• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DARI KERAJAAN KE KABUPATEN. Jejak nama sebuah tempat seringkali berujung pada. mitos sebagai jawaban akhir, yang tentu saja tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DARI KERAJAAN KE KABUPATEN. Jejak nama sebuah tempat seringkali berujung pada. mitos sebagai jawaban akhir, yang tentu saja tidak"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

53 A. Lahirnya Kabupaten Galuh 1. Mitos dan Sejarah

Jejak nama sebuah tempat seringkali berujung pada mitos sebagai jawaban akhir, yang tentu saja tidak merupakan jawaban yang memuaskan. Akan tetapi, jawaban yang bersifat mitis pun setidak-tidaknya dianggap bisa memuaskan rasa ingin tahu kita. Selain itu, mitos-mitos juga memperkaya khasanah kebudayaan suatu masyarakat. Lebih jauh, karena mitos biasanya terkait pada kepercayaan dan pemikiran suatu masyarakat, maka paling tidak melalui mitos tersebut dapat dilihat perkembangan pola pemikiran atau mentalitas masyarakatnya pada suatu periode.

Masyarakat Galuh ternyata memiliki khasanah mitos yang cukup banyak. Mitos-mitos itu, antara lain terkait pada asal-usul nama tempat atau daerah, benda, dan budaya. Mitos yang menceritakan tentang asal-usul nama tempat atau daerah misalnya asal-usul nama Kawali.

Ditulis oleh Miftahul Falah sebagai bagian dari buku Sejarah Ciamis yang diterbitkan tahun 2005 oleh Pemkab Ciamis dan LPPM Universitas Galuh, Ciamis.

(2)

Cerita asal-usul nama Kawali berkaitan dengan kisah Ciung Wanara maupun Kerajaan Galuh yang dimuat dalam sumber naskah maupun tradisi lisan masyarakat Galuh. Sumber naskah yang memuat cerita itu, antara lain Wawacan Sajarah Galuh. Dalam naskah itu diceritakan bahwa Raja Bojong Galuh (palsu) yaitu Ki Bondan menyuruh seorang pandita sakti, Ajar Sukaresi, untuk menaksir bayi yang dikandung oleh istrinya, Nyai Ujung Sekarjingga, apakah laki-laki atau perempuan. Sebenarnya, raja hendak menipu pandita karena besarnya perut Nyai Ujung Sekarjingga disebabkan oleh kuali yang ditaruh di dalamnya, bukannya karena sedang hamil. Sang pandita mengetahui niat buruk sang raja, ia kemudian berdoa kepada Tuhan agar diberikan pertolongan. Ia pun berkata bahwa anak yang sedang dikandung itu laki-laki. Raja menganggap jawaban pandita itu bohong sehingga pandita harus dihukum. Pakaian Nyai Ujung Sekarjingga kemudian dibuka dan ternyata kuali yang dipasang di perutnya tidak ada dan ia benar-benar mengandung. Raja menjadi marah disertai malu menyaksikan kejadian itu. Pandita itu disuruh pulang, tetapi secara diam-diam raja memerintahkan patihnya untuk membunuh sang pandita. Kuali pada perut Nyai Ujung Sekarjingga

(3)

sesungguhnya ditendang secara rohaniah oleh pandita. Kuali itu kemudian jatuh di Kampung Selapanjang sehingga namanya diganti menjadi “Kawali” (kini terletak sekitar 11 km di sebelah utara Kota Ciamis). Adapun anak laki-laki Nyai Ujung Sekarjingga kemudian bernama Ciung Wanara.1 Menurut cerita rakyat, tempat jatuhnya kuali itu menjadi mata air dan kolam yang disebut “Balong Kawali” atau “Cikawali”, yang sekarang termasuk dalam lingkungan Situs Astana Gede Kawali.2

Ajar Sukaresi yang hendak dibunuh oleh utusan raja, pada awalnya tidak dapat dilukai karena kesaktiannya. Namun, ia akhirnya merelakan dirinya dibunuh. Dengan tubuh penuh luka, Ajar Sukaresi berjalan hendak kembali ke pertapaannya di Gunung Padang. Dalam perjalanannya, luka Ajar Sukaresi mengeluarkan darah berwarna kuning di suatu tempat. Tempat itu kemudian disebut “Cikoneng”. Setelah lama berjalan, Ajar Sukaresi tergolek di atas tanah. Tempat ia tergolek itu kemudian disebut “Cikedengan”. Ia kemudian berjalan lagi, tetapi jatuh lagi dan mengeluarkan darah yang berwarna bening. Daerah itu kemudian dikenal dengan nama “Ciherang”. Akhirnya, sampailah Ajar Sukaresi di pertapaannya.3

(4)

Diceritakan bahwa Ciung Wanara ketika lahir hendak dibunuh oleh Raja Bojong Galuh (palsu), Ki Bondan, karena khawatir akan membahayakan kekuasaannya. Namun, patih raja yang ditugasi untuk membunuh Ciung Wanara tidak tega melakukan tindakan itu. Ia kemudian menghanyutkan Ciung Wanara di sungai bersama sebutir telur ayam. Singkat cerita, Ciung Wanara ditemukan oleh sepasang suami-istri dan diasuh hingga remaja. Adapun telur ayam kemudian dieramkam pada seekor naga sakti di Gunung Padang yang bernama Nagawiru hingga menetaskan seekor ayam jantan. Pada suatu hari, Raja Bojong Galuh mengadakan sayembara sabung ayam. Ia menjanjikan separuh kerajaannya bagi siapa saja yang mampu mengalahkan ayam raja. Ayam jantan Ciung Wanara diikutkan pada sayembara itu dan berhasil mengalahkan ayam raja. Namun, raja mengingkari janjinya. Ciung Wanara menjadi kesal, lalu menjebak raja dalam sebuah kurungan besi. Ciung Wanara kemudian menjadi raja di Bojong Galuh.4

Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, tempat lahirnya Ciung Wanara adalah sebuah menhir dan dolmen dikelilingi oleh batu bersusun yang disebut “Panyandaan” di dalam lingkungan Situs Karangkamulyan.

(5)

Di tempat itu, Nyai Ujung Sekarjingga (dalam sumber lain disebut Dewi Naganingrum) melahirkan Ciung Wanara, lalu bersandar selama 40 hari untuk memulihkan kesehatannya. Sampai sekarang masih ada orang yang percaya bahwa wanita yang ingin mempunyai anak akan segera diberi anak bila bersandar di tempat itu.5

Adapun tempat penyabungan ayam Ciung Wanara dan ayam raja dipercayai oleh masyarakat berlokasi pada sebuah tempat yang bernama “Penyabungan Ayam” dalam lingkungan Situs Karangkamulyan. Penyabungan Ayam itu berupa sebuah arena terbuka berbentuk bundar yang dikelilingi pohon-pohon yang tinggi. Tempat itu pun dipercayai sebagai tempat khusus untuk memilih raja dengan cara demokratis.6

Dalam lingkungan Situs Karangkamulyan juga terdapat beberapa tempat dan benda lainnya, yaitu Pelinggih (Batu Pancalikan), Sanghyang Bedil, Lingga (Lambang Peribadatan), Cikahuripan, Pamangkonan, Makam Adipati Panaekan, dan Sri Begawat Pohaci.7 Beberapa di antaranya memiliki mitos-mitos asal mula keberadaannya, yaitu sebagai berikut.

Pelinggih merupakan sebuah batu bertingkat-tingkat berwarna putih dan berbentuk segiempat.

(6)

Pelinggih itu menyerupai yoni terbalik, yang digunakan sebagai meja saji atau altar. Di bawahnya terdapat beberapa buah batu kecil yang seolah-olah sebagai penyangga sehingga memberi kesan seperti sebuah dolmen. Pelinggih itu terletak pada sebuah bangunan susunan batu temu gelang. Konon, menurut cerita rakyat setempat, Pelinggih yang disebut juga sebagai batu pancalikan (bahasa Sunda: tempat duduk) atau batu kursi itu merupakan singgasana Ratu Galuh yang dijaga oleh tujuh benteng pertahanan. Benteng pertama terletak di dekat Desa Karangkamulyan sekarang, sedangkan benteng ketujuh tepat berada di pintu bangunan tertutup tempat Pelinggih berada. Pelinggih lain juga terdapat di Situs Astana Gede Kawali.8

Tempat yang disebut Sanghyang bedil merupakan suatu ruangan yang dikelilingi tembok berukuran 6,20 x 6 m dan tinggi tembok sekitar 80 cm. Di dalam ruangan itu terdapat dua buah menhir yang masing-masing berukuran 60 x 40 cm dan 20 x 8 cm. Menurut kepercayaan masyarakat sekitarnya, dahulu Sanghyang Bedil merupakan pertanda akan datangnya suatu kejadian (bahasa Sunda: totonde) dengan terdengarnya suara atau bunyi letusan di tempat itu.9

(7)

Cikahuripan adalah nama sebuah sumur yang terletak di dekat pertemuan Sungai Citanduy dan Sungai Cimuntur. Diberi nama “Cikahuripan” karena, menurut kepercayaan masyarakat, sumur itu berisi air kehidupan (bahasa Sunda: hurip berarti hidup). Sumur itu merupakan sumur abadi karena airnya tidak pernah kering sepanjang tahun.10

Makam Adipati Panaekan terdapat pada bagian atas susunan batu kali yang berbentuk lingkaran bersusun tiga. Letak makam itu berada pada salah satu jalan setapak yang menuju ke arah Sungai Cimuntur. Menurut juru kunci makam, Adipati Panaekan merupakan salah seorang Bupati Galuh yang sezaman dengan Sultan Agung Mataram. Ia merupakan putra kedua Prabu Digaluh atau Salawe Sanhyang Ciptapermana II, penguasa Galuh pertama yang memeluk agama Islam. Adipati Panaekan dibunuh oleh adik iparnya, Dipati Kertabumi (Singaperbangsa I), karena perselisihan paham dalam penyerbuan Belanda di Batavia. Setelah dibunuh, jasadnya dihanyutkan ke Cimuntur dan diangkat lagi di pertemuan Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu dikuburkan di Karangkamulyan. Pengangkatan jenazahnya di pertemuan dua sungai itulah yang mungkin menyebabkan munculnya sebutan Adipati

(8)

Panaekan (bahasa Sunda: panaekan berarti naik). Jika merujuk pada keterangan yang diberikan oleh Wawacan Sajarah Galuh, maka tokoh Adipati Panaekan itu adalah Sangiang Dipati yang menjadi Bupati Galuh ke-3 (1618-1625). Ia juga merupakan penguasa Galuh pertama yang tercatat dalam sumber Belanda.11

Selanjutnya, mitos mengenai asal-usul nama daerah Panoongan, Gegembung, Sikuraja, dan Leuwi Biuk.12 Diceritakan bahwa seorang pengrajin batik yang hidup di Kampung Babakan Nyengked, yang mempunyai putri cantik bernama Utari. Kecantikan Utari membuat banyak laki-laki terpikat kepadanya, lalu mereka membuat lubang pada dinding bilik rumah Utari supaya bisa mengintip (bahasa Sunda: noong) Utari kapan saja. Tempat mengintip itu kemudian dikenal dengan nama daerah “Panoongan”.

Kecantikan Utari ternyata sampai kepada Sultan Mataram. Utusan pun segera dikirim untuk menjemput Utari ke kampungnya. Namun, dalam perjalanan ternyata utusan Mataram itu melakukan tindakan tercela, merusak kehormatan Utari. Sesampainya di Mataram, Utari telah berubah menjadi gadis yang pucat dan tidak menarik lagi akibat perbuatan utusan Mataram. Sultan Mataram

(9)

mengetahui bahwa Utari telah ternoda, lalu mendesaknya menunjukkan siapa yang melakukan tindakan tercela itu. Karena diancam oleh utusan Mataram, Utari mengatakan bahwa itu adalah perbuatan Adipati Imbanagara. Sultan Mataram menjadi marah, lalu segera mengirim pasukan untuk menangkap dan membunuh Adipati Imbanagara. Adipati itu berhasil ditangkap, lalu dibunuh dengan memotong bagian-bagian tubuhnya. Peristiwa itu menimbulkan perlawanan dari rakyat Imbanagara yang berusaha merebut jenazah Adipati Imbanagara kembali. Beberapa bagian tubuhnya berhasil direbut pihak Imbanagara, lalu dimandikan dan dikuburkan. Tempat pemandian itu kemudian disebut “Leuwi Biuk”. Sementara tempat dikuburkannya potongan tubuh Adipati Imbanagara disebut “Gegembung”. Adapun “Sikuraja” merupakan tempat direbutnya bagian sikut sang Adipati.

Mitos-mitos mengenai nama daerah di sekitar wilayah Galuh ternyata ada pula yang terkait dengan lahirnya salah satu kesenian khas Galuh, yaitu ronggeng gunung. Dalam cerita lahirnya kesenian itu, beberapa nama daerah juga secara mitologi diceritakan asal-usulnya, yaitu Pangandaran, Babakan, Cikembulan, Batu Hiu, Serang, Padon Telu, Pasir Eurih, Parakan,

(10)

Sawangan, Patimuan, Tungilis, Paliken, Bagolo, dan Cirengganis.13 Secara singkat diceritakan bahwa dahulu kala seorang raja yang bernama Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning, mendirikan kerajaan di Ujung Pananjung. Ayahnya telah mengingatkan bahwa kerajaan baru itu tidak akan berumur panjang karena lokasinya terletak di daerah pinggir pantai tempat singgah orang-orang jahat (bajo atau andar-andar) dari Nusakambangan. Tempat itu kemudian disebut sebagai “Pangandaran”.

Setelah Anggalarang berhasil mendirikan kerajaannya, terjadilah peperangan dengan para bajo yang tertarik dengan kecantikan permaisuri Anggalarang yang bernama Dewi Siti Samboja atau Dewi Rengganis. Peperangan berakhir pada kekalahan pada pihak Anggalarang. Atas saran dari punggawanya yang bernama Mama Lengser, ia pergi ke arah timur sampai di suatu tempat ia memutuskan untuk beristirahat (mabak-mabak). Tempat istirahat Anggalarang beserta rombongannya itu sekarang disebut sebagai daerah “Babakan”. Karena para bajo yang mengejarnya telah mengetahui persembunyian mereka, Anggalarang beserta rombongannya memutuskan pergi ke arah barat sampai di suatu tempat yang sekarang disebut “Cikembulan”. Nama Cikembulan diambil

(11)

dari kata “timbul” karena rombongan Anggalarang “menimbulkan” diri di tempat itu. Perjalanan diteruskan sampai di daerah pinggir laut. Di daerah itu, Anggalarang beristirahat dan menyantap seekor ikan. Anggalarang tidak habis memakan ikan itu karena rasanya kurang enak, lalu dibuangnya ke laut sambil berkata, “Jung sing hirup dei” (bahasa Sunda: menyuruh hidup kembali). Namun, ikan itu tidak hidup kembali hanya menjadi gumpalan batu yang menyerupai ikan hiu (bahasa Sunda: ikan yu). Tempat itu kemudian diberi nama “Batu Hiu”. Sampai sekarang dipercayai bahwa kalau ada orang yang hendak menjadi seniman yang bagus, maka harus berziarah ke Batu Hiu itu.

Anggalarang melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di suatu tempat di mana dapat dilihat dengan jelas bekas kerajaannya di arah timur. Tempat itu kemudian disebut “Serang” berasal dari bahasa Sunda “nyerangkeun” yang berarti ‘dapat melihat dari jauh tetapi jelas’. Perjalanan dilanjutkan terus ke utara sampai di suatu perbatasan antara tiga daerah, yaitu Parigi, Padaherang, dan Kalipucang. Perbatasan itu sekarang dinamakan “Padon Telu”. Karena para bajo terus mengejar, diputuskanlah rombongan dibagi dua: Raden

(12)

Anggalarang menuju selatan, sedangkan istrinya, Dewi Siti Samboja, dan Mama Lengser ke arah utara. Sebelum melanjutkan perjalanan, Dewi Siti Samboja naik ke sebuah gunung agar dapat melihat perjalanan suaminya. Ternyata, Raden Anggalarang sedang berperang dengan para bajo di suatu tempat yang sekarang disebut “Pasir Eurih”. Anggalarang terbunuh, lalu mayatnya diarak oleh para bajo. Tempat pengarakan itu kemudian disebut “Parakan”. Adapun tempat Dewi Siti Samboja melihat peristiwa itu kemudian disebut “Sawangan” (bahasa Sunda: tempat “nyawang”).

Dewi Siti Samboja, Mama Lengser, dan rombongan segera melanjutkan perjalanan ke arah utara sampai di tepi Sungai Citanduy. Di sana, mereka bertemu dengan seorang tukang rakit dan meminta pertolongan agar diseberangkan. Dewi Siti Samboja beserta rombongannya pun diseberangkan. Keesokan harinya, ketika rombongan Dewi Siti Samboja tiba di sebuah anak Sungai Citanduy ditemukanlah mayat tukang rakit yang telah menyeberangkan mereka. Tukang rakit itu dibunuh oleh para bajo yang terus mengejar Dewi Siti Samboja. Tempat ditemukannya mayat tukang rakit itu kemudian dinamakan “Patimuan”. Dewi Siti Samboja melanjutkan perjalanannya

(13)

ke arah selatan sampai di sebuah pegunungan. Pada suatu tempat, ia menangis karena sedih atas kesengsaraan yang menimpanya. Tempat menangisnya Dewi Siti Samboja dinamakan “Tungilis” oleh Mama Lengser, yang berasal dari kata “tangis nu geulis” (bahasa Sunda: ‘tempat menangisnya orang yang cantik’). Dewi Siti Samboja kemudian bertapa di pegunungan itu hingga ia mendengar suara tanpa wujud yang menyuruhnya menyamar menjadi seorang ronggeng dan membuat rombongan seni doger (ketuk tilu). Nama Dewi Siti Samboja pun diganti menjadi Dewi Rengganis.

Sementara itu, Prabu Haur Kuning mengutus Patih Sawung Guling untuk mencari informasi keadaan Raden Anggalarang dan keluarganya. Sawung Guling mendengar bahwa tiap malam ada kesenian doger yang dipimpin oleh Mama Lengser. Ia pun bergegas menemui Mama Lengser dan menyampaikan pesan Prabu Haur Kuning yang menanyakan kabar anaknya. Namun, Dewi Rengganis dan Mama Lengser masih meragukan Sawung Guling sebagai utusan mertuanya. Dewi Rengganis menyuruh Sawung Guling agar bertanding dulu dengan pemuda-pemuda yang dia pimpin. Sawung Guling menang, tetapi Dewi Rengganis masih belum percaya. Untuk itu, Sawung Guling kemudian

(14)

memperlihatkan ilmu kesaktiannya dengan mengambil sebatang lidi enau, lalu menancapkannya pada tebing batu di daerah Pegunungan Tungilis. Ketika lidi itu dicabut, batu bekas tancapannya timbul dan menonjol seperti alat kelamin laki-laki dan mengeluarkan air. Tempat itu pun kemudian disebut “Paliken”, yang berasal dari bahasa Sunda “pelakian” berarti ‘alat kelamin laki-laki’. Sawung Guling kemudian menaburkan bibit tanaman sehingga sekarang terkenal adanya tembakau paliken.

Setelah terbukti bahwa Sawung Guling adalah utusan Prabu Haur Kuning, Dewi Rengganis mau menerimanya menjadi suami. Namun, ia tetap menyamar dan menjalankan kesenian dogernya. Mereka hidup berpindah-pindah sambil bercocok tanam. Ternyata, para bajo masih terus mengejar Dewi Rengganis hingga di suatu tempat terjadilah perkelahian Sawung Guling, yang telah menjadi suami Dewi Rengganis, dengan para bajo itu. Para bajo dapat dikalahkan oleh Sawung Guling karena kesaktiannya. Tempat terjadinya perkelahian antara para bajo dengan Sawung Guling kemudian diberi nama “Bagolo”, yaitu berasal dari kata “begalan pati dengan para bajo”. Sampai sekarang, masyarakat mempercayai

(15)

bahwa Bagolo itu merupakan tempat untuk “mencuci” diri agar kuat dan kebal terhadap pukulan dan benda tajam. Versi lain menyebutkan bahwa di Bagolo itu dahulu terdapat Kerajaan Bagolo yang didirikan oleh Embah Sawung Galing. Ia pernah menyerang Kerajaan Cikembulan yang berpusat di Sidamulih karena ingin mengawini putri rajanya, tetapi akhirnya membantu memerangi para bajo. Ia berhasil dan mengawini putri raja itu, lalu menjadi raja di Kerajaan Pananjung.

Dewi Rengganis dan Sawung Guling kemudian kembali ke Pananjung, lalu menjadi penguasa di sana. Di Pananjung sebelah timur terdapat tempat yang namanya “Cirengganis” di mana terdapat gua yang mengeluarkan air tawar. Demikianlah asal-usul kesenian ronggeng gunung yang diyakini berasal dari kesenian yang dibawa oleh Dewi Rengganis itu.

Di sekitar Pantai Pangandaran, tepatnya Dusun Pananjung, Pangandaran, terdapat sebuah situs yang bernama Situs Pananjung. Situs itu merupakan suatu kompleks percandian kecil yang terdiri atas beberapa bangunan. Kompleks candi itu dinamakan Candi Pananjung. Selain itu, ditemukan pula yoni, arca Nandi, dan batu bulat beralaskan padma (padmasana),14 yang menunjukkan

(16)

ciri-ciri bangunan peribadatan Hindu-Siwa. Di sekitar Candi Pananjung itu juga terdapat beberapa gua, yaitu Gua Panggung, Gua Parat, Gua Sumur Mudal, dan Gua Lanang.15 Apakah Situs Pananjung tersebut merupakan bekas kerajaan Raden Anggalarang? Noorduyn, yang bersumber pada catatan perjalanan Bujangga Manik, hanya menyebutkan bahwa ketika Bujangga Manik dalam perjalanannya mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa, ia juga datang ke tempat suci Hindu di Pananjung.16 Pada saat itu, gua-gua di sekitar percandian sangat mungkin satu kesatuan sebagai tempat bertapa kendati sekarang komponen sakral sebagai indikasi arkeologis suatu pertapaan belum ditemukan. Candi Pananjung adalah suatu karsyan.17 Sebagaimana layaknya sebuah karsyan, Candi Pananjung berfungsi sebagai kuil pemujaan.18 Dengan demikian, belum dapat dibuktikan bahwa Situs Pananjung adalah bekas kerajaan. Khasanah mitos-mitos dalam masyarakat Galuh lebih banyak lagi dapat ditemukan pada tradisi lisan yang dituturkan secara turun-temurun. Salah satu mitos yang bersumber pada tradisi lisan masyarakat Galuh adalah mitos mengenai asal-usul Kampung Kuta.19 Kampung yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,

(17)

berbatasan dengan Jawa Tengah itu dikenal sebagai kampung adat. Menurut cerita rakyat setempat, asal-usul Kampung Kuta berkaitan dengan berdirinya Kerajaan Galuh. Konon, pada zaman dahulu ketika Prabu Galuh yang bernama Ajar Sukaresi (dalam sumber lain, tokoh ini adalah seorang pandita sakti) hendak mendirikan Kerajaan Galuh, Kampung Kuta dipilih untuk pusat kerajaan karena letaknya strategis. Prabu Galuh memerintahkan kepada semua rakyatnya untuk mengumpulkan semua keperluan pembangunan keraton seperti kapur bahan bangunan, semen merah dari tanah yang dibakar, pandai besi, dan tukang penyepuh perabot atau benda pusaka. Keraton pun akhirnya selesai dibuat. Namun, pada suatu ketika, Prabu Galuh menemukan lembah yang dibentengi (kuta) oleh tebing yang dalamnya sekitar 75 m di lokasi pembangunan pusat kerajaan itu. Atas musyawarah dengan para punggawa kerajaan lainnya, diputuskanlah bahwa daerah tersebut tidak cocok untuk dijadikan pusat kerajaan (menurut orang tua, “tidak memenuhi Patang Ewu Domas”).

Selanjutnya, mereka berkelana mencari tempat lain yang memenuhi syarat. Prabu Galuh membawa sekepal tanah dari bekas keratonnya di Kuta sebagai kenang-kenangan.

(18)

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, Prabu Galuh dan rombongannya sampai di suatu tempat yang tinggi, lalu melihat-lihat ke sekeliling tempat itu untuk meneliti apakah ada tempat yang cocok untuk membangun kerajaannya. Tempat ia melihat-lihat itu sekarang bernama “Tenjolaya”. Prabu Galuh melihat ke arah barat, lalu terlihatlah ada daerah luas terhampar berupa hutan rimba yang menghijau. Ia kemudian melemparkan sekepal tanah yang dibawanya dari Kuta ke arah barat dan jatuh di suatu tempat yang sekarang bernama “Kepel”. Tanah yang dilemparkan tadi sekarang menjadi sebidang sawah yang datar dan tanahnya berwarna hitam seperti dengan tanah di Kuta, sedangkan tanah di sekitarnya berwarna merah. Prabu Galuh melanjutkan perjalanannya sampai di suatu pedataran yang subur di tepi Sungai Cimuntur dan Sungai Citanduy, lalu mendirikan kerajaan di sana.

Cerita selanjutnya tentang Prabu Galuh tersebut hampir mirip dengan cerita Ciung Wanara dalam naskah Wawacan Sajarah Galuh, bahwa Prabu Galuh kemudian digantikan oleh patihnya, Aria Kebondan (dalam naskah disebut Ki Bondan). Prabu Galuh menjadi pertapa di Gunung Padang. Menurut versi tradisi lisan, Prabu Galuh meninggalkan dua orang istri, yaitu Dewi Naganingrum

(19)

dan Dewi Pangrenyep. Saat itu, Dewi Naganingrum sedang mengandung. Ketika Dewi Naganingrum melahirkan, Dewi Pangrenyep menukar bayinya dengan seekor anak anjing. Bayi itu kemudian dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Melihat Dewi Naganingrum beranak seekor anjing, Aria Kebondan yang menjadi raja di Galuh menjadi marah, lalu menyuruh Lengser membunuhnya. Namun, Lengser itu tidak membunuh Dewi Naganingrum, tetapi menyembunyikannya di Kuta. Adapun bayi yang dibuang ke Sungai Citanduy itu kemudian ditemukan oleh Aki Bagalantrang di depan badodon (tempat menangkap ikan)-nya. Bayi itu dipungut dan diasuh oleh Aki Bagalantrang hingga remaja, lalu diberi nama Ciung Wanara. Tempat Aki Bagalantrang mengasuh bayi itu sekarang disebut daerah “Geger Sunten”, sekitar 6 km dari Kuta. Ciung Wanara kemudian merebut kembali Kerajaan Galuh dari Aria Kebondan melalui sabung ayam, sebagaimana yang diceritakan dalam naskah. Setelah Ciung Wanara menjadi raja, Lengser pun menjemput Dewi Naganingrum sehingga bisa berkumpul kembali dengan anaknya.

Mitos-mitos yang dituturkan oleh tradisi lisan terkadang mempunyai keterkaitan dengan mitos yang diceritakan dalam sumber naskah. Keterkaitan itu

(20)

kemudian menimbulkan pertanyaan bagi kita, apakah si penutur mitos yang bersumber pada naskah atau naskah yang ditulis berdasarkan penuturan. Jika dirujuk pada usianya, maka tradisi lisan telah ada sebelum tulisan muncul sehingga dapat diasumsikan bahwa naskah ditulis berdasarkan cerita yang dituturkan. Tradisi lisan yang terus ada hingga saat ini, seperti yang dituturkan oleh para kuncen atau tukang cerita, terdapat dua kemungkinan mengenai asal-usulnya. Pertama, tradisi lisan itu berdasarkan cerita naskah yang dibaca kemudian dituturkan kembali. Kedua, tradisi lisan itu memang belum pernah dituliskan dalam bentuk naskah, lalu dituturkan secara turun-temurun.

Adanya perbedaan versi suatu cerita yang dituturkan dalam naskah dan tradisi lisan disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu perbedaan sumber cerita, distorsi cerita karena pewarisan cerita yang turun-temurun memungkinkan terjadinya penambahan ataupun pengurangan isi cerita, dan adanya keinginan dari penutur cerita untuk mengedepankan peranan seorang tokoh ataupun berapologia atas kesalahan tokoh tersebut. Demikian pula dengan cerita tentang Kampung Kuta di atas. Ada beberapa bagian yang hampir mirip

(21)

dengan cerita yang dikemukakan dalam naskah dan ada pula yang berbeda jalan ceritanya. Adapun mengenai kebenaran isi cerita atau mitos tersebut bukanlah suatu permasalahan. Setidaknya, mitos-mitos tersebut dihormati dan dipelihara oleh masyarakatnya. Lebih jauh, bukankah ilmu pengetahuan juga pada awalnya berkembang dari bentuk pemikiran mitis.

Hingga saat ini, Kampung Kuta tetap dilestarikan sebagai kampung adat atau petilasan. Masyarakatnya masih memelihara dan melestarikan tradisi-tradisi leluhur mereka. Pantangan-pantangan pun dibuat untuk menjaga kelestarian tradisi itu, seperti larangan membuat rumah dari tembok dan memakai atap genteng, larangan mengubur mayat orang dewasa kecuali bayi kecil dan dalamnya pun tidak melebihi pangkal paha, larangan menggali sumur terlalu dalam, larangan mementaskan wayang, larangan meminum minuman keras, tidak boleh sombong atau menentang adat Kuta, dan sebagainya.20

Di samping mitos mengenai tempat, daerah Galuh dan sekitarnya juga kaya akan mitos tentang tokoh-tokoh hebat dan orang-orang suci (hagiografi) yang disakralkan oleh masyarakatnya. Di Kampung Kuta terdapat mitos tentang Tuan Batasela dan Aki Bumi.21

(22)

Diceritakan bahwa bekas Kampung Galuh yang telah diterlantarkan selama beberapa lama ternyata menarik perhatian Raja Cirebon dan Raja Solo. Selanjutnya, masing-masing raja tersebut mengirimkan utusannya untuk menyelidiki keadaan di Kampung Kuta. Raja Cirebon mengutus Aki Bumi, adapun Raja Solo mengutus Tuan Batasela. Raja Cirebon berpesan kepada utusannya bahwa ia harus pergi ke Kuta, tetapi jika didahului oleh utusan dari Solo, ia tidak boleh memaksa jadi penjaga Kuta. Ia harus mengundurkan diri, tetapi tidak boleh pulang ke Cirebon dan harus terus berdiam di sekitar daerah itu sampai mati. Pesan yang sama juga didapat oleh utusan dari Solo. Pergilah kedua utusan tersebut dari kerajaannya masing-masing. Utusan dari Solo, Tuan Batasela, berjalan melalui Sungai Cijolang sampai di suatu kampung, lalu beristirahat di sana selama satu malam. Jalan yang dilaluinya itu hingga saat ini masih sering dilalui orang untuk menyeberang dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Penyeberangan itu diberi nama “Pongpet”. Adapun Aki Bumi dari Cirebon langsung menuju ke Kampung Kuta dengan melalui jalan curam, yang sampai saat ini masih ada dan diberi nama “Regol”, sehingga tiba lebih dulu di Kampung Kuta. Sesampainya di sana, Aki Bumi

(23)

menemui para tetua kampung dan melakukan penertiban-penertiban, seperti membuat jalan ke hutan dan membuat tempat peristirahatan di pinggir situ yang disebut “Pamarakan”.

Karena telah didahului oleh utusan dari Cirebon, Tuan Batasela kemudian terus bermukim di kampung tempat ia bermalam, yang terletak di utara Kampung Kuta. Konon, utusan dari Solo itu kekurangan makanan, lalu meminta-minta kepada masyarakat di kampung itu, tetapi tidak ada yang mau memberi. Keluarlah umpatan dan sumpah dari Tuan Batasela yang mengatakan bahwa “Di kemudian hari, tidak akan ada orang yang kaya di kampung itu.” Ternyata, hingga saat ini rakyat di kampung itu memang tidak ada yang kaya. Karena menderita terus, Tuan Batasela kemudian bunuh diri dengan keris. Darah yang keluar dari luka Tuan Batasela berwarna putih, lalu mengalir membentuk parit yang kemudian disebut “Cibodas”. Kampung itu pun diberi nama Kampung Cibodas. Tuan Batasela dimakamkan di tengah-tengah persawahan di sebelah utara Kampung Cibodas. Makamnya masih ada hingga saat ini.

Aki Bumi terus menjadi penjaga (kuncen) Kampung Kuta sampai meninggal, lalu dimakamkan bersama

(24)

keluarganya di tengah-tengah kampung, yang sekarang termasuk Kampung Margamulya. Tempat makam itu disebut “Pemakaman Aki Bumi”. Setelah keturunan Aki Bumi tidak ada lagi, Raja Cirebon memerintahkan bahwa yang menjadi kuncen di Kampung Kuta berikutnya adalah orang-orang yang dipercayai oleh Aki Bumi, yaitu para leluhur kuncen Kampung Kuta saat ini.

Eksistensi para tokoh suci yang disakralkan oleh masyarakat di Galuh itu dapat dilihat dari peninggalan berupa benda dan tradisi. Peninggalan berupa benda dapat dilihat pada beberapa makam yang diyakini sebagai makam para tokoh itu, antara lain makam Tuan Batasela di Kampung Cibodas, Aki Bumi di Kampung Kuta, dan sebagainya, yang tetap dipelihara dan tidak diganggu oleh masyarakat sekitarnya. Selain makam, juga terdapat beberapa tempat yang diyakini sebagai petilasan orang-orang suci itu, seperti Gunung Padang, Kampung Kuta, Pananjung, Pulo Majeti, dan sebagainya. Adapun berupa tradisi misalnya kesenian ronggeng gunung yang tetap dilestarikan hingga saat ini dan menjadi salah satu kesenian khas masyarakat Galuh. Penghormatan kepada orang-orang suci itu muncul sebagai penghormatan terhadap tradisi dan kebaikan-kebaikan atau jasa-jasa

(25)

dari para leluhur atau nenek moyang.22 Walaupun keberadaan para tokoh suci itu belum dapat ditentukan secara pasti, tetapi masyarakat tetap menghormati mereka dan mempercayai bahwa mereka tetap mengiringi setiap dinamika kehidupan masyarakatnya sehingga muncullah kegiatan-kegiatan atau acara-acara ritual yang menyimbolkan hadirnya kekuatan atau hadirnya tokoh suci itu kembali. Hal inilah yang menjadi warisan tradisi atau peninggalan budaya bagi masyarakat selanjutnya.

Mitos-mitos di atas juga menggambarkan terjadinya peralihan pemikiran masyarakat Galuh pada masa itu, yaitu dari pemikiran yang dipengaruhi oleh agama Hindu, seperti dikemukakan dalam mitos Ciung Wanara, ke agama Islam, seperti mitos tentang Prabu Borosngora. Lebih jauh, dalam mitos Prabu Borosngora dapat dilihat bahwa masuknya Islam ke Galuh melalui suatu proses “damai”, tanpa kekerasan.

Seiring dengan runtuhnya Kerajaan Sunda tahun 1579, Kerajaan Sumedanglarang, yang wilayahnya membentang dari Sungai Cisadane di sebelah barat sampai Sungai Cipamali di sebelah timur, berusaha untuk diakui sebagai penerus Kerajaan Sunda.23 Namun pada

(26)

kenyataannya, tidak seluruh daerah yang terletak dalam bentangan geografis tersebut tunduk pada kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Setidak-tidaknya terdapat tiga orang penguasa yang berada di luar kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang. Pangeran Girilaya atau Panembahan Ratu berkuasa di Cirebon; Maulana Yusuf berkuasa atas wilayah Banten, termasuk Pakuan Pajajaran, dan Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh yang berkuasa di Kerajaan Galuh.24

Kerajaan Galuh bukanlah sebuah kerajaan yang sama sekali baru berdiri di wilayah Tatar Sunda. Jauh sebelum tahun 1579, Kerajaan Sunda pernah berkedudukan di Galuh. Bahkan ketika pusat kekuasaan Kerajaan Sunda dipindahkan ke Pakuan Pajajaran, Kerajaan Galuh tetap mampu mempertahankan eksistensinya, meskipun jarang sekali diberitakan dalam sumber-sumber sejarah. Seiring dengan semakin melemahnya Kerajaan Sunda yang terdesak oleh Islam, pemberitaan tentang Kerajaan Galuh terkait erat dengan upaya Islamisasi daerah pedalaman Tatar Sunda sebelah timur yang dilakukan oleh Cirebon.

Akan tetapi, masyarakat Galuh meyakini sebuah mitos bahwa Islam tidak disebarkan oleh Cirebon melainkan oleh seseorang yang bernama Prabu Borosngora,

(27)

penguasa Panjalu di Dayeuh Luhur. Ia disuruh oleh ayahnya, Prabu Cakradewa untuk mencari ilmu sejati yaitu ilmu yang akan memberikan kebaikan tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk rakyatnya. Setelah sekian lama mengembara, pada akhirnya ia menemukan orang yang mampu memberikan ilmu sejati kepada dirinya, yakni Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, berangkatlah Prabu Bongosngora ke Mekah menemui sahabat Nabi Muhammad SAW untuk belajar ilmu sejati. Setelah sekian lama berguru di Mekah, Prabu Bongosngora pulang kembali ke tanah leluhurnya di Panjalu. Ia diberi tugas untuk mendirikan kerajaan bercorak Islam serta menyebarkan Islam (ilmu sejati) kepada setiap manusia di negeri leluhurnya.

Setelah merasa tugasnya rampung, Prabu Bongosngora menyerahkan tahta Kerajaan Panjalu kepada Haryang Kencana dan Haryang Kuning. Oleh karena terjadi perbedaan pendapat, Haryang Kencana menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa Panjalu. Pada akhirnya, Kerajaan Panjalu dijadikan sebagai wilayah kekuasaan Cirebon sehingga Islamisasi daerah Galuh semakin intensif.

(28)

Selain Prabu Bongosngora, ada tokoh lain yang memiliki peranan dalam Islamisasi daerah Galuh, yaitu Apun Di Anjung atau Pangeran Mahadikusuma. Tokoh ini berkuasa atas Kawali sebagai patih sehingga kemudian dikenal juga dengan nama Maharaja Kawali. Sebagai bawahan Cirebon, Maharaja Kawali tidak hanya memerintah Kawali atas nama penguasa Cirebon, tetapi juga mendapat tugas untuk menyebarkan Agama Islam ke daerah selatan, yaitu Galuh. Kecuali penguasa Galuh, Islam sudah dapat diterima oleh masyarakat Galuh menggantikan Hindu/Budha.

Untuk membendung pengaruh Islam, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh bersumpah akan mengangkat anaknya sebagai Prabu Di Galuh jika mampu menghentikan pengaruh Islam di Galuh. Terkait dengan sumpahnya itu, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh menyerahkan kekuasaan atas Kerajaan Galuh kepada Sanghyang Cipta Permana, selama dirinya pergi ke arah timur untuk mencegah masuknya Islam yang dibawa oleh Mataram. Akan tetapi, Sanghyang Cipta Permana ini tidak kuasa untuk mencegah masuknya Islam ke pusat kekuasaan Kerajaan Galuh, karena ia sendiri kemudian memeluk Islam.

(29)

Seperti yang diceritakan dalam tradisi, keputusan Sanghyang Cipta Permana, yang juga bernama Ujang Ngekel, memeluk Islam bukan karena kalah berperang dengan Cirebon, tetapi karena dirinya tidak dapat melupakan Tanduran Di Anjung, putri Maharaja Kawali. Namun, karena Ujang Ngekel masih beragama Hindu, maka Maharaja Kawali melaporkan hal itu kepada Sultan Cirebon. Ujang Ngekel dipersilahkan datang ke Cirebon, dan ternyata ia bersedia memeluk agama Islam. Meskipun sudah memeluk agama Islam, Ujang Ngekel diberi kebebasan oleh Sultan Cirebon untuk melakukan adat kebiasaan menurut kepercayaan asli Galuh. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, Ujang Ngekel naik tahta dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana dan berkedudukan di Gara Tengah. Dengan dipeluknya Islam oleh Prabu Galuh Cipta Permana, maka Islam menggantikan kedudukan Hindu/Budha, karena para penggantinya tetap memeluk Islam.25

Sementara itu, menurut Wawacan Sajarah Galuh, keruntuhan Kerajaan Sunda terjadi sezaman dengan masa pemerintahan Sangiang Permana, penguasa Galuh. Ia kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Prabu di Galuh, lalu digantikan oleh Sangiang Dipati. Pada masa

(30)

pemerintahan Prabu di Galuh dan Sangiang Dipati, Islam masuk ke Galuh atas usaha Sunan Gunung Jati dan diterima dengan sukarela oleh mereka maupun rakyat Galuh. Jika keterangan Wawacan Sajarah Galuh tersebut dikoroborasikan dengan keterangan cerita tradisi di atas, maka Sangiang Permana identik dengan Maharaja Sanghyang Prabu Cipta Di Galuh dan Prabu Di Galuh identik dengan Sanghyang Cipta Permana atau Ujang Ngekel.

Demikianlah, sewaktu Kerajaan Sunda runtuh akibat serangan Maulana Yusuf dari Banten, Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh tampil sebagai penguasa Kerajaan Galuh yang berdiri sendiri dan bertahan hingga tahun 1595. Pusat kekuasaannya terletak di sekitar Cimaragas, suatu daerah yang sekarang terletak antara Kota Banjar – Manonjaya (Kab. Tasikmalaya). Kerajaan ini masih bercorak Hindu, namun ketika anaknya yang bernama Prabu Di Galuh Cipta Permana naik tahta, Islam telah menjadi agama negara. Perubahan status kerajaan terjadi ketika penguasa Galuh tidak kuasa menahan pengaruh politik dari kerajaan-kerajaan di sekitarnya, terutama dari Mataram yang sedang bangkit menjadi kerajaan utama di Pulau Jawa.

(31)

Pada tahun 1595, Panembahan Senapati, pendiri dinasti Mataram, berhasil menanamkan pengaruh politiknya di Kerajaan Galuh.26 Namun demikian, pe-nguasa Mataram tersebut belum secara intensif mengekspolitasi kekuasaan politiknya di Kerajaan Galuh. Panembahan Senapati masih mengakui kedudukan penguasa Galuh sebagai raja yang memerintah di wilayah kekuasaannya tidak atas nama penguasa Mataram. Hal tersebut terlihat dari masih dipakainya gelar prabu oleh Ujang Ngekel ketika berkuasa di Kerajaan Galuh dengan gelar Prabu Galuh Cipta Permana. Ketika Kerajaan Galuh di bawah kepemimpinannya, pusat kekuasaan Kerajaan Galuh dipindahkan ke Gara Tengah (sekitar Cineam, Kabupaten Tasikmalaya).27 Dalam sumber Belanda, batas-batas Kerajaan Galuh yang jatuh ke tangan Mataram adalah sebagai berikut. Sungai Citanduy merupakan batas sebelah timur Kerajaan Galuh; Kerajaan Sumedanglarang dan Cirebon merupakan batas sebelah utara; Galunggung dan daerah yang kemudian menjadi Sukapura merupakan batas sebelah barat; dan Sungai Cijulang merupakan batas Kerajaan Galuh di sebelah Selatan. Selain itu, beberapa daerah yang sekarang masuk ke dalam wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah, yaitu: Majenang,

(32)

Dayeuhluhur, dan Pegadingan, dahulunya termasuk ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh. Sampai sekarang, di tempat-tempat itu sebagian komunitasnya masih mempergunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari.28

Menurut cerita, ketika Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh masih berkuasa di Kerajaan Galuh, dua orang anaknya diberi kekuasaan di Kertabumi dan Kawasen. Rangga Permana berkuasa di Kertabumi tahun 1585 setelah anak Prabu Geusan Ulun, nalendra Kerajaan Sumedanglarang itu menikahi Tanduran Agung, anak tertua Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh. Sementara itu, Kawa-sen, yang terletak di sekitar Banjarsari, diberikan kepada Sanghyang Permana, anak bungsu Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh dan berkuasa sejak tahun 1590.29 Oleh karena itu, sepeninggalnya Maharaja Sanghyang Cipta Di Galuh, di wilayah Galuh terdapat tiga pusat kekuasaan dan masing-masing berusaha untuk menjadi penerus Kerajaan Galuh.

Suksesi kepemimpinan di Mataram dari Panembahan Senapati kepada Sultan Agung tahun 1601 berdampak terhadap kehidupan politik di Kerajaan Galuh. Sultan Agung mulai memperkuat kekuasaan politiknya di Galuh

(33)

dengan mengangkat Dipati Panaekan sebagai Wedana Mataram di Galuh. Ia diberi kekuasaan atas 960 cacah dan memerintah atas nama Sultan Mataram. Pengangkatan Dipati Panaekan sebagai wedana merupakan yang pertama dilakukan Sultan Agung di wilayah Mancanagara Barat sehingga tidaklah berlebihan kalau Dipati Panaekan dikatakan sebagai “De oudste der wedana’s in de Wester Ommelanden (van Mataram).30

Para vassal Mataram di Galuh berbeda pendapat ketika Sultan Agung merencanakan untuk merebut Batavia dari VOC, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan satu sama lainnya. Dipati Panaekan menginginkan agar rencana tersebut secepat mungkin dilaksanakan agar kekuasaan VOC tidak semakin berkembang. Pandangan Dipati Panaekan ini merupakan bentuk dukungan terhadap Dipati Ukur, penguasa Tatar Ukur, yang tidak lain merupakan sahabatnya. Sementara itu, Dipati Kertabumi II atau Adipati Singaperbangsa, yang merupakan adik ipar Dipati Panaekan, menginginkan agar Sultan Agung memperkuat pertahanan terlebih dahulu sebelum menyerang Batavia. Persatuan di antara vassal Mataram baik di Priangan maupun di Galuh harus diperkuat agar kekuatan pasukan Mataram tidak mudah ditembus musuh. Artinya,

(34)

Adipati Singaperbangsa, mendukung pandangan Rangga Gempol I, penguasa Sumedang, yang masih memiliki hubungan darah dengan penguasa Kertabumi tersebut. Perbedaan tersebut berujung dengan dibunuhnya Adipati Panaekan oleh Adipati Singaperbangsa pada tahun 1625.31 Kedudukannya sebagai penguasa Galuh digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Dipati Imbanagara. Ia berkuasa atas Galuh (Gara Tengah) sampai dengan tahun 1636.

Ketika Sultan Agung menyerang Batavia tahun 1628 dan 1629, Mas Dipati Imbanagara memberikan bantuan pasukan di bawah pimpinan Bagus Sutapura. Akan tetapi, serangan tersebut tidak sesuai dengan harapan Sultan Agung. Pertama, serangan Mataram tidak mampu mengusir VOC dari Batavia sehingga Sultan Agung tidak berhasil menanamkan pengaruhnya di daerah bekas pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda. Kedua, Dipati Ukur sebagai komandan pasukan Mataram justru melakukan perlawanan terhadap hegemoni Mataram dengan tujuan untuk membebaskan wilayah Priangan dari kekuasaan Mataram. Meskipun memerlukan waktu yang cukup lama, pada akhirnya perlawanan Dipati Ukur ini dapat dipadamkan oleh pasukan Mataram. Konon katanya, orang yang berjasa menangkap Dipati Ukur adalah Bagus Sutapura, pemimpin

(35)

pasukan Galuh. Atas jasanya itu, pada tahun 1634, Sultan Agung mengangkat Bagus Sutapura sebagai Bupati Kawasen. Sepeninggalnya Bagus Sutapura tahun 1653, jabatan bupati diserahkan kepada anaknya yang bernama Tumenggung Sutanangga yang memerintah Kabupaten Kawasen sampai tahun 1676. Sepeninggalnya Tumenggung Sutanangga, tidak ada lagi yang menjabat Bupati Kawasen, karena wilayahnya digabungkan dengan Kabupaten Imbanagara.

Masih terkait dengan peristiwa perlawanan Dipati Ukur, Sultan Agung mengangkat Adipati Singaperbangsa dan Ki Wirasaba dari Banyumas sebagai wedana untuk mengamankan kepentingan Mataram di sebelah barat (sekitar daerah Karawang). Pengangkatan keturunan Adipati Kertabumi tersebut terungkap dari sebuah surat yang ditujukan untuk Rangga Gede, Bupati-Wedana Pria-ngan. Isi surat itu adalah sebagai berikut.

Mangka emut kana piagem Kanjeng ka Ki Rangga Gede ti Sumedang, anu dititipkeun ka si Astrawadana. Anu matak manehna mawa piagem, lantaran manehna (Astrawadana) ngemban tugas ngareksa tanah kagungan Ratu “Nagara Agung”. Eta kaprabon beulah kulon diwatesan ku Cipamingkis jeung beulah wetanna ku Cilamaya. Saterusna Astrawadana kudu nungguan lumbung pare, anu eusina aya lima tangkes tilu belas jait. Eta pare engkena kudu diangkut ku Singaperbangsa, saupama parentahna geus katarima. Eta surat parentah tea baris disanggakeun ku Ki Yudabangsa jeung Ki Wangsataruna, anu ayeuna aya di satengahing jalan mawa jalma reana dua rebu. Eta jalma anu dua rebu tea baris dicangking

(36)

ku Singaperbangsa jeung Ki Wirasaba sacara wadana. Duanana geus diangkat ku Ratu. Upama surat angkatanana geus beunang, maranehna kedah dipernahkeun di Waringin Pitu jeung Tanjungpura. Tugasna ngajaga Nagara Agung ti beulah kulon (bisi aya musuh. Ieu piagem ditulisna poe Rebo tanggal sapuluh Mulud tahun Alif. Anu nu-lisna, Anggaprana.32

Menurut perhitungan Brandes, penanggalan yang tercantum dalam piagem itu bertepatan dengan tahun 1633. Pengangkatan Adipati Singaperbangsa sebagai wedana di Karawang merupakan titik awal terbentuknya sebuah “dinasti” yang kelak akan memimpin Kabupaten Karawang. Dinasti itu mulai memerintah Karangan pada tahun 1680, seiring dengan pengangkatan Panatayuda sebagai Bupati Karawang oleh VOC. Dengan pengangkatan Panatayuda sebagai Bupati Karawang, di Kertabumi tidak ada lagi bupati.33

Sementara itu, nasib Mas Dipati Imbanagara tidak jauh berbeda dengan ayahnya. Dituduh bersekongkol dengan Dipati Ukur sehingga pada 1636, Sultan Agung Mas menghukum mati Dipati Imbanagara.34 Mas Bongsar, putra Mas Dipati Imbanagara yang masih berusia 13 tahun, untuk sementara waktu diangkat sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) di bawah perwalian Patih Wiranangga. Se-bagai wali Mas Bongsar, Patih Wiranangga berangkat ke Mataram untuk meminta piagam pengangkatan keponakannya

(37)

sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Sepulangnya dari Mataram, Patih Wiranangga mengubah isi piagam pengangkatan tersebut sehingga seolah-olah dirinya diangkat oleh Sultan Agung sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah). Dengan piagam pengangkatan palsu itu, Patih Wiranangga mengangkat dirinya sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah).

Perbuatan curang segera terbongkar sehingga ambisinya untuk menjadi Bupati Galuh (Gara Tengah) tidak dapat diwujudkan. Ki Pawindan, ponggawa setia Mas Dipati Imbanagara, menemukan Piagam Pengangkatan Mas Bongsar sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) di bawah (kolong) rumah di sekitar Padaherang. Berkat jasa Ki Pawindan, Sultan Agung menjadi mengetahui perbuatan curang Patih Wiranangga. Akibat perbuatannya, Patih Wiranangga dihukum mati oleh Sultan Agung. Akan tetapi, hukuman mati atas Patih Wiranangga tidak jadi dilaksanakan setelah Mas Bongsar meminta agar Sultan Agung mengampuni perbuatan curang pamannya itu. Berdasarkan piagam pengangkatan dari Sultan Agung tanggal 5 Rabiul Awal Tahun Je (6 Agustus 1636), Mas Bongsar diangkat sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) dan dianugerahi gelar Raden Panji Aria Jayanagara dari

(38)

Sultan Agung. Selain itu, Sultan Agung pun menyarankan kepada Mas Bongsar agar mempergunakan nama ayahnya, Imbanagara, untuk menamai kabupaten yang akan dipimpinnya.35 Dengan demikian, sejak tahun 1636, pusat kekuasaan Galuh (Gara Tengah) berakhir eksistensinya dan digantikan oleh Kabupaten Imbanagara. Artinya, sejak tahun itu, Kabupaten Imbanagara merupakan salah satu pusat kekuasaan di Galuh, di samping Bojonglopang (Kertabumi) dan Kawasen.

Persetujuan Sultan Agung untuk membentuk Kabupaten Imbanagara merupakan rencana awal reorganisasi mancanagara barat pasca perlawanan Dipati Ukur. Pada tahun 1641, reorganisasi tersebut menetapkan bahwa wilayah Priangan dipecah menjadi empat kabupaten, yaitu Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, dan Sukapura. Sementara itu, wilayah Galuh dipecah menjadi lima kabu-paten, yakni Imbanagara, Bojonglopang, Utama, Kawasen, dan Banyumas. Tidak lama kemudian, Kabupaten Utama dilebur ke dalam wilayah Kabupaten Bojonglopang.36 Pada tahun 1645, reorganisasi mancanagara barat ini dilanjutkan oleh Sunan Amangkurat I, pengganti Sultan Agung. Melalui reorganisasi ini, wilayah mancanagara barat dipecah menjadi 12 ajeg (kabupaten), yaitu:

(39)

Sumedang, Bandung, Parakanmuncang, Sukapura, Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaya (Galuh/Bojonglopang), Sekace, Banyumas, Ayah, dan Banjar.37 Meskipun terjadi penciutan wilayah kekuasaan, tetapi pusat kekuasaan lama, yakni Imbanagara, Kawasen, Galuh, dan Banjar masih tetap eksis dan Imbanagara dipandang memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Bagi R. P. A. Jayanagara, Gara Tengah merupakan daerah yang memberikan kenangan buruk. Di tempat inilah, kakek dan ayahnya terbunuh menjadi korban pertentangan politik di antara para penguasa di Galuh meskipun mereka masih satu keturunan. Oleh karena itu, untuk menghilangkan kenangan buruk tersebut, R. P. A. Jayanagara memindahkan ibu kota kabupatennya ke Calingcing. Tidak lama kemudian, dipindahkan lagi ke Bendanagara atau Panyingkiran. Pada akhirnya, R. P. A. Jayanagara menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, yaitu Barunay. Pada tanggal 14 Mulud Tahun He, R. P. A. Jayanagara memindahkan ibu kota kabupatennya ke Barunay, suatu daerah yang digambarkan tidak pernah kekurangan air dengan hamparan dataran yang begitu luas. Menurut perhitungan Rd. Rg. Kesumasembada dan Rd. Rachmat

(40)

penanggalan Mataram itu bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642. Di tempat inilah, R. P. A. Jayanagara memerintah Kabupaten Imbanagara selama 42 tahun. Demikian juga dengan para bupati penggantinya, memerintah Kabupaten Imbanagara di daerah yang terletak antara Cikoneng dan Kota Ciamis sekarang. Kedudukan Barunay, yang kemudian berubah nama menjadi Imbanagara, sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara berlangsung sampai tahun 1815. Selama ratusan tahun berkedudukan sebagai ibu kota Kabupaten Imbanagara, kabupaten-kabu-paten lain seperti Kertabumi, Utama, Kawasen, Panjalu, dan Kawali dihilangkan sehingga wilayah Kabupaten Imbanagara meliputi daerah yang luas mulai dari Cijolang hingga ke pantai selatan dan dari Citanduy di timur hingga perbatasan Sukapura. Bahkan beberapa wilayah yang terletak di sebelah timur Citanduy, yaitu: Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, Cilacap, dan Banyumas dijadikan sebagai wilayah perwalian Kabupaten Imbanagara.38

Pengangkatan Mas Bongsar atau R. P. A. Jayanagara sebagai Bupati Galuh (Gara Tengah) oleh Sultas Agung, memberikan perubahan yang sangat mendasar. Nama kabupaten secara resmi diganti menjadi Kabupaten

(41)

Imbanagara, mengambil nama ayahnya, Mas Dipati Imbanagara. Nama ini, kemungkinan besar baru dipakai secara resmi setelah R. P. A. Jayanagara memindahkan pusat kekuasaannya ke Barunay pada tanggal 12 Juni 1642. Selama kurun waktu 1642-1815, nama Barunay berubah menjadi Imbanagara dan kekuasaan Kabupaten Imbanagara semakin luas, hampir menyamai luas Kerajaan Galuh. Bupati Kertabhumi dan Kawasen pun menghormati Bupati Imbanagara sebagai ningrat yang berkedudukan paling tinggi di wilayah Galuh. Oleh karena alasan itu, pada tanggal 17 Mei 1972, DPRD Kabupaten/Daerah TK II Ciamis memutuskan tanggal 12 Juni 1642 sebagai hari jadi Kabupaten Ciamis.39 Kabupaten Imbanagara merupakan cikal bakal bagi terbentuknya Kabupaten Galuh (1815) dan Kabupaten Ciamis (1916). Oleh karena itu, eksistensi Kabupaten Ciamis tidak dapat dilepaskan dari Kabupaten Galuh dan Kabupaten Imbanagara.

B. Galuh di Bawah Kekuasaan VOC

Ketika situasi di Eropa kurang menguntungkan bagi perdagangan Belanda, pada tahun 1595 Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi pertama para pedagang Belanda ke Nusantara.40 Tim ekspedisi ini bertujuan

(42)

hendak melakukan perdagangan rempah-rempah dengan para pedagang setempat dan hasil perdagangan tersebut akan dibawa ke negaranya untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar Eropa. Ekpedisi ini berkekuatan empat buah kapal dan dipimpin oleh Cornelis de Houtman seorang pedagang yang pernah tinggal beberapa tahun di Lisabon. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada tanggal 22 Juni 1596 mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten.41 Keberhasilan ini mendorong bangsa Belanda meningkatkan kegiatan perdagangannya di Nusantara.

Mengingat perdagangan rempah-rempah sangat menguntungkan dan untuk mengatasi tingkat persaingan yang semakin tajam, pada tahun 1602 Staten General Republik Kesatuan Tujuh Propinsi mengesahkan berdirinya Vereniging Oost-Indie Compagnie (VOC). Persekutuan dagang ini bertujuan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan perdagangan Belanda di Nusantara dan bertu-gas mengirim ke Belanda armada yang penuh dengan produk-produk berharga.42 Untuk mewujudkan itu semua, VOC diberi hak octrooi (hak ekslusif) oleh Staten General.43 Kekuasaan setempat dipegang oleh seorang pejabat yang bergelar gubernur jenderal. Hak eksklusif

(43)

ini diperlukan oleh VOC karena berkaitan erat dengan rencana monopoli perdagangan yang akan diterapkan oleh VOC.

Untuk mewujudkan monopoli perdagangan tersebut dan dengan hak octrooi yang dimilikinya, VOC segera mencari sebuah tempat yang akan dijadikan pusat perdagangannya di Nusantara. Pada awalnya, VOC berusaha untuk menjadikan Banten sebagai pusat kegiatan perdagangan mereka di Nusantara, tetapi mengalami kegagalan. Jayakarta44 kemudian dipilih untuk dijadikan pusat perdagangan VOC di Nusantara dan pada tahun 1619, VOC tidak hanya memiliki kantor dagang, tetapi Jayakarta dikuasai secara politik dan militer dan namanya diubah menjadi Batavia.45

Dari Batavia, VOC setahap demi setahap, melebarkan sayap kekuasaannya. Setelah orang-orang Belanda membangun kekuatannya di daerah pesisir, mereka kemudian mulai memperhatikan daerah pedalaman Tatar Sunda. Berbagai ekspedisi mulai dikirim ke daerah pedalaman dengan menyusuri sungai-sungai besar yang melintasi wilayah pedalaman Tatar Sunda. Pada tanggal 5 Juni 1641 seorang mardijker bernama Juliaan da Silva yang disertai enam orang Jawa melakukan perjalanan ke

(44)

pedalaman Tatar Sunda dengan menyusuri Kali Krawang (Citarum). Hasil ekspedisi itu berupa pengetahuan mengenai potensi ekonomi yang dimiliki daerah pedalaman Tatar Sunda.46

Kekuasaan VOC di Galuh diawali dari sebuah perjanjian antara Mataram dan VOC. Dalam perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677 itu disepakati bahwa Mataram akan menyerahkan Priangan Timur sebagai balas jasa kepada VOC yang telah membantu menyelesaikan perebutan kekuasaan di Mataram.47 Namun demikian, pengambilalihan Priangan tidak berlangsung cepat. Baru pada tanggal 15 November 1684, Gubernur Jenderal Johannes Camphuijs memerintahkan Komandan Jacob Couper dan Kapten Joachum Michiels untuk menangani Priangan. Langkah awal yang diambil Jacob Couper adalah mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan pembagian cacah di antara para bupati di Priangan. Reorganisasi ini pada hakikatnya tidak mengubah secara radikal tata pemerintahan yang berlaku di Priangan ketika masih berada di bawah Mataram. Peraturan tersebut yang lebih dikenal sebagai Undang-undang Couper diberitahukan kepada para bupati Priangan dalam sebuah pertemuan di Benteng Beschermingsh di Cirebon. Dalam pertemuan itu, di samping menetapkan

(45)

jumlah cacah untuk Bupati Timbanganten, Sumedang, Parakanmuncang, dan Sukapura, Jacoub Couper pun menetapkan jumlah cacah untuk Dalem Imbanagara sebanyak 708 cacah, Dalem Kawasen mendapat 605 cacah, dan Lurah Bojonglopang mendapat 20 cacah dan 10 desa. Undang-undang Couper tersebut disetarakan sebagai Nieuwe Aaanstellingen Brieven (Akta Pengangkatan Baru).48 Dalam Undang-undang Couper ini, tidak disebut-sebut adanya pembagian cacah untuk Galuh.

Meskipun telah ada Undang-undang Couper sebagai landasan hukum untuk menangani Priangan, tetapi Mataram belum secara resmi menyerahkan wilayah ini. Sementara itu, pada tahun 1685, Komisaris Jacob Couper meninggal dunia di Cirebon dan Gubernur Jenderal Johanes Camphuijs mengangkat Francois Tack sebagai Komisaris Priangan yang baru. Pada bulan November 1685, ia me-merintahkan Letnan Benyamin van der Meer untuk mempersiapkan rencana pengambilalihan daerah Priangan secara resmi dari Mataram. Beberapa bulan kemudian, melalui sebuah resolusi tanggal 17 April 1686 Gubernur Jenderal Johanes Camphuijs mengumumkan bahwa pertama, wilayah kekuasaan VOC meliputi daerah-daerah yang terletak di antara Laut Utara sampai dengan Laut Kidul;

(46)

daerah-daerah yang terletak di antara Kali Tangerang sampai dengan Kali Krawang. Kedua, semua penduduk dalam bentang geografis tersebut merupakan rakyat VOC yang wajib menaati hukum VOC dan wajib membayar upeti kepada VOC. Ketiga, segera menghentikan perselisihan di antara para penguasa dan segera menghadap ke Batavia untuk membuat aturan-aturan hukum yang diperlukan dengan membawa data demografi yang diperlukan seperti daftar nama penduduk, jenis kelamin, dan tempat lahir. Bagi penduduk Priangan yang tidak dilaporkan oleh penguasanya akan dianggap sebagai gelandangan dan akan diberi sanksi hukum oleh VOC.49

Pada waktu wilayah Priangan dan Galuh resmi diserahkan kepada VOC, yang menjadi Bupati Imbanagara adalah R. A. Angganaya yang memerintah dari tahun 1678-1693. Sepeninggalnya R. A. Angganaya, VOC mengangkat R. Adipati Sutadinata sebagai Bupati Imbanagara. Masa pemerintahannya berlangsung sampai tahun 1706. Pada saat itu, VOC telah menerapkan preangerstelsel yang intinya adalah penerapan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Artinya, VOC tidak ikut campur langsung dalam urusan politik pribumi sepanjang kepentingannya dalam mencari keuntungan dari komoditas

(47)

pertanian tidak terganggu. Hal ini terjadi, pertama, karena jumlah personel VOC relatif sedikit; kedua, karena otoritas paling tinggi dalam masyarakat pribumi merupakan sumber kekuasaan potensial yang dapat dieksploitasi untuk urusan produksi dan jasa yang diperoleh dari rakyat kecil.dengan alasan ini, struktur sosia yang ada dibiarka (untuk) diatur sendiri oleh penguasa pribumi yang disebut ménak.50

Dalam sistem ini, para bupati berkedudukan sebagai volkshoofd yang memiliki beberapa hak istimewa (priveleges), yaitu: hak pemilikan tanah, hak penguasaan dan pengabdian dari penduduk, hak memungut pajak, hak atas perikanan dan berburu, dan hak untuk menentukan hukum sendiri.51 Para bupati di Priangan berkewajiban untuk menyerahkan upeti kepada VOC seperti yang pernah mereka lakukan kepada Sultan Mataram. Bentuk upeti tersebut berupa penyerahan wajib komoditas perdagangan seperti kayu, lada, nila (indigo), kapas, dan kemudian kopi serta gula, yang besarnya ditentukan oleh VOC. Para bupati hanya diberi kewenangan untuk membuat kebijakannya agar kewajiban penyerahan wajib dapat dipenuhi. Demikianlah, Gubernur Jenderal VOC menjadikan bupati sebagai pelaksana atau agen

(48)

verplichte leverantie yaitu agen penyerahan wajib tanaman-tanaman komoditas perdagangan, di antaranya beras, cengkih, pala, lada, kapas, kopi, indigo, dan tebu.52

Demikianlah, VOC mewajibkan Kabupaten Galuh untuk menanam lada, kapas, dan indigo serta harus menyerahkan hasilnya sesuai dengan kuota yang telah ditentukan oleh VOC. Pada tahun 1695, Bupati R. Adipati Sutadinata me-nyerahkan lada kepada VOC sebanyak 90 pikul yang berasal dari Kabupaten Imbanagara sebanyak 40 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 50 pikul. (lihat tabel 2.1).

Tabel 2.1

Jumlah Komoditas Perdagangan yang Wajib Diserahkan Kepada VOC

di Daerah Galuh pada Tahun 169553

No. Kabupaten Nama

Jenis

Komoditas/Kapasitas Produksi (Dalam

Pikul)

Nila Kapas Lada

1. Imbanagara - 35 40 2. Kawasen 80 20 50

Selain itu, nila (indigo) dan kapas (bahan baku benang) pun ditetapkan oleh VOC sebagai komoditas perdagangan yang terkena kebijakan wajib serah. Pada tahun 1695, jumlah nila yang wajib diserahkan kepada VOC dari daerah Galuh sebanyak 80 pikul. Kuota sebanyak

(49)

itu hanya berasal dari Kabupaten Kawasen saja. Dalam kurun waktu yang sama, Galuh dibebani juga dengan penyerahan wajib kapas. Beban yang harus dipikul oleh Galuh sebanyak 55 pikul per tahun. Jumlah sebanyak ini harus diserahkan oleh Kabupaten Imbanagara sebanyak 35 pikul dan Kabupaten Kawasen sebanyak 20 pikul. (lihat tabel 2.1).

Akan tetapi, pada akhir abad ke-18 produksi lada yang dihasilkan oleh Priangan ditambah dengan Batavia dan daerah sekitarnya rata-rata hanya 25, 25 pikul per tahun. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh suatu kenyataan bahwa di pasaran internasional, kedudukan rempah-rempah mulai tergeser oleh kopi. Keadaan ini mempengaruhi VOC untuk menurunkan jumlah penyerahan wajib yang diperkirakan kurang menguntungkan bagi perekonomian negaranya.

Pada tahun 1704, R. Adipati Sutadinata menandatangani kontrak politik dengan VOC yang berlaku selama 10 tahun. Berdasarkan kontrak politik tersebut beberapa jenis komoditi perdagangan yang dihasilkan oleh Kabupaten Imbanagara harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan oleh VOC. Dengan demikian, sejak tahun itu VOC memiliki otoritas penuh

(50)

untuk menentukan jenis komoditas perdagangan yang hrus ditanam dan dijual hasilnya kepada VOC.

Bersamaan dengan penandatanganan kontrak politik, beberapa kabupaten di wilayah Galuh, yakni Utama, Bojonglopang, dan Kawasen dilanda kerusuhan yang digerakkan oleh Haji Prawatasari atau Raden Alit. Namun demikian, kerusuhan yang dimulai di Jampang tahun 1703 itu, dapat dipadamkan oleh VOC pada tanggal 12 Juli 1707 seiring dengan tertangkapnya Haji Prawatasari.54

Kekuasaan VOC di Galuh semakin dipertegas dengan adanya perjanjian antara Mataram dan VOC tanggal 5 Oktober 1705. Berdasarkan perjanjian itu, Mataram harus menyerahkan wilayah Cirebon dan Priangan-Cirebon kepada VOC sebagai imbalan atas bantuan VOC ketika membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram dari Sunan Amangkurat III atau Sunan Mas. Dalam perjanjian itu ditegaskan pula bahwa wilayah Priangan-Cirebon meliputi beberapa kabupaten, yaitu: Imbanagara, Galuh, dan Sukapura.55

Untuk mengawasi loyalitas para bupati Priangan dan Galuh, melalui Resolusi Tanggal 9 Februari 1706, VOC mengangkat Pangeran Aria Cirebon sebagai opziener para bupati di daerah Priangan dan Galuh, namun tidak

(51)

termasuk untuk Bupati Karawang dan Cianjur. Kedua wilayah ini sudah dianggap sebagai bagian dari Batavia sehingga para bupatinya langsung diawasi oleh pejabat-pejabat VOC.56 Pada saat Pangeran Aria Cirebon diangkat sebagai opziener Priangan dan Galuh, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh R. Adipati Kusumadinata I (1706-1727).

Dalam akta pengangkatannya itu Pangeran Aria Cirebon mendapat perintah untuk menjalankan sistem pemerintahan tradisional atas nama VOC di daerah Priangan dan Galuh. Dalam melaksanakan tugas sehari-harinya ia didampingi oleh Residen Cirebon dan Letnan Caspar Lippius. Pada tanggal 22 Maret 1706, VOC mengeluarkan empat kewajiban utama yang harus dijalankan oleh Pangeran Aria Cirebon sebagai Wedana-Bupati Priangan. Pertama, menjaga perdamaian antara para bupati dan mencegah adanya perebutan penduduk. Kedua, mendorong penanaman padi. Ketiga, mewajibkan penyerahan kapas, indigo, dan lada dengan suatu pembayaran. Keempat, tidak boleh mengangkat patih tanpa persetujuan Residen Cirebon.57

Sebagai opziener, Pangeran Aria Cirebon mengeluarkan beberapa kebijakan yang tentunya telah

(52)

dibicarakan terlebih dahulu dengan VOC. Dari sekian banyak kebijakan yang dikeluarkan Pangeran Aria Cirebon, beberapa kebijakan yang terkait dengan Galuh, antara lain: VOC mengabulkan usulan Pangeran Aria Cirebon untuk mengangkat Patih Ciamis sebagai Bupati Kawasen menggantikan Sutanangga. Alasan pergantian ini karena Patih Ciamis dianggap sebagai ningrat tertua dan terpandai. Selain itu, Daerah Utama yang tadinya masuk Karawang dimasukkan ke wilayah kekuasaan Bojonglopang dan Kepala Daerah Utama, Sutapura, harus tunduk kepada Bupati Karawang, R. A. Wiranegara, pengganti R. A. Panatayuda.58

Di samping mereorganisasi wilayah Galuh, Pangeran Aria Cirebon melakukan sensus penduduk di setiap kabupaten di Galuh. Hasilnya, dapat dibaca pada tabel 2.2. Bila dibandingkan dengan Undang-undang Couper, jelaslah bahwa da-

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Galuh

Hasil Sensus Jacob Couper dan Pangeran Aria Cirebon59

No. Nama Kabupaten Tahun Sensus

1684 1686 1706

1. Imbanagara 708 - 700

2. Kawasen 605 398 700

(53)

lam kurun waktu 22 tahun penduduk Galuh tidaklah tetap. Di Kawasen dalam waktu dua tahun sempat terjadi pengurangan jumlah penduduk yang amat drastis. Dua puluh tahun kemudian jumlah penduduk Kawasen meningkat melebihi jumlah sebelumnya. Demikian juga di Bojonglopang, dalam waktu 22 tahun jumlah penduduknya meningkat lima belas kali lipat. Sepeninggal Pangeran Aria Cirebon tahun 1723, VOC menghapus jabatan opziener. Martawijaya, putra Pangeran Aria Cirebon, mencoba mengajukan permohonan untuk mengisi jabatan ayahnya, tetapi ditolak oleh VOC, karena jabatan opziener tidaklah untuk diwariskan.60 Dengan demikian, sejak saat itu, para bupati Priangan dan Galuh langsung diawasi oleh para pejabat VOC.

Pada masa preangerstelsel, kopi merupakan komoditas perdagangan utama yang sangat menguntungkan VOC sehingga Kerajaan Belanda dengan cepat menjadi salah satu negara kaya di Eropa. Akan tetapi, Kabupaten Galuh tidak cocok untuk penanaman kopi sehingga tidak terlalu besar konstribusinya, meskipun bukan berarti tidak menghasilkan kopi. Penanaman kopi di Kabupaten Galuh dimulai sekitar tahun 1720-an. Bupati R. Adipati

(54)

Kusumadinata I memerintahkan rakyat untuk membudidaya-kan tanaman kopi di lereng Gunung Sawal dan Gunung Ciremai (Cirebon). Sepuluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1730, di kedua daerah ini menghasilkan kopi sekitar 375.000 Kg atau kira-kira setara dengan 6.000 pikul dan tetap mencapai jumlah yang cukup meyakinkan setidak-tidaknya sampai pertengahan abad ke-18.61 Bahkan pada akhir abad ke-18, produksi kopi yang dihasilkan di kedua tempat ini mencapai kira-kira 14.000 – 18.000 pikul.62 Meskipun menghasilkan kopi dalam jumlah yang tidak terlalu kecil, namun daerah lain di wilayah Galuh tidak cocok untuk pembudidayaan kopi. Oleh karena itu, di wilayah Galuh produksi kopi tidaklah mencapai hasil setinggi di daerah Priangan Tengah dan Priangan Barat.

Sementara itu, sepeninggalnya R. Adipati Kusumadinata I, yang menjadi bupati di Imbanagara adalah R. Adipati Kusumadinata II dan memerintah dari tahun 1727-1732. Oleh karena dirinya tidak memiliki anak, jabatan Bupati Imbanagara diserahkan kepada keponakannya yang masih kecil, yakni Mas Garuda. Dengan demikian, dari tahun 1732-1751, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh tiga orang wali Mas Garuda. Baru pada

(55)

tahun 1751, setelah usianya dewasa, Mas Garuda memerintah Kabupaten Imbanagara sampai tahun 1801. Gelar yang dipakai oleh Mas Garuda adalah R. Adipati Kusumadinata III.

Pada masa peralihan dari VOC ke Pemerintah Hindia Belanda, yang menjadi bupati di Imbanagara adalah R. Adipati Natadikusuma. Bupati ini memerintah Imbanagara dari tahun 1801-1806. Masa pemerintahan yang sebentar ini tidak terlepas dari peristiwa yang mendahuluinya. Menurut sumber tradisional Wawacan Sajarah Galuh, Lawick van Pabst memerintahkan agar bupati menimbang benang dan nila ke Cibatu (Ciamis). R. Adipati Natadikusuma merasa tersinggung atas perintah itu karena perihal timbang menimbang hasil bumi bukanlah tugas seorang bupati. Penuh dengan amarah, R. Adipati Natadikusuma memukul pejabat VOC itu yang bernama lengkap Ajun Kumetir Pieter Herbertus van Lawick van Pabst. Akibat pemukulan itu, pada tahun 1806, jabatan Bupati Imbanagara yang diasandang R. Adipati Natadikusuma dicopot oleh VOC (dilepas tina regen),63 karena dianggap tidak patuh terhadap perintah VOC. Sang bupati kemudian ditahan di Cirebon, meskipun tidak lama kemudian dibebaskan. Namun demikian, jabatan sebagai

(56)

Bupati Imbanagara tidak dapat disandang kembali karena jabatan itu telah diisi oleh Surapraja dari Limbangan yang memerintah Imbanagara sampai tahun 1811.64 Dengan demikian, ketika Hindia Belanda dipimpin oleh Daendels, Kabupaten Imbanagara dipimpin oleh bupati yang bukan keturunan Galuh. Peristiwa pemukulan tersebut, tidak hanya berdampak dicopotnya jabatan bupati yang disandang R. Adipati Natadikusuma. Menurut sumber Belanda, akibat peristiwa yang terjadi tahun 1805 itu, tiga kabupaten di Priangan Timur, yaitu Imbanagara, Galuh, dan Utama digabungkan. Selain itu, Bupati Im-banagara dianggap tidak mampu menjalankan roda pemerintahannya sehingga berutang 23.500 Rds65 dan setelah penggabungan ketiga kabupaten ini, utang Bupati Imbanagara menjadi tanggung jawab Bupati Galuh.

C. Galuh pada Masa Hindia Belanda

Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan dan kekuasaan di Nusantara diambil alih oleh Kerajaan Belanda, yang kemudian membentuk Pemerintahan Hindia Belanda. Gubernur jenderal pertama yang berkuasa di Hindia Belanda adalah Herman Wilhelm Daendels (1808-1811). Ia mendarat di Anyer tanggal 1 Januari 1808,

Referensi

Dokumen terkait