7 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri menyebabkan meningkatnya risiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan kerusakan ginjal. Penyakit Hipertensi atau yang lebih dikenal penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah seseorang adalah ≥140 mm Hg (tekanan sistolik) dan atau ≥90 mmHg (tekanan diastolik) menurut Joint National Committe on Prevention
Detection, Evaluation, and Treatment of High Pressure VII, 2003 (Novian, 2013).
The seventh Report of the Joint National Commite on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-VII) 2003 telah memperbaharui
klasifikasi, serta stratifikasi risiko untuk menentukan prognosis jangka panjang. Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah dari JNC-VII 2003
Klasifikasi tekanan
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi stage 2 ≥160 atau ≥100
8
tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat (Depkes, R.I., 2006).
2.2 Etiologi Hipertensi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder, endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial (Depkes, R.I., 2006).
2.2.1 Hipertensi primer (essensial)
9
mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal dan angiotensinogen (Depkes, R.I., 2006).
2.2.2 Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder (Depkes, R.I., 2006).
2.3 Faktor Resiko Hipertensi
10
dua kali risiko menjadi hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular daripada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg yang merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik. Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg. Risiko penyakit kardiovaskular ini bersifat kontinyu, konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya, serta individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami hipertensi (Yogiantoro, 2009).
2.4 Patofisiologi Hipertensi 2.4.1 Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi, faktor-faktor tersebut adalah:
a. Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya respons terhadap stress psikososial
b. Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor c. Asupan natrium (garam) berlebihan
11
e. Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin II dan aldosteron
f. Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
g. Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
h. Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal
i. Diabetes mellitus j. Resistensi insulin k. Obesitas
l. Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
m. Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung dan tonus vaskular (Depkes, R.I., 2006). 2.5 Gejala Klinis dan Diagnosis Hipertensi
2.5.1 Gejala Klinis Hipertensi
12 2.5.2 Diagnosis Hipertensi
Pemeriksaan pasien hipertensi memiliki tujuan, yaitu untuk menilai gaya hidup dan faktor risiko kardiovaskular lainnya atau bersamaan gangguan yang mungkin mempengaruhi prognosis dan pedoman pengobatan, untuk mengetahui penyebab tekanan darah tinggi, untuk menilai ada atau tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular.
Pemeriksaan pada hipertensi menurut PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia), terdiri atas:
1. Riwayat penyakit
a. Lama dan klasifikasi hipertensi b. Pola hidup
c. Faktor-faktor risiko kelainan kardiovaskular d. Riwayat penyakit kardiovaskular
e. Gejala-gejala yang menyertai hipertensi f. Target organ yang rusak
g. Obat-obatan yang sedang atau pernah digunakan 2. Pemeriksaan fisik
a. Tekanan darah minimal 2 kali selang dua menit b. Periksa tekanan darah lengan kontra lateral c. Tinggi badan dan berat badan
d. Pemeriksaan funduskopi
13 3. Pemeriksaan laboratorium
a. Urinalisa
b. Darah : platelet, fibrinogen
c. Biokimia : potassium, sodium, creatinin, GDS, lipid profil, asam urat 4. Pemeriksaan tambahan
a. Foto rontgen dada b. EKG 12 lead c. Mikroalbuminuria d. Ekokardiografi
Tekanan darah setiap orang sangat bervariasi. Pengukuran tunggal yang akurat adalah awal yang baik tetapi tidak cukup: ukur tekanan darah dua kali dan ambil rata-ratanya. Hipertensi didiagnosis jika rata-rata sekurang-kurangnya 2 pembacaan per kunjungan diperoleh dari masing-masing 3 kali pertemuan selama 2 sampai 4 minggu diperoleh tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau 90 mmHg untuk diastolik. Menurut JNC 7, tekanan darah normal adalah 120/80 mmHg atau kurang. Prehipertensi bila tekanan darah 120/80 samapi 139/89 mmHg. Hipertensi stadium 1 bila tekanan darah sistolik 140 sampai 159 mmHg atau tekanan darah diastolik 90 sampai 99 mmHg. Serta hipertensi stadium 2 bila tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥100 mmHg (Cohen, 2008). 2.6 Komplikasi Hipertensi
14
(stroke, transient ischemic attack), penyakit arteri koroner (infark miokard, angina), gagal ginjal, dementia, dan atrial fibrilasi. Bila penderita hipertensi memiliki faktor-faktor resiko kardiovaskular lain, maka akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas akibat gangguan kardiovaskularnya tersebut. Menurut Studi Framingham, pasien dengan hipertensi mempunyai peningkatan resiko yang bermakna untuk penyakit koroner, stroke, penyakit arteri perifer dan gagal jantung (Depkes, R.I., 2006).
2.7 Penatalaksanaan Hipertensi
Tujuan utama terapi hipertensi adalah menurunkan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi serta berkaitan dengan kerusakan organ target (seperti kardiovaskular, gagal jantung, dan penyakit ginjal). Target tekanan darah adalah <140/90 mmHg untuk hipertensi tanpa komplikasi dan <130/80 mmHg untuk pasien diabetes melitus dan gagal ginjal kronis (Chobanian, 2004).
Terapi hipertensi meliputi : a. Terapi non farmakologis
15
disarankan untuk menghentikan kebiasaan merokok. Modifikasi pola hidup dapat menurunkan tekanan darah, menambah efikasi obat antihipertensi dan mengurangi resiko komplikasi penyakit kardiovaskular (Chobanian, 2004).
b. Terapi farmakologis
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB) dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
16
(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB) (Depkes, R.I., 2006).
Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai tetapi tekanan darah sistolik masih tinggi. Diperkirakan dari populasi pasien hipertensi yang diobati tetapi belum terkontrol, 76.9% mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≤90 mmHg. Pada kebanyakan pasien, tekanan darah diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik yang diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah sistolik berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan darah diastolik, maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi.
17
Gambar 2.1 Algoritma Pengobatan Hipertensi
2.7.1 Mencapai Tekanan Darah pada masing-masing pasien
Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan
Perubahan gaya hidup
Tekanan darah diatas target (≥ 140/90 mmHg), (<130/80 mmHg dengan Diabetes Melitus atau Gagal Ginjal Kronik)
Mulai dengan obat antihipertensi
Hipertensi tanpa komplikasi Indikasi Mutlak
Hipertensi Stage 1 dari kelas lain ACE Inhibitor, ARB, Beta jenis Tiazid dan ACE Inhibitor atau ARB atau Beta Bloker atau Calsium Chanel
Target tekanan darah tidak tercapai
18
obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik dan lansia (Depkes, R.I., 2006).
2.7.2 Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien
Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial ini, termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat hipertensi. Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki kulit putih. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah dan harganya lebih dapat dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused) (Depkes, R.I., 2006).
2.8 Kepatuhan
19
melaksanakan perawatan, pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh perawat, dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Kepatuhan (compliance atau adherence) mengambarkan sejauh mana pasien berperilaku untuk melaksanakan aturan dalam pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh tenaga kesehatan (Smet, 1994).