• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketidakmangkusan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dalam Mengatasi Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah Senin, 21 Juli 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ketidakmangkusan Kawasan Ekonomi Terpadu (KAPET) dalam Mengatasi Kesenjangan Ekonomi antar Wilayah Senin, 21 Juli 2014"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Senin, 21 Juli 2014

Pendahuluan

Masalah kebijakan ekonomi wilayah di Indonesia yang sering mengemuka adalah masalah kesenjangan ekonomi antar wilayah terutama antara kawasan timur dan kawasan barat Indonesia. Sebagai upaya untuk mengatasi kesenjangan tersebut Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1993 telah menetapkan dua kawasan pembangunan yaitu Kawasan Barat Indonesia (Jawa, Sumatera, dan Bali) dan Kawasan Timur Indonesia (Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian (sekarang Papua), Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur).

Berdasarkan GBHN 1993 tersebut maka ditetapkanlah Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1993 sebagai dasar hukum dalam pembentukan Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia yang bertugas menggagas dan merumuskan konsepsi pengembangan KTI, termasuk menghimpun pemikiran dan saran yang diperlukan dalam menyusun kebijakan dan strategi pengembangan KTI. Didalam Keppres ini Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur disebut sebagai provinsi tertentu lainnya. Setelah itu ditetapkan Keputusan Presiden No. 89 Tahun 1996 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).

Berdasarkan Keppres 89/1996, yang dimaksud dengan KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan:a) memiliki potensi untuk cepat tumbuh; b) mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/atau c) memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.

Sedangkan Keppres 9/1998, memberikan perlakuan di bidang pajak penghasilan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah KAPET, berupa: a) pembebasan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang modal, bahan baku, dan peralatan lain, yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi; b) pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat di bidang Pajak Penghasilan; c) kompensasi kerugian, mulai tahun berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 tahun; d) pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Dividen, sebesar 50% dari jumlah yang seharusnya dibayar; e) pengurangan biaya berupa natura yang diperoleh karyawan yang tidak diperhitungkan sebagai penghasilan karyawan dan biaya pembangunan dan pengembangan daerah setempat, yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang fungsinya dapat dinikmati umum.

Selain perlakuan perpajakan, dengan memperhatikan kondisi masing-masing KAPET, kepada pengusaha KAPET dapat diberikan perlakuan perpajakan tambahan berupa tidak dipungutnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, atas: a) pembelian dalam negeri dan/atau impor barang modal dan peralatan lain oleh pengusaha di KAPET, yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi; b) impor Barang Kena Pajak oleh pengusaha di KAPET, untuk diolah lebih lanjut; c) penyerahan Barang Kena Pajak oleh pengusaha di luar KAPET kepada pengusaha di KAPET, untuk diolah lebih lanjut; d) penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut, antarpengusaha di dalam KAPET yang sama atau oleh pengusaha di KAPET lain kepada pengusaha di KAPET; e) penyerahan Barang Kena Pajak untuk diolah lebih lanjut, oleh pengusaha di KAPET kepada pengusaha di Kawasan Berikat atau oleh pengusaha di KAPET kepada pengusaha di daerah pabean lainnya, dan hasil pekerjaan tersebut diserahkan kembali kepada pengusaha di KAPET; f) penyerahan Jasa Kena Pajak oleh pengusaha di luar KAPET kepada atau antar pengusaha di KAPET, sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang dilakukan di KAPET; g) pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean maupun dalam daerah pabean oleh pengusaha di KAPET, sepanjang Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut mempunyai

hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang dilakukan KAPET; h) pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean oleh pengusaha di KAPET, sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dilakukan di KAPET.

Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, telah ditetapkan Keputusan Presiden lainnya tentang penetapan lokasi 13 KAPET (12 KAPET berada di Kawasan Timur Indonesia dan 1 KAPET di Kawasan Barat Indonesia).

(2)

Pembentukan KAPET Manado Bitung; 6) Keppres 15/1998 tentang Pembentukan KAPET Mbay; 7) Keppres 164/1998 tentang Pembentukan KAPET Parepare; 8) Keppres 165/1998 tentang Pembentukan KAPET Seram; 9) Keppres 166/1998 tentang Pembentukan KAPET Bima; 10) Keppres 167/1998 tentang Pembentukan KAPET Batui; 11) Keppres 168/1998 tentang Pembentukan KAPET Bukari; 12) Keppres 170/1998 tentang Pembentukan KAPET DAS Kakab; 13) Keppres 171/1998 tentang Pembentukan KAPET Sabang.

Kondisi kesenjangan ekonomi

wilayah kawasan barat dan kawasan timur saat ini

Kini setelah hampir 20 tahun sejak ditetapkannya 13 kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET), kesenjangan ekonomi antara kawasan barat dan kawasan timur Indonesia diukur dari PDRB periode 2004-2012 sangat sedikit sekali mengalami perbaikan seperti terlihat pada tabel dan grafik berikut ini.

Tabel

kontribusi PDRB Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia (KBI)

Tahun PDRB KBI (Rp triliun) Kontribusi (%) PDRB KTI (Rp triliun) Kontribusi (%)

(3)

(Rp triliun) 2004 1.836,2 83,05 374,8 16,95 2.210,8 2005 2.195,3 82,22 474,7 17,78

(4)

2006 2.586,7 82,95 531,6 17,05 3.118,3 2007 2.950,0 82,95 606,3 17,05

(5)

3.556,3 2008 3.506,9 82,11 764,1 17,89 4.271,1 2009 3.842,5 82,57 811,1 17,43

(6)

2010 4.365,5 82,44 929,6 17,56 5.295,1 2011 4.965,4 82,39 1.061,7 17,61 6.027,1

(7)

2012 5.562,8 82,64 1.168,7 17,36 6.731,5 Sumber

data: diolah dari data PDRB 2004-2012, BPS

Dua grafik berikut ini menunjukkan bahwa selama periode 2004-2012 telah terjadi laju peningkatan kontribusi PDRB Kawasan Timur Indonesia dan provinsi tertentu lainnya sebesar 0,04% pertahun atau terjadi penurunan kontribusi Kawasan Barat Indonesia sebesar 0,04% pertahun. Artinya dengan kecenderungan ini maka dalam kurun waktu 25 tahun akan terjadi peningkatan 1% kontribusi PDRB KTI.

Peningkatan kontribusi PDRB KTI sebesar 0,04% pertahun yang terjadi pada periode 2004-2012 tentunya sangat jauh dari harapan atau tujuan pembentukan KAPET yaitu untuk pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ke seluruh wilayah Indonesia.

Â

(8)

Tabel dan grafik di atas juga menunjukkan bahwa strategi pembentukan KAPET yang bertujuan untuk mendorong terbentuknya suatu kawasan yang berperan sebagai penggerak utama (prime mover) pengembangan wilayah dalam kurun waktu hampir 20 tahun ternyata tidak mampu mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah.

(9)

Ditinjau dari peringkat (rank) PDRB, peringkat PDRB provinsi yang berada di Kawasan Timur Indonesia pada dasarnya tidak banyak mengalami perubahan dalam periode 2004-2012 seperti terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel

Peringkat PDRB (Rp miliar) wilayah provinsi di KTI dan provinsi tertentu lainnya

Rank 2004 Rank 2008 Rank 2012 Provinsi PDRB Provinsi PDRB Provinsi

(10)

PDRB 5 Kalimantan Timur 133.704 5 Kalimantan Timur 314.814 6 Kalimantan Timur 419.102 11 Sulawesi Selatan

(11)

44.765 10 Sulawesi Selatan 85.143 10 Sulawesi Selatan 159.427 15 Kalimantan Barat 29.750 14 Papua

(12)

16 Papua 77.765 17 Kalimantan Selatan 28.028 17 Kalimantan Barat 49.133 17 Kalimantan Selatan 75.923

(13)

18 Papua 24.843 18 Kalimantan Selatan 45.844 18 Kalimantan Barat 75.027 19

Nusa Tenggara Barat

22.146

(14)

Nusa Tenggara Barat 35.315 21 Kalimantan Tengah 55.876 22 Kalimantan Tengah 18.300 22 Kalimantan Tengah 32.760 22

(15)

Sulawesi Tengah 51.062 23 Sulawesi Utara 15.728 23 Sulawesi Tengah 28.728 23

Nusa Tenggara Barat

49.529

24

(16)

14.659 24 Sulawesi Utara 28.698 24 Sulawesi Utara 47.198 25

Nusa Tenggara Timur

13.004

25

(17)

22.203 25 Papua Barat 42.760 27 Sulawesi Tenggara 21.421 26

Nusa Tenggara Timur

21.656

26

Sulawesi Tenggara

(18)

29 Papua Barat 6.577 29 Papua Barat 13.975 27

Nusa Tenggara Timur

35.253

30

(19)

30 Sulawesi Barat 8.297 30 Sulawesi Barat 14.408 31 Sulawesi Barat 3.836 31 Maluku 6.270

(20)

Maluku 11,469 32 Gorontalo 2.802 32 Gorontalo 5.907 32 Gorontalo 10.368

(21)

33 Maluku Utara 2.369 33 Maluku Utara 3.862 33 Maluku Utara 6.918 Sumber: BPS

Beberapa provinsi menunjukkan adanya peningkatan peringkat PDRB seperti Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua dan Papua Barat. Peningkatan peringkat Sulawesi Tengah dan Papua Barat lebih diorong oleh sektor migas yaitu LNG Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah dan LNG Tangguh di Papua Barat. Sedangkan Provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur mengalami penurunan peringkat PDRB. Sementara Provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Maluku, Gorontalo dan Maluku Utara relatif tidak mengalami perubahan peringkat PDRB.

Selanjutnya untuk melihat profil masing-masing provinsi di wilayah KTI dan provinsi di wilayah ekonomi tertentu lainnya tabel berikut ini menyajikan tingkat kemakmuran yang lazimnya diukur berdasarkan PDRB perkapita dan tingkat kemiskinan, serta gini ratio sebagai indikator kesenjangan di wilayah KTI.

Tabel

PDRB/kapita dan Tingkat Kemiskinan di provinsi KTI dan provinsi tertentu lainnya

(22)

No Provinsi URAIAN PDRB/kapita 2012 (Rp juta) Peringkat PDRB/kapita Nasional 2012 Tingkat Kemiskinan Maret 2013 (%) Gini Ratio

(23)

1 Kalimantan Timur 109.66 2 6,38 0,371 2 Papua Barat 52,38 4 26,67 0,431

(24)

3 Papua 24,73 10 31,13 0,442 4 Kalimantan Tengah 24,47 11 6,23 0,350

(25)

5 Sulawesi Utara 20,34 17 7,88 0,422 6 Kalimantan Selatan 20,20 18 4,76 0,359

(26)

7 Sulawesi Selatan 19,47 19 9,54 0,429 8 Sulawesi Tengah 18,71 21 14,67 0,407

(27)

9 Kalimantan Barat 16,83 24 8,74 0,396 10 Sulawesi Tenggara 15,78 26 12,83

(28)

11 Sulawesi Barat 11,83 28 12,30 0,349 12 Nusa Tenggara Barat 10,80 29 17,97

(29)

0,364 13 Gorontalo 9,56 30 17,51 0,437 14 Nusa Tenggara Timur 7,25 31 20,03

(30)

15 Maluku 7,10 32 19,49 0,370 16 Maluku Utara 6,37 33 7,50

(31)

0,318 Rata-rata 33 Provinsi 27,56 11,36 0,413 Sumber: BPS -

a) Provinsi dengan PDRB perkapita tinggi dan tingkat kemiskinan dan tingkat kesenjangan relatif rendah dibawah rata-rata nasional yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Pada tahun 2012 PDRB perkapita Kalimantan Timur sebesar Rp 109,66 juta atau peringkat kedua nasional dengan tingkat kemiskinan 6,38% serta gini ratio 0,371.

-

b) Provinsi dengan PDRB perkapita tinggi dan tingkat kemiskinan serta tingkat kesenjangan tinggi yaitu Papua Barat. Pada tahun 2012 PDRB perkapita Papua Barat mencapai Rp 52,38 juta hampir 2 (dua) kali lipat rata-rata PDRB 33 provinsi yaitu sebesar Rp 27,56 juta atau peringkat keempat nasional setelah DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Riau. Namun tingkat kemiskinan Papua Barat pada Maret 2013 mencapai 26,67% atau tertinggi kedua di tingkat nasional serta gini ratio tertinggi ketiga yaitu 0,431.

- c) Provinsi dengan PDRB perkapita sedang (sedikit dibawah rata-rata 33 provinsi) dengan tingkat kemiskinan dan tingkat kesenjangan tertinggi yaitu Papua. Pada tahun 2012 PDRB perkapita Papua mencapai Rp 24,73 juta dan tingkat kemiskinan pada bulan Maret 2013 mencapai 31,13% atau tertinggi pada tingkat nasional serta dengan gini ratio tertinggi yaitu 0,442.

- d) Provinsi dengan PDRB perkapita dibawah rata-rata 33 provinsi dengan tingkat kemiskinan dibawah rata-rata nasional yaitu Provinsi Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat dan Maluku Utara.

(32)

Timur, dan Maluku.

Walaupun PDRB perkapita Papua dan Papua Barat cukup tinggi, namun kemiskinan di Papua dan Papua Barat tertinggi di Indonesia. Tingkat kemiskinan yang tinggi di kedua provinsi ini sebagian besar terjadi di wilayah pedesaan karena kehidupan masyarakatnya sebagaian besar masih dalam bentuk komunitas tribal. Sementara kemiskinan di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo dan Maluku lebih disebabkan oleh PDRB yang rendah.

Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas, tidak tercapainya tujuan pembentukan KAPET antara lain disebabkan oleh: a) kurangnya komitmen dan konsistensi implementasi kebijakan KAPET, kurang efektifnya Keppres 150/2000, BP KAPET tidak memiliki kewenangan eksekuting, kurangnya dukungan kementerian dan SKPD terkait; b) tidak menariknya insentif fiskal yang diberikan pemerintah dalam upaya menarik investor, belum memadainya kondisi sarana prasarana; c) proses perijinan usaha yang berbelit-belit, lambat, mahal, tidak transparan, banyaknya Perda yang menghambat pengembangan dunia usaha seperti pungutan liar, pungutan berganda, dan sebagainya. Kondisi tersebut mengakibatkan lambatnya perkembangan dunia usaha dalam mendorong pengembangan industri sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi; d) terbatasnya aksessibilitas pendukung kelancaran pengembangan usaha di kawasan seperti kurangnya sarana prasana/infrastruktur, tidak berkembangnya jaringan pasar, kurangnya akses permodalan bagi pelaku usaha, kurangnya transfer teknologi bagi pelaku usaha sehingga produk kurang berkualitas dan kurang efisien, data dan informasi yang diperlukan tidak akurat dan tidak lengkap.

Jika dicermati hasil evaluasi Bappenas tersebut diatas, kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan terpadu seperti kurangnya sarana/prasarana infrastruktur, pelayanan perijinan yang birokratis dan lamban serta mahal dan ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah daerah dan BP KAPET bukanlah merupakan kendala yang tiba-tiba muncul setelah penetapan KAPET, melainkan merupakan kendala yang seharusnya dengan mudah sudah diantisipasi dan dimaklumi sejak awal penetapan KAPET.

Mengapa

terjadi kesenjangan ekonomi antar wilayah?

Paul Krugman didalam bukunya yang berjudul Geography and Trade antara lain menyebutkan bahwa ekonomi wilayah selama ini lebih banyak terobsesi pada “geometry, shape of market areas on idealized landscape, optimal siting of facilities given markets and resources - while paying no attention to the problem of modeling markets―. Pendekatan pengembangan ekonomi wilayah seperti ini menurut Paul Krugman ibarat melakukan sesuatu melalui urutan kegiatan yang salah yaitu lebih memperhatikan hal-hal yang detil pada persoalan yang akan timbul (secondary problems) sebelum menyelesaikan terlebih dahulu persoalan pokok/utama.

Persoalan pokok yang perlu dipahami adalah struktur pasar (market structure) mengapa terjadi konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Mengadopsi teori yang dikemukakan Krugman tentang konsentrasi kegiatan ekonomi di Amerika Serikat, konsentrasi kegiatan ekonomi di P. Jawa pada awalnya terdapat di bagian barat. Kawasan ini semula merupakan kawasan pertanian yang subur sehingga berkembang menjadi sentra produksi pangan terutama beras yang lama kelamaan membentuk beberapa kawasan perkotaan yang semakin lama semakin padat penduduknya seperti kota Jakarta. Dalam perkembangannya kawasan perkotaan ini berkembang menjadi semakin terspesialisasi (highly

spesialized) sehingga kegiatan produksi terkonsentrasi di dan sekitar wilayah perkotaan tersebut antara lain kota Jakarta.

Lebih lanjut Krugman menyampaikan bahwa ketika skala ekonomi dari kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi tersebut menjadi cukup besar, maka industri manufaktur cenderung melayani pasar domestik dari lokasi tunggal. Untuk

meminimumkan biaya transportasi maka industri manufaktur memilih lokasi dengan permintaan lokal (local demand) yang besar. Selanjutnya permintaan lokal akan membesar persis di lokasi yang dipilih oleh industri manufaktur sehingga siklus ini akhirnya menyebabkan konsentrasi industri manufaktur tetap bertahan pada lokasi tersebut. Sebagai contoh misalnya industri otomotif sampai saat ini terkonsentrasi di manufacturing belt Jakarta, Bogor, Bekasi dan Karawang.

(33)

wilayah pertanian yang subur dengan penduduk yang cukup padat. Penemuan minyak dan gas di Jawa Timur telah menumbuhkan industri yang berhubungan dengan minyak dan gas seperti industri pupuk, industri petrokimia dan industri campuran pengilangan minyak dan petrokimia, industri pelumas, bisnis jasa, dan sebagainya. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah sehingga cukup besar dan pertumbuhan industri yang awalnya berbasis minyak dan gas bumi

maka Jawa Timur mencapai kondisi “critical mass― sehingga Surabaya dan sekitarnya terus berkembang menjadi pusat industri termasuk industri manufaktur di bagian timur P.Jawa.

Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terletak di bagian barat dan bagian timur P.Jawa tersebut terus berkembang dan menjadi daya tarik bagi penduduk sebagai wilayah tujuan migrasi termasuk migrasi penduduk dari KTI dan dari wilayah KBI lainnya karena adanya ekspektasi untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan upah yang lebih baik. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, maka skala ekonomi industri manufaktur tumbuh semakin besar dan pertumbuhan tersebut mengakibatkan terciptanya infrastruktur yang semakin baik. Proses inilah yang menyebabkan semakin tingginya kesenjangan ekonomi antar wilayah terutama antara wilayah P.Jawa dengan wilayah luar Jawa maupun kesenjangan wilayah internal di P. Jawa sendiri yaitu antara wilayah provinsi yang memiliki manufacturing belt (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten dan Jawa Timur) dengan wilayah provinsi di luar manufacturing belt atau lazimnya disebut dengan wilayah periphery (Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta).

Kondisi ini menunjukkan bahwa tidaklah mudah untuk membangun konsentrasi kegiatan ekonomi yang baru di wilayah KTI karena untuk itu diperlukan populasi yang cukup besar sebagai titik awalnya. Bahkan untuk wilayah yang sudah cukup padat seperti Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta sekalipun tidak mudah untuk membangun manufacturing belt yang baru di kedua provinsi tersebut karena selain faktor jumlah penduduk juga ada faktor skala ekonomi dari industri

manufaktur dan faktor biaya transportasi/logistik serta faktor keunggulan dalam “forward and backward lingkages― yang menawarkan tingkat upah yang lebih tinggi yang disediakan oleh manufacturing belt di bagian barat dan bagian timur P. Jawa.

Perpindahan konsentrasi kegiatan ekonomi ke wilayah KTI hanya bisa terjadi kalau suatu wilayah memberikan

ekspektasi lapangan pekerjaan dan upah yang tinggi sehingga akan memicu migrasi secara besar besaran dalam waktu yang relatif singkat ke kawasan tersebut.

Kembali ke masalah KTI dan kebijakan pengembangan KAPET

Kalau dicermati pertumbuhan ekonomi di luar wilayah manufacturing belt yang berada di P. Jawa pada dasarnya didorong oleh sumberdaya alam (resource based economy) terutama sumber daya energi seperti minyak, gas dan batubara. Provinsi Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Papua Barat merupakan contoh provinsi yang perekonomiannya didorong oleh industri minyak dan gas.

Provinsi Kalimantan Timur yang didalamnya terdapat KAPET Sasamba sekilas terlihat sebagai provinsi yang

perekonomiannya cukup baik dengan PDRB berada pada peringkat keenam dan PDRB perkapita pada peringkat kedua. Di wilayah ini terdapat Kilang Minyak Balikpapan yang dibangun pada masa sebelum kemerdekaan, Kilang LNG Badak dibangun pada awal 1972 dan Pabrik Pupuk Kaltim dibangun pada tahun 1977.

Kondisi perekonomian Kalimantan Timur yang cukup baik tersebut dalam kenyataannya tidak mampu menarik industri manufaktur maupun jasa untuk melakukan relokasi baik dari luar negeri maupun dari manufacturing belt yang berada di P. Jawa. Penyebabnya bukanlah karena kebijakan insentif fiskal maupun kebijakan finansial yang diberikan di wilayah KAPET Sasamba tidak menarik bagi investor atau infrastruktur yang tidak memadai, tetapi perekonomian wilayah ini pada dasarnya belum mencapai critical mass untuk tumbuh dan berkembang sebagai konsentrasi kegiatan ekonomi. Critical mass akan tercapai jika jumlah penduduk cukup besar sehingga memenuhi skala ekonomi yang cukup bagi industri manufaktur maupun jasa serta biaya transportasi/logistik lebih murah atau minimum sama dengan biaya logistik manufacturing belt di P. Jawa.

Jika Kalimantan Timur tidak berhasil melakukan transformasi menjadi salah satu konsentrasi kegiatan ekonomi, maka provinsi ini nanti ketika minyak dan gas alam sudah habis akan mengalami nasib yang sama dengan provinsi Aceh yang ditandai oleh tutupnya LNG Arun dan Pabrik Pupuk Asean serta terancamnya masa depan Pabrik Pupuk Iskandar Muda serta Pabrik Kertas KKA karena gas alam di lapangan Arun sudah habis. Kondisi perekonomian Aceh cenderung menurun relatif terhadap provinsi lainnya yang antara lain ditandai oleh PDRB Aceh pada tahun 2004 berada pada

(34)

Nasib serupa juga bisa dialami oleh Sulawesi Tengah dan Papua Barat ketika nanti gas alam di kedua provinsi tersebut habis. Kondisi ini dapat merupakan sebagai self fulfilling prophecy yang akan dialami wilayah KTI.

Tidak berhasilnya kebijakan KAPET dalam menumbuhkan konsentrasi kegiatan ekonomi di wilayah KTI bukanlah terletak pada kebijakan KAPET itu sendiri tetapi terletak pada pemahaman struktur pasar (market structure) dari terbentuknya konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Investor akan menanamkan modalnya pada industri manufaktur maupun jasa kalau wilayah tersebut telah mencapai critical mass yang ditandai oleh jumlah penduduk yang cukup banyak sehingga skala ekonomi cukup besar (large enough) dan biaya transportasi/logistik yang cukup rendah karena skala ekonomi yang besar.

Jika kondisi critical mass belum tercapai maka kebijakan KAPET dalam bentuk memberikan berbagai insentif kebijakan fiskal maupun finansial menjadi tidak jelas alamatnya karena tidak atau belum ada investor yang membutuhkan

kebijakan tersebut. Inilah yang disebut Paul Krugman sebagai menyelesaikan masalah sekunder sebelum menyelesaikan masalah primer terlebih dahulu.

Apa

yang dapat dan perlu dilakukan pemerintah

Memperhatikan profil wilayah KTI dan wilayah provinsi tertentu lainnya (Kalimantan), terdapat tiga wilayah yang bisa dikembangkan potensinya untuk tumbuh dan berkembang sebagai konsentrasi kegiatan perekonomian yang baru yaitu Kalimantan Timur dan Papua Barat serta kemungkinan Sulawesi Tengah. Insentif kebijakan dapat diberikan kepada industri migas di ketiga provinsi tersebut dengan persyaratan semua kegiatan bisnis yang merupakan backward maupun forward lingkages dari industri migas harus diselenggarakan atau dioperasikan di kedua wilayah tersebut menggunakan institusi keuangan/finansial yang beroperasi di wilayah tersebut. Jika diperlukan di kedua wilayah tersebut dapat

diterapkan unit banking system karena sistem perbankan seperti ini sangat mendorong sekali pembangunan dan pengembangan wilayah.

Untuk wilayah lainnya tugas dan fungsi pemerintah adalah mendorong pertumbuhan ekonomi berdasarkan keunggulan yang dimiliki masing-masing wilayah seperti pertanian, perkebunan, perikanan dan pariwisata serta ekonomi kreatif. Selebihnya tugas dan fungsi utama pemerintah pada dasarnya adalah menyediakan infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, air bersih, bantuan perumahan, pelayanan pendidikan dan pelayanan kesehatan.

Daftar Pustaka

-

Krugman, Paul, “Geography and Trade―, Leuven University Pers, Leuven Belgium, and The MIT Press Cambridge, Massachusetts, London, England, 1991.

- Badan Pusat Statistik, “Statistical Yearbook of Indonesia―, Jakarta, Indonesia.

- Majelis Permusyawaratan Rakyat, Garis-Garis Besar Haluan Negara, 1993.

- Keputusan Presiden No. 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

- Keputusan Presiden No. 9 Tahun 1998 tentang Pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET).

(35)

- Website Badan Pusat Statistik.

Oleh:

Chairil Abdini

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kemampuan calon guru dalam menghasilkan ensiklopediaberbasis bioedupreneurship melalui pembelajaran berbasis proyek dengan

Kemudian pada saat itu pula kapal 1 yaitu Arjuna Satu yang ingin keluar dari pelabuhan menuju daerah di perairan karang jamuang berpapasan dengan kapal 1 dalam

Salah satu cara pengaplikasiannya adalah dengan penggunaan motif hasil modifikasi dari ragam hias tradisional Indonesia dengan berbagai teknik reka bahan tekstil pada eksplorasi

Luas daun dan indeks luas daun tanaman nanas varietas cayenne lebih tinggi daripada nanas queen sedangkan pada proporsi tumpangsari, proporsi 25% ubi jalar menghasilkan LD dan ILD

Dari perencanaan ini dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut:  Unit pengolahan yang diperlukan untuk mengolah air banjir di Surabaya menjadi air minum adalah unit

Penelitian ini menggunakan instrumen SGRQ versi Indonesia sebagai alat pengumpul data untuk mengukur kualitas hidup pada pasien yang sedang mengalami kontrol PPOK di

 90 % dari draf yang disiapkan pemerintah mengalami perubahan yang sangat mendasar, baik dari segi substansi maupun formulasi rumusannya, yang disepakati pada

Data primer diperoleh dari subjek penelitian yang terdiri dari dua kategori yaitu warga yang mengalami transformasi masyarakat pertanian ke masyarakat industrial