• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. nilai seni yang begitu indah dan tidak ternilai harganya. disebut art, berasal dari akar kata ar (Yunani) berarti menyesuaikan,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. nilai seni yang begitu indah dan tidak ternilai harganya. disebut art, berasal dari akar kata ar (Yunani) berarti menyesuaikan,"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

12 A. Definisi Seni Budaya

Kata seni dan budaya merupakan dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat terpisahkan, karena pada setiap seni pasti mempunyai kebudayaan yang khas. Begitu juga sebaliknya, pada setiap kebudayaan pasti mempunyai nilai seni yang begitu indah dan tidak ternilai harganya.

Sebagai istilah seni memiliki dua pengertian, yaitu: a) seni berarti kecil, tipis, dan halus, dan b) suatu hasil karya yang indah. Dalam bahasa inggris disebut art, berasal dari akar kata ‘ar’ (Yunani) berarti menyesuaikan, menyambung. Oleh karena itulah pada umumnya pengertian kedualah yang lebih popular, lebih banyak digunakan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun bidang akademis. Karya seni terdiri atas dua unsur pokok, yaitu: bahan atau medium dan kualitas atau nilai. Bahan karya lukis adalah cat dan warna yang disusun kembali oleh pelukis sesuai dengan kemampuan imajinasinya. Aristoteles mengatakan, seni adalah bentuk yang penampilannya serta pengungkapannya tidak pernah menyimpang dari kenyataan. Selain itu dikatakan juga seni adalah meniru alam. Menurut Ki Hajar Dewantara pengertian seni merupakan hasil keindahan sehingga bisa menggerakkan perasaan indah orang yang melihatnnya. Oleh sebab itu, perbuatan manusia yang bisa mempengaruhi serta menimbulkan perasaan indah adalah seni (Nyoman Khuta Ratna, 2014: 182)

(2)

Sesuai dengan pengertian seni di atas, maka penulis menyimpulkan pengertian seni secara umum adalah segala sesuatu yang dibuat oleh manusia dan memilik unsur keindahan yang mampu membangkitkan perasaan orang lain.

Secara umum, budaya berasal dari kata „buddhayah‟ (Sansakerta) merupakan bentuk jamak kata buddhi‟ berarti akal. Dalam bahasa Barat disebut ‘culture’, dari kata ‘colere’ (Latin) berarti mengolah, mengerjakan. Dalam kedua istilah, baik bahasa Sansakerta maupun Latin terkadung pengertian tenaga dan kekuatan untuk beraktivitas, sehingga secaraluas budaya dapat diartikan sebagai segala bentuk kegiatan manusia yang dihasilkan melalui daya ciptanya. (Koentjaraningrat, 2015: 146)

Menurut Sartono Kartodirdjo, seni budaya adalah sistem yang koheren karena seni budaya dapat menjalankan komunikasi efektif, antara lain dengan melalui satu bagian saja dapat menunjukkan keseluruhannya. Harry Sulastianto, seni budaya suatu keahlian mengekspresikan ide-ide dan pemikiran estetika, termasuk mewujudkan kemampuan serta imajinasi pandangan akan benda, suasana, atau karya yang mampu menimbulkan rasa indah sehingga menciptakan peradaban yang lebih maju. Sedangkan menurut M. Thoyibi, seni budaya adalah penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapatdirasakan oleh orang banyak dalam rentang perjalanan sejarah peradaban manusia.

Dari beberapa definisi seni budaya di atas, dapat penulis simpulkan seni budaya merupakan segala sesuatu yang diciptakan oleh manusia tentang cara

(3)

hidup berkembang secara bersamaan pada suatu kelompok yang memiliki unsur keindahan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Banyak definisi mengenai seni budaya lokal atau sering pula disebut kearifan lokal. Maka dari itu tidak akan kami ambil semua pendapat dan definisi itu. Pengertian kearifan lokal menurut Haryati Soebadio (dalam Ayatrohaedi, 1986: 18-19), merupakan sebuah identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain menjadi watak dan kemampuan sendiri. Kearifan lokal sifatnya menyatu dengan karakter masyarakat, karena keberadaannya selalu laksanakan dan dileskatarikan-dalam kondisi tertentu malah sangat dihormati.

Rahyono (2009:7) mendefinisikan kearifan lokal sebagai sebuah kecerdasan yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu, yang diperoleh melalui pengalaman etnis tersebut bergulat dengan lingungan hidupnya. Berdasarkan definisi Rahyono tersebut dapat kita ketahui bahwa kearifan lokal merupakan buah atau hasil dari masyarakat/etnis tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat lain. Kearifan lokal ini akan melekat sangat kuat pada masyarakat/etnis tertentu.

Suhartini (2009:1) mendefinisikan kearifan lokal sebagai sebuah warisan nenek moyang yang berkaitan dengan tata nilai kehidupan. Tata nilai kehidupan ini menyatu tidak hanya dalam bentuk religi, tetapi juga dalam budaya, dan adat istiadat. Senada dengan Suhartini, Putu Oka Ngakan (dalam Andi M. Akhmar dadn Syarifudin, 2007) menyebut kearifan lokal sebagai

(4)

bentuk kearifan-juga cara sikap terhadap lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Dengan demikian kearifan lokal itu merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Singkatnya, kearifan lokal menurut Putu Oka Ngakan merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.

Semetara Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun ghaib. (Agus Wibowo, 2015: 18)

B. Potensi Seni Budaya Lokal Cirebon

Masyarakat Cirebon mempercayai bahwa perangkat seni budaya yang mereka lestarikan berasal dari jaman wali. Beberapa tokoh wali menciptakan hasil karya seni yang hingga kini masih bisa dinikmati masyarakat. Sebagai contohnya Sunan Giri menciptakan lagu dolanan yang mengandung syair islam seperti ilir-ilir, jamuran, cublak-cublak suweng dan junjang. Sunan Gunung Jati berperan penting dalam memperkenalkan seni budaya pada masyarakat Cirebon. Pada saat itu Sunan Gunung Jati berdakwa menyiarkan agama Islam menggunakan seni.

(5)

Tradisi budaya Cirebon dalam berbagai pertunjukan kesenian baik yang sarat dengan puji-pujian santri seperti macapat, selawatan, sekatenan, genjring, rudat, gembyung, birai dan genjring dog-dog, maupun pertunjukan yang sarat dengan muatan tradisi budaya jawa kejawen seperti wayang kulit purwa Cirebon, wayang topeng Cirebon, wayang catur, sampyong, barong kepet (berokan), jaran lumping, sitren, lais, serta pertunjukan sandiwara Cirebon (masres), tarling, dan campursari tarling-dangdut. Sedangkan masyarakat Sunda di Cirebon menyukai pertunjukan kliningan (degung), wayang golek purwa sunda, gendang pencak, calung, reog sunda, sandiwara Sunda, gondang dan longser. Walaupun berasal dari pakem gending dan pedalangan Cirebonan, lagu-lagu gending dalam berbagai pertunjukan kesenian tersebut mempunyai cengkok irama tersendiri yang khas sunda yang secara jelas dapat dibedakan dengan gaya pedalangan dan gending jawa cirebonan. (Sugianto, 2005: 251)

Selain wayang kulit, gamelan, sandiwara, sintren, selawatan dan genjring, Cirebon juga terkenal dengan beberapa tariannya, topeng Cirebon misalnya. Tari topeng adalah pertunjukan yang sarat dengan falsafah hidup tasawuf Islam. Jenis tari ini konon diciptakan oleh Ki Danalaya, salah seorang murid Sunan kalijaga, yang kemudian mewariskannya kepada tokoh-tokoh seniman Cirebon. Pada masa sekarang terdapat dua cengkok (gaya) dalam pementasan seni tari topeng, yaitu cengkok Arjawinangun (slangit), dan cengkok Losari (astanalanggar).

(6)

Tari topeng Cirebon terdiri dari lima jenis pertunjukan tari yang disebut juga Topeng Panca Wanda, yaitu topeng Panji, topeng Samba, topeng Rumyang, topeng Patih (Tumenggung), dan topeng Klana (Rahwana). (Zaenal Masduqi & Firliana, 2015: 142)

1. Sintren

Kesenian sintren tergolong kesenian purba. Para peneliti kesenian berbeda pendapat tentang asal usul kesenian ini. Ada yang berpendapat bahwa kesenian sintren adalah peninggalan jaman Hindu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kesenian ini lahir di jaman Islam dan digunakan para wali sebagai media syiar Islam. Terlepas dari soal siapa yang mula pertama menciptakannya, kesenian ini memiliki daya tarik secara filosofis. Ada makna-makna filosofis pada kesenian ini berkenaan dengan simbolisasi perjalanan hidup manusia.

Pada kesenian sintren Cirebon, pertunjukan sintren dimulai dengan tampilnya seorang gadis belia (dipersyaratkan yang masih perawan suci) dengan pakaian sederhana, tanpa dandanan lengkap. Sembari diiringi musik gamelan sintren, gadis belia yang menjadi maskot sintren itu diikat, dibelenggu, dengan tali temali yang rumit yang tidak memudahkannya untuk bisa bergerak. Setelah proses ini sang maskot sintren dikurung dalam alat kurungan ayam yang dilapisi kain penutup hitam.

Prosesi ini melambangkan bahwa manusia lahir ke dunia ini tidak memakai busana apapun. Manusia lahir ke dunia dengan polos. Dalam

(7)

perkembangannya, setelah lahir dan mengikuti proses alamiah manusia mulai belajar mematuhi norma-norma yang hidup di lingkungannya. Sejak bayi manusia dilatih oleh ibunya untuk secara ajeg mengikuti irama kehidupan; menyusu, belajar merangkak, belajar berdiri, dialog dan seterusnya. Kesemua proses ini melibatkan ikatan norma-norma yang berlaku secara universal. Dengan demikian, maskot sintren yang diikat untuk kemudian dikurung melambangkan bahwa manusia hidup di dunia terikat oleh serangkaian norma yang hidup di lingkungannya. Semua manusia normal akan mengalami proses itu.

Namun demikian, Tuhan membekali manusia dengan akal budi agar manusia bisa survive menghadapi setiap tantangan hidup. Dengan akal budi inilah manusia bisa berbuat apa saja, yang baik atau yang buruk, yang putih atau pun yang hitam. Seiring berjalannya waktu, manusia yang dibekali akal budi itu tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sebagian meraih keberhasilan hidup, dan sebagian lainnya mungkin gagal atau kurang beruntung dalam hidup. Ada yang kaya, dan ada yang miskin. Itu adalah sunatullah.

Babak dari maskot sintren yang dikurung tadi melambangkan pergulatan manusia untuk bisa berhasil dalam hidup yang penuh kungkungan norma-norma, hukum negara, adat istiadat dan sebagainya.

Ketika pergulatan telah sampai pada puncaknya, kesenian sintren mulai mempertunjukkan simbol lain dari keberhasilan manusia menyiasati hidup. Pada saat kurungan dibuka, sang maskot sintren, yang

(8)

tadinya terikat oleh tali temali yang rumit dengan busana sederhana, tampil dengan busana yang megah, gemerlap, berasesoris mewah, dan berkacamata hitam (dahulu kala mata sang maskot sintren ditutup kain hitam, bukan kacamata). Sementara tali temali yang mengikat dan membelenggu badan serta tangannya sudah terlepas sama sekali. Sang maskot sintren tampil mempesona. Persis seperti tampilnya para jenderal yang menang perang, atau para pengusaha yang menang tender proyek.

Babak berikutnya setelah sang maskot sintren berubah wujud penampilan menjadi gemilang, sang maskot mulai menari-nari dalam keadaan kerasukan (trance). Pada saat inilah para penonton melemparkan uang, kertas mau pun koin, ke tubuh sang maskot sintren. Lemparan uang yang mengenai tubuh sang maskot akan membuat sang maskot terkulai lemas, tak berdaya. Inilah puncak pertunjukan seni sintren yang penuh makna filosofis mendalam itu! Makna filosofisnya: bahwa manusia yang sudah mencapai ketinggian karir, derajat hidup, kekayaan materi dan sebagainya, manakala tak dapat membawa diri, eling (sadar), dan waspada, maka dia akan berpotensi jatuh oleh goda-godaan duniawi (dilambangkan dengan lemparan uang) yang selama ini dikejarnya. Makna lainnya yang lebih sederhana: manusia yang penuh keberhasilan, tanpa diimbangi dengan akhlak yang baik, berpotensi lupa daratan (dilambangkan dengan mata yang tertutup kacamata hitam).

(9)

Sintren hakikatnya adalah mereka yang tergoda oleh syahwat duniawi. Mereka yang jatuh terkulai oleh godaan-godaan duniawi yang menipu, membius, memperdaya dan akhirnya menyengsarakan.

Pertunjukan seni sintren diakhiri dengan kembali dikurungnya sang maskot sintren ke dalam kurungan. Setelah babak ini, kurungan kembali dibuka dan tampaklah sang maskot sintren tampil seperti sedia kala: hanya mengenakan pakaian amat sederhana. Sebuah makna kembali kita dapatkan, yaitu bahwa manusia kembali ke hadapan Sang Penciptanya tidak membawa apa pun. Sehebat dan sekaya apa pun dia. (Abid Aslich, 2015)

2. Topeng Cirebon

Jenis tari topeng Cirebon sendiri dapat digolongkan ke dalam lima karakter pokok topeng yang berbeda yaitu :

a. Topeng Panji. Digambarkan sebagai sosok manusia yang baru lahir, penuh dengan kesucian, gerakannya halus dan lembut. Tarian ini bagi beberapa pengamat tarian merupakan gabungan dari hakiki gerak dan hakiki diam dalam sebuah filosofi tarian.

b. Topeng Samba, menggambarkan fase ketika manusia mulai memasuki dunia kanak-kanak, digambarkan dengan gerakan yang luwes, lincah dan lucu.

c. Topeng Rumyang merupakan gambaran dari fase kehidupan remaja pada masa akhil balig.

(10)

d. Topeng Tumenggung, gambaran dari kedewasaan seorang manusia, penuh dengan kebijaksanaan layaknya sosok prajurit yang tegas, penuh dedikasi, dan loyalitas seperti pahlawan.

e. Topeng Kelana/Rahwana merupakan visualisasi dari watak manusia yang serakah, penuh amarah, dan ambisi. Sifat inilah yang merupakan sisi lain dari diri manusia, sisi “gelap” yang pasti ada dalam diri manusia. Gerakan topeng Kelana begitu tegas, penuh dengan ambisi layaknya sosok raja yang haus ambisi duniawi.

Kelima karakter tari topeng Cirebon bila dikaitkan dengan pendekatan ajaran agama Islam dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Topeng Panji merupakan akronim dari kata Mapan ning kang Siji, artinya tetap kepada satu yang Esa atau dengan kata lain tiada Tuhan selain Allah SWT.

b. Topeng Samba. Berasal dari kata Sambang atau Saban yang artinya setiap. Maknanya bahwa setiap waktu kita diwajibkan mengerjakan segala Perintah-Nya.

c. Topeng Rumyang. Berasal dari kata Arum/Harum dan Yang/Hyang (Tuhan). Maknanya bahwa kita senantiasa mengharumkan nama Tuhan yaitu dengan do‟a dan dzikir.

d. Topeng Temenggung. Memberikan kebaikan kapada sesama

manusia, saling menghormati dan senantiasa mengembangkan silih asah, silih asih dan silih asuh.

(11)

e. Topeng Klana. Kelana artinya kembara atau mencari. Bahwa dalam hidup ini kita wajib berikhtiar. (Naelah Hidayah)

C. Hakikat Karakter

Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008: 235), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu Koesoema A (2007: 80) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai “ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada maa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.”Suyanto menyatakan bahwa karakter adalah cara berpikir dan berperilaku baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap, atau perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. Dengan demikian, karakter bangsa sebagai kondisi watak yang merupakan identitas bangsa. (Mansur Muslich, 2014: 70)

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karakter berkaitan dengan kekuatann moral yang berkonotasi positif, bukan netral. Jadi orang yang berkarakter adalah orang yang memiliki kualitas moral positif.

(12)

Jadi karakter peserta didik merupakan suatu kualitas atau sifat baik menurut norma agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional yang terus menerus dan kekal yang dapat dijadikan identitas individu, sebagai hasil dari pengalaman belajar peserta didik.

D. Pembentukan Karakter Positif Anak

Pembentukan karakter diyakini perlu dan penting untuk dilakukan oleh sekolah. Tujuan pendidikan karakter pada dasarnya adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik (insan kamil). Tumbuh dan berkembangnya karakter yang baik akan mendorong peserta didik tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar dan memiliki tujuan hidup.

Karakter dibentuk melalui tahap pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).

Ada enam pilar penting karakter manusia yang dapat digunakan untuk mengukur dan menilai watak/perilakunya, yaitu: respect (penghormatan),

(13)

berwarganegara), fairness (keadilan), caring (kepedullian dan kemauan berbagi) dan tustworthiness (kepercayaan). (Fathurrohman, dkk,. 2013: 19)

Menurut Faturrohman, dkk,. (2013:19) nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa yang diidentifikasi adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1: Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa

Nilai Deskripsi

1 2

Religius

Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.

Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam

perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Toleransi

Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.

Kerja Keras

Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.

Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara

atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada

orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.

Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.

Rasa Ingin Tahu

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang

dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

(14)

1 2 Semangat

Kebangsaan

Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.

Cinta Tanah Air

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi

terhadap bahasa, lingkunganfisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

Menghargai Prestasi

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Bersahabat Komunikatif tindakan yang memperlihatkan rasa senang

berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang

lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Gemar

Membaca

Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

Peduli Lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

Tanggung Jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan karakter peserta didik adalah nilai-nilai yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tatakrama, budaya, dan adat istiadat.

Memperkenalkan seni budaya lokal kepada siswa merupakan salah satu cara untuk membentuk karakter positif pada anak. Dalam hal ini diperlukan

(15)

adanya minat anak pada seni budaya lokal tersebut. Orang dewasa dapat membantu menumbuhkan minat anak terhadap seni budaya lokal. Dalam bukunya Elizabeth B. Harlock yang diterjemahkan oleh Med. Meitasari Tjandrasa (1978: 115) mengatakan:

“Anak-anak mendapat kesempatan dari orang tua, guru, dan orang dewasa lain untuk belajar mengenai apa saja yang oleh kelompok budaya mereka dianggap minat yang sesuai dan mereka tidak diberi kesempatan untuk menekuni minat yang dianggap tidak sesuai bagi mereka oleh kelompok budaya mereka.”

Dari pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa orang tua, guru dan orang dewasa lainnya memiliki peran yang sangat penting untuk membangun minat budaya pada anak yang kemudian dapat membentuk karakter positif anak.

Pembentukan karakter positif anak dapat juga dilakukan dengan keteladanan seorang guru dan orang tua. Dalam teori difusi inovasi, peranan opinion leader (pemimpin opini) memegang posisi sentral dalam suatu kelompok masyarakat tertentu (Roger, 2004). Tenaga pendidik sebagai opinion leader dalam lingkungan institusi pendidikan juga memiliki posisi sentral dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Keteladanan dalam diri seorang pendidik berpengaruh pada lingkungan sekitarnya dan dapat memberi warna yang cukup besar pada masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Maka dari itu dalam membentuk karakter positif juga diperlukan keteladan yang baik pada anak. (Muhammad Yaumi, 2014: 149)

(16)

E. Urgensi Pendidikan Budaya dan Karakter

Dalam sejarah pembangunan pendidikan di Indonesia telah banyak upaya dilakukan dan berbagai kebajikan yang menyertainya. Namun belakangan hasil yang dicapai seolah memberi indikasi bahwa ada sesuatu yang hilang (missing) yang belum dapat diwujudkan dalam pendidikan kita. Kemerosotan moral akhlak, etika, dan menurunnya prestasi bangsa memberi sinyal kuat bahwa bangsa ini sedang menghadapi dilema, jika tidak dicarikan solusi perbaikan akan menghadapi persoalan yang semakin kompleks. Pendidikan budaya dan karakter adalah salah satu tawaran solusi untuk meminimalisasi dangkalnya pemahaman terhadap nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Paling tidak ada beberapa hal mengapa perlunya pendidikan budaya dan karakter diimplementasikan dalam konteks pendidikan.

Pertama, dampak arus globalisasi yang membawa kehidupan menjadi semakin kompleks merupakan tantangan baru bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia memasuki milenium ketiga sekarang ini. Oleh karena itu, salah satu keunikan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia adalah warisan multi-etnik dan multikultur. Keberagaman etnik yang hingga kini mencapai lebih dari 500 etnik yang menggunakan 250 bahasa merupakan kekayaan bangsa yang mesti dipelihara dan dikelola dengan mengedepankan nilai-nilai kemajemukan, sehingga masing-masing etnik bukan berdiri sebagai entitas yang tertutup dan independen melainkan saling berinteraksi satu sama lain dan saling bergantung, serta saling memengaruhi satu sama lain.

(17)

Kedua, adanya kenyataan bahwa telah terjadi penyempitan makna pendidikan dilihat dari perspektif penerapannya di lapangan. Pendidikan telah diarahkan untuk membentuk pribadi yang cerdas individual semata dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas yang dapat membentuk karakter peserta didik dan karakter bangsa, yang merupakan identitas kolektif, dan bukan pribadi (Kartadinata, 2009). Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa dalam sistem pendidikan nasional bukan sekedar membentuk peserta didik yang memiliki kecerdasan intelektual dan keterampilan semata, melainkan juga harus beriman, bertakwa, berakhlak mulia, mandiri, kreatif, supaya menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pendidikan juga berfungsi membangun karakter, watak, serta kepribadian bangsa.

Ketiga, pendidikan yang diselenggara saat ini masih didomonasi oleh berbagai dogma, dalil-dalil, atau ajaran yang diperoleh dari Barat (Alwasilah, 2009). Padahal secara kultural, pendidikan yang diselenggarakan harus tergali dari nilai luhur bangsa Indonesia sendiri. Berbagai pemikiran Ki Hajar Dewantara (KHD) yang telah tertuang dalam bebagai referensi seharusnya dapat dikaji kembali agar dapat dirumuskan dan diimplementasikan. (Muhammad Yaumi, 2014: 121)

F. Konsep Pendidikan Karakter Menurut Adat dan Budaya

Mengingat masyarakat Indonesia yang bersifat multi-pluralis tentu akan sedikit repot jika seluruh adat dan budaya di Indonesia ditampilkan dalam pembahasan di sini. Untuk memudahkan pembahasan, maka akan diambil

(18)

dua dari berbagai adat dan budaya di Indonesia, yaitu adat dan budaya Jawa dan Sunda.

1. Adat Sunda Terkait Pendidikan Karakter

Dalam budaya Sunda, prinsip dan etika terkait dengan pergaulan manusia dengan Tuhan, dan pergaulan dengan sesama manusia, terutama dilandasi oleh silih asih, silih asah, dan silih asuh. Hal tersebut menunjukkan karakter khas dari budaya Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup religiusnya.

Silih asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religious-sosial yang menekankan kepada sapaan cinta kasih Tuhan serta meresponsnya melalui cinta kasih kepada sesama manusia. Dengan kata lain, silih asih merupakan kualitas interaksi yang dilandasi nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat semacam ini melahirkan moralitas egaliter dalam masyarakat. Dalam tradisi silih asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang superior maupun manusia yang inferior. Prinsip egaliter ini kemudian melahirkan etos musyawarah, karja sama, serta sikap untuk senantiasa bertindak adil.

Masyarakat silih asah dapat dimaknai saling bekerja sama untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan kecakapan. Tradisi ini telah melahirkan etos dan semangat ilmiah memupuk jiwa kuriositas dan saling mengembangkan diri untuk memperkaya khazanah pengetahuan dan teknologi. Hal ini pada gilirannya diharapkan mampu menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak bergantung pada masyarakat

(19)

lain. Kecuali itu dalam tradisi silih asah ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) mendapatkan bimbingan etis sehingga iptek tidak bersifat angkuh, tetapi tampak anggun dan bahkan mampu memperkuat ketauhidan.

Masyarakat silih asuh memandang kepentingan kolektif maupun kepentingan pribadi mendapat perhatian berimbang melalui saling pantau, saling kontrol, tegur sapa, dan saling memberikan bimbingan. Budaya silih asuh ini kemudian mampu memperkuat ikatan emosional yang telah dikembangkan dalam tradisi silih asih dan silih asah. Ketiga-tiganya menjadi semacam tri pillars yang melandasi adat dan budaya Sunda.

Suku kata Su pada kata Sunda memiliki makna segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Orang Sunda meyakini bahwa memiliki etos atau karakter Kesundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Karakter-karakter pokok yang harus dimiliki dan dikembangkan oleh “urang Sunda” adalah cageur (sehat) jasmani dan ruhani, bageur (baik) dalam berbicara maupun tindakan, bener (benar) dalam tujuan hidup dan langkah perbuatan, singer (muhasabah, mawas diri) agar tidak terjerumus dalam perilaku salah dan keliru, dan pinter (cerdas) dalam pengertian tidak pernah berhenti dalam mencari dan mengembangkan ilmu. (Muchlas Samani & Hariyanto, 2013: 62)

2. Adat Jawa Terkait Pendidikan Karakter

Bergantung pada sumber yang diacu, banyak sekali nilai karakter Jawa yang sepatutnya dianut dan dikembangkan oleh masyarakat Jawa.

(20)

Salah satu contoh adalah seperti yang dikembangkan dalam Taman Siswa. Ki Tyasno Sudarto, Ketua Umum Majelis Hukum Taman Siswa (2007) seperti yang dikutip oleh Ekowarni (2009) yang menyatakan bahwa dasar filosofis karakter adalah Tri Rahayu (tiga kesejahteraan) yang merupakan nilai-nilai luhur (supreme values) dan merupakan pedoman hidup (guiding principles) meliputi:

Mamayu hayuning salira (bagaimana hidup untuk meningkatkan kualitas diri pribadi),

Mamayu hayuning bangsa (bagaimana berjuang untuk negara dan bangsa), dan

Mamayu hayunung bawana (bagaimana membangun kesejahteraan dunia).

Salah satu sikap masyarakat Jawa adalah andhap asor atau lembah manah artinya rendah hati, tidak sombong (ora kumalungkung). Rendah hati berarti tidak mau menonjolkan diri walau memiliki kemampuan (bagai ilmu padi makin merunduk makin berisi). Orang yang andhap asor juga mampu menahan diri, jika dicela tidak mudah marah tetapi justru akan mawas diri apa kekurangan dan kelemahannya.

Sementara itu dalam hidup bermasyarakat manusia Jawa (wong Jawa) hendaknya selalu memiliki tiga tindakan prinsip. Prinsip tingkat pertama adalah rigen, mugen, tegen. Prinsip kedua adalah gemi, nastiti, ngati-ati, dan prinsip ketiga adalah gumati, mangerti dan miranti. Prinsip-prinsip ini terkandung dalam Serat Cemporet. Pada asalnya iniadalah

(21)

ajaran pada seorang gadis yang akan menikah, manjadi ibu rumah tangga, tetapi jika melihat esensi ajarannya dapat dipergunakan bagi seluruh kehidupan masyarakat.

Makna rigen adalah mengerjakan segala sesuatu sampai tuntas, tegen maknanya tekun dan sungguh-sungguh dalam bekerja, sedangkan mugen maknanya adalah mantap dalam hati (berkomitmen tinggi) dalam melaksanakan pekerjaan, tekadnya juga mantap serta setia menjalani pekerjaannya. Prinsip yang kedua terdiri dari gemi, maknanya mampu mengelola, mengatur, tidak boros, besifat hemat. Nastiti, maknanya cermat, memperhitungkan segala sesuatunya, memperhitungkat akibat-akibat dari tindakannya. Ngati-ati maknanya hati-hati dan sikap batin yang selalu waspada. Prinsip yang ketiga, gumati, maknanya sungguh-sungguh sampai ke dalam sanubarinya jika merawat dan memelihara sesuatu, mengerti maknanya mengerti empan papan (ketupat: keadaan, waktu, dan tempat) atau sikon (situasi dan kondisi sekeliling) sehingga perasaan orang lain menjadi puas, tidak sakit hati karena salah bertindak atau salah bicara. Sedangkan miranti maknanya memenuhi keinginan, menaati peraturan yang berlaku, mengikuti SOP (standart operating prosedures), dapat membagi waktu dengan baik, dan rajin dalam bekerja. (Muchlas Samani & Hariyanto, 2013: 65)

Gambar

Tabel 2.1: Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter  Bangsa

Referensi

Dokumen terkait

Tesis berjudul Kajian Tenaga Kerja Wanita dengan Sistem Harian dan Sistem Borongan di Perkebunan Kopi Kalijompo Kabupaten Jember telah diuji dan disahkan

Dengan demikian, apabila ada perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian, maka yang harus dibuktikan selain adanya perbuatan yang melawan hukum, harus

Tugas Akhir yang dibahas adalah Identifikasi Penerapan Sistem Manajemen Lingkungan (SML ISO 14001) pada Proyek Konstruksi di Kota Medan1. Selama penyusunan laporan tugas

pekerjaan) perlu dilaksanakan proses analisis jabatan, sedangkan untuk dapat menentukan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan perlu dilaksanakan analisis beban kerja

hipotesis kedua bahwa prestasi belajar siswa yang memiliki gaya belajar auditorial dan visual lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki gaya belajar

Dari hasil observasi, pembagian angket, dan dilanjutkan dengan wawancara diperoleh beberapa informasi berkaitan dengan kondisi siswa SMA Negeri 2 Seulimum dalam proses

Dalam hal Pemilih tidak sempat melaporkan diri kepada PPS tempat Pemilih akan memberikan suaranya sebagaimana dimaksud pada poin (9), tetapi yang bersangkutan

Pentingnya penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana wajib pajak patuh dalam membayar pajaknya; untuk menguji kesadaran wajib pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang