20
A. Akad Dalam Pembiayaan 1. Pengertian Akad
Kata akad berasal dari bahasa Arab al-„aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara termologi fiqh, akad didefinisikan dengan :
“pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) seseuai dengan kehendak syariat yang
berpengaruh kepada objek perikatan”1
2. Rukun Akad
Rukun-rukun akad sebagai berikut :
a. „Aqid, adalah orang yang berakad, terkadang masing-masing pihak
terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras dipasar biasanya masing-masing pihak satu orang. Ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang memiliki hal („aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak.
1
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqih Muamalat, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 50-51.
b. Ma‟qud „alaih, ialah benda yang diakadkan, seperti benda-benda yang dijual dalam akad jual beli, dalam akad hibah (pemberian), gadai, utang yang dijamin seseorang dalam akad kafalah.
c. Maudhu‟ al-„aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok hibah yaitu memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya tanpa pengganti („iwadh). Tujuan akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad
i‟arah yaitu memberikan manfaat dari seseorang kepada yang lain
tanpa ada pengganti.
d. Shigat al-„aqd ialah ijab kabul. Ijab ialah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesuatu dengan yang lain sehingga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu terkadang tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui pos wesel dan pembello menerima majalah tersebut dari petugas pos.2
2
3. Syarat-Syarat Akad
Setiap pembentuk akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam :
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad, syarat khusus ini juga sebagai idhafi (tambahan) yang harus ada disamping syarat-syarat umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad :
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli), maka akad orang tidak cakap (orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros dan lainnya) akadnya tidak sah. b. Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukumnya.
c. Akad itu diijinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang.
d. Akad bukan jenis akad yang dilarang, seperti jual-beli mulasamah. e. Akad dapat memberikan faedah, maka tidaklah sah apabila akad rahn
f. Ijab harus berjalan terus, maka ijab tidak sah apabila ijab tersebut dicabut (dibatalkan) sebelum adanya qabul.
g. Ijab dan qabul harus disambung, jika seseorang melakukan ijab dan berpisah sebelum terjadinya qabul, maka ijab yang demikian dianggap tidak sah (batal).3
4. Sifat-Sifat Akad
Segala bentuk tasharuf (aktivitas hukum) termasuk akad memiliki dua keadaan umum.
a) Akad Tanpa Syarat (Akad Munjiz)
Akad Munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang, tanpa memberi batasan dengan suatu kaidah atau tanpa menetapkan suatu syarat. Akad seperti ini dihargai syara’ sehingga menimbulkan dampak hukum. Contoh, seseorang berkata “Saya membeli rumah kepadamu” Lalu dikabulkan oleh seorang lagi, maka berwujudlah akad, serta berakibat pada hukum waktu itu juga, yakni pembeli memiliki rumah dan penjual memiliki uang.
b) Akad Bersyarat (Akad Ghair Munjiz)
Akad Ghair Munjiz adalah akad yang diucapkan seseorang dab dikaitkan dengan sesuatu, yakni apabila syarat atau kaitan itu tidak ada, akad pun tidak jadi, baik dikaitkan dengan wujud sesuatu tersebut ditangguhkan pelaksanaannya.
3
Setiap pembentuk aqad atau akad mempunyai syarat yang ditentukan syara’ yang wajib disempurnakan, syarat-syarat terjadinya akad ada dua macam.
a. Syarat-syarat yang bersifat umum, yaitu syarat-syarat yang wajib sempurna wujud dalam berbagai akad.
b. Syarat-syarat yang bersifat khusus, yaitu syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat khusus ini bisa juga disebut syarat idhafi (tambahan) yang harus ada di samping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad.
1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada dibawah pengampuan (mahjur) karena boros atau lainnya.
2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya
3. Akad itu diizinkan oleh syara’, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan aqid yang memiliki barang
4. Janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara’, seperti jual beli mulasamah
5. Akad dapat memberikan faidah sehingga tidaklah sah bila rahn dianggap sebagai imbangan amanah
6. Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadinya kabul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum kabul, maka batallah ijabnya
Ijab dan qabul mesti bersambung sehingga bila seseorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya kabul, maka ijab tersebut menjadi batal.4
5. Akibat Dan Hukum Akad
Menurut ulama fiqh, setiap akad ini mempunyai akinat hukum, yaitu tercapainya sasaran yang ingin dicapai sejak semula, seperti pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli dan akad bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berakad, tidak boleh dibatalkan kecuali desebabkan hal-hal yang dibenarkan syara’, seperti terhadap cacat pada obyek akad atau akad itu tidak memenuhi salah satu rukun atau syarat akad.5
4
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 43-51.
5
6. Macam-Macam Akad
Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan dijelaskan macam-macam akad.
a) ‘Aqad Munjiz, ialah akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad
b) ‘Aqad Mu’alaq, ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
c) ‘Aqad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.6
6
Sohari Sahrani dan Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 47.
7. Dampak Akad
Setiap akad dipastikan memiliki dua dampak, yaitu umum dan khusus.
a) Dampak Khusus
Dampak khusus adalah hukum akad, yakni dampak asli dalam pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad seperti pemindahan kepemilikan dalam jual-beli, hibah, wakaf, upah, dan lain-lain
b) Dampak Umum
Segala sesuatu yang mengiringi setiap atau sebagian besar akad, baik dari segi hukum maupun hasil.7
8. Akhir Akad
Akad dapat berakhir dengan pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan).
Akad Habis Dengan Pembatalan
Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya seperti pada khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang, seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama 5 bulan, tetapi sebelum sampai lima bulan telah dibatalkan.
Pada akad ghair lazim, yang kedua pihak dapat membatalkan akad, pembatalan ini sangat jelas, seperti pada penitipan barang
7
perwakilan, dan lain-lain, atau yang ghair lazim pada satu pihak dan lazim pada pihak lainnya, seperti gadai. Orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barang.
Adapun pembatalan pada akad lazim, terdapat dalam beberapa hal berikut :
a. Ketika akad rusak b. Adanya khiyar c. Pembatalan akad
d. Tidak mungkin melaksanakan akad e. Masa akad berakhir8
9. Hikmah Akad
Diadakannya akad dalam muamalah antar sesama manusia tentu mempunyai hikmah, antara lain :
a. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebh di dalam bertransaksi atau memiliki sesuatu
b. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan sesuatu ikatan perjanjian, karena telah diatur secara syar‟i
c. Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak menggugat atau memilikinya.9
8
Ibid., hlm, 70.
9
B. Akad Murabahah
1. Pengertian Akad Murabahah
Bai‟ al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam bai‟ al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya.
Bai‟ al-murabahah dapat dilakukan untuk pembelian secara
pemesanan dan biasanya disebut sebagai murabahah kepada pemesan
pembelian (KPP). Dalam kitab al-Umum, Imam Syafi’i menamai
transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.10
Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok
barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
Pembiayaan murabahah adalah produk penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan prinsip Murabahah dalam rangka pembelian barang kebutuhan modal kerja, barang dagangan, peralatan usaha, tanah, rumah, mobil, motor, sarana dan prasarana kerja, serta kebutuhan alat-alat investasi yang produktif.
Pembiayaan Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah margin keuntungan yang disepakati.
Pembiayaan Murabahah terdiri dari 2, yaitu : a. Pembiayaan Murabahah Umum
b. Pembiayaan Murabahah Kendaraan
10
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 102.
2. Dasar Hukum Akad Murabahah a. Al-Qur’an
...
...“...Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba....”
(al-Baqarah:275)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An-Nissa’ :29)
b. Al-Hadits
Dari Suhaib ar-Rumi r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Tiga hal di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung
untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual.” (HR Ibnu Majah)
c. Ijma
Para sahabat Nabi yang mengizinkan transaksi murabahah yang dinarasikan oleh Ibn Mas’ud dan dilaporkan oleh Al-Kasani bahwa “tidak ada rugi nya untuk memberitahukan harga pokok dan laba dari transaksi jual beli:
d. Dewan Syariah Nasional
Dewan Syariah Nasional (DSN) adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia yang bertugas dan memiliki wewenang untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha bank melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dimana DSN juga berfungsi memberikan kejelasan atas kinerja lembaga keuangan syariah agar betul-betul berjalan sesuai dengan prinsip syariah.
Fatwa-fatwa DSN tentang Murabahah antara lain :
1) Fatwa DSN : 04/ DSN-MUI / IV / 2000 tentang ketentuan murabahah
2) Fatwa DSN : 13 / DSN-MUI / IX / 2000 tentang ketentuan uang muka dalam murabahah
3) Fatwa DSN : 16 / DSN-MUI / IX / 2000 tentang ketentuan diskon murabahah
4) Fatwa DSN : 17 / DSN-MUI / XI / 2000 tentang ketentuan sanksi atau denda
5) Fatwa DSN : 23 / DSN-MUI / III / 2002 tentang potongan pelunasan
3. Rukun Dan Syarat Murabahah
a. Rukun Murabahah
1) Bai : Penjual (pihak yang memiliki barang)
2) Musytari : Pembeli
3) Mabi : Barang yang akan diperjual belikan
4) Tsaman : Harga
5) Ijab Qabul
b. Syarat Murabahah
1) Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
2) Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan 3) Kontrak harus bebas dari riba
4) Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang yang sesudah pembelian
5) Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
Secara prinsip, jika syarat dalam (a), (d), atau (e) tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan
1) Melanjutkan pembelian seperti apa adanya
2) Kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan atas barang yang dijual
3) Membatalkan kontrak
4. Manfaat Murabahah
Sesuai dengan sifat bisnis (tijarah), transaksi bai‟ al-murabahah memiliki beberapa manfaat, demikian juga resiko yang harus diantisipasi
Bai‟ al-murabahah memberikan banyak manfaat kepada bank
syariah. Salah satunya adalah adanya keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah. Selain itu, sistem bai‟ al-murabahah juga sangat sederhana. Hal tersebut memudahkan penanganan administrasinya di bank syariah.
Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut :
a. Default atau kelalaian, nasabah sengaja tidak membayar angsuran
b. Fluktuasi harga komperatif, ini terjadi bila harga suatu barang dipasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual tersebut
c. Penolakan nasabah, barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena berbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia
pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai resiko untuk menjualnya dengan pihak lain.
d. Dijual, karena bai‟ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apapun terhadap aset miliknya tersebut untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko untuk default akan besar.
5. Tujuan Murabahah
Murabahah tidak bisa digunakan sebagai moda pembiayaan (mode
of financing) selain untuk tujuan nasabah memperoleh dana guna
membeli barang/komoditas yang diperlukannya, karena murabahah mensyaratkan jual-beli komoditas secara nyata (a real sale of some
commodities), bukan semata-mata untuk pemberian pinjaman11
11
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Syariah Produk-produk dan Aspek-aspek Hukumnya, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2004), hlm. 190-205.
6. Skema Dan Contoh Pembiayaan Murabahah
Secara umum, aplikasi perbankan dari bai‟ al-murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini.
Gambar. 2.1
SKEMA BAI’ AL-MURABAHAH
Keterangan :
1. Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) JASA Layanan Syariah Bulakamba dan anggota melakukan negosiasi untuk melakukan transaksi pembiayaan murabahah
2. Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) JASA Layanan Syariah Bulakamba melakukan pemesanan barang kepada supplier sesuai yang dikehendaki anggota. Dalam pembelian barang ini, Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) JASA Layanan Syariah Bulakamba dapat
Negosiasi & Persyaratan
BANK NASABAH SUPLIER PENJUAL Kirim Terima barang &dokumentasi Bayar
Akad Jual Beli
Beli Barang 6 5 4 3 2 1
mewakilkan secara tertulis kepada anggota dalam bentuk akad
wakalah (Kuasa)
3. Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) JASA Layanan Syariah Bulakamba menjual barang kepada anggota berdasarkan pada harga yang disepakati bersama
4. Barang yang dibeli dikirimkan ke anggota
5. Anggota menerima barang dan dokumen-dokumen atas barang tersebut
6. Anggota melakukan pembayaran secara angsuran / sekaligus kepada Koperasi Simpan Pinjam (KOSPIN) JASA Layanan Syariah Bulakamba