• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tatanan kehidupan dan nilai-nilai budaya pada saat itu. Salah satu peninggalan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tatanan kehidupan dan nilai-nilai budaya pada saat itu. Salah satu peninggalan"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman sekarang ini bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya itu ialah Islam, tetapi perkembangan Islam pada akhir runtuhnya Majapahit menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap berbagai tatanan kehidupan dan nilai-nilai budaya pada saat itu. Salah satu peninggalan arsitektur Islam adalah masjid sebagai tempat ibadah umat Islam. Masjid berasal dari bahasa Arab sajada yang berarti tempat sujud. Setiap muslim boleh melakukan shalat di wilayah manapun di bumi ini; terkecuali di atas kuburan, di tempat yang bernajis, dan di tempat-tempat yang menurut ukuran syariat Islam tidak sesuai untuk dijadikan tempat shalat (Ayub, 1996:1-2). Di Banyumas terdapat masjid yang memiliki ciri khas arsitektur bangunan kuna yaitu Masjid Agung Nur Sulaiman. Masjid dalam bentuk aslinya menunjukkan keistimewaan dalam denahnya yang berbentuk persegi empat atau bujur sangkar dengan bagian kaki yang tinggi, atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih, dikelilingi parit atau kolam air di bagian depan atau sampingnya yang berserambi. Bagan-bagan lain seperti, mihrab dengan lengkung pola kalamakara, mimbar yang mengingatkan akan ukiran-ukiran pola teratai, mustaka atau memolo, menunjukkan seni-seni bangunan tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam (Yatim, 2008:304-305).

Banyumas adalah kota kecil yang pernah menduduki posisi penting dalam sejarah perkotaan di Indonesia, sebagai pusat dua pemerintahan, yaitu sebagai ibu

(2)

kota kabupaten dan ibu kota karesidenan. Keberadaan kota Banyumas sebagai ibu kota kabupaten sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak pemerintahan Kerajaan Pajang hingga akhir pemerintahan kolonial.

Berdasarkan Babad Banyumas yang disusun oleh R. Oemarmadi dan M. Koesnadi Poerbosewojo, jumlah bupati Banyumas sejak berdiri sampai jaman berakhirnya penjajahan Belanda ada 17 orang, sedangkan menurut cerita rakyat yang masih ada sampai sekarang ini, Adipati Mrapat atau Adipati Warga Utama II dianggap sebagai bupati Banyumas yang pertama. Makamnya terdapat di Pesarean desa Dawuhan Banyumas. Selain adanya Babad Banyumas, di Banyumas terdapat Masjid Nur Sulaiman yang merupakan salah satu di antara masjid tertua di wilayah Kabupaten Banyumas. Pembangunan Masjid Nur Sulaiman diarsiteki oleh Nurdaiman Demang Gumelem II sekaligus sebagai penghulu masjid yang pertama. Sebagaimana konsep tata letak bangunan pada masa pemerintahan kerajaan di Jawa, posisi masjid selalu berada di sebelah barat alun-alun sebagai simbol kebaikan, berseberangan dengan letak penjara sebagai simbol kejahatan di sebelah timur alun-alun.

Secara administrasi, masjid ini berada dalam wilayah desa Sudagaran, Kecamatan Banyumas kurang lebih 25 km dari kota Purwokerto. Lokasi masjid berada di sisi sebelah barat alun-alun Banyumas menghadap ke arah Timur, hanya berjarak sekitar 300 meter dari lokasi Pendopo Duplikat Si Panji yang ada di dalam kompleks kantor Kecamatan Banyumas.

Dari segi umur Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas telah mewakili persyaratan sebagai monumen sesuai dengan UU No. 5, Tahun 1992, Bab I, Pasal 1, Ayat 1, butir a, yaitu ”Benda cagar budaya benda buatan manusia, bergerak

(3)

atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili gaya sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.” Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas merupakan peninggalan arkeologi Islam dari masa pengaruh kolonial Belanda. Oleh karena itu, Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas mempunyai bentuk penampilan yang khas sesuai dengan jamannya, yaitu perpaduan antara dua unsur kebudayaan yakni kebudayaan tradisional Jawa Islam dan kebudayaan Barat. Dari segi budaya Jawa Islam dapat dilihat dari atapnya yang bertumpang tiga dengan terdapat mustaka yang berbentuk gada dibagian atas serta memiliki 4 saka guru, maksura, dan mimbar, sedangkan dari segi budaya Barat dapat dilihat dari bentuk bangunannya yang tinggi dan tebal seperti pintu dan jendela masjid serta tembok keliling masjid. Berdasarkan permasalahan di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti Sejarah dan Arsitektur Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas.

B. Rumusan Masalah

Penelitian ini ditinjau dari permasalahan secara umum berdasarkan latar belakang di atas adalah Sejarah dan Arsitektur Bangunan Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas. Rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian ini sebagai berikut :

1. Perkembangan berdirinya Masjid Agung Nur Sulaiman?

2. Arsitektur dan makna simbol yang terdapat pada bangunan Masjid Nur Sulaiman?

(4)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang sudah di uraikan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini yang pertama mengungkap sejarah perkembangan berdirinya Masjid Agung Nur Sulaiman; kedua menjelaskan arsitektur dan makna simbol yang terdapat pada bangunan Masjid Nur Sulaiman; dan ketiga menjelaskan fungsi Masjid Nur Sulaiman bagi masyarakat sekitar. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan hal baru dalam penulisan sejarah Indonesia dan mampu melengkapi sejarah dan arsitektur Masjid Nur Sulaiman Banyumas.

D. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan penelitian di bidang kajian mengenai Sejarah dan Arsitektur Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas yang sekarang keadaannya cukup baik sekaligus menjadi referensi dan informasi bagi para pembaca khususnya yang akan melakukan penelitian selanjutnya mengenai sejarah dan arsitektur Masjid Nur Sulaiman.

2. Secara Praktis

Bagi peneliti dengan adanya penelitian ini tentunya peneliti akan lebih memahami bagaimana sejarah dan arsitektur bangunan Masjid Nur Sulaiman serta membangkitkan kesadaran masyarakat sekitar agar menghargai nilai-nilai sejarah. Penelitian ini mengandung unsur edukasi sehingga akan membantu peneliti yang sedang mengambil program studi pendidikan sejarah. Peneliti yang melakukan observasi secara langsung akan lebih tahu dan memahami.

(5)

E. Tinjauan Pustaka

Masjid merupakan suatu institusi utama dan paling besar dalam Islam, serta merupakan salah satu institusi yang pertama kali berdiri. Masjid adalah rumah tempat ibadah umat muslim. Masjid artinya tempat sujud, tempat beribadah kepada Allah SWT. Akar kata dari masjid adalah sajadah di mana berarti sujud atau tunduk. Kata masjid berasal dari bahasa Arab masjidun, kemudian berubah dalam bahasa Indonesia menjadi masjid, yang secara harfiah berarti tempat sujud, tempat sembahyang, tetapi makna yang terkandung di dalamnya sebenarnya jauh lebih luas daripada sekadar tempat sujud (Hanafiah, 1988: 10).

Masjid merupakan bangunan untuk sembahyang ritual umat Islam hari Jumat pada dasarnya dalam satu kesatuan dengan mendengarkan ceramah agama. Oleh karena itu selain mempunyai ruang untuk shalat bersama, masjid dilengkapi mimbar (tempat duduk memberikan ceramah) agar lebih mudah didengar dan dilihat oleh umat peserta sembahyang jamaah. Sejalan dengan ibadah Islam shalat harus menghadap ke kiblat atau arah kabah di Mekkah, pada dinding tengah masjid di arah tersebut diberi mihrab, sebuah ruang relatif kecil yang masuk dalam dinding, sebagai tanda arah kiblat (Sumalyo, 2006: 7).

Masjid dalam ajaran Islam sebagai tempat sujud tidak hanya berarti sebuah bangunan atau tempat ibadah tertentu karena di dalam ajaran Islam, Tuhan telah menjadikan seluruh jagat ini sebagai masjid; tempat sujud (Juliadi, 2007: 4). Kata masjid mempunyai pengertian tertentu, yaitu suatu bangunan atau gedung atau suatu lingkungan yang ditembok untuk digunakan sebagai tempat menunaikan shalat, baik shalat lima waktu, maupun shalat Jumat atau shalat hari raya (Juliadi, 2007: 7).

(6)

Kemudian menurut hukum Islam masjid merupakan wakaf, yaitu sebuah lembaga ketaatan, tetapi tidak semua masjid itu wakaf. Wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan, digadaikan, diwariskan, dan dihadiahkan. Masjid itu mempunyai sifat wakaf, berarti masjid itu selama-lamanya harus digunakan untuk beribadah oleh orang Islam. Sebuah masjid tidak boleh dibongkar kecuali dengan tujuan pemugaran dan tidak boleh dipindahkan. Sebuah tempat yang memiliki masjid jika ditinggalkan oleh penduduknya sehingga masjid itu tidak digunakan lagi untuk beribadah, maka dilarang juga (haram) untuk dirusak atau dibongkar (Pijper, 1992: 1).

Menurut Ayub (1996: 7), fungsi utama masjid adalah tempat sujud kepada Allah SWT, tempat shalat, dan tempat beribadah kepada-Nya. Lima kali sehari semalam umat Islam dianjurkan mengunjungi masjid guna melaksanakan shalat berjamaah. Masjid juga merupakan tempat yang paling banyak dikumandangkan nama Allah melalui adzan, qamat, tasbih, tahmid, tahlil, istigfar, dan ucapan lain yang dianjurkan dibaca di masjid sebagai bagian dari lafaz yang berkaitan dengan pengagungan asma Allah.

Fenomena yang muncul, terutama di kota-kota besar, memperlihatkan banyak masjid telah menunjukkan fungsinya sebagai tempat ibadah, tempat pendidikan, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Dengan demikian, keberadaan masjid memberikan manfaat bagi jamaahnya dan bagi masyarakat lingkungannya. Fungsi masjid yang semacam itu perlu terus dikembangkan dengan pengelolaan yang baik dan teratur sehingga dari masjid lahir insan-insan muslim yang berkualitas dan masyarakat yang sejahtera. Fungsi masjid akan semakin terlihat pada bulan ramadhan. Berbagai kegiatan ibadah dilakukan di masjid. Kegiatan

(7)

tersebut ada yang bersifat vertikal, yaitu menekankan hubungan dengan Allah SWT seperti Itifah/ berdiam diri di masjid beberapa waktu, membaca ayat suci Al Quran serta aktivitas ibadah lainnya.

Fungsi masjid tidak terlepas dari makna masjid itu sendiri sebagai tempat sujud atau shalat, namun fungsi masjid juga berhubungan dengan sejarah tradisi dan dinamika budaya Islam di suatu tempat. Secara prinsip masjid adalah tempat membina umat, untuk itu dilengkapi dengan fasilitas sesuai dengan keperluan pada jamannya, siapa yang mendirikan dan di lingkungan mana masjid dibangun (Juliadi, 2007: 10).

Menurut Ayub (1996: 7-8), fungsi masjid meliputi masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT; masjid adalah tempat kaum muslimin beritikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin/ keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian; masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat; masjid adalah tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitan-kesulitan, meminta bantuan dan pertolongan; masjid adalah tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotong-royongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama; masjid dengan majelis taklimnya merupakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan muslimin; masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat; masjid tempat mengumpulkan dana, menyimpan, dan membagikannya; dan masjid tempat melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial.

(8)

Agama Islam telah memberikan corak tersendiri dalam perkembangan seni dan budaya Indonesia pada masa madya, terutama dalam seni bangunan agama Islam telah berhasil memadukan seni bangunan setempat yang tradisional dengan budaya Islam sehingga menghasilkan bentuk-bentuk seni arsitektur Islam Indonesia yang berbeda dengan di negeri-negeri Islam lainnya. Kekhususan gaya arsitektur masjid di Indonesia nampak dalam bentuk atapnya yang bertingkat lebih dari satu yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang itu selalu ganjil (gasal), biasanya tiga dan juga ada kalanya sampai lima seperti pada Masjid Banten. Ada pula atap tumpangnya dua, dan apabila demikian biasanya dinamakan tumpang satu, jadi angka gasal pula (Daliman, 2012: 60-61).

Arsitektur merupakan hasil proses perancangan dan pembangunan oleh seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut dan batasan yang dimaksud dengan masjid, maka secara umum arsitektur masjid adalah bangunan untuk sembahyang bersama (berjamaah) pada hari jumat dan ibadah islam lainnya dengan fungsi majemuk sesuai dengan perkembangan zaman, budaya, dan tempat suatu masyarakat (Sumalyo, 2006: 7).

Ilmu sejarah memandang arsitektur sebagai ungkapan fisik bangunan dari budaya masyarakat pada tempat dan jaman tertentu, dalam rangka memenuhi kebutuhan ruang untuk suatu kegiatan. Berdasarkan pandangan ini, maka dapat dimengerti bahwa keberadaan arsitektur, seumur dengan adanya manusia di muka bumi (Sumalyo, 2006: 22).

Bentuk-bentuk masjid di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh arsitektur masjid dunia Islam yang dipadukan dengan kondisi kebudayaan yang ada, bahkan juga dengan unsur-unsur budaya prasejarah yang ada sebelum Hindu-Budha, turut

(9)

mewarnai arsitektur masjid Indonesia yang kembali kepada tradisi bangunan kayu (Juliadi, 2007: 54). Dalam perkembangannya, arsitektur masjid berkembang semakin kompleks karena kecenderungan arsitektur masjid tersebut memasukkan budaya daerah (vernacularisme), namun perkembangan itu tidak lepas pula dari pengaruh bentuk dan konsep yang lebih dahulu ada (Juliadi, 2007: 52).

Selanjutnya ciri-ciri model seni bangunan atau arsitektur lama menurut Sunanto (2007: 96), mengemukakan bahwa merupakan peniruan dari seni bangun Hindu-Budha adalah sebagai berikut; Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota. Selalu bilangan atapnya ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Atap tumpang ini terdapat juga di Bali pada upacara ngaben atau relief candi Jawa Timur; Tidak ada menara karenanya pemberitahuan waktu shalat dilakukan dengan memukul bedug. Dari masjid-masjid yang tertua, hanya di Kudus dan Banten yang ada menaranya. Kedua menara ini pun tidak seragam. Menara Kudus tidak lain adalah sebuah candi Jawa Timur yang telah diubah, disesuaikan penggunaanya dan diberi atap tumpang, sedangkan menara masjid Banten adalah tambahan dari zaman kemudian yang dibangun oleh cordell, pelarian Belanda yang masuk Islam, yang bentuknya seperti mercusuar; Masjid-masjid tua, bahkan masjid yang dibangun di dekat Istana Raja Yogya dan Solo mempunyai letak yang tetap. Di depan Istana selalu ada lapangan besar dengan pohon beringin kembar, sedangkan masjid selalu terletak di tepi barat lapangan. Di belakang masjid sering terdapat makam-makam. Rangkaian makam dan masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari fungsi candi pada zaman Hindu-Indonesia.

(10)

Seni bangunan Islam Indonesia yang mengambil bentuk-bentuk gaya arsitektur tradisional tidak saja memberikan kekhasan terhadap budaya Islam di Indonesia, tetapi sekaligus memperlihatkan garis kepribadian kita yang kontinyu sejak masa-masa pra Islam. Agama dan budaya Islam diserap secara dan sesuai dengan kepribadian bangsa sendiri. Hal itu dimungkinkan karena pembuat bangunan itu adalah orang Indonesia sendiri. Berbagai kitab hikayat dan babad juga menunjukkan bahwa tukang dan para pekerja yang membangun masjid, keraton dan makam adalah orang Indonesia asli (Daliman, 2012: 61-62).

Ada beberapa penelitian tentang masjid yang masing-masing mempunyai ciri khas masjid yang berbeda-beda. Penelitian yang hampir sejenis sudah dilakukan peneliti terdahulu seperti: Hermawan (2012) dalam penelitiannya yang berjudul Masjid Jami Soko Tunggal Kebumen Sebagai Situs Budaya Warisan Indonesia, dijelaskan bahwa Masjid Saka mempunyai arti Masjid yang ditopang satu tiang (saka). Saka Tunggal sebagai penopang utama bangunan masjid Jami Saka Tunggal yang berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 cm. Saka Tunggal tersebut menjulang ke atas sekitar 4 meter tingginya. Saka Tunggal memiliki makna filosofi tersendiri karena Saka Tunggal memiliki makna ke-esaan Allah SWT sebagai Sang Pencipta Tunggal Alam Semesta sehingga Masjid Saka Tunggal tersebut sebagai tempat untuk meyakini bahwa Allah itu Tunggal atau Esa. Sementara itu dalam kaitannya dengan sejarah perjuangan, keberadaan masjid itu juga sebagai simbol satu tekad untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia karena Masjid Jami Saka Tunggal Kebumen didirikan pada masa penjajahan Belanda.

(11)

Meiniadi (2016) dalam penelitiannya yang berjudul Sejarah Masjid Saka Tunggal Cikakak, dijelaskan bahwa masyarakat Cikakak menganut aliran Islam Kejawen karena di mana masyarakatnya masih memegang teguh tradisi yang diwariskan nenek moyang secara turun temurun, tetapi dalam menjalankannya Islam lebih kental dibandingkan dengan Hindunya apabila dibandingkan dengan Islam kejawen dan Aboge yang di daerah lainnya karena mereka tetap menjalankan ibadah agama Islam seperti yang diajarkan Nabi Muhammad seperti sholat, dzakat, puasa dan lain-lain. Masyarakat Aboge masih menjalankan tradisinya seperti ganti jaro, sadranan, apitan, sedekah bumi, slametan dan mitoni atau slametan 7 bulan untuk bayi yang masih dalam kandungan.

Nugroho (2011: 85) dalam penelitiannya yang berjudul Sejarah dan Arsitektur Masjid Raden Sayyid Kuning, menceritakan sejarah dan arsitektur Masjid Raden Sayyid Kuning serta dampak bagi perkembangan Islam dan perencanaan perkembangan masjid pada masa berikutnya di sekitar Purbalingga meskipun dalam penelitian ini tidak menyebutkan Masjid Nur Sulaiman, namun penelitian ini dijadikan rujukan bagi penulis untuk meneliti Masjid Nur Sulaiman yang berada di Kecamatan Banyumas, desa Sudagaran.

Buku yang berjudul Masjid Agung Banten, yang ditulis oleh Juliadi (2007), merupakan salah satu sumber rujukan yang digunakan oleh peneliti. Dalam buku ini, Juliadi menganalisis makna dari masjid, simbol identitas/ pusat orientasi budaya, serta bentuk Masjid Agung Banten. Meskipun dalam buku ini tidak membahas mengenai Masjid Nur Sulaiman, namun peneliti menggunakan buku ini untuk membantu menganalisis makna masjid dan bentuk masjid yang berkaitan dengan Masjid Nur Sulaiman.

(12)

Anggraeni (2015) dalam penelitiannya yang berjudul Sejarah, Arsitektur, dan Fungsi Masjid Jami Saka Tunggal Desa Pekuncen Kecamatan Sempor Kabupaten Kebumen dijelaskan bahwa Masjid Jami’ Saka Tunggal didirikan pada tahun 1722 M oleh Bupati Kanduruan. Bentuk Masjid Jami Saka Tunggal adalah berundak, yaitu bentuk rumah tradisional Jawa Joglo dengan atap yang berbentuk undakan ke atas. Bentuk atapnya menyerupai segi tiga dengan atap teratas diberi mustaka.

F. Kerangka Teoretis dan Pendekatan

Menurut Pijper (1992: 24) mengemukakan tentang teori arsitektur bahwa arsitektur masjid kuna Indonesia memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bentuk-bentuk masjid di negara lain. Dengan merujuk tipe masjid Indonesia yang berasal dari Jawa dengan ciri-ciri sebagai berikut fondasi bangunan yang berbentuk persegi; masjid itu tidak berdiri di atas tiang, seperti rumah Indonesia model kuna dan langgar (Jawa: langgar; Sunda: tajug; Banten: bale), tetapi di atas dasar yang padat; masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas, terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas makin kecil; masjid itu mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk mihrab; masjid itu mempunyai serambi di depan maupun di kedua sisinya (Sunda: tepas masjid); halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di depan, disebut gapura.

Ciri-ciri khas ini dapat disimpulkan, bahwa masjid tipe Jawa ini bukan merupakan bangunan asing yang dibawa ke negeri ini oleh mubaligh muslim dari luar, tetapi bentuk asli yang disesuaikan dengan kebutuhan peribadatan secara

(13)

Islam. Dari uraian diatas, sebenarnya mengenai bentuk bangunannya sendiri, tidak ada ketentuan yang mengikat, sering kali bentuk Masjid mengikuti langgam setempat, sehingga lahir lah bentuk Masjid yang bermacam-ragam itu sesuai dengan kebiasaan dan kemampuan masyarakat yang mendirikannya.

Selain teori arsitektur, ada juga pengertian simbol dalam tradisi Jawa. Menurut Budiono Herusatoto (2008), kata simbol berasal dari kata Yunani symbolos yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta mengartikan bahwa simbol atau lambang ialah sesuatu seperti tanda, lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal atau mengandung maksud tertentu, misalnya, warna putih ialah lambang kesucian, gambar padi sebagai lambang kemakmuran; atau berarti juga tanda pengenal permanen (tetap) yang menyatakan sifat, keadaan dan sebagainya, misalnya tutup kepala peci merupakan tanda pengenal tutup kepala nasional Indonesia. Dalam kamus Logika (Dictionary of Logic), The Liang Gie menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili atau menyingkat sesuatu artian apapun.

Dari pengertian-pengertian tersebut di atas dapat dinyatakan bahwa simbol atau lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman si subyek kepada obyek. Ada juga bahasa Simbolis, yaitu bahasa yang menggunakan simbol-simbol benda-benda, keadaan atau hal-hal yang dibuat dan disepakati bersama oleh sekelompok masyarakat. Bahasa ini mempunyai kedudukan pokok yang langsung dan vital dalam komunikasi simbolis, artinya bahasa ini hanya dipakai untuk komunikasi yang mendalam dengan distansi atau jarak yang cukup

(14)

berjangka panjang, seperti cinta, persahabatan, kesetiaan, pengabdian atau kebencian dan kejahatan.

Telah disebutkan di muka bahwa simbolisme terbentuk sebagai perkembangan lebih lanjut dari bahasa, sehingga sejarah simbolisme pun tidak berbeda dengan sejarah perkembangan bahasa, yaitu dimulai dari bentuk lisan, bentuk tulisan dan kemudian menjadi bentuk simbolis. Simbolisme dalam bentuk lisan atau langsung, kemudian disebut sebagai isyarat. Simbolisme dalam bentuk tulisan/ gambar/ bentuk lainnya, kemudian disebut sebagai tanda. Simbolisme dalam bentuk simbolis/ perlambang, kemudian disebut sebagai simbol/ lambang. Simbolisme berguna sebagai sarana pengangkut informasi (information vehicle), mula-mula berkembang dalam lingkup yang terbatas, yakni antar perseorangan dan bersifat langsung, dipakai dan langsung berguna sebagai bentuk isyarat. Isyarat tersebut mula-mula dipakai untuk memberitahukan tentang adanya bahaya yang mengancam, saatnya untuk berkumpul seperti di masjid Nur Sulaiman Banyumas terdapat bedug sebagai pertanda waktunya sholat/ berkumpul di masjid untuk melakukan sholat.

Selain teori arsitektur dan pengertian simbol dalam tradisi Jawa ada juga teori evolusi kebudayaan. Penelitian Tylor mengenai tingkat-tingkat evolusi kebudayaan manusia telah menimbulkan padanya konsep survivals. Para sarjana penganut teori tentang tingkat-tingkat evolusi kebudayaan tentu mempunyai suatu konsepsi tentang bentuk kebudayaan bagi tiap-tiap tingkat. Dengan demikian tiap tingkat mempunyai kebudayaan teladan masing-masing. Dalam kenyataan, pada semua kebudayaan itu ada beberapa unsur yang tidak terdapat dalam kebudayaan teladan, sehingga secara teori tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu tingkat

(15)

evolusi tertentu. Tylor memecahkan persoalan itu dengan suatu pendirian bahwa unsur-unsur itu adalah unsur-unsur sisa-sisa dari kebudayaan-kebudayaan yang berasal dari suatu tingkat evolusi sebelumnya. Unsur-unsur itu merupakan survivals menurut Tylor dalam Koentjaraningrat (2010: 50).

Objek penelitian ini adalah Masjid Nur Sulaiman Banyumas, yang mengkaji sejarah dan arsitekturnya, sehingga pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis-arkeologis. Pendekatan historis digunakan untuk mengungkap latar belakang berdirinya Masjid Nur Sulaiman sedangkan pendekatan arkeologis adalah ilmu yang membahas tentang peninggalan sejarah dalam bentuk benda-benda dan bangunan besejarah atau artefak (Priyadi, 2015: 140). Pendekatan arkeologis ini digunakan untuk mengungkapkan mengidentifikasi keistimewaan arsitektur bangunan Masjid Nur Sulaiman.

Pendekatan historis-antropologi menjelaskan mengenai artifact dengan arsitektur masjid sebagai hasil dari kebudayaan masyarakat. Sebenarnya, semua artifact, socifact, dan mentifact adalah produk historis dan hanya dapat dijelaskan eksistensinya dengan melacak sejarah perkembangannya. Pada hakikatnya kedua disiplin itu mempelajari objek yang sama, ialah tiga jenis fakta : artifact, socifact, dan mentifact. Artifact sebagai benda fisik adalah konkret dan merupakan hasil buatan. Artifact menunjuk kepada proses pembuatan yang telah terjadi di masa lampau. Sebagai analogi socifact menunjuk kepada kejadian sosial (interaksi antaraktor, proses aktivitas kolektif) yang telah mengkristalisasi sebagai pranata, lembaga, organisasi, dan lain sebagainya. Jelaslah bahwa untuk memahami struktur dan karakteristik socifact perlulah dilacak asal-usulnya, proses

(16)

pertumbuhannya sampai wujud sekarang. Baik benda maupun lembaga

masyarakat atau ide dan pikiran manusia (mentifact) hanya sepenuhnya dapat dipahami dengan melacak perkembangannya di masa lampau (Kartodirdjo,

2014: 175).

G. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sejarah. Metode sejarah adalah suatu cara seorang sejarawan mendekati objek penelitiannya dengan langkah-langkah yang terstruktur sehingga akan mempermudah dalam memperoleh data sejarah. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

1. Heuristik

Data sejarah itu harus dicari dan juga ditemukan. Itulah maksud dari istilah heuristik. Sejarawan mencari data tidak mudah seperti membalikan telapak tangan. Data sejarah tidak selalu tersedia dengan mudah sehingga untuk memperolehnya harus bekerja keras mencari data lapangan, khususnya artifact, baik pada situs-situs sejarah maupun lembaga museum (milik pemerintah atau pribadi), atau mencari data sejarah lisan yang menyangkut para pelaku dan penyaksi sejarah atau dokumen yang tersimpan pada lembaga, baik kearsipan maupun arsip perorangan, atau yang juga tersimpan pada lembaga, baik perpustakaan maupun perorangan (Priyadi, 2013: 112). Kata heuristik berasal dari kata “heuriskein” dalam bahasa Yunani yang berarti mencari atau menemukan. Dalam bahasa Latin, heuristik dinamakan sebagai ars inveniendi (seni mencari)

(17)

atau sama artinya dengan istilah arts of invention dalam bahasa Inggris (Daliman, 2012: 52).

Pada tahapan ini penulis mengumpulkan beberapa sumber dan data yang relevan, baik sumber primer maupun sekunder yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan yang akan dibahas. Pada tahap ini penulis menentukan sumber yang cocok untuk menjawab persoalan-persoalan yang penulis dapat kemudian dikumpulkan. Sumber-sumber tersebut berasal dari sumber buku atau dokumen yang berkaitan dengan Sejarah dan Arsitektur Masjid Nur Sulaiman dan wawancara dengan pihak yang bersangkutan seperti, Kepala desa Sudagaran, pengurus Masjid Nur Sulaiman, dan tokoh yang dituakan di Masjid Nur Sulaiman serta masyarakat sekitar. Dalam langkah heuristik ini peneliti mencari dokumen-dokumen ataupun arsip-arsip Masjid Nur Sulaiman. Selain itu, peneliti juga melakukan metode wawancara untuk memperoleh data. Data tersebut dari buku Purna Pugar Masjid Nur Sulaiman yang didapatkan dari takmir masjid dan juru pelihara masjid serta ada dokumen foto yang didapatkan dari dokumentasi peneliti.

Dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari arsip dan dokumen baik yang berada di tempat penilaian termasuk di kantor desa yang ada hubungannya dengan penelitian tersebut. Dalam dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh informasi dari arsip-arsip suatu dokumen yang ada di Masjid Nur Sulaiman.

2. Kritik atau Verifikasi

Verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu kritik ekstern yang mencari otensititas atau keontetikan (keaslian) sumber dan kritik

(18)

intern yang menilai apakah sumber tersebut memiliki kredibilitas (kebiasaan untuk dipercaya) atau tidak (Priyadi, 2013: 118). Pada tahapan ini peneliti akan memverifikasi data yang telah diperoleh baik itu dokumen, arsip, ataupun kutipan wawancara dengan masyarakat. Tujuan dari kritik adalah mencari keaslian data apakah data tersebut asli atau palsu.

3. Interpretasi

Interpretasi atau penafsiran pada bab ini penulis menafsirkan fakta-fakta yang diperoleh. Penulis melakukan penafsiran fakta-fakta sejarah yang terdiri dari mentifact (kejiwaan), sosifact (hubungan sosial), dan artifact (benda) (Priyadi, 2013: 122). Pada Interpretasi ini, penulis akan menafsirkan data yang telah diperoleh di lapangan, baik dalam bentuk dokumen ataupun dalam bentuk kutipan wawancara dari pengurus Masjid Nur Sulaiman dan tokoh Masjid Nur Sulaiman.

4. Historiografi

Historiografi atau penulisan sejarah, pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitian dari awal sampai akhir, yang meliputi masalah-masalah yang harus dijawab. Tujuan penelitian adalah menjawab masalah-masalah yang telah diajukan. Pada hakikatnya, penyajian historiografi meliputi pengantar, hasil penelitian, dan simpulan (Priyadi, 2011: 92).

H. Sistematika Penulisan

Penulisan Sejarah dan Arsitektur Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas menggunakan sistematika berikut :

Bab pertama, pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis

(19)

dan pendekatan, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab inilah yang menjadi kerangka dasar pemikiran dan kemungkinan menjadi

pijakan bagi penulis untuk memulai penelitian dengan Objek Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas.

Bab kedua, merupakan awal bagi penulis untuk memulai mendeskripsikan dan menganalisis hasil penelitian yang telah diperoleh. Pada bagian ini akan dimulai dengan profil desa Sudagaran, dan latar belakang berdirinya Masjid Nur Sulaiman di Kecamatan Banyumas.

Bab ketiga, keistimewaan arsitektur Masjid Nur Sulaiman. Di sini, dijabarkan kontruksi bangunan masjid, dan gaya bangunan Masjid Nur Sulaiman.

Bab keempat, Fungsi bangunan Masjid Nur Sulaiman bagi masyarakat sekitar. Kemudian bab kelima, penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

From Incidental News Exposure to News Engagement: How Perceptions of the News Post and News Usage Patterns Influence Engagement with News Articles Encountered on

 kuih juga merupakan makanan tradisi masyarakat melayu dan turut digemari oleh masyarakat atau kaum lain seperti cina dan india..  Antara kuih-muih yang popular dalam

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

Seperti halnya penerapan ICT berdasarkan sarana dan prasarana (infrastruktur) yang ada di Museum Angkut, dimana penerapan ICT ini bertujuan untuk mempermudah

Dari beberapa pengertian mengenai anggaran sektor publik yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa anggaran adalah tindakan

Bagian pertama tentang pendekatan dalam kajian etika komunikasi yaitu pendekatan kultural guna menganalisis perilaku pelaku profesi komunikasi dan pendekatan strukrural

Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi, Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang dan Aset Lainnya.. Catatan atas Laporan Keuangan | Penjelasan Pos-pos

Pada Mei 2011 Indeks Harga yang dibayar petani (IB) naik 0,13 persen dibandingkan April 2011, kenaikan ini disebabkan karena IB pada 4 subsektor mengalami kenaikan, yaitu