MAKALAH
FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI II
‘’ANTIHISTAMIN’’
OLEH:
NAMA : RINI PATABANG
NIM : 1001012
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
MAKASSAR
PENGGOLONGAN ANTIHISTAMIN 1. ANTAGONIS RESEPTOR H1 (AH1)
Pengolongan antihistamin (AH1)
Antihistamin ( AH1) Generasi Pertama 1. Azatadine 2. Azelastine 3. Brompheniramine 4. Chlorpheniramine 5. Clemastine 6. Cyproheptadine 7. Dexchlorpheniramine 8. Hydroxyzine 9. Promethazine 10. Tripelennamine Farmakokinetik.
Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1
diabsorpsi secara baik. Pemberian antihistamin H1 secara oral
efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam,
Antihistamin ( AH1) Generasi Kedua
1. Cetirizine 2. Loratadine
Antihistamin ( AH1) Generasi Ketiga 1 Fexofenadine
mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar antihistamin H1
dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati. Antihistamin AH1 dieksresi melalui urin setelah 24 jam,
terutama dalam bentuk metabolitnya
Farmakodinamik.
Antagonisme terhadap histamin. H1 menghambat efek histamin
pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam – macam otot polos, setelah itu AH1 bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensivitas
atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.
Otot polos. Secara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin
pada otot polos, usus dan bronkus.Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot
Permeabilitas kapiler. Peninggian permeabilitas kapiler dan adema akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1.
Reaksi anafilaksis dan alergi: reaksi anafilaksis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1, karena disini bukan
histamine saja yang berperan tetapi autakoid lain juga dilepaskan. Efektivitas AH1 melawan reaksi hipersensitivitas berbeda-beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin.
Kelenjar eksokrin: efek perangsangan histamine terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat menghambat sekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin.
Mekanisme kerja.
Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena dapat mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat untuk reaksi alergi yang bersifat kronik.
Efek samping.
Pada dosis terapi, semua antihistamin H1 menimbulkan efek
samping walaupun jarang bersifat serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Terdapat variasi yang besar dalam toleransi obat antar individu, kadang-kadang efek samping ini sangat mengganggu sehingga terapi perlu dihentikan.
Contoh obat;
Difenhindramin HCl
Farmakokinetika.
Diphenhydramine merupakan amine stabil dan cepat diserap pada pemberian secara oral, dengan konsentrasi darah puncak terjadi pada 2-4 jam. Di dalam tubuh dapat terdistribusi meluas dan dapat dengan segera memasuki system pusat saraf, sehingga dapat menimbulkan efek sedasi dengan onset maksimum 1-3 jam. Diphenhydramine memiliki waktu kerja/durasi selama 4-7 jam. Obat tersebut memiliki waktu paruh eliminasi 2-8 jam dan 13,5 jam pada pasien geriatri. Bioavailabilitas pada pemakaian oral mencapai 40%-60% dan sekitar 78% terikat pada protein. Sebagian besar obat ini dimetabolisme dalam hati dan mengalami first-pass efect, namun beberapa dimetabolisme dalam paru-paru dan system ginjal, kemudian diekskresikan lewat urin.
Farmakodinamika.
Difenhidramin ini memblokir aksi histamin, yaitu suatu zat dalam tubuh yang menyebabkan gejala alergi. Difenhidramin menghambat pelepasan histamin (H1) dan
asetilkolin (menghilangkan ingus saat flu). Hal ini memberi efek seperti peningkatan kontraksi otot polos vaskular,
sehingga mengurangi kemerahan, hipertermia dan edema yang terjadi selama reaksi peradangan. Difenhidramin menghalangi reseptor H1 pada perifer nociceptors sehingga
mengurangi sensitisasi dan akibatnya dapat mengurangi gatal yang berhubungan dengan reaksi alergi. Memberikan respon yang menyebabkan efek fisiologis primer atau sekunder atau kedua-duanya. Efek primer untuk mengatasi gejala-gejala alergi dan penekanan susunan saraf pusat (efek sekunder).
Mekanisme kerja.
Kerja antihistaminika H1 akan meniadakan secara
kompetitif kerja histamin pada reseptor H1, dan tidak
mempengaruhi histamin yang ditimbulkan akibat kerja pada reseptor H2. Reseptor H1 terdapat di saluran pencernaan,
pembuluh darah, dan saluran pernapasan. Difenhidramin bekerja sebagai agen antikolinergik (memblok jalannya impuls-impuls yang melalui saraf parasimpatik), spasmolitik, anestetika lokal dan mempunyai efek sedatif terhadap sistem saraf pusat.
Efek samping.
Dimenhidrinat
Farmakokinetik .
Absorbsi. Diabsobsi dengan baik setelah pemberian oral.
Distribusi. Didistribusi tidak diketahui, kemungkinan menembus plasenta dan menembusi ASI.
Metabilisme dan ekskresi. Dimetabolisme dihati.
Mekanisme kerja
Menghambat stimulasi vestibular, mula-mula bekerja pada sistem otolith, dan pada dosis yang lebih besar bekerja pada kanal semisirkular; menghambat asetilkolin
Efek samping
Umum:mengantuk, sakit kepala, pandangan kabur, telinga berdenging, mulut dan saluran pernapasan kering, inkoordinasi, palpitasi, pusing, hipotensi. Kurang umum:anoreksia, konstipasi, diare, frekuensi urin, dan disuria. Rasa sakit dapat terjadi pada tempat injeksi.
Interaksi obat.
Dengan Obat Lain : Meningkatkan efek obat-obat penekan SSP, meningkatkan efek obat-obat antikolinergik (seperti antidepresi trisiklik), menutupi gejala awal ototoksisitas bila
2. ANTAGONIS RESEPTOR H2 (AH2)
Reseptor histamin H2 berperan dalam efek histamin
terhadap sekresicairan lambung, perangsangan jantung. Beberapa jaringan seperti otot polos pembuluh darah mempunyai kedua reseptor yaitu H1 dan H2.
Sejak tahun 1978 di Amerika Serikat telah diteliti peran potensial antihistamin H2 cimetidine untuk penyakit kulit. Pada
tahun 1983, ranitidine ditemukan pula sebagai antihistamin H2. Baik
simetidin maupun raditidin diberikan dalam bentuk oral untuk mengobati penyakit kulit. Kedua obat tersedia dalam bentuk injeksi intramuskular dan intravena.
SIMETIDIN DAN RETIDIN
Farmakodinamik
Simetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2
secara selektif dan reversibel. Perangsangan reseptor H2
akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat.
Farmakokinetik
Bioavaibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh makanan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke
60-90. Simetidin masuk ke dalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin dieksresi dalam bentuk asam dalam urin. Masa paruh eliminasinya sekitar 2 jam.
Bioavaibilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa, dan memanjang pada orangtua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral, dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin mengalami metabolisme lintas pertama di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidin dan metabolitnya dieksresi terutama melalui ginjal, sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral dieksresi dalam urin dalam bentuk asal.
Mekanisme kerja
Walaupun simetidin dan ranitidin berfungsi sama yaitu menghambat reseptor H2, namun ranitidin lebih poten.
Simetidin juga menghambat histamin N-methyl transferase, suatu enzim yang berperan dalam degrasi histamin. Tidak seperti ranitidin, simetidin menunjukkan aktivitas antiandrogen, suatu efek yang diketahui tidak berhubungan dengan kemampuan menghambat reseptor H2. Aktivitas
antiandrogen didapatkan dari inhibisi kompetitif dyhidrotestosterone pada reseptor androgen perifer.
Simetidin tampak meningkatkan sistem imun dengan menghambat aktivitas sel T supresor. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh blokade reseptor H2 yang dapat dilihat dari
supresor limfosit T. Imunitas humoral dan sel dapat dipengaruhi.
Efek Samping
Insiden efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2, beberapa efek samping lain tidak berhubungan
dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : Nyeri kepala, pusing, mual, dan diare.
Interaksi obat.
Anatasid dan metoklopremid mengurangi biovailabilitas oral semakin sebanyak 20-30%. Interaksi ini memungkinkan tidak bermakna secara klinis, akan tetapi dianjurkan selang
waktu minimal 1 jam antara penggunaan antasid atau metoklopremid dan simetidin oral
FAMOTIDIN
Farmakodinamik.
Seperti halnya dengan simetidin dan ranitidin. Famotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat
sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih potan dari pada renitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin.
Farmakokinetik.
Femotidin mencapai kadar puncak di plasma kira – kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh eliminasi 3-8 jam dan viovailabilitas 40-50%. Metabolit utama adalah femotidin-S- oksida. Setelah dosis oral tunggal, sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
Efek samping.
Efek samping femotidin biasanya ringan dan jarang terjadi, misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin famotidin nampaknya lebih
baik dari simetidin karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
Interaksi obat
Fenotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam, teofilin, warfarin, atau fenitoin di hati. Ketakonazot membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bila diberikan bersama AH2.
NIZATIDIN
Farmakodinamik.
Potensi nizatidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang. Lebih sama dengan ranitidin.
Farmakokinetik
Biovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak di pengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Kirens menurun pada pasien uremik dan usia lanjut.
Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1 jam, masa paruh plasma sekitar 11/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin di sekresi terutama melalui ginjal 90% dari dosis yang digunakan ditemukan di urin dalam 16 jam.
Efek samping.
Nizatidin umumnya jarang menimbulkan efek samping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi.
Peningkatan kadar asam urat dan transminase serum ditemukan pada beberapa pasien yang nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Seperti halnya dengan AH2 lainnya, potensi nizatidin untuk menimbulkan
hepatotoksisitas rendah . nizatidin tidak mempunyai efek antiandrogenik. Nizatidin dapat menghambat alcohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alcohol yang lebih tinggi dalam kadar serum. Nizatidin tidak menghambat system P450. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interkasi obat bila nizatidin diberikan bersama teofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam, atau lorazepam. Penggunanan bersama antacid tidak menurunkan absorbs nizatidin secara bermakna. Ketokonazol yang membutuhkan pH asam menjadi kurang efektif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2.
3. PEMILIHAN SEDIAAN
Banyak golongan AH1 yang digunakan dalam terapi tetapi efektivitasnya tidak banyak berbeda, perbedaan antara jenis obat hanya dalam hal potensi, dosis, efek samping dan jenis sediaan yang ada. Sebaiknya dipilih AH1 yang efek terapinya lebih besar dengan efek samping seminimal mungkin, tetapi belum ada AH1 yang ideal seperti ini. Selain ditentukan berdasarkan potensi
terapeutik dan beratnya efek samping pemilihan sediaan perlu dipertimbangkan berdasarkan adanya variasi antar individu. Karena itu perlu dicoba dan diperhatikan efek yang menguntungkan dan efek samping apa yang timbul akibat pemberian AH1.
Untuk pegangan dalam terapi, disajikan penggolongan AH1 dengan lama kerja. Walaupun antagonis reseptor H2 lebih kuat menghambat sekresi asam lambung daripada terapi intensif dengan antasida pada pasien esofagitis refluks, tukak lambung, tukak duodeni atau pencegahan tukak lambung akibat stress. Antagonis reseptor H2 disediakan sebagai obat alternatif untuk pasien yang tidak memberikan respons baik terhadap pengobatan antasida jangka panjang.
KESIMPULAN
Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptor-reseptornya. Berdasarkan reseptor yang dihambat, histamin dibagi menjadi antagonis reseptor H1, reseptor H2, dan reseptor H3. Penghambat reseptor H1 digunakan pada terapi alergi yang diperantai IgE. Obat-obatan tersebut telah tersedia tetapi penggunaan generasi antihistamin pertama (klorfeniramin, bomfeniramin, difenhidramin, klemastin, hidroksizin) terbatas, karena adanya efek samping sedasi primer dan menyebabkan keringnya membran mukosa. Antihistamin generasi kedua (loratadin, cetirizin) dan ketiga (feksofenadin, desloratadin) bekerja menghambat reseptor histamin H1 disamping efek antiinflamasi.
Pemakaian diklinik hendaknya mempertimbangkan cara kerja obat, farmakokinetik dan farmakodinamik, indikasi dan kontra indikasi, cara pemberian, serta efek samping obat dan interaksi obat lain. Beberapa antihistamin mempunyai efek samping yang serius jika dikonsumsi bersamaan dengan obat lain atau menggunakan antihistamin tanpa alasan yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
1. Udin Sjamsudin, Hedi RD. 1995.: Histamin dan Antihistamin dalam Farmakologi Dan Terapi edisi 4, Bagian Farmakologi FKUI, Jakarta. 2. .Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakolog
dan terapi edisi 5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
3. Bertra M,Katzung.1997. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 6. Jakarta : EGC