• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN LULUR KRIM ANTIOKSIDAN EKSTRAK BIJI KOPI HIJAU ARABIKA (Coffea arabica, L.) SERTA UJI SIFAT FISIKNYA - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA - FORMULASI SEDIAAN LULUR KRIM ANTIOKSIDAN EKSTRAK BIJI KOPI HIJAU ARABIKA (Coffea arabica, L.) SERTA UJI SIFAT FISIKNYA - repository perpustakaan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian Terdahulu

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Fidrianny et al (2016) melakukan penelitian tentang aktivitas antioksidan ekstrak biji kopi hijau arabika terhadap DPPH. Hasil penelitian menunjukkan ekstrak etanol biji kopi hijau arabika mempunyai aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai IC50 sebesar 0,7 – 134,56 µg/ml.

B. Landasan Teori

1. Tinjauan Umum Biji Kopi Hijau Arabika

a. Klasifikasi

Gambar 2.1. Coffea arabica, L.

Kopi Arabika merupakan tanaman perdu tahun yang secara lengkap diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae Sub kingdom : Trachebionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae

Genus : Coffea

Species : Coffea arabica L.

(2)

b. Morfologi Tanaman

Tanaman kopi Arabika merupakan jenis tanaman berkeping dua (dikotil) dan memiliki akar tunggang. Pada akar tunggang, ada beberapa akar kecil yang tumbuh ke samping (melebar) yang sering disebut akar lateral. Pada akar lateral ini terdapat akar rambut, bulu – bulu akar, dan tudung akar (Panggabean, 2011).

Kopi Arabika merupakan jenis kopi tertua yang dikenal dan dibudidayakan di dunia dengan varietas-varietasnya. Kopi Arabika menghendaki iklim subtropik dengan bulan-bulan kering untuk pembungaannya. Di Indonesia, tanaman kopi Arabika cocok dikembangkan di daerah-daerah dengan ketinggian antara 800-1500 m di atas permukaan laut (mdpl) dan dengan suhu rata-rata 15-24ºC. Pada suhu 25ºC, kegiatan fotosintesis tumbuhannya akan menurun dan akan berpengaruh langsung pada hasil kebun. Mengingat belum banyak jenis kopi Arabika yang tahan akan penyakit karat daun, dianjurkan penanaman kopi Arabika tidak di daerah-daerah di bawah ketinggian 800 mdpl (Sihombing,2011).

Menurut Hiwot (2011), kopi Arabika merupakan tanaman berbentuk semak tegak atau pohon kecil yang memiliki tinggi 5 m sampai 6 m dan memiliki diameter 7 cm saat tingginya setinggi dada orang dewasa. Selain itu, kopi Arabika memiliki warna kulit abu - abu, tipis, dan menjadi pecah - pecah dan kasar ketika tua. Daun kopi Arabika berwarna hijau gelap dan dengan lapisan lilin mengkilap. Daun ini memiliki panjang empat hingga enam inci dan juga berbentuk oval atau lonjong. Daun kopi Arabika juga merupakan daun sederhana dengan tangkai yang pendek dengan masa pakai daun kopi Arabika adalah kurang dari satu tahun.

(3)

bakal biji. Benang sari pada bunga ini terdiri dari 5 – 7 tangkai yang berukuran pendek. Kopi Arabika umumnya akan mulai berbunga setelah berumur ± 2 tahun, buah tanaman kopi terdiri atas daging buah dan biji. Daging buah terdiri atas tiga lapisan, yaitu kulit luar (eksokarp), lapisan daging (mesokarp) dan lapisan kulit tanduk (endokarp) yang tipis tapi keras. Buah kopi umumnya mengandung dua butir biji, tetapi kadang – kadang hanya mengandung satu butir atau bahkan tidak berbiji (hampa) sama sekali.

Keunggulan dari kopi arabika itu sendiri antara lain bijinya berukuran besar, beraroma harum, dan memiliki cita rasa yang enak, tetapi kelemahannya rentan terhadap penyakit karat daun/HV

(Hemelia vastatrix) (Anggara dan Marini, 2011).

c. Kandungan Kimia

Kopi jenis arabika memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi. Menurut (Nicoli et al., (1997); Del et al., (2002); dan Nebesny (2003)) salah satunya pada biji kopi hijau arabika, banyak senyawa yang terkandung dalam biji kopi hijau arabika yang berperan sebagai antioksidan diantaranya adalah asam clorogenik, asam ferulat, asam kafeat, asam n-kumarat, kafein, trigonelina, dan antioksidan volatil berupa furan dan pirol (Alexander et al, 2013). Polifenol merupakan senyawa kimia yang bekerja sebagai antioksidan kuat di dalam kopi (Almada 2009, dan Lelyana 2008). Kadar polifenol pada biji kopi arabika bervariasi antara 6 - 7 %, sedangkan pada robusta sekitar 10 % (Septianus, 2011).

2. Ekstraksi

Simplisia adalah bahan alami yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibagi menjadi 3 yaitu, simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau mineral (Depkes RI, 1989).

(4)

yang mempengaruhi kecepatan penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antara penyari dengan bahan yang mengandung zat tertentu (Depkes RI, 1986).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia hewani atau nabati menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1986). Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tetentu dan menggunakan medium pengekstraksi (menstrum) yang tertentu pula (Agoes, 2007).

Berdasarkan sifatnya ekstrak dibedakan menjadi 4 (Voigt, 1995) yaitu : a. Ekstrak encer (extractum tenue)

Sediaan ini memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang. Pada saat ini ekstrak encer sudah tidak terpakai lagi.

b. Ekstrak kental (extractum spissum)

Sediaan ini liat (kuat) dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang. Kandungan airnya berjumlah sampai 30%.

c. Ekstrak kering (extractum siccum)

Sediaan ini memiliki konsistensi kering dan mudah digosokkan. Melalui penguapan cairan pengekstraksi dan pengeringan sisanya akan terbentuk suatu produk, yang sebaiknya memiliki kandungan lembab tidak lebih dari 5%.

d. Ekstrak cair (extractum fluidum)

Dalam hal ini diartikan sebagai ekstrak cair, yang dibuat sedemikian rupa sehingga satu bagian simplisia sesuai dengan dua bagian (kadang-kadang juga satu bagian) ekstrak cair.

(5)

Macam–macam metode ekstraksi antara lain : 1. Maserasi

Maserasi adalah penyarian dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Digunakan untuk menyari zat aktif yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengembang dalam penyari. Contoh cairan penyari yaitu air, etanol, air-etanol (Depkes RI, 2000).

2. Infudasi

Infundasi adalah proses penyarian yang digunakan untuk menyari zat aktif yang larut dalam air dari bahan-bahan nabati. Infundasi dilakukan dengan cara menambahkan serbuk dengan air secukupnya dalam penangas air selama 15 menit yang dihitung mulai suhu di dalam panci mencapai 90 °C sambil sesekali diaduk, infus disaring sewaktu masih panas dengan menggunakan kain flanel. Penyarian dengan cara ini menghasilkan sari yang tidak stabil dan mudah tercemar oleh bakteri dan jamur (Depkes RI, 1986).

3. Sokhletasi

Sokhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Depkes RI, 1986).

4. Perkolasi

Istilah perkolasi berasal dari bahasa Latin per yang artinya melalui dan

colare yang artinya merembes, secara umum dapat dinyatakan sebagai

proses dimana obat yang sudah halus diekstraksi dalam pelarut yang cocok dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui obat dalam suatu kolom. Obat yang dimampatkan dalam alat ekstraksi khusus yang disebut perkolator, dan ekstrak yang telah dikumpulkan disebut perkolat (Ansel, 1989).

3. Krim

(6)

konsistensi relatifnya cair diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini, batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol yang berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika (Depkes RI, 1995).

Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada 2 yaitu: krim tipe air dalam minyak (A/M) dan krim minyak dalam air (M/A). Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumya berupa surfaktan-surfaktan anionik, kationik dan nonionik (Anief, 2008).

Sifat umum sediaan semi padat terutama krim ini adalah mampu melekat pada permukaan tempat pemakaian dalam waktu yang cukup lama sebelum sediaan ini dicuci atau dihilangkan. Krim yang digunakan sebagai obat umumnya digunakan untuk mengatasi penyakit kulit seperti jamur, infeksi ataupun sebagai anti radang yang disebabkan oleh berbagai jenis penyakit (Anwar, 2012). Krim merupakan sistem emulsi sediaan semipadat dengan penampilan tidak jernih, berbeda dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifatnya tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air (Lachman et al., 1994).

Krim terdiri dari emulsi minyak dalam air sehingga dapat dicuci dengan air serta lebih ditujukan untuk pemakaian kosmetik dan estetika. Krim digolongkan menjadi dua tipe, yakni:

1. Tipe A/M, yakni air terdispersi dalam minyak. Contohnya cold cream.

Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk memberi

rasa dingin dan nyaman pada kulit.

2. Tipe M/A, yakni minyak terdispersi dalam air. Contohnya, vanishing

cream. Vanishing cream adalah sediaan kosmetik yang digunakan

(7)

4. Lulur krim

Lulur krim adalah perawatan tubuh dengan menggunakan lulur. Produk lulur berupa krim yang mengandung butiran – butiran kasar di dalamnya. Bahan alami yang dapat digunakan sebagai bahan lulur antara lain bengkoang, beras giling kasar, belimbing, jeruk nipis, pepaya, bunga-bungaan, daun-daunan, biji cokelat, kopi dan kedelai (Tranggono & Latifah, 2007).

Lulur krim bertujuan untuk mengangkat sel-sel kulit mati, kotoran dan membuka pori-pori sehingga dapat bernapas serta kulit menjadi lebih cerah dan putih. Sekarang ini begitu banyak jenis lulur yang beredar di masyarakat dengan berbagai khasiat dimulai dari menghaluskan kulit, meremajakan kulit hingga memutihkan kulit (Ery, 2012). Manfaat yang dapat diperoleh luluran adalah mencerahkan kulit tubuh, mengencangkan kulit, menghilangkan penyakit kulit, menghilangkan bau badan dan menenangkan syaraf dan pikiran (Gumpita, 2013). Pemakaian lulur memerlukan waktu jadi tidak langsung terlihat hasilnya, butuh proses panjang untuk mencerahkan kulit badan. Segi keamanan, lulur tradisional sangat terjamin dibandingkan dengan produk lulur pemutih produk industri (Suya, 2009).

Selain itu, lulur krim juga berfungsi mengangkat sel kulit mati di permukaan kulit tubuh yang kasar dan kusam, selain itu juga berfungsi membantu mempercepat pergantian sel-sel kulit tubuh yang baru, bersih dan sehat. Lulur adalah perawatan yang dilakukan oleh terapis dengan cara menggerakan telapak tangan memutar sambil mengusap permukaan kulit yang sudah diberi produk lulur. Perawatan ini dapat dilanjutkan dengan perawatan body masker. Perawatan ini diakhiri dengan bath terapy, dan pengolesan lotion, body cream atau body butter untuk memaksimalkan hasil perawatan (Tranggono & Latifah, 2007).

(8)

kita untuk menyehatkan dan merawat kulit agar tidak terlihat gelap,selalu bersih, halus dan cerah (Darwati, 2003). Menurut Achroni (2012), dengan menggunakan lulur maka sel kulit mati yang menumpuk di permukaan kulit akan terangkat sehingga kulit tidak terlihat gelap, bersih, halus dan cerah.

5. Uraian bahan

a. Lemak kakao (Lemak coklat)

Lemak coklat adalah lemak coklat padat yang diperoleh dengan pemerasan panas biji Theobroma cacao L, yang telah dikupas dan dipanggang. Pemerian lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh. Kelarutan sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P dan dalam eter minyak tanah P. Suhu lebur 31o sampai 34oC. Khasiat dan kegunaannya sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).

b. Minyak zaitun

Minyak zaitun adalah minyak lemak yang diperoleh dengan pemerasan dingin biji masak Olea europaea L. Pemerian cairan, kuning pucat atau kuning kehijauan, bau lemak, bau tengik, rasa khas, pada suhu rendah sebagian atau seluruhnya membeku. Kelarutan sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P. Khasiat dan kegunaan sebagai zat tambahan (Depkes RI, 1979).

c. Setil alkohol

(9)

dinaikkan. Titik lelehnya adalah 45-52% (American Pharmaceutical Association, 2001).

d. Asam stearat

Asam stearat merupakan asam lemak jenuh yang digunakan untuk formulasi oral dan topikal dalam sediaan farmasi. Asam stearat digunakan sebagai bahan pengemulsi pada sediaan topikal. Kelarutan mudah larut dalam benzena, kloroform, eter, dan etanol 95% serta tidak larut dalam air (Rowe et al., 2009).

e. Propil paraben

Propil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C10 H12O3. Pemerian serbuk hablur putih, tidak

berbau, tidak berasa. Kelarutan sangat sukar larut dalam air, larut dalam 3,5 bagian etanol (95%) P, dalam 3 bagian aseton P, dalam 140 bagian gliserol P dan dalam 40 bagian minyak lemak, mudah larut dalam larutan alkali hidroksida. Khasiat dan kegunaan sebagai zat pengawet (Depkes RI, 1979).

f. Propilenglikol

Pemerian cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, higroskopik. Kelarutan dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) P, dan dengan kloroform P, larut dalam 6 bagian eter P, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah P, dan dengan minyak lemak. Jarak didih pada suhu 1850C sampai 1890C tersuling tidak kurang dari 95,0 % v/v. Khasiat dan kegunaan sebagai zat tambahan, juga sebagai pelarut (Depkes RI, 1979).

g. Metil paraben

Metil paraben mengandung tidak kurang dari 99,0 % dan tidak lebih dari 101,0 % C8H8O3. Pemerian serbuk hablur halus, putih,

(10)

dalam 40 bagian minyak lemak nabati panas, jika didinginkan larutan tetap jernih. Suhu lebur 1250C sampai 1280C. Kegunaan dan khasiat sebagai zat tambahan juga sebagai zat pengawet (Depkes RI, 1979). h. Tepung/Pati Beras (Amylum oryzae)

Pati beras adalah pati yang diperoleh dari biji Oryza sativa L. Pemerian serbuk sangat halus, putih, tidak berbau, tidak berasa. Kelarutan : keasaman-kebasaan (Depkes RI, 1979).

i. Trietanolamin (TEA)

Pemerian berupa cairan kental bening atau berwarna kuning pucat, jernih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, bersifat higroskopis. Bahan ini mudah larut dalam air, metanol dan aseton. Titik lebur antara 20-21°C. Bahan ini berfungsi sebagai pengemulsi dan pengatur pH pada sediaan topikal (Rowe., et al, 2009).

j. Aqua destilata (Air suling)

Air suling dibuat dengan menyuling air yang dapat diminum. Pemerian cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa. BM 18,02. Penyimpanan dalam wadah tertutup baik (Depkes RI, 1979).

k. Vitamin C

Pemerian berupa serbuk atau hablur, putih atau agak kuning, tidak berbau, rasa asam. Vitamin C bisa menjadi gelap karena pengaruh cahaya. Vitamin C mudah larut dalam air, agak sukar larut dalam etanol (95%), praktis tidak larut dalam kloroform, dalam eter dan dalam benzen (Depkes RI, 1979).

6. Radikal Bebas

(11)

stabil, atau hilangnya bisa juga karena sistem kerja antioksidan (Winarsi, 2007).

Menurut Winarsi (2007), tahap-tahap reaksi radikal bebas adalah sebagai berikut :

1. Tahap Inisiasi

Merupakan tahap yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Misalnya :

Fe ++ + H2O2  Fe+++ + OH- + .OH

Cl-Cl  Cl. + Cl. 2. Propagasi

Yaitu perpanjangan radikal bebas, radikal yang terbentuk pada tahap ini mengawali sederetan reaksi yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas baru. Reaksi-reaksi ini disebut tahap propagasi. Jumlah berulangnya tahap propagasi disebut rantai panjang (chain length).

R2-H + R1. R2. + R1-H

R3-H + R2. R3. + R2-H

3. Terminasi

Tahap terminasi yaitu tahap bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkal radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. Tahap terminasi digambarkan sebagai berikut :

R1. + R1. R1-R1

R2. + R1. R2-R1

R2. + R2. R2-R2

(12)

yang mampu menetralisir radikal bebas atau mencegah terbentuknya radikal bebas dalam tubuh (Kustanto, 2009).

7. Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Winarsi, 2007).

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dibedakan menjadi tiga kelompok (Winarsi, 2007), yaitu :

1. Antioksidan primer

Antioksidan primer disebut juga dengan antioksidan endogenus dan antioksidan dan antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim-enzim tersebut menghambat pembentukkan radikal bebas dengan cara memutus reaksi berantai (polimerasi), kemudian mengubahnya ke produk yang lebih stabil.

2. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis. Antioksidan kelompok ini disebut juga pertahanan preventif. Dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara dirusak pembentukannya. Mekanisme kerjanya adalah memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan menyapu radikal bebas tersebut (free radical

scavenger).

3. Antioksidan tersier

(13)

Antioksidan meredam radikal bebas dengan memberikan satu atau lebih elektronnya pada radikal bebas sehingga menjadi molekul normal kembali. DPPH digunakan sebagai model radikal bebas. Radikal bebas DPPH akan ditangkap oleh senyawa flavonoid. Flavonoid akan dioksidasi oleh radikal bebas DPPH menghasilkan bentuk radikal yang lebih stabil, yaitu radikal dengan kereaktifan rendah. Flavonoid mendonorkan atom hidrogen dari cincin aromatiknya untuk mengurangi radikal bebas yang bersifat toksik. Reaksi ini menghasilkan senyawa radikal baru yang stabil dan DPP-Hidrazin (Mun’im et al., 2009).

Gambar 2.2. Donasi proton dari antioksidan ke radikal DPPH (Mun’im et al., 2009)

8. Uji Penangkapan Radikal Bebas Dengan Metode DPPH

(1,1-Diphenyl-2-Picrylhydrazyl)

Metode yang paling sering digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan tanaman obat adalah metode uji dengan menggunakan radikal bebas DPPH. Tujuan metode ini adalah mengetahui parameter konsentrasi yang ekuivalen memberikan 50 % efek aktivitas antioksidan (IC50). Hal ini dapat dicapai dengan cara menginterpretasikan data

eksperimental dari metode tersebut.

(14)

DPPH merupakan radikal bebas yang dapat bereaksi dengan senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, dapat berguna untuk pengujian aktivitas antioksidan komponen tertentu dalam suatu ekstrak. Karena adanya elektron yang tidak berpasangan, DPPH memberikan serapan kuat pada 517 nm. Ketika elektronnya menjadi berpasangan oleh keberadaan penangkap radikal bebas, maka absorbansinya menurun secara stokiometri sesuai jumlah elektron yang diambil. Keberadaan senyawa antioksidan dapat mengubah warna larutan DPPH dari ungu menjadi kuning (Dehpour, et al, 2009). Perubahan absorbansi akibat reaksi ini telah digunakan secara luas untuk menguji kemampuan beberapa molekul sebagai penangkap radikal bebas. Metode DPPH merupakan metode yang mudah, cepat dan sensitif untuk pengujian aktivitas antioksidan senyawa tertentu atau ekstrak tanaman (Koleva, et al, 2002 dan Prakash, et al, 2010).

Setiap molekul yang dapat menyumbangkan elektron atau hidrogen akan bereaksi dan memudarkan DPPH. Intensitas warna DPPH akan berubah dari ungu menjadi kuning oleh elektron yang berasal dari senyawa penangkap radikal bebas (Nihlati et al., 2011). DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil) merupakan radikal bebas, jadi metode DPPH digunakan secara luas untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron atau hidrogen (Prakash,2001).

Tabel 2.1. Tingkat kekuatan antioksidan dengan metode DPPH

Intensitas Nilai IC 50 (ppm)

Sangak aktif < 50

Aktif 50-100

Sedang 101-250

Lemah 250-500

(Sumber : Jun, et al., 2006) 9. Spektrofotometri Ultraviolet Visibel

(15)

Suatu senyawa dapat dideteksi dengan spektrofotometri adalah jika mempunyai gugus kromofor, yaitu merupakan semua gugus atau atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar tampak. Senyawa kompleks akan mempunyai serapan pada panjang gelombang yang lebih panjang karena energi radiasi yang dibutuhkan oleh senyawa tersebut lebih kecil dan akan terbaca pada panjang gelombang yang lebih panjang. Oleh karena itu, senyawa kompleks terbaca pada panjang gelombang sinar tampak (Gandjar & Rohman, 2007).

Prinsip penentuan spektrofotometri UV-Vis adalah aplikasi

hukum “Lambert-Beer” yang menyatakan bahwa intensitas yang

diteruskan oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tebal dan konsentrasi larutan (Sudjadi, 2007).

A = a.b.c

Keterangan : A = absorbansi sampel a = absorptivitas b = tebal kuvet

c = konsentrasi sampel

Dalam hukum Lamber-Beer berlaku syarat (Gandjar & Rohman, 2007) sebagai berikut :

1. Sinar yang digunakan dianggap monokromatis.

2. Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai penampang luas yang sama.

3. Senyawa yang menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung terhadap yang lain dalam larutan tersebut.

4. Tidak terjadi peristiwa fluorosensi atau fosforisensi. 5. Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan.

(16)

Spektrofotometri serapan adalah pengukuran serapan radiasi elektromagnetik panjang gelombang tertentu yang sempit, mendekati monokromatik yang diserap zat. Pengukuran serapan dapat dilakukan pada daerah ultraviolet (panjang gelombang 190-380 nm) atau pada daerah sinar tampak (panjang gelombang 380-780 nm). Meskipun spektrum pada daerah ultraviolet dan daerah cahaya tampak dari suatu zat yang tidak khas, tetapi sangat cocok untuk penetapan kuantitatif, dan untuk beberapa zat berguna untuk membantu identifikasi (Depkes RI, 1979).

Instrumen yang digunakan menurut Gandjar dan Rohman (2007) untuk mempelajari serapan atau emisi radiasi elektromagnetik sebagai

fungsi dari panjang gelombang disebut “spektrometer” atau

spektrofotometer. Komponen-komponen pokok dari spektrofotometer meliputi:

1. Sumber-sumber lampu

Lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm, sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten di gunakan untuk daerah visibel (pada panjang gelombang antara 350-900 nm).

2. Monokromator

Digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan intrumen melewati spektrum.

3. Optik-optik

(17)

spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.

4. Sel absorpsi (kuvet), pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV kita harus menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya pada daerah ini. Umumnya tebal kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder juga dapat digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang tertutup untuk pelarut organik. Sel yang baik adalah kuarsa dan gelas hasil leburan serta seragam keseluruhannya (Underwood, 2002).

(18)

Biji kopi hijau arabika diekstraksi

Metode Sokhletasi

Lulur krim ekstrak etanol biji kopi hijau arabika Antioksidan

Ekstrak kental yang mengandung senyawa fenolik

Uji sifat fisik Pengujian aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap DPPH

Lulur krim antioksidan yang memenuhi persyaratan

Pengujian aktivitas penangkapan radikal bebas terhadap DPPH ekstrak etanol biji kopi hijau arabika

C. KERANGKA KONSEP

Menggunakan

Menghasilkan

Yang berkhasiat sebagai

Diformulasi

Menghasilkan

Gambar 2.4. Kerangka Konsep

D. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Biji kopi hijau arabika dapat diformulasikan menjadi sediaan lulur krim yang memiliki persyaratan fisik yang baik.

Gambar

Gambar 2.1. Coffea arabica, L.
Gambar 2.2. Donasi proton dari antioksidan ke radikal DPPH (Mun’im et al., 2009)
Gambar 2.4. Kerangka Konsep

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat fisik dan aktivitas penangkapan radikal bebas dari lulur krim ekstrak etanol biji kopi hijau arabika

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

2.4 Tinjauan Ekstrak Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua