• Tidak ada hasil yang ditemukan

DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Peternakan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA

PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana

Program Studi Peternakan

Oleh :

DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM

(2)

DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA

PUBLIKASI ILMIAH Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana

program studi peternakan

Oleh :

DEDET SEPTIAN RAHA ANUGRAH B1D 211 055

FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS MATARAM

(3)

DETEKSI FASCIOLOSIS PADA SAPI BALI MENGGUNAKAN SALIVA SEBAGAI BAHAN UJI BIOLOGIS BERBASIS ELISA

Dedet Septian Raha Anugrah Fakultas Peternakan Universitas Mataram

Jl. Majapahit Mataram – Lombok (NTB) Tlp/Fax : (0370) 640592 Email: dedetseptian@gmail.com

ABSTRAK

Fasciolosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Fasciola gigantica dan Fasciola hepatica yang menyerang ternak ruminansia termasuk sapi Bali. Salah satu cara pencegahannya adalah melakukan deteksi dini pada ternak yang terinfeksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan saliva sebagai bahan uji biologis berbasis ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Feses, darah dan saliva dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali. Feses digunakan sebagai bahan uji pemeriksaan telur cacing sedangkan saliva dan serum digunakan untuk uji ELISA. Hasil uji sedimentasi menunjukkan bahwa 8,3% (1 dari 12) ternak terinfeksi Fasciolosis dengan jumlah telur per gram tinja (EPG). Uji ELISA menggunakan serum dan saliva dengan plate “In House” konsentrasi antigen ES 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel sebanyak 100 dan 500 kali. Hasil menunjukkan bahwa uji ELISA menggunakan serum adalah 100% terinfeksi Fasciolosis sedangkan uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi berkisar antara 16-58% dari berbagai tingkat konsentrasi antigen dan pengenceran. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan deteksi Fasciolosis dapat dideteksi menggunakan saliva dengan metode ELISA meskipun kurang sensitif dibandingkan dengan serum

Kata kunci : Sapi Bali, Fasciolosis, Saliva, ELISA

DETECTION OF FASCIOLOSIS IN BALI CATTLE USING SALIVA AS A BIOLOGICAL TEST BASED ON ELISA

ABSTRACT

(4)

results ranging between 16-58% from the various levels of antigen concentration and dilution. Based on the results of this study it can be concluded that

Fasciolosis could be detected using saliva though it less sensitive. Keywords:Bali Cattle, Fasciolosis, Saliva, ELISA

PENDAHULUAN

Sapi Bali merupakan bangsa sapi yang digunakan sebagai salah satu alternatif untuk pemenuhan kebutuhan protein hewani. Sulistyowati (2002) menegaskan bahwa sapi Bali merupakan ternak asli Indonesia yang dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah dengan kemampuan beradaptasi dengan suhu yang ekstrim serta mempunyai tingkat fertilitas yang tinggi.

Dari sekian banyak hambatan dalam peningkatan produktivitas sapi Bali yaitu adanya penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti cacing hati atau

Fasciolosis. Fasciolosis merupakan penyakit parasitik yang disebabkan oleh cacing trematoda yaitu Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica yang biasa menyerang ternak ruminansia (Boray, 2007). Di Indonesia prevalensi Fasciolosis

mencapai 90% sehingga menyebabkan kerugian yang cukup signifikan seperti penurunan produksi, pengafkiran hati daging, susu, wool, bahkan kematian (Mitchell, 2007).

Pencegahan yang biasa dilakukan dalam pengendalian Fasciolosis adalah melakukan deteksi sedini mungkin pada ternak yang teinfeksi. Pada umumnya deteksi yang dilakukan secara konvensional dengan pemeriksaan telur cacing dalam feses menggunakan metode sedimentasi. Namun dilaporkan oleh Boray (2007) bahwa metode tersebut tidak sensitif karena tidak dapat menemukan telur cacing sampai cacing dewasa untuk bertelur. Dengan demikian diperlukan metode lain yang lebih sensitif misalnya ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay) yang telah dikembangkan untuk mendiagnosis infestasi F. Hepatica pada sapi dan domba (Farrel et al., 1981)

(5)

ternak, membutuhkan proses yang lama untuk menjadi serum dan sebagainya sehingga diperlukan bahan alternatif penganti serum untuk diagnosa noninvasif seperti saliva.

Pada masa sekarang ini penggunaan saliva sebagai bahan deteksi telah banyak dilakukan yang dikarenakan saliva mengandung mineral, elektrolit, buffer, enzim dan inhibitor enzim, faktor pertumbuhan dan sitokinin, imunoglobulin, mucin, dan glikoprotein lainnya (Lawrence, 2002). Lawrence (2002) juga menambahkan bahwa saliva telah dieksplorasi untuk memonitoring kesehatan dan diagnosis dini suatu penyakit yang noninvasif.

Berdasarkan penjelasan di atas penelitian ini dilakukan untuk memanfaatkan saliva sebagai bahan uji biologis dalam upaya mendeteksi

Fasciolosis pada sapi Bali menggunakan metode ELISA.

MATERI DAN METODE

Peneltian ini menggunakan saliva, feses dan darah yang dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali dari Kelompok Ternak Ngiring Datu Kecamatan Gangga Kabupaten Lombok Utara. Seadngkan Pemeriksaan laboratorium dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi Fakultas Peternakan dan Laboratorium Imunobiologi Fakultas MIPA Universitas Mataram.

Koleksi sampel

Saliva dikoleksi langsung di dalam mulut ternak dengan menggunakan pipet disposeable. Pipet dimasukkan/diletakkan dibawah lidah sapi dan pipet ditekan agar saliva dapat terserap kemudian dimasukkan kedalam tabung falcon. Tabung falcon yang sudah terisi saliva dimasukkan ke dalam cool box setelah diberi kode dan cara yang sama juga dilakukan untuk sapi lainnya. Saliva yang sudah dikoleksi disentrifugasi menggunakan centrifuge ultra kemudian disimpan pada suhu -20 oC sampai saatnya digunakan.

(6)

selam 3 menit. Setelah diserifugasi serum dikoleksi dan dipindahkan kedalam tabung eppendorf dengan mikropipet untuk disimpan dibawah suhu - 20 0C sampai serum siap digunakan.

Feses dikoleksi dari 12 ekor sapi Bali langsung dari dalam rektum sapi dengan menggunakan sarung tangan. Tangan dimasukkan kedalam rektum sapi sampai mendapatkan fesesnya atau istilah lain feses di rogoh langsung kedalam rektum. Setalah feses dikoleksi, kemudian ditambahkan formalin sebanyak 2 ml disimpan di dalam penyimpanan sementara yang telah diberi kode sampel, setelah itu feses dibawa ke laboratotrium untuk disimpan di frezer sampai feses digunakan untuk uji sedimentasi.

Uji Sedimentasi

Feses ditimbang sebanyak 3 gram dimasukkan ke dalam botol sampel 50 ml dan ditambahkan air. Agar feses hancur campuran diaduk dengan batang pengaduk, kemudian larutan disaring dengan saringan 200 µm dan masukkan dalam tabung kerucut dan tambahkan air secukupnya hingga penuh, suspensi didiamkan selama 5 menit kemudian cairan bagian atas dibuang dan menyisakan filtrat kurang lebih 10 ml. Air ditambahkan pada filtrat dalam tabung kerucut hingga penuh dan didiamkan selama 5 menit kemudian buang lagi cairan bagian atas dan sisakan 5 ml. Filtrat dituangkan kedalam cawan petri dan tambahkan setetes methylen blue kedalam sisa pengendapan. Filtrat yang telah diaduk-aduk diambil dengan pipet Pasteur dan memasukkan kedalam counting chamber “universal withlock” , diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran 40-100 kali telur Fasciola berwarna kuning emas.

UJI ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay)

Uji ELISA dilakukan dengan mengikuti prosedur Sriasih et al. (2005). Sebelum memulai prosedur terlebih dahulu membuat denah untuk memudahkan pekerjaan. Plate ELISA (96 sumuran) dilapisi (coating) dengan 50 µl (konsentrasi 5 dan 50 µg/ ml) cairan ES dan di inkubasikan selama semalaman pada suhu 40C. Setelah inkubasi, cairan ES dibuang dan lubang-lubang sumuran dicuci 5 kali menggunakan PBS yang mengandung 0,05% Tween 20 sebanyak 200 µl. Pada tiap-tiap lubang kemudian ditambahkan blocking buffer (skim milk

(7)

kamar. Ulangi proses pencucian yang sudah dilakukan sebelumnya, kemudian ditambahkan 100 µl serum yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) dan saliva yang telah diencerkan (100 kali dan 500 kali) kemudian inkubasi pada suhu 37 0C selama 1 jam. Setelah dicuci, 100 µl rabbit anti-bovine IgG horse-radish peroxidase conjugate di tambahkan ke dalam lubang sumuran kemudian diinkubasikan selama 1 jam. Setelah inkubasi, buang cairan dalam sumuran, kemudian tambahkan 100 µl substrat (ABTS dalam 100 ml bufer sitrat) dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 0C. Terakhir ditambahkan 100 µl stop solution pada masing-masing dan selanjutnya dilakukan pengukuran nilai Optical Density (OD) dengan panjang gelombang 450 nm dengan menggunakan mesin ELISA reader.

Analisis Data

Data selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dengan melihat perubahan warna plate.Secara kuantitatif data diolah dan dianalisis menggunakan statistik sederhana (Mean ± 3SD) Jika nilai OD sampel lebih besar dari pada cut off value maka sampel dinyatakan positif Fasciolosis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Salah satu upaya untuk memerangi Fasciolosis adalah dengan melakukan pencegahan. Pencegahan yang biasa dilakukan adalah dengan mendeteksi keberadaan cacing dalam tubuh ternak melalui pemeriksaan telur cacing dalam feses ataupun deteksi antigen dan antibodi yang terbentuk setelah infeksi.

(8)

Gambar 1. Telur cacing F.gigantica

Gambar 1 menunjukkan penemuan telur cacing yang telah berhasil ditemukan pada feses sapi sebanyak 1 butir. Menurut Lyndal-Murphy (1990) jumlah tersebut setara dengan 100 telur di dalam tubuh berdasarkan perhitungan 2n x 50 dimana n adalah jumlah telur yang ditemui. Akan tetapi menurut Dixon (1964) jumlah cacing di dalam pembuluh-pembuluh empedu tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan jumlah telur dalam tinja.

Pemeriksaan telur cacing memiliki beberapa kelemahan seperti metode ini hanya dapat digunakan pada ternak yang sudah kronis dan terdapat cacing dewasa di dalam saluran empedunya (Suhardono et al. 1991). Metode ini tidak dapat mendeteksi infeksi masa prepaten (8-10 minggu setelah infeksi) (Estuningsih et al. 2004) dan kurang sensitif dikarenakan telur yang diproduksi sedikit tidak beraturan dapat mempengaruhi hasil deteksi (Boray, 2007).

Dengan demikian dibutuhkan metode yang lebih sensitif untuk mendeteksi Fasciolosis misalnya dengan mendeteksi antibodi dan antigen yang bersirkulasi dalam cairan tubuh ternak yang terinfeksi misalnya dengan metode ELISA. Antigen yang digunakan untuk melapisi plate adalah plate yang dibuat sendiri “In House” yang dilapisi dengan cairan ES (Eksretori/sekretori) dengan konsentrasi 5 dan 50 µg/ml dan pengenceran sampel serum, saliva, kontrol negatif dan kontrol positif adalah 100 dan 500 kali.

(9)

Hasil peneltian dinilai secara secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualtitatif plate ELISA dilihat dari perubahan warna (Gambar 2) ketika ditambahkan substrat dan stop solution.

a b

Gambar 2. a. Setelah Penambahan Substrat b. Setelah penambahan Stop solution

Hasil pengamatan pada plate menunjukkan perubahan warna yang signifikan ketika penambahan subtrat (Gambar 2.a) dan stop solution (Gambar 2.b). Awad et al. (2009) menyatakan bahwa perubahan warna yang terjadi setelah penambahan substrat akan menginduksi perubahan warna dari substratnya dan kemudian diukur oleh ELISA reader. Kresno (2001) menambahkan prinsip dasar reaksi ELISA adalah mengikat antibodi atau antigen yang akan dideteksi oleh antibodi yang telah dikonjugasi dengan enzim, enzim tersebut akan menghidrolisis substrat. Hidrolisis substrat ini akan menimbulkan perubahan warna dalam waktu tertentu dan dihentikan dengan menambahkan asam atau basa kuat untuk menghentikan reaksinya.

Sedangkan penilaian secara Kuantitatif berdasarkan nilai Optical Density

(OD) pada sampel uji, kontrol negatif dan kontrol positif. Hasil Pemeriksaan ELISA (OD450nm) dengan uji serum berbagai konsentrasi dan pengenceran

(10)

1 2

3 4

Gambar 3. Hasil pengukuran nilai OD serum. 1. ES 5 µg/ml + serum 100 x, 2. ES 5 µg/ml + serum 500 x, 3. ES 50 µg/ml + serum 100 x, 4. ES 50 µg/ml + serum 500 x

= Sampel Serum = Kontrol Positif = cut off value

Hasil pengukuran nilai OD berdasarkan uji ELISA menggunakaan antigen ES pada sampel serum menunjukkan 100% sampel positif karena nilai yang ditampakkan pada Gambar 3 berada di atas nilai batas ambang (cut off value) yang ditunjukkan dengan garis panjang horizontal

Hasil uji serologis menggunakan ELISA pada penelitian ini menunujukkan semua serum ternak positif terinfeksi dengan prevalensi adalah 100%. Hal menarik ditunjukkan oleh serum nomor 9 pada plate konsentrasi 5 µg/ml pengenceran 100 kali dengan nilai absorbansi dibawah batas ambang. Rendahnya nilai OD pada serum 9 ini dapat disebabkan “human error” peneliti dalam memasukkan serum ke plate dan besar kemungkinan sampel yang diimasukkan adalah saliva dikarenakan nilai ODnya sama seperti sampel saliva.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Estuningsih et al. (2004) menunjukkan bahwa diagnosa Fasciolosis pada sapi dengan uji serologis menggunakan ELISA memiliki sensitivitas 91%. Hasil ini menunjukkan bahwa cairan ES yang digunakan melapisi plate ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi Fasciolosis dan mempunyai sensitivitas 100%. Penelitian ini sejalan

(11)

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Malawati (2013) bahwa sensitivitas ELISA menggunakan cairan ES adalah 100 %.

Akurasi metode ELISA serum memungkinkan dapat diikuti oleh metode ELISA menggunakan cairan tubuh lainnya seperti saliva. Pada penelitian ini telah dikoleksi saliva untuk deteksi Fasciolosis dengan metode ELISA dengan prosedur yang sama seperti ELISA serum. Hasil pengukuran nilai OD saliva disajikan pada Gambar 4 dibawah ini:

(12)

Sedangkan pada konsentrasi antigen 50 µg/ml dengan pengenceran 100 kali terdapat 2 ternak (kode 2 dan 8) terindikasi terjangkit Fasciolosis. Akan tetapi hal menarik ditunjukkan oleh pembacaan hasil pada pengenceran 500 kali tidak ada ternak yang positif terinfeksi dikarenakan nilai OD dibawah batas ambang. Hal ini mengindikasi bahwa semakin tinggi konsentrasi antigen dan pengenceran saliva, tidak dapat terbaca oleh ELISA reader.

Melihat OD pada saliva yang bervariasi, hasil pembacaan oleh ELISA reader yang paling banyak diatas batas ambang adalah saliva dengan pengenceran 100 kali. Hal ini mengindikasi bahwa dengan pengenceran yang lebih tinggi, antibodi pada saliva tidak dapat berinteraksi dengan antigen ES, seperti yang dilaporkan oleh Handerson, (2013) jika saliva yang diencerkan pada kisaran 10-1 – 10-3 menyatakan hanya pada pengenceran 1:10 yang dapat mendeteksi CWD (Chronic Wasting Disease).

Selain pengaruh pengenceran, tingkat konsentrasi antigen dalam melapisi

plate juga mempengaruhi, karena pada konsentrasi 5 µg/ml saliva masih dapat mendeteksi Fasciolosis sedangkan pada konsentrasi yang lebih tinggi, OD saliva lebih rendah dari pada cutt off value walaupun ada 2 ternak positif terinfeksi dengan pengenceran 100 kali. Pengaruh konsentrasi antigen untuk melapisi plate

ELISA mempunyai dampak terhadap hasil pengukuran OD seperti yang dilaporkan oleh Stewart et al. (1990) yang menyatakan bahwa konsentrasi yang paling baik berada pada kisaran 1-10 µg/ml.

Hasil penelitian lain menggunakan saliva sebagai bahan uji untuk mendeteksi penyakit telah banyak. Menurut Brantzaeg (2007) menyatakan terdapat dua jenis antibodi yang ada dalam saliva yaitu immunoglobulin A dan G (IgA dan IgG). Kandungan IgG dalam saliva dapat mendeteksi antigen yang disebabkan oleh infeksi parasit cacing Taenia solium dan tidak hanya itu saliva juga dapat mendeteksi intracerebral pada pasien cysticercosis (Acosta, 1990).

(13)

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa semua ternak sampel adalah 100% positif Fasciolosis pada uji ELISA”In House”. Sedangkan uji ELISA menggunakan saliva menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu 16 -58% ternak yang dinyatakan positif. Hasil ini mengindikasi bahwa uji biologis menggunkan saliva dapat digunakan untuk deteksi Fasciolosis walaupun kurang sensitif seperti uji serologis.

DAFTAR PUSTAKA

Acosta, E. 1990. “Antibodies to the metacestode of Taenia solium in the saliva from patients with neurocysticercosis,” Journal of Clinical Laboratory Analysis, vol. 4, no. 2, pp. 90–94.

Boray JC. 2007. Liver fluke disease in sheep and cattle. Prime Fact 446: 1–10. Brandtzaeg, P. 2007. “Do salivary antibodies reliably reflect both mucosal and

systemic immunity?Annals of the New York Academy of Sciences, vol. 1098, pp. 288–311.

Burgess, Graham W. 1988. Elisa Technology In Diagnosis and Research. James Cook University of North Queensland.

Dixon, K.F. 1964. The relative suitability of sheep and cattle as host for liver fluke Fasciola hepatica. J. Helmint. 38:203-212.

Estuningsih SE, Widjajanti S, Adiwinata G. 2004. Perbandingan antara uji ELISA-Antibodi dan pemeriksaan telur cacing untuk mendeteksi infeksi Fasciola gigantica pada sapi. JITV. 9:55-60.

Farrell, C.J., D.T. Shen and R.B. Webcott. 1981. An enzyme-linked immunosorbent assay for diagnosis of Fasciola hepatica infection in cattle. Am. J. Vet. Res. 42: 237-240.

Kooshan, M., G.R. Hashemi and A. Naghibi. 2010. Use of somatic and secretory-Excretory antigen of Fasciolosis hepatica in diagnosis of sheep by ELISA. american-eurasian J. Agric. & Environ, Sci. 7 (2): 170-175

Kresno SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Lawrence HP. Salivary markers of systemic disease: Noninvasif diagnosis of disease and monitoring of general health. J Can Dent Assoc, 2002; 68(3): 170-4.

Malawati, I. 2013. Sensitivitas dan Spesifisitas ELISA menggunakan komponen cairan eksretory dan sekretorycacing Fasciola gigantica untuk deteksi Fasciolosis pada sapi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Universitas Mataram. Mataram

Mitchell GBB. 2007. Liver Fluke. Edisi ke-4. London: Blackwell.

(14)

Sriasih, M., E. Yulianti, Khalid. 2005. Penggunaan Hasil Ekskresi/Sekresi Fasciola gigantica sebagai antigen untuk deteksi Fasciolosis pada sapi.

Laporan Penelitian. Hibah UPT MIPA-UNRAM.

Suhardono. 1997 . Epidemiology and control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in ongole cattle in West Java. Ph.D Thesis . James Cook University of North Queensland, Australia.

Sulityowati A. 2002. Upaya Mendongkrak Kembali Populasi Sapi Bali.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0606/16/ekor/2656300.html (27

januari 2015).

Gambar

Gambar 1. Telur cacing F.gigantica
Gambar 2. a. Setelah Penambahan Substrat b. Setelah penambahan Stop
Gambar 3. Hasil pengukuran nilai OD serum. 1. ES 5 µg/ml + serum 100 x, 2. ES 5 µg/ml +
Gambar 4.  Hasil pengukuran nilai OD saliva. 1. ES 5 µg/ml + saliva 100 x, 2. ES 5 µg/ml +

Referensi

Dokumen terkait

Opetushallituksen lausunnossa kannatetaan lakiluonnoksen tavoitteita siirtää toiminnan painopistettä yhteisölliseen ja ennaltaehkäisevään työskentelyyn sekä havaita lasten

Tanggung jawab hukum dokter dalam malpraktik administrasi berupa pelanggaran terhadap ketentuan administrasi dalam pelaksanaan praktik kedokteran. Pelanggaran

dimiliki, membuat siswa tidak ada waktu untuk bermain, karena guru senantiasa mengontrol setiap gerakan yang dilakukan oleh siswa dengan jarak istirahat hanya 1

Penelitian ini fokus pada aspek etika dalam Professional Judgment yang muncul sebagai konsekuensi perubahan dari Rule Based menjadi Priciple Based dalam

Masa kerja tidak memiliki hubungan (p=0,05) dengan kejadian penyakit ISPA pada pekerja tambang kapur di Kelurahan Buliide Kecamatan Kota Barat Kota Gorontalo

Bab ini merupakan pembahasan mengenai implementasi perangkat lunak untuk menerapkan dynamic folksonomy dan pengujian terhadap perangkat lunak yang telah diimplementasikan..

a) Bahan inti kedap air dianggap homogen dan mempunyai kadar pori yang konstan. Hal ini akan berpengaruh terhadap penggunaan nilai kadar pori dan hydraulic conductivity pada

Pada penelitian ini dikembangkan suatu model dan algoritma dari permasalahan penjadwalan kapal tanker dengan mempertimbangkan batasan kompatibilitas dari