• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rangsangan. Perilaku adalah suatu tindakan rutin dilakukan oleh seseorang dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. rangsangan. Perilaku adalah suatu tindakan rutin dilakukan oleh seseorang dalam"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Konsep Perilaku

Perilaku adalah setiap cara, reaksi atau respon manusia atau makhluk hidup terhadap lingkungannya. Dengan kata lain, perilaku adalah aksi, reaksi terhadap rangsangan. Perilaku adalah suatu tindakan rutin dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi ataupun kehendak untuk mencapai suatu tujuan yang diinginkannya dan hal itu mempunyai arti baginya. Baron & Byrne (Rusli Ibrahim, 2011), perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang lain. Perilaku itu ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, atau rasa hormat terhadap orang lain.

Perilaku sosial juga diartikan sebagai tindakan sosial. Dalam hal ini Max Weber mengartikan tindakan sosial sebagai seorang individu yang dapat mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat dalam bertindak atau berperilaku. Individu hendaknya memperhitungkan keberadaan individu lainnya dalam masyarakat, hal ini perlu diperhatikan mengingat tindakan sosial menjadi perwujudan dan hubungan atau perilaku sosial.

2.2 Dugem

Awal munculnya hiburan malam di mulai dari manusia mengenal musik. Musik adalah beberapa nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan. Musik merupakan bagian dari kebudayaan yang terus berkembang sepanjang waktu. Tempat dugem pun muncul ketika musik disco sedang booming (sedang hangat-hangatnya). Musik disco adalah

(2)

gaya dalam musik pop yang lincah dan digemari oleh remaja.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, sebenarnya tidak ada istilah dugem. Dugem adalah istilah gaul yang berasal dari singkatan dua kata yaitu dunia gemerlap. Istilah ini menjadi sangat terkenal di Indonesia seiring dengan kebutuhan para eksmud (eksekutif muda) untuk menyeimbangkan diri dari tumpukan emosi dan rutinitas pekerjaan di kantor dan bisnis yang dikelolanya sendiri

Menurut Divana Perdana (2003), dugem adalah sebagai suatu istilah prokem yang merujuk pada suatu dunia malam yang bernuansa kebebasan, ekspresif, modern, teknologis, konsumeristik dan metropolis yang menjanjikan segala bentuk kegembiraan sesaat. Dugem adalah kebiasaan sebagian besar orang yang gemar menghabiskan waktu malamnya untuk berpesta pora dengan teman atau pasangannya yang dilakukan dengan berbagai suguhan menu makanan dan minuman beralkohol.

Menurut Gerungan (Perdana, 2003), faktor utama yang menyebabkan remaja untuk dugem adalah kaum remaja yang memliki status ekonomi yang cukup baik. Hal ini terlihat dari kebutuhan-kebutuhan material (financial) yang menopang aktivitas dugem yang jelas membutuhkan dana yang besar. Mulai dari kebutuhan kostum, properti, kendaraan, hingga perangkat di dugem itu seperti minuman keras atau narkoba.

Mila Budi Utami (2007), dugem merupakan suatu istilah trend dan menjadi sebuah gaya hidup yang digemari oleh kebanyakan remaja saat ini, karena menurut mereka dugem bisa menjadi sarana ekspresi untuk mencari jati diri. Dugem telah menjadi istilah yang familiar dan populer dikalangan remaja. Munculnya dugem

(3)

bermula dari faktor internal pelaku, didukung oleh informasi dari media massa dan lingkungan pergaulan remaja.

Dugem atau dunia gemerlap merupakan istilah popular untuk menunjukkan gaya hidup masyarakat perkotaan pada akhir pekan. Kegiatan dugem yang dibuat dengan suasana meriah dengan sorotan lampu dan suara musik yang keras menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmatnya. Dugem biasanya dilakukan di diskotik, kelab malam, pub, dan lain-lain. Rokok, narkoba dan minuman beralkohol sudah menjadi bagian dari dugem itu sendiri, bahkan dugem juga tidak dapat lepas dari seks bebas.

Pada umumnya yang gemar mengunjungi atau tempat-tempat hiburan malam adalah kaum lelaki, karena di tempat inilah mereka dapat merasa enjoy dengan musik, minuman, dan banyak wanita yang berpakaian sexy. Wanita-wanita yang datang ke diskotik biasanya akan mengenakan pakaian yang sexy. Rok mini, baju ketat, baju tanpa lengan, dan sepatu high hills akan menjadi pemandangan yang biasa di dalam diskotik. Wanita-wanita yang ada di tempat hiburan malam seperti kelab malam juga sepertinya sudah terbiasa dengan rokok dan minuman keras, karena mereka juga tidak merasa segan atau takut untuk merokok dan minum.

Pesatnya perkembangan teknologi memudahkan setiap masyarakat untuk mengakses informasi yang berkenaan dengan dugem. Beberapa tayangan televisi misalnya kerap menampilkan budaya serta kehidupan ala barat, sehingga perlahan-lahan masyarakat mengikuti gaya hidup tersebut. Ironisnya lagi, siaran televisi yang ditayangkan menggambarkan kehidupan malam yang penuh dengan hedonisme, hura-hura, pergaulan bebas, sehingga remaja memiliki keinginan untuk mencoba kehidupan malam.

(4)

2.3 Remaja

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa/i yang dikategorikan sebagai remaja akhir. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahasiswa adalah mereka yang sedang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa/i dapat didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang ditandai dengan percepatan perkembangan fisik, mental, emosional, sosial. WHO mendefinisikan remaja merupakan anak usia 10-19 tahun. Undang-Undang No. 4 tahun 1979 mengenai Kesejahteraan Anak mengatakan remaja adalah individu yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum menikah.

Monks, dkk (1996) mendeskripsikan batasan usia remaja adalah masa di antara 12-21 tahun dengan perincian:

a. Masa remaja awal yaitu dengan usia 12-15 tahun,

b. Masa remaja pertengahan yaitu dengan usia 15-18 tahun, c. Masa remaja akhir yaitu dengan usia 18-21 tahun.

Dalam fase tersebut remaja belum mendapat tempat yang jelas, tidak termasuk golongan anak, tetapi tidak pula termasuk golongan orang dewasa atau golongan orang tua. Remaja masih belum mampu untuk menguasai fungsi-fungsi fisik maupun psikisnya.

Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal yaitu usia dari 12-17 tahun, sedangkan masa remaja akhir yaitu usia dari 17-20 tahun. Masa remaja awal dan akhir dibedakan karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Dalam

(5)

masyarakat Indonesia, remaja adalah individu yang berusia 11-24 tahun dan belum menikah (Sarwono, 2003). Batasannya ini dibuat dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. Usia 11 tahun adalah usia tanda-tanda seksual sekunder mulai nampak (kriteria fisik),

2. Pada masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap akil balik secara adat dan agama (kriteria sosial),

3. Pada usia tersebut ada tanda penyempurnaan perkembangan diri sehingga tercapainya identitas diri, fase genital, perkembangan kognitif dan moral (kriteria psikologis),

4. Usia 24 merupakan batasan maksimal, untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, masih belum memiliki hak penuh sebagai orang dewasa (secara adat atau tradisi), belum bisa memberi pendapat sendiri, dan sebagainya,

5. Status pernikahan sangat menentukan karena arti pernikahan sangat penting dalam masyarakat Indonesia. Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa. Karena itu definisi remaja dibatasi khusus yang belum menikah.

Pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan (Hurlock, 1994).

(6)

Sementara itu, Ali dan Asrori (2005) menuliskan teori Hurlock mengenai tugas-tugas perkembangan masa remaja sebagai berikut:

a. Mampu menerima keadaan fisiknya,

b. Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa,

c. Mampu membina hubungan baik dengan anggota kelompok yang berlainan jenis,

d. Mencapai kemandirian emosional, e. Mencapai kemandirian ekonomi,

f. Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat,

g. Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan orang tua, h. Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk

memasuki dunia dewasa, mempersiapkan diri untuk memasuki dunia perkawinan, dan memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan keluarga.

Masa remaja adalah suatu masa peralihan yang sering menimbulkan gejolak. Menurut Hurlock (1994, h.206) remaja berasal dari istilah adolescence yang memiliki arti tumbuh untuk mencapai kematangan, baik mental, emosional, sosial, dan fisik. Pada masa ini ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis dan sosialnya.

Masa remaja merupakan masa akan beralihnya ketergantungan hidup kepada orang lain. Dimana dalam masa ini remaja mulai menentukan jalan hidupnya. Selama menjalani pembentukan kematangan dalam sikap, berbagai perubahan kejiwaan terjadi, bahkan mungkin kegoncangan. Kondisi semacam ini sangat dipengaruhi oleh

(7)

lingkungan dimana dia tinggal. Pada sisi lain remaja seringkali tidak mempunyai tempat mengadu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Sehingga seringkali remaja terjerumus melakukan perilaku yang menyimpang sebagai pelarian, seperti mabuk-mabukan, narkotika, pergi ke diskotik untuk dugem.

Menurut Hurlock (1994, hal.207) pada masa ini pula timbul banyak perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis, seiring dengan tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi oleh remaja. Berkaitan dengan hubungan sosial, remaja harus menyesuaikan diri dengan orang di luar lingkungan keluarga, seperti meningkatnya pengaruh kelompok teman sebaya (peer group). Kuatnya pengaruh kelompok sebaya terjadi karena remaja lebih banyak berada di luar rumah bersama dengan teman sebaya sebagai kelompok. Kelompok teman sebaya memiliki aturan tertentu yang harus dipatuhi oleh remaja sebagai anggota kelompoknya. Penyesuaian remaja terhadap norma dengan berperilaku sama dengan kelompok teman sebaya disebut konformitas (Monks, 2004, hal.282).

2.4 Tindakan Sosial Talcott Parsons

Dalam bukunya The Structure of Social Action, Parsons mengkaji konsep tindakan sosial rasional. Dalam analisanya, Parsons banyak menggunakan kerangka alat-tujuan (means-ends framework). Inti pemikiran Parsons adalah bahwa: (1) tindakan itu diarahkan pada tujuannya (atau memiliki suatu tujuan); (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi, dimana beberapa elemennya sudah pasti, sedangkan elemen-elemen lainnya digunakan oleh yang bertindak itu sebagai alat menuju tujuan itu; dan (3) secara normatif tindakan itu diatur sehubungan dengan penentuan alat dan tujuan. Singkatnya, tindakan itu dilihat sebagai satuan kenyataan sosial yang paling kecil dan paling fundamental (Doyle Paul Johnson 1986: 113).

(8)

Komponen-komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi dan norma. Alat dan kondisi berbeda dalam hal di mana orang yang bertindak itu mampu menggunakan alat dalam usahanya mencapai tujuan; kondisi merupakan aspek situasi yang tidak dapat dikontrol oleh orang yang bertindak itu. Ide-ide mengenai hakekat tindakan sosial sesuai dengan pikiran sehat dan pengalaman setiap hari. Misalnya, pasti banyak orang mengenal tindakannya sendiri sebagai mempunyai arti dan tujuan yang diatur secara normatif dan banyak pula yang mengakui bahwa situasi di mana tindakan itu terjadi juga penting. Pentingnya analisa Parsons tidak terletak pada kaitannya dengan pikiran sehat atau pengalaman setiap hari, melainkan dalam kenyataan bahwa apabila itu merupakan suatu jembatan penghubung posisi-posisi yang saling bertentangan dan berat sebelah (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 153).

Teori Parsons pada dasarnya merupakan suatu sintesa dari titik pandangan positivisme dan idealisme yang saling bertentangan. Keempat tokoh yang dianalisa yaitu Alfred Marshall, Vilfredo Pareto, Emile Durkheim yang bertitik tolak dari positivis, sedangkan yang ke-4 yaitu Max Weber bertolak dari konteks idealisme Jerman pada umumnya. Tetapi dalam masing-masing kasus, Parsons mengemukakan bahwa keempatnya menuju ke suatu pengakuan akan validitas posisi lawan. Parsons melihat analisanya itu sebagai suatu sintesa antara idealisme dan positivisme (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 154).

Analisa Parsons dengan menggunakan bahan sekunder dari Marshall, Pareto, Durkehim, dan Weber dengan mudah dapat dimengerti dalam hubungannya dengan konflik utama antara positivisme dengan idealisme. Marshall, seperti ahli ekonomi Inggris lainnya dan seperti pemikir-pemikir utilitarian, memberi tekanan pada rasionalitas perilaku manusia, khususnya seperti yang tercermin dalam pilihan alat

(9)

dalam mencapai tujuan tertentu. Namun proses subyektif menurut Parsons tidak bersungguh-sungguh merupakan sesuatu yang berdiri sendiri secara analistis, proses-proses itu hanya mencerminkan lingkungan eksternal untuk memungkinkan individu menyesuaikan diri dengannya (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 157).

Keseluruhan teori Pareto didasarkan pada pokok pikiran bahwa sebagian besar perilaku manusia bersifat tidak logis dan mencerminkan perasaan atau keadaan-keadaan pikiran lebih daripada perhitungan alat dan tujuan yang bersifat rasional. Misalnya seorang petani yang menggunakan suatu formula khusus untuk pupuk supaya sayur kolnya bertumbuh lebih besar, dia sedang melaksanakan tindakan yang logis. Sebaliknya, mempergelarkan tarian hujan untuk meyakinkan turunnya hujan bersifat tidak logis. Perasaan-perasaan dasar yang merupakan sumber motivasi yang riil bagi tindakan orang yang disebut dengan istilah residu, sedangkan pelbagai penjelasan atau pembenaran yang diberikan sebagai alasan untuk tindakannya disebut dengan istilah derivasi (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 158).

Kategori lain mengenai tindakan tidak logis yang paling penting dalam kerangka Parsons adalah yang nonrational atau nonscientific. Artinya pembenaran atau penjelasan teoritis mengenai tindakan yang mungkin diberikan seseorang bersifat non-empiris atau berada di luar bidang penjelasan ilmiah atau rasional. Penjelasan seperti itu dikatakan Parsons sebagai “tidak dapat dibuktikan, bukan ‘salah’. Misalnya, apabila tujuan yang ingin dicapai itu adalah suatu tujuan subyektif dan bukan tujuan yang obyektif empiris. Sebagai ilustrasi, kalau seseorang terlibat dalam ritus meditasi untuk memperoleh perasaan damai dalam hati, atau untuk bersatu dengan kuasa ilahi, kriterium akhir untuk menilai tindakan serupa itu adalah pengalaman subyektif individu itu, bukan pembuktian yang logis atau ilmiah. Dalam kasus tarian hujan, para penari mungkin benar-benar mengalami penguatan

(10)

kepercayaan dalam menghadapi ketidakpastian; di sini kita lihat pengalaman subyektif, dan bukan hasil empiris obyektif dari tarian hujan itu yang merupakan dorongan penguat yang nyata bagi penari itu (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 159).

Sementara Durkheim pada mulanya menekankan paksaan eksternal dari lingkungan sosial. Paksaan-paksaan ini diperhitungkan kalau individu mengejar pelbagai tujuan, sangat mirip dengan fakta obyektif dalam lingkungan fisik yang juga diperhitungkan. Manusia bertindak secara rasional dalam memperhitungkan paksaan-paksaan sosial seperti kode hukum dalam merencanakan tindakannya sendiri.

Kemudian dalam mengembangkan konsep kesadaran kolektif atau collective conscience dan kesadaran akan hadirnya kelompok dalam diri seseorang atau collective representation, Durkheim memandang dan memperlakukan faktor-faktor sosial itu tidak hanya sebagai seperangkat fakta eksternal yang diperhitungkan individu tetapi sebagai seperangkat ide, kepercayaan, nilai dan pola normatif yang dimiliki individu secara subyektif bersama orang-orang lain dalam kelompoknya atau masyarakat keseluruhan. Faktor-faktor sosial di sini tidak hanya sekedar bagian dari lingkungan eksternal yang harus dihadapi individu dalam mengejar kepentingan pribadi. Sebaliknya hakekat atau isi kepentingan individu akan mencerminkan nilai dan norma kelompok bersama (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 162).

Singkatnya, analisa Parsons sejauh ini mengenai Marshall, Pareto, dan Durkheim memperlihatkan masing-masing menuju suatu posisi voluntaristik di mana pentingnya orientasi normatif dan ideal-ideal yang dianut bersama diterima dan diakui. Tetapi, Weber adalah seorang ahli teori yang memperlihatkan dengan sangat sistematis kemungkinan-kemungkinan untuk mempersatukan ideal-ideal budaya serta norma-norma ke dalam satu model perilaku yang juga mengakui pentingnya

(11)

situasi materiil dan sosial di mana perilaku itu terjadi. Kedua tekanan yaitu orientasi normatif dan konteks situasional harus disatukan dalam teori tindakan yang umum sifatnya. Orientasi normatif memberi arah pada pilihan individu akan alat dan tujuan, sedangkan konteks situasional memberikan kesempatan dan memberikan batas-batas pada tindakan individu.

Dengan teori voluntaristiknya, Parsons bermaksud untuk mempersatukan semua wawasan posisi teoritis yang ditinjaunya. Khususnya, individu benar-benar memiliki kebebasan memilih alat dan tujuan; pilihan individu itu sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan pilihannya itu diatur oleh norma dan nilai bersama seperti yang ditekankan oleh kaum idealis (Soedjono Dirdjosisworo 1996: 163). Pandangan Parsons tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.

Basis dasar dari teori aksi Parsons ini yaitu apa yang dinamakan unit aksi, yang memiliki empat komponen. Keempat komponen tersebut antara lain, eksistensi aktor, kemudian unit aksi yang terlibat tujuan, lalu situasi- kondisi, dan sarana-sarana lainnya, yaitu norma dan nilai-nilai. Inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep voluntarisme dalam teorinya Parsons. Inti persoalannya adalah kemampuan individu untuk melakukan tindakan dalam arti menetapkan cara atau alat dari sejumlah alternatif yang tersedia dalam rangka untuk mencapai tujuan. Perilaku tersebut memiliki beberapa pokok, yaitu:

(12)

2. Aktor yang memiliki tujuan yang ingin dicapai,

3. Aktor yang memiliki berbagai cara yang mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tujuan yang diinginkan tersebut,

4. Aktor yang tengah dihadapkan pada berbagai kondisi dan situasi yang dapat memengaruhi pilihan cara-cara yang yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut,

5. Aktor yang dibatasi oleh nilai-nilai, norma dan ide-ide dalam menetukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara mencapai tujuan tersebut, dan

6. Perilaku, termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang tata cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan setelah dipengaruhi oleh ide dan situasi kondisi yang ada (I. B. Irawan, 2012: 24).

Menurut Parsons, “tindakan” adalah perilaku yang disertai oleh adanya “upaya” subyektif dengan tujuan untuk mendekatkan kondisi-kondisi “situasional” atau “isi kenyataan” pada keadaan yang “ideal” atau yang ditetapkan secara normatif (Peter Beilharz, 2002). Tindakan sosial menekankan pada orientasi subjektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur atau dikendalikan oleh nilai atau standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan-tujuan yang ditentukan individu serta alat-alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan itu juga dalam memenuhi kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatifnya (Doyle Paul Johnson 1986: 113).

Prinsip-prinsip dasar ini bersifat universal dan mengendalikan semua tipe perilaku manusia tanpa memandang konteks budaya tertentu. Untuk mencapai tujuan ini penting untuk membentuk suatu strategi dalam mengidentifikasi elemen-elemen dasar yang membentuk gejala dan untuk mengembangkan seperangkat kategori dan untuk membahas tipe-tipe kasus yang berbeda khususnya elemen-elemen dasar apa

(13)

saja yang terdapat, orientasi apa yang berbeda yang dapat ditujukan dengan strategi ini, bagaimana orientasi subjektif yang terdapat pada individu berbeda, cocok satu sama lain atau menghasilkan tindakan yang saling tergantung yang membentuk suatu sistem sosial.

Untuk menjawab ini Parsons membuat sistem klasifikasi yang paling banyak dikenal atau sering dikutip adalah variabel berpola (pattern variables). Dalam konteks kerangka pilihan Parsons, variabel-variabel ini dilihat lebih umum sifatnya. Dalam kerangka umum itu orientasi orang yang bertindak terdiri dari dua (2) elemen dasar yaitu:

1. Orientasi motivasional

Orientasi ini menunjuk pada keinginan individu yang bertindak untuk memperbesar kepuasaan dan mengurangi kekecewaan. Orientasi ini terdiri dari tiga (3) dimensi yaitu:

a. Dimensi kognitif yaitu menunjuk pada pengetahuan orang bertindak mengenai situasinya khususnya dihubungkan pada kebutuhan dan tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dengan satu rangsangan dengan rangsangan lainnya.

b. Dimensi katektif atau emosional yaitu menunjuk pada reaksi katektif atau emosional dan orang yang bertindak terhadap situasi atau berbagai aspek didalamnya. Ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan, dan reaksi yang negatif terhadap aspek- aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan.

(14)

c. Dimensi evaluatif yaitu menunjuk pada dasar pilihan sesorang antara orientasi kognitif atau katektif secara alternatif. Evaluatif ada karena individu selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan dan ada kemungkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi katektif. Kriteria yang digunakan individu untuk memilih dari alternatif-alternatif ini merupakan dimensi alternatif.

2. Orientasi nilai

Orientasi ini menunjuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dan prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan-tujuan yang berbeda. Orientasi ini terdiri dari tiga dimensi yaitu:

a. Dimensi kognitif yaitu menunjuk pada standar-standar yang digunakan dalam menerima atau menolak berbagai interpretasi kognitif mengenai situasi.

b. Dimensi apresiatif yaitu menunjuk pada standar yang tercakup pada pengungkapan perasaan atau keterlibatan emosi atau afektif.

c. Dimensi moral yaitu menunjuk pada standar-standar abstrak yang digunakan unyuk menilai tipe-tipe tindakan alternatif menurut implikasinya terhadap sistem itu secara keseluruhan baik individual maupun sosial dimana tindakan itu berakar.

Orientasi nilai keseluruhan mempengaruhi dimensi evaluatif dalam orientasi motivasional. Ketiga dimensi orientasi nilai itu mencerminkan pola-pola budaya yang diresapi individu. Dimensi-dimensi ini dapat juga digunakan untuk mengklasifikasikan aspek-aspek sistem budaya yang berbeda. Singkatnya, dimensi kognitif berhubungan dengan sistem kepercayaan budaya, dimensi apresiatif dengan

(15)

sistem budaya yang berhubungan dengan simbolisme ekspresif, dan dimensi moral berhubungan dengan sistem budaya dalam orientasi nilai (Doyle Paul Johnson 1986: 113-115).

Dalam kerangka umum ini, variabel-variabel berpola itu memperlihatkan lima pilihan dikotomi yang harus diambil seorang secara eksplisit atau implisit dalam menghadapi orang lain dalam situasi sosial apa saja. Pilihan-pilihan itu antara lain yaitu:

1. Afektivitas versus netralitas afektif.

Ini merupakan dilema mengenai apakah mencari atau mengharapkan kepuasaan emosional dari orang lain atau tidak, dalam suatu situasi sosial. Pilihan yang jatuh ke afektivitas akan berarti bahwa orang-orang yang terlibat itu akan berhubungan satu sama lain secara emosional, dan saling memberikan kepuasan secara langsung. Dimensi katektik akan mendapat prioritas tinggi. Hubungan dengan kekasih atau antaranggota keluarga merupakan contoh yang tepat mengenai pilihan ini.

Sebaliknya, memilih netralitas afektif berarti orang itu menghindari keterlibatan emosional atau pemuasan yang langsung. Hubungan antara dokter dan pasien atau pekerja sosial dan kliennya merupakan contoh pola ini.

2. Orientasi diri versus orientasi kolektif.

Dilema ini berhubungan dengan kepentingan yang harus diutamakan. Orientasi diri akan berarti bahwa kepentingan pribadi orang itu sendirilah yang mendapat prioritas, sedangkan orientasi kolektif akan berarti bahwa kepentingan orang lain atau kolektivitas secara keseluruhan yang harus diprioritaskan. Artinya dimensi moral kolektiflah yang diutamakan.

(16)

3. Universalisme versus partikularisme.

Dilema ini berhubungan dengan ruang lingkup dari standar-standar normatif yang mengatur suatu hubungan sosial. Pola universalistik mencakup standar-standar yang diterapkan untuk semua orang lain yang dapat diklasifikasikan bersama menurut kategori-kategori yang sudah dibatasi secara impersonal.

Sebaliknya, pola partikularistik mencakup standar-standar yang didasarkan pada suatu hubungantertentu yang terdapat pada kedua pihak. Hubungan tertentu itu seperti kelompok, suku, agama ,dan sebagainya.

1. Askripsi versus prestasi.

Parsons melihat variabel ini (dan yang berikutnya) berbeda dengan ketiga variabel sebelumnya dalam hal di mana yang diperlihatkan adalah persepsi orang yang bertindak atau klasifikasi orang lain dan bukan orientasi pribadinya. Intinya, orang lain dapat dilihat dan dinilai menurut siapa mereka atau apa yang mereka buat.

Dalam askripsi, orang lain diperlakukan menurut mutu atau sifatnya yang khusus yang membatasi keterlibatannya dalam suatu hubungan sosial. Para anggota keluarga misalnya, diperlakukan lain dari orang lain hanya karena keanggotaannya dalam keluarga itu. Sama halnya sifat-sifat atau mutu askriptif seperti latar belakang etnis atau rasial mungkin dipertimbangkan sebagai dasar penilaian perbedaan itu. Sebaliknya, pola prestasi menekankan pada penampilan atau kemampuan yang nyata.

2. Spesifitas versus kekaburan.

Seperti variabel diatas, variabel ini juga dilihat Parsons dalam hubungannya dengan persepsi orang lain. Pada dasarnya, variabel ini berhubungan dengan ruang lingkup keterlibatan seseorang dengan orang lain. Kalau kewajiban timbal-balik itu

(17)

terbatas dan dibatasi dengan tepat, pola ini bersifat spesifik. Sebaliknya, kalau kepuasan yang diterima atau diberikan kepada orang lain amat luas sifatnya, pola itu bersifat kabur atau tidak menentu.

Dalam suatu hubungan yang bersifat spesifik, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang yang memberi tuntutan pada orang lain untuk membenarkan tuntutan itu, sedangkan dalam hubungan yang ditandai oleh kekaburan, kewajiban untuk membuktikan akan ada pada orang kepada siapa tuntutan itu dijatuhkan untuk menjelaskan mengapa tuntutan itu tidak terpenuhi (Doyle Paul Johnson 1986:116- 119).

2.5 Pendekatan Fungsi AGIL Talcott Parsons

Talcott Parsons telah banyak menghasilkan sebuah karya teoritis. Talcott Parsons terkenal dengan empat imperatif fungsional bagi sistem “tindakan” yaitu skema AGIL. AGIL, fungsi adalah suatu gugusan aktivitas yang diarahkan untuk memenuhi satu atau beberapa kebutuhan sistem. Menggunakan definisi ini, Parsons percaya bahwa ada empat imperatif fungsional yang diperlukan atau menjadi ciri seluruh sistem yaitu:

1. Adaptation (Adaptasi)

Sebuah sistem harus mengatasi kebutuhan situasional yang datang dari luar. Sistem harus beradaptasi dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhan-kebutuhannya.

2. Goal Attainment (Pencapaian Tujuan)

(18)

3. Integration (Integrasi)

Sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi lainnya (A, G, L).

4. Latency (Latensi atau Pemeliharaan Pola)

Sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultur yang menciptakan dan menopang motivasi.

Parsons mendesain skema AGIL ini untuk digunakan pada semua tingkat dalam sistem teoritisnya. Terutama dalam sistem tindakan, yang dapat dicontohkan, sebagai berikut:

a. Organisme Perilaku adalah sistem tindakan yang melaksanakan fungsi adaptasi dengan menyesuaikan diri dengan mengubah lingkungan eksternal. b. Sistem Kepribadian yaitu melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan

menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya yang ada untuk mencapainya.

c. Sistem Sosial yaitu menanggulangi fungsi integrasi dengan mengendalikan bagian-bagian yang menjadi komponennya.

d. Sistem Kultural yaitu melaksanakan fungsi pemeliharaan pola dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan nilai yang memotivasi mereka untuk bertindak. (Ritzer, 2008: 121).

Sistem organisasi biologis dalam sistem tindakan berhubungan dengan fungsi adaptasi yakni menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mengubah lingkungan

(19)

sesuai dengan kebutuhan. Sistem kepribadian melaksanakan fungsi pencapaian tujuan dengan merumuskan tujuan dan menggerakakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan. Teori Struktural Fungsional menjelaskan bagaimana berfungsinya suatu struktur. Setiap struktur (mikro seperti persahabatan, organisasi dan makro seperti masyarakat) akan tetap ada sepanjang struktur memiliki fungsi.

2.6 Kelas Sosial

Setiap masyarakat senantiasa mempunyai penghargaan tertentu terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan dan setiap masyarakat pasti mempunyai atau memiliki sesuatu yang dihargainya. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu, akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal-hal lainnya. Kalau suatu masyarakat lebih menghargai kekayaan materiil daripada kehormatan, misalnya, mereka lebih banyak mempunyai kekayaan materiil akan menempati kedudukan yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pihak-pihak lain. Gejala tersebut menimbulkan lapisan masyarakat, yang merupakan pembedaan posisi seseorang atau sekelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.

Pitirim A. Sorokin (Soerjono Soekanto 2006: 197), mengatakan bahwa sistem lapisan merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur. Barangsiapa yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah yang sangat banyak dianggap masyarakat berkedudukan dalam lapisan atasan. Mereka yang hanya sedikit sekali atau tidak memiliki sesuatu yang berharga dalam pandangan masyarakat mempunyai kedudukan yang rendah. Sistem lapisan dalam masyarakat tersebut dalam sosiologi dikenal sebagai social stratification. Kata stratification

(20)

berasal dari stratum (jamaknya: strata yang berarti lapisan) atau yang disebut dengan kelas sosial.

Pitirim A. Sorokin (Soerjono Soekanto, 2006) menyatakan bahwa social stratification adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Perwujudannya adalah kelas-kelas tinggi dan kelas yang lebih rendah. Selama dalam masyarakat ada sesuatu yang dihargai, dan setiap masyarakat pasti mempunyai sesuatu yang dihargainya, sesuatu itu akan menjadi bibit yang dapat menumbuhkan adanya sistem lapisan dalam masyarakat itu. Sesuatu yang dihargai di dalam masyarakat dapat berupa uang atau benda-benda yang bernilai ekonomis, tanah, kekuasaan, ilmu pengetahuan, kesalehan dalam agama atau mungkin juga keturunan yang terhormat.

Pedoman untuk meneliti pokok-pokok terjadinya proses pelapisan dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2006):

1. Distribusi hak-hak istimewa yang objektif seperti misalnya kekayaan, penghasilan, keselamatan (kesehatan),

2. Sistem pertanggaan yang diciptakan oleh para warga masyarakat (prestise dan penghargaan),

3. Kriteria sistem pertentangan dapat berdasarkan kualitas pribadi, keanggotaan kelompok kerabat tertentu, wewenang atau kekuasaan,

4. Lambang-lambang kedudukan, seperti tingkah laku hidup, cara berpakaian, perumahan, keanggotaan pada suatu organisasi dan selanjutnya,

5. Mudah atau sukarnya bertukar kedudukan,

6. Solidaritas di antara individu atau kelompok-kelompok sosial yang menduduki kedudukan yang sama dalam sistem sosial masyarakat seperti:

(21)

a. Pola-pola interaksi,

b. Kesamaan atau ketidaksamaan sistem kepercayaan, sikap, dan nilai-nilai, c. Kesadaran akan kedudukan masing-masing,

d. Aktivitas sebagai organ kolektif.

Pengertian kelas sosial menurut beberapa ahli sosiologi (Soerjono Soekanto, 2006) adalah:

a) Kurt. B. Mayer

Istilah kelas sosial hanya dipergunakan untuk lapisan yang bersandarkan atas unsur-unsur ekonomis, sedangkan lapisan yang berdasarkan atas kehormatan kemasyarakatan dinamakan kelompok kedudukan (status group).

b) Max Weber

Membuat pembedaan antara dasar-dasar ekonomis dan dasar-dasar kedudukan sosial, dan tetap menggunakan istilah kelas bagi semua lapisan. Pembedaan kedudukan seseorang dalam masyarakat berdasarkan kriteria ekonomi. Yang mana apabila semakin tinggi perekonomian seseorang, maka semakin tinggi pula kedudukannya, dan bagi mereka perekonomiannya bagus (berkecukupan) termasuk kategori kelas tinggi (high class). Begitu juga sebaliknya bagi mereka yang perekonomiannya cukup bahkan kurang, mereka termasuk kategori kelas menengah (middle class) dan kelas bawah (lower class).

c) Joseph Schumpeter

Terbentuknya kelas dalam masyarakat karena diperlukan untuk menyesuaikan masyarakat dengan keperluan-keperluan yang nyata, akan tetapi makna kelas dan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya hanya dapat dimengerti dengan benar apabila diketahui riwayat terjadinya.

(22)

Dari beberapa definisi yang dikemukakan para ahli sosiolog di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kelas sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hierarkis). Terjadinya pembedaan kelas dalam masyarakat tersebut didasarkan pada faktor ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan keterkaitan status (jabatan) seseorang anggota keluarga yang lain. Adapun perwujudannya adalah lapisan-lapisan atau kelas tinggi, sedang, ataupun kelas-kelas yang rendah.

Adapun ukuran-ukuran yang menyebabkan seseorang tergolong ke dalam suatu kelas sosial tertentu menurut Soerjono Soekanto (2006) adalah sebagai berikut:

a. Ukuran kekayaan

Barangsiapa yang memiliki kekayaan yang paling banyak termasuk dalam lapisan atas. Kekayaan tersebut, misalnya, dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-cara mempergunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya.

b. Ukuran kekuasaan

Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar menempati lapisan atas.

c. Ukuran kehormatan

Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan/ atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat yang teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.

(23)

Ilmu pengetahuan sebagai ukuran dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak halal.

Referensi

Dokumen terkait

Mes- kipun di sisi yang lain, reaktualisasi filsafat Islam, khususnya dalam rangka reintegrasi keilmuan di perguruan tinggi Islam menjadi sangat krusial mengingat umat

Dapat dibayangkan kerja keras dari Departemen Kesehatan dan jajarannya dalam memutus penyebab kematian yang begitu tinggi. Peran serta dokter anak diharapkan dapat mengubah

53 NO Urusan Pemerintahan Organisasi Perangkat Daerah Pelaksana Kebijakan Uraian Program / Kegiatan Indikator Program/kegia tan Rumus Target Indikator

Secara keseluruhan terdapat lima faktor yang menyebabkan erosi yaitu : iklim, tanah, topografi atau bentuk wilayah, vegetasi penutup tanah dan kegiatan manusia.. Faktor iklim

Masyarakat Desa Cikakak pada umumnya dan masyarakat Islam Aboge pada khususnya yang telah memberikan bantuan dalam mengambil data sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini5.

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang

Fitur Go-Jek yang menarik adalah penumpang bisa menggunakan Credit Go-Jek dalam setiap transaksinya jadi lebih paktis dan yang tak kalah menarik adalah

Peningkatan Kreativitas melalui Pendekatan Tematik dalam Pembelajaran Seni Grafis Cetak Tinggi Bahan Alam di SD Sistem pendidikan Sekolah Dasar, sebagaimana diungkapkan