• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perencanaan Wilayah

Perencanaan wilayah adalah perencanaan penggunaan ruang wilayah dan perencanaan aktivitas pada ruang wilayah. Perencanaan ruang wilayah biasanya dituangkan dalam perencanaan tata ruang wilayah, sedangkan perencanaan aktivitas biasanya tertuang dalam rencana pembangunan wilayah, baik jangka panjang, jangka menengah maupun jangka pendek. Perencanaan wilayah sebaiknya dimulai dengan penetapan visi dan misi wilayah (Sirojuzilam dan Mahalli, 2010).

Visi adalah cita-cita tentang masa depan wilayah yang diinginkan. Visi seringkali bersifat abstrak tetapi ingin menciptakan ciri khas wilayah yang ideal sehingga berfungsi sebagai pemberi inspirasi dan dorongan dalam perencanaan pembangunan wilayah. Misi adalah kondisi antara atau suatu tahapan untuk mencapai visi tersebut.

Misi adalah kondisi ideal yang setingkat di bawah visi tetapi lebih realistik untuk mencapainya. Dalam kondisi ideal, perencanaan wilayah sebaiknya dimulai setelah tersusunnya rencana tata ruang wilayah, karena tata ruang wilayah merupakan landasan sekaligus sasaran dari perencanaan pembangunan wilayah. Akan tetapi dalam praktiknya, cukup banyak daerah yang belum memiliki rencana tata ruang, tetapi berdasarkan undang-undang harus menyusun rencana pembangunan wilayahnya karena terkait dengan penyusunan anggaran. Seandainya tata ruang itu sudah ada dan

(2)

masih berlaku, penyusunan rencana pembangunan daerah haruslah mengacu pada rencana tata ruang tersebut.

Kajian literatur regional planning sebagai pendekatan dalam pengembangan wilayah melalui sistem perwilayahan pembangunan, antara lain adalah teori tentang kutub pertumbuhan, tempat pusat dan konsepsi simpul jasa distribusi. Konsep kutub pertumbuhan dan pusat pertumbuhan telah dipergunakan baik di negara maju maupun negara sedang berkembang. Konsep tersebut dipergunakan untuk mempercepat perkembangan daerah terbelakang melalui pemusatan investasi dalam suatu daerah tertentu, sehingga terjadi keuntungan ekonomi pada daerah pengaruh (Hansen, 1972: Richardson, 1976 dalam Warsilan, 1993).

Perencanaan wilayah di berbagai negara tidak sama, tergantung kepada kehidupan ekonomi dan masalah yang dihadapi. Secara historis setidaknya terdapat tiga pendekatan perencanaan wilayah (Jayadinata, 1999), yaitu:

1. Perencanaan wilayah yang memusatkan perhatiannya kepada masalah kota yang bersifat sosial. Pelaksanaannya meliputi perbaikan bagian kota yang keadaan yang telah rusak dan tidak memenuhi standar, pemugaran kota, pembuatan kota satelit untuk membantu meringankan kota industri yang terlalu padat penduduknya. Titik berat perencanaan wilayah semacam ini ditujukan pada kota yang besar dan wilayah sekelilingnya (hinterland) yang dapat menunjang kota dalam perencanaan kota dan wilayah.

(3)

khusus). Dalam wilayah seperti ini, pemerintah perlu mengatur intensif pembiayaan, pengaturan rangsangan untuk prasarana industri, pengaturan konsesi pajak dan sebagainya, sehingga industri tertentu dapat berlokasi di wilayah itu. 3. Perencanaan wilayah yang memperhatikan wilayah pedesaan, dengan

pengembangan tanah bagi sektor pertanian dan rekreasi (perencanaan pedesaan dan wilayah). Hal ini dilakukan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara pedesaan dan perkotaan.

Untuk meratakan pembangunan, harus digunakan pendekatan perwilayahan atau regionalisasi, yaitu pembagian wilayah nasional dalam satuan wilayah geografi, sehingga setiap bagian mempunyai sifat tertentu yang khas (dapat juga menurut satuan daerah tata praja atau daerah administrasi). Di samping itu, diperlukan desentralisasi yaitu kebijaksanaan yang diputuskan oleh pemerintah regional dan lokal. Dalam desentralisasi itu harus terdapat koordinasi yang baik.

2.2. Teori Pengembangan Wilayah

Dalam banyak kepustakaan tentang pembangunan, terdapat beberapa pendekatan dan teori. Menyebut beberapa diantaranya adalah growth theory, rural development theory, agro first theory, basic needs theory, dan lain sebagainya. Teori-teori pembangunan itu memuat berbagai pendekatan ilmu sosial yang berusaha menangani masalah keterbelakangan. Teori pembangunan benar-benar lepas landas hanya setelah diketahui bahwa persoalan pembangunan di Dunia Ketiga bersifat khusus dan secara kualitatif berbeda dari “transisi orisinil”. Sepanjang evolusinya, teori pembangunan menjadi semakin kompleks dan nondisipliner. Dengan demikian,

(4)

tidak akan ada definisi baku dan final mengenai pembangunan, yang ada hanyalah usulan mengenai apa yang seharusnya diimplikasikan oleh pembangunan dalam konteks tertentu (Hettne, 2001).

Salah satu teori pembangunan wilayah adalah pertumbuhan tak berimbang (unbalanced growth) yang dikembangkan oleh Hirscham dan Myrdal. Pengembangan wilayah merupakan proses perumusan dan pengimplementasian tujuan-tujuan pembangunan dalam skala supra urban. Pembangunan wilayah pada dasarnya dilakukan dengan menggunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, yaitu berdasarkan kepada kegiatan ekonomi dasar yang terjadi pada suatu wilayah.

Teori pertumbuhan tak berimbang memandang bahwa suatu wilayah tidak dapat berkembang bila ada keseimbangan, sehingga harus terjadi ketidakseimbangan. Penanaman investasi tidak mungkin dilakukan pada setiap sektor di suatu wilayah secara merata, tetapi harus dilakukan pada sektor-sektor unggulan yang diharapkan dapat menarik kemajuan sektor lainnya. Sektor yang diunggulkan tersebut dinamakan sebagai leading sektor.

Sesungguhnya teori pembangunan terkait erat dengan strategi pembangunan, yakni perubahan struktur ekonomi dan pranata sosial yang diupayakan untuk menemukan solusi yang konsisten dan langgeng bagi persoalan yang dihadapi para pembuat keputusan dalam suatu masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul berbagai pendekatan menyangkut tema-tema kajian tentang pembangunan. Satu diantaranya adalah mengenai isu pembangunan wilayah. Secara luas,

(5)

pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan yang optimal dan berkelanjutan (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Perencanaan pembangunan wilayah semakin relevan dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi dalam aspek kewilayahan. Hoover dan Giarratani (dalam Nugroho dan Dahuri, 2004), menyimpulkan tiga pilar penting dalam proses pembangunan wilayah, yaitu:

1. Keunggulan komparatif (imperfect mobility of factor). Pilar ini berhubungan dengan keadaan dtemukannya sumber-sumber daya tertentu yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah. Hal ini disebabkan adanya faktor-faktor lokal (bersifat khas atau endemik, misalnya iklim dan budaya) yang mengikat mekanisme produksi sumber daya tersebut sehingga wilayah memiliki komparatif. Sejauh ini karakteristik tersebut senantiasa berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan, dan kelompok usaha sektor primer lainnya.

2. Aglomerasi (imperfect divisibility). Pilar aglomerasi merupakan fenomena eksternal yang berpengaruh terhadap pelaku ekonomi berupa meningkatnya keuntungan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya

(6)

biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam pengangkutan bahan baku dan distribusi produk.

3. Biaya transpor (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata mempengaruhi aktivitas perekonomian. Implikasinya adalah biaya yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pembangunan wilayah.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah antara lain dipengaruhi oleh aspek-aspek keputusan lokasional, terbentuknya sistem perkotaan, dan mekanisme aglomerasi. Istilah pertumbuhan wilayah dan perkembangan wilayah sesungguhnya tidak bermakna sama. Pertumbuhan dan perkembangan wilayah merupakan suatu proses kontiniu hasil dari berbagai pengambilan keputusan di dalam ataupun yang mempengaruhi suatu wilayah.

Pertumbuhan dan perkembangan wilayah dapat digambarkan melalui lima tahapan.

1. Wilayah dicirikan oleh adanya industri yang dominan. Pertumbuhan wilayah sangat bergantung pada produk yang dihasilkan oleh industri tersebut, antara lain minyak, hasil perkebunan dan pertanian, dan produk-produk primer lainnya. Industri demikian dimiliki oleh banyak negara dalam awal pertumbuhannya. 2. Tahapan ekspor kompleks. Tahapan ini menggambarkan bahwa wilayah telah

mampu mengekpsor selain komoditas dominan juga komoditas kaitannya. Misalnya, komoditas dominan yang diekspor sebelumnya adalah minyak bumi mentah, maka dalam tahapan kedua wilayah juga mengekspor industri (metode)

(7)

teknologi penambangan (kaitan ke belakang) dan produk-produk turunan dari minyak bumi (kaitan ke depan) misalnya premium, solar dan bahan baku plastik. 3. Tahapan kematangan ekonomi. Tahapan ketiga ini menunjukkan bahwa aktivitas

ekonomi wilayah telah terdiversifikasi dengan munculnya industri substitusi impor, yakni industri yang memproduksi barang dan jasa yang sebelumnya harus diimpor dari luar wilayah. Tahapan ketiga ini juga memberikan tanda kemandirian wilayah dibandingkan wilayah lainnya.

4. Tahapan pembentukan metropolis (regional metropolis). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah menjadi pusat kegiatan ekonomi untuk mempengaruhi dan melayani kebutuhan barang dan jasa wilayah pinggiran. Dalam tahapan ini pengertian wilayah fungsional dapat diartikan bahwa aktivitas ekonomi wilayah lokal berfungsi sebagai pengikat dan pengendali kota-kota lain. Selain itu, volume aktivitas ekonomi ekspor sangat besar yang diiringi dengan kenaikan impor yang sangat signifikan.

5. Tahapan kemajuan teknis dan profesional (technical professional virtuosity). Tahapan ini memperlihatkan bahwa wilayah telah memberikan peran yang sangat nyata terhadap perekonomian nasional. Dalam wilayah berkembang produk dan proses-proses produksi yang relatif canggih, baru, efisien dan terspesialisasi. Aktivitas ekonomi telah mengandalkan inovasi, modifikasi, dan imitasi yang mengarah kepada pemenuhan kepuasan individual dibanding kepentingan masyarakat. Sistem ekonomi wilayah menjadi kompleks (economic reciproating

(8)

system), mengaitkan satu aktivitas dengan aktivitas ekonomi lainnya (Nugroho dan Dahuri, 2004).

Dalam kerangka pengembangan wilayah, perlu dibatasi pengertian “wilayah” yakni ruang permukaan bumi dimana manusia dan makhluk lainnya dapat hidup dan beraktivitas. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, wilayah diartikan sebagai kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Dalam kerangka pembangunan nasional, perencanaan pengembangan wilayah dimaksudkan untuk memperkecil perbedaan pertumbuhan kemakmuran antar wilayah atau antar daerah. Di samping itu, diusahakan untuk memperkecil perbedaan kemakmuran antara perkotaan dan pedesaan (Jayadinata, 1999).

2.3. Pembangunan Wilayah

Pembangunan wilayah, meliputi perkotaan dan perdesaan sebagai pusat dan lokasi kegiatan sosial ekonomi dari wilayah tersebut. Dari segi pemerintahan, pembangunan daerah merupakan usaha untuk mengembangkan dan memperkuat pemerintahan daerah untuk makin mantapnya otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi dan bertanggung jawab. Pembangunan daerah di Indonesia memiliki dua aspek yaitu: bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi dan sosial di daerah yang relatif terbelakang, dan untuk lebih memperbaiki dan meningkatkan kemampuan daerah dalam melaksanakan pembangunan melalui kemampuan menyusun perencanaan sendiri dan pelaksanaan program serta proyek secara efektif (Sari, 2008).

(9)

Pembangunan merupakan proses alami untuk mewujudkan cita-cita bernegara, yaitu terwujudnya masyarakat makmur sejahtera secara adil dan merata. Proses alami tersebut harus diciptakan melalui intervensi pemerintah melalui serangkaian kebijaksanaan pembangunan yang akan mendorong terciptanya kondisi yang memungkinkan rakyat berpartisipasi penuh dalam proses pembangunan. Proses pembangunan yang memihak rakyat merupakan upaya sinergi dalam langkah pemberdayaan masyarakat. Peran pemerintah adalah sebagai katalisator dalam mewujudkan langkah pemberdayaan masyarakat. Dalam kerangka itu pembangunan harus dipandang sebagai suatu rangkaian proses perubahan yang berjalan secara berkesinambungan untuk mewujudkan pencapaian tujuan (Sumodiningrat, 1999 dalam

Sari, 2008).

Secara historis kegagalan program-program pembangunan didalam mencapai tujuannya bukanlah semata-mata kegagalan dalam pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Teori-teori pembangunan selalu berkembang dan mengalami koreksi, sehingga selalu melahirkan pergeseran tentang nilai-nilai yang dianggap benar dan baik dalam proses pembangunan. Pembangunan wilayah bukan hanya fenomena dalam dimensi lokal dan regional, namun merupakan bagian tak terpisahkan dari kepentingan skala nasional bahkan global (Rustiadi et al., 2007).

2.4. Kemampuan Lahan

Lahan yang dimanfaatkan oleh manusia pada dasarnya mempunyai kemampuan yang berbeda. Untuk mengetahui kemampuan suatu lahan maka perlu dilakukan klasifikasi kemampuan lahan. Klasifikasi kemampuan lahan (Land

(10)

Capability Classification) adalah penilaian lahan (komponen - komponen lahan) secara sistematik dan pengelompokkanya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat – sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaanya secara lestari. Kemampuan disini dipandang sebagi kapasitas lahan itu sendiri untuk suatu macam atau tingkat penggunaan umum.

Salah satu konsep yang dapat dilakukan dalam strategi pengembangan wilayah berbasis evaluasi lahan adalah melakukan evaluasi kelas kemampuan lahan. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) Evaluasi kemampuan lahan merupakan penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, di samping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain. Setelah dilakukan evaluasi kelas kemampuan lahan maka akan didapat lokasi-lokasi tertentu yang sesuai untuk pengembangan pertanian, kawasan permukiman, pembangunan jalan, jembatan dan fasilitas-fasilitas lainnya.

Klasifikasi kemampuan lahan terdiri dari 3 kategori utama yaitu kelas, subkelas dan satuan kemampuan (Arsyad, 1989).

2.5. Penelitian Sebelumnya

Ejasta (1997) dalam penelitiannya “Kualitas, Kemampuan dan Penggunaan Lahan pada Bentuk Lahan Asal Denudasional di Kecamatan Dawan Kabupaten Daerah Tingkat II Kelungkung”. Metode yang digunakan adalah teknik interpretasi foto udara, analisis peta dan pengamatan lapangan. Hasil penelitian menunjukkan kualitas lahan

(11)

yang produktif, kemampuan lahannya dari kelas V sampai kelas VII. Unit lahan dari bentuk lahan asal denudasional yang digunakan untuk tanaman perkebunan dan yang merupakan semak belukar kemampuan lahan sesuai dengan penggunaan lahannya, dan unit lahan yang digunakan untuk tanaman semusim ditemukan tidak sesuai.

Wirosuprojo (2006) dalam penelitiannya “Klasifikasi Lahan untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei dengan cara mengumpulkan data-data karakteristik lahan (tanah, lereng, banjir, erosi, keairan) pada setiap bentuklahan. Pengukuran dilakukan berdasarkan pada pengambilan sampel secara dengan unit dan evaluasi satuan bentuk lahan. Analisis data dilakukan dengan cara menilai karakteristik lahan pada setiap satuan bentuk lahan dengan kriteria klasifikasi lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelas kemampuan lahan I hingga IV merupakan lahan potensial untuk budidaya pertanian yang menempati bentuk lahan vulkanik meliputi dataran aluvial gunung api, dataran lereng kaki gunung api dan lereng bawah gunung api. Kelas kemampuan lahanV dan VI merupakan lahan potensial untuk penggunaan hutan dan perkebunan yang menempati lereng tengah dan atas gunung api serta perbukitan terisolasi, perbukitan denudasional. Kelas kemampuan lahan VII dan VIII merupakan lahan untuk pelestarian fungsi lindung bawahan sehingga sangat sesuai untuk hutan lindung. Arahan rencana penggunaan lahan secara umum di daerah penelitian dapat diaplikasikan untuk identifikasi fungsi kawasan budidaya dan lindung.

Susanti (2000) dalam penelitiannya yang berjudul “Kemampuan Lahan di Kecamatan Gondabgrejo Kabupaten Karanganyar” bertujuan menentukan kelas

(12)

kemampuan lahan dan menentukan faktor penghambat. Metode yang digunakan adalah metode survei dengan menggunakan cara stratified random sampling yaitu pengambilan sampling secara acak dengan strata wilayah. Pedoman klasifikasi modifikasi Sitanala Arsyad (1989) dengan parameter yang digunakan: kedalaman efektif tanah, drainase tanah, permeabilitas, tekstur, bahan organik, kemiringan lereng, kenampakan erosi dan sebaran batuan serta ancaman banjir dan genangan. Hasil yang diperoleh adalah peta kemampuan lahan dan evaluasi lahan terhadap penggunaan lahan.

Rahayu (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kemampuan Lahan terhadap Produktifitas Pertanian di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri” bertujuan mengetahui tingkat kemampuan lahan, mengetahui faktor-faktor pembatas yang mempengaruhi kelas kemampuan lahan terhadap produktifitas pertanian di daerah penelitian. Hasil yang diperoleh Peta analisis kemampuan lahan skala 1 : 50.000

2.6. Kerangka Konseptual

Kecamatan Tarutung dievaluasi sumber daya lahannya melalui peta-peta yang berhubungan dengan penelitian sehingga dapat ditentukan kelas kemampuan lahannya. Dengan menganalisa kemampuan lahan di Kecamatan Tarutung melalui analisis SWOT, maka diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang dihadapi Pemerintah Kecamatan Tarutung yaitu berupa Strategi perencanaan wilayah sebagaimana digambarkan pada skema:

(13)

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian Kecamatan Tarutung

Kelas Kemampuan Lahan

Strategi Perencanaan Wilayah Evaluasi Sumber Daya Lahan - Peta Tanah - Peta CH - Peta Lereng - Peta Admin - Peta Geologi - Peta Eksisting - Peta Kedalaman Efektif

Karakteristik Lahan

Analisis SWOT Pengharkatan

Gambar

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian Kecamatan Tarutung

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pengamatan dan karakteristik lahan pada Tabel 1, maka didapat kelas kesesuaian lahan untuk tanaman padi gogo di lokasi penelitian yang termasuk ke dalam

Keempat , novel ini berhasil meleburkan batasan antara mitos yang menjadi tradisi resmi kerajaan (cerita pantu Lutung Kasarung) dengan mitos yang berasal dari

Kerena peneliti mengkaji tentang proses pemindahan pengetahuan lokal pada kelompok masyarakat nelayan tradisional di Desa Kedungmalang, Jepara, informan utama

Base WO <F6> otvara prozor u kojem je moguće podešavanje osnovne nul točke.. Radno područje

Setiap data dan operasi yang berkaitan dijadikan satu dalam sebuah kelas, sehingga data yang berkaitan tidak tersebar dan mudah ditemukan, karena diasosiasikan dengan suatu

[r]

Hasil akhir nilai kinerja guru dengan tugas tambahan yang relevan dengan fungsi sekolah/madrasah (kepala sekolah/madrasah, wakil kepala sekolah/madrasah,

Dalam penelitian ini dirancang suatu prototype sistem pengukuran lendutan vertikal pada jembatan secara nirkabel dengan menggunakan sensor accelerometer MMA7361 dengan