• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan menimbulkan masalah-masalah berantai, yang apabila tidak. adanya perangkat hukum yang mendukungnya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tersebut akan menimbulkan masalah-masalah berantai, yang apabila tidak. adanya perangkat hukum yang mendukungnya."

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut akan menimbulkan masalah-masalah berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangya lapangan kerja, permasalahan ekonomi dan timbulnya permasalahan sosial lainnya yang lebih luas. Untuk kepentingan dunia usaha dalam penyelesaian utang piutangnya secara cepat, adil, terbuka, dan efektif sangatlah diperlukan adanya perangkat hukum yang mendukungnya.

Perangkat hukum mengenai kepailitan yang ada di Indonesia pada awalnya berupa peraturan kepailitan jaman Pemerintah Hindia Belanda yaitu Faillissements Verordening (Staatsblad 1905:217 Juncto Staatsblad 1906:348). Peraturan kepailitan ini sangat terkait erat dengan kepailitan di negeri Belanda. Kepailitan di negeri Belanda awalnya di atur di dalam Code de Commerce (Kitab Undang-undang Hukum Dagang) yang mulai berlaku tahun 1811. Undang-undang ini membedakan status pedagang dengan bukan

(2)

pedagang. Pembedaan status pedagang dan bukan pedagang tersebut dilanjutkan dalam undang-undang kepailitan yang menggantikan “Code de Commerce”, yaitu :

1. Mengenai kepailitan seorang pedagang diatur di dalam Wetboek van Koophandel Nederland (Kitab Undang-undang Hukum Dagang Belanda) dalam Buku Ketiga tentang Regeling over Verorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden. Dalam Buku Ketiga ini hanya diatur tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang. Kitab ini hanya berlaku sampai tahun 1896, karena sesudah itu diganti dengan “Faillissementswet 1893” yang berlaku pada tahun 1896.

2. Mengenai kepailitan terhadap debitur yang bukan pedagang, berlaku ketentuan Wetboek van Burgerlijk Rechtsvoordering, Buku Ketiga, Titel VII, tentang Regeling van Staat van Kennelijk Onvermogen (Peraturan tentang Ketidakmampuan Pedagang).

3. Adanya 2 (dua) peraturan tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, diantaranya :

a. Banyak formalitas yang harus ditempuh b. Biaya tinggi

c. Terlalu sedikit bagi kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan

d. Pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama

Oleh karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan tidak

(3)

menimbulkan biaya banyak agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Sehubungan dengan maksud itu pada tahun 1905 telah diundangkan Faillissementsverordening (S.1905-217) tersebut. Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betaling voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan untuk Kepailitan dan Penundaan Pembayaran untuk Orang-orang Eropah) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Nopember 1906.

Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 menentukan bahwa :

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.” Dengan demikian, seluruh perangkat hukum yang berasal dari zaman Hindia Belanda diteruskan berlakunya setelah proklamasi kemerdekaan, kecuali jika setelah diuji ternyata bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-undang Dasar 1945.

Terkait dengan Aturan Peralihan tersebut, maka setelah proklamasi kemerdekaan, untuk kepailitan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai „Peraturan Kepailitan”. Namun seiring dengan perkembangan jaman, maka Faillissements Verordening dirasakan sudah tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat dan tidak memuaskan. Oleh karena itu sangatlah diperlukan adanya perangkat hukum untuk menyelesaikan permasalahan

(4)

utang piutang secara cepat, adil, terbuka, dan efektif. Dalam hal ini yang dipandang perlu adalah mengenai mekanisme yang terbuka, baik oleh pihak debitur maupun kreditur agar dapat melakukan penyelesaian hutang piutangnya.

Untuk maksud tersebut diatas maka pada tanggal 22 April 1998 dibuatlah perangkat hukum kepailitan yang baru yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor : 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan. Ketentuan hukum kepailitan ini dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang supaya lebih cepat pembaharuannya, yang menurut Sudargo Gautama1 dengan pertimbangan antara lain :

(1) Adanya kebutuhan yang besar yang sifatnya mendesak untuk secepatnya mewujudkan sarana hukum bagi penyelesaian yang dapat berlangsung secara cepat, adil, terbuka dan efektif untuk menyelesaikan piutang perusahaan yang besar pengaruhnya terhadap kehidupan perekonomian nasional.

(2) Dalam rangka menyelesaikan akibat-akibat dari gejolak moneter yang terjadi sejak pertengahan tahun 1997, khususnya berkenaan dengan masalah hutang piutang di kalangan dunia usaha nasional bahwa dianggap perlu adanya penyelesaian yang cepat mengenai masalah ini. Maka akan sangat dibantu mengatasi situasi ini, yang merupakan hal yang tidak menentu di bidang perekonomian, jika diadakan kesediaan

1

Sudargo Gautama, 1998, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia (1998), Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.9-10

(5)

perangkat hukum secara memenuhi kebutuhan. Upaya penyelesaian masalah hutang piutang di dunia usaha ini perlu untuk diberikan kerangka hukumnya. Dengan demikian perusahaan-perusahaan dapat segera beroperasi secara normal. Juga selain aspek ekonomi berjalan kembali, kegiatan ekonomi akan berarti pengurangan tekanan social yang menurut pengamatan pemerintah sudah terasa di banyak kalangan dan bidang kerja. Maka perlu diwujudkan penyelesaian hutang piutang ini dalam rangka demikian, secara cepat, adil, terbuka dan efektif.” (3) Selanjutnya, karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 itupun

dirasakan belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dunia usaha dikarenakan memang sangat pesatnya perkembangan perekonomian dan perdagangan tersebut, maka diubah dengan dibuatnya Undang-Undang Nomor : 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU) yang diundangkan pada tanggal 18 Nopember 2004.

Dilakukannya beberapa kali perubahan dan penggantian peraturan kepailitan, menurut menurut Sudargo Gautama2 yang penting adalah praktiknya karena prakteklah yang membuktikan apakah memang benar perubahan dan penggantian itu baik atau tidak. Dalam hal ini para pelaksana di dalam praktiklah yang memegang peranan dan sangat menentukan (the man behand the gun), sebab betapapun bagusnya peraturan, namun jika tidak dilaksanakan sesuai jiwanya secara bersih dan cepat, sederhana serta terbuka

2

(6)

dengan motivasi hukum yang layak maka tidak akan terasa menyegarkan. Kenyataan membuktikan bahwa dengan optimisme yang pada tempatnya, serta pelaksanaan yang jujur, maka dapat diperbaiki dan dimodernisasi peraturan tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang ini.

Mengingat sangat pentingnya pelaksanaan atau bagaimana peraturan itu difungsikan dalam kebutuhan praktik, maka mengenai mekanisme, prosedur atau hukum acara untuk menjalankan peraturan tersebut harus mendapat perhatian semestinya. Dalam hal ini aturan hukum, institusi maupun pihak yang berkepentingan dengan penegakan hukum di bidang kepailitan dan PKPU seperti hakim, hakim pengawas, advokat, dan kurator atau pengurus memegang peranan yang sangat penting.

Dalam implementasinya, pernyataan pailit dapat dimohon oleh salah seorang atau lebih kreditur, debitur, atau jaksa penuntut umum untuk kepentingan umum. Kepailitan tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) dapat dimohonkan baik oleh debitor maupun kreditur. Putusan pengadilan niaga dalam setiap perkara yang dimohonkan, baik permohonan pernyataan pailit maupun permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, akan menjadi hukum yang konkrit yang mencerminkan hasil pelaksanaan dan penerapan dari norma hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya dalam pertimbangan hukum bagi hakim dalam mengadili dan memutus perkara. Berdasarkan putusan pengadilan tersebut

(7)

akan terlihat apakah kebutuhan masyarakat secara praktis dapat terpenuhi dengan baik dalam menyelesaikan permasalahan utang piutangnya secara cepat, terbuka, adil dan efektif.

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Penulis sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai putusan pengadilan niaga, yaitu ; Putusan Perkara Nomor : 29/Pdt.Sus/PKPU/2014/PN. Niaga. Jkt. Pst, tanggal 16 Juni 2014 ( “Putusan I” ), dan Putusan Perkara Nomor : 16/Pdt.Sus/PKPU/2015/ PN. Niaga. Jkt. Pst, tanggal 06 Maret 2015 ( “Putusan II” ).

Berdasarkan kenyataan segi praktik adanya putusan pengadilan niaga tersebut merupakan hasil dari proses hukum atau upaya dari kreditor dan debitur (masyarakat) melalui Advokat yang berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan kepantingan kliennya terkait dengan masalah utang piutangnya. Peranan pelaksana dari peraturan kepailitan yaitu institusi pengadilan, hakim, advokat dan kurator dan pengurus sangat terlihat nyata dalam kedua putusan tersebut.

Demikian juga, dari segi materiil UUK PKPU itu akan terlihat apakah sudah baik atau belum dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menyelesaikan masalah utang piutangnya, yang pada akhirnya akan sangat menentukan masa depan dari peraturan itu sendiri tentang perlu tidaknya dilakukan pembaharuan atau perbaikan. Sebab jika menilik dari sejarah peraturan kepailitan sejak dari jaman Hindia Belanda sampai sekarang ini memang kenyataannya sudah mengalami beberapa kali perubahan dan penggantian, dan tidak menutup kemungkinan UUK PKPU yang sekarang

(8)

inipun juga akan mengalami perubahan dan penggantian di masa yang akan datang demi memenuhi kebutuhan perkembangan perekonomian, terutama dalam penyelesaian utang piutang.

Kedua putusan putusan pengadilan niaga dalam perkara permohonan PKPU tersebut ( Putusan I dan Putusan II) juga sangat menarik karena beberapa alasan lainnya sebagai berikut :

1. Kedua putusan tersebut merupakan putusan atas perkara permohonan PKPU yang ditempuh oleh kreditor melalui kuasa hukumnya (advokat) dengan menggunakan alat bukti putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, dalam hal ini putusan perdata wanprestasi, untuk membuktikan adanya piutang (hak tagih) dari kreditor terhadap debitor.

Dalam permohonan PKPU yang telah diputus ( Putusan I ) tersebut, maka untuk menyatakan adanya utang, dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka kreditur menggunakan cara yaitu terlebih dahulu membuat surat peringatan (somasi) yang memberi batas waktu pelunasan bagi debitor. Sedangkan dalam permohonan PKPU yang telah diputus (Putusan II), maka untuk menyatakan adanya utang, dan utang tersebut telah jatuh waktu dan dapat ditagih, maka kreditur menggunakan cara yaitu terlebih dahulu mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sehingga diterbitkan Penetapan Aanmaning yang memperingatkan (somasi) Debitor agar dalam batas

(9)

waktu yang ditentukan membayar utangnya. Akan tetapi kedua permohonan PKPU tersebut ditolak.

Pertimbangan hukum penolakan dalam putusan I bahwa oleh karena tagihan tersebut berasal dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka surat peringatan/somasi yang diajukan Pemohon PKPU terhadap Termohon PKPU, tidak tepat karena tagihan tersebut bersumber dari putusan pengadilan, maka produk pengadilan seharusnya berupa somasi/peringatan/aanmaning harus dilakukan oleh pengadilan. Hal tersebut sangat penting karena suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap masih harus diperiksa secara seksama oleh Ketua Pengadilan Negeri apakah dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan (non eksekutable). Dengan demikian, somasi yang dilakukan oleh pemohon PKPU terhadap termohon PKPU tidak cukup untuk menyatakan suatu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, sehingga permohonan ditolak.

Pertimbangan hukum dalam putusan II, bahwa utang tersebut berasal dari putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang mana ternyata telah memilih penyelesaian perkara melalui peradilan umum dan telah dilakukan permohonan eksekusi hingga diterbitkan Penetapan Aanmaning oleh Ketua Pengadilan Negeri, oleh karenanya hal itu membuktikan Pemohon PKPU telah memilih penyelesaian perkaranya melalu perdata umum, bahkan dalam tahap eksekusi, oleh karenanya tahapan-tahapan tersebut harus tetapp

(10)

dilaksanakan, sehingga perkara tersebut merupakan kewenangan perdata umum dalam lingkup pengadilan negeri, sebab jika diselesaikan dengan permohonan PKPU dalam perkara perdata khusus maka akan terjadi dualisme penyelesaian dalam kasus yang sama. Norma hukum dari kedua putusan tersebut (hukum konkrit) sangat menarik karena ketika kreditur (dalam putusan I) memberi/menunjukkan bukti berupa somasi, maka oleh hakim dinyatakann seharusnya Aanmaning yang merupakan produk pengadilan. Akan tetapi ketika kreditur (dalam putusan II) memberi/menunjukkan bukti Aanmaning, maka hakim menyatakan hal itu dinilai sebagai telah memilih perdata umum sehingga tahapannya harus dilaksanakan agar tidak terjadi dualisme penyelesaian dalam perkara yang sama.

2. Kedua putusan tersebut merupakan cerminan praktik hukum yang dilakukan Advokat dalam memperjuangkan kepentingan kliennya untuk memperoleh pelunasan piutangnya dengan cara yang cepat, terbuka, adil dan efektif dengan menggunakan lembaga PKPU yaitu permohonan PKPU. Jika permohonan PKPU tersebut dikabulkan maka akan berdampak sangat fundamental dan “revolusioner” sebab jika alat bukti putusan perdata wanprestasi (putusan pengadilan) yang sudah berkekuatan hukum tetap yang dilengkapi dengan surat peringatan dari kreditur dan/atau penetapan aanmaning bisa untuk menentukan “utang yang jatuh waktu dan dapat ditagih” sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) UUK PKPU maka masyarakat akan berbondong-bondong

(11)

memilih jalur hukum kepailitan dan PKPU, dibandingkan melalui perdata umum di lingkungan pengadilan negeri. Bahkan semua putusan perdata yang mewajibkan debitur membayar kewajibannya/utangnya kepada kreditur maka akan diselesaikan melalui jalur perdata khusus yaitu kepailitan dan PKPU, sehingga tidak diperlukan lagi penyelesaian melalui perdata umum yang dirasakan tidak cepat, terbuka, adil dan efektif.

3. Dalam kedua putusan tersebut amar putusannya sama-sama menolak permohonan PKPU, namun dengan pertimbangan hukum yang berbeda, padahal secara personil dari Majelis Hakimnya sama.

4. Terhadap Kedua putusan tersebut tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi dan/atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung sehingga tidak dapat periksa oleh Mahkamah Agung yang putusannya akan menjadi yurisprudensi dan menjadi pegangan pengadilan niaga lainnya di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan kepentingan kreditur kurang terlindungi, karena selalu ada kemungkinan majelis hakim dalam perkara sejenis di pengadilan niaga pada pengadilan negeri Jakarta Pusat maupun pengadilan niaga di lingkungan pengadilan negeri di wilayah lain di Indonessia akan memberikan putusan yang berbeda dan dengan alasan yang berbeda.

Berdasarkan latar belakang tersebut maka Penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap kedua putusan tersebut (Putusan I dan Putusan II) dengan judul: PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DENGAN ALAT BUKTI PUTUSAN

(12)

PERDATA YANG SUDAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 29/Pdt.Sus/PKPU/PN. Niaga.Jkt.Pst dan Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 16/Pdt.Sus/ PKPU/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst ).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Apakah putusan perkara perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap harus didahului dengan aanmaning sebagai syarat dikabulkannya permohonan PKPU yaitu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih dan dibuktikan secara sederhana sebagai syarat dikabulkannya permohonan PKPU ?

2. Apakah putusan perkara perdata yang sudah berkekuatan hukum tetap yang sudah dilakukan aanmaning oleh kreditur menghalangi kreditur untuk dikabulkannya permohonan PKPU ?

3. Apakah pertimbangan hukum dalam putusan-putusan tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat dalam mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut Undang-undang Nomor : 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

(13)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan perkara perdata wanprestasi yang sudah berkekuatan hukum tetap harus didahului dengan aanmaning sebagai syarat dikabulkannya permohonan PKPU yaitu utang jatuh waktu dan dapat ditagih dan dibuktikan secara sederhana sebagai syarat dikabulkannya permohonan PKPU.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan perkara perdata wanprestasi yang sudah berkekutan hukum tetap dan sudah dilakukan aanmaning oleh kreditur menghalangi kreditur untuk dikabulkannya permohonan PKPU.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum dalam putusan-putusan tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat dalam mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menurut Undang-undang Nomor : 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut :

1. Secara Teoritis : hasil pemulisan tesis ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan pengembangan atau sumber penelitian lainnya lebih lanjut guna pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

(14)

2. Secara Praktis : hasil penulisan tesis ini dapat memberikan manfaat dan masukan bagi pihak-pihak yang memerlukan baik akademisi, praktisi hukum, kurator, likuidator, dan pihak-pihak lain.

E. Keaslian Penelitian

Hasil penelusuran yang dilakukan penulis, tidak menemukan adanya penelitian dengan topik dan dan permasalahan yang sama, dan sepengetahuan penulis belum ada yang melakukan penelitian tentang topik dan permasalahan yang dilakukan oleh penulis. Sebagai perbandingan, penulis menemukan penelitian yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis lakukan, yaitu penelitian hukum yang berjudul :

1. Tinjauan Yuridis Terhadap Efektivitas Pross Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sebagai Alternatif Penyelesaian Utang Piutang Perusahaan, yang ditulis oleh Marx Andryan, Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogykarta,3 yang menganalisis mengenai permasalahan :

1) Apakah proses perdamaian dapat menghindarkan proses pailit terhadap debitor ?

2) Apakah kreditor dapat mengalihkan/menyerahkan tagihannya kepada pihak lain (pihak ketiga) dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

3

Marx Andryan, 2004, Tinjauan Yuridis Terhadap Efektivitas Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Sebagai Alternatif Penyelesaian Utang Piutang Perusahaan, Tesis, Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

(15)

3) Bagaimanakan efektivitas penyelesaian utang piutang suatu perusahaan melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Kredior maupun Debitor di Pengadilan Niaga ?

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut diatas maka tujuan dari penelitian adalah :

1) Untuk mengetahui dan menganalisa dapat atau tidaknya proses perdamaian dilaksanakan, sehingga terhindar proses kepailitan terhadap debitur

2) Untuk mengetahui dan menganalisa dapat atau tidaknya kreditur mengalihkan/menyerahkan tagihannya kepada pihak lain (pihak ketiga) dalam proses Penundaan kewajiban Pembayaran Utang. 3) Untuk mengetahui dan menganalisa terhadap efektivitas

penyelesaian utang piutang suatu perusahaan melalui proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap kreditur maupun debitur di Pengadilan Niaga.

Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1) Proses perdamaian dapat menghindarkan proses pailit terhadap debitur, apabila debitur melaksanakan isi dari perdamaian sebagaimana telah disepakati antara kreditur dan debitur yang dituangkan dalam suatu Berita Acara Perdamaian.

2) Kreditur dapat mengalihkan/menyerahkan tagihannya kepada pihak lain (pihak ketiga) dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan adanya suatu Penetapan dari Pengadilan Niaga.

(16)

3) Bahwa dibandingkan dengan melalui permohonan kepailitan, geizeling maupun gugatan/tuntutan secara perdata di pengadilan perdata, maka penyelesaian utang-piutang suatu perusahaan melalu proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap kreditur maupun debitu di Pengadilan Niaga relative lebih efektif, hal mana karena :

o Penyelesaian proses penyelesaian utang-piutang antara kreditur dan debitur didasarkan kepada suara terbanyak hasil voting, prosesnya lebih cepat jika dibandingkan dengan proses melalui gugatan perdata biasa, melalui kepailitan, maupun melalui geizeling, tenggang waktunya sangat cepat dan jelas, yaitu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari, sehingga akan lebih menjamin kepastian waktu penyelesaiannya dibandingkan dengan upaya-upaya hukum yang lainnya, seperti proses penyelesaian melalui gugatan perdata biasa, melalui kepailitan, maupun melalui geizeling, dapat menangguhkan pelaksanaan eksekusi, selama berlangsungnya proses PKPU, debitur tidak dapat dipaksa untuk membayar utang-utangnya kepada kreditur, selalu ada control dari hakim pengawas dan pengurus terhadap tindakan-tindakan debitur, sehingga dapat mengurangi kerugian-kerugian yang mungkin timbul dari tindakan-tindakan debitur nakal, menjamin adanya transparansi terhadap seluruh kreditur, karena proses PKPU ini harus diumumkan kepada seluruh kreditur yang

(17)

merasa dirinya dirugikan oleh debitur, adanya suatu harapan/keinginan dari debitur, bahwa terhadap asset-aset dan kekayaannya akan tetap dapat dipertahankan oleh debitur, sehingga dapat memberikan suatu jaminan bagi pelunasan utang-utangnya kepada seluruh kreditur, sebagai suatu upaya hukum dari debitur untuk menghindari proses pailit, sehingga debitur masih dapat menjalankan usahanya, adanya harapan kreditur bahwa piutang-piutangnya akan dapat dilunasi oleh debitur, sebagai suatu upaya hukum untuk memberikan kesempatan kepada debitur untuk melakjukan restrukturisasi utang-utangnya kepada kreditur dan kreditur tidak akan sewenang-wenang mengambil bagian dari harta yang dinyatakan pailit.

2. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Kepailitan (Analisis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby), yang ditulis oleh I Wayan Wesna Astara, pada tahun 2015, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar4, yang menganalisis mengenai upaya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam mekanisme kepailitan dan perlindungan hukum debitor dalam proses kepailitan. Penelitian tersebut menarik

4

I Wayan Wesna Astara, 2015, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam Kepailitan (Analisis terhadap Putusan Pengadilan Niaga Nomor : 20/Pailit/2011/PN.Niaga.Sby,

(18)

kesimpulan yang pada pokoknya yaitu : 1). Dalam menghadapi permohonan kepailitan Debitur (PT Dwimas Andalan Bali) tidak menggunakan upaya PKPU dengan alasan karena kreditur (PT. Karsa Industama Mandiri) melakukan wanprestasi dan diduga melakukan penipuan-penipuan dalam proses pengajuan kepailitan (“exception non adimpleti contractus”). Debitur justru melakukan perdamaian dengan kreditur lain. Alasan tersebut ditolak Hakim sehingga debitur dinyatakan pailit. 2). Adanya tangkisan debitur (PT Dwimas Andalan Bali) terhadap permohonan pernyataan pailit dengan alasan kreditur (PT. Karsa Industama Mandiri) melakukan wanprestasi dan diduga melakukan penipuan, maka PKPU sebagai solusi restrukrusisi utang menjadi tidak bermakna bagi debitur. Oleh karena itu guna perlindungan hukum terhadap debitor ke depan dengan memasukkan insovenvency test untuk mengganti pembuktian yang sederhana dalam menentukan apakah debitor dapat dinyatakan pailit.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan antara penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitian sebelumnya, oleh karena itu penelitian ini asli / tidak plagiat dan keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, objektifitas dan keteraturan.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai tindak lanjut dari kebijakan APBN diatas, tantangan fiskal pemerintah pusat selanjutnya sebagaimana disampaikan oleh ibu Menteri Keuangan adalah harus mampu

Pernyataan ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tiska (2012: 46) dalam jurnal yang berjudul “Hubungan antara Kesepian dan Kebutuhan Afiliasi

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perbandingan umpan dan pelarut (f/s), jenis antisolvent dan jenis pelarut terhadap ekstraksi likopen

Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan terhadap bank pemerintah dengan bank swasta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa varibel Non Performing Loan gross (NPL gross)

Percepatan proyek dilakukan dengan penambahan sumber daya manusia (pekerja) pada aktivitas-aktivitas yang tertentu dan telah diperhitungkan terlebih dahulu pada

Sektor perdagangan tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat Kabupaten Majalengka. Pasar merupakan pusat perdagangan karena dari tempat inilah segala

3.1.1 Ijin tidak bekerja karena tugas diberikan kepada karyawan yang mendapat surat tugas dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cendekia Karya Utama atau YAYASAN STIE

Sedangkan mikronutrien yang terdapat pada ASI terdiri dari vitamin dan mineral, dan salah satu kandungan mineral yang terdapat pada ASI yaitu Cu (Uauy, R. Olivares, 2017) oleh karna