukan evaluasi dan memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau progam-program, maka evaluasi dengan tipe seperti ini akan lebih membicarakan sesuatu mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program. Namun demikian, evaluasi dengan mangggunakan tipe seperti ini mempunyai kelemahan, yakni

(12)

kecenderungannya untuk manghasilkan informasi yang sedikit mengenai dampak suatu program terhadap masyarakat.

3) Tipe ketiga adalah tipe evaluasi sistematis.

Tipe evaluasi kebijakan ketiga adalah tipe evaluasi kebijakan sistematis. Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi akhir-akhir ini telah mendapat perhatian yang meningkat dari para peminat kebijakan pubik. Evaluasi sistematis melihat sacara obyektif program-program kebijakan yang dijalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai. Lebih lanjut, evaluasi sistematis diarahkan untuk melihat dampak yang ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauh mana kebijakan tersebut menjawab kebutuhan atau masalah masyarakat.

Dari berbagai pendapat para ahli diatas peneliti menggunakan teori dari Finsterbusch dan Motz, yang membagi evaluasi menjadi empat yaitu evaluasi

single program after-only, evaluasi single program before-after, evaluasi comparative after-only, dan evaluasi comparative before-after. Dari empat macam

evalusi ini peneliti menggunakan evaluasi single program before-after. Evaluasi

single program before-after digunakan untuk mengukur bagaimana sebuah

kebijakan atau program telah memberikan dampak terhadap masalah yang terjadi setelah dan sebelum kebijakan atau program dilaksanakan. Evaluasi single

program before-after, yakni dilakukan dengan membandingkan kebijakan

program sebelum dan sesudah kebijakan program dilaksanakan. dan dengan menggunakan data periode tertentu dalam kebijakan program untuk

(13)

mengukur/melihat dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan kebijakan atau program tertentu. Tipe evaluasi single program before-after ini akan diturunkan peneliti dengan menggunakan beberapa indikator yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.

2.4.1 Tahapan dan Kendala Evaluasi Kebijakan

Evaluasi dalam pelaksanaanya memiliki tahapan atau langkah-langkah yang dapat dilakukan agar dapat berjalan secara sistematis. Evaluasi dengan ilmiah merupakan evaluasi yang mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk menjalankan evaluasi kebijakan dibandingkan dengan tipe evaluasi lain. Edward A. Suchman di sisi lain lebih masuk ke sisi praktis dengan mengemukakan enam langkah dalam evaluasi kebijakan yaitu :

a. Mengidentifikasi tujuan program yang akan dievaluasi. Pada kegiatan ini mengetahui dan memahami isi dari tujuan suatu program amatlah penting dan merupakan langkah utama sebelum melakukan evaluasi program tersebut.

b. Analisis terhadap masalah. Pada tahap ini memulai untuk mengetahui masalah-masalah yang muncul lalu dianalisis sesuai tujuan program tersebut sehingga suatu permasalahan tersebut dapat ditemukan sebab-sebab kemunculannya.

c. Deskripsi dan standardisasi kegiatan. Tahap ini adalah mulai menggambarkan suatu kegiatan yang ada pada program atau kebijakan

(14)

yang dibuat dan memaparkan ukuran kegiatan yang seharusnya direalisasikan.

d. Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang terjadi. Pada tahap ini mulai untuk melakukan penilaian/pengukuran dengan melihat sejauhmana perubahan yang dihasilkan.

e. Menentukan apakah perubahan yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain. Pada tahap ini mulai mengidentifikasi dan menemukan apakah perubahan atau dampak yang dihasilkan merupakan dampak dari adanya program tersebut.

f. Beberapa indikator untuk menentukan keberadaan suatu dampak. Pada tahap memunculkan faktor-faktor pendukung dari keberhasilan suatu program untuk meyakinkan perubahan itu berdampak dari program yang dijalankan.

Langkah-langkah tersebut dibuat agar suatu evaluasi dapat efektif dengan berjalan secara sistematis. Pada pelaksanaanya sendiri, evaluasi tidak terlepas dari kemungkin timbulnya masalah atau kendala. Hal ini disebabkan evaluasi juga merupakan proses yang kompleks, sehingga kendala atau masalah tersebut dapat menghambat pelaksanaan evaluasi tersebut. Anderson dalam Winarno (2014) mengidentifikasi enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan.

a. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan kebijakan. Bila tujuan-tujuan dari suatu kebijakan tidak jelas atau tersebar, maka kesulitan yang timbul

(15)

adalah menentukan sejauh mana tujuan-tujuan tersebut telah dicapai. Ketidakjelasan biasanya berangkat dari proses penetapan kebijakan. b. Kausalitas. Terdapat kesulitan dalam melakukan penentuan kausalitas

antara tindakan-tindakan yang dilakukan terutama dalam masalah-masalah yang kompleks. Sringkali ditemukan suatu perubahan terjadi , tetapi tidak disebabkan suatu tindakan atau kebijakan.

c. Dampak kebijakan yang menyebar. Tindakan-tindakan kebijakan mungkin mempengaruhi kelompok lain selain kelompok-kelompok yang menjadi sasaran kebijakan. Hal ini sebagai akibat dari eksternalitas atau dampak yang melimpah yakni suatu dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan pada keadaan atau kelompok selain mereka yang menjadi sasaran kebijakan.

d. Kesulitan-kesulitan dalam memperoleh data. Kekurangan data statistik dan informasi-informasi lain yang relevan akan menghalangi para evaluator untuk melakukan evaluasi kebijakan.

e. Resistensi pejabat. Para pejabat pelaksana program mempunyai kecenderungan untuk tidak mendorong studi-studi evaluasi, menolak memberikan data, atau tidak menyediakan dokumen yang lengkap. f. Evaluasi mengurangi dampak. Berdasarkan alasan tertentu, suatu

evaluasi kebijakan yang telah dirampungkan mungkin diabaikan atau dikritik sebagai

g. Evaluasi yang tidak meyakinkan. Hal inilah yang mendorong mengapa suatu evaluasi kebijakan yang telah dilakukan tidak mendapat

(16)

perhatian yang semsetinya bahkan diabaikan, meskipun evaluasi tersebut benar.

Dari penjelasan diatas pada penelitian ini nantinya tahap evaluasi yang akan peneliti lakukan hanya sebatas menggunakan langkah-langkah evaluasi sebagai berikut yakni dengan mengidentifikasi tujuan program sertifikasi yang akan dievaluasi, menganalisis terhadap masalah yang terjadi pada evaluasi dampak kebijakan sertifikasi dan mendeskripsikan serta menganalisis evaluasi dampak kebijakan sertifikasi.

2.4.2 Kriteria Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan publik, dalam tahapan pelaksanaannya menggunakan pengembangan beberapa indikator untuk menghindari timbulnya bias serta sebagai pedoman ataupun arahan bagi evaluator. Kriteria-kriteria yang ditetapkan menjadi tolak ukur dalam menentukan berhasil atau tidaknya suatu kebijakan publik. Winarno menjelaskan bahwasannya evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai, dan kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Menurut William Dunn Mengevaluasi suatu program atau kebijakan publik diperlukan adanya suatu kriteria untuk mengukur keberhasilan program atau kebijakan publik tersebut. Mengenai kinerja kebijakan dalam menghasilkan informasi terdapat kriteria evaluasi antara lain: efektifitas , efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan ketepatan.

(17)

Kriteria-kriteria di atas merupakan tolak ukur atau indikator dari evaluasi kebijakan publik. Dikarenakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka pembahasan dalam penelitian ini berhubungan dengan pertanyaan yang dirumuskan oleh William N. Dunn Untuk lebih jelasnya setiap indikator tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

a. Efektivitas

Efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas disebut juga hasil guna. Efektivitas selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan Gedeian hasil yang sesungguhnya dicapai. Seperti yang dikemukakan oleh Arthur G. dkk dalam bukunya Organization Theory and Design yang mendefinisikan efektivitas adalah That is, the greater the extent it which an organization`s

goals are met or surpassed, the greater its effectiveness (Semakin besar

pencapaian tujuan-tujuan organisasi semakin besar efektivitas) (Gedeian, 1991:61). Berdasarkan pendapat di atas, bahwa apabila pencapaian tujuan-tujuan daripada organisasi semakin besar, maka semakin besar pula efektivitasnya. Pengertian tersebut dapat disimpulkan adanya pencapaian tujuan yang besar daripada organisasi, maka makin besar pula hasil yang akan dicapai dari tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn dalam bukunya yang berjudul Pengantar Analisis Kebijakan Publik: Edisi Kedua, menyatakan bahwa:

“Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternative mencapai hasil (akibat) yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari

(18)

diadakannya tindakan. Yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya” (Dunn, 2003:429).

Apabila setelah pelaksanaan kegiatan kebijakan publik ternyata dampaknya tidak mampu memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa suatu kegiatan kebijakan tersebut telah gagal, tetapi adakalanya suatu kebijakan publik hasilnya tidak langsung efektif dalam jangka pendek, akan tetapi setelah melalui proses tertentu. Menurut pendapat Mahmudi dalam bukunya Manajemen Kinerja

Sektor Publik mendefinisikan efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan, semakin besar kontribusi (sumbangan) output

terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektifitas organisasi, program atau kegiatan” (Waluyo , 2007:92). Ditinjau dari segi pengertian efektivitas usaha tersebut, maka dapat diartikan bahwa efektivitas adalah sejauhmana dapat mencapai tujuan pada waktu yang tepat dalam pelaksanaan tugas pokok, kualitas produk yang dihasilkan dan perkembangan. Pendapat lain juga dinyatakan oleh Susanto, yaitu: “efektivitas merupakan daya pesan untuk mempengaruhi atau tingkat kemampuan pesan-pesan untuk mempengaruhi” (waluyo, 2007:156). Berdasarkan definisi tersebut, peneliti beranggapan bahwa efektivitas bisa tercipta jika pesan yang disampaikan dapat mempengaruhi khalayak yang diterpanya.

Menurut pendapat David Krech, Ricard S. Cruthfied dan Egerton L. Ballachey dalam bukunya Individual and Society yang dikutip Harbani

(19)

Pasolong dalam bukunya Teori Administrasi publik menyebutkan ukuran efektivitas, sebagai berikut:

1. Jumlah hasil yang dapat dikeluarkan, artinya hasil tersebut berupa kuantitas atau bentuk fisik dari organisasi, program atau kegiatan. Hasil dimaksud dapat dilihat dari perbandingan (ratio) antara masukan

(input) dengan keluaran (output).

2. Tingkat kepuasan yang diperoleh, artinya ukuran dalam efektivitas ini dapat kuantitatif (berdasarkan pula jumlah atau banyaknya) dan dapat kualitatif (berdasarkan pada mutu).

3. Produk kreatif, artinya penciptaan hubungannya kondisi yang kondusif dengan dunia kerja, yang nantinya dapat menumbuhkan kreativitas dan kemampuan.

4. Intensitas yang akan dicapai, artinya memiliki ketaatan yang tinggi dalam suatu tingkatan intens sesuatu, dimana adanya rasa saling memiliki dengan kadar yang tinggi.

(Dalam Pasolong, 2007:119-120).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ukuran daripada efektivitas diharuskan adanya suatu perbandingan antara masukan dan keluaran. Ukuran daripada efektivitas mesti adanya tingkat kepuasan dan adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang tinggi. Artinya ukuran daripada efektivitas adalah adanya keadaan rasa saling memiliki dengan tingkatan yang tinggi. Adapun menurut pendapat Cambell yang dikutip oleh Richard M. Steers dalam bukunya Efektivitas

Organisasi menyebutkan beberapa ukuran daripada efektivitas, yaitu:

1. Kualitas artinya kualitas yang dihasilkan oleh organisasi; 2. Produktivitas artinya kuantitas dari jasa yang dihasilkan;

3. Kesiagaan yaitu penilaian menyeluruh sehubungan dengan kemungkinan dalam hal penyelesaian suatu tugas khusus dengan baik;

4. Efisiensi merupakan perbandingan beberapa aspek prestasi terhadap biaya untuk menghasilkan prestasi tersebut;

(20)

5. Penghasilan yaitu jumlah sumber daya yang masih tersisa setelah semua biaya dan kewajiban dipenuhi;

6. Pertumbuhan adalah suatu perbandingan mengenai eksistensi sekarang dan masa lalunya;

7. Stabilitas yaitu pemeliharaan struktur, fungsi dan sumber daya sepanjang waktu;

8. Kecelakaan yaitu frekuensi dalam hal perbaikan yang berakibat pada kerugian waktu;

9. Semangat kerja yaitu adanya perasaan terikat dalam hal pencapaian tujuan, yang melibatkan usaha tambahan, kebersamaan tujuan dan perasaan memiliki;

10. Motivasi artinya adanya kekuatan yang muncul dari setiap individu untuk mencapai tujuan;

11. Kepaduan yaitu fakta bahwa para anggota organisasi saling menyukai satu sama lain, artinya bekerja sama dengan baik, berkomunikasi dan mengkoordinasikan;

12. Keluwesan Adaptasi artinya adanya suatu rangsangan baru untuk mengubah prosedur standar operasinya, yang bertujuan untuk mencegah keterbekuan terhadap rangsangan lingkungan;

(Dalam Steers, 1985:46-48).

Sehubungan dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, maka ukuran efektivitas merupakan suatu standar akan terpenuhinya mengenai sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Selain itu, menunjukan pada tingkat sejauhmana organisasi, program/kegiatan melaksanakan fungsi-fungsinya secara optimal.

b. Efisiensi

Efektivitas dan efisiensi sangatlah berhubungan. Apabila kita berbicara tentang efisiensi bilamana kita membayangkan hal penggunaan sumber daya

(resources) kita secara optimum untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Maksudnya adalah efisiensi akan terjadi jika penggunaan sumber daya diberdayakan secara optimum sehingga suatu tujuan akan tercapai. Adapun menurut William N. Dunn berpendapat bahwa:

(21)

“Efisiensi (efficiency) berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Efisiensi yang merupakan sinonim dari rasionalitas ekonomi, adalah merupakan hubungan antara efektivitas dan usaha, yang terakhir umumnya diukur dari ongkos moneter. Efisiensi biasanya ditentukan melalui perhitungan biaya per unit produk atau layanan. Kebijakan yang mencapai efektivitas tertinggi dengan biaya terkecil dinamakan efisien” (Dunn, 2003:430).

Apabila sasaran yang ingin dicapai oleh suatu kebijakan publik ternyata sangat sederhana sedangkan biaya yang dikeluarkan melalui proses kebijakan terlampau besar dibandingkan dengan hasil yang dicapai. Ini berarti kegiatan kebijakan telah melakukan pemborosan dan tidak layak untuk dilaksanakan.

c. Kecukupan

Kecukupan dalam kebijakan publik dapat dikatakan tujuan yang telah dicapai sudah dirasakan mencukupi dalam berbagai hal. William N. Dunn mengemukakan bahwa kecukupan (adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah (Dunn, 2003:430). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecukupan masih berhubungan dengan efektivitas dengan mengukur atau memprediksi seberapa jauh alternatif yang ada dapat memuaskan kebutuhan, nilai atau kesempatan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi. Hal ini, dalam kriteria kecukupan menekankan pada kuatnya hubungan antara alternatif kebijakan dan hasil yang diharapkan. Kriteria tersebut berkenaan dengan tipe empat masalah, yaitu:

1) Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi biaya tetap dan efektivitas yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia.

(22)

2) Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah dari kebijakan. Jadi, tujuannya adalah untuk meminimalkan biaya.

3) Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya dan efektivitas yang berubah dari kebijakan.

4) Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya sama dan juga efektivitas tetap dari kebijakan. Masalah ini dapat dikatakan sulit dipecahkan karena satu-satunya alternatif kebijakan yang tersedia barangkali adalah tidak melakukan sesuatu pun. (Dunn, 2003:430-431)

Tipe-tipe masalah di atas merupakan suatu masalah yang terjadi dari suatu kebijakan sehingga dapat disimpulkan masalah tersebut termasuk pada salah satu tipe masalah tersebut. Hal ini berarti bahwa sebelum suatu produk kebijakan disahkan dan dilaksanakan harus ada analisis kesesuaian metoda yang akan dilaksanakan dengan sasaran yang akan dicapai, apakah caranya sudah benar atau menyalahi aturan atau teknis pelaksanaannya yang benar.

d. Perataan

Perataan dalam kebijakan publik dapat dikatakan mempunyai arti dengan keadilan yang diberikan dan diperoleh sasaran kebijakan publik. William N. Dunn menyatakan bahwa kriteria kesamaan ( equity ) erat berhubungan dengan rasionalitas legal dan sosial dan menunjuk pada distribusi akibat dan usaha antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat (Dunn, 2003:434). Kebijakan yang berorientasi pada perataan adalah kebijakan yang akibatnya atau usaha secara adil didistribusikan. Suatu program tertentu mungkin dapat efektif, efisien, dan mencukupi apabila biaya-manfaat merata. Kunci dari perataan yaitu keadilan atau kewajaran. Seberapa jauh suatu kebijakan dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial dapat dicari melalui beberapa cara, yaitu:

(23)

1. Memaksimalkan kesejahteraan individu. Analis dapat berusaha untuk memaksimalkan kesejahteraan individu secara simultan. Hal ini menuntut agar peringkat preferensi transitif tunggal dikonstruksikan berdasarkan nilai semua individu.

2. Melindungi kesejahteraan minimum. Di sini analis mengupayakan peningkatan kesejahteraan sebagian orang dan pada saat yang sama melindungi posisi orang-orang yang dirugikan (worst off). Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Pareto yang menyatakan bahwa suatu keadaan sosial dikatakan lebih baik dari yang lainnya jika paling tidak ada satu orang yang diuntungkan dan tidak ada satu orangpun yang dirugikan. Pareto ortimum adalah suatu keadaan sosial dimana tidak mungkin membuat satu orang diuntungkan (better off) tanpa membuat yang lain dirugikan (worse off).

3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih. Di sini analisis berusaha meningkatkan kesejahteraan bersih tetapi mengasumsikan bahwa perolehan yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengganti bagian yang hilang. Pendekatan ini didasarkan pada kriteria Kaldor-Hicks: Suatu keadaan sosial lebih baik dari yang lainnya jika terdapat perolehan bersih dalam efisiensi dan jika mereka yang memperoleh dapat menggantikan mereka yang kehilangan. Untuk tujuan praktis kriteria yang tidak mensyaratkan bahwa yang kehilangan secara nyata memperoleh kompensasi ini, mengabaikan isu perataan.

4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif. Di sini analis berusaha memaksimalkan manfaat redistributif untuk kelompok-kelompok yang terpilih, misalnya mereka yang secara rasial tertekan, miskin atau sakit. Salah satu kriteria redistributif dirumuskan oleh filosof John Rawls: Suatu situasi sosial dikatakan lebih baik dari lainnya jika menghasilkan pencapaian kesejahteraan anggota-anggota masyarakat yang dirugikan (worst off).

(Dunn, 2003: 435-436)

Formulasi dari Rawls berupaya menyediakan landasan terhadap konsep keadilan, tapi kelemahannya adalah pengabaian pada konflik. Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis cara tersebut tidak dapat menggantikan proses politik, berarti cara-cara di atas tidak dapat dijadikan patokan untuk penilaian dalam kriteria perataan. Berikut menurut William N. Dunn:

(24)

“Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; dimana pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat. Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik” (Dunn, 2003: 437).

Pelaksanaan kebijakan haruslah bersifat adil dalam arti semua sektor dan dari segi lapisan masyarakat harus sama-sama dapat menikmati hasil kebijakan. Karena pelayanan publik merupakan pelayanan dari birokrasi untuk masyarakat dalam memenuhi kegiatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelayanan publik sendiri menghasilkan jasa publik.

e. Responsivitas

Responsivitas dalam kebijakan publik dapat diartikan sebagai respon dari suatu aktivitas. Yang berarti tanggapan sasaran kebijakan publik atas penerapan suatu kebijakan. Menurut William N. Dunn menyatakan bahwa responsivitas (responsiveness) berkenaan dengan seberapa jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, preferensi, atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu (Dunn, 2003:437). Suatu keberhasilan kebijakan dapat dilihat melalui tanggapan masyarakat yang menanggapi pelaksanaan setelah terlebih dahulu memprediksi pengaruh yang akan terjadi jika suatu kebijakan akan dilaksanakan, juga tanggapan masyarakat setelah dampak kebijakan sudah mulai dapat dirasakan dalam bentuk yang positif berupa dukungan ataupun wujud yang negatif berupa penolakan. Dunn pun mengemukakan bahwa:

(25)

“Kriteria responsivitas adalah penting karena analisis yang dapat memuaskan semua kriteria lainnya (efektivitas, efisiensi, kecukupan, kesamaan) masih gagal jika belum menanggapi kebutuhan aktual dari kelompok yang semestinya diuntungkan dari adanya suatu kebijakan” (Dunn, 2003:437).

Oleh karena itu, kriteria responsivitas cerminan nyata kebutuhan, preferensi, dan nilai dari kelompok-kelompok tertentu terhadap kriteria efektivitas, efisiensi, kecukupan, dan kesamaan. Bentuk responsivitas juga dapat berupa partisipasi masyarakat atau target sasaran. Menurut deleon dan deleon (83;2001) mengatakan bahwa dalam hal penerapan kebijakan jika dibuat dan dilaksanakan secara demokratis salah satunya mengikutsertakan keterlibatan masyarakat potensi kebijakan tersebut dapat berhasil menjadi semakin besar sebab:

a. Masyarakat memiliki pemahaman lebih baik tentang tujuan program sekaligus memberikan input

b. Masyarakat memahami akan keuntungan program, sekaligus dapat melakukan identifikasi kendalanya

c. Masyarakat mengenali tentang mekanisme implementasi program dengan lebih baik.

d. Ketika masyarakat mengetahui mekanismenya maka masyarakat bisa terlibat dalam melakukan kontrol.

Stich dan Eagle (2005) juga mengungkapkan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan kebijakan. Menurutnya keterlibatan masyarakat seharusnya dipahami lebih dari sekedar adanya kebutuhan atau

(26)

tuntutan demokrasi. Keterlibatan masyarakat memiliki makna yang lebih tinggi, yaitu sebagai media pembelajaran bersama antara pemerintah dengan masyarakat.

f. Ketepatan

Ketepatan merujuk pada nilai atau harga dari tujuan program dan pada kuatnya asumsi yang melandasi tujuan-tujuan tersebut. William N. Dunn menyatakan bahwa kelayakan (Appropriateness) adalah:

“Kriteria yang dipakai untuk menseleksi sejumlah alternatif untuk dijadikan rekomendasi dengan menilai apakah hasil dari alternatif yang direkomendasikan tersebut merupakan pilihan tujuan yang layak. Kriteria kelayakan dihubungkan dengan rasionalitas substantif, karena kriteria ini menyangkut substansi tujuan bukan cara atau instrumen untuk merealisasikan tujuan tersebut” (Dunn, 2003:499).

Artinya ketepatan dapat diisi oleh indikator keberhasilan kebijakan lainnya. Misalnya dampak lain yang tidak mampu diprediksi sebelumnya baik dampak tak terduga secara positif maupun negatif atau dimungkinkan alternatif lain yang dirasakan lebih baik dari suatu pelaksanaan kebijakan sehingga kebijakan bisa lebih dapat bergerak secara lebih dinamis. Dengan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa dalam menilai suatu kebijakan ada beberapa kriteria/indikator untuk menilai apakah kebijakan tersebut telah sesuai dengan kriteria dalam keberhasilan kinerja suatu kebijakan.

(27)

2.5. Pengertian Dampak

Perbedaan studi implementasi, evaluasi implementasi dan evaluasi dampak dapat dilihat dari substansikebijakan. Kebijakan secara substantif terbagi menjadi dua aspek, yaitu aksi dan konsekuensi kebijakan. Dalam aksi kebijakan merupakan suatu aktifitas yang dimulai dari input dan proses. Guna mencapai tujuan kebijakan, pemerintah harus melakukan aksi atau tindakan berupa penghimpunan sumberdaya dan pengelolaan sumber daya tersebut. Hasil dari aksi pertama dapat disebut input kebijakan dan aksi yang kedua secara terbatas disebut sebagai proses (implementasi) kebijakan. sedangkan konsekuensi kebijakan memiliki dua jenis pemahaman yaitu output dan dampak. Output adalah barang, jasa, atau fasilitas lain yang diterima oleh sekelompok masyarakat tertentu, baik kelompok sasaran maupun kelompok lain yang tidak dimaksudkan untuk disentuh oleh kebijakan. Output biasanya berupa dampak jangka pendek. Sedangkan dampak adalah perubahan kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan. Dampak disini yang dimaksud adalah dampak jangka panjang (Wibawa, 1994:3). Ada dampak yang diharapkan dan dampak yang tidak diharapkan. Dampak yang diharapkan maksudnya adalah ketika kebijakan dibuat, pemerintah telah menentukan atau memetakan dampak apa saja yang akan terjadi. Lebih dari itu, pada akhir implementasi kebijakan muncul juga dampak-dampak yang tidak terduga (Wibawa, 1994: 29-30).

Dalam memantau hasil kebijakan Dunn membedakan dua jenis akibat: keluaran (outputs) dan dampak (impacts). Keluaran kebijakan adalah barang, layanan, atau sumberdaya yang diterima oleh kelompok sasaran atau kelompok

(28)

penerima (beneficiaries). Sedangkan dampak kebijakan merupakan perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan tersebut. Dampak juga diartikan sebagai akibat lebih jauh pada masyarakat sebagai konsekuensi adanya kebijakan yang diimplementasikan (Wahyudi, 2010: 13-14) .

Leo Agustino dalam Wahyudi (2010: 14) menyebutkan dampak dari kebijakan mempunyai beberapa dimensi, yaitu;

a) Pengaruhnya pada persoalan masyarakat yang berhubungan dan melibatkan masyarakat. Lebih jauh lagi, kebijakan dapat mempunyai akibat yang diharapkan atau yang tidak diharapkan, atau bahkan keduanya.

b) Kebijakan dapat mempunyai dampak pada situasi dan kelompok lain; atau dapat disebut juga dengan eksternalitas atau spillover effect.

c) Kebijakan dapat mempunyai pengaruh dimasa mendatang seperti pengaruhnya pada kondisi yang ada saat ini.

d) Kebijakan dapat mempunyai dampak yang tidak langsung atau yang merupakan pengalaman dari suatu komunitas atau beberapa anggota diantaranya.

(29)

Berdasarkan pengertian dampak yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, peneliti menyimpulkan bahwa, dampak adalah konsekuensi yang mampu merubah kondisi fisik maupun sosial sebagai akibat dari output kebijakan yang telah diimplementasikan baik bersifat positif maupun negatif.

2.6. Metode penilaian Dampak

Untuk menjawab suatu pertanyaan tentang efek dari kebijakan, kita memerlukan jawaban yang kompleks dan politis, Menilai dampak dari sebuah program kebijakan terhadap kualitas hidup misalnya, berarti harus meninjau apa arti dari ide tentang kualitas hidup itu sendiri. Hasil adalah prodak dari pendapatan politik : ekspektasi, nilai, keyakinan dan kultur.Analisis efek terhadap kebijakan pemerintah mungkin bersifat kontigen tergantung “dimana posisi kebijakan tersebut berada “. ( Parson, 1993:215)

Seperti yang dikemukakan oleh Rossi dan Freeman ( 1993: 215 ) dalam buku Weyne Parson berjudul Public Policy adalah :

“Penilaian atas dampak adalah untuk memperkirakan apakah intervensi menghasilkan efek yang diharapkan atau tidak. Perkiraan seperti ini tidak menghasilkan jawaban yang pasti tapi hanya beberapa jawaban yang mungkin masuk akal……Tujuan dasar dari penilaian dampak adalah untuk memperkirakan “efek bersih” dari sebuah intervensi –yakni perkiraan dampak intervensi yang tidak dicampuri oleh pengaruh dari proses dan kejadian lain yang mungkin juga mempengaruhi perilaku atau kondisi yang menjadi sasaran suatu program yang sedang dievaluasi itu “.

(30)

Metode penilaiannya antara lain :

1. Membandingkan problem /situasi /kondisi dengan apa yang terjadi sebelum intervensi

2. Melakukan eksperimen untuk menguji dampak suatu program terhadap suatu area atau yang belum menjadi sasaran intervensi

3. Membandingkan biaya dan manfaat yang dicapai sebagai hasil dari intervensi.

4. Menggunakan model untuk memahami dan menjelaskan apa yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan masa lalu

5. Pendekatan kualitatif dan judgemental untuk mengevaluasi keberhasilan/kegagalan kebijakan dan program.

6. Membandingkan apa yang sudah terjadi dengan tujuan atau sasaran tertentu

dari sebuah program atau kebijakan.

7. Menggunakan pengukuran kinerja untuk menilai apakah tujuan atau targetnya

sudah terpenuhi.

Untuk menjawab pertanyaan mengenai apa efek dari kebijakan, kita memerlukan jawaban yang kompleks dan politis. Menilai dampak dari sebuah program kebijakan “kualitas hidup” misalnya , berarti harus meninjau apa arti dari kualitas itu sendiri.

2.7 Pengertian Guru

Menurut Mulyasa (2006:37), guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi para peserta didik dan lingkungannya, karena itulah guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang

(31)

mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Sedangkan menurut Ahmad tafsir (1992:94) Guru ialah siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak didik. Dapat diartikan juga orang kedua yang paling bertanggung jawab terhadap anak didik setelah orang tua.

Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU RI No 14 Tahun 2005).

Guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam merencanakan dan menuntun murid-murid untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar guna mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang diinginkan (Oemar Hamalik, 2003:13). Guru adalah semua orang yang berwewenang dan bertanggung jawab terhadap pendidikan murid-murid, baik secara individual atau klasikal, baik di sekolah maupun di luar sekolah. (Syaiful, 2009: 21).

Sedangkan pendapat Mulyasa dalam bukunya yang berjudul Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran yang Kreatif dan Menyenangkan, guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan indikasi bagi peserta didik, dan lingkungannya. (Mulyasa, 2008: 37).

Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didik untuk mencapai tujuan akhir dari proses pendidikan/pembelajaran.

(32)

2.7.1. Tugas dan Fungsi Seorang Guru

Tugas, peran dan fungsi guru merupakan sesuatu kesatuan yang utuh. Hanya saja terkadang tugas dan fungsi disejajarkan sebagai penjabaran dari peran Menurut Undang Undang No. 20 Tahun 2003 dan Undang Undang No. 14 Tahun 2005 peran guru adalah sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pengarah, pelatih, penilai dan pengevaluasi dari peserta didik.

a. Guru Sebagai Pendidik

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus mempunyai standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri dan disiplin. Guru harus memahami nilai-nilai, norma moral dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap tindakannya dalam proses pembelajaran di sekolah. Sebagai pendidik guru harus berani mengambil keputusan secara mandiri berkaitan dengan pembelajaran dan pembentukan kompetensi, serta bertindak sesuai dengan kondisi peserta didik dan lingkungan.

b. Guru Sebagai Pengajar

Di dalam tugasnya, guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi dan memahami materi standar yang dipelajari. Guru sebagai pengajar, harus terus mengikuti perkembangan teknologi, sehinga apa yang disampaikan kepada peserta didik merupakan hal-hal yang uptodate dan tidak ketinggalan jaman.

(33)

Perkembangan teknologi mengubah peran guru dari pengajar yang bertugas menyampaikan materi pembelajaran menjadi fasilitator yang bertugas memberikan kemudahan belajar. Hal itu dimungkinkan karena perkembangan teknologi menimbulkan banyak buku dengan harga relatif murah dan peserta didik dapat belajar melalui internet dengan tanpa batasan waktu dan ruang, belajar melalui televisi, radio dan surat kabar yang setiap saat hadir di hadapan kita.

Derasnya arus informasi, serta cepatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan telah memunculkan pertanyaan terhadap tugas guru sebagai pengajar. Masihkah guru diperlukan mengajar di depan kelas seorang diri, menginformasikan, menerangkan dan menjelaskan. Untuk itu guru harus senantiasa mengembangkan profesinya secara profesional, sehingga tugas dan peran guru sebagai pengajar masih tetap diperlukan sepanjang hayat.

c. Guru Sebagai Pembimbing

Guru sebagai pembimbing dapat diibaratkan sebagai pembimbing perjalanan yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang bertanggungjawab. Sebagai pembimbing, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menetapkan waktu perjalanan, menetapkan jalan yang harus ditempuh, menggunakan petunjuk perjalanan serta menilai kelancarannya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan peserta didik.

Sebagai pembimbing semua kegiatan yang dilakukan oleh guru harus berdasarkan kerjasama yang baik antara guru dengan peserta didik. Guru memiliki hak dan tanggung jawab dalam setiap perjalanan yang direncanakan dan dilaksanakannya.

(34)

d. Guru Sebagai Pengarah

Guru adalah seorang pengarah bagi peserta didik, bahkan bagi orang tua. Sebagai pengarah guru harus mampu mengarkan peserta didik dalam memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi, mengarahkan peserta didik dalam mengambil suatu keputusan dan menemukan jati dirinya.

Guru juga dituntut untuk mengarahkan peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya, sehingga peserta didik dapat membangun karakter yang baik bagi dirinya dalam menghadapi kehidupan nyata di masyarakat.

e. Guru Sebagai Pelatih

Proses pendidikan dan pembelajaran memerlukan latihan ketrampilan, baik intelektual maupun motorik, sehingga menuntut guru untuk bertindak sebagai pelatih, yang bertugas melatih peserta didik dalam pembentukan kompetensi dasar sesuai dengan potensi masing-masing peserta didik.

Pelatihan yang dilakukan, disamping harus memperhatikan kompetensi dasar dan materi standar, juga harus mampu memperhatikan perbedaan individual peserta didik dan lingkungannya. Untuk itu guru harus banyak tahu, meskipun tidak mencakup semua hal dan tidak setiap hal secara sempurna, karena hal itu tidaklah mungkin.

f. Guru Sebagai Penilai

Penilaian atau evalusi merupakan aspek pembelajaran yang paling kompleks, karena melibatkan banyak latar belakang dan hubungan, serta variabel lain yang mempunyai arti apabila berhubungan dengan konteks yang hampir tidak

(35)

mungkin dapat dipisahkan dengan setiap segi penilaian. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar, atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran peserta didik. Sebagai suatu proses, penilaian dilaksanakan dengan prinsip-prinsip dan dengan teknik yang sesuai, mungkin tes atau non tes. Teknik apapun yang dipilih, penilaian harus dilakukan dengan prosedur yang jelas, yang meliputi tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan dan tindak lanjut.

Selain peran diatas, guru juga harus berusaha dalam pembelajaran dengan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik, agar dapat mengembangkan potensinya secara optimal. Dalam hal ini, guru harus kretif, profesional dan menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut:

1) Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.

2) Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.

3) Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan, dan bakatnya.

4) Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan mencarikan saran pemecahannya.

5) Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.

6) Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antarpeserta didik, orang tua, dan lingkungannya.

(36)

Mari kita perhatikan tabel dibawah ini supaya kita lebih mengetahui tugas dan fungsi guru, yang dikeluarkan oleh ditjen dikti P2TK, 2004. Tabel. 1. Tugas Fungsi Guru (ditjen dikti P2TK, 2004.)

No Tugas Fungsi Uraian Tugas

I Mendidik, Mengajar, Membimbing dan Melatih

1. Sebagai Pendidik  Mengembangkan Potensi/ Kemampuan Dasar Peserta Didik.  Mengembangkan Kepribadian

Peserta Didik.

 Memberikan Keteladanan.

 Menciptakan Suasana Pendidikan yang Kondusif.

2. Sebagai Pengajar  Merencanakan Pembelajaran  Melaksanakan Pembelajaran yang

Mendidik

 Melaksanakan Pembelajaran yang Mendidik

3. Sebagai Pembimbing

 Mendorong Berkembangnya Perilaku Positif dalam Pembelajaran

 Membimbing Peserta didik Memecahkan Asalah dalam Pembelajaran

4. Sebagai Pelatih  Melatih Keterampilan-

Keterampilan yang diperlukan dalam Pelajaran

 Membiasakan Peserta Didik Berperilaku Positif dalam Pembelajaran II Membantu pengelolaan dan pengembangan program sekolah. 5. Sebagai Pengembang program  membantu Mengembangkan pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama intra sekolah

6. Sebagai pengelola program

 Membantu Mengembangkan pendidikan sekolah dan hubungan kerjasama antar sekolah dan masyarakat III Mengembangk an keprofesional an 7. Sebagai tenaga profesional

 Melakukan upaya upaya untuk meningkatkan kemampuann profesional

(37)

2.7.2 Rencana Persiapan Pembelajaran

Pada hakekatnya RPP merupakan perencanaan jangka pendek untukmemperkirakan tindakan apakah yang akan dilakukan dalam pembelajaran, baik oleh pengajar maupun perserta didik untuk mencapai suatu kompetensi yang sudah ditetapkan. Dalam RPP harus jelas Kompetensi Dasar (KD) yang akan dicapai oleh peserta didik, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dipelajari, dan bagaimana mempelajarinya, serta bagaimana pengajar mengetahui bahwa peserta didik telah menguasai kompetensi tertentu. Aspek-aspek tersebutlah yang merupakan unsur utama yang harus ada dalam setiap RPP.

RPP terdiri dari komponen program kegiatan belajar dan proses pelaksanaan program. Komponen program mencakup KD, materi standar, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan waktu belajar. Dengan demikian, RPP pada hakekatnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan serta berinteraksi satu denganlainnya, dan memuat langkah-langkah pelaksanaannya untuk mencapai tujuan yaitu membentuk kompentensi yang sudah ditetapkan sebelumnya

2.8. Mutu Pendidikan

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai seseorang dalam melakukan kegiatan. Gagne (1985:40) menyatakan bahwa prestasi belajar dibedakan menjadi lima aspek, yaitu : kemampuan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal, sikap dan keterampilan. Menurut Bloom dalam Suharsimi

(38)

Arikunto (1990:110) bahwa hasil belajar dibedakan menjadi tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik.

Jika berdasarkan istilah atau tata bahasa yang benar atau EYD atau Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1996:186) “ Pengertian Definisi

Prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dilakukan, dikerjakan dan

sebagainya)”. Menurut Sardiman A.M (2001:46) “Prestasi adalah kemampuan nyata yang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari dalam maupun dari luar individu dalam belajar”. W.S Winkel (1996:165) “Prestasi adalah bukti usaha yang telah dicapai. Sedangkan pengertian prestasi menurut A. Tabrani (1991:22) “Prestasi adalah kemampuan nyata (actual ability) yang dicapai individu dari satu kegiatan atau usaha”.

Dari definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa Prestasi merupakan kecakapan atau hasil kongkrit yang dapat dicapai pada saat atau periode tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut, prestasi dalam penelitian ini adalah hasil yang telah dicapai siswa dalam proses pembelajaran.

Setiap kegiatan belajar yang dilakukan siswa akan menghasilkan suatu perubahan yang ada pada dirinya. Perubahan tersebut meliputi kawasan kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar yang diperoleh siswa diukur berdasarkan perbedaan tingkah laku sebelum dan sesudah belajar dilakukan. Salah satu indikator terjadinya perubahan hasil belajar disekolah adalah

(39)

proses belajar yang dapat dilihat melalui angka-angka di dalam rapor atau daftar nilai yang diperoleh dari siswa pada akhir semester.

Dalam kamus besar bahasa indonesia dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan prestasi belajar adalah “Penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka yang diberikan oleh guru.

Kareteristik Pada hakekatnya prestasi belajar adalah hasil belajar siswa yang dapat diketahui dari perubahan tingkah laku, pengtahuan serta dapat dilihat dari hasil belajar itu sendiri.(nilai yang diberikan oleh guru). Seperti yang dikemukakan Hendrawati (dalam Sutikno, 2004) bahwa pengertian prestasi belajar dan karakteristik prestasi belajar adalah sebagai berikut :

a) Prestasi belajar merupakan suatu perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Untuk mengukur perubahan perilaku tersebut dapat dilakukan dengan test prestasi belajar.

b) Prestasi menunjukkan pada individu sebagai sebab, artinya individu sebagai pelaku.

c) Prestasi belajar dapat diakui tinggi rendahnya berdasarkan kriteria yang ditetapkan menurut standar maupun yang ditetapkan kelompok.

d) Prestasi belajar menunjuk kepada hasil dari kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan disadari.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan yang dicapai dari suatu

(40)

kegiatan atau usaha yang dapat memberikan kepuasan emosional, dan dapat diukur dengan alat atau melalui tes.

2.8.1. Indikator Prestasi Belajar

Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai indikator-indikator prestasi belajar sangat diperlukan etika seseorang akan menggunakan alat dan kiat evaluasi.

Tabel 2. Indikator Prestasi Belajar Muhibin syah (2010:148) No Jenis Prestasi Belajar Indikator Prestasi Belajar 1 Ranah Cipta (Kognitif)

a. Pengamatan b. Ingatan c. Pemahaman d. Penerapan

e. Analisis (pemeriksaan dan pemilahan secara teliti)

f. Sintesis (membuat panduan baru dan utuh)

-. Dapat menunjukkan - Dapat membandingkan - Dapat menghubungkan - Dapat menyebutkan

- Dapat menunjukkan kembali - Dapat menjelaskan

- Dapat mendefinisikan dengan lisan sendiri - Dapat memberikan contoh

- Dapat menggunakan secara tepat - Dapat menguraikan

- Dapatmengklasifikasikan/memilah-milah - Dapat menghubungkan

- Dapat menyimpulkan

- Dapat menggeneralisasikan (membuat prinsip umum)

2 Ranah Rasa (Afektif) a. Penerimaan

b. Sambutan

c. Apresiasi (sikap menghargai) d. Internalisasi (pendalaman) e. Karaktirasasi

- Mengingkari

- Melembagakan atau meniadakan - Menjelmakan dalam pribadi dan perilaku

sehari-hari)

3 Ranah Karsa (Psikomotor)) a. Keterampilan bergerak dan

bertindak

b. Kecakapan kespresi verbal dan nonverbal

- Mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota tubuh lainnya - Mengucapkan

(41)

Muhibin syah (2010:148) mengemukakan bahwa urgensi pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai pengguanaan alat evaluasi alan menjadi lebih tepat, realibel, dan valid. Selanjutnya agar lebih mudah mengetahui tentang prestasi belajar maka berikut ini penulis sajikan sebuah tabel yang menunjukkan indikator prestasi belajar.

2.8.2 Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM)

Salah satu prinsip penilaian pada kurikulum berbasis kompetensi adalah menggunakan acuan kriteria, yakni menggunakan kriteria tertentu dalam menentukan kelulusan peserta didik. Kriteria paling rendah untuk menyatakan peserta didik mencapai ketuntasan dinamakan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

KKM harus ditetapkan sebelum awal tahun ajaran dimulai. Kriteria ketuntasan minimal ditetapkan oleh satuan pendidikan berdasarkan hasil musyawarah guru mata pelajaran di satuan pendidikan atau beberapa satuan pendidikan yang memiliki karakteristik yang hampir sama. Pertimbangan pendidik atau forum MGMP secara akademis menjadi pertimbangan utama penetapan KKM.

Kriteria ketuntasan menunjukkan persentase tingkat pencapaian kompetensi sehingga dinyatakan dengan angka maksimal 100 (seratus). Angka maksimal 100 merupakan kriteria ketuntasan ideal. Target ketuntasan secara nasional diharapkan mencapai minimal 75. Satuan pendidikan dapat memulai dari kriteria ketuntasan minimal di bawah target nasional kemudian ditingkatkan secara bertahap.

(42)

Kriteria ketuntasan minimal menjadi acuan bersama pendidik, peserta didik, dan orang tua peserta didik. Oleh karena itu pihak-pihak yang berkepentingan terhadap penilaian di sekolah berhak untuk mengetahuinya. Satuan pendidikan perlu melakukan sosialisasi agar informasi dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik dan atau orang tuanya. Kriteria ketuntasan minimal harus dicantumkan dalam Laporan Hasil Belajar (LHB) sebagai acuan dalam menyikapi hasil belajar peserta didik.

2. 9. Pengertian Sertifikasi Pendidik

Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kompetensi atau surat keterangan sebagai pengakuan terhadap kemampuan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan setelah lulus uji kompetensi. Sertifikasi berasal dari kata certification yang berarti diploma atau pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku sesuatu jabatan profesional. Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai surat bukti kemampuan mengajar dalam mata pelajaran, jenjang dan bentuk pendidikan tertentu seperti yang diterangkan dalam sertifikat kompetensi tersebut (depdiknas, 2003). Sertifikasi guru dapat diartikan sebagai suatu proses pemeberian pengakuan bahwa seseorang telah memiliki kompetensi untuk melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh lembaga sertifikasi (Mulyasa, 2007 : 34).

Dalam Undang Undang No. 14/2005 pasal 2, disebutkan bahwa pengakuan guru sebagai tenaga yang profesional dibuktikan dengan sertifikasi

(43)

pendidik. Selanjutnya pasal 11 menjelaskan bahwa sertifikasi pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.

Menurut Samani (2006 : 8) sertifikat pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum dan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Sedangkan menurut Trianto dan Tutik (2007 : 9) Sertifikat pendidik adalah surat keterangan yang diberikan suatu lembaga pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi sebagai bukti formal kelayakan profesi guru, yaitu memenuhi kualifikasi pendidikan minimum dan menguasai kompetensi minimal sebagai agen pembelajaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Sertifikasi pendidik adalah suatu bukti pengakuan sebagai tenaga profesional yang telah dimiliki oleh seorang pendidik dalam melaksanakan pelayanan pendidikan pada satuan pendidikan tertentu, setelah yang bersangkutan menempuh uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi.

Sebuah studi yang dilakukan Heyneman dan Loxley di 29 negara pada tahun 1983 menyebutkan bahwa diantara berbagai masukan (input) yang menentukan kualitas pendidikan (yang diukur dari prestasi belajar siswa) sepertiganya ditentukan oleh guru. Peranan guru menjadi semakin penting ketika kita berbicara dalam konteks negara berkembang yang sarana dan prasarana pendidikannya terbatas. Hasil lengkap dari penelitian tersebut adalah: pada 16

(44)

negara berkembang guru memberi kontribusi pada prestasi belajar sebesar 34%, manajemen 22%, waktu belajar 16%, dan saran fisik 26%. Fasli Jalal (2007 : 1) berpendapat bahwa pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada keberadaan guru yang bermutu, yaitu guru yang profesional, sejahtera, dan bermartabat. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kalau keberadaan guru yang bermutu adalah syarat utama sistem dan praktek pendidikan yang bermutu.

Guru secara sederhana dapat diartikan sebagai orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik (Anwar Q & Sagala S, 2004 : 120).Karena tugasnya itulah, guru dapat menambah kewibawaannya dan keberadaan guru sangat diperlukan masyarakat, mereka tidak meragukan lagi akan urgensinya guru bagi anak didik. Sedangkan kalau menurut Undang - Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Jika mengacu pada Undang - Undang No. 20 Tahun 2003 dan Undang - Undang No. 14 Tahun 2005 maka ada beberapa peran guru dalam proses pendidikan di Indonesia, yaitu :

1. Guru Sebagai Pendidik. Guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik dan lingkungannya. Oleh karena itu guru harus mempunyai standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggungjawab, wibawa, mandiri dan disiplin.Guru harus memahami nilai-nilai, norma moral dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap

Gambar

Tabel 2. Indikator Prestasi Belajar Muhibin syah (2010:148)
Gambar 1.2. Hasil Modifikasi Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulannya latihan menggunakan metode taktis memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil latihan teknik dasar sepakbola dibandingkan dengan latihan menggunakan

Sasaran Program PP dan PL dalam Rencana Aksi Kegiatan BTKLPP Kelas I Batam sebagai implementasi dari Indikator Kinerja Program, Indikator Kinerja Kegiatan

Peningkatan aktivitas belajar peserta didik dari cukup aktif (C) pada Siklus I menjadi aktif (B) pada Siklus II berkaitan dengan tindakan dalam pembelajaran,

Hasil penilaian dosen terhadap layanan Politeknik Negeri Semarang untuk bidang pendidikan penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan penunjang dalam pengembangan

Dalam keadaan terpaksa, misalnya pasien tidak mungkin untuk diangkut ke kota/rumah sakit besar, sedangkan tindakan darurat harus segera diambil maka seorang dokter atau bidan

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh tinggi muka air dan kerapatan populasi terhadap pertumbuhan bibit pada saat persemaian terapung serta pengaruh

Hasil dari penelitian diperoleh bahwa pengukuran kelembaban tanah permukaan di lapangan dengan nilai spektral dari hasil transformasi memiliki hubungan yang

Data Primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang langsung dikumpulkan pada waktu penelitian yaitu berupa data pengukuran intensitas kebisingan dengan menggunakan