• Tidak ada hasil yang ditemukan

Performa Sapi Bali Induk yang Diberikan Pakan Tambahan Silase Pelepah Sawit: Studi Kasus di Kabupaten Baritokuala, Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Performa Sapi Bali Induk yang Diberikan Pakan Tambahan Silase Pelepah Sawit: Studi Kasus di Kabupaten Baritokuala, Kalimantan Selatan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Performa Sapi Bali Induk yang Diberikan Pakan Tambahan Silase

Pelepah Sawit: Studi Kasus di Kabupaten Baritokuala,

Kalimantan Selatan

(Performance of Bali Cattle Dams Given Supplementary Palm Oil

Frond Silage: A Case Study in Baritokuala District,

South Kalimantan)

Krishna NH1, Anggraeny YN1, Rohaeni ES2 1Loka Penelitian Sapi Potong, Grati-Pasuruan 2Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

Krishnapakabar@gmail.com

ABSTRACT

The wider of oil palm land has the opportunity to alternative resources of ruminant’s feedstuff. The purpose of this study was to determine the effect of supplementing palm frond silage on the performance of the Bali cattle dams. The study was conducted at Tunas Harapan Livestock Farmers Group and its surroundings, in Kolam Kiri Village, Barito Kuala, and South Kalimantan. Thirty-eight head Bali dams were given farmer pattern feed, 30 dams were supplemented with palm frond silage as treatment and 8 cows without supplementing as control. The parameters observed were daily weight gain (ADG), body condition score (BCS), dry matter intake (DMI) and feed conversion ratio (FCR). The average data were compared using the T test, the presented values were mean ± SEM. The Bali dams in normal physiological status, ADG; BCS and DM consumption did not differ between the treatment vs control values 0.17±0.014 kg/head/day vs. 0.19±0.067 kg/e/h; 5.68±0.198 vs 5.48±0.138 and 4,461.87±277,000 g/h/d vs. 4,098.63±338,839 g/h/d. FCR was significantly different 28.72±2.256 vs 16.28±2.609. The supplementation of palm frond silage to the feed to the Bali cattle dam had not been able to increase the ADG, DMI, and FCR. It was concluded that the addition of palm frond silage had not been able to improve the performance of Bali cattle in Wanaraya District, Barito Kuala Regency, and South Kalimantan. Key words: Palm fronds, Bali cattle dam, silage

ABSTRAK

Semakin luasnya lahan sawit berpeluang menambah alternative sumber pakan ruminansia. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui pengaruh penambahan silase pelepah sawit terhadap performa sapi Bali induk. Studi dilakukan di kelompok Tani Ternak Tunas Harapan dan sekitarnya, di Desa Kolam Kiri, Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Tiga puluh delapan ekor sapi Bali betina induk diberikan pakan pola peternak, 30 ekor ditambahkan silase pelepah sawit sebagai perlakuan dan 8 ekor tanpa penambahan sebagai kontrol. Parameter yang diamati adalah pertambahan

(2)

berat badan harian (PBBH), skor kondisi tubuh (SKT), konsumsi bahan kering (BK) dan konversi pakan (FCR). Data diperbandingkan rata-ratanya menggunakan Uji T, nilai yang ditampilkan adalah rata-rata ± SEM. Pada induk berstatus fisiologis normal, PBBH; SKT dan konsumsi BK tidak berbeda antara nilai perlakuan vs kontrol berturut-turut 0,17±0,014 kg/ekor/hari vs 0,19±0,067 kg/e/h; 5,68±0,198 vs 5,48±0,138 dan 4.461,87±277,000 g/e/h vs 4,098,63±338,839 g/e/h. FCR berbeda nyata 28,72±2,256 vs 16,28±2,609. Penambahan silase sawit dalam pakan sapi Bali induk belum dapat meningkatkan PBBH dan parameter-parameter pakan. Disimpulkan bahwa penambahan silase pelepah sawit belum mampu meningkatkan performan sapi Bali induk di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Kata kunci: Pelepah sawit, sapi Bali induk, silase PENDAHULUAN

Pasar daging sapi di Indonesia hingga saat ini masih mengalami defisit pasokan bahan baku, sehingga hal tersebut merupakan peluang bagi usaha peternakan sapi potong dalam mencukupi daging sapi dalam negeri. Usaha ternak sapi potong membutuhkan pakan dalam bentuk hijauan pakan ternak, di mana budi daya hijauan pakan ternak membutuhkan lahan. Penurunan jumlah padang penggembalaan serta konvesi lahan pertanian menjadi daerah pemukiman merupakan masalah bagi penyediaan hijauan pakan ternak terutama pada usaha peternakan sapi potong di daerah padat penduduk seperti di Pulau Jawa. Berbeda dengan lahan pertanian yang luasannya menurun, lahan perkebunan terutama kelapa sawit justru mengalami peningkatan sekitar 6,45%/tahun. Peningkatan luas lahan kelapa sawit menyebabkan jumlah hasil samping yang diperoleh akan semakin banyak sehingga dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan pada usaha sapi potong (Priyanti 2017). Potensi sumber bahan pakan bagi ternak sapi pada tanaman sawit meliputi hijauan pakan ternak yang tumbuh di antara tanaman kelapa sawit, pelepah dan daun sawit serta pabrik pengolahan sawit menjadi minyak sawit (Mathius 2008; Hevrizen & Basri 2017).

Luas kebun kelapa sawit di Indonesia adalah 14,724 juta ha, sedangkan di Provinsi Kalimantan Selatan Luas kebun kelapa sawit adalah 552.600 Ha (BPS 2020). Kabupaten Barito Kuala merupakan daerah perkebunan kelapa sawit baru di Kalimantan Selatan dengan luas perkebunan pada tahun 2017 adalah 20.748 Ha dan Kecamatan Wanaraya merupakan daerah dengan perkebunan kelapa sawit terluas, yaitu 1.390 Ha (Anggraeny et al. 2019; BPS Barito Kuala et al. 2019). Selain mempunyai areal perkebunan terluas di Kabupaten Barito Kuala, Kecamatan Wanaraya merupakan daerah dengan populasi sapi potong tertinggi pula di Kabupaten Barito Kuala dengan populasi tahun 2018 adalah (Anggraeny et al. 2019; BPS Barito Kuala et al. 2019).

Pengembangan sapi potong di Indonesia menghadapi kendala ketersediaan pakan selama musim kemarau begitu juga yang terjadi pada pengembangan sapi

(3)

potong di Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan. Petani sawit di daerah ini merupakan petani sawit mandiri artinya bukan merupakan kegiatan inti plasma dari perkebunan negara maupun swasta dengan pengalaman menjadi petani sawit 5±1,89 tahun. Kepemilikan pribadi lahan sawit adalah 3,09±4,26 Ha. Jenis usaha sapi potong di Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan adalah usaha perkembang biakan (cow calf

operation) dan petani berpengalaman beternak sapi rata rata antara 11,15±8,3

tahun. Kecamatan Wanaraya merupakan daerah pemurnian sapi Bali di Kalimantan Selatan sedangkan total kepemilikan ternak sapi potong adalah 4,05±3,05 ekor (Anggraeny et al. 2019). Usaha sapi potong merupakan usaha sambilan sehingga input untuk menunjang produksi usaha sapi potong sangat rendah serta menghasilkan keuntungan yang minimal. Berdasarkan hal tersebut maka input produksi terutama pakan perlu diefisienkan. Usaha pembibitan sapi potong dengan kepemilikan utama sapi betina memerlukan pakan dengan kualitas sedang atau setara dengan kualitas rumput. Ketika ketersediaan rumput berkurang pada musim kemarau maka perlu dicari alternatif pakan sumber serat untuk sapi induk. Pelepah sawit dapat dijadikan pilihan pakan sumber serat. Pemangkasan pelepah sawit yang secara regular dilakukan merupakan peluang yang sangat potensial digunakan sebagai pakan sapi potong. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan silase pelepah sawit sebagai pakan terhadap performa sapi betina di Kecamatan Wanaraya Kabupaten Barito Kuala.

MATERI DAN METODE

Studi dilakukan di Kelompok Tani Ternak Tunas Harapan, Desa Kolam Kiri, Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan. Pengamatan dimulai pada Bulan Juni sampai dengan September 2017. Materi pengamatan berupa sapi Bali betina yang berada di Kelompok Tunas Harapan dan sekitarnya.

Jumlah sapi Bali yang dapat masuk kiriteria pengamatan sebanyak 38 ekor dengan berat badan sekitar 170 kg, 30 ekor digunakan sebagai kelompok perlakuan dan 8 ekor sebagai kontrol. Sapi perlakuan terdiri atas 16 ekor dara induk dan induk tidak bunting/laktasi (status fisiologis normal), 12 ekor betina sapi bunting, dan 2 ekor laktasi. Sapi kontrol terdiri atas 6 ekor sapi induk dengan status fisiologis normal, 1 ekor bunting dan 1 ekor laktasi. Sapi dipelihara secara individu pada kandang bersama/komunal. Perlakuan yang diterapkan adalah perlakuan pakan. Perlakuan pertama adalah sapi diberikan pakan sesuai pola peternak dan diberikan tambahkan silase pelepah sawit. Perlakuan kedua adalah kontrol, sapi diberikan pakan sesuai pola peternak saja. Silase pelepah sawit dibuat menggunakan bahan utama pelepah sawit yang disayat menggunakan mesin shredder kemudian ditambahkan dengan dedak padi halus, solid sawit, kapur, EM4 dan probiotik mengandung Saccharomyces cerevisiae (Tabel 1). Semua

(4)

bahan dihomogenkan, diperam dan akan diberikan setelah tiga minggu. Silase pelepah sawit diberikan sebanyak 0,7 kg (dalam bahan kering) per ekor setiap pagi. Rumput diberikan pada siang-sore hari dan dibiarkan selalu ada sepanjang waktu.

Tabel 1. Komposisi silase pelepah sawit

Bahan Komposisi (bahan kering)

Pelepah sawit 20,0 Dedak padi 40,0 Solid sawit 37,8 Garam 1,0 Kapur 1,0 EM4 0,1 Probiotik 0,1

Parameter yang diamati adalah konsumsi BK dan nutrisi pakan, pertambahan berat badan harian, skor kondisi tubuh (SKT), konversi pakan (FCR) dan persentase konsumsi BK terhadap berat badan. Untuk memperhitungkan konsumsi bahan kering dan nutrisi pakan yang diberikan, diambil sampel pakan dan dianalisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Pakan Loka Penelitian Sapi Potong.

Data dikoleksi satu bulan sekali, data yang diperoleh kemudian diperbandingkan rata-ratanya menggunakan uji T dengan sampel bebas (Steel & Torrie 1995). Sebelum diperbandingkan terlebih dahulu data diuji normalitasnya menggunakan Kolmogorov-Smirnov, setelah diketahui data terdistribusi normal kemudian diuji homogenitasnya. Penarikan kesimpulan uji T disesuaikan dengan homogen atau heterogennya data. Nilai yang ditampilkan pada pembahasan adalah rata-rata ± SEM (standar error of mean).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Parameter berat badan semua sapi betina yang diamati, tanpa membedakan status fisiologis ditampilkan pada Tabel 2. Seluruh parameter yang diamati tidak berbeda antara kelompok perlakuan dan kontrol. Berat badan awal dan akhir studi serta rata-rata berat badan sapi perlakuan relatif lebih tinggi dibandingkan kontrol, hal tersebut menunjukkan bahwa tingginya berat badan akhir studi dan rata-rata pada kelompok perlakuan lebih banyak dipengaruhi oleh berat badan awal yang cenderung tinggi pada kelompok perlakuan.

(5)

Tabel 2. Berat badan dan pertambahan berat badan harian (PBBH) sapi Bali betina tanpa membedakan status fisiologis

Paremeter Perlakuan Kontrol

Berat badan awal studi (kg) 176,02±3,935 161,88±7,870 Berat badan akhir studi (kg) 194,96±4,643 178,14±8,224 Rata-rata berat badan (kg) 187,71±3,928 171,08±7,610

PBBH (kg/ekor/hari) 0,19±0,020 0,20±0,054

Nilai PBBH sapi perlakuan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol (Tabel 2). Variansi kontrol relatif tinggi dibandingkan kelompok perlakuan. Artinya nilai yang tinggi lebih disebabkan oleh satu dua individu yang memiliki nilai jauh di atas rata-rata kelompok.

Pada Tabel 3 ditampilkan parameter berat badan pada betina-betina berstatus fisiologis normal (tidak sedang bunting ataupun laktasi). Profil nilai parameter yang diperoleh induk berstatus fisiologis normal mirip dengan induk secara keseluruhan, perbedaannya pada hasil penimbangan berat badan awal sapi perlakuan berbeda nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Tidak berbedanya berat badan akhir, rata-rata berat badan dan PBBH diduga selain karena variansi data kelompok kontrol cenderung besar juga disebabkan oleh umur sapi kontrol banyak yang lebih muda sehingga memiliki pertumbuhan yang cenderung lebih pesat.

Rendahnya PBBH perlakuan, menunjukkan pemberian silase belum bisa membawa perubahan performan ternak, meskipun meningkatkan suplai protein dan lemak. Penggunaan hasil samping dalam pakan membawa konsekuensi tidak stabilnya kualitas pakan. Penggunaan lumpur sawit dalam silase meningkatkan kandungan lemak kasar silase sampai dengan 8-9% pada tahap awal dan pada sampling berikutnya menjadi 10-15%. Meskipun dalam perhitungan pakan secara keseluruhan kandungan lemak masih di bawah 6% namun diduga pemberian silase pada pagi hari sementara rumput menyusul pada siang-sore hari akan mengganggu aktivitas bakteri selulolitik, terutama pada pembuatan silase tahap-tahap akhir studi. Dijelaskan oleh Suharti et al. (2018) lemak yang banyak dalam pakan ruminansia akan terjadi proses hidrogenasi berlebih dalam rumen dan akan mengganggu aktivitas bakteri selulolitik. Proses tersebut dapat dijelaskan pada profil PBBH pada Gambar 1. Pada awal studi terlihat tren yang bagus, namun menurun pada tahap berikutnya.

(6)

Gambar 1. Profil PBBH sapi perlakuan dan kontrol

Tabel 3. Pertambahan berat badan harian (PBBH) sapi Bali dengan status fisiologis normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi

Paremeter Perlakuan Kontrol

Berat badan awal studi (kg) 172,91b±5,495 152,83a±5,350 Berat badan akhir studi (kg) 190,34±5,798 174,17±8,518 Rata-rata berat badan (kg) 181,89±5,389 163,58±6,459

PBBH (kg/ekor/hari) 0,17±0,014 0,19±0,067

superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Nilai parameter Tabel 2 dan 3 cukup tinggi dibandingkan hasil pengamatan sapi Bali dara oleh Bariroh et al. (2017), pada awal penelitian diperoleh berat badan 116,70-123,59 kg dan pada akhir penelitian sebesar 123,59-156,26 kg serta PBBH 0,14-0,47 kg/ekor/hari. Namun rata-rata berat badan sapi-sapi induk yang diamati cenderung kecil bila dibandingkan berat badan sapi Bali dara di Badung, Bali yang memiliki berat antara 176,8 kg dan 227,9 kg serta pertambahan berat badan 0,22-0,34 kg/ekor/hari (Sugama & Budiari 2012).

Selain induk dengan status fisiologis normal, tidak dapat diuji statistik karena pada kelompok kontrol tidak terdapat ulangan. Rata-rata berat badan sapi bunting yang berada di Desa Kolam Kiri, Kecamatan Wanaraya adalah 195,0±6,28 kg dan 211,5 kg berturut-turut untuk kelompok perlakuan dan kontrol. Sedangkan nilai PBBH yang diamati adalah 0,25±0,039 kg/ekor/hari dan 0,12 kg/ekor/hari berturut-turut untuk kelompok perlakuan dan kontrol.

0.10 0.12 0.14 0.16 0.18 0.20 0.22

4-Jul 23-Aug 12-Oct

Pertambahan Berat Badan (kg)

(7)

Skor kondisi tubuh adalah alat yang sangat baik untuk memprediksi performa reproduksi ternak (Walker & Perry 2007). Bischoff et al. (2018) melaporkan bahwa penggunaan SKT dapat memprediksi cadangan energi sapi serta kesetimbangan energi kawanan ternak. Ditambahkan bahwa pada industri sapi pedaging umumnya digunakan SKT skala 1-9. Hal tersebut berhubungan dengan dibutuhkannya energi tubuh yang cukup untuk memproduksi hormon LH (Schillo 1992).

Short & Adams (1988) menyatakan bahwa prioritas penggunaan energi adalah 1) metabolisme basal, 2) aktivitas, 3) pertumbuhan, 4) cadangan energi, 5) kebuntingan, 6) laktasi, 7) cadangan energi tambahan, 8) siklus estrus dan inisiasi kebuntingan dan 9) cadangan lebih. Siklus estrus sebagai titik kritis menuju kebuntingan mendapatkan prioritas tengah-akhir. Ditegaskan oleh Herd & Sprott (2010) bahwa SKT 5-7 saat melahirkan adalah modal untuk mencapai performan reproduksi sapi-sapi breeding yang baik pada siklus berikutnya.

Tabel 4. Skor kondisi tubuh (SKT) dan perubahannya pada sapi Bali dengan status fisiologis normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi (Skala 1-9)

Paremeter Perlakuan Kontrol

SKT awal studi 5,63±0,240 5,10±0,190

SKT akhir studi 5,85±0,232 6,00±0,379

Rata-rata SKT 5,68±0,198 5,48±0,138

Perubahan SKT 0,08±0,047 0,01±0,005

Affandhy et al. (2019) menyatakan bahwa kemampuan bereproduksi sapi akan optimal apabila nutrisi pra melahirkan antara 4,95-5,40. Pada skor kondisi tubuh skala 1-9, sapi betina sebagaimana dipaparkan pada Tabel 4 memiliki skor 5,10-6 atau dengan tingkat kegemukan sedang. Kondisi ini, sebenarnya cukup baik meskipun belum optimal, terbukti banyak induk mengalami kawin berulang. Diduga yang menjadi permasalahan adalah SKT yang diperoleh adalah data saat pengamatan, bukan data saat pra atau post partum seperti diungkapkan berbagai sumber.

Meskipun tidak berbeda di antara kelompok pengamatan namun pertambahan SKT kelompok perlakuan cenderung baik dibandingkan dengan kontrol. Namun untuk mendukung kinerja reproduksi dirasa belum cukup. Walker & Perry (2007) mengungkapkan bahwa menjaga SKT tetap baik menjelang sapi melahirkan lebih menguntungkan dibandingkan meningkatkan SKT. Rata-rata SKT sapi perlakuan bunting adalah 5,55±0,212 sedangkan kontrol 4,05.

Pola pemberian pakan yang menjadi kebiasaan para peternak hampir sama, selama pengamatan umumnya peternak memberikan pakan berupa rumput lapang dan Brachiaria humidicola (BH). Pada kelompok perlakuan, pemberian

(8)

pakan ditambahkan dengan silase pelepah sawit. Hasil analisis proksimat ketiga pakan tersebut ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis proksimat pakan yang digunakan dalam pengamatan

Pakan Bahan kering

(%) Protein kasar Lemak kasar Serat

kasar Abu BETN TDN --- % Bahan kering --- Rumput lapang 36,86 3,59 1,86 31,82 6,26 56,46 52,06 Brachiaria humidicola 36,10 4,69 1,85 24,72 5,75 62,99 53,51 Silase pelepah sawit 47,00 9,14 10,29 18,64 10,85 51,08 57,93 Sumber: Laboratorium Pakan Loka Penelitian Sapi Potong

Berdasarkan analisis proksimat dan jumlah pakan yang dikonsumsi dapat ditentukan konsumsi bahan kering maupun konsumsi nutrisinya. Pada Tabel 6 ditampilkan konsumsi pakan sapi-sapi perlakuan dan kontrol.

Tabel 6. Konsumsi bahan kering dan nutrisi sapi Bali dengan status fisiologis normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi

Konsumsi Perlakuan (g/ekor/hari) Kontrol (g/ekor/hari)

Bahan kering 4.461,87±277,000 4.098,63±338,839 Protein kasar 219,76b±11,452 169,45a±14,009 Lemak kasar 142,24b±5,138 76,03a±6,286 Serat kasar 1.194,87±78,410 1.160,20±95,915 Abu 302,19±16,641 246,23±20,356 BETN 2.602,63±165,344 2.446,51±202,256 TDN 2.391,19±146,193 2.163,15±178,831

Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Konsumsi bahan kering dan nutrisi pakan cenderung lebih banyak pada kelompok perlakuan (Tabel 7). Namun hanya konsumsi protein kasar dan lemak kasar yang nyata lebih tinggi (P<0,05) perlakuan dibandingkan kontrol. Konsumsi protein kasar kelompok perlakuan adalah 219,76±11,452 g/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan kontrol 169,45±14,009 g/ekor/hari, sementara konsumsi lemak kasar perlakuan adalah 142,24±5,138 g/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan kontrol 76,03±6,286 g/ekor/hari. Lebih tingginya konsumsi protein dan lemak kasar kemungkinan besar akibat ditambahkannya bahan pengaya berupa dedak padi halus, solid sawit dan probiotik pada silase pelepah sawit.

(9)

Tabel 7. Persentase konsumsi bahan kering terhadap bobot badan dan konversi pakan sapi Bali berstatus fisiologis normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi

Paremeter Perlakuan Kontrol

Konsumsi bahan kering/berat badan (%) 2,44±0,105 2,49±0,125 Konsumsi bahan kering/berat badan metabolis (%) 8,95±0,415 8,91±0,510 Rasio konversi pakan (FCR) 28,72b±2,256 16,28a±2,609 Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

Konsumsi bahan kering per berat badan perlakuan dan kontrol tidak terpaut jauh, bahkan yang semula per berat badan cenderung lebih tinggi kontrol, akhirnya per berat badan metabolisis perlakuan menjadi relatif lebih tinggi. Berat badan metabolis diartikan sebagai berat badan setelah dikurangi oleh isi saluran pencernaan, sehingga diduga isi saluran pencernaan pada perlakuan relatif lebih sedikit dibandingkan kontrol sehubungan ternak sudah terbiasa mengkonsumsi silase yang memiliki nutrisi lebih baik dibandingkan dengan hijauannya.

Persentase konsumsi bahan kering per berat badan relatif rendah, umunya sapi mengkonsumsi bahan kering sekitar 3% berat hidupnya. Penggunaan rumput sebagai pakan tunggal/basal akan meningkatkan waktu tinggal pakan dalam rumen dan menurunkan aliran cerna sehingga membatasi konsumsi pakan. Sousa et al. (2017) menyatakan bahwa serat pakan akan mempengaruhi durasi pencernaan dan laju aliran cerna, sehingga pakan lambat meninggalkan rumen dan membatasi konsumsi.

Dilaporkan oleh Batubara (2002) yang mengamati konsumsi pakan sapi menggunakan rumput dan pelepah sawit yang dicampur dengan konsentrat 50% diperoleh nilai konsumsi per berat hidup sebesar 3,02-3,03%. Pada lain pihak Ngadiyono et al. (2000) melaporkan konsumsi BK sapi Madura di Kalimantan Tengah yang diberikan rumput lapang 2,17%, rumput lapang dan rumput gajah 2,36%.

Rasio konversi pakan berbeda nyata antar perlakuan dan kontrol berturut-turut 28,72±2,256 dan 16,28±2,609. Nilai konversi pakan tidak jauh berbeda dengan hasil studi Suryani et al. (2017) pada induk sapi Bali, yang mendapatkan konversi pakan antara 10,83-13,30 dengan pertambahan berat badan 0,41-0,52 kg/ekor/hari. Sementara Elisabeth & Ginting (2003) menggunakan pelepah sawit sampai dengan 60% mendapatkan konversi pakan 13,15 sampai dengan 26,76. Banyaknya penggunaan pakan berserat tinggi cenderung mengakibatkan konversi pakan naik, karena akan meningkatkan konsumsi pakan dan pada pihak lain menurunkan pertambahan berat badan. Tingginya nilai konversi pakan pada

(10)

kelompok perlakuan diduga disebabkan beberapa individu ternak memiliki pertambahan berat badan kecil namun konsumsinya relatif tetap tinggi.

KESIMPULAN

Penambahan silase pelepah sawit ke dalam pola pakan peternak untuk sapi Bali induk di sekitar Kelompok Tani Ternak Tunas Harapan, Desa Kolam Kiri, Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, belum mampu meningkatkan performan sapi Bali yang dipelihara.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada pimpinan dan staf BPTP Kalimantan Selatan yang telah membantu lancarnya kegiatan studi. Terima kasih kepada para pengurus dan anggota Kelompok Tani Ternak Tunas Harapan dan sekitarnya yang terletak di Desa Kolam Kiri, Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan beserta para peternak responden di sekitar kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Affandhy L, Dikman DM, Ratnawati D. 2019. Pengaruh waktu perkawinan pasca beranak terhadap performa produktivitas sapi induk pada kondisi peternakan rakyat. Jurnal Ilmu-ilmu Peternakan. 29:158-166.

Anggraeny YN, Sulistya TA, Widyaningrum Y. 2019. Pengaruh Ekstrak Saponin Daun Paraserianthes falcataria dan Tanin Daun Samanea saman terhadap Produksi Gas Rumah Kaca dan Karakteristik Fermentasi Rumen secara In Vitro. Dalam: Martindah E, Wina E, penyunting. Teknologi Peternakan dan Veteriner Mendukung Kemandirian Pangan di Era Industri 4.0. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Jember, 15-17 Oktober 2019. Jakarta (Indonesia): IAARD Press. hlm. 113-122.

Bariroh NR, Gunawan SG, Suryani. 2017. Pengaruh pemberian bungkil inti sawit terhadap produktivitas ternak sapi Bali dara di Kaltim. Dalam: Dermiyati, Niswati A, Yusnaini S, Yuliana N, Hasanuddin U, Erwanto, Hidayat KF, Aji S, Kusarpoko B, Rivaie AA, Pujiharti Y, Hendra J, Heldan H, Asnawi, et al., penyunting. Agroinovasi Spesifik Lokasi untuk Memantapkan Ketahanan Pangan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik Lokasi untuk Ketahanan Pangan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN. Bogor (Indonesia): Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm. 1016-1020.

Batubara LP. 2002. Potensi biologis daun kelapa sawit sebagai pakan basal dalam ransum sapi potong. Dalam: Haryanto B, Setiadi B, Adjid RMA, Sinurat AP, Situmorang P, Risdiono PB, Tarigan S, Wiyono A, Tresnawati MBP, Murdiati TB,

(11)

Abubakar, Ashari, et al., penyunting. Inovasi Teknologi Peternakan dan Veteriner dalam Menunjang Keterpaduan Usaha Peternakana yang Berdaya Saing. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitan dan Pengembangan Peternakan. hlm. 135-138. Bischoff K, Mercadante V, Lamb GC. 2018. Management of postpartum anestrus in

beef cows. Series of the Animal Sciences Department, UF/IFAS (The Institute of Food and Agricultural Sciences) Extension [Internet]. [cited 12 Agustus 2020]. Available from: https://edis.ifas.ufl.edu/an277.

Ginting STP, Elizabeth J. 2003. Pemanfaatan hasil samping industry kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Dalam: Setiadi B, Mathius IW, Inounu I, Djajanegara A, Adjid RMA, Risdiono B, Lubis D, Priyanti A, Priyanto D, penyunting. Prosiding Lokakarya Nasional Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi 2003. Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu dan PT Agricinal. hlm. 11-22. Herd DB, Sprott LR. 2010. Body condition, nutrition and reproduction of beef cows. Agrilife Extension, Texas A&M System. B-1526 [Internet]. [cited 18 Agustus 2020].

Available from:

http://agrilifecdn.tamu.edu/victoriacountyagnr/files/2010/07/Body-Condition-Nutrition-Reproduction-of-Beef-Cows.pdf

Hevrizen R, Basri E. 2017. II. Prospek pemanfaatan produk samping perkebunan dan pengolahan kelapa sawit sebagai pakan sapi di Provinsi Lampung. Dalam: Mathius IW, Bahri S, Subandriyo, penyunting. Akselerasi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi tanaman ternak: sawit-sapi. Bogor (Indonesia): IPB Press. hlm. 25-46.

Mathius IW. 2008. Pengembangan sapi potong berbasis industri kelapa sawit. Pengemb Inov Pertan. 1:206-224

Ngadiyono N, Hartadi H, Winugroho M, Siswansyah DD, Ahmad SN. 2000. Pengaruh pemberian bioplus terhadap kinerja sapi Madura di Kalimantan Tengah. JITV. 6:69-75.

Priyanti A. 2017. I. Akselerasi pengembangan model sistem integrasi tanaman-ternak berbasis laboratorium dan sekolah lapang: sawit-sapi. Dalam: Mathius IW, Bahri S, Subandriyo, penyunting. Akselerasi pengembangan sapi potong melalui sistem integrasi tanaman ternak: sawit-sapi. Bogor (Indonesia): IPB Press. hlm. 1-24. Schillo KK. 1992. Effects of dietary energy on control of luteinizing hormone secretion

in cattle and sheep. J Anim Sci. 70:1271-1282.

Short RE, Adams DC. 1988. Nutritional and hormonal interrelationships in beef cattle reproduction. Can J Anim Sci. 68:29-39.

Stell RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip dan prosedur statistika suatu pendekatan biometric. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (Indonesia). PT. Gramedia Pustaka Utama. Sugama IN, Budiari NLG. 2012. Pemanfaatan jerami padi sebagai pakan alternative

(12)

Suharti S, Aliyah DN, Suryahadi. 2018. Karakteristik fermentasi rumen in vitro dengan penambahan sabun kalsium minyak nabati pada buffer yang berbeda. JINTP. 16:56-64.

Sousa DO, Mesquita BD, Pires AV, Santana MHDA, Silva LFP. 2017. Effects of fibre digestibility and level of roughage on performance and rumen fermentation of finishing beef cattle. Trop Anim Health Prod. 49:1503–1510.

Suryani NN, Suarna IW, Sarini NP, Mahardika IG, Duarsa MAP. 2017. Pemberian ransum berenergi tinggi memperbaiki performans induk dan menambah bobot lahir pedet sapi Bali. Jurnal Veteriner. 18:154-159.

Walker J, Perry G. 2007. Cow condition and reproductive performance. Proceedings The Range Beef Cow Symposium XX, Fort Collins.

DISKUSI Pertanyaan

1. Melihat kesimpulan, Penulis berharap/mempunyai hipotesis bahwa silase dapat meningkatkan produksi, mohon dapat disampaikan alasannya.

2. Hasil PBB yang disampaikan sangat rendah termasuk sapi perlakuan, bagaimana menurut pengalaman sebelumnya? Kalau disimpulkan pakan perlakuan belum memperbaiki performa sapi Bali, apa yang dapat Penulis jelaskan dg hasil ini yang berbeda dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya?

Jawaban

1. Utamanya, kegiatan ini adalah kegiatan diseminasi dari penelitian mitigasi gas rumah kaca. Pada uji in vitro, penambahan probiotik dalam silase dapat menurunkan gas karbon dioksida dan metan secara signifikan. Penulis berharap bahwa introduksi silase di peternakan rakyat dapat menambah pengetahuan peternak tentang silase, memberikan inspirasi dan solusi kepada peternak pada saat musim sulit pakan serta mampu meningkatkan produksi ternak. Bahwa ternyata penambahan silase belum mampu meningkatkan produksi diduga karena konsekuensi dari penggunaan pakan berbahan hasil samping produk pertanian/perkebunan yang kurang dapat dijaga kualitasnya. Pada tahap awal penelitian telah diformulasikan sedemikian rupa sehingga didapatkan pakan dengan kandungan nutrisi yang optimal, terbukti pada meningkatnya PBBH pada awal sampai pertengahan pengamatan.

2. Meskipun PBBH sapi pengamatan tergolong rendah, namun masih masuk dalam kisaran penelitian lain yang mengamati sapi dara di peternakan rakyat. Pengamatan sapi Bali dara oleh Bariroh, et al (2017) di Kalimantan Timur didapati PBBH 0,14-0,47 kg/ekor/hari. Sebagaimana jawaban pertama, diduga komposisi nutrisi bahan pakan yang didapatkan tidak stabil. Bahan pakan yang bisa didapatkan di sekitar daerah penelitian adalah dedak padi dan solid sawit, oleh karena itu diberikan persentase yang besar, meskipun be risiko dari sisi harga dan kualitas. Pada tahap awal

(13)

pengamatan slope PBBH cukup baik, namun menurun pada tahap selanjutnya. Perlu kiranya dieksplorasi bahan pakan potensial yang berada dilokasi dan dimanfaatkan secara optimal untuk dapat mendukung kualitas dan kuantitas pakan.

Gambar

Tabel 1. Komposisi silase pelepah sawit
Tabel 2.  Berat  badan  dan  pertambahan  berat  badan  harian  (PBBH)  sapi  Bali  betina  tanpa membedakan status fisiologis
Tabel 3.  Pertambahan  berat  badan harian (PBBH) sapi Bali dengan status fisiologis  normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi
Tabel 4. Skor  kondisi  tubuh  (SKT)  dan  perubahannya  pada  sapi  Bali  dengan  status  fisiologis normal, dara atau induk tidak sedang bunting dan laktasi (Skala 1-9)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian pembahasan, maka disimpulkan bahwa (1) proses fonologis terjadi apabila dua morfem berhubungan atau diucapkan sesudah yang lain, sehingga menimbulkan perubahan

Pengukuran dilakukan dengan dua cara: (1). Penguburan dalam tanah sampah, dengan interval waktu pengamatan setiap 4 hari untuk melihat perubahan yang terjadi pada sampel film

a) Aspek kualitas, sumber potensial di Kabupaten Malang adalah embung dan mata air dengan kondisi sangat terbatas. PDAM Malang dapat dimanfaatkan sumber air tersebut dengan cara

Sebagian besar lainnya (68,78 persen) belum pernah mengikuti pelatihan/kursus/magang. Secara keseluruhan, sifat kewirausahaan pengusaha industri kreatif UMKM di Kota

Menurut PP Nomor 60 Tahun 2014, Dana Desa adalah dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja

Setelah dilakukan simulasi hingga mencapai nilai yang konvergen, maka tahap selanjutnya dilakukan analisis data yang meliputi pengaruh susunan serta sudut serang

Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan rumah susun yang

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan Program Studi Sistem Informasi S-1 pada Fakultas Teknik Universitas Muria Kudus5.