• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional. daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya sumber daya yang ada dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. 2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional. daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya sumber daya yang ada dan"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi Regional

Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya – sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut (Arsyad, 1999 : 108).

Pembangunan regional pada dasarnya adalah berkenaan dengan tingkat dan perubahan selama kurun waktu tertentu suatu set (gugus) variabel-variabel, seperti produksi, penduduk, angkatan kerja, rasio modal tenaga, dan imbalan bagi faktor (factor returns) dalam daerah di batasi secara jelas. Laju pertumbuhan dari daerah-daerah biasanya di ukur menurut output atau tingkat pendapatan.

Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasilkan produk yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, dan transformasi pengetahuan (Adisasmita 2005 dalam Manik, 2009 : 32).

Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Tarigan, 2005 : 46).

Perhitungan pendapatan wilayah pada awalnya dibuat dalam harga berlaku. Namun agar dapat melihat pertambahan dari satu kurun waktu ke kurun

(2)

waktu berikutnya, harus dinyatakan dalam nilai riel, artinya dinyatakan dalam harga konstan. Pendapatan wilayah menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi yang beroperasi di daerah tersebut (tanah, modal, tenaga kerja, dan teknologi), yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di wilayah tersebut juga oleh seberapa besar terjadi transfer payment, yaitu bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah.

Pertumbuhan regional adalah produk dari banyak faktor, sebagian bersifat intern dan sebagian lagi bersifat ekstern dan sosio politik. Fakto-faktor yang berasal dari daerah itu sendiri meliputu distribusi faktor produksi seperti tanah, tenaga kerja, modal sedangkan salah satu penentu ekstern yang penting adalah tingkat permintaan dari daerah-daerah lain terhadap komoditi yang dihasilkan daerah tersebut.

Glasson (1997) menjelaskan bahwa region dapat diklasifikasikan menjadi daerah homogeny (homogeneous region), daerah administrasi (administrative region) dan daerah nodal (nodal region).

Pertumbuhan ekonomi daerah yang berbeda-beda intensitasnya akan menyebabkan terjadinya ketimpangan atau disparitas ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar daerah. Myrdal (1968) dan Friedman (1976) menyebutkan bahwa pertumbuhan atau perkembangan daerah akan menuju kepada divergensi.

Ada beberapa teori pembangunan dan pertumbuhan ekonomi regional yang lazim dikenal, diantaranya : (1) Teori Basis Ekspor; (2) Teori Pertumbuhan

(3)

Jalur Cepat; (3) Teori Pusat Pertumbuhan; (4) Teori Neoklasik; (5) Model Kumulatif Kausatif; dan (6) Model Interregional.

2.1.1 Teori Basis Ekspor

Teori Basis Ekspor (Export Base Theory) dipelopori oleh Douglas C. North (1995) dan kemudian dikembangkan oleh Tiebout (1956). Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (non-basis). Kegiatan basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat pada kondisi internal perekonomian wilayah tersebut dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya jenis pekerjaan lainnya. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri.

Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu, Asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independent) dalam pengeluaran, artinya semua unsur pengeluaran lain terikat (dependent) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor lain terikat oleh peningkatan pendapatan daerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Asumsi kedua adalah bahwa fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan.

Beberapa hal penekanan dalam model teori basis ekspor yaitu, antara lain : a. Bahwa suatu daerah tidak harus menjadi daerah industri untuk dapat

(4)

keuntungan komparatif (keuntungan lokasi) yang dimiliki oleh daerah tersebut;

b. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah akan dapat dimaksimalkan bila daerah yang bersangkutan memanfaatkan keuntungan komparatif yang dimiliki menjadi kekuatan basis ekspor;

c. Ketimpangan antar daerah tetap sangat besar dipengaruhi oleh variasi potensi masing-masing daerah.

Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :

1. Menurut Richardson, besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil apabila dibandingkan dengan total pendapatan.

2. Ekspor jelas bukan satu-satunya faktor yang dapat meningkatkan pendapatan daerah. Ada banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

3. Dalam melakukan studi atas suatu wilayah, multiplier basis yang diperoleh adalah rata-ratanya bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila nilai multiplier dari tahun ke tahun.

4. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi maka masalah time lag (masa tenggang) harus diperhatikan.

(5)

5. Ada kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan lainnya.

Harry W. Richardson dalam bukunya Elements of Regional Economics

(Tarigan, 2005 : 56) memberi uraian sebagai berikut:

dimana :

Yi = pendapatan daerah Ei = pengeluaran daerah Mi = impor daerah Xi = ekspor daerah

2.1.2 Teori Pertumbuhan Jalur Cepat

Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1955 (Tarigan, 2005 : 54). Inti dari teori ini adalah menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan

(6)

sektor-sektor adalah membuat sektor-sektor-sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung. menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.

Selain itu perlu diperhatikan pandangan beberapa ahli ekonomi (Schumpeter dan ahli lainnya) yang mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa usaha (entrepreneurship) dalam masyarakat. Jiwa usaha berarti pemilik modal mampu melihat peluang dan mengambil resiko untuk membuka lapangan kerja baru untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap tahunnya.

2.1.3 Teori Pusat Pertumbuhan

Teori Pusat Pertumbuhan (Growth Poles Theory) adalah satu satu teori yang dapat menggabungkan antara prinsip-prinsip konsentrasi dengan desentralisasi secara sekaligus. Dengan demikian teori pusat pengembangan merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang, yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan ke seluruh pelosok daerah. Selain itu teori ini juga dapat menggabungkan antara kebijaksanaan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan terpadu.

Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkosentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti : kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat pemukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan : daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan.

(7)

Keuntungan berlokasi pada tempat konsentrasi atau terjadinya agglomerasi disebabkan faktor skala ekonomi (economic of scale) atau agglomeration (economic of localization) (Tarigan, 2005 : 159). Economic of scale adalah keuntungan karena dalam berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien.

Economic of agglomeration adalah keuntungan karena di tempat tersebut terdapat berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.

Hubungan antara kota (daerah maju) dengan daerah lain yang lebih terbelakang dapat dibedakan sebagai berikut : (1) Generatif : hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya; (2) Parasitif : hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya; (3) Enclave (tertutup) : dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.

Pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yaitu adanya hubungan intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya

multiplier effect (unsur pengganda), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya (Tarigan, 2005 : 162).

(8)

2.1.4 Teori Neoklasik

Teori Neoklasik (Neo-classic Theory) dipelopori oleh Borts Stein (1964), kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Roman (1965) dan Siebert (1969). Dalam negara yang sedang berkembang, pada saat proses pembangunan baru dimulai, tingkat perbedaan kemakmuran antar wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence), sedangkan bila proses pembangunan telah berjalan dalam waktu yang lama maka perbedaan tingkat kemakmuran antar wilayah cenderung menurun (convergence). Hal ini disebabkan pada negara sedang berkembang lalu lintas modal masih belum lancar sehingga proses penyesuaian kearah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi.

Teori ini mendasarkan analisanya pada komponen fungsi produksi. Unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, dan teknologi. Adapun kekhususan teori ini adalah dibahasnya secara mendalam pengaruh perpindahan penduduk (migrasi) dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan regional.

2.1.5 Model Kumulatif Kausatif

Model kumulatif kausatif (Cummulative Causation Models) dipelopori oleh Gunnar Myrdal (1975) dan kemudian diformulasikan lebih lanjut oleh Kaldor. Teori ini menyatakan bahwa adanya suatu keadaan berdasarkan kekuatan relatif dari “Spread Effect” dan “Back Wash Effect”. Spread Effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antar daerah-daerah kaya dan daerah-daerah miskin. Dengan timbulnya daerah kaya, maka akan tumbuh pula permintaannya terhadap produk daerah-daerah miskin. Dengan demikian mendorong pertumbuhannya.

(9)

Namun Myrdal yakin bahwa dampak spread effect ini lebih kecil daripada

back wash effect. Pertambahan permintaan terhadap produk daerah miskin tersebut terutama barang-barang hasil pertanian oleh daerah kaya tentu saja mempunyai nilai permintaan yang rendah, sementara konsumsi daerah miskin terhadap produk daerah kaya akan lebih mungkin terjadi. Para pelopor teori ini menekankan pentingnya campur tangan pemerintah untuk mengatasi perbedaan yang semakin menonjol.

2.1.6 Model Interregional

Model ini merupakan perluasan dari teori basis ekspor dengan menambah faktor-faktor yang bersifat eksogen. Selain itu, model basis ekspor hanya membahas daerah itu sendiri tanpa memperhatikan dampak dari daerah tetangga. Model ini memasukkan dampak dari daerah tetangga, sehingga model ini dinamakan model interregional (Tarigan, 2005 : 58).

Dalam model ini diasumsikan bahwa selain ekspor, pengeluaran pemerintah dan investasi juga bersifat eksogen dan daerah itu terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat. Dengan memanipulasi rumus pendapatan yang pertama kali ditulis Keynes, oleh Richardson merumuskan model interregional ini menjadi :

dimana :

Yi = regional income Ci = regional consumption Ii = regional investment

(10)

Xi = regional exports Mi = regional import

Sumber-sumber perubahan pendapatan regional (Tarigan, 2005 : 60) dapat berasal dari :

1. Perubahan pengeluaran otonomi regional, seperti : investasi dan pengeluaran pemerintah,

2. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu sistem yang akan terlihat dari perubahan ekspor,

3. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat konsumsi marjinal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marjinal).

2.2 Ketimpangan Pembangunan Daerah

Salah satu tujuan pembangunan ekonomi daerah adalah untuk mengurangi ketimpangan (disparity). Peningkatan pendapatan per kapita memang menunjukkan tingkat kemajuan perekonomian suatu daerah. Namun meningkatnya pendapatan per kapita tidak selamanya menunjukkan bahwa distribusi pendapatan lebih merata. Seringkali di negara-negara berkembang dalam perekonomiannya lebih menekankan penggunaan modal dari pada tenaga kerja sehingga keuntungan dari perekonomian tersebut hanya dinikmati sebagian masyarakat saja. Apabila ternyata pendapatan nasional tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketimpangan. Terdapat beberapa bentuk-bentuk ketimpangan dalam pembangunan daerah.

(11)

2.2.1 Distribution Income Disparities

Terdapat berbagai macam alat yang dapat dijumpai dalam mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk (Distribution Income Disparities), diantaranya yaitu :

1. Kurva Lorenz (Lorenz Curve)

Kurva Lorenz secara umum sering digunakan untuk menggambarkan bentuk ketimpangan yang terjadi terhadap distribusi pendapatan masyarakat. Kurva Lorenz memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase penerima pendapatan dengan persentase pendapatan total yang benar-benar mereka terima selama periode tertentu, misalnya, satu tahun.

Gambar 2.1 Kurva Lorenz

Kurva Lorenz digambarkan pada sebuah bidang persegi/bujur sangkar dengan bantuan garis diagonalnya. Garis horizontal menunjukkan persentase penduduk penerima pendapatan, sedangkan garis vertikal adalah persentase pendapatan. Semakin dekat kurva ini dengan diagonalnya, berarti ketimpangan semakin rendah dan sebaliknya semakin melebar kurva ini menjauhi diagonal

50% 25% Garis Pemetaaan Kurva Lorenz 0 B

Persentase Penerima Pendapatan

P er sent as e P enda pa tan 100% 50% A C 100%

(12)

berarti ketimpangan yang terjadi semakin tinggi. Kemungkinan yang digambarkan kurva Lorenz diatas yaitu :

a. Jika kurva Lorenz adalah diagonal 0A maka terlihat 50% penduduk (penerima pendapatan) memperoleh 50% pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan sempurna merata.

b. Jika 50% penduduk yang paling rendah pendapatannya menerima 25% pendapatan, tergolong pada pembagian pendapatan cukup merata (kurva Lorenz 0CA).

c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA, maka 100% penduduk sama sekali tidak memperoleh pendapatan, menggambarkan pembagian pendapatan sempurna tidak merata.

2. Gini Index

Kelemahan kurva Lorenz adalah sulit diaplikasikan, maka seorang sarjana statistik matematik mencoba mengkuantifikasi konsep kurva Lorenz tersebut yaitu Mr. Gini, yang selanjutnya hasil pendapatnya dikenal dengan Gini Index/Gini Ratio. Gini index adalah ukuran ketimpangan pendapatan agregat yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan sempurna).

Menurut Gini setiap kurva Lorenz dapat dihitung nilai angkanya yang selanjutnya disebut angka Gini dengan cara membagi luas yang dibentuk kurva Lorenz tersebut dengan total pendapatan. Dari gambar kurva Lorenz dapat terlihat :

a. Jika kurva Lorenz adalah 0CA maka

b. Jika kurva Lorenz adalah diagonal pokok 0A maka = 0, yaitu merata sempurna.

(13)

c. Jika kurva Lorenz adalah sisi siku 0BA maka = 1, yaitu merata tidak sempurna.

Dengan demikian semakin kecil Gini index, maka semakin merata, sedang

Gini index yang semakin besar menunjukkan distribusi pendapatan yang makin tidak merata. Maksimum dan minimum nilai G adalah : 0 ≤ G ≤ 1 . Untu k menghitung Gini Index yaitu :

dimana :

G = Gini Index

Pi = Persentase kumulatif jumlah penduduk sampai kelas ke-i Qi = Persentase kumulatif jumlah pendapatan sampai kelas ke-i I = 1,2,3,....n

G = 0, Perfect Equality

G = 1, Perfect Inequality

3. Kriteria Bank Dunia

Berdasarkan kriteria Bank dunia di dalam menentukan tingkat ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pendapatan penduduk, maka penduduk dibagi menjadi tiga kategori yaitu :

a. 20% penduduk berpendapatan tinggi b. 40% penduduk berpendapatan sedang c. 40% penduduk berpendapatan rendah

(14)

Dimana kriteria ketimpangannya adalah

1. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional < 12% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan tinggi. 2. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional

12% - 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan sedang/moderat.

3. Jika 40% penduduk berpendapatan rendah menerima pendapatan nasional > 17% maka ketimpangan yang terjadi tergolong ketimpangan rendah.

2.2.2 Regional Income Disparities

Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.

Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.

Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat

(15)

kesejahteraan antar kelompok. Formulasi Indeks Williamson secara statistik adalah sebagai berikut :

Keterangan :

IW = Indeks Williamson

Yi = Pendapatan per kapita daerah i

Y = Pendapatan per kapita rata-rata seluruh daerah fi = Jumlah penduduk daerah i

n = Jumlah penduduk seluruh daerah

Angka koefisien Indeks Williamson adalah 0 < IW < 1. Jika Indeks Williamson semakin kecil atau mendekati nol menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil atau semakin merata dan sebaliknya angka yang semakin besar menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar. Walaupun indeks ini memiliki kelemahan yaitu sensitive terhadap defenisi wilayah yang digunakan dalam perhitungan artinya apabila ukuran wilayah yang digunakan berbeda maka akan berpengaruh terhadap hasil perhitungannya, namun cukup lazim digunakan dalam mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah.

2.2.3 Urban Rural Income Disparities

Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan.

Urban Rural Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena pembangunan yang

(16)

lebih terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah pedesaan.

Hal ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).

Faktor internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa publik secara efektif untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.

2.3 Penyebab Ketimpangan Pembangunan Antar Daerah

Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu,

(17)

ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.

Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999 dalam Pakpahan, 2009 : 26).

Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23) yaitu :

2.3.1 Perbedaan kandungan sumber daya alam

Terdapatnya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumber daya alam pada masing-masing daerah akan mendorong timbulnya ketimpangan antar daerah. Kandungan sumber daya alam seperti minyak, gas alam, atau kesuburan lahan tentunya mempengaruhi proses pembangunan di masing-masing daerah. Ada daerah yang memiliki minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak memilikinya. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tetapi daerah tidak ada. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah.

Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan

(18)

sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya yang relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam yang lebih rendah. Kondisi ini akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain.

2.3.2 Perbedaan Kondisi Demografi

Faktor utama lain yang juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar daerah adalah jika terdapat perbedaan kondisi demografi yang cukup besar antar daerah. Kondisi demografi meliputi tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, tingkat pendidikan dan kesehatan, kondisi ketenagakerjaan dan tingkah laku masyarakat daerah tersebut.

Perbedaan kondisi demografi ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan antar daerah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografi yang baik akan cenderung memiliki produktivias kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografinya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.

(19)

2.3.3 Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa

Mobilitas barang dan jasa (perdagangan) antar daerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sebagaimana kita ketahui bahwa bila kegiatan perdagangan (baik internasional maupun antar wilayah) kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi (Factor Price Equilization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung menjadi tinggi.

Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Bila mobilitas barang tersebut kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja di suatu daerah yang tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkan. Akibatnya, ketimpangan antar daerah akan cenderung tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini mengacu pada penyediaan sarana dan prasarana serta fasilitas-fasilitas di dalam suatu daerah, seperti : jalan, jembatan, alat transportasi baik darat, laut maupun udara dan lain-lain.

2.3.4 Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah

Perbedaan konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antar daerah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah.

(20)

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Demikian pula, apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat.

Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Terdapatnya lahan yang subur juga turut mempengaruhi, khususnya menyangkut pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas trasnportasi, baik darat, laut, dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antar daerah. Ketiga, kondisi demografi (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

2.3.5 Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah

Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih banyak investasi pemerintah dan swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Demikian juga sebaliknya

(21)

terjadi bila investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah ternyatalebih rendah.

Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan antardaerah cenderung tinggi. Akan tetapi sebaliknya bilamana sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung lebih rendah.

Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Dalam hal ini kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki oleh suatu daerah, sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan pula oleh ongkos transportasi baik untuk bahan baku dan hasil produksi yang harus dikeluarkan pengusaha, perbedaan upah buruh, konsenstrasi pasar, tingkat persaingan usaha dan sewa tanah. Termasuk ke dalam keuntungan lokasi ini adalah keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Kondisi ini menyebabkan perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan daerah pedesaan.

(22)

2.4 Dampak Ketimpangan Pembangunan

Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah :

2.4.1 Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan Masyarakat yang berada di wilayah tertinggal pada umumnya masih belum banyak tersentuh oleh program-program pembangunan sehingga akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi dan politik masih sangat terbatas serta terisolir dari wilayah di sekitarnya. Oleh karena itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di wilayah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan pembangunan yang besar dari pemerintah.

Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan wilayah tertinggal, termasuk yang masih dihuni oleh komunitas adat terpencil antara lain :

a. Terbatasnya akses trasnportasi yang menghubungkan wilayah tertinggal dengan wilayah yang relatif maju.

b. Kepadatan penduduk relatif rendah dan tersebar.

c. Kebanyakan wilayah-wilayah ini miskin sumber daya, khususnya sumber daya alam dan manusia.

d. Belum diprioritaskannya pembangunan di wilayah tertinggal oleh pemerintah daerah karena dianggap tidak menghasilkan pendapatan asli daerah secara langsung.

e. Belum optimalnya dukungan sektor terkait untuk pengembangan wilayah-wilayah ini.

(23)

2.4.2 Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh Banyak wilayah-wilayah yang memiliki produk unggulan dan lokasi strategis belum dikembangkan secara optimal. Hal ini disebabkan, antara lain : (a) adanya keterbatasan informasi pasar dan teknologi untuk pengembangan produk unggulan; (b) belum adanya sikap profesionalisme dan kewirausahaan dari pelaku pengembangan kawasaan di daerah; (c) belum optimalnya dukungan kebijakan nasional dan daerah yang berpihak pada petani dan pelaku swasta; (d) belum berkembangnya infrastruktur kelembagaan yang berorientasi pada pengelolaan pengembangan usaha yang berkelanjutan dalam perekonomian daerah; (e) masih lemahnya koordinasi, sinergi dan kerja sama diantara pelaku-pelaku pengembangan kawasan baik pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah dan masyarakat serta antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan daya saing produk unggulan; (f) masih terbatasnya akses petani dan pelaku usaha kecil terhadap modal pengembangan usaha, input produksi, dukungan teknologi, dan jaringan pemasaran dalam upaya mengembangkan peluang usaha dan kerja sama investasi; (g) keterbatasan jaringan prasarana dan sarana fisik dan ekonomi dalam mendukung pengembangan kawasan dan produk unggulan daerah; serta (h) belum optimalnya pemanfaatan kerangka kerja sama antar wilayah maupun antar negara untuk mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan.

Sebenarnya, wilayah strategis dan cepat tumbuh ini dapat dikembangkan secara lebih cepat, karena memiliki produk unggulan yang berdaya saing. Jika sudah berkembang, wilayah-wilayah tersebut diharapkan dapat berperan sebagai

(24)

penggerak bagi pertumbuhan ekonomi di wilayah-wilayah sekitarnya yang miskin sumber daya dan masih terbelakang.

2.4.3 Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang

Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun demikian, pembangunan di beberapa wiayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan illegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerawanan sosial.

Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking” sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan daerah. Akibatnya, wilayah-wilayah perbatasan dianggap bukan merupakan wilayah prioritas pembangunan oleh pemerintah. Sementara itu daerah-daerah pedalaman yang ada juga sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Diantaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduk nya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar pemerintah.

2.4.4 Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa

Ketimpangan pembangunan mengakibatkan adanya kesenjangan antara daerah perkotaan dengan pedesaan, yang diakibatkan oleh : (a) investasi ekonomi

(25)

cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan; (b) kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi di pedesaan; (c) peran kota yang diharapakan dapat mendorong perkembangan pedesaan, justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan. 2.4.5 Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Dampak utama dari ketimpangan pembangunan adalah pengangguran, kemiskinan dan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampak ini merupakan dampak turunan dari kurangnya lapangan kerja di suatu daerah bersangkutan, yang disebabkan kurangnya investasi baik dari pemerintah maupun swasta, dan mengakibatkan terjadinya pengangguran. Jika pengangguran terjadi maka biasanya disusul terjadinya kemiskinan. Kemiskinan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (generasi berikutnya) cenderung rendah, karena terbatasnya kemampuan untuk menikmati pendidikan akibat rendahnya pendapatan masyarakat bahkan cenderung tidak ada sama sekali, sehingga masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan yang paling krusial yaitu makanan dan minuman.

2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan

Simon Kuznets (dalam Todaro, 2006 : 253) mengatakan bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan cenderung memburuk (ketimpangan membesar), namun pada tahap selanjutnya, distribusi pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva Kuznets “U-terbalik” (Hipotesis Kuznets).

(26)

Williamson). Jika kurva yang dibentuk oleh hubungan antara variabel tersebut menunjukkan kurva U-terbalik, maka hipotesis Kuznets terbukti bahwa pada tahap awal pertumbuhan ekonomi terjadi ketimpangan yang membesar dan pada tahap-tahap berikutnya ketimpangan menurun, namun pada suatu waktu ketimpangan akan menaik dan demikian seterusnya.

Dewasa ini, terdapat banyak ulasan yang mencoba menjelaskan mengapa pada tahap-tahap awal pembangunan ditribusi pendapatan cenderung memburuk, namun kemudian membaik. Sebagian besar dari ulasan tersebut mengaitkannya dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Menurut model Lewis, tahapan pertumbuhan awal akan terpusat di sektor industri modern, yang mempunyai lapangan kerja terbatas namun tingkat upah dan produktivitas terhitung tinggi.

Kurva Kuznets dapat dihasilkan oleh proses pertumbuhan berkesinambungan yang berasal dari perluasan sektor modern, seiring dengan perkembangan sebuah negara dari perekonomian tradisional ke perekonomian modern. Di samping itu, imbalan yang diperoleh dari investasi di sektor pendidikan mungkin akan meningkat terlebih dahulu, karena sektor modern yang muncul memerlukan tenaga kerja terampil, namun imbalan ini akan menurun karena penawaran tenaga terdidik meningkat dan penawaran tenaga kerja tidak terdidik menurun. Jadi, walaupun Kuznets tidak menyebutkan mekanisme yang dapat menghasilkan kurva U-terbalik ini, secara prinsip hipotesis tersebut konsisten dengan proses bertahap dalam pembangunan ekonomi. Namun terlihat bahwa, dampak pengayaan sektor tradisional dan modern terhadap ketimpangan pendapatan akan cenderung bergerak berlawanan arah, sehingga perubahan neto

(27)

pada ketimpangan bersifat mendua (ambiguous), dan validitas empiris kurva Kuznets masih patut dipertanyakan.

Terlepas dari perdebatan metodologisnya, beberapa ekonom pembangunan tetap berpendapat bahwa tahapan peningkatan dan kemudian penurunan ketimpangan pendapatan yang dikemukakan Kuznets tidak dapat dihindari.

2.6 Penelitian Terdahulu

1. Penelitian oleh Lisna Pakpahan pada tahun 2009, tentang “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antar Kabupaten Tapanuli Utara dengan Kabupaten Deli Serdang”, menggunakan data time series dari tahun 1993-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson dan Location Quotient. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan antar Kabupaten Tapanuli utara dengan Kabupaten Deli Serdang. Ketimpangan di Tapanuli utara tergolong rendah (mendekati 0) yang artinya ketimpangan yang terjadi di kabupaten Tapanuli Utara tidak terlalu besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 1996 sebesar 0,074766 dan terendah pada tahun 2002 sebesar 0,046222. Begitu juga ketimpangan di Deli Serdang tergolong relatif kecil menurut standard ketimpangan yaitu 0-1 karena nilai IW Deli Serdang hanya berkisar 0,167921 yang artinya masih cenderung mendekati 0, akan tetapi apabila dibandingkan dengan nilai IW Tapanuli Utara, nilai IW Deli Serdang relative besar, dimana ketimpangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 sebesar 0,167921 sedangkan ketimpangan terendah terjadi pada tahun 1997 sebesar 0,096482. Selain itu berdasarkan analisis LQ terlihat bahwa sektor yang potensial di Kabupaten Tapanuli Utara

(28)

adalah sektor pertanian, sedangkan di Kabupaten Deli Serdang sektor yang potensial adalah sektor industri/manufaktur.

2. Penelitian Fitri R. Manik pada tahun 2009, tentang “Analisis Ketimpangan Pembangunan Antara Kota Medan dengan Kabupaten Simalungun” menggunakan data time series dari tahun 1988-2007 dan menggunakan alat analisis Indeks Williamson, Hipotesis Kuznets, Tipologi Klassen, dan Korelasi Pearson. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terjadi ketimpangan pembangunan sedang di Kota Medan (IW = 0,3-0,5) dan ketimpangan pembangunan rendah untuk Kabupaten Simalungun (IW < 0,3), serta hipotesis Kuznets berlaku untuk kedua wilayah tersebut. Berdasarkan Tipologi Klassen, Kota Medan termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh (Kuadran I) dan Kabupaten Simalungun termasuk daerah yang cepat berkembang (Kuadran III). Hasil Analisis Korelasi Pearson menunjukka n korelasi yang lemah antara pertumbuhan PDRB dengan Indeks Williamson dan tidak signifikan untuk Kota Medan dan Kabupaten Simalungun.

3. Penelitian oleh Paidi Hidayat, SE, Msi dan DRA. Raina Linda Sari, tentang “Analisis Ketimpangan Antar Kabupaten/Kota Pemekaran Di Sumatera Utara”, menggunakan data time series yang bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara untuk kurun waktu 2001-2006. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat analisis tipologi daerah (Klassen Typology) dan Indeks Williamson. Berdasarkan hasil analisis, maka disimpulkan bahwa : (1) Daerah pemekaran di Sumatera Utara yang pertumbuhan ekonominya cukup tinggi adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten

(29)

Samosir dan Kota Padang Sidimpuan memiliki pertumbuhan yang rendah dan masih dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. (2) Struktur ekonomi kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara masih didominasi oleh sektor primer (sektor pertanian dan sektor pertambangan/penggalian) kecuali Kabupaten Toba Samosir (sektor industri) dan Kota Padang Sidimpuan (sektor jasa-jasa). (3) Berdasarkan pola pembangunan ekonominya, daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh adalah Kabupaten Toba Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai. Sedangkan Kabupaten Samosir merupakan daerah maju tapi tertekan. Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Mandailing Natal adalah daerah berkembang cepat. Sementara Kabupaten Nias Selatan dan Kota Padang Sidimpuan merupakan daerah pemekaran yang relatif tertinggal. (4) Bahwa ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota pemekaran di Sumatera Utara relative kecil atau lebih merata dengan angka Indeks Williamson sebesar 0,031.

4. RM. Riadi melakukan penelitian tentang “Pertumbuhan dan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi Antar Daerah di Provinsi Riau” menggunakan data time series dari tahun 2003-2005. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Indeks Williamson, Indeks Entropi Theil, Sistem Kuadran dan Hipotesi Kuznets. Dari hasil penelitian disimpukan bahwa hanya Kota Pekanbaru yang temasuk dalam Kuadran I (high growth and high income). Daerah yang dikategorikan ke dalam tumbuh cepat tetapi rendah pendapatan adalah Kabupaten Pelalawan, Kuantan Singingi, Indragiri Hulu dan Siak. Indragiri Hilir, Rokan Hulu dan Kabupaten Kampar dapat dikategorikan ke dalah tinggi pendapatan tetapi tumbuh lambat, sementara

(30)

daerah yang dikategorikan ke dalam rendah pendapatan dan tumbuh lambat adalah Rokan Hilir, Dumai dan Bengkalis. Selama periode pengamatan 2003-2005, terjadi ketimpangan pembangunan yang tidak cukup signifikan berdasarkan Indeks Williamson, sedangkan berdasarkan Indeks Entropi Theil, ketimpangan pembangunan boleh dikatakan kecil yang berarti masih terjadi pemerataan pembangunan setiap tahunnya selama periode pengamatan. Sebagai akibatnya tidak terbuktinya hipotesis Kuznets di Provinsi Riau yang mengatakan adanya kurva U terbalik.

Gambar

Gambar 2.1 Kurva Lorenz

Referensi

Dokumen terkait

apabila variabel laten perilaku kekasaran dihubungkan dengan variabel laten kenakalan pelajar (Gambar 7), didapatkan hasil bahwa hubungan perilaku kekasaran ibu dan

Apabila demonstrasi telah selesai dilakukan, proses pembelajaran perlu diakhiri dengan memberikan tugas-tugas tertentu yang ada kaitannya dengan pelaksanaan

Kegiatan penelitian ini bertujuan mengukur perbedaan hasil belajar antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelas diberikan pre test pada masing-masing kelas untuk

Bedasarkan penyajian data yang telah diuraikan oleh peneliti serta hasil anlisis data-data yang telah diperoleh dari berbagai sumber data, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

Diharapkan kepada calon guru maupun konselor memahami betul pelaksanaan dan layanan-layanan bimbingan dan konseling di sekolah dalam mengembangkan potensi peserta didik serta

Selesai mengikuti perkuliahan ini diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan tentang konsep, strategi dan implementasi pembelajaran permainan bola basket yang meliputi

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dirumuskam sebagai berikut : “Bagaimana pemaknaan kehidupan keluarga dalam