• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pestisida adalah zat atau campuran dari zat-zat tertentu baik alami ataupun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pestisida adalah zat atau campuran dari zat-zat tertentu baik alami ataupun"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pestisida

Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat, produksi pangan sering mengalami kendala serangan hama, maka salah satu cara untuk meningkatkan produksi tanaman pangan adalah dengan menggunakan pestisida. Pestisida adalah zat atau campuran dari zat-zat tertentu baik alami ataupun sintetik, diformulasikan untuk mengendalikan hama pengganggu yang bersaing dengan merusak khasiat makanan dan menyebarkan penyakit untuk manusia. Hama penggangu ini meliputi serangga, rumput liar, mamalia, dan sebagian lainnya mikroba (Tadeo, 2008).

Di Indonesia pengenalan akan pestisida ke lingkup pertanian pada tahun lima puluhan yaitu pestisida Dichloro Diphenyl Trichlorethane (DDT) (Ekha, 1988), namun karena persistensinya pestisida ini kemudian dilarang pada tahun 1993 (Wudianto, 1997). Berdasarkan Permentan tahun 2007 Tentang Syarat Dan Tatacara Pendaftaran Pestisida, Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk, (1)memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian, (2)memberantas rerumputan, (3)mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, (4)mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, (5)memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan piaraan dan ternak, (6)memberantas atau mencegah hama-hama air, (7)memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam

(2)

rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan, dan atau (8)memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman dan air.

Pengelompokan pestisida menurut jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) sasarannya (Djojosumatro, 2000), dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokan Pestisida Menurut Jenis OPT Sasarannya

Pestisida OPT Sasaran Contoh

Insektisida Acarisida Molluskisida Rodentisida Fungisida Bakterisida Nematisida Herbisida Hama: serangga Hama: tungau Hama: siput Hama: tikus Hama: jamur Penyakit: bakteri Penyakit: nematoda Gulma: tumbuhan pengganggu

Diafentiuron, karbofuran, metidation, profenofos, sipermetrin, siromazin

.

Akrinotrin, dikofol, hekstiazok. Metaldehida.

Brodifakum, kumaklor, klorofasinon, kumatetralil.

Difenokonazol, maneb, mankozeb, metalaksil, thiram, ziram.

Oksitetrasiklin, streptomisin, tetrasiklin. Etrefos, natrium metham, oksamil

Atrazin, ametrin, glifosfat, piperos, sianazin, sinosulfuron.

Sumber : Djojosumatro (2000)

Berdasarkan cara kerjanya maka pestisida dibedakan atas racun kontak dan racun perut(sistemik). Pestisida yang bersifat kontak tidak berpenetrasi ke dalam jaringan tanaman dan tidak turut serta dalam sistem vaskularisasi tanaman. Keadaan sebaliknya pada pestisida yang bersifat sistemik, dimana racun akan masuk ke dalam organ-organ tanaman baik lewat akar, batang atau daun (Syarief dan Hariadi, 1993).

(3)

2.2 Insektisida

Di tingkat dunia penggunaan pestisida didominasi oleh herbisida disusul oleh insektisida dan fungisida. Sedangkan di Indonesia, insektisida masih menempati urutan teratas (Djojosumatro, 2000). Insektisida merupakan bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan semua jenis serangga. Kesulitan dalam pengendalian serangga disebabkan sifatnya yang mudah menyesuaikan diri dengan keadaan sekitar. Untuk membunuh serangga, insektisida masuk dalam tubuh serangga melalui lambung, kontak dan pernafasan (Wudianto, 2001).

Insektisida terdiri dari beberapa golongan yaitu, (1)golongan benzoilurea, (2)golongan karbamat, (3)golongan organoklorin, (4)golongan organofosfat, dan (5)golongan piretroid. Sebagian besar golongan benzoilurea merupakan insektisida dengan atom fluor dan memiliki berat molekul tinggi, contoh: diflubenzuron, heksabenzuron. Contoh insektisida golongan karbamat adalah adicarb, karbaril, karbofuran,dll. Insektisida golongan organoklorin memiliki tiga karakteristik analog DDT, isomer benzen heksaklorida (BHC), dan ikatan siklodiena, karena persistensi dan toksisitasnya, sebagian besar organoklorin dilarang penggunaanya, contoh golongan ini yaitu aldrin, dieldrin, metosiklor. Insektisida golongan organofosfat adalah senyawa hidrokarbon yang terdiri dari satu atau lebih atom fosfor pada molekulnya, contoh: diazinon, metidation, profenofos. Dan golongan piretroid adalah piretrin sintetis, contohnya sipermetrin, deltametrin, permetrin. Piretrin adalah insektisida alami yang diperoleh dari

(4)

piretrum, diekstraksi dari bunga-bunga dari spesies tertentu dari chrysanthemum (Tadeo, 2008).

2.3 Insektisida Organofosfat

Pada waktu perang Dunia II, Jerman telah membuat senyawa organofosfat dengan nama Sarin, Soman, dan Tabun yang digunakan bukan sebagai pestisida tetapi sebagai senjata rahasia, dengan nama Trilone (Sartono,2002). Senyawa organofosfat merupakan senyawa yang cukup besar. Lebih dari 100.000 senyawa organofosfat telah diuji untuk mencari senyawa-senyawa yang mempunyai sifat sebagai insektisida. Dari jumlah ini hanya 100 senyawa saja yang berhasil diperdagangkan sebagai insektisida secara luas (Sastroutomo, 1992).

Senyawa organofosfat tidak stabil, oleh karena itu dari segi lingkungan senyawa ini lebih baik daripada organoklorin, sebab mudah terurai dalam lingkungan. Hal tersebut membuat senyawa organofosfat lebih banyak digunakan bahkan pembuatan senyawa ini juga masih terus berlanjut. Tetapi meskipun demikian, senyawa organofosfat ini lebih toksik terhadap hewan-hewan bertulang belakang jika dibandingkan senyawa organoklorin dan dengan konsentrasi yang kecil mampu menyebabkan kematian (Sastroutomo, 1992). Senyawa organofosfat mempengaruhi sistem saraf dan mempunyai cara kerja menghambat fungsi enzim asetilkolin esterase. Sehingga asetilkolin tidak terhidrolisa. Oleh karena itu keracunan pestisida golongan organofosfat disebabkan asetilkolin yang berlebihan, mengakibatkan perangsangan terus menerus saraf muskarinik dan nikotinik. Semua organofosfat diabsorbsi baik sekali melalui oral, inhalasi maupun kulit yang sehat (Munaf, 1997; Sartono, 2002). Efek muskarinik,

(5)

nikotinik dan saraf pusat pada toksisitas organofosfat dapat dilihat pada Tabel 2 dibawah ini (Afriyanto, 2008).

Tabel 2. Efek Muskarinik, Nikotinik Dan Saraf Pusat Pada Toksisitas Organofosfat

Sumber : Afriyanto (2008) 2.4 Profenofos

Profenofos merupakan salah satu insektisida golongan organofosfat. Insektisida ini merupakan racun kontak dan lambung berspektrum luas. Dengan nama Kimia O-4-bromo-2-klorofenil O-etil S-propil fosforotioat (C11H15BrClO3PS), mempunyai rumus struktur yang dapat dilihat pada Gambar 1 (Irie, 2007).

(6)

Gambar 1. Rumus struktur Profenofos

Insektisida profenofos ini diaplikasikan pada tanaman kapas, mangga, manggis, kubis, sayuran buah seperti tomat dan cabai, dan kacang. Di Indonesia, profenofos pada umumnya diaplikasikan pada cabai dan tomat. Profenofos pada cabai merah di Indonesia diaplikasikan dengan konsentrasi penyemprotan 0,025-0,15 kg ai/hL dengan waktu aplikasi sesuai kebutuhan (Irie, 2007).

Sifat-sifat kimia dari senyawa profenofos ini dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Sifat Fisika dan Kimia Senyawa Profenofos

Kriteria Hasil

Kemurnian Minimum 91,4%

Bentuk Cair

Warna Coklat terang

Bau Bau lemah, seperti bawang yang

dimasak Kelarutan dalam pelarut organik pada

suhu 25oC

n-heksan: larut sempurna n-oktanol: larut sempurna toluena: larut sempurna etanol: larut sempurna

diklorometana: larut sempurna etil asetat: larut sempurna aseton: larut sempurna metanol: larut sempurna air: 20

Sumber: Irie (2007)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa pestisida profenofos ini pada umumnya larut dalam pelarut organik.

(7)

2.5 Residu Pestisida

Residu pestisida adalah sisa pestisida, termasuk hasil perubahannya yang terdapat pada atau dalam jaringan manusia, hewan, tumbuhan, air, udara atau tanah (Deptan, 2007). Beberapa yang mengindikasikan batas residu, digunakan untuk memprediksi pemasukan residu pestisida. Batas maksimum residu (BMR) adalah salah satu indeks konsentrasi maksimum dari residu pestisida (ditetapkan dalam mg/kg) yang direkomendasikan sebagai batasan yang diijinkan secara legal pada komoditas makanan dan daging hewan. Data BMR Profenofos berdasarkan FAO dan WHO (2010) dan Deptan dapat dilihat padaTabel 4 berikut ini:

Tabel 4. Batas Maksimum Residu profenofos pada makanan

Sumber : FAO dan WHO (2010); Deptan (2009)

Selain BMR, Acceptable Daily Intake (ADI) atau batas yang dapat diterima tubuh dalam sehari juga merupakan parameter internasional untuk

No Komoditas BMR (mg/kg) 1 Benih kapas 3 2 Telur 0,05 3 Mangga 0,2 4 Manggis 10 5 Daging mamalia 0,05 6 Susu 0,01 7 Cabai 5 9 Daging unggas 0,05 10 Tomat 10 11 Kentang 0,05 12 Kubis 1 13 Paprika 0,5

(8)

dievaluasi. Berdasarkan FAO and WHO, ADI untuk profenofos adalah 0-0,03

mg/kg berat badan

2.6. Residu Pestisida Dalam Bahan Pangan Setelah Mengalami Berbagai Perlakuan

Usaha yang sering dilakukan untuk dapat menurunkan residu pestisida dalam bahan makanan adalah dengan cara mencuci, merebus atau mengukus. Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk menurunkan residu pestisida organofosfat dalam beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh pencucian terhadap residu pestisida dari beberapa bahan makanan

No Sampel/

Pestisida Perlakuan Hasil

Sum ber 1 Cabai merah/

Profenofos Pencucian dengan air

Penurunan 7,04%

1 2 Tomat/

Metidation

Pencucian dengan

detergen pencuci sayuran

Penurunan 92%

2 3 Tomat/

Metidation

Pencucian dengan air suling Penurunan 91% 2 4 Tomat/ Metidation Direbus Penurunan 83% 2 5 Saus tomat/

Klorpirifos Perebusan dengan air

Penurunan 12,62% 3 6 Saus tomat/ Klorpirifos Pengukusan Penurunan 0,75% 3 Sumber : (1) Ningsih,2009; (2) Atmawidjaja, dkk.,2004; (3) Prakosa, dkk., 2004;

Berdasarkan data yang diperoleh dari tabel diatas terdapat hasil yang berbeda dari setiap perlakuan. Dimana hasil yang paling baik untuk menurunkan residu pestisida adalah pencucian dengan detergen pencuci sayuran. Selain analisis diatas ada juga yang meneliti kadar residu pestisida yang beredar dipasar seperti Chang, et all(2005) meneliti residu pestisida pada sayuran dan buah segar di pasar Sentral Taiwan, dan Sudewa, dkk(2008) yang meneliti residu Diazinon,

(9)

Klorpirifos, Fentoat, Karbaril dan BPMC pada kubis dan kacang panjang di pasar Badung Denpasar.

2.7 Cabai Merah

Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan suku Solanaceae berasal dari daratan Amerika Tengah hingga Amerika Selatan dan Peru (BPPHP, 2004). Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, tumbuhan ini merupakan salah satu sayuran penting di Indonesia. Cabai merah terdiri dari dua jenis yaitu cabai merah keriting yang berbentuk langsing memanjang dan mengikal atau mengeriting meruncing, dan cabai merah bulat yang berbentuk bulat dengan kulit yang lebih tebal dan rasanya lebih manis daripada cabai merah keriting (Andoko, 2004). Cabai merah yang umum digunakan adalah cabai merah keriting.

Cabai selain berguna sebagai penyedap masakan, juga mengandung zat-zat gizi yang diperlukan untuk kesehatan manusia. Kandungan gizi cabai merah dapat dilihat pada Tabel 6 (Deptan, 2004).

Tabel 6. Kandungan Gizi Cabai Merah Setiap 100 gram Bahan Kandungan gizi Cabai Merah

Kadar air (%) 90,9 Kalori (kal) 31,0 Protein (g) 1,0 Lemak (g) 0,3 Karbohidrat (g) 7,3 Kalsium (mg) 29,0 Fosfor (mg) 24,0 Besi (mg) 0,5 Vitamin A (SI) 470 Vitamin C (mg) 18,0 Vitamin B1 (mg) 0,05 Sumber : Deptan, 2004

(10)

Selain data pada tabel diatas, cabai merah juga mengandung capcicol yang menimbulkan rasa pedas pada cabai merah dapat digunakan sebagai bubuk pada produksi mi instan, campuran minyak gosok, penyembuh pegal, koyo, rematik, dan sesak nafas pada industri obat-obatan. Disamping itu, warna merah pada cabai merah dapat digunakan sebagai pewarna alami (Andoko, 2004).

2.8 Analisis Residu Pestisida

Analisis residu pestisida dapat dilakukan dengan berbagai metode dan alat antara lain Kromatografi Cair, Elektroporesis Kapiler, Metode Bioteknologi, dan Kromatografi Gas, dimana dari semua metode yang disebutkan Kromatografi Gas merupakan teknik penentuan yang paling sering digunakan untuk analisis pestisida terutama pestisida golongan organofosfat, yang terdiri dari halogen, sulfur dan fosfor. Dengan menggunakan kromatografi gas, pestisida dapat dideteksi pada tingkat konsentrasi yang sangat rendah dengan selektivitas yang tinggi, hal tersebut disebabkan oleh detektor selektif GC seperti electron-capture detector (ECG), flame photometric detector (FPD), dan nitrogen phosphorus detector (NPD). Metode ini cepat dan menyediakan resolusi yang baik untuk dalam penentuan residu multikomponen, dan penggunaan dengan sensitivitas yang tinggi dan detektor yang spesifik, residu diukur dengan perbandingan presisi dan akurasi yang tinggi (Yolanda, dkk., 2004).

Analisis residu pertisida diawali dengan membuat sampel menjadi homogen yaitu dengan cara memotong sampel menjadi bagian-bagian yang kecil. Setelah itu dilanjutkan dengan urutan langkah-langkah analisis residu pestisida berikut: (1)ekstraksi residu pestisida dari sampel matriks, (2)penghilangan air dari

(11)

ekstrak, (3)pembersihan dari ekstrak (bila diperlukan), dan (4)analisis penentuan (Tadeo,2008).

Pada umumnya ekstraksi pestisida dari bahan makanan dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Pada bahan makanan buah dan sayuran ekstraksi pestisida golongan organofosfat dapat dilakukan dengan etil asetat dan Na2SO4,

etil asetat saja, kombinasi (Etil asetat, Diklorometana, dan Na2SO4), asetonitril, atau aseton. Untuk lebih lengkapnya pelarut organik untuk ekstraksi senyawa organofosfat pada buah-buahan dan sayuran dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Pelarut Organik Untuk Ekstraksi Pestisida Organofosfat

No Bahan

makanan Ekstraksi Instrumen

1 Buah, sayuran, susu dan ikan Etil asetat/ Na2SO4 LC-MS GC-MS GC-ECD

2 Sayuran Etil asetat GC-NPD

3 Buah dan sayuran Etil asetat/ Diklorometana/ Na2SO4 GC-NPD 4 Buah dan sayuran Asetonitril GC-MS 5 Buah dan sayur Aseton GC-MS 6 Buah dan sayuran Aseton/ Diklorometana/ petroleum eter GC-ECD GC-NPD Sumber : Pico, 2004

Prosedur ekstraksi untuk pestisida golongan organofosfat dalam buah dan sayuran berdasarkan Komisi Pestisida di Indonesia dilakukan menggunakan Aseton yang diikuti dengan Diklorometan dan Petroleum Eter (Komisi Pestisida, 2004).

(12)

2.9Validasi Metode Analisis

Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (WHO, 1992). Validasi merupakan persyaratan mendasar yang diperlukan untuk menjamin kualitas dan reabilitas hasil dari semua aplikasi analitik (Ermer, 2005)

Data validasi mencakup pemaparan karakteristik metode yang dipakai, faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik tersebut dan membuktikan bahwa metode yang digunakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (McNeil, 2000). 2.9.1 Perolehan Kembali

Persen perolehan kembali digunakan untuk menyatakan kecermatan. Kecermatan merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit sebenarnya. Persen perolehan kembali dapat dirumuskan sebagai berikut:

% perolehan kembali = C*A

CA

CF− x 100%

Keterangan :

CF = konsentrasi sampel yang diperoleh setelah penambahan larutan baku CA= konsentrasi sampel sebelum panambahan baku

C*A = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan (Harmita, 2004) 2.9.2 Presisi/keseksamaan

Presisi/keseksamaan biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku relatif dari jumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik (Rohman, 2007).

(13)

2.9.3 Batas Deteksi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas (Harmita, 2004).Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Batas Deteksi = Slope SB 3 2.9.4 Batas Kuantitasi

Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).

Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y pada garis regresi (Rohman, 2007).

Batas Kuantitasi = Slope

SB 10

Gambar

Tabel 1. Pengelompokan Pestisida Menurut Jenis OPT Sasarannya
Gambar 1. Rumus struktur Profenofos
Tabel 4. Batas Maksimum Residu profenofos pada makanan
Tabel 5. Pengaruh  pencucian terhadap residu pestisida dari beberapa bahan  makanan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Manakala ada salah seorang fuqaha memiliki kualifikasi dan spesifikasi seperti yang disebutkan dalam konstitusi pasal 5, ia diakui sebagai marja; dan pemimpin melalui

Penelitian ini berjudul “Peningkatan Kemampuan Membaca Efektif melalui Metode PQ4R (Preview, Question, Read, Reflect, Recite, Review) pada Siswa Kelas VII E SMP N 1

Pengendalian kecepatan putar motor DC (direct curent) dengan metode pengaturan lebar pulsa atau PWM (Pulse Width Modulation) juga dapat dibangkitkan melalui perubahan nilai

[r]

Dalam control rights yang kepemilikannya langsung, suatu persentase kepemilikan yang ada harus diklarifikasi apakah ada penyimpangan dari one-share-one-vote

Adapun tujuan pembelajaran pada siklus I adalah (1) siswa dapat menyebutkan bagian – bagian utama tubuh hewan peliharaan yaitu ayam (2) Siswa dapat menyebutkan

Dari beberapa pengujian dan analisis yang telah dilakukan pengujian beberapa sampel makan yang di ujikan mulai dari makan baru makanan yang lama waktu dari 5 jam

Modul ini berupa garansi atas barang yang dijual perusahaan untuk diberikan kepada pelanggan atas kerusakan barang yang diterima. Sumber: Modul Accurate. Gambar