• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN

SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF

TASAWUF

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd)

Oleh:

NOVIA HANDAYANI NIM: 111-12-057

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO

Segala sesuatu ada zakatnya (penyuciannya), sedangkan zakat jiwa adalah berpuasa. Dan berpuasa merupakan separuh kesabaran.

(HR. IbnuMajjah)

ىِف ىَلاَعَت ِالله ِءاَقِلِب ٌدْوُعْوَم َوُهَو َنْوُمِئاَّصلا َّلَِا ُهُلُخْدَي َلَ ُناَّيَّرلا ُهَل ُلاَقُي ٌباَب ِةَّنَجْلِل

ِهِمْوَص ِءاَزَج

Di surga ada pintu bernama Rayyan . Hanya orang-orang yang berpuasa saja yang dapat masuk pintu itu. Selain orang yang berpuasa tidak ada yang dapat

memasukinya.

(7)

vii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah dengan izin Allah SWT skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini saya persembahkan untuk:

1. Kedua orang tuaku Moh Batal Aidi dan Umi Hanik yang tidak pernah lelah memberikan dukungan dan doa kepada penulis sehingga saat ini penulis dapat merasakan kesempatan mengenyam pendidikan yang tidak bias dirasakan semua orang, penulis persembahkan skripsi ini sebagai bukti ketulusan dan bakti penulis.

2. Kakek nenekku Damsuri Jamal dan Siti Romlah yang tak henti hentinya mengirimkan doa untuk penulis, serta adik-adikku Selma Aulia dan Muhammad Hildan R yang selalu memberikan doa, semangat, dan tawa kebahagiaan dalam mengarungi perjalanan hidup.

3. Akhi Ikhsan Dany F yang senantiasa memberikan support, doa serta bantuan dalam bentuk apapun.

4. Sahabat kampusku Eryn Febriana, Ika Tyas Andini, Fajri Rahmatul, Nur Latifah, Risky Septia, yang telah setia menemani dan menjalin persahabatan yang utuh.

5. Teman-temanku pendidik di MINU Siti Hajar yang selalu memberikan semangat , motivasi dan doa, serta ustadh Zafir dan ustadhah Evi yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mencari pengalaman dalam mengabdi di MINU Siti Hajar.

(8)

viii

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafaatnya di hari kiamat kelak. Puji syukur penulis panjatkan, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas akhir skripsi dengan judul “PENGEMBANGAN

NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA

PERSPEKTIF TASAWUF.”

Alhamdulillah proses perjuangan dalam penyusunan skripsi ini telah penulis lalui dengan baik. Tidak aka penggambaran lain yang dapat penulis utarakan selain ucapan syukur yang tiada tara kepada Allah SWT kerena hanya atas ridho dan pertolongan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik. Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tulus dan ikhlas kepada:

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd.

2. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Bapak Suwardi, M.Pd.

(10)

x

5. Dosen pembimbing Bapak Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah ikhlas mencurahkan pikiran dan tenaganya serta pengorbanan waktunya dalam upaya membimbing penulis skripsi ini. 6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Keluargaku yang telah mencurahkan pengorbanan dan doa restu yang tiada henti bagi keberhasilan studi penulis.

8. Semua pihak yang ikut serta memberikan bantuan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini.

Akhirnya penulishanya bias berdoa, semoga amal dan kebaikan semua pihak dapat diterima oleh Allah sebagai amal sholeh dan mendapatkan balasan sebaik-baiknya.

Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini melainkan Dia yang Maha Sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kepada semua pihak untuk memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga tulisan ini mempunyai nilai guna dan manfaat bagi penulis khusunya dan bagi pembaca umumnya.

Salatiga, 26 September 2016 Penulis

(11)

xi

ABSTRAK

Handayani, Novia. 2016. Pengembangan Nilai-Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.Pembimbing: Drs. Ahmad Sulthoni, M.Pd.

Kata kunci:Nilai, Kecerdasan Spiritual, Puasa, dan Tasawuf

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan nilai-nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah konsep kecerdasan spiritual?, 2) Bagaimanakah konsep puasa perspektif tasawuf?, 3) Bagaimanakan pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf? Penelitianinimenggunakanmetodelibrary research ya itu penelitian dimana objek penelitiannya digali dengan cara membaca, memahami serta menelaah buku-buku, kitab-kitab tafsir serta sumber-sumber yang berkenaan dengan permasalahan yang ada. Adapun teknik pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variable berupa buku, catatan, surat kabar, note tulen, agenda dan lain-lain. Sedangkan analisis datanya menggunakan metode deskriptif dan metode induktif.

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………...... i

HALAMAN BERLOGO ………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……….. iii

HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN………..... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ……….. v

MOTTO ………...... vi

PERSEMBAHAN………... vii

KATA PENGANTAR ………... ix

ABSTRAK ……….. xi

DAFTAR ISI ……….. xii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Rumusan Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 12

(13)

xiii

E. Definisi Operasional 13

F. Metode Penelitian 15

G. Sistematika Penelitian 18

BAB II KECERDASAN SPIRITUAL

A.Kecerdasan Spiritual 20

1. Pengertian Kecerdasan Spiritual 20

2. Indikator Kecerdasan Spiritual 22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Spiritual 27 4. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual 30

5. Manfaat Kecerdasan Spiritual 39

BAB III IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF

A.Ibadah Puasa 40

1. Pengertian Ibadah 40

2. Macam-macam Ibadah 41

3. Tujuan Ibadah 43

4. Pengertian Puasa 44

a. Puasa dalam Aspek Fiqih 44

b. Puasa dalam Aspek Tasawuf 47

B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf 54

C.Dimensi Puasa 56

(14)

xiv

2. Dimensi Moral 59

3. Dimensi Sosial 60

4. Dimensi Jasmani 61

D.Syarat, Rukun, Sunah, Dan Hal yang Membatalkan Puasa dalam Aspek

Fiqih 63

1. Syarat Puasa 63

2. Rukun Puasa 64

3. Sunah Puasa 66

4. Hal yang Membatalkan 68

E. Macam-macam Puasa 69

F. Hikmah dan Rahasia Puasa 72

BAB IV PENGEMBANGAN NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF

A.Nilai Kecerdasan Spiritual dalam Puasa 76

B. Indikator Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif Tasawuf 82

1. Memiliki Visi 83

2. Autentik 84

3. Memiliki Kesadaran yang Tinggi 85

4. Merasakan Kehadiran Allah 88

5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia

tanpa kebencian 90

6. Memiliki Kualitas Sabar 92

(15)

xv BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan 98

1. Konsep Kecerdasan Spiritual 98

2. Konsep Puasa Perspektif Tasawuf 99

3. Pengembangan Kecerdasan Spiritual dalam Ibadah Puasa Perspektif

Tasawuf 99

B. Saran-saran 100

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

1. Daftar Riwayat Hidup 2. Daftar SKK

(16)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia yang diciptakan Allah dengan bekal berupa potensi. Potensi inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Allah memberikan potensi kepada manusia meliputi beberapa kategori, diantaranya adalah potensi yang berkaitan dengan kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), dan kecerdasan emosional spiritual (ESQ). Potensi berupa kecerdasan intelektual inilah yang menjadikan manusia memahami akan suatu ilmu pengetahuan, atau singkatnya kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang berkaitan dengan aspek kognitif.

(17)

2

pada hati nurani. Kemudian mampu menanggapi bisikan nurani kita tersebut dengan memberdayakan dan mengarahkan seluruh potensi qalbu. Tentu saja tidak cukup hanya dengan mendengarkan hati nurani, tetapi adalah menyatakan bisikan tersebut dengan keyakinan. Karena, nurani tidak bisa kita bohongi, kecuali kita menyaksikan hati yang terasa pedih bertambah sakit karena sikap penghianatan yang kita lakukan. Seorang yang cerdas ruhaniah itu akan menunjukkan rasa tanggung jawabnya dengan terus-menerus berorientasi pada kebajikan. Kecerdasan ruhaniah sangat erat kaitannya dengan cara dirinya mempertahankan prinsip lalu bertanggung jawab untuk melaksanakan prinsip-prinsipnya itu dengan tetap menjaga keseimbangan dan melahirkan nilai manfaat yang berkesuaian. Mereka yang cenderung memiliki kecerdasan spiritual rendah akan cenderung mudah putus asa, tidak bersemangat, dan akhirnya akan mengahiri keputus asaan tersebut dengan cara yang instan, tanpa lebih jauh berfikir tentang akibat dari perbuatannya tersebut.

(18)

3

Artinya: Rosulullah bersabda “Islam adalah menyaksikan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya kecuali Allah

dan sesungguhnyaَ Muhammad adalah pesuruh Allah dan

melaksanakan sholat dan menunaikan zakat dan melakukan puasa pada bulan Ramadhan serta berhaji ke Baitullah jika

mampu menuju jalannya (HR Bukhari Muslim).”

Berkaitan dengan hadits diatas jelas bahwa disebut sebagai orang Islam apabila sudah membaiat diri untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, serta mempercayai Rosul Muhammad sebagai utusanNya (syahadat). Kemudian menunaikan shalat, dalam hal ini shalat yang termasuk dalam hadits diatas adalah shalat 5 waktu atau shalat

maktubah yakni (isya‟, subuh, dhuhur, asar dan maghrib) dan hukumnya

adalah wajib bagi setiap hamba Allah yang telah bersyahadat dan baligh. Sedangkan untuk menyempurnakan pahalanya seseorang dapat melaksanakan shalat-shalat sunah seperti shalat tahajud, shalat duha, shalat witir, shalat hajat dll.

(19)

4

Kemudian yang keempat adalah puasa, puasa pada hakekatnya adalah ibadah yang amat tinggi kedudukannya di sisi Allah, karena ibadah ini merupakan penerapan sifat ihsan seorang hamba. Kemudian rukun Islam yang terakhir adalah menunaikan haji, dan rukun Islam yang kelima ini diwajibkan bagi hamba yang mampu. Apabila kelima aspek ibadah tersebut telah dijalankan dengan sempurna dalam artian tidak lain hanya untuk mencari keridhoan Allah serta dijalankan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan, syarat dan rukun yang menjadi batasan maka akan tampak pada diri seorang hamba kedekatan dengan Tuhannya.

Sejalan dengan eksistensi manusia yang diciptakan oleh Allah swt. tak lain adalah untuk mengabdikan diri atau beribadah kepada Allah Swt. sebagaimana diterangkan dalam Q.S. Az-Zariyat ayat 56 :

جٍََٗ

Artinya: ”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka mengabdi kepada-Ku”

(20)

5

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yangmenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

Sedangkan jalan yang dapat dilakukan sebagai bukti pengabdian diri kepada Allah Swt. adalah dengan melaksanakan salah satu rukun Islam yang telah diuraikan diatas, diantaranya adalah ibadah puasa, sebagaimana dijelaskan diatas puasa merupakan ibadah yang sifatnya rahasia. Sebagaimana Husein Bahreisj (1992:206) menjelaskan bahwa puasa merupakan satu rahasia pribadi antara hamba dengan Tuhannya. Kembali mengacu pada pengertian sebelumnya bahwa kecerdasan spiritual berhubungan dengan perjalanan rohani manusia. Adapun pengembangan kecerdasan ini dapat dilakukan dengan media satu diantaranya adalah puasa. Karena puasa merupakan bagian dari ibadah yang dapat menghubungkan diri seorang hamba dengan Tuhannya. Apabila seseorang itu berpuasa dengan sebenar-benarnya maka ia akan mendapatkan petunjuk Allah akibat taat yang dialaksanakan. Dalam puasa itu tidak diperlukan seorang pengawas, sebab puasa kaitannya dengan sifat ihsan.

Rosulullah bersabda yang artinya: ”ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seolah-lah engkau melihat-Nya jika engkau tidak dapat

melihat-Nya maka rasakan bahawa Allah melihatmu”.

(21)

6

Islam karena Allah Ta‟ala telah berfirman dalam apa yang diceritakan oleh

Nabi saw:

َِٙزْجَثَجََّثََِْٗٚىََُِّّٔجَفًَِجَِّٞصىثَ َّلِْثٍَفْؼِظٍَزَةَآَِِؼْذَصََٚىِثَجَِٖىجَغٍَْثٍَشْشَؼِدٍَزََْضَحَُّوُم

َِِٔد

Yang artinya: “Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan aku membalasnya” (H.R Al Bukhari Muslim).

Allah menyempurnakan pahala orang yang berpuasa secara sempurna dan membalasnya dengan balasan yang tak terkira, maka tidak masuk dibawah dugaan dan perkiraan. Dan pantas dengan keadaan demikian itu karena puasa hanya untuk-Nya dan dimuliakan dengan penisbatan kepada-Nya meskipun seluruh ibadah itu baginya, sebagaimana

dimuliakan Baitullah (Ka‟bah) dengan menisbatkan kepada diriNya.

Sedangkan seluruh bumi ini milikNya karena dua makna yaitu (Al-Gozhali, 1982:89):

1. Bahwasanya puasa itu mencegah dan meninggalkan. Puasa itu sendiri rahasia yang padanya tidak ada amal yang dipersaksikan. Seluruh amal dan ketaatan itu disaksikan dan dilihat oleh makhluk sedangkan puasa hanya dilihat oleh Allah Swt, karena puasa itu amal didalam batin dengan semata-mata kesabaran.

(22)

7

yang artinya : “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam (manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalanya dengan lapar”.

Dan akan datang keutamaan lapar didalam kitab “Rakus terhadap

makanan dan pengobatannya” dari Rubu‟ muhlikat (hal-hal yang

membinasakan amal) sebagaimana telah dikutip oleh Ismail dalam tarjamah Imam al-Ghozali (1982:90). Ketika puasa secara khusus itu mencegah Syaitan dan menutup jalan-jalan yang ditempuhnya dan menyempitkan tempat-tempat jalannya, maka puasa itu berhak mendapat kekhususan dengan dinisbatkan kepada Allah Swt. Syahwat merupakan tempat permainan syaitan, maka selama syahwat itu subur maka kerugian mereka tidak akan pernah terputus, dan selama mereka ragu-ragu maka tidak terbuka bagi hamba itu akan kekuasaan Allah Swt dan ia terhalang dari bertemu denganNya.

Dari segi ini, puasa merupakan pintu ibadah dan perisai. Dijelaskan oleh Nasruddin Razak (1996:206) bahwa puasa yang dilakukan dengan sebenar-benarnya puasa adalah suatu latihan mental dan fisik mendidik manusia berakhlak mulia, menciptakan insan berwatak, dengan demikian menciptakan kesehatan rohani. Dari buku fiqih karangan Wahbah al-Zuhayly (1996:84-85) menjelaskan pengertian puasa secara

syara‟, bahawasannya puasa berarti menahan diri dari hal-hal yang

(23)

8

matahari. Yang berarti secara fiqih puasa diartikan secara praktik saja dengan memperhatiakn rukun, syarat, sunah dan hal-hal yang perlu diperhatikan supaya puasa tidak batal.

Sedangkan kaitannya dengan tasawuf imam Al-Gazhali (1982:98) membagi tingkatan puasa menjadi tiga yakni puasa umum, puasa khusus dan puasa khususul khusus. Adapun pengertian puasa umum adalah menahan perut dan kemaluan dari menunaikan kebutuhan sebagaimana hal ini berkaitan dengan fiqih. Adapun puasa khusus adalah menahan pandangan penglihatan, lidah, tangan, kaki, dan seluruh anggota badan dari dosa-dosa. Adapun puasa khususul khusus adalah puasa hati dari cita-cita yang rendah dan fikiran-fikiran duniawi, dan mencegah hati dari apa yang selain Allah Swt. secara keseluruhan, puasa inilah tingkat para nabi, shiddiqqien dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Jika diringkas pengertian puasa secara tasawuf berarti puasa yang dapat mengarahkan hati seseorang menuju Allah, serta pensucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak ada lagi baginya dunia yang menarik selain untuk beribadah mencari ridho dari Allah Swt. Jadi secara fiqih puasa berorientasi kepada praktek fisik dan secara tasawuf puasa berorientasi pada pensucian batin dari segala sesuatu yang mengarah pada selain Allah. Allah pun berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 183 tentang ibadah puasa, yang bunyinya:

(24)

9

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

Dari ayat diatas nampak jelas bahwa ibadah puasa merupakan salah satu ibadah yang diwajibkan oleh Allah untuk hambaNya dengan tujuan bagi seorang hamba untuk dapat mencapai derajat ketaqwaan. Nasruddin Razak (1996:204) menjelaskan bahwa taqwa adalah suatu sikap mental yang tumbuh atas dasar jiwa tauhid dan berkembang dengan ibadah-ibadah yang dilakukan kepada Allah Swt. jadi taqwa adalah buah dari ibadah. Akan tetapi derajat ketaqwaan dapat diperoleh seorang hamba apabila seseorang yang menjalankan puasa dengan memperhatikan hal-hal yang menjadikan sempurna puasanya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang sifatnya makruh bahkan haram dilakukan ketika puasa. Sehingga dengan puasa yang sempurna, seseorang akan dapat mencapai derajat ketakwaan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

جََُّٖٝؤَٰٓ َٝ

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

(25)

10

sesungguhnya tidak ada indikasi yang dapat membedakan ciri-ciri orang yang bertaqwa dan tidak, karena yang dapat menilai hanyalah Allah Swt. Karena nilai ketaqwaan letaknya adalah di dalam hati manusia, kemudian di tunjukkan melalui sikap ibadah yang dikerjakan. Melalui ketaqwaan inilah orang akan sadar terhadap kebutuhan manusia yang harus imbang antara kebutuhan jasmani dan rohani manusia. Kebutuhan fisik dengan cara mengatur porsi makan, minum, juga terpenuhinya perihal sandang dan tempat tinggal. Sedangkan berkaitan dengan rohani yang bisa dilakukan adalah dengan menjalankan ibadah-ibadah yang sifatnya mahdoh maupun ghoiru mahdoh.

(26)

11

tidak membutuhkan modal untuk mendapatkan pahala dari Allah Swt. namun banyak juga orang muslim yang enggan melaksanakan puasa karena beberapa alasan. Mungkin hal itu terjadi karena mereka kurang mengetahui rahasia/hikmah/faedah dibalik ibadah puasa yang amat luar biasa. Berkaitan dengan hal tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang hikmah ibadah puasa yang kaitannya dengan kecerdasan spiritual dengan mengacu pada ilmu tasawuf, kemudian mengkaji kedua aspek tersebut yaitu kecerdasan spiritual dan puasa prespektif tasawuf secara kritis dan obyektif dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Untuk

itu penulis membuat skripsi dengan judul : ” PENGEMBANGAN

NILAI-NILAI KECERDASAN SPIRITUAL DALAM IBADAH PUASA PERSPEKTIF TASAWUF.”

B. Rumusan Masalah

Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan akan dikaji melalui penelitian ini. Beberapa masalah itu adalah:

1. Bagaimanakah konsep kecerdasan spiritual? 2. Bagaimana kosep puasa perspektif tasawuf?

(27)

12 C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikaji, maka peneliti memiliki tujuan antara lain adalah:

1. Untuk mengetahui konsep kecerdasan spiritual. 2. Untuk mengetahui konsep puasa perspektif tasawuf.

3. Untuk mengetahui pengembangan kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf.

D. Manfaat Penelitian

Setiap pengkajian suatu ilmu pengetahuan diharapkan dapat memberikan informasi baru yang mengandung beberapa manfaat, manfaat bagi yang meneliti maupun khalayak umum. Dalam skripsi ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritik

Secara teoritis dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat: a. Memberikan sumbangan berupa wawasan ilmu pengetahuan Islam

khususnya dalam ilmu fiqih dan tasawuf.

b. Dapat menjadi salah satu sumber informasi tentang kecerdasan spiritual secara mendalam.

(28)

13 2. Manfaat Praktik

Secara praktik dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat: a. Menambah motivasi kepada setiap muslim untuk lebih giat dalam

menjalankan puasa serta lebih berhati-hati dalam menjaga kesempurnaan puasa yang dijalankan.

b. Agar setiap diri manusia menggunakan dan mengembangkan kecerdasannya dengan baik serta dapat menjadi pribadi yang bermakna dengan ibadah yang dijalankan.

c. Memberi kontribusi positif dalam proses kehidupan dengan ibadah puasa yang memiliki fungsi dapat meningkatkan kecerdasan spiritual sebagai pencegahan terhadap gejala penyakit jiwa atau stres dengan memanfaatkan dan memfungsikan kecerdasan spiritual.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari adanya kemungkinan kesalah pahaman pengertian dan penafsiran dalam istilah yang digunakan dalam judul penelitian, maka penulis perlu menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain sebagai berikut:

1. Kecerdasan Spiritual

Kecerdasan spiritual adalah pengetahuan akan kesadaran diri, makna hidup, tujuan hidup atau nilai-nilai tertinggi. Kecerdasan ini

(29)

14

secara tepat dan efektif, yang memungkinkan kita bekerja sama dengan lancar menuju sasaran yang lebih luas dan bermakna. Makna yang dituju dalam kecerdasan spiritual mengacu pada fitrah, kesadaran akan kefitrahan diri atau suara hati itu yang terus mendorong manusia ke arah perubahan yang lebih bermakna dan bernilai (Ahmad Taufiq Nasution, 2009:4). Dari pengertian di atas jelas bahwa kecerdasan spiritual bisa menjadikan manusia lebih kuat dalam memaknai kehidupan.

2. Ibadah puasa perspektif tasawuf

Menurut bahasa, kata „ibadah berarti patuh (at-tha‟ah), tunduk ( al-khudu‟). Ubudiyah artinya tunduk dan merendahkan diri (al-tazallul). Menurut Ibn Taimiyah, ibadah berarti merendahkan diri (ad-dzull). Akan tetapi, ibadah yang diperintahkan dalam agama itu bukan sekedar ketaatan atau perendahan diri kepada Allah. Ibadah mengandung pengertian apabila ia mencintai Allah, lebih dari cintanya kepada apa pun dan memuliakanNya lebih dari segala yang lain-Nya. Bahkan ia harus meyakini tidak ada yang hak atas cinta dan kepatuhan yang sempurna kecuali Allah SWT, dikutip dari buku karangan Dr. Lahmuddin Nasution (1997: 2-3).

(30)

15

hingga terbenamnya matahari dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah SWT. Dalam buku karangan Sokhi Huda (2008:25) yang mengutip pendapat dari Abul Wafa al-Taftazani menjelaskan bahwa tasawuf merupakan usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai ruhaniyah yang sekaligus menegakkannya pada saat menghadapi kehidupan materialis.

Dari pengertian di atas ibadah puasa prespektif tasawuf berarti kepatuhan dan ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya atas dasar rasa cinta untuk dapat menahan diri dari nafsu serta penyucian batin sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian literatur, karena mendasarkan pengertian Iqbal Hasan (2006:5) yang menjelaskan bahwa penelitian kepustakaan/library research adalah penelitian yang dilaksanakan dengan menggunakan literatur (kepustakaan) baik berupa buku, catatan maupun laporan hasil penelitian dan peneliti terdahulu. Dalam hal ini penulis mendasarkan tulisan

skripsi ini dengan mengacu pada pendapat para ulama‟ dan

(31)

16

Berkaitan dengan jenis penelitian literatur, pengumpulan data pada penulisan ini, penulis menggunakan metode studi pustaka dengan mengacu beberapa sumber yang sesuai dengan topik yang bersangkutan, yakni dibagi dalam dua bentuk sumber diantaranya:

a. Sumber Primer

Menurut Winarno Surakhmad (1989:163) sumber primer yaitu data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data penyelidik untuk tujuan khusus itu. Dalam hal ini peneliti mengacu sumber primernya diantaranya adalahAl-Qur‟an dan Hadits, tarjamah kitab Ihya‟ Ulumuddin karya Al-Ghozali, fiqih puasa karya Yusuf Qardhawi, Hasbi Ash Shiddiqy dengan judul pedoman puasa dan juga buku karangan Ary Ginanjar, Toto Tasmara yang menjelaskan tentang SQ.

b. Sumber Sekunder

(32)

17 3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk pengumpulan data dalam penelitian ini, digunakan metode dokumentasi, yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 2010:274). Karena obyek dalam penelitian ini tentang kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa prespektif tasawuf maka penulis memfokuskan kajian untuk menelaah dan memahami

pendapat para ulama‟ dan ilmuwan yang ditulis dalam buku untuk

dijadikan sebagai bahan penelitian. 4. Analisis Data

(33)

fakta-18

fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang kongkret, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang kongkret itu ditarik genralisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum. Berdasarkan pengertian tersebut penulis melakukan telaah terhadap pengertian-pengertian yang ada atau berhubungan dengan permasalahan yang dibahas kemudian penulis menarik kesimpulan tentang permasalahan tersebut. Atau singkatnya adalah penarikan kesimpulan dari permasalahan yang bersifat khusus selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahsan dan memahami isi skripsi ini, maka peneliti menulis skripsi ini secara sistematis. Skripsi ini disusun dalam lima bab, secara sitematis akan dijabarkan sebagai berikut:

BAB I , dibahas mengenai Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Operasional, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan Skripsi.

(34)

19

BAB III, dibahas mengenai ibadah puasa yang meliputi pengertian ibadah, macam-macam ibadah, tujuan ibadah, juga mengenai pengertian puasa, dimensi-dimensi puasa syarat dan rukun puasa, sunah-sunah dalam puasa, hal-hal yang membatalkan puasa, macam-macam puasa, serta hikmah puasa.

BAB IV, dibahas mengenai analisis tentang kecerdasan spritual dalam ibadah puasa perspektif tasawuf yang meliputi nilai kecerdasan spiritual dalam ibadah puasa, serta indikator kecerdasan spiritual dalam puasa perspektif tasawuf.

BAB V, Penutup, pada bab ini diuraikan mengenai kesimpulan akhir dari hasil penelitian dan saran.

(35)

20 BAB II

KECERDASAN SPIRITUAL

A. Pengertian Kecerdasan Spiritual

Pada awal abad 20, IQ pernah menjadi isu besar karena pada masa itu muncul pendapat bahwa semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasannya. Pada pertengahan tahun 1990-an, Daniel Goleman mempopulerkan penelitian dari banyak neurolog dan psikolog yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama pentingnya dengan IQ. Menurutnya EQ merupakan persayaratan dasar untuk menggunakan IQ secara efektif. Saat ini akhir abad 20 menunjukkan

adanya “Q” jenis ketiga. Gambaran utuh kecerdasan manusia dapat

dilengkapi dengan perbincangan mengenai kecerdasan spiritual “SQ”.

Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Zohar dan Marshall, 2001:3-4).

(36)

21

efektivitas, keberadaan atau hidup keilahian yang mempersatukan kita sebagai makhluk ciptaan Allah SWT. Sedangkan dalam buku karangan Triantoro (2007:16) yang mengutip pendapat dari Michael Levin yang menjelaskan kecerdasan spiritual adalah sebuah prespektif “spirituality is

a perspective” artinya mengarahkan cara berfikir kita menuju kepada

(37)

22

diturunkan. Akan tetapi kemampuannya untuk ditingkatkan tampaknya tidak terbatas.

Pendapat lain mengenai kecerdasan spiritual diuraikan oleh Ary Ginanjar (2005:47) sebagaimana berikut, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia seutuhnya dan memiliki pola pemikiran tauhid serta berprinsip hanya karena Allah. Dari beberapa pengertian di atas kecerdasan spiritual yang di paparkan oleh para ilmuan belum sampai pada nilai-nilai ketuhanan namun lebih kepada otak. Pengertian di atas menunjukkan bahwa spritual berkaitan dengan hati, seiring dengan temuan Got Spot ini baru sampai pada otak manusia dan belum sampai kepada intinya yakni (hati). Namun seiring dengan datangnya pengertian dari Ary Ginanjar diharapkan mampu membuat spiritual yang kering untuk bisa menjadi lebih hidup karena dia memberi makna spiritual dalam setiap pemikiran, perilaku dan tindakan.

B. Indikator Kecerdasan Spiritual

Menurut Zohar dan Marshall (2001:14), kecerdasan spiritual itu adalah kemampuan seseorang dalam memaknai hidupnya. Ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual menurut mereka diantaranya adalah:

(38)

23

3. Kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan 4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit 5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai 6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu 7. Kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal

8. Menjadi apa yang disebut oleh para psikolog sebagai “bidang

mandiri” yaitu memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi. Pendapat di atas ditambah Frances Vaughan (1992) yang dikutip oleh Triantoro (2007:29-31) menyatakan bahwa ciri-ciri kecerdasan spiritual yang tinggi adalah:

1.Autentik, yang berarti bertanggung jawab dan jujur terhadap diri sendiri.

2.Mampu melepaskan masa lalu dan memusatkan perhatian pada masa kini dan masa depan.

3.Mampu menghadapi ketakutan sendiri dengan tanggung jawab.

4.Pemahaman untuk mengembangkan visi dan misi hidup serta mengembangkan sikap memaafkan sebagai wujud empati.

5.Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi kehidupan manusia tanpa kebencian dan ketakutan untuk dikuasai.

6.Memiliki sikap tanggung jawab sosial.

Toto Tasmara (2001:6) mengungkapkan bahwa ada 8 indikator kecerdasan spiritual, yaitu:

(39)

24

Visi adalah cara seseorang melihat gambar diri di hari esok. Visi tersebut didasari oleh pengalaman, pengetahuan dan harapan. Visi atau tujuan setiap muslim yang cerdas secara spiritual, akan menjadikan pertemuan Allah sebagai puncak dari visi pribadinya yang kemudian dijabarkan dalam bentuk perbuatan baik yang terukur dan terarah. Hal ini mendorong dirinya untuk menjadikan dunia hanya sebuah perantauan yang harus kembali pulang ke akhirat dengan membawa bekal serta memenuhi seluruh tanggung jawab kepada Allah SWT.

2. Merasakan Kehadiran Allah

Orang yang memiliki kecerdasan spiritual selalu merasakan kehadiran Allah dimana saja. Mereka meyakini adanya kamera ilahiah yang terus menyoroti qalbunya, dan mereka merasakan serta menyadari bahwa seluruh detak hatinya diketahui dan dicatat Allah tanpa ada satupun yang tercecer.

3. Berdzikir dan Berdoa

Dzikir bermakna penyebutan atau penghadiran. Penyebutan

dengan lidah dan penghadiran dengan hati. Makna yang dimaksud ialah penghadiran Allah baik dzat, sifat dan af‟al-Nya. Dzikir

(40)

25 mengekang. Bersabar artinya menahan diri dari segala sesuatu yang disukai dan tidak di sukai dengan tujuan mengharap ridho dari Allah (Yudy Effendy, 2012:6). Sabar juga berarti kemampuan untuk mengendalikan diri yang mengajak ke hal-hal negatif. Sabar berarti terpatrinya sebuah harapan yang kuat untuk menggapai cita-cita sehingga membuat diri manusia menjadi makhluk yang kuat dan tidak putus asa dalam menghadapi cobaan atau ujian dari Allah. Sesungguhnya orang yang dapat menghadapimusibah dan situasi-situasi yang sulit dengan sabardan teguh adalah orang yang berkepribadian kuatyang sehat jiwanya.Allah memerintahkan kita untukbersabar seperti dalam firmanNya:

جََُّٖٝؤَٰٓ َٝ

shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta

orang-orang yang sabar.”

(41)

26 5. Cenderung Pada Kebaikan

Orang-orang yang bertaqwa adalah tipeَmanusia yang selalu cenderung kepada kebaikan danَ kebenaran. Sabda Rasulullah

SAW.: “Jadikanlahَhidup hari ini lebih baik dari hari kemarin dan

hariَesok lebih baik lagi dari hari ini”. Dan orang-orang tersebut merasakan kerugian apabila waktunya berlaluَbegitu saja tanpa ada satu pun kebaikan yangَdilakukan.

6. Memiliki Empati

Empati adalah kemampuan seseorang untukَmemahami orang lain. Merasakan rintihan danَmendengar debaran jantungnya, sehingga mampuَberadaptasi dengan merasakan kondisi batiniah orangَlain. 7. Berjiwa Besar

Berjiwa besar adalah keberanian untukَmemaafkan dan sekaligus melupakan perbuatan yangَpernah dilakukan oleh orang lain. Orang yang cerdasَsecara ruhaniah (spiritual) adalah mereka yangَ mampu memaafkan, betapapun pedihnya kesalahanَyang dibuat orang pada dirinya. Karena menyadariَbahwa sikap pemberian maaf sebagai bukti kesalehanَdan salah satu bentuk tanggung jawab hidup. Karenaَhal itu diharapkan bisa mempengaruhi orang lain agarَberbuat yang sama.

8. Bahagia Melayani

(42)

27

kesadaran dan kepedulian terhadap nilai kemanusiaan. Orang tersebut akan melayani manusia dan alam lingkungannya dengan penuh rasa cinta dan kelembutan. Hal ini merupakan investasi yang kelak akan dipetik keuntungannya, tidak hanya di akhirat saja melainkan di dunia juga.

Dari beberapa indikator kecerdasan spiritual yang telah diuraikan oleh

ilmuwan maupun tokoh agama (ulama‟) diatas penulis menyimpulkan

bahwsanya manusia yang memiliki kecerdasan spiritual hendaknya memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya adalah:

1. Memiliki kualitas yang diilhami dengan visi dan nilai-nilai 2. Autentik (tanggung jawab dan jujur kepada diri sendiri) 3. Memiliki kesadaran hidup yang tinggi

4. Merasakan kehadiran Allah

5. Cinta dan kasih sayang untuk mencerahkan eksistensi terhadap manusia tanpa kebencian

6. Memiliki kualitas sabar 7. Berdzikir dan berdoa

C. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual

(43)

28

sebagai berikut, sebagaimana dipaparkan oleh Zohar dan Marshall faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual adalah:

1. Sel saraf otak

Otak menjadi jembatan antara kehidupan batin dan lahiriah kita. Menurut penelitian yang dilakukan pada era 1990-an membuktikan bahwa osilasi sel saraf otak pada rentang 40 Hz merupakan basis bagi kecerdasan spiritual.

2. Titik Tuhan

Dalam penelitian Rama Chandra menemukan adanya bagian dalam otak, yaitu lobus temporal yang meningkat ketika pengalaman religious atau spiritual berlangsung. Dia menyebutnya sebagai titik Tuhan atau God Spot. Tapi titik tuhan ini bukan syarat mutlak dari kecerdasan spiritual. Melainkan butuh integrasi antara seluruh bagian otak, seluruh aspek dari dan seluruh segi kehidupan.

Adapun pendapat lain menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual berasal dari dalam diri individu juga dari luar individu sebagaimana berikut dikutip dari Triantoro, (2007:55):

1. Faktor internal

(44)

29

apa hidup itu, maka kecerdasan spiritual itu akan sulit untuk ada. Meskipun lingkungan mendukung.

2. Faktor eksternal

a) Lingkungan keluarga

Keluarga adalah madrasah pertama bagi pribadi seseorang. Untuk itu segala kecerdasan bermula dan dipengaruhi oleh keluarga. Begitu juga dengan kecerdasan spiritual seseorang. Keluarga berpengaruh besar dalam membentuk kecerdasan spiritual seseorang .

b) Lingkungan sekolah

(45)

30 c) Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat akan mempengaruhi kecerdasan spiritual seseorang. Karena disamping tinggal dilingkungan keluarga, seseorang juga hidup dalam masyarakat. Jika masyarakat mempunyai budaya atau kebiasaan yang baik maka akan terbiasa juga untuk melakukan hal –hal yang baik. Sehingga secara tak langsung kecerdasan spiritual seseorang akan muncul dan berkembang. Contohnya masyarakat yang selalu melakanakan kewajiban agama, masyarakat yang selalu menjaga hubungan baik dengan orang-orang yang berada disekitar mereka.

d) Kelompok teman sebaya

Faktor teman sebaya sangat berpengaruh pada perkembangan spiritual, karena yang terjadi saat ini banyak terjadi kriminalitas yang disebabkan oleh sekelompok orang yang bergabung dalam komunitas pelaku kejahatan. Disinlah peran kecerdasan spiritual untuk membentengi manusia dari pelbagai hal-hal negatif. Sehingga seseorang akan memilki keteguhan hati memegang prinsip atau nilai spiritual yang diyakininya.

D. Langkah Mengembangkan Kecerdasan Spiritual

(46)

31 1. Menyadari di mana saya sekarang

Dengan cara menyisihkan beberapa waktu untuk berdiam diri, bermeditasi setiap hari, atau sekedar mengevaluasi setiap hari sebelum tertidur di malam hari.

2. Merasakan dengan kuat bahwa ingin merubah diri, bertekad dan berjaji dalam hati untuk menjadi lebih baik.

3. Merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi yang paling dalam dalam perubahan hidup.

4. Menemukan dan mengatasi rintangan.

5. Menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju. 6. Menetapkan hati saya pada sebuah jalan.

7. Tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.

Adapun Ary Ginanjar (2005: 64-354) juga merumuskan beberapa langkah yang dapat dilakukan seseorang untuk mengembangkan kecerdasan spiritual dalam dirinya yang dijabarkan dari prinsip 1 ihsan, 6 rukun iman dan 5 rukun islam yakni sebagai berikut:

1. Zero Mind Process (proses penjernihan emosi) menerangkan bagaimana rumusan 1 ihsan. Dalam upaya untuk melakukan penjernihan emosi (ZMP), yaitu antara lain:

a. Hindari selalu berprasangka buruk, upayakan berprasangka baik terhadap orang.

(47)

32

c. Bebaskan diri dari pengalaman-pengalaman yang membelenggu pikiran, berpikirlah merdeka.

d. Dengarlah suara hati, berpeganglah prinsip karena Allah, berpikirlah melingkar sebelum menentukan kepentingan dan prioritas.

e. Lihatlah semua sudut pandang secara bijaksana berdasarkan suara hati yang bersumber dari asmaul husna.

f. Periksa pikiran terlebih dahulu sebelum menilai segala sesuatu, jangan melihat sesuatu karena pikiran anda tetapi lihatlah sesuatu karena apa adanya.

g. Ingatlah bahwa segala ilmu pengetahuan adalah bersumber dari Allah.

(48)

33

mengawasi kita di manapun kita berada. Rumusan Ary Ginanjar tentang ihsan ini merupakan rumusan prinsip dari makna ihsan dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat yang ada. 2. 6 Asas Pembangunan Mental, antara lain:

a. Prinsip Bintang (Iman Kepada Allah), merupakan penjabaran dari makna iman kepada Allah dalam rukun iman. Prinsip seorang bintang adalah memiliki rasa aman, kepercayaan diri yang tinggi, integritas yang kuat, bersikap bijaksana, dan memiliki motivasi yang tinggi, semua dilandasi dan dibangun karena iman kepada Allah.

b. Prinsip Malaikat (Iman Kepada Malaikat), orang yang berprinsip seperti malaikat akan menghasilkan orang yang sebagai berikut yakni seseorang yang memiliki tingkat loyalitas tinggi, komitmen yang kuat, memiliki kebiasaan untuk mengawali dan memberi, suka menolong dan memiliki sikap saling percaya. Dengan mempraktekkan kebaikan dan ciri-ciri yang malaikat punya di dalam kehidupan sehingga orang tersebut akan menjadi manusia yang paripurna.

(49)

34

konsisten. Memimpin berdasarkan atas suara hati yang fitrah. Dengan meneladani sifat-sifat dari rasul, maka akan membuat kita memiliki prinsip kepemimpinan yang menentramkan masyarakat. d. Prinsip Pembelajaran (Iman Kepada Kitab Allah), hasil dari proses

pembelajaran antara lain: (1) Memiliki kebiasaan membaca buku dan situasi dengan cermat, (2) Selalu berpikir kritis dan mendalam, (3) Selalu mengevaluasi pemikirannya kembali, (4) Bersikap terbuka untuk mengadakan penyempurnaan, (5) Memiliki pedoman yang kuat dalam belajar yaitu berpegang hanya kepada Allah. Hasil dari proses pembelajaran di atas merupakan sebuah pemikiran yang sesuai dengan konteks yang harus dilakukan oleh semua orang dalam mempraktekkan iman kepada kitab-kitab Allah, sehingga kitab-kitab Allah menjadi lebih membumi di dalam kehidupan manusia.

(50)

35

sebaik-baiknya di muka bumi hingga akhir hayat tanpa perlu diri merasa berhenti.

f. Prinsip Keteraturan (Iman Kepada Qadha dan Qadar), hasil dari prinsip keteraturan akan memiliki kesadaran, ketenangan dan keyakinan dalam berusaha karena pengetahuan akan kepastian hukum alam dan hukum sosial, memahami akan arti penting sebuah proses yang harus dilalui, selalu berorientasi kepada pembentukan sistem dan selalu berupaya menjaga sistem yang telah dibentuk. Inilah yang akan didapat oleh orang yang menjalankan prinsip keteraturan, sehingga hidupnya menjadi lebih bermakna karena sadar bahwa hidup ini sudah ada keteraturannya dari Allah.

3. 5 Prinsip Ketangguhan, 5 prinsip ketangguhan ini menjadi dua bagian yakni 3 prinsip ketangguhan pribadi dan 2 prinsip ketangguhan sosial. a. 3 Prinsip Ketangguhan Pribadi, seseorang yang telah memiliki

prinsip 6 asas pembentukan mental. Kemudian untuk menjadi pribadi yang sukses, ditambah dengan 3 langkah sukses yaitu:

(51)

36

syahadat akan membangkitkan suatu keberanian dan optimisme sekaligus menciptakan ketenangan batiniah dalam menjalankan misi hidup.

2) Prinsip Pembangunan Karakter (Shalat), shalat sebagai tempat untuk menyeimbangkan dan menyelaraskan pikiran, dan pelaksanaan shalat juga suatu mekanisme yang bisa menambah energi baru yang terakumulasi sehingga menjadi suatu kumpulan dorongan dahsyat untuk segera berkarya dan mengaplikasikan pemikirannya ke dalam realita. Shalat adalah suatu metode relaksasi untuk menjaga kesadaran diri agar tetap memiliki cara berpikir fitrah, sebuah metode yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan spiritual secara terus menerus, shalat adalah suatu teknik pembentukan pengalaman yang membangun suatu paradigma positif, dan shalat merupakan suatu cara untuk terus mengasah dan mempertajam kecerdasan emosi dan spiritual yang diperoleh dari rukun iman.

(52)

37

pemimpin adalah salah satu tugas yang maha berat untuk membawa umat ke arah kebahagiaan dengan hati nurani. Hasil pengendalian diri: puasa adalah suatu metode pelatihan untuk pengendalian diri, puasa bertujuan untuk meraih kemerdekaan sejati dan pembebasan belenggu nafsu yang tidak terkendali, puasa yang baik akan memelihara aset kita yang paling berharga yakni fitrah diri, tujuan puasa lainnya untuk mengendalikan suasana hati, juga pelatihan untuk menjaga prinsip-prinsip yang telah dianut berdasarkan rukun iman.

b. 2 Prinsip Ketangguhan Sosial, merupakan penjabaran dari prinsip zakat dan haji di dalam rukun Islam.

(53)

38

2) Prinsip Aplikasi Total (Haji), suatu wujud kesalarasan antara idealisme dan praktek, keselarasan antara iman dan Islam. Haji adalah suatu transformasi prinsip dan langkah secara total (thawaf), konsistensi dan persistensi perjuangan (sa`i), evaluasi dari prinsip dan langkah yang telah dibuat dan visualisasi masa depan melalui prinsip berpikir dan cara melangkah yang fitrah (wukuf). Haji juga merupakan suatu pelatihan sinergi dalam skala tertinggi dan haji adalah persiapan fisik secara mental dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan (lontar jumrah).

(54)

39 E. Manfaat Kecerdasan Spiritual

Winarno (2013:20) menjelaskan beberapa buah dari kesehatan spiritual diantaranya:

1. Memiliki kemampuan untuk memahami persoalan hidup

2. Mendapatkan solusi yang solutif dari segala persoalan kehidupan 3. Hidup tanpa kegelisahan dan kesedihan

4. Mampu membedakan yang baik dan yang buruk 5. Lebih siap dalam menghadapi kehidupan

6. Kecerdasan spiritual menjadikan seseorang lebih tahu akan hikmah kejadian yang ia alami dan dijadikan pelajaran dan renungan. 7. Mengembangkan fitrah (potensi) yang ada dalam diri manusia

(55)

40 BAB III

IBADAH PUASA

A. Pengertian Ibadah Puasa 1. Pengertian Ibadah

Zakiyah Darajat (1993:1) mengutip pendapat dari Hasbi Ashidieqi dalam kitab kuliah ibadah yang membagi arti ibadah dalam dua arti, yakni secara bahasa dan secara istilah.

a. Ibadah secara bahasa berarti: taat, mengikut dan atau menurut. Sebagaimana pendapat ini dikuatkan dalam firman Allah dalam QS. Yaasiin ayat 60:

Artinya: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani

Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu."

Di samping arti etimologis (secara bahasa), ibadah mempunyai arti berdasarkan istilah yang dipergunakan oleh ahli warisnya.

(56)

41

Artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu

mempersekutukanNya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”

Dalam buku karanganَSlamet Abidin danَMoh. Suyono (1998:11) mengartikan ibadah dengan penyembahan seorang hamba terhadap Tuhannya yang dilakukan dengan merendahkan diri serendah-rendahnya, dengan hati yang ikhlas menurut cara-cara yang ditentukan oleh agama.

2. Macam-macam ibadah

Macam-macam ibadah ditentukan oleh dasar pembagiannya Zakiyah Darajatَ)1993:3-4).

a. Pembagian ibadah didasarkan umum dan khususnya dibedakan

menjadi dua macam, yakni ibadah khasah dan ibadah „aamah.

(57)

42

2) Ibadah „aamah ialah semua pernyataan baik yang dilakukan dengan niat baik dan semata-mata karena Allah, seperti makan dan minum dengan niat melaksanakan perbuatan itu untuk menjaga badan jasmaniyah dalam rangka agar dapat beribadah kepada Allah.

b. Pembagian ibadah dari segi hal-hal yang bertalian dengan pelaksanaanya, dibagi menjadi tiga:

1) Ibadah jasmaniyah ruhiyah, sepert shalat dan puasa. 2) Ibadah ruhiyah dan amaliyah, seperti zakat.

3) Ibadah jasmaniyah ruhiyah dan amaliyah, seperti mengerjakan haji.

c. Pembagian ibadah dari segi kepentingan perseorangan atau masyarakat, maka dibagi dua:

1) Ibadah fardhu, seperti shalat dan puasa. 2) Ibadah ijtima‟i, seperti zakat dan haji. d. Pembagian ibadah dari segi bentuk dan sifatnya:

1) Ibadah yang berupa perkataan atau lidah seperti: membaca

do‟a, membaca Al-Qur‟an, mambaca dzikir, dan

mendoakan orang yang bersin.

(58)

43

3) Ibadah berupa perbuatan yang tidak ditentukan bentuknya seperti: menolong orang lain, berjihad, membela diri dari gangguan, takhizul jenazah.

4) Ibadah yang pelaksanaanya menahan diri, seperti ihram,

puasa, i‟tikaf.

5) Ibadah yang sifatnya menggugurkan hak, seperti membebaskan hutang orang lain.

3. Tujuan Ibadah

Manusia adalah makhluk Allah yang diciptakan dalam keadaan paling sempurna baik secara jasmani ataupun rohani dibandingkan dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. sebagaimana firman Allah dalam QS Attiin ayat 4:

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk yang sebaik-baiknya”.

(59)

44

Artinya: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa

kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami”.

Surat Adz Dzariyat ayat 56:

Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu”.

Surat Al-Bayyinah ayat 5:

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh krcuali supaya menyembah Alah dengan memurnikan keta‟atan kepadaNya dalam

(menjalankan) agama yang lurus”.

Karena Allah Dzat Maha Mengetahui tentang kejadian manusia, maka agar manusia terjaga hidupnya, taqwa, diberi kewajiban ibadah. Tegasnya manusia diwajibkan beribadah, agar manusia itu mencapai taqwa (Zakiyah Darajat, 1993: 4-6).

4. Pengertian Puasa

a. Puasa Dari Aspek Fiqih

Dalam buku karangan Hassan Saleh )2008:174( dijelaskan bahwa secara bahasa puasa dikenal dengan istilah “shiyam” atau

(60)

45

manahan diri dari sesuatu. Sebagaimana dalam QS Maryam ayat 26 dijelaskan: kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini.”

Dalam buku karangan Zakiyah Darajat (1993: 251( pengertian

syar‟i, puasa berarti menahan diri dari makan minum dan hubungan

seksual dari terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Pengertian ini diperjelas oleh berbagai hadits seperti:

Hadits Abu Hurairah :

Atinya: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan zur (dusta, umpat, fitnah, segenap perkataan yang mendatangkan kemarahan Allah, yang membuat sengketa dan onar) dan tidak meninggalkan pekerjaan-pekerjaan itu, maka tidak ada hajat bagi Allah (walaupun) ia meninggalkan makan dan

minum (HR. Al Bukhari).

Dalam hadits Abu Hurairah yang lain disebutkan:

ََشَْٞى

َ

َََِٗوْمَ ْلْثًٍَََُِِجَِّٞصىث

َِظَفَّشىثَِْٗ٘غَّيىثًٍَََُِِجَِّٞصىثَجَََِّّثَِحْشُّشىث

(61)

46

Sedangkan para ahli fiqih juga memberikan pengertian puasa secara

syar‟i sebagaimana ditulis dalam kitab Subulus Salam berikut ini:

َِٚفَُعْشَّشىثَِِٔدََدَسََٗجٍَََِّجَِٕشَْٞغََِٗعجََِجْىثََِٗحَشَّشىثََِٗوْمَ ْلْثََِِػَُكَجَضٍِْ ْلَْث

َِْ٘غَّيىثَ َِِػَ ُكجَضٍِْ ْلْثَ َلِىثَرَُغِذَّضَََِٝٗعُْٗشْشََْىثَ ِذْحَْ٘ىثََٚيَػَ ِسجََّْٖىث

َ

َِظَفَّشىثَٗ

ٍَغُْٗشُشِدٍَصُْ٘صْخٍٍََشْقََِٗٚفَُِْٓٗشْنََْىَثََٗ ًَِّشَحَُْىثَ ًِ َلََنْىثَ ٍََِِجََِِٕشَْٞغَٗ

ٍَزَصُْ٘صْخٍَ

Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan yang merangsang (porno), perkataan-perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.”

(62)

47 b. Puasa Dari Aspek Tasawuf

Manusia merupakan makhluk jasmaniah dan rohaniah, yang dalam dirinya terdapat potensi untuk berhubungan dengan dunia material juga dunia spiritual. Manusia merupakan makhluk yang memiliki potensi untuk menjadi baik ataupun buruk, karena oleh Allah manusia diberikan bekal berupa akal dan nafsu. Ketika manusia diperbudak oleh nafsu maka dirinya akan nampak lebih buruk dari seekor hewan. Sehingga barangsiapa mampu mengendalikan nafsunya dengan akal maka sinergi spiritual akan mudah masuk dalam hatinya. Dalam buku karangan Jalaluddin Rakhmat (1999:37) dijelaskan untuk memperoleh cahaya yang terang diperlukan upaya yakni dengan madrasah ruhaniah, madrasah ini untuk mendidik manusia-manusia takwa. Madrasah ruhaniah ini adalah dengan berpuasa. Pelajaran yang diberikan melalui madrasah ruhaniah diantaranya adalah ikhlas, pembersihan diri, ihsan dan ibadah. Ikhlas menunjukkan sucinya niat, bersihnya tujuan amal, dan lepasnya manusia dari perbudakan dunia. Karena memiliki pandangan bahwa keridhaan Allah lebih besar dari segala-galanya. Sedangkan melalui pembersihan diri dengan puasa akan menghasilkan manusia yang takwa karena cahaya ruhaniah tidak akan menembus hati yang dipenuhi dosa dan maksiat.

(63)

48

puasa merupakan seperempat iman. Allah memberikan kekhususan dan keistimewaan puasa sebagaimana yang terdapat dalam hadits dibawah:

َِٚىََُِّّٔجَفَ ًِجَِّٞصىثَ َّلِْثَ ٍفْؼِظٍَزَةؤَِِؼْذَصََٚىِثَجَِٖىَجَغٍَْثَثِشْشَؼِدٍَزََْضَحَ ُّوُم

)سجخذىث(َِِٔدَِٙزْجَثَجََّثَٗ

َ

Artinya: ”Setiap kebaikan itu dengan sepuluh kelipatannya sampai

tujuh ratus kelipatan kecuali puasa, sesungguhnya puasa

itu untuk-Ku dan Aku membalasnya.”(H.R Al-Bukhari)

Nabi saw. juga bersabda dalam haditsnya yang berbunyi sebagaimana berikut:

ََٗ

َِلْضَِْىثَِحِْٝسَ ٍَِِِْاللهََذِْْػَُخَْٞغَثٌَِِةجَّصىثًٌَِفَ ُفُْ٘يَخَىَِِٓذَِٞدَِٚضْفََِّٙزَّىث

َجَََِّّثَ َّوَجََٗ َّزَػَُاللهَ ُهُْ٘قَٝ

َجَفَِٚيْجَ ِلََُْٔدثَشَشٍَََُٗٔجَؼَغَََُٗٔصََْٖ٘شَ ُسَ َزَٝ

َِِٔدَِٙزْجَثَجََّثََِٗٚىًََُّْ٘صىث

Artinya َ:”Demi Dzat yang jiwaku ditanganNya, sesungguhnya bau mulut orang berpuasa itu lebih harum di sisi Allah daripada bau kasturi. Allah Azza wa Jalla berfirman ia meninggalkan syahwatnya, makanan dan minuman karena Aku. Maka puasa itu bagiKu dan Aku yang aka

membalasnya” (H.R Al-Bukhari Muslim)

Nabi saw. juga bersabda sebagaimana berikut:

ًََُّْ٘صىثَِرَدجَذِؼْىثَُحجَدٌََٗحجَدٍَبَْٞشَِّوُنِى

Artinya: “Setiap sesuatu memiliki pintu dan pintu ibadah adalah puasa.” (HR Ibnu Mubarak)

Dalam hadits lain Rosulullah menerangkan bahwasanya “puasa

(64)

49

kiamat. Puasa berkata: “Wahai Tuhan aku telah mencegahnya

makan dan menahan syahwatnya di siang hari maka perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya. Dan al-Qur‟an pun berkata: “Wahai Tuhanku aku telah menahannya tidur di

malam hari maka perkenankanlah aku memberi syafaat kepadanya.

Akhirnya syafaat keduanya diterima Allah.”(Hassan Shaleh,

2008:183)

(65)

50

apapun karena di balik itu ada pengawas yang melebihi dari segala pengawas yang ada di dunia ini, yaitu Allah.

(66)

51

perasaan daripada musyahadah kepada selain keagungan dan

keindahan Ilahi, dan daripada cinta kepada Allah Azza wa jalla

.

Apabila seseorang yang berpuasa hatinya lalai sedikit saja maka puasanya akan menjadi batal, tingkatan ini merupakan tingkatan

para nabi, rosul, dan para ulama‟.

Sebagaimana istilah puasa dalam bahasa arab: shaumun, artinya menahan diri dari segala sesuatu, maka berdasarkan nilai aslinya Nabi meletakkan nilai yang sebenarnya tentang puasa. Beliau bersabda: “bukankan puasa itu sekedar menahan diri dari

(67)

52

gemerlapnya dunia. Al-Ghozali (1982:89) menerangkan bahwasanya Rosulullah Saw. Bersabda:

Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu berjalan pada anak Adam

(manusia) seperti jalannya darah, maka persempitlah jalannya itu dengan lapar.” (HR Mutafaqun Alaih)

(68)

53

segera dilaksanakan, hal itu adalah syahwat. Syahwat adalah kendali syaitan, biang keladi robohnya bangunan iman. Barangsiapa tidak dapat mengendalikan, maka dialah budaknya. Oleh sebab itu, bukan golongan orang biasa yang mampu mengalahkan syahwatnya, latihan untuk mengekang syahwat yang paling jitu adalah puasa, diawali dengan menahan syahwat ingin makan dan minum, lalu melawan syahwat mengantuk yang mengajak segera tidur, kemudian syahwat mata bila mamandang lawan jenisnya, syahwat telinga yang ingin mendengar pergunjingan, syahwat hidung yang ingin segera melontarkan kekejian, dan syahwat mulut yang segera ingin berbicara bak orang yang terpandai. Lalu menahan syahwat dari cakap-cakap hati yang tidak berguna, dan hanya untuk Allah semata. Menahan syahwat bagi orang-orang yang bertasawuf dikenal dengan istilah mujahadah.

Syaikh Waasi' Achmad Syaechudin berkata: “Barang

(69)

54

duniawinya, sedangkan bila seseorang berpantang dari makan (berpuasa) maka jiwa rendah menjadi lemah dan ikatan duniawai menjadi longgar, sehingga akal mendapatkan kekuatan (cahaya) dan rahasia-rahasia dan bukti Illahi menjadi tampak, dan setiap saat benaknya dipenuhi oleh perenungan tentang Tuhan.

B. Perbedaan Puasa Fiqih dan Tasawuf

Sebagaimana dijelaskan pada poin sebelumnya oleh Zakiyah Darajat, (1993: 251) dari kitab Subulussalam, bahwasanya puasa secara fiqih berarti:

َِٚفَُعْشَّشىثَِِٔدََدَسََٗجٍَََِّجَِٕشَْٞغََِٗعجََِجْىثََِٗحَشَّشىثََِٗوْمَ ْلْثََِِػَُكَجَضٍِْ ْلَْث

َِظَفَّشىثََٗ ِْ٘غَّيىثَ َِِػَ ُكجَضٍِْ ْلْثَ َلِىثَرَُغِذَّضَََِٝٗعُْٗشْشََْىثَ ِذْحَْ٘ىثََٚيَػَ ِسجََّْٖىث

َُشْنََْىَثََٗ ًَِّشَحَُْىثَ ًِ َلََنْىثَ ٍََِِجََِِٕشَْٞغَٗ

ٍَغُْٗشُشِدٍَصُْ٘صْخٍٍََشْقََِٗٚفَِْٓٗ

ٍَزَصُْ٘صْخٍَ

Artinya: “Menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri padanya sepanjang hari menurut cara yang telah disyariatkan. Disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia, perkataan yang merangsang (porno), perkataan-perkataan lain baik yang haram maupun yang makruh, pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan.”

(70)

55

kemaluan dari perbuatan perbuatan yang dilarang Allah SWT. Seperti meninggalkan segala sesuatu yang dapat masuk ke dalam tubuh berupa makan, minum, serta hubungan seksual. Serta menjaga diri dari hal-hal yang dilarang seperti berkata kotor, menggunjing, memfitnah, mencuri dalam batas waktu yang telah ditentukan yakni sejak terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

(71)

56 C. Dimensi Puasa

Dalam Al-Qur‟an ayat 183 dijelaskan:

جََُّٖٝؤَٰٓ َٝ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar

kamu bertakwa.”

Dari ayat diatas di jelaskan bahwa puasa ini diwajibkan kepada orang-orang dahulu. Karena puasa telah disyariatkan kepada umat beragama khususnya agama samawi (Islam, Yahudi, Nasrani) walaupun motif pelaksanaan puasa berbeda pada setiap agama berbeda mengingat iklim, ras, kebudayaan dan keadaan-keadaan sekitar. Melihat pentingnya tujuan puasa yakni untuk menjadi insan yang bertaqwa maka Islam mensyariatkan puasa salah satunya sebagai media untuk mencapai spiritualitas yang tinggi. Karena menurut Islam ibadah puasa berfungsi terutama sebagai disiplin spiritual. Selain itu, puasa juga akan menumbuhkan beberapa dimensi kehidupan. Adapun dimensi-dimensi dalam puasa diantaranya adalah:

1. Dimensi Spiritual

(72)

57 berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah.

Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.”

Dalam tafsir Ibn Katsir dijelaskan bahwasanya amal yang paling utama adalah shaum yaitu meninggalkan kelezatan- kelezatan makan,

minum dan berjima‟. Itulah yang dikatakan siyahah dalam ayat ini,

bahwa orang yang berpuasa dikatakan “sa‟ih”(berasal dari kata saha

yang artinya orang yang sedang berjalan, atau orang yang berjalan menuju ke arah kesempurnaan ruhani). Sebenarnya tidak ada daya tarik yang lebih besar daripada daya tarik pemuasan dahaga dan lapar yang dirasakan orang apabila minuman dan makanan itu ia miliki.

(73)

58

melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan segala larangaNya. Sedangkan Al Ghozali membagi taqwa dalam dua bentuk yakni taqwa lahir dan taqwa batin, taqwa lahir adalah taqwa yang sebagaimana pendapat para fuqaha. Adapun taqwa batin adalah kemampuan selalu menjaga hati agar tetap bersih dan suci dari penyakit-penyakit hati seperti dengki, sombong dan riya. Keduanya saling mempengaruhi karena takwa lahir tidak akan sempurna tanpa taqwa batin dan takwa batin tidak akan nampak tanpa taqwa lahir.

(74)

59

kehidupan yang diperoleh daripada kehidupan makan dan minum. Orang yang puasanya berhasil dan jiwanya stabil, maka kejiwaan seperti ini akan kondusif untuk melaksanakan norma agama. Sehingga orang yang berpuasa akan cenderung beragama dengan baik (Nurcholis, 2000: 8).

2. Dimensi Moral

Moral merupakan aspek yang sangat dibutuhkan untuk menentukan nilai baik dan buruk, benar dan salah dari setiap tindakan seseorang (Zainal Abidin, 1975:157). Dalam puasa, terdapat pula dimensi moral, karena puasa merupakan latihan yang kepada manusia diajarkan ajaran moral yang paling tinggi dalam kehidupannya, pelajaran bahwa ia harus siap untuk menderita kekurangan dan harus melintasi cobaan yang paling berat lebih daripada tenggelam dalam apa yang tidak diperbolehkan kepadaya. Dengan puasa orang dilatih untuk meninggalkan sesuatu yang tidak diijinkan, dan hal itu dapat memperkokoh segi moral dalam kehidupan manusia. Sehingga ide bahwa segala sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan harus dijauhi dan perbuatan dosa harus ditinggalkan, hal itu berkembang dengan perantara puasa.

(75)

60

diperbudak oleh nafsu, sehingga orang akan dapat mencapai kebesaran moral sebenarnya. Selain itu, moral yang dapat dikembangkan dengan puasa adalah sifat kejujuran. Dalam ibadah puasa, kejujuran yang dituntut adalah kejujuran terhadap dirinya sendiri di samping jujur kepada orang lain, orang yang tahu persis apakah seseorang itu berpuasa atau tidak, adalah dirinya sendiri, orang lain dapat dibohonginya (Zakiyah Darajat, 1996:32). Puasa juga melatih diri untuk bersifat amanah. Pada dasarnya puasa merupakan amanat Allah yang berat dan sukar memeliharanya. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah dengan sempurna, terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang dipertaruhkan kepada kita (Hasby Ash Shiddiqi, 1973:324).

3. Dimensi Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya susun dengan judul “Konsep Pengelolaan Lingkungan Pantai Nambo Sebagai Rekreasi Perkotaan Berbasis Masyarakat Di

belakang kornea dan di depan lensa, mengatur jumlah jumlah cahaya yang masuk ke mata dengan cara merubah cahaya yang masuk ke mata dengan cara

Sebaliknya, kecerdasan emosional perawat yang rendah cenderung mudah marah ketika pasien mengeluh, mudah tersinggung dengan perkataan pasien, kurang dapat memberikan

Menyatakan bahwa pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau kegiatan

Juga dengan penelitian Usman (2003) yang menganalisa rasio keuangan dalam memprediksi perubahan laba pada bank-bank di Indonesia, yang dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa

Pengabdian masyarakat pada hakekatnya merupakan perwujudan dari salah satu dharma perguruan tinggi, yakni pengabdian kepada masyarakat, yang bersifat lintas disiplin

Subyek yang memiliki kemampuan interpersonal lemah dalam berkomunikasi dengan suami, tidak dekat dengan anak dan orang tua, tidak dekat dengan lingkungan sekitar tempat tinggal,

Pendidikan Agama Katolik adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan pada peserta didik untuk memperteguh iman dan